Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR SUPRAKONDILER HUMERUS

1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari ekstremitas
superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan skapula dan pada bagian
distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang, ulna dan radius.
Fraktur suprakondiler humeri adalah fraktur yang terjadi pada bagian sepertiga distal
tulang humerus setinggi kondilus humeri tepat proksimal troklea dan capitulum humeri, yang
melewati fossa olekrani. Garis frakturnya berjalan melalui apeks coronoid dan fossa
olecranon. Fraktur ini sering terjadi pada anak – anak, yaitu fraktur kondilus lateralis
humerus dan fraktur epikondilus medialis humerus. Fraktur kondiler sederhana jarang
ditemukan pada orang dewasa, umumnya didapati fraktur kondiler kominutif berbentuk T
atau Y.
Fraktur kondilus lateralis humerus pada anak,kondilus tersebut terdislokasi ke arah
distal. Fraktur ini termasuk fraktur epifisis berat tipe 4 yang merupakan fraktur intraartikuler.
Fraktur epikondillus medialis humerus merupakan fraktur avulsi dan terjadi akibat
gaya abduksi atau valgus yang berlebihan.

1.2 Epidemiologi
Fraktur ini sering terjadi pada anak – anak, yaitu sekitar 65 % dari seluruh kasus patah
tulang lengan atas. Mayoritas fraktur suprakondiler pada anak – anak terjadi pada usia 3 – 10
tahun, dengan puncak kejadiannya pada usia 5 dan 7 tahun. Dan biasanya paling sering
ditemukan pada anak laki – laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1.

1.3 Etiologi
1. Adanya riwayat trauma atau cedera
2. Kecelakaan kendaraan bermotor
3. Jatuh dari ketiggian
4. Luka tembak
5. Sidewipe injuries

1.4 Anatomi
Ujung distal humerus berbentuk pipih antero – posterio, bersama – sama dengan
ujung proksimal radius dan ulna membentuk persendian jenis ginglimus d arthroradialis atau
“hinge joint. Ujung distal humerus terdiri dari dua kondilus tebal ( lateralis dan medialis )
yang tersusun oleh tulang konselous. Pada anak, ujung distal humerus terdiri dari kartilago.
Batas massa kartilago dengan batas tulang merupakan tempat yang lemah, dimana sering
terjadi pemisahan epifise. Karena itu penting untuk mengetahui kapan timbulnya penulangan,
konfigurasi dan penyatuan dengan batang humerus.
Kondilus lateralis ditumpangi oleh kapitulum yang merupakan tonjolan yang
berbentuk kubah yang nantinya akan bersendi dengan cekungan kaput radii. Di kranial
kapitulum pada pada permukaan anterior humerus, terdapat cekungan ( fossa ) yang akan
menampung ujung kaput radii, pada keadaan flexi penuh sendi siku.
Seluruh permukaan troklea dilapisi kartilago sampai fossa olekranon. Sedikit di
kranial troklea humerus menipis untuk membentuk fossa koronoidea, di anterior dan fossa
olekranon di posterior. Fossa tersebut akan menampung prosessus koronoideus ulna pada
gerakan fleksi dan ujung prossesus olekranon pada gerakan ekstensi. Hiperostosis pada fossa
tersebut atau disekitar tonjolan / prominensia ulna akan membatasi gerak sendi siku di kranial
kedua kondilus yaitu di bagian lateral dan medial humerus terdapat epikondilus tempat
melekatnya tendo – tendo otot. Satu – satnya tendo yang merupakan tempat asal kelompok
fleksor pronator berasal terutama dari epikondilus medialis dan dari “medial suprakondiler
ridge” yang terdapat sedikit di kranial epikondilus. Demikian juga kelompok otot ekstensor
supinator berasal dari epikondilus lateralis dan “lateral suprakondiler ridge”
1.5 Patofisiologi
1.5.1 Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah pada ekstremitas
atas. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih
disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior dan fossa coronoid di bagian
anterior.
1.5.2 Akibatnya baik pada cedera hiperekstensi maupun fleksi lengan bawah, tenaga trauma
ini akan diteruskan lewat sendi siku.
1.5.3 Fraktur terjadi akibat bertumbu pada tangan terbuka dengan siku agak fleksi dan
lengan bawah dalam keadaan pronasi.
1.5.4 Sebagian besar garis fraktur berbentuk oblique dari anterior ke kranial dan ke
posterior dgn pergeseran fragmen distal ke arah posterior kranial.
1.5.5 Fr.suprakondiler humeri jenis ekstensi slalu disertai dengan rotasi fragmen distal ke
medial dan “hinging” kortek lateral.
1.5.6 Pergeseran :
 Angulasi ke anterior dan medial dengan pemisahan fragmen fraktur
 Tidak adanya kontak antara fragmen, kdg2 pergeserannya cukup besar à
ujung fragmen distal yang tajam bs menusuk à merusak m.brachialis,
n.radialis, n medianus.
1.5.7 Fr.suprakondiler humeri tipe fleksi à jarang jatuh mengenai siku dalam keadaan
fleksi. Garis fraktur mulai cranial mengarah ke postero kaudal dan fragmen distal
mengalami pergeseran ke arah anterior.

1.6 Gejala Klinis


 Sakit ( pain )
 Bengkak ( swelling ) pada sendi siku
 Deformitas pada sendi siku
 Denyut nadi arteri radialis yang berkurang ( pulsellessness )
 Pucat ( pallor )
 Rasa kesemutan ( baal, paresthesia )
 Kelumpuhan ( paralisis )

Dikenal dua tipe fraktur suprakondiler humeri berdasarkan fragmen distal, yaitu :
1. Tipe posterior ( tipe ekstensi )
Tipe ekstensi merupakan 99 % dari seluruh jenis fraktur suprakondiler humeri. Pada
tipe ini fragmen distal bergeser kearah posterior.

2. Tipe anterior ( tipe fleksi )


Tipe anterior ( tipe fleksi ) hanya merupakan 1 – 2 % dari seluruh fraktur
suprakondiler humeri. Disini fragmen distal bergeser kearah anterior.

1.7 Mekanisme trauma


Tipe ekstensi terrjadi apabila trauma terjadi pada saat sendi siku dalam posisi
hiperekstensi atau sedikit fleksi serta pergelangan tangan dalam posisi dorso fleksi.
Sedangkan tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung sendi siku pada
distal humeri.

1.8 Klasifikasi
 Tipe I
Terdapat fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya berupa retak yang berupa garis.
 Tipe II
Tidak ada pergeseran fragmen, hanya terjadi perubahan sudut antara humerus dan
kondilus lateralis ( normal 40 derajat )
 Tipe III
Terdapat pergeseran fragmen tetapi korteks posterior masih utuh serta masih ada kontak
antara kedua fragmen.
 Tipe IV
Pergeseran kedua fragmen dan tidak ada kontak sama sekali.

1.8 Pemeriksaan Fisik


1. Tipe ekstensi
 sendi siku dalam posisi ekstensi daerah siku tampak bengkak
 tonjolan fragmen di bawah subkutis.
2. Tipe fleksi
 posisi siku fleksi (semifleksi), dengan siku yang bengkak dengan sudut jinjing
yang berubah.
3. Gangguan sirkulasi perifer dan lesi pada saraf tepi (penting!!) à warna kulit, palpasi
pulsasi, temperatur, waktu dari capilarry refill à memerlukan tindakan reduksi
fraktur segera.
4. n. Medianus (28-60%) à tidak bs oposisi ibu jari dengan jari lain
5. Cabang n.medianus à n. Interosseus anterior à ketidakmampuan jari I dan II untuk
melakukan fleksi (pointing sign).
6. n. Radialis (26-61%) à tidak mampu melakukan ekstensi ibu jari dan ekstensi jari
lainnya pada sendi metakarpofalangeal.
7. n. Ulnaris (11-15%) à Tidak bisa abduksi dan aduksi jari jari

1.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto rontgen
1.10 Diagnosis
Didapatkan dari pemeriksaan :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang yaitu X – Ray
1.11 Penatalaksanaan
1. Terapi koservatif
Indikasi :
o pada anak undisplaced/ minimally dispaced fractures
o fraktur sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengan kapasitas fungsi yang
terbatas
 Prinsipnya adalah reposisi dan immobilisasi
 Pada undisplaced fracture hanya dilakukan immobilisasi dengan elbow fleksi
selama tiga minggu
 Pembengkakan tidak hebat à reposisi dalam narkose umum
 Reposisi berhasilà 1 minggu foto rontgen ulang.
 Gips dapat dipertahankan dalam waktu 3 minggu à diganti dengan mitela
(agar pasien bisa melatih gerakan fleksi ekstensi dalam mitela).
 Umumnya penyembuhan fraktur suprakondiler ini berlangsung cepat dan tanpa
gangguan.
2. Operasi
Bila reposisi gagal, atau bila terdapat gejala Volkmann Ischemia atau lesi
saraf tepi, dapat dilakukan tindakan reposisi terbuka secara operatif.
Indikasi Operasi :
 Displaced fracture
 Fraktur disertai cedera vaskular
 Fraktur terbuka
 Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering kali
menghasilkan fragmen distal yang komunitif dengan garis patahnya berbentuk T
atau Y. Untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi yaitu
reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang rigid.

1.12 Komplikasi
1. Pembentukan lepuh kulit
Pembengkakan sendi siku terjadi karena gangguan drainase atau mungkin juga
karena verban yang terlalu kuat.

2. Maserasi kulit di daerah antekubiti


Komplikasi ini terjadi karena setelah reposisi, dilakukan fleksi akut pada sendi
siku yang menyebabkan tekanan pada kulit.
3. Iskemik Volkman
Terutama terjadi pada fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi, fraktur
antebrakhi ( fraktur ulna dan radius ) dan dislokasi sendi siku. Iskemik yang terjadi
karena adanya obstruksi sirkulasi vena karena verban yang terlalu ketat, penekanan
gips atau fleksi akut sendi siku. Disamping terjadi pula obstruksi pembuluh darah
arteri yang menyebabkan iskemik otot dan saraf lengan bawah.
4. Gunstock deformity
Bentuk Varus cubitus akibat patah tulang pada siku condylar di mana sumbu
lengan diperpanjang tidak kontinyu dengan lengan tetapi dipindahkan ke garis tengah.

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR SUPRAKONDILER


HUMERUS
2.1 Pengkajian
2.1.1 Pengkajian sekunder
(1) Data demografi : Identitas klien
(2) Dapatkan riwayat kejadian, cedera sebelumnya, pengalaman dengan tenaga kesehatan
(3) Obseravasi adanya manifestasi fraktur:
a. Tanda – tanda cedera : Pembengkakan umum, Nyeri atau nyeri tekan, Penurunan
penggunaan fungsional dari bagian yang sakit (pada anak kecil yang menolak
untuk berjalan atau menggerakkan ekstermitas atas sangat dicurigai terjadi
fraktur), Memar, Kaku oto yang parah, Krepitasi (sensasi memarut pada sisi
fraktur)
b. Kaji lokasi fraktur : Observasi adanya deformitas, instruksikan anak untuk
menunjukkan area yang nyeri
c. Kaji sirkulasi dan sensasi distal pada sisi fraktur
d. Bantu dalam prosedur diagnostik dan tes, mis. Raduografi dan tomografi
(4) Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.
(5) Aktivitas/istirahat
(6) Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena keterbatasan mobilitas.
(7) Sirkulasi
a. Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
b. Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
c. Tachikardi
d. Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
e. Cavilary refil melambat
f. Pucat pada bagian yang terkena
(8) Masa hematoma pada sisi cedera
(9) Neurosensori
(10) Kesemutan
(11) Deformitas, krepitasi, pemendekan kelemahan
(12) Kenyamanan : Anak sering menangis, rewel dan tidak tenang akiba tnyeri tiba-tiba
saat cidera spasme/ kram otot.
(13) Keamanan : Laserasi kulit, perdarahan perubahan warna, pembengkakan local.
(14) Sistem Integumen : Adanya Laserasi, perdarahan edema, serta perubahan warna
kulit.
(15) Sistem otot : Kekuatan gerak koordinasi.
(16) Pemeriksaan diagnostic.
a. Pemeriksaan ronthgen menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b. Scan tulang, Tomogram, Scan CT, MRI : Memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
(17) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Hitung darah lengkap :
HT, mungkin meningkat (hemoton sentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan leukosit
adalah respon stress normal setelah trauma
2.1.2 Pengkajian Terhadap Ekstermitas yang di Gips
1) Pantau status kardiovaskuler.
2) Pantau nadi perifer
3) Pucatkan kulit ekstermitas pada bagian distal dari fraktur untuk memastikan sirkulasi
yang adekuat pada bagian tersebut.
4) Perhatikan keketatan Gips, gips harus memungkinkan insersi jari diantara kulit
ekstermitas dengan gips setelah gips kering.
5) Kaji adanya peningkatan hal – hal tersebut : Nyeri, Bengkak, Rasa dingin, sianosis
atau pucat.
6) Kaji gerakan dan sensasi jari tangan atau jari kaki. Minta anak untuk menggerakkan
jari tanga atau jari kaki. Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak
mampu berespon terhadap perintah. Laporkan segera tanda – tanda ancaman
kerusakan sirkulasi. Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan.
7) Perikas Suhu (gips plester): Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang
meningkatkan panas.
8) Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau area tekan.
9) Inspeksi bagian dalam gips, untuk adanya benda – benda yang terkadang dimasukkan
oleh anak yang masih kecil.
10) Observasi adanya tanda – tanda infeksi : Periksa adanya drainase, Cium gips untuk
adanya bau memyengat., Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi, dan
ketidaknyamanan.
11) Observasi kerusakan pernafasan (gips spika): Kji ekspansi pada anak, Obvervasi
frekuensi pernafasan , Observasi warna dan perilaku.
12) Kaji adanya bukti – bukti perdarahan, Kaji adanya peningkatan perdarahn.
13) Kaji terhadap kebutuhan obat analgesic.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, spasme otot, edema,
cedera pada jaringan lunak, stres, ansietas, alat traksi/imobilisasi.
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama 6bulan
atau lebih.
Batasan Karakteristik:
Mayor:
Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri yang dideskripsikan.
Minor:
Mengatupkan rahang/ pergelangan tangan, perubahan kemampuan untuk melanjutkan
aktivitas sebelumnya, agitasi, ansietas, peka rangsang, menggosok bagian yang nyeri,
mengorok, postur tidak biasanya, ketidakefektifan fisik/ immobilisasi, masalah dalam
konsentrasi, perubahan pada pola tidur rasa takut mengalami cedera ulang, menarik
bila disentuh, mata terbuka lebar atau sangat tajam gambaran kurus, mual dan muntah.
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot, kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilitas tungkai).
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami beresiko mengalami
keterbatasan gerak fisik tetapi bukan immobilisasi.
Mayor : Penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja dalam lingkungan.
Minor : Pembatasan pergerakan yang dipaksakan, enggan untuk bergerak.
3) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka, cedara tusuk,
bedah perbaikan; pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi sirkulasi;
akumulasi/sekret, imobilisasi fisik.
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
kerusakan integritas jarigan membran mukosa.
Mayor : Gangguan integumen, atau jaringan membran mukosa atau infasi seluruh
tubuh.
Minor : Lesi, edema, eritema, membran mukosa kering.
4) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan
primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif,
traksi tulang.
Definisi : keadaan dimana seorang individu beresiko trserang agen patologik atau
oportunistik (virus, jamur, bakeri, dll).
5) Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan alat bantu (kruk).
Definisi : keadaan dimana seorang individu beresiko untuk mendapat bahaya karena
defisit perseptual/fisiologis, kurang kesadaran tentang bahaya/usia lanjut.
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi/tidak mengenal sumber informasi.
Definisi : Keadaan dimana seorang individu/kelompok mengalami defisiensi
pengetahuan kognitif ataupun ketrampilan. Ketrampilan psikomotor, dengan kondisi
atau rencana pengobatan.
Mayor : Mengungkapkan kurang pengetahuan atau perawatan informasi,
mengekspresikan suatu ketidakakuratan persepsi status kesehatan.
Minor : Kurang integrasi tentang rencana pengobatan terhadap aktivitas sehari-hari.
Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologis mengakibatkan
kesalahan informasi dan kurang informasi.

2.3 Intervens
1. Nyeri akut berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, spasme otot, edema, cedera
pada jaringan lunak, stres ansietas, alat traksi/imobolisasi.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri berkurang sampai dengan hilang
Kriteria Hasil:
a. Anak akan mengidentifikasi sumber-sumber nyeri
b. Mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan dan menurunkan nyeri
c. Menggambarkan rasa nyaman dari orang lain selama mengalami nyeri.
Intervensi-rasional :
1. Evaluasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi, karakteriktik, intensitas (0-10)
R/ Meningkatkan kefektifan intervensi, tingkatkan ansietas dapat mempengaruhi
persepsi atau reaksi terhadap nyeri
2. Tinggikan dan dukung esktremitas yang terkena
R/ Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri
3. Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri
R/ Meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri
4. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat, traksi
R/ Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan
yang rusak
5. Beri alternatif tindakan kenyamanan : pijatan alih baring
R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
6. Ukur tanda-tanda vital
7. Beri obat sesuai indikasi:Diberikan untuk menurunkan nyeri

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot, kerusakan rangka


neuromuskuler: nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobolisasi tugkai)
Tujuan : Setelah dilakukuan tindakan keperawatan, mobilitas fisik tidak terganggu
Kriteria Hasil:
Klien dapat mempertahankan atau meningkatkan mobilitas yang paling tinggi.
Intervensi:
1. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera
R/ Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri atau persepsi diri tentang
keterbatasan fisik aktual.
2. Instruksikan pasien untuk atau bantu dalam rentang gerak pasien atau aktif pada
ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit
R/Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktor atau atrofi
3. Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodic
R/ Menurunkan resiko kontraktor fleksi panggul
4. Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan (mandi, keramas)
R/ Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan perawatan diri langsung
5. Dorong peningkatan masukan sampai 2000-3000 ml/hari. Termasuk air asam, jus
R/ Mempertahankan hidrasi tubuh menurunkan resiko infeksi urinarius, pembentukan
batu dan konstipasi

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka, cedera tusuk, bedah
perbaikan; pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi sirkulasi;
akumulasi ekskresi/sekret, imobilisasi fisik

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, maka tidak terjadi kerusakan integritas
jaringan
Kriteria hasil :
a. Menunukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi.
b. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
c. Berpartisipasi dalam rencana pengobatan yang di anjurkan dalam meningkatkan
peyembuhan luka.
Intervensi:Rasional
1. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna
R/ Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin
disebabkan oleh alat atau pemasangan gips, edema
2. Masase kulit dan penonjolan tulang pertahankan tempat tidur kering dan bebas
kerutan
R/Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko kerusakan kulit
3. Ubah posisi dengan sering
R/ Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan kerusakan
jaringan

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer:
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keparawatan, infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Mencapai penyembuhan sesuai waktu, dan demam
b. TTV normal: TD sistole < 130 mmHg, diastole < 85 mmHg, suhu 36-37 C, nadi 78-
88 x/mnt.
c. Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kolor, tumor, fungsiolaesa).
Intervensi:Rasional
1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
R/ Pen atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi kemerahan
atau abrasi
2. Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan,
bau drainase yang tak enak
R/ Menghindarkan infeksi
3. Obsevasi tanda-tanda vital
4. Kaji adanya tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, color, tumor, fungsiolaesa)
5. Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan berbicara:Kekuatan otot, spasme
tonik otot rahang, mengindikasi tetanus
6. Berikan obat sesuai indikasi:
R/ Antibiotik membantu mengatasi nyeri

5. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan alat bantu (kruk).


Intervensi:Rasional
1. Orientasikan pasien terhadap sekeliling
2. Ajarkan penggunaan kruk dgn benar
3. Ajarkan pada orang tua untuk memperkirakan perubahan sering pada kemampuan
anak dan waspada
4. Ajarkan orang tua untuk membantu anak dalam menangani tekanan sebaya yang
melibatkan perilaku resiko
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi/tidak mengenal sumber informasi
Intervensi:Rasional
1. Kaji pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
2. Jelaskan proses penyakit pada keluarga dan pasien.
3. Berikan informasi yang berhubungan dengan penyakitnya.
4. Diskusikan setiap tindakan yang berhubungan dengan penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, Graham. Solomon, Louis. Fraktur Pada Anak. Dalam: Buku Ajar Ajar
Ortopedi dan Fraktur Sistim Apley. Edisi ke-7. Widya Medika. Jakarta.
2. Nochimson, Geofrey (2009). Fraktur Suprakondiler humerus. (emedicine). Disitasi
pada tanggal 22 Januari 2010 dari: http://emedicine.medscape.com

3. Rasjad, Chairuddin. (2007). Kelainan Epifisis dan Lempeng Epifisis, dalam


Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.. Edisi ke-3. Yarsif Watampone. Jakarta
4. Salter, Robert. (1999). Textbook of Diosorders and Injuries of the Musculoskeletal
System. Third edition. William and Wilkin. Baltimore. USA.

Anda mungkin juga menyukai