D. GEJALA KLINIS
1. Nyeri biasanya menyertai patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak. Spasme
otot dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri. Pada fraktur stress,
nyeri biasanya menyertai aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Fraktur patologis
mungkin tidak disertai nyeri.
2. Posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami mungkin tampak jelas.
3. Pembengkakan disekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi.
4. Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan saraf.
Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian nonfraktur.
Hilangnya denyut nadi di sebelah distal menandakan sindrom kompartemen
walaupun adanya denyut nadi tidak menyingkirkan kemungkinan gangguan ini.
5. Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena ujungujung patahan tulang bergeser satu sama lain.
(Elizabeth J. Corwin, 2009; 337)
E. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi (look)
Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi,
fragmen tulang (pada fraktur terbuka).
2. Palpasi (feel)
Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan
vaskuler di bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di
bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test.
3. Gerakan (moving)
Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur. Gerakan antar fragmen harus
dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera
jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan
rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of
function). (Anonim, 2008)
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus
mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :
a. Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
b. Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
c. Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun
yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
d. Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
a. Darah rutin,
b. Faktor pembekuan darah,
c. Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
d. Urinalisa,
e. Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler
akibat fraktur tersebut.
(Anonim, 2008)
G. THERAPY
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri,
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan
sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang
rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun
memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan hematoma
fraktur dan meminimalkan kerusakan. Penyambungan kembali tulang (reduksi)
penting dilakukan agar terjadi pemulihan posisi yang normal dan rentang gerak.
Sebagian besar reduksi dapat dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi
tertutup/OREF), misalnya dengan pemasangan gips, skin traksi maupun bandaging.
Apabila diperlukan pembedahan untuk fiksasi (reduksi terbuka/ORIF), pin atau
sekrup dapat dipasang untuk mempertahankan sambungan. (Elizabeth J. Corwin,
2009; 339)
3. Membuat tulang kembali menyatu
Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi
pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya dilakukan
dengan pemasangan gips atau penggunaan bidai.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan
kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya
mobilisasi. (Anonim, 2008)
H. KOMPLIKASI
1. Non-union, delayed-union dan mal-union tulang dapat terjadi, yang menimbulkan
deformitas atau hilangnya fungsi.
2. Sindrom kompartemen.
Ditandai dengan kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan
oleh
pembengkakan
dan
edema
di
daerah
fraktur.
Dengan
PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan fraktur humerus menurut Marilyn E. Doengoes 2000 di
peroleh data sebagai berikut :
1. Aktifitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yeng terkena (mungkin
secara fraktur itu sendiri/terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan
nyeri)
2. Sirkulasi
Tanda :
Hipertensi
(kadang-kadang
terlihat
sebagai
respon
terhadap
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan /kesemutan pada tulang = dapat berkurang pada imobilisasi, tidak ada
nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, opulasi jaringan, perubahan warna, perdarahan,
pembengkakan local (dapat meningkatkan secara bertahap /tiba-tiba)
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi/luasnya fraktur/ trauma
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : di lakukan bila kerusakan vaskuler di curigai
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
/menurunkan (perdarahan multiple)
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfuse
multiple / cedera hati.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan klien tampak meringis, laporan secara verbal
2.
3.
4.
menggeser tangannya.
Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan dengan
kontraktur otot ditandai dengan klien tidak mampu memegang alat mandi, klien
tidak mampu menggunakan pakaian sendiri, klien minta dibantu untuk makan dan
5.
eliminasi.
Gangguan rasa nyaman ditandai dengan klien mengeluh merasa tidak nyaman
6.
7.
8.
dengan kondisinya.
PK: Perdarahan
PK: Anemia
Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan
9.
klien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, klien tampak gelisah.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan cedera (posisi tulang tidak anatomis)
ditandai dengan klien mengatakan malu dengan kondisi fisiknya, klien tampak
menarik diri.
C.
INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan klien tampak meringis, laporan secara verbal terasa
nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tingkat
nyeri dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri berkurang menjadi skala 4
b. Onset nyeri berkurang menjadi skala 4
c. Melaporkan nyeri terkontrol menjadi skala 4
d. Mampu mendeskripsikan penyebab nyeri, skala 4
Intervensi:
Pain management
1.
2.
nyeri.
Observasi tanda nonverbal terhadap ketidaknyamanan, terutama pada pasien
3.
4.
5.
6.
7.
lainnya).
Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan.
Analgesic Administration
1.
2.
3.
4.
5.
2.
1.
2.
3.
4.
rasa takutnya
untuk
mempengaruhi kesehatannya
6. Memberikan perhatian dengan mendengarkan keluhan atau masalah klien
7. Selalu mengidentifikasi perubahan tingkat kecemasan
8. Observasi tanda-tanda cemas verbal dan non verbal
Calming Technique
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
D.
EVALUASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada
jaringan lunak) ditandai dengan klien tampak meringis, laporan secara verbal terasa
nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
Evaluasi:
a. Nyeri berkurang menjadi skala 4
b. Onset nyeri berkurang menjadi skala 4
c. Nyeri terkontrol menjadi skala 4
d. Mampu mendeskripsikan penyebab nyeri, skala 4
2. Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan
klien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, klien tampak gelisah.
Evaluasi:
a. Tekanan Darah dalam batas normal
b. Klien tampak tenang
c. Klien mengatakan merasa tidak cemas
3. Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh > 37,5 C, akral teraba hangat, peningkatan tekanan darah
dan nadi.
Evaluasi:
a. Turgor kulit pasien kembali normal (skala 5)
b. Suhu tubuh klien kembali normal (36,5o-37,5oC), skala 5
c. Perubahan warna pada kulit klien menjadi normal (skala 5)
d. Denyut nadi pasien normal (60-100x/menit), skala 5
e. Tekanan darah pasien dalam batas normal (100-120/70-80 mmHg) skala 5
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Fraktur (patah tulang). (online: http://nursingbegin.com/fraktur-patahtulang/, akses tanggal 9 januari 2012)
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius.
McCloskey,Joanne.2004.Nursing Interventions Classification (NIC) Fourth Edition
St.Louis Missouri:Westline Industrial Line
Moorhead,Sue.2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition
St.Louis Missouri:Westline Industrial Line
Sjamsuhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.