Anda di halaman 1dari 27

i

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah
(Wong, 2004). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam
darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat
pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta
dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin
bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24
jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari
1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan
tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat
buruk ikterus dapat dihindarkan. Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana
terdapat kadar bilirubin yang tinggi dalam darah. Biasanya terjadi pada bayi
baru lahir.
Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi
baru lahir selama minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme
bilirubin bayi. Ditemukan sekitar 25-50% bayi normal dengan keadaan
hiperbilirubinemia (Ika, 2009).

1
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini yaitu mengenai
1. Konsep neonatus dengan hiperbilirubinemia.
2. Patofisiologi neonatus dengan hiperbilirubinemia.
3. Pengkajian primary survey dan secondary survey pada kasus neonatus
dengan hiperbilirubinemia.
4. Manajemen kegawatdaruratan pada kasus neonatus dengan
hiperbilirubinemia .

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui mengenai apa itu neonatus dengan hiperbilirubinemia.
2. Untuk mengetahui mengenai apa patofisiologi neonatus dengan
hiperbilirubinemia.
3. Untuk mengetahui mengenai bagaimana pengkajian primary survey dan
pengkajian secondary survey pada kasus neonatus dengan
hiperbilirubinemia.
4. Untuk mengetahui bagaimana manajemen kegawatdaruratan pada
neonatus dengan hiperbilirubinemia.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Neonatus dengan Gangguan Hiperbilirubinemia


Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap
kelainan akumulasi bilirubin dalam darah. Karakteristik dari
hiperbilirubinemia adalah jaundice dan ikterus (Wong, 2007).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan
umur bayi atau lebih dari 90%. Ikterus neonatarum adalah keadaan klinis
pada bayi yang ditandai pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus akan secara klinis
tanpak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin dalam darah 5-6mg/dl (Soleh,
2010).

B. Jenis Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi
lahir, peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL setiap jam. Ikterus
bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang
bulan dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, alergi, penurunan
berat badan yang berlebihan, dan asupan kurang).
Hiperbilirubinemia fisiologi merupakan konsentrasi bilirubin plasma
meningkat dari nilai normal kurang dari 1 mg/dl menjadi rata-rata 5mg/dl
selama 3 hari pertama kehidupan. Kemudian secara bertahap turun kembali
ke nilai normal sewaktu hati mulai berfungsi dan keadaan ini berhubungan
dengan ikterik ringan (kekuningan) pada kulit bayi dan terutama pada sklera
mata selama satu atau dua minggu.
Hiperbilirubin merupakan akibat dari bilirubin bebas atau terkonjugasi
menumpuk dalam darah, warna kuning, sklera dan membran mukosa menjadi

3
kuning.Biasanya dapat terdeteksi apabila bilirubin plasma lebih besar dari
pada 2 mg/dl.

C. Etiologi
1. Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan
ABO.
2. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
3. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
4. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
5. Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta), diol (steroid)
6. Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek
meningkat misalnya pada BBLR
7. Kelainan congenital
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu
misalnya sulfadiazine.
9. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
10. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatik.
11. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Surasmi gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking meliputi hipertonus dan
opistonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa

4
paralysis serebral dengan atetosis (gerakan tidak terkendali), gengguan
pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis.
Sedangakan menurut Handoko gejalanya adalah warna kuning (ikterik)
pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sklera) mata terlihat saat
kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(keadaannya disebut kern ikterus). Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana
terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi kerusakan otak.
Biasanya terjadi pada bayi yang sangat prematur atau bayi yang sakit
berat. Menurut Medicastore (2009) manifestasi klinik yang sering jumpai
pada anak dengan hiperbilirubin antara lain :
1. Rasa mengantuk.
2. Tidak kuat menghisap.
3. Muntah.
4. Opistotonus (posisi tubuh melengkung, leher mendekati punggung).
5. Mata berputar-putar ke atas .
6. Kejang, Bisa diikuti dengan penurunan kesadaran.
Efek jangka panjang dari ikterus adalah keterbelakangan mental,
kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli
dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

5
E. Pathway

Peningkatan Gangguan Gangguan Gangguan Peningkatan


produksi fungsi hati transportasi ekskresi sirkulasi
bilirubin enterohepatik

HIPERBILIRUBIN

Bilirubin ikut dalam Peningkatan


peredaran darah menuju Hemolisis terus pemecahan
ke otak terjadi bilirubin

Billirubin dapat menembus Defisiensi eritrosit Pengeluaran


sawar darah otak dan cairan empedu di
mengendap dalam jaringan usus
otak
Anemia Hemolitik
Peristaltic usus
Kern Ikterus meningkat
Meracuni sel-sel otak

Oksihemoglobin
Gangguan fungsi kerja menurun Diare
Tidak kuat
otak, perubahan pada SSP
menghisap
Perfusi jaringan
tidak efektif Pengeluaran volume
Kerusakan stimulasi otak
Intake cairan cairan berlebih
berkurang Kompensasi jantung
(respirasi dan nadi
Kejang
meningkat) Resiko
Resiko Kekurangan
kekurangan MK : POLA Volume Cairan
Penurunan Kesadaran volume cairan NAFAS TIDAK
EFEKTIF

MK : SYOK
Hambatan Jalan Napas HIPOVOLEMIK
Akibat Lidah Jatuh
Kebelakang

6
MK : GAGAL
NAFAS

F. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan
pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi
hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan
saluran empedu (Sartika, 2008).

Sel darah merah yang tua, rusak dan abnormal dibuang dari peredaran
darah, terutama di dalam limpa. Selama proses pembuangan berlangsung,
hemoglobin (protein pengangkut oksigen di dalam sel darah merah) dipecah
menjadi pigmen kuning yang disebut bilirubin. Bilirubin dibawa ke hati,
dimana secara kimiawi diubah dan kemudian dibuang ke usus sebagai bagian
dari empedu. Pada sebagian besar bayi baru lahir, kadar bilirubin darah secara
normal meningkat sementara dalam beberapa hari pertama setelah lahir,
menyebabkan kulit berwarna kuning (jaundice) (Sartika, 2008).

Pada orang dewasa, bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di


dalam usus akan memecahkan bilirubin. Pada bayi baru lahir, bakteri ini
sangat sedikit sehingga banyak bilirubin yang dibuang melalui tinja yang
menyebabkan tinjanya berwarna kuning terang. Tetapi bayi baru lahir juga
memiliki suatu enzim di dalam ususnya yang dapat merubah sebagian
bilirubin dan menyerapnya kembali ke dalam darah, sehingga terjadi jaundice

7
(sakit kuning). Karena kadar bilirubin darah semakin meningkat, maka
jaundice menjadi semakin jelas. Mula-mula wajah bayi tampak kuning, lalu
dada, tungkai dan kakinya juga menjadi kuning. Biasanya hiperbilirubinemia
dan sakit kuning akan menghilang setelah minggu pertama (Sartika, 2008).

Kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa disebabkan oleh pembentukan


yang berlebihan atau gangguan pembuangan bilirubin. Kadang pada bayi
cukup umur yang diberi susu ASI, kadar bilirubin meningkat secara progresif
pada minggu pertama; keadaan ini disebut jaundice ASI. Penyebabnya tidak
diketahui dan hal ini tidak berbahaya. Jika kadar bilirubin sangat tinggi
mungkin perlu dilakukan terapi cahaya bilirubin (Muhaj ,2009).

Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan


beban bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan
bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh
anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia,
ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii
transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat
indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar
bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia
dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.

8
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
b. Jaundice pada sklera dan mukosa oral, kulit menguning. Jaundice
dengan lokasi yang berbeda-beda dapat diperkirakan level bilirubin
(Pemeriksaan ikterometer dari Kremer).
c. Letargi, bayi tampak malas untuk bergerak dan minum, refleks
sucking dan refleks rooting menurun atau menghilang.
d. Pucat menandakan anemia
e. Bising usus hipoaktif
f. Palpasi abdomen ditemukan pembesaran hepar dan limpa.
g. Reflex moro menghilang
h. Hipertonisitas, opistotonus, kejang
i. Cephalhematom besar mungkin terlihat pada ½ tulang parietal
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Urine gelap, feses lunak coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin
c. Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompatibilitas.
d. Test Coomb tali pusat bayi yang baru lahir :
1) Hasil test Coomb indirek (+)
2) Menunjukan adanya antibodi Rh (+), anti-A dan anti-B dalam sel
darah ibu.
3) Hasil test Coomb direk (+)
4) Menunjukan adanya sensitivitas (Rh (+), anti-A dan anti-B) sel
darah merah dari neonatus.
e. Bilirubin serum
1) Bilirubin conjugated bermakna bila > 1.0 – 1.5 mg%
2) Bilirubin unconjugated meningkat tidak > 5 mg% dalam 24 jam,
kadarnya tidak > 20 mg %.
3) Protein serum total : Hb menurun

9
H. Pengkajian Pada Kasus Neonatus dengan Hiperbilirubin
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Melakukan pemeriksaan jalan napas apakah ada sumbatan. biasanya
pada bayi dengan hiperbilirubin tidak ada masalah pada jalan napas,
kecuali bayi mengalami penyakit lain seperti adanya riwayat asfiksisa
atau ISPA dan pada bayi dengan keadaan tidak sadar lidah dapat jatuh
kebelakang.
b. Breathing
Adakah Riwayat asfiksia, suara napas terdengar Krekels, jika ada
mucus, biasanya mukus bercak merah muda menandakan adanya
edema pleura, hemoragi pulmonal
c. Circulation
Nadi biasanya takikardi, akral teraba dingin bisa saja berkeringat,
namun suhu biasanya hipertermi diatas 37°C
d. Disability
Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) pada Bayi :
Eyes (respon membuka mata) :
4 : Spontan
3 : Membuka mata saat diperintah atau mendengar suara.
2 : Membuka mata saat ada ransangan nyeri.
1 : Tidak ada respon/tanpa membuka mata.
Verbal (respon ucapan) :
5 : Berbicara mengoceh seperti biasa.
4 : Menangis lemah.
3 : Menangis karena diberi ransangan nyeri.
2 : Merintih karena diberi ransangan nyeri.
1 : Tidak ada respon/tanpa suara.
Motorik (respon gerakan) :
6 : Bergerak spontan.
5 : Menarik anggota gerak saat ada sentuhan.

10
4 : Menarik anggota gerak saat ada ransangan nyeri.
3 : Fleksi abnormal, saat diberikan ransangan.
2 : Ekstensi abnormal, ketika diberikan ransangan.
1 : Tidak ada respon/ tanpa gerakan.

2. Pengkajian Sekunder
Data Subyektif
Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu
pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Data tersebut dapat
ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi
atau komunikasi
a. Identitas Pasien.
Identitas pasien meliputi :
1) Nama
Untuk mengetahui nama bayi.
2) Umur
Untuk mengetahui umur bayi yang nantinya disesuaikan dengan
tindakan yang akan dilakukan, .
3) Jenis Kelamin
Untuk mengetahui jenis kelamin bayi laki-laki atau perempuan.
b. Identitas Penanggung Jawab
1) Nama Orang Tua.
Untuk mengetahui nama orang tua bayi sebagai penanggung
jawab.
2) Umur Orang Tua
Untuk mengetahui berapa umur orang tua. Dikaji untuk
mengetahui adanya faktor resiko persalinan.
3) Jenis Kelamin
Dikaji untuk mengetahui jenis kelamin
4) Agama

11
Untuk mengetahui kepercayaan orang tua yang berhubungan
dengan pemberian dukungan spiritual sesuai kepercayaan.
5) Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat intelektual yang berhubungan dengan
intelektual orang tua yang berhubungan dengan pemberian KIE.
6) Pekerjaan
Untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi orang tua berhubungan
dengan kemampuan dalam mencukupi kebutuhan nutrisi.
7) Alamat
Untuk mengetahui tempat tinggal orang tua pasien.
c. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus, contoh : salisilat sulkaturosic oxitosin yang
dapat mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Apakah Persalinan dilakukan oleh dukun atau bidan. Apakah
Lahir prematur / kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin
dan aspixin
3) Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat, kulit bayi
tampak kuning.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan
saluran cerna dan hati ( hepatitis ).
e. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang
tua
f. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan orang tua bayi yang
ikterus

12
g. Kebutuhan Sehari – hari
1) Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum (reflek menghisap dan menelan
lemah) sehingga BB bayi mengalami penurunan.
2) Eliminasi
Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna
gelap dan tinja berwarna pucat, Feses mungkin lunak / coklat
kehijauan selama pengeluaran bilirubin
3) Istirahat
Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun
4) Aktifitas
Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus
dan mudah terusik.
5) Keamanan
- Riwayat positif infeksi/sepsis neonates.
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intra cranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut
pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi
bronze) sebagai efek samping fototerapi.
6) Personal hygiene
Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu
7) Keluhan Utama pada Bayi.
Keluhan utama pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah proses
pengkajian kondisi pasien pada saat datang yaitu dengan keluhan
pada hari kedua setelah lahir bayinya tampak kuning, sehingga
timbul kecemasan pada orang tua (Winkjosastro, 2006).
8) Pola Nutrisi
Dikaji untuk mengetahui pola nutrisi bayi Apakah bayi minum
ASI atau susu formula, dan biasanya pada bayi dengan ikterik
malas menyusu dan tidak mau menghisap.Adanya Riwayat

13
pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada
menyusu botol.

Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh dari pengkajian dan pemeriksaan
fisik pasien guna menegakkan diagnosa. Menurut Dewi (2010)
pemeriksaan bayi meliputi pemeriksaan sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Umum
1) Keadaan Umum
Dikaji untuk mengetahui keadaan umum bayi apakah keadaan
umum bayi baik atau tidak, dan biasanya bayi ikterik keadaan
umumnya tampak lemas.
b. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
1) S : dikaji untuk mengetahui suhu bayi apakah normal yaitu 36,5°C-
37,5°C atau lebih , dan biasanya pada bayi ikterik terjadi
hipotermi.
2) N : Dikaji untuk mengetahui nadi bayi apakah terjadi brakikardi
atau takikardi normalnya yaitu 120- 160x/menit biasanya pada bayi
iktekrik terjadi takikardi.
3) R : dikaji untuk mengetahui pernafasan bayi apakah normal apa
tidak. normalnya yaitu 40-60x/menit, biasanya tidak mengalami
masalah namun jika di sertai hipertermi pernapasan akan
meningkat.
c. Pemeriksaan Fisik
Menurut Hidayat (2008), pemeriksaan fisik secara sistematis.
Pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis yang dimulai dari kepala
sampai kakai (head to toe) pemeriksan fisik sistematis :
1) Kepala : Ada/tidak caput atau chepal hematom.
2) Muka : Simetris/tidak simetris / nampak kekuningan.
3) Mata : Sklera dan konjungtiva normal, tampak kekuningan.
4) Neurosensori :

14
- Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum.
- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel
menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
5) Telinga : simetris, ada bagian kanan dan kiri.
6) Mulut : Ada atau tidak ada labiopalatoskizis.
7) Hidung : Ada atau tidak ada polip, nampak kekuningan.
8) Pernapasan : Riwayat asfiksia, Krekels, mucus bercak merah
muda (edema pleura, hemoragi pulmonal).
9) Leher : Ada atau tidak ada pembesaran kelenjar, nampak
kekuningan.
10) Dada : Simetris atau tidak bagian kanan kiri.
11) Perut : Kembung atau tidak kembung.
12) Abdomen : kembung atau tidak kembung, suara bising usus
biasanya hipoaktif, Palpasi abdomen dapat menunjukkan
pembesaran limpa, hepar
13) Tali pusat : Terbungkus kassa steril atau tidak.
14) Punggung : Ada spina bifida atau tidak, nampak kekuningan.
15) Ekstremitas : Lengkap atau tidak, nampak kekuningan.
16) Genetalia : Laki-laki : Testis sudah turun atau belum
17) Perempuan : Labia mayor sudah menutupi labia minor atau
belum.
18) Anus : atresia ani atau tidak
19) Refleks : ada tidaknya refleks glabellar, refleks rooting, refleks
sucking, refleks swallowing, refleks tonikneck, refleks morro,
refleks graps, refleks babynsky, refleks gallant.

15
I. Manajemen Kegawatdaruratan Dengan Hiperbilirubinemia
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(keadaannya disebut kern ikterus).Manifestasi klinik yang sering jumpai pada
bayi dengan kegawatan hiperbilirubin antara lain :
1. Kejang , dapat di sertai dengan penurunan kesadaran.
2. Anemia
3. Kekurangan volume cairan
4. Obstruksi jalan napas (lidah jatuh ke belakang akibat kejang).
Efek jangka panjang dari ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan
serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata
tidak dapat digerakkan ke atas.
1. Manajemen Penanganan Kejang pada anak/bayi
Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya,
oleh karena itu tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah
menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
a. 0 - 5 menit:
1) Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik.
2) Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan,
berikan oksigen.
3) Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah,
pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat.
4) Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda
infeksi
b. 5 – 10 menit:
1) Pemasangan akses intarvena.
2) Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa,
elektrolit.
3) Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau
diazepam rektal.

16
4) 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg =
10 mg).
5) Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali
setelah 5 –10 menit.
6) Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
c. 10 – 15 menit
1) Cenderung menjadi status konvulsivus.
2) Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan
NaCl 0,9%.
3) Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai
maksimumdosis 30 mg/kgbb.
d. 30 menit
1) Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan
5-10 mg/kg.
2) dengan interval 10 – 15 menit.
3) Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas
darah,elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang
ada. Awasi tanda- tanda depresi pernafasan.
4) Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit
perawatan intensif.

Tabel pemberian Diazepam


Umur / berat badan anak Diazepam di berikan secara rektal
(larutan 10 mg/ 2 ml)
Dosis 0.1 ml/kg (0.4-0.6 mg/kg)
2 minggu s/d 2 bulan (< 4 kg)* 0.3 ml (1.5 mg)
2 – < 4 bulan (4 – < 6 kg) 0.5 ml (2.5 mg)
4 – < 12 bulan (6 – < 10 kg) 1.0 ml (5 mg)
1 – < 3 tahun (10 – < 14 kg) 1.25 ml (6.25 mg)
3 – < 5 tahun (14 –19 kg) 1.5 ml (7.5 mg)

17
Tabel pemberian cairan glukosa
Umur/Berat Badan Volume Larutan glukosa 10% untuk
diberikan sebagai bolus (5 ml/kgBB)
Kurang dari 2 15 ml
bulan (< 4 kg)
2 – < 4 bulan (4 – 25 ml
< 6 kg)
4 – < 12 bulan (6 – 40 ml
< 10 kg)
1 – < 3 bulan (10 – 60 ml
< 14 kg)
3 – < 5 bulan (14 – 80 l
< 19 kg)

Periksa kembali glukosa darah setelah 30 menit. Jika masih rendah,


ulangi lagi pemberian 5 ml/kg larutan glukosa 10% Beri makan anak segera
setelah sadar Jika anak tidak bisa diberi makan karena ada risiko aspirasi,
berikan Susu atau larutan gula menggunakan pipa nasogastrik (untuk
membuat larutan gula, larutkan 4 sendok teh gula (20 gram) ke dalam 200 ml
air matang), atauBerikan cairan infus yang mengandung glukosa (dekstrosa)
5–10%.

2. Manajemen Penanganan Anemia pada bayi


Transfusi darah diperlukan jika:
a. Hb < 4 g/dl
b. Hb 4–6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda
gagal jantung.
Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan
dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat.
Beri:
a. Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam

18
b. Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai.
Tatalaksana Anemia
Anemia Berat
Beri transfusi darah sesegera mungkin (lihat di bawah) untuk:
a. semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl .
b. anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl)
dengan beberapa tampilan klinis berikut:
1) Dehidrasi yang terlihat secara klinis
2) Syok
3) Gangguan kesadaran
4) Gagal jantung
5) Pernapasan yang dalam dan berat
6) Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah
berparasit).
7) Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10
ml/kgBB selama 3–4 jam lebih baik daripada pemberian darah
utuh. Jika tidak tersedia, beri darah utuh segar (20 ml/kgBB)
dalam 3–4 jam.
8) Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit.
Jika salah satu di antaranya mengalami peningkatan, lambatkan
transfusi. Jika anak tampak mengalami kelebihan cairan karena
transfusi darah, berikan furosemid 1–2 mg/kgBB IV, hingga
jumlah total maksimal 20 mg.
9) Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan
sebelumnya, ulangi transfusi.
10) Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan
komplikasi yang umum terjadi dan serius. Berikan komponen
sel darah merah atau darah utuh, 10 ml/kgBB (bukan 20
ml/kgBB) hanya sekali dan jangan ulangi transfusi.

3. Manajemen Penanganan Pada bayi kekurangan Volume cairan

19
Penanganan pada bayi yang mengalami syok hipovolemik
Cek apakah anak tidak dalam keadaan gizi buruk. Pasang infus (dan
ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium gawat darurat), Masukkan
larutan Ringer Laktat/Garam Normal — pastikan aliran infus berjalan
lancar Alirkan cairan infus 20 ml/kgBB secepat mungkin.
Umur/Berat Badan (20 ml/kgBB) Volume Ringer Laktat/Garam
Normal
2 bulan (< 4 kg) 75 ml
2 – < 4 bulan (4– < 6 kg) 100 ml
4 – < 12 bulan (6– < 10 kg) 150 ml
1 – < 3 tahun (10– < 14 kg) 250 ml
3 – < 5 tahun (14–19 kg) 350 ml

Nilai kembali setelah volume cairan infus yang sesuai telah diberikan :

a. Jika tidak ada perbaikan, ulangi 20 ml/kgBB aliran secepat


mungkin.
b. Nilai kembali setelah pemberian kedua.
c. Jika tidak ada perbaikan, ulangi 20 ml/kgBB aliran secepat
mungkin

Nilai kembali setelah pemberian ketiga, Jika tidak ada perbaikan, periksa
apakah ada perdarahan nyata yang berarti:

a. Bila ada perdarahan, berikan transfusi darah 20 ml/kgBB aliran


secepatmungkin (bila ada fasilitas).
b. Bila tidak ada perdarahan, pertimbangkan penyebab lain selain
hipovolemik.
c. Bila sudah stabil rujuk ke rumah sakit rujukan dengan
kemampuanlebih tinggi yang terdekat setelah pasien stabil.

20
Tatalaksana Pemberian Cairan Pada Bayi Dengan Kekurangan
Volume Cairan

Kebutuhan total cairan per hari seorang anak dihitung dengan formula
berikut:

100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, lalu 50 ml/kgBB untuk 10 kg


berikutnya, selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kg BB-nya.
Sebagai contoh, seorang bayi dengan berat 8 kg mendapatkan 8 x 100 ml =
800 ml setiap harinya, dan bayi dengan berat 15 kg (10 x 100) + (5 x 50) =
1250 ml per hari.

Berat Badan anak Cairan (ml/hari)


2 kg 200 ml/hari
4 kg 400 ml/hari
6 kg 600 ml/hari
8 kg 800 ml/hari
10 kg 1000 ml/hari
12 kg 1100 ml/hari
14 kg 1200 ml/hari
16 kg 1300 ml/hari
18 kg 1400 ml/hari
20 kg 1500 ml/hari
22 kg 1550 ml/hari
24 kg 1600 ml/hari
26 kg 1650 ml/hari

21
Berikan anak sakit cairan dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah di
atas jika terdapat demam (tambahkan cairan sebanyak 10% setiap 1°C
demam)
Memantau Asupan Cairan
Perhatikan dengan seksama untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat
pada anak yang sakit berat, yang mungkin belum bisa menerima cairan oral
selama beberapa waktu. Pemberian cairan sebaiknya diberikan per oral
(melalui mulut atau NGT). Jika cairan perlu diberikan secara IV, pemantauan
yang ketat penting sekali karena adanya risiko kelebihan cairan yang dapat
menyebabkan gagal jantung atau edema otak. Jika pemantauan ketat ini tidak
mungkin dilakukan, pemberian cairan secara IV harus dilakukan hanya pada
tatalaksana anak.

22
4. Manajemen Penanganan Bayi Dengan Obstruksi Jalan Napas
Tidak ada dugaan trauma leher Bayi/Anak sadar
a. Lakukan Head tilt (posisikan kepala sedikit mendongak atau posisi
netral) dan Chin lift (angkatdagu ke atas)

b. Lihat rongga mulut dan keluarkanbenda asing bila ada danbersihkan


sekret dari ronggamulut.
c. Biarkan bayi/anak dalam posisiyang nyaman.
Bayi/Anak tidak sadar
a. Lakukan Head tilt (posisikankepala mendongak atau Sniffingposition)
dan Chin lift (angkatdagu ke atas)
b. Lihat rongga mulut dan keluarkanbenda asing bila ada danbersihkan
sekret dari ronggamulut.
c. Evaluasi jalan napas denganmelihat pergerakan dinding dada(Look),
dengarkan suara napas(Listen), dan rasakan adanyaaliran udara napas
(Feel)
Tata laksana jalan napas lanjutan Bayi:
a. Digunakan untuk mempertahankan jalannapas pada anak yang tidak
sadar bilatindakan chin lift atau jaw thrust tidakberhasil (lidah jatuh).
b. Tidak boleh diberikan pada anak dengan kesadaran baik.
c. Ukuran disesuaikan dengan jarak antaragigi seri dengan angulus
mandibulaPosisikan anak untuk membuka jalannapas, jaga agar tidak
menggerakkan

23
d. Dengan menggunakan spatel lidah,masukkan Guedel dengan bagian
cembung

e. Periksa kembali bukaan jalan napas.


f. Jika perlu gunakan jalan napas denganukuran berbeda atau posisikan
kembali.
g. Berikan oksigen

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap kelainan
akumulasi bilirubin dalam darah. Karakteristik dari hiperbilirubinemia adalah
jaundice dan ikterus. Hiperbilirubinemia terbagi menjadi dua kondisi, yaitu
hiperbilirubinemia fisiologis dan hiperbilirubinemia patologis.
Hiperbilirubinemia fisiologis akan membaik kondisinya seiring dengan
berjalannya waktu. Namun hiperbilirubinemia patologis akan membahayakan
apabila tidak ditangani dengan baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Waluyo, Eko. 2015. Hiperbilirubinemia.


http://repository.ump.ac.id/2739/3/Eko%20Waluyo%20BAB%20II.pdf. Di
akses pada tanggal 14 Agustus 2018 pukul 13.00 WITA
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. 2010. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Mathindas, Wilar, Wahani; .2013. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Manado:
Universitas Sam Ratulangi Manado
Sholeh, dkk. 2010. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Wong. 2007. Buku Ajar Keperawatan Pedriatik Wong, Ed. 6 Vol. 1. Jakarta: EGC

26

Anda mungkin juga menyukai