I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Komoditas kopi di Indonesia memegang peranan penting, baik sebagai sumber
devisa maupun peranannya terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani. Sampai saat
ini indonesia dikenal sebagai negara pengahasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah
Brazil, dan Kolumbia (Mawardi, 1992). Areal kopi Indonesia pada tahun 1996 mencapai
1.178.363 ha dengan total produksi mencapai 478.851 ton. Dari luasan tersebut 95 %
merupakan Perkebunan Rakyat, sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Swasta, dan
Perkebunan Negara (Ditjenbun, 1997). Jenis kopi Robusta merupakan pertanaman yang
lebih dominan, namun dalam perdagangan kopi dunia jenis Arabika menempati proporsi
terbesar yaitu mencapai 70 %. Dari perolehan devisa komoditas perkebunan Indonesia,
kopi menduduki urutan keempat setelah kayu, karet, dan kelapa sawit. Pada tahun 1995
volume ekspor kopi sebesar 230.201 ton dengan nilai US $ 606.364.000 (AEKI, 1996;
Ditjenbun, 1996).
Di Sulawesi Selatan, pengembangan kopi terutama jenis Arabika diarahkan pada
kawasan MADUTORA (Mamasa, Duri, dan Tana Toraja). Hingga tahun 1998, areal
kopi di daerah ini tercatat 85.580 ha, 49 % diantaranya merupakan pertanaman kopi
Arabika dengan produksi 12.524,17 ton. Masalah yang dihadapi adalah produktivitas
yang masih rendah berkisar 500 – 900 kg/ha/tahun (Disbun Sulsel, 1999) dibandingkan
dengan potensi di atas 1.500 kg/ha/tahun (Nur dan Soenarjo, 1990).
Upaya peningkatan produksi dihadapkan pada beberapa faktor pembatas
diantaranya : paket teknologi spesifik lokasi, mutu sumberdaya manusia, dan kesiapan
kelembagaan pendukung, serta topografi wilayah pengembangan yang variatif.
Tanaman kopi dikenal sebagai salah satu tanaman yang disukai oleh banyak jenis
serangga hama. Sampai saat ini tercatat lebih dari 900 jenis serangga hama pada tanaman
kopi yang tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia terdapat beberapa jenis yang bersifat
sebagai hama utama tanaman kopi, yaitu : Hama penggerek buah kopi (PBKo) atau
Hypothenemus hampei, penggerek cabang hitam Xylosandrus compactus (Eichhoff),
penggerek cabang coklat X. morigerus (Blandford), kutu hijau Coccus viridis Green,
penggerek batang merah Zeuzera coffea, dan hama bubuk buah Stephanoders hampei.
Menurut Sulistyowati (1992), serangga tersebut merupakan hama-hama utama yang
menyerang tanaman kopi sejak dipertanaman hingga penyimpanan buah kopi digudang.
Berbagai upaya pengendalian dapat ditempuh untuk mengurangi kehilangan hasil akibat
serangan hama, yaitu : pengendalian secara biologis, pengendalian secara kimiawi, dan
pengendalian secara kultur teknis.
Pada dasarnya teknik budidaya kopi arabika tidak banyak berbeda dengan
budidaya kopi umumnya, kecuali dalam hal kultur teknis yang berkaitan dengan
pemakaian bahan kimia sintetik. Pemeliharaan kesuburan tanah dan pengendalian hama
serta penyakit merupakan dua aspek kultur teknis yang banyak menggunakan bahan
kimia sintetik, yaitu pupuk buatan dan pestisida. Pengendalian PBKo misalnya, hingga
saat ini masih banyak menggunakan insektisida. Aplikasi insektisida pada perkebunan
rakyat cukup sulit dilakukan, biayanya tinggi, dan tidak ramah lingkungan. Karena itu
diperlukan upaya agar kehilangan hasil akibat serangan hama dapat diperkecil dan
produktivitas dapat ditingkatkan. Salah satunya adalah pengendalian hama dengan cara
kultur teknis, berupa pemangkasan baik pada tanaman kopi maupun pada tanaman
penaung..
Pemangkasan merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur teknis yang
dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama utama pada pertanaman kopi.
Pemangkasan dilakukan baik pada tanaman kopi maupun terhadap tanaman penaung.
Disamping itu tindakan pemangkasan pada tanaman kopi ditujukan untuk menghindari
kelembaban yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan dapat
berlangsung secara intensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat penyinaran merata
guna merangsang pembungaan, dan membuang cabang tua yang kurang produktif atau
terserang hama/penyakit sehingga hara dapat didistribusikan ke cabang muda yang lebih
tanaman utama (kopi) dan tanaman penaung berupa pemangkasan, untuk skala
perkebunan rakyat merupakan alternatif pengendalian yang cukup efektif dan
berwawasan lingkungan untuk diterapkan.
Yahmadi (1972); Hatobudoyo (1975); Willson (1985); dan Mitchell (1989)
menyatakan bahwa tujuan utama pemangkasan tanaman kopi adalah sebagai berikut :
1. Agar tanaman kopi tetap rendah, sehingga memudahkan perawatan dan
peningkatan hasil.
2. Membentuk cabang-cabang produksi yang baru secara kontinyu dalam jumlah
optimal
3. Menghilangkan cabang-cabang tua yang tidak produktif, cabang yang terserang
hama penyakit, cabang-cabang liar yang tidak dikehendaki.
4. Mempermudah masuknya cahaya dan memperlancar sirkulasi udara di dalam
tajuk, sehingga akan meningkatkan rangsangan pembentukan bunga dan
mengoptimalkan penyerbukan bunga.
5. Mempemudah pengendalian hama
6. Mengurangi terjadinya fluktuasi produksi yang tajam (biennial bearing) dan
resiko kematian tanaman akibat pembuahan yang berlebihan (over bearing die
back).
7. Mengurangi dampak kekeringan. Pemangkasan dapat mengurangi laju transpirasi
tanaman dari cabang-cabang yang produktif, sehingga penggunaan lengas tanah
yang terbatas dimusim kemarau lebih efisien.
Untuk mendapatkan tanaman kopi yang baik dan produktif sebaiknya selalu
dilakukan pemangkasan baik terhadap tanaman pelindung maupun tanaman pokok. Pada
tanaman kopi terdapat berbagai macam pemangkasan antara lain : 1) pemangkasan
bentuk dimaksudkan untuk membentuk mahkota pohon sesuai yang dikehendaki dan agar
tanaman tidak tumbuh tinggi, 2) Pangkasan pemeliharaan, yang terdiri dari wiwilan,
pemangkasan berat, dan pemangkasan yang ditujukan untuk pemberantasan hama dan
penyakit, dan 3) Pemangkasan peremajaan (rejuvinasi), adalah pemangkasan yang
ditujukan untuk meremajakan kebun kopi yang sudah tua dan tidak produktif menjadi
muda kembali tanpa perlu melakukan penanaman tanamn baru (Anonim, 1995).
Pemanfaatan pohon pelindung pada pertanaman kopi mempunyai beberapa
keuntungan (Anonim, 1995) diantaranya :
1. Guguran dan pangkasan daun dapat dijadikan sumber bahan organik.
2. Melindung bahan organik dari lapisan tanah atas terhadap pembakaran akibat
sinar matahari yang terik.
3. Perakaran pohon pelindung yang telah membusuk, dapat membantu adanya
drainase dan peredaran udara serta air dalam tanah
4. Mengurangi biaya penyiangan dan membatasi pertumbuhan gulma
5. dapat menurunkan suhu air dan tanah pada musim panas, dan dapat meningkatkan
suhu bila keadaan terlalu dingin, sehingga akanmenghasilkan iklim mikro yang
menguntung bagi tanaman kopi
6. Menghindari terjadinya over produksi, sehingga mengurangi kasus mati awal bagi
tanaman kopi.
Pohon pelindung yang sering digunakan pada perkebunan kopi adalah : Dadap
(Eurythrina lithosperma/ Eurythrina subumbrans), Sengon laut (Albizzia falcata),
Lamtoro (Leucaena glauca), dan Gamal (Glirisidia sp.) (Anonim, 1995).
Penggunaan Gamal (Glirisidia sp.) sebagai tanaman penaung pada pertanaman
kopi terbukti sangat bermanfaat, namun jenis ini memerlukan manajemen pemangkasan
yang baik agar daunnya tidak banyak yang gugur pada musim kemarau (Sudarsianto,
2000).
Namun demikian penggunaan pohon pelindung juga mempunyai beberapa
kelemahan (Anonim, 1995) 1antara lain :
1. Pohon pelindung akan merupakan pesaing bagi tanaman kopi dalam penyerapan
hara dan air.
2. Perkebunan kopi di Brazil dan Kenya yang mempunyai pohon pelindung mampu
berproduksi dua kali setahun dan produktivitasnya lebih tinggi, namun umur
tanaman tidak tahan lama, karena perakaran pohon pelindung merusak struktur
tanah, sehingga mudah terjadi erosi. Akibatnya masa produksi tanaman kopi
menjadi lebih pendek.
V. HASIL PENGKAJIAN
a. Karakteristik Umum
Tana Toraja merupakan salah daerah sentra pengembangan dan produksi kopi
arabika di Sulawesi Selatan selain Enrekang dan Polmas. Kiabupaten Tana Toraja
terletak di ujung utara bagian tengah propinsi Sulawesi Selatan, berada pada 1190 –
1200BT dan 20 –
30 LS atau berjarak ± 360 km dari kotamadya Makassar. Wilayah
kabupaten Tana Toraja terdiri dari 15 kecamatan, 292 desa/kelurahan (Dishutbun, 2001)
dengan batas-batas : sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Luwu dan Mamuju,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, sebelah selatan berbatasan dengan
kabupaten Enrekang, dan Pinrang, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten
Polmas. Daerah ini mempunyai luas wilayah 3.205,77 km2, dengan jumlah penduduk
391.465 jiwa dengan kepadatan 122,11 jiwa per km2. Ketinggian tempat bervariasi
antara 300-2.889 m di atas permukaan laut (dpl). Topografi datar, landai, berbukit, dan
bugunung-gunung dengan tingkat kemiringan 5-45 %. Kabupaten Tana Toraja terdiri
atas 40 % pegunungan, 20 % dataran tinggi, 38 % dataran rendah, dan 2 % rawa-rawa
dan sungai. Lahan pertanian didominasi oleh lahan kering seluas 299.420 ha, lahan
sawah 21.157 ha (BPS, 1997). Potensi lahan untuk pengembangan komoditas
perkebunan mencapai 24.187,92 ha. Sedangkan areal perkebunan khususnya tanaman
kopi robusta dan kopi arabika hingga tahun 2001 masing-masing seluas 12.862,55 ha dan
15.010,57 ha (Dishutbun Tana Toraja, 2002).
b. Kondisi Biofisik Lokasi Pengkajian
Pengkajian pengembangan sistem usahatani kopi arabika di Sulawesi Selatan
dilaksanakan si desa Gandang batu, kecamatan Mengkendek. Daerah ini merupakan
salah satu wilayah pengembangan kopi arabika dari 28 desa di kecamatan Mengkendek,
kabupaten Tana Toraja. Desa Gandang Batu berbatasan dengan desa Sillanan pada
sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Enrekang, sebelah barat
berbatasan dengan desa Benteng Ambeso, dan sebelah timur berbatasan dengan desa
Buntu Limbung. Desa ini berjarak ± 22 km dari pusat kota Makale atau berjarak 338 km
dari kota Makassar. Topografi desa Gandang Batu umumnya bergunung dan berbukit
dengan ketinggian tempat 900-1100 m dpl, serta kemiringan lahan 15 – 45 %. Jumlah
penduduk desa Gandang Batu berdasarkan data terakhir tahun 2001 tercatat 1235 jiwa,
terdiri dari 765 jiwa laki-laki dan 470 jiwa perempuan dengan 435 kepala keluarga
(KK). Lahan pertanian di desa ini didominasi oleh lahan kering yaitu 1327 ha yang
cukup potensil untuk pengembangan tanaman perkebunan, dan selebihnya berupa lahan
sawah 105 ha.
Luas pertanaman kopi arabika di desa Gandang Batu sampai dengan tahun 2001
tercatat 83 ha yang terdiri dari 80 ha tanaman menghasilkan (TM) dan 3 ha tanaman tua
(TT) (Dishutbun, 2002). Berdasarkan data curah hujan 5 tahun terakhir (1998-2002)
rata-rata 1139 – 2387 mm/tahun dengan 13 hari hujan/bulan (Gambar 1). Sedangkan
rata-rata curah hujan selama periode penelitian dari Januari 2003 sampai Desember 2003
adalah 110,08 mm/bulan, dengan rata-rata hari hujan 9,83 hari/bulan. Agihan rata-rata
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Mei dan terendah pada bulan
Juni sampai September seperti terlihat pada Gambar 2. Suhu udara rata-rata 250 C
dengan suhu tertinggi 300 C dan terendah 180 C, dengan kelembaban udara mencapai
88,36 %. Jenis tanah didominasi oleh mediteran, fodsolik merah kuning, dan regosol.
350
350
300
300
250
mm hh
Curah Hujan (mm) & hari hujan
250
Curah Hujan (mm)
200
200
150
150
mm hh
100 100
50 50
0 0
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC
Bulan
Bulan
c. Karakteristik Petani
Pengambilan data karakteristik petani dilakukan melalui wawancara terhadap 10
petani yang mempunyai pertanaman kopi arabika. Ciri petani dibedakan menurut umur,
pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga, luas pertanaman kopi,
dan status kependudukan. Karakteristik petani kopi arabika di desa Gandang Batu dapat
dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 nampak sebagian besar petani berumur antara 20-40 tahun dengan
tingkat pendidikan 80 % tamat SD, bahkan terdapat 10 % diantaranya tamat SLTA. Hal
ini menggambarkan bahwa rata-rata petani kopi arabika di daerah pengkajian masih
tergolong berusia produktif. Rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki menunjukkan
bahwa petani dapat membaca dan menulis, sehingga diharapkan mampu memahami,
mengikuti, dan menguasai teknologi terutama yang berhubungan dengan usahatani kopi
arabika. Dari hasil wawancara diketahui bahwa petani sudah cukup lama menanam kopi
arabika. Terdapat 50 % petani yang telah mengelola kopi arabika antara 11-16 tahun.
Walau demikian tingkat produktivitas maksimum belum mampu dicapai. Melalui
bimbingan dan penyuluhan yang intensif diharapkan dapat mendukung upaya penerapan
teknologi produksi sampai ke tingkat petani.
Tabel 1. Karakteristik Petani di desa Gandang Batu, kec. Mengkendek, kab. Tana Toraja,
2003.
No Uraian Persentase
1. Umur (tahun)
- 20-35 35
- 36-50 35
- > 50 30
2. Pendidikan (tahun)
- tidak tamat SD 20
- tamat SD 50
- tamat SLTP 20
- tamat SLTA 10
3. Pengalaman berusahatani kopi (tahun)
- 5-10 25
- 11-16 50
- > 16 25
4. Jumlah anggota keluarga (jiwa)
- 3-5 50
- >5 50
5. Luas pertanaman kopi Arabika (ha)
- 0,25-1,00 20
- > 1,00 80
Selanjutnya pada Tabel 1 nampak bahwa 80 % petani memiliki luas lahan lebih
dari 1 ha. Pada kondisi demikian dibutuhkan curahan tenaga kerja yang cukup besar,
untuk mengelola usahatani dengan baik. Namun pada kenyataannya angkatan kerja yang
tersedia sangat terbatas. Akibatnya pemeliharaan tanaman sangat kurang, sehingga
produksi maksimal sulit tercapai.
Tabel 2. Keragaan teknologi budidaya kopi arabika di desa Gandang Batu, kec.
Mengkendek, kab. Tana Toraja, 2003
d. Produksi (kg/ha)
• < 200 25
• 200-400 65
• >400 10
rendah oleh petani. . Pemasaran hasil melalui perusahaan pengelola mematok harga lebih
tinggi, akan tetapi petani sering tidak mampu memenuhi standar kualitas yang
diinginkan oleh perusahaan, seperti kebersihan, keseragaman biji, kadar air dan
sebagainya.
e. Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis keragaan lebar tajuk dan diameter batang tanaman kopi, sebelum
dan sesesudah pemangkasan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan lebar tajuk dan diameter batang pada pengkajian pemangkasan pada
tanaman kopi arabika di desa Gandang Batu, 2003.
Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum lebar tajuk
tanaman kopi sebelum pemangkasan relatif sama. Perbedaan lebar tajuk pada tanaman
kopi mulai terlihat setelah dilakukan pemangkasan. Kanopi tanaman tanpa dipangkas
terlihat jelas lebih lebar (174,6 cm) dibandingkan dengan tanaman yang dipangkas ringan
1 kali maupun 2 kali setelah pemangkasan berat. Demikian pula, nampak ada
kecenderungan pemangkasan pemeliharaan 2 kali setiap 3 bulan setelah pemangkasan
berat, mempunyai tajuk yang lebih lebar (P1 = 139,9 cm dan P3 = 145,6 cm) dari pada
lebar tajuk tanaman kopi (P2 = 128,7 cm dan P4 = 126,3 cm) yang dipangkas 1 kali
setelah pemangkasan berat. Selanjutnya secara umum ada perbedaan lebar tajuk sebelum
dan sesudah pemangkasan, dimana tajuk lebih sempit setelah dilakukan pemangkasan.
Sedangkan diameter batang tidak memperlihatkan perbedaan yang jelas antar perlakuan,
baik yang dipangkas ringan 1 kali maupun 2 kali, demikian pula sebelum dan setelah
pemangkasan tanaman penaung dan tanaman kopi.
Jumlah cabang produktif dan panjang cabang produktif tanaman kopi, sebelum
dan sesudah pemangkasan disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa
perkembangan tanaman kopi membentuk cabang produktif jika tidak dipangkas (P5)
nampak sangat minim (12,8), jika dibandingkan dengan jumlah cabang produktif
pertanaman yang dipangkas 1 kali dan 2 kali dikombinasi pemangkasan tanaman
penaung 20 % dan 40 %. Data pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata jumlah cabang produktif dari tanaman kopi dipangkas 1 kali
maupun dipangkas 2 kali. Namun ada kecenderungan dengan melakukan pemangkasan
tanaman kopi 2 kali akan menghasilkan cabang produktif lebih banyak dibandingkan
dengan pemangkasan 1 kali, baik yang dikombinasi dengan pemangkasan tanaman
penaung 20 % maupun 40 %. Selanjutnya hasil uji t pada Tabel 4. terlihat bahwa
pembentukan cabang produktif setelah dipangkas nyata lebih banyak dibandingkan
sebelum dipangkas.
Tabel 4. Rataan Jumlah cabang produktif dan panjang cabang produktif pada pengkajian
pemangkasan pada tanaman kopi arabika, desa Gandang Batu 2003.
Perlakuan Jumlah Cabang Produktif Panjang Cabang Produktif (cm)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
( P1 ) 12,6 22,2 74,4 66,9
( P2 ) 10,7 18,4 69,8 62,3
( P3 ) 11,2 23,6 76,6 71,2
( P4 ) 9,9 19,8 75,1 65,8
( P5 ) 11,4 12,8 73,2 90,6
Rata-Rata 11,16 21,00 73,82 66,55
Data pada Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa laju pertambahan panjang cabang
produktif pada pertanaman yang tidak dipangkas lebih tinggi (90,6 cm) jika dibandingkan
dengan pertanaman yang dipangkas (66,55 cm). Selanjutnya, kombinasi pemangkasan
tanaman kopi dan tanaman penaung tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap
panjang cabang produktif.
f. Komponen Hasil
Keragaan jumlah ruas produktif per cabang produktif dan jumlah buah per ruas
produktif pada pengkajian pemangkasan tanaman kopi disajikan pada Tabel 5.
Tingkat
No. Paket Teknologi Persentase Petani ( % ) Masalah
Adopsi
(%) Koperator Non Koperator
1. Pemangkasan 25 100 45 Tenaga kerja kurang
Peggunaan pupuk Belum mengetahui
2. 25 100 25
organik (Bokashi) cara membuat
3. Rorak 25 100 25 tenaga kerja kurang
4. Sanitasi lingkungan 25 100 50 Tenaga kerja kurang
petani hanya memangkas terbatas pada wiwilan dan cabang liar lainnya. Penggunaan
pupuk organik Bokashi belum memasyakat di tingkat petani, akibatnya hanya 25 %
petani yang menerapkan. Selain belum mengetahui cara pembuatan bokashi, nampaknya
petani masih sedang mengamati kondisi pertumbuhan tanaman yang diperlakukan dengan
pupuk organik tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui prospek pemanfaatan
bokashi di lokasi pengkajian cukup baik. Hal ini disebabkan oleh tingginya harga pupuk
buatan yang tidak diimbangi peningkatan dengan harga kopi. Biaya tenaga kerja yang
cukup tinggi, serta kurangnya ketersediaan tenaga di lokasi pengkajian nampaknya
menjadi alasan utama sehingga masih kurang petani (25 %) yang mampu mengadopsi
teknologi pembuatan rorak. Umumnya petani hanya membiarkan hasil pangkasan
tanaman berserakan disekitar perakaran yang kemudian melapuk dengan sendirinya.
Selanjutnya sanitasi lingkungan (Tabel 7) masih kurang mendapat perhatian oleh petani
non koperator dengan alasan kekurangan tenaga. Hanya terdapat 50 % petani yang
sanggup mengelola kebersihan kebun terutama terhadap gangguan gulma dan sisa-sisa
cabang dan ranting hasil pangkasan untuk kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk
organik.
VI. PEMBAHASAN
Karakteristik Sumberdaya, sistem usahatani, dan keragaan teknologi budidaya.
Tanaman kopi arabika merupakan jenis tanaman perkebunan yang memerlukan
karakteristik lingkungan tumbuh tertentu terutama dalam hal iklim, tanah dan topografi.
Agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, maka tanaman kopi menghendaki
lingkungan dengan suhu 15 – 250 C dan sebaran curah hujan 1500-2.500 mm/tahun
dengan periode kering 1-3 bulan (Willson, 1985 dan Mitchell, 1989). Ditambahkan oleh
Maestri dan Barros (1977) bahwa suhu optimum yang lebih rendah 18-210 C. Suhu di
atas 250 C mulai menghambat pertumbuhan karena laju fotosintetis bersih menurun.
Kenyataan menunjukkan bahwa wilayah pengkajian di desa Gandang Batu, kecamatan
Mengkendek, Tana Toraja didominasi oleh topografi berbukit dan gunung dengan
ketinggian 900-1100 m dpl., kemiringan lahan 15-45 % dan type iklim A. mempunyai
suhu rata-rata 230 C dan suhu terendah 180 C. Berdasarkan kriteria tumbuh tampaknya
lokasi pengkajian cukup sesuai untuk pengembangan kopi arabika.
Pengembangan dan peningkatan produktivitas komoditas perkebunan terutama
tanaman kopi arabika tidak terlepas dari peranan petani sebagai pengelola usahataninya.
Petani sebagai pelaksana dalam pengorganisasian sumberdaya, sangat berperan pada
suatu sistem usahatani terutama yang berhubungan dengan adopsi teknologi.
Keuntungan optimal hanya dapat dicapai jika semua faktor produksi termasuk teknologi
telah dialokasikan secara maksimal sehingga mampu mamberi manfaat yang sebaesar-
besarnya. Umur petani, pendidikan, pengalaman berusahatani, sumberdaya yang dimiliki
seperti : sumberdaya lahan, modal, ketersediaan tenaga kerja dan skill management
sangat berperan dalam proses percepatan adopsi teknologi ke tingkat petani. Pada Tabel
1 tampak bahwa umur sebagian besar petani (70 %) berkisar antara 20-50 tahun dengan
tingkat pendidikan rata-rata tamat Sekolah Dasar. Berdasarkan umur dan tingkat
pendidikan, petani umumnya masih tergolong usia produktif, dapat membaca dan
menulis. Selain itu, pengalaman berusahatani kopi sebagian besar petani mencapai 11-16
tahun. Pengalaman ini dapat dimanfaatkan petani sebagai pembanding dalam mengadopsi
teknologi anjuran. Semua kondisi di atas diharapkan dapat mendukung proses percepatan
adopsi teknologi, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi
dan pendapatan petani.. Pada Tabel 1 nampak pula bahwa 50 % petani mempunyai
jumlah anggota keluarga 3-5 orang. Kenyataan yang dihadapi di lapang bahwa
penerapan teknologi anjuran masih sulit dilakukan akibat kurangnya tenaga kerja. Hal ini
menggambarkan bahwa angkatan kerja dalam setiap keluarga masih belum berimbang
dengan kemampuan menggarap luas lahan yang sebagian besar (80 %) melebihi 1 ha.
Nappu dkk., (2000) menyatakan bahwa, idealnya kebutuhan tenaga kerja pada setiap
hektar areal kopi arabika berkisar 4-5 orang.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa umumnya petani tidak mempersiapkan pertanaman
kopi dengan baik. Hanya 45 % petani menggunakan tanaman pelindung sementara saat
akan menanam kopi, dan selanjutnya sudah tidak ada manajemen pohon pelindung yang
baik. Pertanaman kopi yang ada saat ini didominasi varietas Lini S-795, ditanam dengan
dengan tanaman yang dipangkas. Akan tetapi, tajuk tanaman cenderung lebih lebar
(139,9 cm dan 145,6 cm) pada tanaman yang dipangkas dua kali setelah pemangkasan
berat dibandingkan lebar tajuk tanaman yang dipangkas satu kali setelah pemangkasan
berat, masing-masing : 128,7 cm dan 126,1 cm. Selanjutnya hasil analisis terhadap
diameter batang, tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antara tanaman yang
dipangkas dengan tanaman yang tidak dipangkas.
Sejalan dengan lebar tajuk, nampak bahwa cabang yang terbentuk setelah
pemangkasan rata-rata lebih pendek (66,55 cm) dibandingkan panjang cabang sebelum
pemangkasan (73,82 cm). Cabang tanaman yang tidak diperlakukan dengan
pemangkasan nyata lebih panjang dibandingkan cabang tanaman yang dipangkas. Data
pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa, rata-rata panjang cabang tanaman yang
dipangkas 2 kali setelah pemangkasan berat berturut-turut 66,9 cm (P1) dan 71,2 cm (P3)
cenderung lebih panjang daripada cabang tanaman yang dipangkas hanya 1 kali setelah
pemangkasan berat yaitu 62,3 cm (P2) dan 65,8 cm (P4). Sebaliknya jumlah cabang
produktif (Tabel 4) yang terbentuk pada tanaman yang telah dipangkas lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah cabang pada tanaman yang tidak dipangkas. Disamping itu
pemangkasan 2 kali pada tanaman kopi dihasilkan cabang yang lebih banyak (22,2 dan
23,6) dibandingkan dengan jumlah cabang pada perlakuan pemangkasan 1 kali (18,4 dan
19,8). Kondisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : pemangkasan berat yang
dilakukan pada tanaman kopi pada prakteknya adalah menggunting/membuang cabang-
cabang primer dan cabang sekunder yang sudah tua, cabang yang terserang hama
penyakit dan cabang yang tidak produktif lagi. Cabang-cabang tersebut adalah cabang
plagiotrof yang arah pertumbuhannya kesamping sehingga jika dipangkas tentunya akan
berpengaruh terhadap pajang cabang dan lebar tajuk tanaman. Kenyataan di lapang,
setelah pemangkasan berat akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan cabang-
cabang ortotrof (cabang yang arah pertumbuhannya ke atas = wiwilan), cabang air,
cabang balik dan sebagainya. Cabang-cabang tersebut tumbuh lebih aktif dan lebih
banyak memanfaatkan hasil fotosintesis pada kondisi lingkungan yang
menguntungkandan. Jika tidak dipangkas akan berpengaruh negatif terhadap
VII. KESIMPULAN
X. Jadwal Palang
Tahun 2003 Bulan
Jenis Kegiatan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1. Persiapan/Apresiasi dan X
konsultasi
2. Penentuan lokasi dan X
petani kooperator
3. Penyuluhan dan X X X X X
Pelatihan Petani
4. Penerapan Paket tek. X X X X X
5. Monitoring/Evaluasi X X X X X
6. Pengamatan dan X X X X X
Pengumpulan Data
7. Temu Lapang X
8. Analisis Data dan X X
Pelaporan
9. Seminar Hasil Penelitian X
10. Distribusi Laporan X
Anonim, 1995. Budidaya tanaman kopi. Aksi Agraris Kanisius, Yogyakarta, hal 120.
Disbun Sul-Sel, 1999. Statistik perkebunan tahun 1998. Dinas Perkebunan Propinsi Dati
I Sulawesi Selatan 63 hal.
Hulupi, R. dan S. Mawardi, Bahan tanaman kopi arabika dan robusta serta pengenalan
varietas kopi arabika dan klon kopi robusta. Bahan Pelatihan Teknik Budidaya
dan Pengolahan Kopi, Buku I . Pusat Penelitian Perkebunan Jember, 13 hal.
Mawardi, S., 1992. Botani Kopi. Bahan pelatihan teknik budidaya dan pengolahan kopi.
Buku I, Pusat Penelitian Perkebunan Jember. 61 hal.
Nappu, M.B., B.A. Lologau, A. Darmawidah, A., J. Biri, dan G. Aidar, 2000.
Pengkajian sistem usahatani kopi organik. Laporan Hasil Pengkajian T.A.
1999/2000 (belum diterbitkan). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kendari,
41 hal.
Nur, AM., dan Soenarjo, 1990. Usaha peningkatan produksi dan mutu kopi. Dalam :
Darwis, S.N. dkk. (ed). Prosiding Temu Tugas Perkebunan dan Tanaman Industri
Lingkup Prop. Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
Pujianto, 1996. Status bahan organik tanah pada perkebunan kopi dan kakao di Jawa
timur. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol 12 (2). Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao. Assosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Jember, 147 hal.
Tandisau, P., B. Pattang, dan P.S. Tangitimbang, 1999. Pengkajian sistem usaha
pertanian kakao berbasis ekoregional lahan kering. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Kendari.
Wibawa, A., 1996. Pengelolaan bahan organik di perkebunan kopi dan kakao. Warta
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol 12 (2). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Assosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Jember, 147 hal.
Wilson, K.C., 1985. Climate and soil pp.97-107. In : M.N. Clifford & K.C. Wilson.
Coffee : botany, biochemistry and produktion of beans and baverage. Croom
Helm Ltd.
Wiryadiputra, 1996. Uji terap pengendalian hama bubuk buah kopi menggunakan jamur
Beauvaria di Sulawesi Selatan. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol 12
(2). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Assosiasi Penelitian Perkebunan
Indonesia, Jember, 147 hal.
Yahmadi, M., 1972. Budidaya dan pengolahan kopi. Balai Penelitian Perkebunan
Jember, 99 hal.
Lampiran 1. Hasil analisis kandungan hara Bokashi dan hara tanah di lokasi pengkajian
sebelum aplikasi pupuk, 2003.
Lampiran 2.