Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ANEMIA GRAVIS


DI RUANG 28 IRNA I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL
ANWAR MALANG

OLEH:
Intan Dwi Arini, S. Kep
NIM 182311101078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Anemia


Gravis di Ruang 28 IRNA I RSUD dr. Saiful Anwar Malang telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat :

Malang, Oktober 2018

Mahasiswa

Intan Dwi Arini,S.Kep


NIM 182311101078

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang 28 IRNA 1
Universitas Jember RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Ns. Fitrio Deviantony, M.Kep Fitria Khoirun Nisak, S.Kep., Ns


NRP. 760018001 NIP. 19891130 201403 2 001
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit
1. Anatomi Fisiologi Sistem Hematologi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk
sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan
organ yang lain karena berbentuk cairan. Dalam keadaan fisiologis, darah selalu
berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai
pembawa oksigen (oxygen carrier), mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi
dan mekanisme hemostasis (Handayani dan Haribowo, 2008). Darah merupakan
suatu suspensi partikel dalam suatu larutan kolid cair yang mengandung elektrolit
dan merupakan suatu medium pertukaran antar sel yang terfikasi dalam tubuh dan
lingkaran luar (Price dan Wilson, 2005). Pada umumnya, darah terdiri dari dua
komponen utama, yaitu:
a) 55% adalah sel plasma, cairan matriks ekstraselular yang mengandung zat-zat
terlarut
b) 45% adalah sel darah, unsur yang diedarkan yang terdiri dari sel dan fragmen-
fragmen sel. Komponen padat yang terdapat di dalam plasma darah yang
terdiri dari sel eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan
trombosit (bekuan darah) (Evelyn, 2009; Pearce, 2006).
Pada umumnya, sekitar 99% dari unsur yang diedarkan merupakan sel darah
merah (eritrosit), kurang dari 1% adalah sel darah putih (leukosit) dan platelet
(Tortora, 2009). Darah arteri berwarna merah terang yang menandakan bahwa
darah teroksigenasi dengan baik. Sementara darah vena berwarna gelap karena
kurang teroksigenasi. Darah mengalir 4-5 kali lebih lambat dibandingkan air
karena darah 4-5 kali lebih kental dari pada air. Berat jenis darah bervariasi
berkisar antara 1,054-1,065, suhu darah adalah 38oC, dan pH 7,38. Volume darah
dalam tubuh berkisar 8% dari berat badan, rata-rata mendekati 5-6 liter
(Syaifuddin, 2011).
1.1 Hematopoesis
Hematopoiesis adalah proses dan perkembangan sel darah. Pada masa embrio
dan fetus, proses ini melibatkan beberapa organ, yaitu hati, limpa, timus, getah
bening, dan sumsum tulang. Akan tetapi, setelah fetus dilahirkan sampai dewasa,
proses ini hanya melibatkan sumsum tulang dan sedikit peran dari getah bening
(Dorland, 2012). Sumsum tulang adalah jaringan lunak, berongga, dan terletak
pada bagian dalam dari tulang tengkorak, tulang skapula, tulang rusuk, tulang
panggul, dan tulang belakang. Semua jenis sel darah diproduksi di sumsum
tulang. Sumsum tulang terbentuk dari sejumlah kecil stem sel darah, sel
pembentuk darah, sel lemak, dan jaringan yang membantu pertumbuhan sel darah
(American Cancer Society, 2013).
Selama hematopoesis, stem sel mieloid berdiferensiasi menjadi sel progenitor.
Akan tetapi, beberapa stem sel mieloid dan stem sel limfoid berkembang secara
langsung menjadi sel. Sel – sel progenitor dikenal sebagai colony- forming units
(CFUs), yaitu: CFU-E yang menghasilkan sel eritrosit, CFU-Meg menghasilkan
megakariotik yang merupakan sumber platelet, sedangkan CFU-GM yang
menghasilkan granulosit (terutama neutrofil) dan monosit. Sel ini juga disebut
sebagai sel prekursor (sel blas). Secara keseluruhan, pembelahan sel ini akan
berkembang sesuai dengan sel pembentuknya. Contohnya, monoblas akan
berkembang menjadi monosit, eosinofil mieloblas berkembang menjadi eosinofil,
begitu juga selanjutnya (Tortora, 2009).

1.2 Plasma Darah


Plasma darah termasuk dalam kesatuan cairan ekstra seluler, dengan
volumenya kira-kira 5% dari berat badan. Susunan plasma terdiri dari 91 % air, 8
% protein (albumin, globulin, protombin dan fibrinogen), mineral 0,9% (kalsium,
fosfor, magnesium, besi dan lainnya) dam 0,1% diisi oleh sejumlah bahan organik
seperti glukosa, lemak, urea, asam urat, kreatinin, kolestrol dan asam amino.
Plasma darah juga berisi hormon-hormon, enzim dan antibodi (Pearce, 2009).
Protein dalam plasma darah terdiri dari:
a) Antihemolitik berguna mencegah anemia
b) Tromboplastin berguna dalam proses pembekuan darah
c) Protombin mempunyai peranan penting dalam pembekuan darah
d) Fibrinogen mempunyai peranan penting dalam pembekuan darah
e) Albumin berguna dalam pemeliharaan tekanan osmosis darah
f) Gammaglobulin berguna dalam senyawa antibodi yaitu mengangkut
metabolisme dari jaringan ke alat-alat pengeluaran, mengangkut energi panas
dari tempat aktif ke tempat yang tidak aktif untuk menjaga suhu tubuh,
mengedarkan air, hormon dan enzim ke seluruh tubuh, melawan infeksi
dengan antibodi dan leukosit (Irianto, 2013).
Plasma darah diperoleh dengan cara mensentrifugasi darah, sehingga plasma
darah akan terpisah dari sel darah. Plasma darah akan berada di bagian atas
(Handayani dan Hariwibowo, 2008).

1.3 Korpuskili (Sel Darah)


Korpuskili adalah butiran-butiran darah yang di dalamnya terdiri atas:
a) Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%)
Fungsi utama eritrosit adalah untuk pertukaran gas. Eritrosit membawa
oksigen dari paru menuju ke jaringan tubuh dan membawa karbon dioksida
(CO2) dari jaringan tubuh ke paru. Eritrosit tidak mempunyai inti sel, tetapi
mengandung beberapa organel dalam sitoplasmanya. Sebagian besar sitoplasma
eritrosit berisi hemoglobin yang mengandung zat besi (Fe) sehingga dapat
mengikat oksigen. Eritrosit berbentuk bikonkaf, berdiameter 8-9 µ. Bentuk
bikonkaf tersebut menyebabkan ertrosit bersifat fleksibel sehingga dapat
melewati lumen pembuluh darah yang sangat kecil dengan lebih baik. Melalui
mikroskop, eritrosit tampak bulat, berwarna merah, dan bagian tengahnya tampak
lebih pucat, disebut central pallour yang diameternya kira-kira sepertiga dari
keseluruhan diameter eritrosit.
Eritrosit berjumlah paling banyak dibanding sel-sel darah lainnya. Dalam satu
milliliter darah, terdapat kira-kira 4,5-6 juta eritrosit, itu sebabnya darah berwarna
merah. Parameter untuk mengukur keadaan eritrosit biasanya dilakukan dengan
mengukur kadar hemoglobin dalam satuan gram per desiliter (g/dL), mengukur
perbandingan volume eritrosit dengan volume darah (hematokrit), dan
menghitung jumlah eritrosit. Untuk mengetahui ukuran eritrosit diperoleh dengan
cara menghitung volume eritrosit rata-rata (mean corpuscular volume, MCV)
atau yang merupakan hasil dari hematokrit dibagi dengan jumlah eritrosit,
satuannya adalah femtoliter (fL), nilai normalnya adalah 80-100 fL. Bila nilai
MCV kurang dari 80 fL disebut mikrositik, sebaliknya bila lebih dari 100 fL
disebut makrositik. Umur eritrosit kira-kira 120 hari, sehingga kira-kira setiap
hari, 1% dari jumlah eritrosit mati dan digantikan dengan eritrosit yang baru
(Kiswari, 2014).
Pembentukan eritrosit diatur oleh eritropoetin, suatu hormon yang
disintesis oleh ginjal dan keluar ke aliran darah menuju sumsum tulang sebagai
respon terhadap adanya hipoksia jaringan. Dalam sumsum tulang terjadi
mobilisasi sel stem multipoten. Dalam perkembangannya sel stem multipoten ini
akan membentuk progenitor myeloid yang kemudian akan menghasilkan calon sel
darah merah dan trombosit serta granulosit dan monosit. Semua proses ini
berlangsung di sumsum tulang dan berakhir pada lepasnya eritrosit ke sirkulasi
darah perifer dalam bentuk sel dewasa yang telah masak (Sofro, 2012). Nilai
normal eritrosit diklasifikasikan berdasarkan usia dan jenis kelamin sebagai
berikut (Dacie dan Lewis, 2012).
Tabel 1. Nilai Normal Eritrosit
Kelompok Eritrosit
Dewasa laki-laki 4,5-5,5 juta sel/mm3
Dewasa perempuan 3,8-4,8 juta sel/mm3
Anak-anak (1 tahun) 3,9-5,1 juta sel/mm3
Anak-anak (2-12 tahun) 4,0-5,2 juta sel/mm3
Bayi baru lahir 5,0-7,0 juta sel/mm3

b) Sel darah putih atau leukosit (0,2%)


Sel darah putih (leukosit) jauh lebih besar daripada sel darah merah. Namun
jumlah sel darah putih jauh lebih sedikit daripada sel darah merah. Pada orang
dewasa setiap 1 mm3 darah terdapat 6.000- 9.000 sel darah putih. Tidak seperti
sel darah merah, sel darah putih memiliki inti (nukleus). Sebagian besar sel darah
putih bisa bergerak seperti Amoeba dan dapat menembus dinding kapiler. Sel
darah putih dibuat di dalam sumsum merah, kelenjar limfa, dan limpa (kura). Sel
darah putih memiliki ciri-ciri, antara lain tidak berwarna (bening), bentuk tidak
tetap (ameboid), berinti, dan ukurannya lebih besar daripada sel darah merah.
Berdasarkan ada tidaknya granula di dalam plasma, leukosit dibagi:
1) Leukosit Bergranula (Granulosit)
(a) Neutrofil adalah sel darah putih yang paling banyak yaitu sekitar 60%.
Plasmanya bersifat netral, inti selnya banyak dengan bentuk yang
bermacam-macam dan berwarna merah kebiruan. Neutrofil bertugas
untuk memerangi bakteri pembawa penyakit yang memasuki tubuh.
Mula-mula bakteri dikepung, lalu butir-butir di dalam sel segera
melepaskan zat kimia untuk mencegah bakteri berkembang biak serta
menghancurkannya.
(b) Eosinofil adalah leukosit bergranula dan bersifat fagosit. Jumlahnya
sekitar 5%. Eosinofil akan bertambah jumlahnya apabila terjadi infeksi
yang disebabkan oleh cacing. Plasmanya bersifat asam. Itulah sebabnya
eosinofil akan menjadi merah tua apabila ditetesi dengan eosin. Eosinofil
memiliki granula kemerahan. Fungsi dari eosinofil adalah untuk
memerangi bakteri, mengatur pelepasan zat kimia, dan membuang sisa-
sisa sel yang rusak.
(c) Basofil adalah leukosit bergranula yang berwarna kebiruan. Jumlahnya
hanya sekitar 1%. Plasmanya bersikap basa, itulah sebabnya apabila
basofil ditetesi dengan larutan basa, maka akan berwarna biru. Sel darah
putih ini juga bersifat fagositosis. Selain itu, basofil mengandung zat
kimia anti penggumpalan yang disebut heparin.
2) Leukosit Tidak Bergranula (Agranulosit)
(a) Limfosit adalah leukosit yang tidak memiliki bergranula. Intiselnya
hampir bundar dan terdapat dua macam limfosit kecil dan limfosit besar.
20% sampai 30% penyusun sel darah putih adalah limfosit. Limfosit tidak
dapat bergerak dan berinti satu. Berfungsi sebagai pembentuk antibodi.
(b) Monosit adalah leukosit tidak bergranula. Inti selnya besar dan berbentuk
bulat atau bulat panjang. Diproduksi oleh jaringan limfa dan bersifat
fagosit.
Antigen adalah apabila ada benda asing ataupun mikroba masuk ke dalam
tubuh, maka tubuh akan menganggap benda yang masuk tersebut adalah benda
asing. Akibatnya tubuh memproduksi zat antibodi melalu sel darah putih untuk
menghancurkan antigen. Glikoprotein yang terdapat pada hati kita, dapat menjadi
antigen bagi orang lain apabila glikoprotein tersebut disuntikkan kepada orang
lain. Hal ini membuktikan bahwa suatu bahan dapat dianggap sebagai antigen
untuk orang lain tetapi belum tentu sebagai antigen untuk diri kita sendiri. Hal
tersebut juga berlaku sebaliknya. Leukosit yang berperan penting terhadap
kekebalan tubuh ada dua macam:
1) Sel Fagosit akan menghancurkan benda asing dengan cara menelan
(fagositosis). Fagosit terdiri dari dua macam:
(a) Neutrofil, terdapat dalam darah
(b) Makrofag, dapat meninggalkan peredaran darah untuk masuk kedalam
jaringan atau rongga tubuh.
2) Sel Limfosit Limfosit terdiri dari:
(a) T Limfosit (T sel), yang bergerak ke kelenjar timus (kelenjar limfa di
dasar leher)
(b) B Limfosit (B Sel) Keduanya dihasilkan oleh sumsum tulang dan
diedarkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah, menghasilkan
antibodi yang disesuaikan dengan antigen yang masuk ke dalam tubuh.
c) Keping-keping darah atau trombosit (0,6-1,0%)
Dibandingkan dengan sel darah lainnya, keping darah memiliki ukuran yang
paling kecil, bentuknya tidak teratur, dan tidak memiliki inti sel. Keping darah
dibuat di dalam sumsum merah yang terdapat pada tulang pipih dan tulang
pendek. Setiap 1 mm3 darah terdapat 200.000 – 300.000 butir keping darah.
Trombosit yang lebih dari 300.000 disebut trombositosis, sedangkan apabila
kurang dari 200.000 disebut trombositopenia. Trombosit hanya mampu bertahan 8
hari. Meskipun demikian trombosit mempunyai peranan yang sangat penting
dalam proses pembekuan darah. Pada saat kita mengalami luka, permukaan luka
tersebut akan menjadi kasar. Jika trombosit menyentuh permukaan luka yang
kasar, maka trombosit akan pecah. Pecahnya trombosit akan menyebabkan
keluarnya enzim trombokinase yang terkandung di dalamnya. Enzim
trombokinase dengan bantuan mineral kalsium (Ca) dan vitamin K yang terdapat
di dalam tubuh dapat mengubah protombin menjadi trombin. Selanjutnya, trombin
merangsang fibrinogen untuk membuat fibrin atau benang-benag. Benang-benang
fibrin segera membentuk anyaman untuk menutup luka sehingga darah tidak
keluar lagi.

2. Definisi
Anemia adalah suatu keadaan yang menandakan adanya penurunan jumlah
eritrosit/red cell mass yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan eritrosit (red cell count). Proses sintesis hemoglobin memerlukan
ketersediaan besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein dapat berperan
dalam pengangkutan besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul
hemoglobin yang baru (Gallagher, 2008). Anemia menjadi indikasi kekurangan
zat besi yang paling berat dan terjadi jika konsumsi hemoglobin jauh di bawah
ambang batas yang ditentukan. Anemia adalah penyakit kurang darah, yang
ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih
rendah dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin kurang dari 14 g/dl dan
eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan anemia.
Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari
12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia
(Handayani dan Haribowo, 2008).

3. Epidemiologi
Prevalensi anemia diperkirakan 9% di negara-negara maju, sedangkan di
negara berkembang prevalensinya 43%. Anak-anak dan wanita usia subur (WUS)
adalah kelompok yang paling berisiko, dengan perkiraan prevalensi anemia pada
balita sebesar 47% , pada wanita hamil sebesar 42% dan pada wanita yang tidak
hamil usia 15-49 tahun sebesar 30% (Mc Lean et al, 2009). World Health
Organization (WHO) menargetkan penurunan prevalensi anemia pada WUS
sebesar 50% pada tahun 2025 (WHO, 2014). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) (2009) menunjukkan bahwa di tahun 2007 persentasi anemia di
Indonesia pada WUS tidak hamil (≥ 15 tahun) di perkotaan sebesar 19,7 persen.
Sedangkan pada tahun 2013 menunjukkan persentase anemia pada WUS usia 15-
44 tahun sebesar 35,3% (Riskesdas, 2013).

4. Etiologi
Menurut Fadil (2005) penyebab anemia terdiri dari:
1. Hemolisis (eritrosit mudah pecah)
2. Perdarahan
3. Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)
4. Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic
acid, piridoksin, vitamin C dan copper.
. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi
merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Nurafif
dan Kusuma (2015), menyatakan bahwa pada dasarnya anemia disebabkan oleh:
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit oleh tubuh sebelum waktunya (hemolisisi).
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan
untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya
merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik,
penyakit kronik, keracunan obat, penekanan sumsum tulang (misalnya oleh
kanker), defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi defisiensi besi, folic
acid, piridoksin, vitamin C dan coppe dan sebagainya.

5. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu (Mansjoer,
2001; Oehadian 2012; Nurafif dan Kusuma, 2015) :
1. Anemia Mikrositik Hipokromik Mikrositer
Jika MCV < 80 flt dan MCH < 27 pg. Anemia mikrositik biasanya disertai
penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH (Mean
Concentration Hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab anemia mikrositik hipokrom adalah
berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inflamasi,
defisiensi tembaga, berkurangnya sintesis hemoglobin akibat keracunan logam,
anemia sideroblastik kongenital dan didapat. Berkurangnya sintesis globin akibat
talasemia dan hemoglobinopati.
a) Anemia Defisiensi Besi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia
paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis).
Infestasi cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak
akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia.
b) Anemia Penyakit Kronik
Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti
infeksi ginjal, paru-paru (abses, empiema dll), inflamasi kronik (artritis
reumatoid) dan neoplasma.
c) Thalassemia major
d) Anemia sideroblastik
2. Anemia Makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100
fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh peningkatan retikulosit,
peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan
yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran
peningkatan MCV, metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah
merah (defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea), gangguan maturasi sel darah merah (sindrom
mielodisplasia, leukemia akut), penggunaan alkohol, penyakit hati,
hipotiroidisme.
a) Defisiensi Vitamin B12
Kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik terjadi karena gangguan
absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun, namun di
Indonesia penyebab anemia ini adalah karena kekurangan masukan
vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat.
b) Defisiensi Asam Folat
Anemia defisiensi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di
seluruh saluran cerna. Gejalanya yaitu perubahan megaloblastik pada
mukosa, mungkin dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti
gangguan kepribadian.
3. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh anemia pada penyakit ginjal kronik, sindrom
anemia kardiorenal akibat anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik,
anemia hemolitik, anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah merah,
kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (defisiensi G6PD),
kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell), anemia hemolitik karena kelainan
ekstrinsik sel darah merah ( imun, autoimun (obat, virus, berhubungan dengan
kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat, anemia
hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik,
sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).
Anemia akibat kekurangan eritropoetin: pada gagal ginjal kronik
1. Anemia karena perdarahan
a) Perdarahan akut akan timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup
banyak, sedangkan penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari
kemudian.
b) Perdarahan Kronik biasanya sedikit - sedikit sehingga tidak diketahui
pasien. Penyebab yang sering adalah ulkus peptikum dan perdarahan
saluran cerna karena pemakian analgesik.
2. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunn usia sel darah merah (normal 120
hari). Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu
mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek.
3. Anemia Aplastik
Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel
darah. Hal ini bisa karena kongenital namun jarang terjadi

6. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan
sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat
terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan
akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui
perdarahan atau hemolisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi
sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel
fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.
Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.
Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan
peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5
mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera). Apabila sel darah merah mengalami
penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan
muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya
melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas)
untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal
dan kedalam urin (hemoglobinuria) (Fadil, 2005).
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar
hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa
makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan
oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ
penting. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada
perdarahan, menimbulkan simtomatologi sekunder hipovolemia dan hipoksemia.
Tanda dan gejala yang sering timbul adalah gelisah, diaforesis (keringat dingin),
takikardia, sesak nafas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat atau syok.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah
yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan
stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia
berat, dapat menimbulkan payah jantung kongestif sebab otot jantung kekurangan
oksigen dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea, nafas pendek dan
cepat, lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinitus (telinga
berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenisasi pada susunan
saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang
umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah
anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia meliputi (Handayani & Haribowo, 2008; Nurafif
dan Kusuma, 2015):
1. Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome.
Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua
jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di
bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila
diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah:
a) Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat
beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.
b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada
ekstremitas.
c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus.
2. Gejala Khas Masing-masing anemia
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah
sebagai berikut :
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.

8. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
pasien anemia (Fadil, 2005; Nurafif dan Kusuma, 2015)
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.
Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan
alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan, yaitu trimester I dan III.
b) Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia
dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit
dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31
pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <
30%.
c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah
dapat dilihat pada kolom morfology flag.
d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih
relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat
klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk
mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta
lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah
bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat
besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.
e) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan
beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik
pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam
individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam
praktik klinis masih jarang.
f) Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan,
infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi
yang spesifik.
g) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi
serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.
h) Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum
tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum.
Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.
Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai
untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum (Fadil, 2005).
2. Pemeriksaan laboratorium nonhematologis
Faal ginjal, Faal endokrin. Asam urat. Faal hati. Biakan kuman
3. Radiologi
Toraks, Bone survey, USG, limfangiografi
4. Pemeriksaan sitogenik
5. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polimerase chain raction, FISH =
fluorescence in situ hybridization).
9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-Farmakologi
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
1. Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka
harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang
dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat
besi untuk anemia defisiensi besi.
3. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang
menjadi penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan
oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang.
4. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika
terapi ini berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan
jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi
jenis ini, penderita harus diawasi dengan ketat. Jika terdapat respons
5. Pencegahan anemia
Upaya-upaya untuk mencegah anemia, antara lain sebagai berikut:
a) Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging,
ikan, ayam, hati, dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna
hijau tua, kacang-kacangan, dan tempe).
b) Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk
meningkatkan penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan
nanas.
c) Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami
haid.
d) Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke
dokter untuk dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.
B. Clinical Pathway
Etiologi

Genetik Perdarahan Defisiensi kofaktor eritropoesis Penekanan sumsum tulang

Gangguan Peningkatan kehilangan Penurunan jumlah sel


pembentukan eritrosit Defisiensi Vit B12, asam folat Defisiensi zat besi eritropoetin di
molekul globin sumsum tulang
Penurunan eritrosit Mitosis menurun Gangguan pengikatan zat besi
Jumlah Hb dalam komponen darah Gangguan eritropoesis
dalam eritrosit Gangguan mutasi Penurunan kualitas dan jumlah
rendah Hb Pansitopenia

Kompensasi Jantung Penurunan produksi sel darah merah Efek Gastrointestinal

Beban kerja dan curah Penurunan jumlah eritrosit Gangguan penyerapan


jantung meningkat nutrisi dan defisiensi folat

Penurunan kadar Hb
Nyeri Takikardi, angina, Glositis berat (lidah
akut iskemia miokardium meradang), diare,
Kompensasi paru-paru Gangguan pola tidur kehilangan nafsu makan
Resiko
Ketidakefektifan Peningkatan frekuensi
Tidur tidak nyenyak Intake nutrisi turun (anoreksia)
perfusi jaringan perifer nafas

Dyspneu (kesulitan nafas) Ketidakseimbangan nutris: kurang dari


kebutuhan tubuh

Penurunan transpor O2
Ketidakefektifan Hipoksia
pola nafas

Suplai O2 ke jaringan menurun

Metabolisme sel turun

Penurunan pembentukan ATP

Penurunan produksi energi

Kelemahan fisik

Intoleransi aktivitas
C. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian/Assesment
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produtivitas,
penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/takipnea, dispnea pada bekerja atau istirahat. Letargi,
menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan
otot dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun,
postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunjukkan
keletihan.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronis, mis; perdarahan GI kronis,
menstruasi berat; angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat
endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
Tanda : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi
melebar, hipotensi postural. Disritmia, Abnormalis EKG (misalnya depresi
segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T), takikardia, unyi
jantung murmur sistolik. Ekstremitas pucat pada kulit dan membran mukosa
(konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. kuku mudah patah,
berbentuk seperti sendok (koikologikia). Rambut kering, mudah putus,
menipis, tumbuh uban secara premature.
3. Integritas ego
Tanda : keyakinan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan,
misalnya penolakan transfusi darah.
Gejala : depresi.
4. Eleminasi
Gejala : sindrom malabsorpsi, Hematemasis, feses dengan darah segar,
melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine
Tanda : distensi abdomen.
5. Makanan/cairan
Penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukkan
produk sereal tinggi. Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada
faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan.
6. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan
berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata.
Kelemahan, sensasi manjadi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak
mampu berespons, lambat dan dangkal.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala.
8. Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.
9. Seksualitas
Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore.
Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten. Tanda : serviks dan dinding vagina
pucat.

D. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung ditandai
dengan hilang atau terbatasnya aliran darah ke arah miokardium dan
nekrosis dari miokardium, ekspresi wajah nyeri (meringis), skala nyeri,
fokus pada diri sendiri, dan perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah dan suplai oksigen ditandai dengan penurunan nadi perifer,
perubahan fungsi motorik, perubahan karakteristik kulit, perubahan
tekanan darah di ekstremitas, tidak ada nadi perifer, CRT > 3 detik, dan
warna kulit pucat.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen ditandai dengan dispnea setelah beraktivitas,
keletihan, dan ketidaknyamanan setelah beraktivitas.
4) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan dispnea, fase ekspansi memanjang, penggunaan otot bantu
pernafasan, penurunan kapasitas vital, pernafasan bibir, pernafasan cuping
hidung, pola nafas abnormal, dan takipnea.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan ditandai dengan penurunan berat badan
(20%) atau lebih dari berat badan ideal, bising usus hiperaktif,
ketidakmampuan memakan makanan, kurang informasi, kurang minat
pada makanan, membran mukosa pucat, dan nyeri abdomen.
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas ditandai dengan
perubahan pola tidur normal, sering terjaga, penurunan kemampuan,
ketidakpuasan tidur, dan tidak merasa cukup istirahat.
E. Perencanaan Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
selama 3x24 jam, nyeri akut pasien 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
kembali normal dengan kriteria hasil: Terapi relaksasi (6040)
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
terjadi nafas dalam dan musik
2. Pasien mampu menyampaikan faktor 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
penyebab nyeri Pemberian analgesik (2210)
3. Mampu menyampaikan tanda dan 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
gejala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
4. Penurunan skala nyeri 8. Cek adanya riwayat alergi obat
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
meringis kesakitan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
6. Nyeri terkontrol
2. Ketidakefektifan perfusi NOC NIC
jaringan perifer (00204) Perfusi jaringan: perifer (0470) Manajemen cairan (4120)
Status sirkulasi (0401) 1. Jaga intake dan output pasien
Tanda-tanda vital (0802) 2. Monitor status hidrasi (mukosa)
Integritas jaringan: kulit dan membran 3. Berikan cairan IV sesuai dengan suhu kamar
mukosa (1101) Pengecekan kulit (3590)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Periksa kulit terkait adanya kemerahan dan
selama 2x24 jam, perfusi jaringan kehangatan
perifer pasien kembali efektif dengan 5. Amati warna, kehangatan, pulsasi pada
kriteria hasil: ekstremitas
1. Kekuatan denyut nadi Monitor tanda-tanda vital (6680)
2. Suhu kulit ujung tangan dan kaki 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
(hangat) pernafasan dengan tepat
3. Tekanan darah sistol dan diastol
(120/90 mmHg)
4. Suhu tubuh (36,50-37,50C)
5. Irama pernafasan reguler
6. Pernafasan (16-20 x/menit)
7. Nadi (60-100 x/menit)
8. Tidak sianosis
3. Intoleransi aktivitas NOC NIC
(00092) Toleransi terhadap aktivitas (0005) Manajemen energi (0180)
Tingkat kelelahan (0007) 1. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan keletihan
selama 3x24 jam, aktivitas pasien 2. Monitor intake dan asupan nutrisi
toleran dengan kriteria hasil: 3. Konsultasi dengan ahli gizi terkait cara
1. Saturasi oksigen saat beraktivitas peningkatan energi dari asupan makanan
(>95%) 4. Monitor/catat waktu dan lama waktu istirahat
2. Frekuensi nadi saat beraktivitas (60- tidur pasien
80 x/menit) 5. Anjurkan tidur siang jika diperlukan
3. Frekuensi pernafasan saat 6. Anjurkan aktivitas fisik (misal ambulasi, ADL)
beraktivitas (16-20 x/menit) sesuai dengan kemampuan (energi) pasien
4. Tekanan sistol dan diastol ketika Terapi latihan: ambulasi (0221)
beraktivitas 7. Beri pasien pakaian yang tidak mengekang
5. Pasien tidak merasa lelah saat 8. Anjurkan pasien menggunakan alas kaki agar
melakukan aktivitas ringan tidak cidera
6. Pasien dapat melakukan ADL dalam 9. Dorong untuk duduk di tempat tidur, di samping
kegiatan sehari-hari tempat tidur (menjutai), atau di kursi, sesuai
toleransi pasien
10. Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur
untuk memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh.
4. Ketidakefektifan pola NOC NIC
nafas (00032) Status pernafasan (0415) Manajemen jalan nafas (3140)
Status pernafasan: ventilasi (0403) 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Status pernafasan (kepatenan jalan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
nafas) (0410) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitor pernafasan (3350)
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
kembali efektif dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
1. Frekuensi nafas normal (16-20 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
x/menit) penggunaan otot bantu nafas
2. Irama pernafasan reguler 6. Monitor suara nafas
3. Tidak menggunakan otot bantu 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
pernafasan hiperventilasi, kusmaul)
4. Retraksi dinding dada 8. Monitor saturasi oksigen
5. Tidak terdapat pernafasan bibir Monitor tanda-tanda vital (6680)
6. Tidak terdapat sianosis 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan pernafasan dengan tepat
5. Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan Status nutrisi (1004) Manajemen nutrisi (1100)
tubuh (00002) Status nutrisi: asupan nutrisi (1009) 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
Nafsu makan (1014) 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien yang menyengat)
adekuat dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
1. Asupan makanan secara oral favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
meningkat (porsi makan habis) kesehatan pasien)
2. Asupan cairan secara oral meningkat 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
3. Nafsu makan meningkat 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
4. Ekspresi wajah tidak meringis perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
Monitor nutrisi (1160)
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan mobilitas
10. Monitor adanya mual dan muntah
6. Gangguan pola tidur NOC NIC
(000198) Tidur (0004) Pengaturan posisi (0840)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Anjurkan pasien tidur di atas tempat tidur dengan
selama 2x24 jam, pola tidur pasien tidak nyaman
terganggu dengan kriteria hasil: 2. Monitor status oksigenasi setelah perubahan
1. Jam tidur (6-8 jam/hari) posisi
2. Pola tidur tidak terganggu Peningkatan tidur (1850)
3. Kualitas tidur 3. Tentukan pola tidur dan aktivitas pasien
4. Tidur rutin 4. Jelaskan manfaat tidur yang cukup
5. Tidur dari awal sampai habis di 5. Monitor pola tidur dan jumlah jam tidur pasien
malam hari secara konsisten 6. Anjurkan untuk tidur di siang hari
6. Perasaan segar setelah tidur
F. Discharge Planning
Menurut Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning yang dapat
dilakukan pada pasien dengan anemia yaitu:
1) Menjalani diet dengan gizi yang seimbang
2) Asupan zat besi yang terlalu berlebihan dapat membahayakan yang
menyebabkan sirosis, kardiomiopati, diabetes, dan kanker jenis tertentu.
Suplemen zat besi hanya boleh dikonsumsi sesuai dengan anjuran dokter.
3) Makan-makanan yang tinggi asam folat dan vitamin B12 seperti ikan, produk
susu, daging, kacang-kacangan, sayuran berwarna hijau tua, jeruk, dan biji-
bijian.
4) Batasi minum alkohol dan pada ibu hamil dianjurkan untuk mengonsumsi
asam folat untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi asam folat.
5) Pastikan untuk menggunakan sepatu atau sandal untuk menghindari resiko
kecacaingan.
6) Hindari pemaparan berlebihan terhadap minyak, insektisida, zat kimia dan zat
toksik lainnya karena dapat menyebabkan anemia.
7) Konsultasi kembali jika gejala anemia menetap dan untuk mengetahui faktor
penyebab.
8) Ajarkan kepada orang tua tentang cara-cara melindungi anak dari infeksi.
9) Kenali tanda-tanda komplikasi.

G. Daftar Pustaka
American Cancer Society. 2013. Breast Cancer. Atlanta: American Cancer
Society.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Dacie dan Lewis. 2012. Practical Haematology. 11ed. Elsevier. Churchill
Livingstone
Departemen Kesehatan. 2009. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Doenges, M. E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Dorland, W.A.N. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Evelyn, C.P. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Gallagher, M. L. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In: Mahanan LK,
Escott-Stump S. Krause Food, Nutrition, and Diet Therapy. Philadelphia:
Saunders.
Handayani, W. Dan A. S. Haribowo. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Irianto. 2013. Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology). Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kiswari, R. 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta : Erlangga.
Mansjor, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC.
McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla D, & de Benoist B. 2009. Worldwide
prevalence of anaemia, WHO Vitamin and Mineral Nutrition Information
System, 1993–2005. Public Health Nutr. 12: 444–54.
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurarif, A.H dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.
Oehadian, A. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Jakarta: Salemba
Medika.
Pearce, E. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Price, S. A. dan L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC.
Price. S. A. 2007. Patofisiologi. Jakarta: ECG.
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sofro, A.S.M. 2012. Darah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifuddin. 2011. Atlas Berwarna Tiga Bahasa Anatomi Tubuh Manusia.
Jakarta: Salemba Medika.
Tortora G. J. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. John Wiley
& Sons.
World Health Organization.2014. WHO Global Nutrition Targets 2025:
Anaemia Policy Brief. Geneva: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai