Laporan Pendahuluan Fraktur Tibia
Laporan Pendahuluan Fraktur Tibia
2. Klasifikasi Fraktur
Menurut Smeltzer (2001:257) jenis-jenis fraktur yaitu:
1. Fraktur complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser pada posisi normal). Frakturin complete, patah hanya
terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
2. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit. Fraktur terbuka
(fraktur kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi:
a. Grade I dengan luka bersih kurang dari l cm panjangnya.
b. Grade II luka lebih besar, luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c. Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif, merupakan yang paling kuat.
Menurut Smeltzer (2001:257) fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis
fragmen tulang, fraktur bergeser/tidak bergeser. Jenis ukuran fraktur adalah:
a) Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
b) Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c) Oblique : fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding batang tulang).
d) Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang.
e) Communitive : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f) Depresi : fraktur dengan tulang patahan terdorong ke dalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g) Kompresi : fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang).
h) Patologik : fraktur yang terjadi pada bawah tulang berpenyakit (kista tulang,
penyakit paget, metastasis tumor tulang).
i) Avulasi : tertariknya fragmen tulang dan ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
j) Impaksi : fraktur di mana fragmen tulang lainnya rusak.
k) Fraktur traumatik dapat terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
l) Fraktur stress terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat
yang tertentu.
m) Fraktur patologis pula terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat
trauma ringan.
.
Gambar 3. Struktur tulang dan aktivitas osteoblast serta osteoclast pada tulang.
Osteoblast merupakan satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim yang sangat
penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel, osteoblast dapat
memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi
kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila
kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblast
dikelilingi oleh substansi organik intraseluller, disebut osteosit dimana keadaan ini terjadi
dalam lakuna.
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang dengan sifat dan
fungsi reabsorbsi serta mengeluarkan tulang yang disebut osteoclast. Kalsium hanya
dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoclasis yang menghilangkan
matriks organik dan kalsium bersamaan dan disebut deosifikasi.
2. Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dan meluas dipakai sekarang adalah klasifikasi Schatzker.
I : Fraktur split kondiler lateral
II : Fraktur split/depresi lateral
III: Depresi kondiler lateral
IV: Fraktur split kondiler medial
V : Fraktur bikondiler
VI: Fraktur kominutif
Tipe IV-VI biasanya terjadi akibat trauma dengan tekanan yang kuat. Fraktur tidak
bergeser apabila depresi kurang dari 4 mm, sedangkan yang bergeser apabila depresi
melebihi 4 mm.
3. Gambaran klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri serta
hemartrosis.Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut. Biasanya pasien tidak dapat
menahan beban. Sewaktu pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal tibia dan
gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas.Dokter perlu menentukan adanya penyebab cedera
itu akibat tenaga yang kuat atau lemah karena cedera neovaskular, ligamen sindroma
kompartmen lebih sering terjadi pada cedera akibat tenaga kuat. Pulsasi distal dan fungsi
saraf peroneal perlu diperiksa. Kulit perlu diperiksa secara seksama untuk mencari tanda-
tanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda fraktur terbuka.
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi kondiler tibia. Aspirasi dari
hemartrosis pada lutut dan anestasi lokal mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang
akurat. Jika dibandingkan dengan bagian yang tidak cedera, pelebaran sudut sendi pada
lutut yang stabil mestilah tidak lebih dari 10 o dengan stress varus atau valgus pada mana-
mana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi penuh hingga fleksi 90 o. Integritas ligamen
crusiatum anterior perlu dinilai melalui tes Lachman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak disekeliling lutut. Robekan ligamen
kollateral medial dan meniscus medial sering menyertai fraktur kondiler lateral. Fraktur
kondiler medial disertai robekan ligamen kollateral lateral dan meniscus medial.Ligamen
crusiatum anterior dapat cedera pada fraktur salah satu kondiler. Fraktur kondiler tibia,
terutama yang ekstensi frakturnya sampai ke diafisis, dapat meyebabkan kepada sindroma
kompartmen akut akibat perdarahan dan edema.
4. Pemeriksaan radiologic
Dengan foto rontgen posisi AP dan lateral dapat diketahui jenis fraktur, tapi kadang-
kadang diperlukan pula foto oblik. Apabila pada foto polos tidak dapat dilihat dengan jelas,
CT atau tomografi dengan proyeksi AP dan lateral sering diperlukan. Untuk melihat tanda
Fat(marrow)-fluid(blood) interface sign (hemarthrosis) dilakukan cross table lateral view.
Gambaran fraktur:
Tipe fraktur: split, depresi
Lokasi: medial, lateral
Jumlah fragmen
Pergeseran fragmen
Derajat depresi
Gambar 7. (A) Fraktur kondiler tibia dengan split dan terpisah di lateral. (B) Fraktur kondiler tibia
direduksi dengan menggunakan buttress plate dan screw untuk mengembalikan kongruensi
sendi.
5. Pengobatan
Konservatif
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana depresi kurang dari 4 mm dapat dilakukan
beberapa pilihan pengobatan, antara lain verban elastik, traksi, atau gips sirkuler. Prinsip
pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan beban dan segera
mobilisasi pada sendi lutut agar tidak segera terjadi kekakuan sendi.
Operatif
Depresi yang lebih dari 4 mm dilakukan operasi dengan mengangkat bagian depresi dan
ditopang dengan bone graft.Pada fraktur split dapat dilakukan pemasangan screw atau
kombinasi screw dan plate untuk menahan bagian fragmen terhadap tibia.
6. Komplikasi
a. Genu valgum; terjadi oleh karena depresi yang tidak direduksi dengan baik
b. Kekakuan lutut; terjadi karena tidak dilakukan latihan yang lebih awal
c. Osteoartritis; terjadi karena adanya kerusakan pada permukaan sendi sehingga
bersifat irrreguler yang menyebabkan inkonkruensi sendi lutut.
d. Malunion
e. Cedera ligamen dan meniskus (misal: ligamen medial kollateral)
f. Cedera saraf peroneal.
4. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen harus mencakup bagian distal dari femur dan ankle. Dengan
pemeriksaan radiologis, dapat ditentukan lokalisasi fraktur, jenis fraktur, sama ada
transversal, spiral oblik atau rotasi/angulasi. Dapat ditentukan apakah fraktur pada tibia dan
fibula atau tibia saja atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat
segmental. Foto yang digunakan adalah foto polos AP dan lateral. CT tidak diperlukan.
Gambar 11. Fraktur diafisis tibia dan fibula dengan pergeseran lateral 100%.
Gambar 12. (A) Fraktur stress pada seorang atlit muda.(B) Perhatikan sklerosis and
pelebaran cortical berikut penyembuhan tulang.
5. Pengobatan
a. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur dengan
manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan gips sirkuler untuk
immobilisasi, dipasang sampai diatas lutut.
Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau lebih, tidak ada
angulasi dan tidak ada rotasi. Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3
minggu (union secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan gips
biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan tumpuan pada
tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya dipergunakan setelah pembengkakan
mereda atau terjadi union secara fibrosa.
b. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi
konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion.Metode pengobatan operatif adalah
sama ada pemasangan plate dan screw, atau nail intrameduler, atau pemasangan screw
semata-mata atau pemasangan fiksasi eksterna. Indikasi pemasangan fiksasi eksterna
pada fraktur tibia:
Fraktur tibia terbuka grade II dan III terutama apabila terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau hilangnya fragmen tulang
Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected pseudoarthrosis)
Gambar 13. (A) Fraktur OTA tipe A. Ini adalah fraktur bifokal, di mana terdapat fraktur
bimaleolus pergelangan kaki selain fraktur diafisis; 5% dari fraktur tibia adalah bifokal, dan
kombinasi dari pergelangan kaki dan fraktur diafisis yang paling biasa terjadi. (B) Fraktur diafisis
ditangani dengan pemasangan locked intramedullary nail, dan fraktur pergelangan kaki
ditangani dengan teknik AO konvensional.
6. Komplikasi
Di antara komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur diafisis tibia adalah infeksi, delayed
union atau nonunion, malunion, kerusakan pembuluh darah (sindroma kompartmen
anterior), trauma saraf terutama pada vervus peroneal komunis dan gangguan pergerakan
sendi pergelangan kaki. Gangguan pergerakan sendi ini biasanya disebabkan adanya
adhesi pada otot-otot tungkai bawah.
2. Klasifikasi
Lauge-Hansen(1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya pergeseran dari
fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan atau manipulasi yang
dilakukan. Klasifikasi lain yang lebih sederhana, menurut Danis & Weber (1991), dimana
fibula merupakan tulang yang penting dalam stabilitas dari kedudukan sendi berdasarkan
atas lokalisasi fraktur terhadap sindesmosis tibiofibular.
3. Gambaran klinis
Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruaan atau deformitas. Yang
penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada
ligamen.
4. Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan jenis-jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma(gambar 14.122).Foto rontgen perlu dibuat sekurang-kurangnya tiga
proyeksi, yaitu antero-posterior, lateral dan setengah oblik dari gambaran posisi pergelangan
kaki. Sering fraktur terjadi pada fibula proksimal, sehingga secara klinis harus diperhatikan.
5. Pengobatan
Fraktur dislokasi pada sendi pergelangan kaki merupakan fraktur intra-artikuler sehingga
diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta mobilisasi sendi yang sesegera
mungkin.
Tindakan pengobatan terdiri atas:
1. Konservatif
Dilakukan pada fraktur yang tidak bergeser, berupa pemasangan gips sirkuler di bawah
lutut.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan berdasarkan kelainan-kelainan yang ditemukan apakah hanya
fraktur semata-mata, apakah ada robekan pada ligamen atau diastasis pada tibiofibula
serta adanya dislokasi talus( gambar 14.123).
Beberapa hal yang penting diperhatikan pada reduksi, yaitu:
Panjang fibula harus direstorasi sesuai panjang anatomis
Talus harus duduk sesuai sendi dimana talus dan permukaan tibia duduk parallel
Ruang sendi bagian medial harus terkoreksi sampai normal(4 mm)
Pada foto oblik tidak nampak adanya diastasis tibiofibula
Tindakan operasi terdiri atas:
Pemasangan screw( maleolar)
Pemasangan tension band wiring
Pemasangan plate dan screw
6. Komplikasi
1. Vaskuler
Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi gangguan pembuluh
darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi secepatnya.
2. Malunion
Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang tidak akurat
yang akan menimbulkan osteoartritis.
3. Osteoartritis
4. Algodistrofi
Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri, terdapat
pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi perubahan
trofik dan osteoporosis yang hebat.
5. Kekakuan yang hebat pada sendi.
Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu
atau berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak
hospitali, (Doenges, 2000)
Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana
biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan
karena ada perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk
melakukan aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas
yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan
dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur. (Doenges, 2000)
Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga
terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering
dan besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi
serta proses penyembuhan yang cukup lama, (Doenges, 2000)
Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang
dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap
penyakitnya, (Doenges, 2000)
Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya
pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak
berguna (terutama kalau ada program amputasi), (Doenges, 2000)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan,
pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala
sampai kejari kaki.
a. Inspeksi
Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, Laserasi,
kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme otot
dan keadaan kulit.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit
biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
c. Perkusi
Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
d. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur
berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien
fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan, (Brunner &
Suddarth, 2002).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan leukosit urine
Bisa cenderung dapat terjadi formasi batu kemih yang menetap akibat Program
Immobilisasi.
- Darah
Hitung darah lengkap: memotokrit mungkin meningkat, atau menurun karena
pendarahan bermakna pada sisi fraktur.
b. Rontgent
Untuk mengetahui secara pasti lokasi fraktur, luas fraktur, dan menunjukkan
jenis kerusakan sehingga dapat ditegakkan diagnosa pasti,(Doenges, 2000)
a. Data Subjektif
- Kebas/ kesemutan
- Takut cacat
b. Data Objektif
- Adanya luka
- Cemas/ gelisah
Daftar Pustaka
Appley, Ag Dan Scloman, L, 1999, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay Edisi 7, Widya
Medika, Jakarta.
Brunner and Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 Edisi 8, EGC, Jakarta.
Carpunito, L. J, 2000, Diagnosa Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
Keperawatan dan Masalah Kolaboratif (terjemahan), Edisi 2, EGC, Jakarta.
Carpenito, L. J, 2000, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Depkes, RI, 1996, Asuhan Keperawatan pada Sistem Muskuloskeletal, Depkes RI, Jakarta.
Doenges, E, Marilyn, 1996, Rencana Asuhan Keperawatan dan Pedoman untuk
Mendokumentasikan Perawatan Pasien (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta.
Handei, Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan), volume 3, EGC, Jakarta.
Handerson, M. A, 1997, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Yayasan Enssential Medika, Yogyakarta.
Mansjoer, Areif, 2005, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, FKUI, Jakarta.
Nanda, 2007, Panduan Diagnosa Keperawatan, Prima Medika, Jakarta.