Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan penyesuaian merupakan gangguan jiwa yang paling sering


dijumpai pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit untuk penyakit medik
ataupun operasi, namun jarang ada penelitiannya.1
Gangguan penyesuaian, berhubungan dengan stress, jangka pendek,
gangguan non-psikotik. Berdasarkan ICD X dan DSM-IV mendefenisikan
gangguan penyesuaian sebagai keadaan sementara dari tekanan dan gangguan
emosional, yang timbul dalam proses beradaptasi dengan perubahan hidup yang
signifikan , kehidupan yang stress, penyakit fisik yang serius, atau kemungkinan
penyakit serius. Stressor dapat hanya melibatkan individu bahkan mempengaruhi
masyarakat luas.2,3
Pasien dengan gangguan penyesuaian biasanya terlihat seperti terbebani
atau terlalu berlebihan dalam memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan.
Manifestasi respon dapat berupa reaksi emosional atau perilaku terhadap suatu
peristiwa stress atau perubahan dalam hidup seseorang; misalnya pada populasi
anak, peristiwa dapat berupa perceraian kedua orang tua, kelahiran angota keluarga
baru, atau kehilangan figur atau benda (mis. Hewan peliharaan ). Gangguan ini
memiliki batas waktu, biasanya mulai dalam waktu 3 bulan dari peristiwa stress.
Gejala akan berkurang dalam waktu 6 bulan setelah stressor menghilang atau ketika
adaptasi baru terjadi. 3

Gangguan ini dapat ada pada semua usia dan lebih sering pada remaja.1

1
2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. M

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku bangsa : Jepang

Status Marital : sudah menikah

Pekerjaan Terakhir : Mengurus Rumah Tangga

Alamat : Banyuwangi

Tanggal Pemeriksaan : 02 Juli 2018

2.1.2 Anamnesa
1. Keluhan Utama : Pasien dicabuli oleh kerabat dekatnya
2. Hetero Anamnesa
Pasien datang diantar suaminya membawa surat pengantar agar dilakukan
pemeriksaan kejiwaan terhadap pasien karena diduga menjadi korban
perbuatan cabul
Ketika ditanyakan tentang apa yang terjadi, pasien menjelaskan dengan
suara terbata-bata sambil menangis. Pasien adalah seorang berkebangsaan
Jepang, yang tidak begitu lancar berbicara Bahasa Indonesia, sehingga saat
dilakukan wawancara didapatkan kendala komunikasi. Akhirnya suami
pasien menjelaskan lebih lanjut tentang kejadian tersebut.
Suami pasien mengatakan bahwa saat itu ia bersama keluarga bertamu ke
rumah pelaku pada tanggal 27 Juni 2018. Sebelumnya mereka memang
sering bertandang ke rumah pelaku karena masih ada hubungan saudara.
Awalnya pasien bersama tujuh orang termasuk suaminya berbincang-

3
bincang di ruang tamu luar. Kemudian pasien bersama adik ipar dan anak
bayinya masuk ke ruang tamu dalam. Ketika bayi dari adik ipar menangis,
pasien ditinggal seorang diri di ruang tamu dalam dan dihampiri oleh
pelaku. Kemudian pasien mengatakan bahwa ia disuruh masuk ke dalam
kamar yang ada di ruang tamu dalam, di dalam kamar tersebut pasien diraba
lehernya kemudian dicium pipi dan keningnya. Pelaku kemudian meraba
dada dan kemaluan pasien dan memasukkan jarinya ke dalam kemaluan
pasien. Pelaku juga mengambil tangan pasien dan memasukkannya ke
dalam celana pelaku serta meminta pasien untuk meraba kemaluan pelaku.
Pasien mengatakan saat itu ia tidak dapat berteriak karena tidak ingin
suaminya naik darah, sedangkan saat itu keluarga sedang berkumpul karena
masih dalam suasana Lebaran.
Setelah kejadian itu, mereka pergi ke Jember. Selama perjalanan, pasien
tampak lebih diam dari biasanya. Setelah pulang ke rumah, pasien juga
tampak sering termenung. Dua hari kemudian, suami pasien menanyakan
alasan mengapa pasien tampak lebih diam dan sering termenung. Akhirnya
pasien menceritakan kejadiannya sambil menangis. Setelah mendengar
cerita pasien, sang suami langsung mendatangi kantor polisi untuk
melaporkan kejadian tersebut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Psikiatrik: Pasien tidak pernah memiliki gangguan jiwa
 Riwayat Penggunaan Napza Psikoaktif: Pasien tidak pernah
mengkonsumsi napza psikoaktif
 Riwayat gangguan medis: Tidak didapatkan riwayat diabetes mellitus,
tekanan darah tinggi, kejang atau penyakit infeksi lainnya, dan riwayat
trauma kepala.
4. Riwayat Kehidupan Pribadi
 Riwayat sosial dan riwayat pekerjaan
Pasien merupakan wanita berkebangsaan Jepang sehingga tidak lancar
berbicara dalam bahasa, namun pasien mengerti apabila diajak berbicara
menggunakan Bahasa. Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan
sehari-hari menghabiskan waktu di rumah mengurus suami dan anaknya

4
5. Faktor Keturunan
Tidak ada
6. Faktor Organik
Riwayat trauma atau kecelakaan dan cidera kepala disangkal, riwayat
kejang disangkal, pemakaian zat atau obat.

2.1.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Generalis:
1. Vital Sign
1) Tekanan darah : 110/90 mmHg
2) Nadi : 83 x/menit, regular, kuat angkat.
3) RR : 22 x/menit
4) Suhu aksilar : tidak ada data
2. Keadaan Umum
Tampak baik, compos mentis
3. Pemeriksaan Head to Toe
Tidak dilakukan
2.1.4 Status Mentalis
1) Deskripsi Umum
a. Penampilan: Seorang perempuan tampak sesuai dengan usia, perawatan
diri tampak baik, memakai baju cardigan lengan panjang berwarna
coklat susu dan celana hitam berbahan kaos.
b. Sikap: Cukup kooperatif
c. Psikomotor: Pasien tampak tenang selama proses wawancara
d. Pembicaraan: Pasien dapat memahami dan mampu menjawab apa yang
ditanyakan pemeriksa. Adanya perbedaan kebangsaan menyebabkan
wawancara berlangsung kurang lancar, tetapi hal ini dapat diatasi karena
suami pasien membantu menerjemahkan apa yang dimaksud oleh
pemeriksa.
2) Mood dan Afek
a. Mood : Hypothym
b. Afek : Sesuai, pasien tampak sedih dan malu bila
mengingat kejadian tersebut.

5
3) Pembicaraan
Pasien menjawab langsung pertanyaan pemeriksa dalam bahasa Jepang, yang
kemudian diterjemahkan oleh suaminya ke dalam Bahasa.
4) Persepsi
Tidak adanya halusinasi.
5. Pikiran
a. Bentuk pikir : realistik
b. Arus pikir
• Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat
diajukan pertanyaan.
• Kontinuitas : koheren, mampu memberikan jawaban
sesuai pertanyaan.
c. Isi pikiran : waham (-), fobia (-)
6. Sensorium dan kognisi
 Kesadaran: Compos mentis
 Orientasi dan daya ingat: W/T/O +/+/+ baik dan tidak terganggu daya
ingatnya
 Konsentrasi dan perhatian : tidak terganggu
 Kemampuan membaca dan menulis : tidak terganggu
4. Pengendalian impuls
Dapat mengendalikan impuls
5. Daya nilai dan tilikan
 Daya nilai sosial : baik
 Uji Daya nilai : baik
 Tilikan : Tilikan 5 (pasien menyadari bahwa dirinya
sakit dan tahu faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya
namun tidak menerapkan dalam praktisnya)
6. Taraf dapat dipercaya
Pasien dapat dipercaya

6
2.1.5 Diagnosis Multiaksial
Axis I : F 43.20 (Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan
Penyesuaian dengan Reaksi Depresi)
Axis II : Tidak ditemukan
Axis III : Tidak ditemukan
Axis IV : Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Axis V : GAF 80-71

2.1.6 Penatalaksanaan
Psikoterapi; terapi keluarga
Pasien dan suami dimotivasi oleh pemeriksa untuk tetap saling mendukung
dan terbuka satu sama lain

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Gangguan penyesuaian merupakan gangguan non-psikotik terkait stres yang
berlangsung singkat. Ketidaknyamanan, penderitaan, kekacauan pasien signifikan,
dan konsekuensinya (misalnya potensi bunuh diri) sangat penting.1
Gangguan penyesuaian (Adjustment disorder) merupakan gangguan jiwa
yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit untuk
penyakit medik ataupun operasi, namun jarang ada penelitiannya.2
Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai gejala-gejala emosional atau
perilaku yang bermakna secara klinis dan terjadi sebagai respon terhadap satu atau
lebih stresor yang nyata.2
Gejala-gejala timbul dalam tiga bulan terjadinya stresor dan menghilang
dalam waktu 6 (enam) bulan setelah tak ada stresor.2
Gangguan ini dapat dijumpai pada semua usia dan lebih sering pada remaja.2
Prevalensi diperkirakan 2 – 8% dari populasi umum. Suatu penelitian di
Amerika, mendapatkan 5 – 20% pasien dewasa yang berobat di poliklinik jiwa
menderita gangguan penyesuaian, sedangkan 70% anak yang dirawat di klinik jiwa
menderita gangguan penyesuaian. Pada rumah sakit umum prevalensinya bisa
mencapai 20% dengan penyakit fisik merupakan stresor primer pada 70% kasus.2,3
Pada orang dewasa, perempuan dengan gangguan penyesuaian jumlahnya
dua kali daripada laki-laki. Berbeda dengan pada anak dan remaja, baik pada
perempuan maupun laki-laki, prevalensi gangguan tersebut adalah sama.2

3.2 PREVALENSI
Menurut DSM-IV-TR, prevalensi gangguan ini diperkirakan dari 2 sampai 8
persen dari populasi umum. Perempuan didiagnosis dengan gangguan ini dua kali
daripada laki-laki, dan perempuan secara pribadi umumnya sangat dipresentasikan
sebagai yang paling rentan berisiko. Pada anak-anak dan remaja, laki-laki dan
perempuan secara seimbang didiagnosis dengan gangguan penyesuaian. Gangguan
ini dapat terjadi pada berbagai umur, tapi paling sering didiagnosis pada remaja. Di
antara remaja dari salah satu jenis kelamin, umumnya stres adalah masalah di

8
sekolah, penolakan dan perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat. Di antara
orang dewasa, pemicu stres adalah masalah pernikahan, perceraian, pindah pada
lingkungan yang baru, dan masalah keuangan.4
Gangguan penyesuaian merupakan diagnosis gangguan jiwa yang paling
umum untuk gangguan pasien yang dirawat di rumah sakit dan dengan masalah
bedah. Dalam suatu penelitian, 5 persen dari orang yang terdaftar di rumah sakit
lebih dari 3 tahun diklasifikasikan sebagai penyandang gangguan penyesuaian. Di
atas 50 persen dari orang dengan masalah kesehatan spesifik atau dengan stresor
telah didiagnosis dengan gangguan penyesuaian. Selanjutnya, 10 sampai 30 persen
kesehatan mental pasien rawat jalan dan di atas 12 persen pasien rawat inap yang
diarahkan untuk konsultasi kesehatan mental telah didiagnosis dengan gangguan
penyesuaian.4

3.3 ETIOPATOMEKANISME
Gangguan penyesuaian diperkirakan tidak akan terjadi tanpa adanya
stressor. Walaupun adanya stressor merupakan komponen esensial dari gangguan
penyesuaian, namun stress adalah salah satu dari banyak faktor yang menentukan
berkembangnya, jenis dan luasnya psikopatologi. Hingga sekarang, etiologi belum
pasti dan dapat dibagi atas beberapa faktor sebagai berikut: (1)
1. Genetik
Temperamen yang tinggi ansietas cenderung lebih bereaksi terhadap suatu
peristiwa stress dan kemudian mengalami gangguan penyesuaian. Ada
penelitian menyatakan bahwa berbagai peristiwa kehidupan dan stressor ada
kolerasi pada anak kembar.(1)
2. Biologik
Kerentanan yang besar dengan riwayat penyakit medis yang serius atau
disabilitas. (1)
3. Psikososial
Kerentanan yang besar pada individu yang kehilangan orang tua pada masa bayi
atau mereka yang ada pengalaman buruk dengan ibu, kemampuan mentolerir
frustasi dalam hidup individu dewasa berhubungan dengan kepuasan dari
kebutuhan dasar hidup masa bayi. (1)

9
Diagnosis gangguan penyesuaian membutuhkan identifikasi dari kejadian
yang penuh tekanan. Masih terjadi perdebatan apakah pasien dengan gangguan
penyesuaian memiliki vulnerabilitas yang tinggi terhadap stressor yang umum atau
vulnerabilitas yang umum terhadapp stressor yang besar.

Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan


penyesuaian pada seseorang.

 Peran stress
Seseorang harus mengalami kejadian yang penuh tekanan untuk
dianggap mengalami gangguan penyesuaian. Stressor yang menyebabkan
gangguan penyesuaian bisa jadi berbeda tipe dan bobot. Paykel et al
mengklasifikasikan kejadian hidup menjadi desirable/undesirable (seperti
kemajuan karir.penyakit), penerimaan/kehilangan (seperti
pernikahan/kematian seseorang yang dicintai).

Stressor bisa single/tunggal bisa multiple/banyak, single misalnya,


kehilangan orang yang dicintai, sedangkan yang multiple misalnya selain
kehilangan orang yang dicintai, juga di PHK, dan mengidap suatu penyakit.
Selain itu stressor juga dapat berupa sesuatu yang berulang, misalnya
kesulitan bisnis di masa sulit, serta dapat berupa sesuatu yang terus menerus,
misalnya kemiskinan dan penyakit kronis. Perselisihan dalam keluarga
dapat menyebabkan gangguan penyesuaian yang berpengaruh terhadap
semua anggota keluarga, namun dapat juga gangguan hanya terbatas pada
satu anggota keluarga yang mungkin menjadi korban, atau secara fisik,
menderita penyakit. Terkadang, gangguan penyesuaian juga dapat muncul
pada konteks kelompok atau komunitas, dimana sumber stresnya
mempengaruhi beberapa orang sekaligus, seperti yang terjadi pada
komunitas yang mengalami bencana alam. Selain itu tahap perkembangan
tertentu seperti, mulai masuk sekolah, meninggalkan rumah untuk
merantau, menikah, menjadi ayah/ibu, gagal dalam meraih cita-cita,
maupun ditinggal oleh anak untuk merantau, sering diasosiasikan dengan
gangguan penyesuaian (Kaplan & Sadock, 2007).

10
 Vulnerabilitas individu
Masing-masing individu memiliki vulnerabilitas yang berbeda terhadap
gangguan penyesuaian, tergantung dari karakteristik kepribadian dan latar
belakang masing-masing. Tidak semua orang yang mengalami stress akan
memiliki gangguan penyesuaian. Berikut adalah hal-hal yang
mempengaruhi vulnerabilitas seseorang terhadap stress:

- Variabilitas individu: usia, jenis kelamin, tingkat kesehatan atau


komorbiditas kejiwaan.
- Faktor hubungan, seperti tingkat instruksi; etik, politik, kepercayaan.
- Lingkungan keluarga: keberadaan dukungan, kekuatan hubungan, dan
status ekonomi.
- Kejadian di masa kecil: seorang ibu yang mengontrol anaknya atau
seorang ayah yang suka meng-abuse anaknya, berhubungan dengan
peningkatan risiko gangguan penyesuaian. Faktor personal dari
tingginya neurotisme dan rendahnya ekstraversi mungkin berhubungan
dengan gangguan penyesuaian.
- Level pendidikan: Level pendidikan yang tinggi dapat melindungi diri
dari distress psikologis.
- Status pernikahan: Pernikahan dianggap sebagai faktor yang dapat
melindungi diri dari gangguan penyesuaian.
- Hubungan antara kelainan kepribadian dan gangguan penyesuaian
masih tidak jelas. Meskipun gangguan kepribadian dapat meningkatkan
risiko berkembangnya gangguan penyesuaian, pasien dengan gangguan
penyesuaian lebih jarang untuk memiliki kelainan kepribadian
dibandingkan dengan pasien depresi.
3.4 GEJALA DAN TANDA
Gangguan penyesuaian didiagnosis saat seseorang memiliki gejala kejiwaan
saat menyesuaikan diri terhadap keadaan baru.

Gejala-gejala yang muncul bervariasi, misalnya depresi, kecemasan, atau


campuran di antara keduanya. Gejala campuran ini yang paling sering ditemukan

11
pada orang dewasa. Berikut adalah gabungan dari beberapa gejala gangguan
penyesuaian:

 Gejala psikologis. Meliputi depresi, cemas, khawatir, kurang konsentrasi,


dan mudah tersinggung.
 Gejala fisik. Meliputi berdebar-debar, nafas cepat, diare, dan tremor.
 Gejala perilaku. Meliputi agresif, ingin menyakiti diri sendiri, alcohol
abuse, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kesulitan sosial, dan
masalah pekerjaan.

Gejala-gejala tersebut muncul bertahap setelah adanya kejadian yang penuh


tekanan, dan biasanya berlangsung dalam waktu sebulan (ICD-10) atau 3 bulan
(DSM IV). Gangguan ini jarang terjadi lebih dari 6 bulan. Contoh kejadian yang
penuh tekanan antara lain putusnya hubungan, pemutusan hubungan kerja,
perselisihan dalam pekerjaan, kehilangan, sakit dan perubahan besar.

12
Seseorang yang menderita gangguan penyesuaian akan memiliki kesulitan
dalam fungsi sosial dan pekerjaan; kerja dan hubungan antara sesama akan
terganggu akibat stress yang berlangsung atau kurangnya konsentrasi.
Bagaimanapun juga kesulitan yang terjadi tidak akan mengganggu kehidupan
sehari-hari seseorang sampai level yang signifikan. Gejala tidak selalu
menghilang segera setelah stressor menghilang dan jika stressor berlanjut,
gangguan mungkin akan menjadi kronik.2,4,7

3.5 KRITERIA DIAGNOSIS

DSM-IV-TR

A. Perkembangan gejala emosi maupun perilaku yang muncul sebagai respon


terhadap stresor yang dapat diidentifikasi, terjadi dalam/tidak lebih dari 3
bulan setelah onset dari stresor tersebut.
B. Gejala atau perilaku tersebut secara klinis bermakna sebagaimana
ditunjukkan berikut ini:
a. Penderitaan yang nyata melebihi apa yang diperkirakan, saat
mendapatkan paparan stressor.
b. Gangguan yang bermakna pada fungsi sosial atau pekerjaan,
termasuk dalam bidang akademik.
C. Gangguan yang berhubungan dengan stres tidak memenuhi kriteria untuk
kelainan Axis I secara spesifik dan bukan merupakan eksaserbasi dari
kelainan Axis I atau II yang ada sebelumnya.
D. Gejalanya yang muncul tidak mencerminkan kehilangan (Bereavement)

13
E. Jika stressor (atau sequence-nya) telah berhenti, gejala tidak muncul lagi
untuk tambahan 6 bulan ke depan.
Tentukan jika:

Akut: Jika gangguan terjadi selama kurang dari 6 bulan

Kronik: Jika gangguan terjadi selama 6 bulan atau lebih lama adjusment disorder
dikode berdasarkan pada sub tipenya, yang dipilih berdasarkan gejala yang
predominan.

Stresor yang spesifik dapat ditentukan dalam axis IV

309.0 With Depressed Mood

309.24 With Anxiety

309.28 With Mixed Anxiety and Depressed Mood

309.3 With Disturbance of Conduct

309.4 With Mixed Disturbance of Emotions and Conduct

309.9 Unspecified

ICD-10

Gangguan penyesuaian dikode ke dalam F43.2, golongan Reaction to


severe stress, and adjustment disorders (F43). Menurut ICD 10, terdapat
bermacam-macam manifestasi klinis dari gangguan penyesuaian, termasuk mood
depresi, cemas, khawatir (atau gabungan antara ketiganya), perasaan tidak mampu
untuk mengatasi perasaan, merencanakan masa depan, atau melanjutkan kondisi
saat ini, dan beberapa tingkatan atas ketidakmampuan dalam penampilan sehari-
hari. Mungkin saja akan terjadi gangguan perilaku (seperti agresivitas dan disosial),
terutama pada orang dewasa. Tidak ada gejala yang predominan untuk masuk ke
dalam diangosis spesifik lainnya. Pada anak-anak biasanya terdapat fenomena
regresif, seperti mengompol, berbicara seperti bayi, atau menghisap jempol.

14
Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan sejak terjadinya kejadian yang penuh
dengan tekanan atau mengubah kehidupan, dan biasanya durasi dari gejala tersebut
tidak melebihi 6 bulan, kecuali masuk ke dalam kasus reaksi depresi
berkepanjangan (F 43.21). Jika gejala yang muncul berlangsung lama, maka
diagnosis sebaiknya diubah sesuai dengan gambaran klinis yang muncul.

Jika penyebabnya adalah kehilangan, maka harus dipertimbangkan juga


sebagai reaksi normal dari kehilangan (bereavement), yang sesuai dengan budaya
seseorang dan biasanya tidak lebih dari 6 bulan. Untuk diagnosis tersebut biasanya
dikode dengan Z63.4 (menghilangnya atau meninggalnya anggota keluarga).

Reaksi kehilangan dalam berbagai waktu, yang dianggap tidak normal


karena bentuk atau isinya, harus dikode sebagai F43.22, F43.23, F43.24, atau
F43.25, dan yang mana masih selalu muncul dan bertahan hingga 6 bulan dapat
dikode sebagai F43.21 (reaksi depresi berkepanjangan)

Pedoman Diagnosis

a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:


 Bentuk, isi, dan beratnya gejala;
 Riwayat dan corak kepribadian sebelumnya; dan
 Kejadian , situasi yang penuh tekanan, atau krisis kehidupan.
b. Keberadaan ketiga faktor ini harus jelas dan mempunyai bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami hal
tersebut.
c. Jika stressornya dianggap minimal, atau jika merupakan sebuah hubungan
sementara (kurang dari 3 bulan), kelainan tersebut harus diklasifikasikan di
tempat lain, sesuai dengan gejala yang muncul.
Includes:

- Culture shock
- Grief reaction
- Hospitalism in children

15
Excludes:

Gangguan cemas terpisah pada anak (F93.0)

Jika kriteria untuk gangguan penyesuaian sudah tepat, bentuk klinis atau fitur-
fitur yang dominan dapat dispesifikan ke dalam 5 karakter:

F43.20 Brief depressive reaction

Suatu keadaan depresi yang ringan dan sementara dengan durasi tidak melebihi
1 bulan.

F43.21 Prolonged depressive reaction

Suatu keadaan depresi ringan yang terjadi sebagai respon dari pajanan situasi
penuh tekanan yang berkepanjangan, namun durasi tidak melebihi 2 tahun.

F43.22 Mixed anxiety and depressive reaction

Baik gejala depresi maupun cemas cukup banyak, namun pada level yang tidak
lebih tinggi dari mixed anxiety and depressive disorder (F41,2) atau gangguan
cemas campuran lainnya (F41.3).

F43.23 With predominant disturbance of other emotions

Gejalanya biasanya berupa emosi yang parah, seperti cemas, khawatir, tegang,
dan marah. Kategori ini juga dapat digunakan pada anak-anak yang memiliki
perilaku regresif, seperti mengompol atau menghisap ibu jari.

F43.24 With predominant disturbance of conduct

Gangguan paling utama adalah yang meliputi perilaku, seperti reaksi kehilangan
orang dewasa yang mengakibatkan terjadinya perilaku agresif atau disosial.

F43.25 With mixed disturbance of emotions and conduct

Baik gejala emosional maupun gangguan perilaku, keduanya muncul dalam


bentuk yang prominent.

F43.28 With other specified predominant symptoms

16
PPDGJ-III:

a. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:


 bentuk, isi, dan beratnya gejala
 riwayat sebelumnya atau corak kepribadian
 kejadian, situasi yang penuh stres, atau krisis kehidupan
b. Adanya ketiga faktor di atas harus jelas dan mempunyai bukti yang kuat
bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami hal
tersebut.
c. Manifestasi gangguan bervariasi dan mencakup afek depresi, anxietas,
campuran depresi dan anxietas, gangguan tingkah laku disertai adanya
disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari.
d. Biasanya mulai terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya kejadian yang
penuh stres, dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan
kecuali dalam hal reaksi depresi berkepanjangan.
e. Karakter kelima :
F43.20 = reaksi depresi singkat
F43.21 = reaksi depresi berkepanjangan
F43.22 = reaksi campuran anxietas dan depresi
F43.23= dengan predominan gangguan emosi lain
F43.24= dengan predominan gangguan perilaku
F43.25= dengan gangguan campuran emosi dan perilaku
F43.28= dengan gejala predominan lainnya YDT.

3.6 PENATALAKSANAAN
a. Psikoterapi:1,2,3
Adalah pilihan utama; intervensi ini dapat dengan psikoterapi psikodinamik,
kognitif, perilaku, suportif, konseling. Secara individual ada kesempatan
untuk mengeksplorasi makna stresor bagi pasien sehingga trauma masa kecil
dapat diselesaikan dan akan membantu memperbaiki distorsi kognitif, perlu
memberikan dukungan yang cukup, terutama pertolongan praktis seperti
bantuan pengasuhan anak, dukungan keuangan, pekerjaan, dan kontak

17
dengan kelompok dukungan tertentu agar adaptasi bisa maksimal, berbagai
alternatif untuk mengatasi (coping) dan empati.
Ventilasi atau verbalisasi perasaan dapat berguna dalam mencegah perilaku
maladaptif seperti isolasi sosial, perilaku destruktif, atau bunuh diri.
Adakalanya setelah melewati psikoterapi yang berhasil, pasien sembuh
menjadi orang yang lebih kuat dibandingkan premorbid.
Terapis perlu memperhatikan kemungkinan timbulnya keuntungan sekunder
yang dapat menyulitkan terapi. Adapun peran sakit dari orang normal dapat
diartikan sebagai kesempatan terbebas dari tanggung jawab misalnya dari
segi hukum, petugas berwenang atau sekolah.
Perhatian terapis, empati dan pengertian yang merupakan syarat suksesnya
terapi dapat merupakan reward bagi pasien sehingga gejala semakin kuat. Hal
ini harus menjadi bahan pertimbangan sebelum melakukan psikoterapi yang
intensif, karena apabila pasien telah merasakan keuntungan sekunder, terapi
selanjutnya akan sulit.
Terapi kelompok bermanfaat bagi kelompok pasien yang mengalami
peristiwa yang sama misalnya para pensiunan, atau pasien yang mengalami
dialisis karena kegagalan fungsi ginjal. Terapi lainnya dapat berupa terapi
keluarga, biofeedback, teknik relaksasi, hipnosis.
Intervensi krisis, suatu terapi singkat bertujuan untuk membantu pasien
mengatasi situasi dengan cepat secara suportif, sugestif, reassurance,
manipulasi lingkungan dan hospitalisasi bila diperlukan.
Usaha yang harus dilakukan untuk membantu pasien dan keluarga mereka
memahami bahwa gangguan penyesuaian terjadi ketika stresor psikologis
menantang kemampuan individu untuk mengatasinya. Stresor bisa apa saja di
mana penting bagi pasien.
Setiap individu bereaksi berbeda terhadap situasi, tergantung tingkat
kepentingan dan intensitas peristiwa, kepribadian dan temperamen, usia, dan
kesejahteraan orang. Dengan demikian, gangguan penyesuaian bisa terjadi
akibat satu peristiwa atau mungkin akibat dari serangkaian peristiwa yang
menguras sumber daya individu. Pasien harus didorong untuk mengakui
kepentingan keperibadian dari peristiwa stres.

18
Pasien dan keluarga harus diyakinkan bahwa efek emosional dan fisik dari
peristiwa stres bersifat alami, sering merupakan reaksi yang sembuh sendiri.
Gejala terkait stres biasanya berlangsung hanya beberapa hari atau pekan.
Pasien umumnya berharap untuk kembali ke tingkat fungsi sebelumnya.
Bahkan jika gejala awal mereka parah. Pasien harus didorong untuk
mengidentifikasi kerabat, teman, dan sumber daya masyarakat yang dapat
memberikan dukungan selama periode akut.
b. Farmakoterapi2,6
Medikasi dengan obat-obatan harus diberikan untuk waktu yang singkat,
tergantung dari tipe gangguan penyesuaian, dapat diberikan pengobatan
efektif.
Pemberian antiansietas berguna untuk pasien dengan kecemasan, tetapi
hindarilah ketergantungan obat seperti benzodiazepine.
Antidepresi dapat diberikan bila dijumpai adanya depresi, misalnya SSRI.
Antidepresan sangat efektif dalam pengobatan depresi dalam perawatan
primer dan dapat menjadi terapi yang efektif dan efisien untuk gangguan
penyesuaian dengan mood depresif.
Bila ada psikosis dapat diberikan antipsikotika.
Perlu diketahui bahwa intervensi farmakologik adalah sebagai augment
psikoterapi dan bukan sebagai terapi primer.

3.7 PROGNOSIS
Dengan terapi yang efektif, prognosis pada umumnya adalah baik.
Kebanyakan pasien kembali ke fungsi semula dalam waktu 3 (tiga) bulan.1
Ada gangguan penyesuaian yang berlangsung sementara dan dapat sembuh
sendiri atau setelah mendapat terapi.2
Remaja membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih kembali dibandingkan
dengan orang dewasa. Terdapat penelitian follow-up setelah 5 tahun mendapatkan
71% pasien dewasa dan 40 % remaja sembuh tanpa gejala residual, 21% dewasa
dan 45% remaja berkembang menjadi gangguan depresi mayor, gangguan
kecemasa atau alkoholisme.2,7

19
Pada remaja prognosis kurang baik, karena 43% menderita Gangguan
Skizofrenia dengan Gangguan Skizoafektif, Depresi Mayor. Gangguan
Penyalahgunaan zat, serta Gangguan kepribadian. Adapun risiko bunuh diri cukup
tinggi.2

3.8 PREVENSI DAN REHABILITASI


Sampai sekarang prevensi terhadap timbulnya gangguan penyesuaian belum
banyak diketahui. Pada banyak kasus, prevensi terhadap stresor sebagai pencetus
gangguan penyesuaian adalah jarang.2
Suatu strategi prevensi yang dapat berguna pada banyak pasien adalah
pembelajaran proaktif tentang mengatur stres hidup yang biasanya dan
memaksimalkan kemampuan mengatasi problem tidak dalam kritis. Terapi yang
sesuai dapat mencegah berbagai gangguan mental yang serius seperti
penyalahgunaan zat, gangguan depresi mayor, bunuh diri.2

20
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis

Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis. Dari anamnesis


ditemukan gejala-gejala yang berkaitan dengan reaksi depresi. Dalam kasus ini
ditemukan pasien mengalami stressor berupa peristiwa cabul, pasien menjadi lebih
murung dan sering menangis saat ditanya tentang kejadian yang menimpanya.
Berdasarkan DSM-V pedoman diagnostik harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
A. Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap antara:
a. Bentuk, isi dan beratnya gejala,
b. Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian, dan
c. Kejadian, situasi yang “stressful”, atau krisis kehidupan.
B. Adanya faktor ketiga diatas harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut.
C. Manifestasi daari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif,
anxietas, campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai
adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari
gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis.
D. Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang
“stressful” dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan.1,2
Pada pasien ini dapat didiagnosa gangguan penyesuaian dengan reaksi
depresi karena memenuhi kriteria gangguan penyesuaian yaitu munculnya keluhan
yang berhubungan dengan situasi stressful yang terjadi yaitu peristiwa pencabulan
yang dilakukan oleh kerabatnya, namun dengan onset kurang dari 1 bulan.
Diagnosis depresi ditegakkan karena gejala depresi yang cukup menonjol, sepert
murung dan menangis.1,2,3
Pada pemeriksaan status mental didapatkan mood hipotimia yaitu suasana
perasaan yang secara pervasif diwarnai kesedihan dan kemurungan serta kehilangan
semangat. Secara obyektif tampak dari sikap murung. Pada afek didapatkan serasi
dengan mood karena pasien menangis saat menjelaskan kejadian yang
menimpanya.3

21
4.2 Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang mengarah sesuai dengan anamnesis yang dilakukan
yaitu gangguan stres pasca trauma. Gejala yang memenuhi kriteria gangguan ini
adalah
1) Gangguan timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik
berat
2) Adanya ingatan-ingatan kembali (flash back) akan peristiwa-peristiwa
traumatik yang pernah dialami
3) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.1,2
4.3 Terapi
Pada kasus ini pasien dan suami dimotivasi oleh pemeriksa agar tetap saling
mendukung dan terbuka satu sama lain, dan tidak diberikan intervensi
farmakoterapi. Psikoterapi merupakan terapi pilihan untuk gangguan penyesuaian.
Psikoterapi dapat membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stresor ireversibel
atau dibatasi waktu dan dapat berfungsi sebagai intervesi preventif jika stresor
pulih. Terdapat beberapa jenis psikoterapi yang dianjurkan, yakni:
a) Terapi kelompok; terutama dapat berguna untuk pasien yang menjalani stres
yang sama
b) Psikoterapi individual; menawarkan kesempatan untuk menggali arti stresor
bagi pasien sehingga trauma yang lebih dini dapat diatasi
c) Terapi keluarga; membantu pada kasus pasien dengan gangguan
penyesuaian yang mencakup gangguan tingkah laku yang memiliki
kesulitan dengan hukum, pihak berwenang, atau sekolah. Pasien didukung
pertumbuhan emosional selanjutnya dan perolehan tilikan dengan
sendirinya.
Hingga saat ini belum ada studi yang mengkaji efektivitas intervensi farmakologis
pada seseorang dengan gangguan penyesuaian. Penggunaan terapi farmakologis
yang bijak dan singkat dianjurkan sehingga dapat membantu pasien dengan
gangguan penyesuaian. Pemberian terapi farmakologis bergantung pada jenis
gangguan penyesuaian. Agen yang dapat diberikan adalah anti ansietas atau anti

22
depresan. Namun hal yang perlu diingat intervensi farmakologis pada kasus ini
digunakan sebagai pendukung strategi psikososial, bukan sebagai modalitas utama.

23
BAB V
KESIMPULAN

Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai gejala-gejala emosional atau


perilaku yang bermakna secara klinis dan terjadi sebagai respons terhadap suatu
stressor dan menghilang dalam waktu 6 bulan setelah tak ada stressor. Gangguan
ini dapat dijumpai pada semua usia dan lebih sering pada remaja.
Gangguan penyesuaian diperkirakan tidak akan terjadi tanpa adanya stressor.
Walaupun adanya stressor merupakan komponen esensial dari gangguan
penyesuaian, namun stress adalah salah satu dari banyak faktor yang menentukan
berkembangnya, jenis dan luasnya psikopatologi. Menurut PPDGJ-III, gangguan
penyesuaian dapat terdiagnosis jika gejala muncul 1 bulan setelah onset stressor
dan biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan.
Pada gangguan penyesuaian, dapat diberikan psikoterapi atau farmakoterapi
atau kombinasi kedua terapi. Psikoterapi adalah pilihan utama; dengan tujuan untuk
menganalisa stressor yang mengganggu pasien kemudian dihilangkan atau
diminimalkan. Psikoterapi, konseling krisis medis, intervensi krisis, terapi
keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku-kognitif, dan terapi interpersonal semua
mendorong individu untuk mengekspresikan pengaruh, ketakutan, kecemasan,
kemarahan, rasa tidak berdaya, dan putus asa terhadap stressor. Farmakoterapi
diberikan dalam waktu singkat, dan tergantung dari tipe gangguan penyesuaian,
dapat diebrikan penggolongan obat yang efektif. Pemberian antiansietas berguna
untuk pasien dengan kecemasan. Antidepresi dapat diberikan bila dijumpai adanya
depresi. Farmakoterapi adalah sebuah augment psikoterapi dan bukan sebagai
terapi primer.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Frank J. Adjusment Disorder (Updated on 2014 Februari 3). Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/2192631-overview
2. Kandou JE. Gangguan Penyesuaian. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, Buku
Ajar Psikiatri, ed. ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. Hal. 317 – 321.
3. Maramis WF, Maramis AA. Gangguan Penyesuaian. Dalam: Maramis WF,
Maramis AA, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, ed. ke-2. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan AUP. 2009. Hal. 322.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Adjustment Disorders. In: Sadock BJ, Sadock VA,
Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical
Psychiatry, 10th Ed. New York : Lippincott Williams & Wilkins. 2007. Pp.
787 – 790.
5. Stubbe D. Adjustment Disorder. In: Stubbe D, Child and Adolescent
Psychiatry : A Practical Guide, 1st Ed. New Haven : Lippincott William &
Wilkins. 2007. Pp. 160 – 161.
6. Hameed U, Schwartz TL, Malhotra Kamna, et al. Antidepressant Treatment
in the Primary Care Office : Outcomes for Adjusment Disorder Versus Major
Depression.
7. Kupfer DJ, Horner MS, Brent DA, et al. Anxiety and Stress-Related
Disorders. In: Kupfer DJ, Horner MS, Brent DA, et al, Oxford American
Handbook of Psychiatry, 1st Ed. New York : Oxford University Press. 2008.
Pp. 426 – 428.

25

Anda mungkin juga menyukai