Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kode Etik Psikologi

Kode etik psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan

sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi

di Indonesia (Himpsi, 2010). Berdasarkan Bersiff (1999), kode etik psikologi merupakan

standart yang ditetapkan oleh para profesional dan diberlakukan oleh APA (American

Psychological Association). Di dalam kode etik ditetapkan standart-standart tentang

pasal-pasal yang mencakup hal-hal yang pantas dilakukan oleh seorang psikolog.

Menurut American Psychological Association (dikutip oleh Bersiff, 1999) prinsip

umum etika seorang psikolog meliputi 6 area yaitu (a) competence, artinya psikolog

harus menjaga standart kemampuannya sebagai seorang psikolog; (b) integrity, artinya

psikolog harus memiliki integritas pada ilmu, pengajaran, dan praktek dalam psikologi;

(c) professional and scientific responsibility, artinya psikolog menegakkan standart

profesional dalam bertindak, menjelaskan aturan dan kewajiban profesional psikolog,

berperilaku yang pantas dan bertanggung jawab; (d) respect for people’s rights and

dignity, artinya menghormati asas fundamental, martabat, dan menghargai setiap

orang; (e) concern for others’ welfare, artinya psikolog memberikan kesejahteraan

individu secara profesional, dan (f) social responsibility, artinya psikolog peka dan

bertanggung jawab terhadap komunitas sosial di sekitarnya.


2.2 Kontak Seksual Sebagai Bentuk Pelanggaran Etika Profesional

Kasus kontak seksual oleh seorang profesional seperti psikolog dan terapis dengan

kliennya menjadi kasus yang sering dibahas dalam symposia atau panel. Psikolog

merupakan seorang profesional yang dituntut untuk tidak terpancing dalam pelecehen

seksual dengan kliennya. Pelecehan seksual yaitu ajakan untuk berhubungan seksual,

melibatkan kontak fisik dengan klien, dan tindakan verbal atau nonverbal yang memiliki

unsur seksual di dalamnya (dikutip dalam Corey, Corey, & Callanan, 1988). .

Berdasarkan Kode Etik Psikologi dari HIMPSI (2010) pada pasal 14 ayat (1) mengenai

pelecehan seksual oleh psikolog dan atau ilmuwan psikologi tercakup dalam pengertian

adanya permintaan berhubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal

yang bersifat seksual dimana pelecehan seksual dapa terdiri dari satu perilaku yang

intens atau parah, atau perilaku yang berulang, bertahan dan menimbulkan trauma.

Berdasarkan Corey, Corey, & Callanan (1988), terdapat tahapan sexual contacts

dengan klien yaitu: (a) psychological abuse, yaitu klien diposisikan sebagai penampung

rasa emosi konselor, (b) covert abuse, yaitu batas antara klien dan konselor menjadi

tipis, dan semakin melanggar kesepakatan professional antara klien dan terapis dengan

tindakan seperti berpelukan secara seksual (bukan memeluk secara empati),

voyeurism, tatapan seksual, perhatian berlebihan terhadap pakaian dan fisik klien dan

semua ini dilakukan dengan konotasi seksual, serta (c) sexual misconduct, yaitu terdiri

dari bercumbu, memegang bagian privat, bersenggama, dan oral serta anal seks.
2.3 Resiliensi

2.3.1 Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi diberikan pertama kali oleh Block (dikutip dalam Klohnen, 1996)

dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang

melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada

tekanan internal maupun eksternal. Berdasarkan Grotberg (1999) resiliensi adalah

suatu kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi dengan sesuatu yang terlihat salah

atau tidak sesuai. Dengan meningkatkan resiliensi, maka individu akan mampu

mengatasi kesulitan apapun yang muncul di dalam kehidupan ini.

Resiliensi merupakan suatu pertahanan psikologis yang ditandai oleh kemampuan

untuk mampu bangkit kembali dari pengalaman emosional negatif dan mampu

beradaptasi terhadap tuntutan pengalaman-pengalaman yang menimbulkan stres

(dikutip dalam Tugade & Fredrickson, 2004). Grotberg (1999) juga mengungkapkan

bahwa resiliensi dapat dikatakan sebagai kapasitas yang dimiliki seseorang yang

dihadapkan pada situasi-situasi yang rentan terhadap stres kemudian berhasil

mengatasinya bahkan mampu hidup lebih baik di kemudian harinya. Resiliensi

merupakan kunci sukses dalam pekerjaan dan mendapatkan kepuasan dalam hidup.

Resiliensi akan mempengaruhi kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kualitas

hubungan interpersonal. Keseluruhan hal ini merupakan komponen dasar dari

kebahagiaan dan kesuksesan (dikutip dalam Fonny, Waruwu & Lianawati, 2006).

Berdasarkan Reich, Zautra, & Hall (2010) resiliensi memiliki dua tahap fundamental

yaitu saat seseorang tersebut bangkit kembali dengan mudah dari rasa sakit, depresi,

dan dari kemalangan yang disebut tahap recovery (penyembuhan) dan tahap
sustainability (mempertahankan kondisinya yang telah resilien). Konsep dasar dari

resiliensi adalah individu dapat melawan kembali pengalaman-pengalaman buruk dan

bahkan seringkali membuat individu semakin tangguh dalam melewati proses resiliensi

tersebut. Dengan demikian, resiliensi dapat terjadi karena dibangun oleh sebuah proses

yang panjang (Hendersen & Milstein, 2003). Gordon (1996) mengungkapkan bahwa

resiliensi merupakan kemampuan untuk berkembang menjadi pribadi yang dewasa dan

meningkatkan kompetensi dalam menghadapi situasi-situasi yang merugikan. Resiliensi

juga merupakan kapasitas untuk beradaptasi terhadap keberhasilan, melihat sesuatu

sebagai hal positif, kemampuan menghadapi sesuatu meski berisiko tinggi, stres

berkelanjutan, atau menghadapi trauma (Henry, 1999).

2.3.2 Karakteristik Individu yang Mengalami Resiliensi

Menurut Grotberg (dikutip dalam Fonny, Waruwu dan Lianawati, 2006) individu yang

memiliki resiliensi tinggi akan mampu mengatasi kesulitan dan trauma yang dihadapi.

Individu ini akan mampu melihat kegagalan sebagai suatu kesempatan untuk menjadi

lebih maju dan mampu menarik pelajaran dari kegagalannya itu. Sedangkan pada

individu yang memiliki resiliensi rendah cenderung mempersepsi masalah sebagai

suatu beban dalam hidupnya sehingga membuat dirinya mudah merasa terancam dan

cepat merasa frustasi.

Berdasarkan Reich, Zautra, & Hall (2010) individu yang resilien memiliki karakteristik

diri seperti memiliki self esteem (rasa harga diri untuk mengatasi masalah); self

understanding (mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam diri); self efficacy

(memiliki kepercayaan akan kemampuan dirinya untuk mengatasi masalah yang


sedang dihadapinya dengan berhasil); positive future orientation (memiliki rencana akan

masa depannya); control of negative behavior and emotion (memiliki tanggung jawab,

kepekaan terhadap sesame, dan menunjukkan intergritas diri yang tinggi); hardliness

(memiliki komitmen yang kuat untuk tidak mudah terpengaruh dan menunjukkan

integritas diri yang tinggi);

ego resilience (dapat bersikap fleksibel dan mudah beradaptasi pada sumber yang

rentan akan stres); dan defense mechanism (proses otomatis psikologis yang

melindungi individu dari kecemasan dan waspada terhadap bahaya yang menimbulkan

stres baik dari faktor internal dan eksternal). Selain itu, individu yang resilien cenderung

memiliki pemikiran positif. Pemikiran ataupun emosi positif mampu membangun

resiliensi dan mempengaruhi individu menghadapi permasalahannya. Individu yang

resilien cenderung optimis terhadap hidupnya, memiliki harapan akan masa depan,

percaya bahwa individu mampu mengendalikan arah hidupnya, dan percaya memiliki

kemampuan untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang akan muncul pada masa

mendatang.
BAB III

ANALISA

Berdasarkan pada kedua kasus yang telah diuraikan di awal, terdapat persamaan

permasalahan di dalam kedua kasus tersebut yaitu adanya pelanggaran kode etik

psikologi yang mencakup pelanggaran terhadap batasan umum dalam suatu terapi

psikologi, pelanggaran terhadap sikap profesional dengan tidak memenuhinya standart

sebagai konselor atau psikoterapis, dan adanya pelecahan seksual kepada klien

selama masih dalam sesi terapi.

3.1 Pelanggaran terhadap terapi dan profesionalisme

Pada kasus I terdapat pelanggaran terhadap batasan umum dalam suatu terapi

psikologi dimana psikolog di dalam kasus tersebut menggunakan pendekatan terapi

yang tidak sesuai dengan permasalahan yang dikeluhkan oleh klien. Psikolog tersebut

menggunakan terapi dengan teknik reparenting yang berujung pada adanya tindakan

yang mengindasikan suatu pelecahan seksual kepada klien. Teknik reparenting

sebenarnya digunakan untuk mengorientasikan kembali pikiran dan perilaku klien agar

lebih sehat dari permasalahan psikologis seperti pengabaian, trauma, kekerasan, dan

penelantaran yang diyakinin berasal dari masa kanak-kanak (dikutip dalam Wikipedia,

2011). Dengan demikian melalui teknik reparenting ini, klien diharapkan dapat

melepaskan trauma tertentu yang terjadi pada masa kanak-kanak dan menerima

pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang normal dengan mengajarkan keterampilan

berpikir dan mengontrol perilaku negatif. Pada kasus I, psikolog tersebut mencoba
untuk menerapkan teknik reparenting di dalam membantu mengatasi ketidakmampuan

penyesuaian diri kliennya, namun psikolog tersebut memberikan teknik yang tidak

menggunakan prosedur baku berdasarkan teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi.

Psikolog tersebut menerapkan teknik reparenting yang bertujuan untuk membuat klien

merasa nyaman namun dengan melakukan kontak fisik secara berlebihan dengan klien

yang bahkan menjurus pada suatu tindakan dan pelecehan seksual seperti meminta

klien untuk menyandarkan kepada di bahunya yang kemudia semakin lama tindakan

psikolog tersebut semakin melewati batas kontak fisik yaitu dengan memegang (maaf)

payudara klien. Dengan demikian, psikolog tersebut tidak memenuhi etika dalam terapi

psikologi dimana psikolog melakukan kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari

gangguan psikologis atau masalah kepribadian dengan tidak menggunakan prosedur

baku berdasar teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi.

Pada kasus II, terapis telah melanggar kode etik karena dengan sengaja

menciptakan suatu kondisi di dalam sesi terapi agar klien melakukan transference

kepada terapis. Transference adalah (dikutip dalam Santrock, 2005) proses

ketidaksadaran dimana klien memproyeksikan ke terapis perasaan dan perilaku yang

dimiliki klien kepada orang yang dianggap dekat dan signifikan di dalam kehidupan

klien. Akibatnya secara tidak sadar klien akan mengidentifikasikan terapis sebagai

sosok yang dekat dengan dirinya dan setelah klien merasa nyaman dan percaya

kepada terapis maka terapis akan dengan mudah untuk membangun suatu kontak

seksual dengan kliennya. Hal ini telah dijelaskan di dalam kasus bahwa pada delapan

bulan terapi, terapis sudah “menciptakan” atau “mensettingkan” suatu kondisi terapi

dimana terapis dapat dengan mudah melakukan tindakan seksual kepada kliennya baik
selama terapi maupun sesudah terapi. Transference tersebut memudahkan bagi terapis

untuk melakukan kekerasan seksual kepada kliennya.

Berdasarkan pada kedua kasus tersebut, maka sangat jelas bahwa psikolog dan

terapis tersebut tidak memenuhi etika profesi sebagai seorang psikolog dan terapis

yang meliputi pelanggaran pada area professional and scientific responsibility, dimana

psikolog tidak menegakkan standart profesional dalam bertindak dan berperilaku yang

tidak pantas dan tidak bertanggung jawab serta pada area respect for people’s rights

and dignity dimana psikolog tidak menghormati asas fundamental, martabat, dan harga

diri klien.

3.2 Pelanggaran Kode Etik dengan Melakukan Kontak Seksual pada Klien

Pada kasus I, psikolog tersebut melakukan kontak seksual dengan klien selama

proses terapi yang berupa covert abuse dan sexual misconduct. Berdasarkan Corey,

Corey, & Callanan (1988), covert abuse merupakan suatu kontak seksual dimana batas

antara klien dan konselor menjadi tipis, dan semakin melanggar kesepakatan secara

seksual (bukan memeluk secara empati), voyeurism, tatapan seksual, perhatian

berlebihan terhadap pakaian dan fisik klien yang semua ini dilakukan dengan konotasi

seksual. Pertama tama, psikolog dalam kasus I melakukan kontak seksual dengan klien

dengan cara meminta klien untuk menyandarkan kepala di bahu psikolog selama

beberapa kali sesi terapi yang sebenarnya melakukan kontak fisik dengan klien telah

melanggar profesionalisme seorang psikolog. Psikolog tersebut kemudian melakukan

kontak seksual yang semakin meningkat yang disebut sebagai sexual misconduct.

Sexual misconduct adalah kontak seksual yang terdiri dari bercumbu, memegang
bagian privat, bersenggama, serta melakukan oral dan anal seks. Bentuk sexual

miscondut yang ditunjukkan psikolog dalam kasus I dengan kliennya adalah dengan

memegang (maaf) payudara klien yang sudah merupakan bagian privat dari klien.

Apabila klien tidak segera melaporkan kejadian ini kepada badan hukum, tidak menutup

kemungkinan apabila psikolog tersebut kemudian hari akan melakukan tindakan

pelecehan seksual yang semakin meningkat seperti mengajak klien untuk berhubungan

seksual atau melakukan tindakan kekerasan seksual. Berdasarkan Kode Etik Psikologi

dari HIMPSI (2010) pada pasal 14 ayat (1) mengenai pelecehan seksual oleh psikolog

dan atau ilmuwan psikologi tercakup dalam pengertian adanya permintaan

berhubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat

seksual dimana pelecehan seksual dapa terdiri dari satu perilaku yang intens atau

parah, atau perilaku yang berulang, bertahan dan menimbulkan trauma.

Pada kasus II, terapis tersebut melakukan tindakan seksual dengan telah

direncanakannya suatu tindakan seksual kepada klien pada saat delapan bulan terapi

berlangsung. Terapis tersebut menggunakan teknik dengan cara membuat klien untuk

melakukan transference kepada dirinya sehingga klien merasa memiliki hubungan yang

dekat dengan terapis dan berakibat terapis dapat dengan mudah melakukan tindakan

seksual dengan klien. Setelah dua tahun masa terapi, terapis dan klien tersebut

akhirnya menjalin hubungan yang melebihi batas sebagai seorang profesional dan

klien. Namun klien menyadari bahwa semakin lama tindakan dari terapis menjurus pada

adanya kekerasan seksual pada diri klien dan klien segera bertindak dengan

melaporkan terapisnya pada badan hukum. Setelah diperiksa bukti rekaman selama

proses terapi, memang diketahui bahwa teknik transference yang dilakukan oleh terapis
terhadap kliennya bertujuan untuk memudahkan terapis dalam melakukan tindakan

seksual kepada klien baik selama terapi maupun setelah terapi selesai. Dengan

demikian, terapis dari semula telah dengan jelas dan nyata memiliki keinginan untuk

melanggar moral dan etika standart dalam suatu terapi dengan merencanakan suatu

tindakan seksual kepada kliennya.

Kasus I dan kasus II memiliki persamaan permasalahan dimana klien dirugikan

secara psikis akibat tindakan dan pelecehan seksual dari psikolo maupun terapisnya.

Ketika seks dilibatkan dalam hubungan terapeutik, terapis akan kehilangan kontrol dan

arah terapi. Efek lain dari adanya tindakan seksual lainnya adalah munculnya perasaan

negative tentang pengalaman saat terapi, dampak negative pada kepribadian, serta

kemunduran hubungan seksual dengan partner sesungguhnya (istri/suami) sehingga

mereka merasa segan untuk mengikuti terapi berikutnya karena adanya pengalaman

buruk.

3.3 Pengaruh Pelanggaran Kode Etik terhadap Resiliensi Klien

Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh psikolog dan terapis pada kasus I dan

kasus II memberikan dampak emosional bagi klien. Klien yang seharusnya dilindungi

dan diberikan solusi terhadap permasalahannya justru mendapatkan kerugian secara

fisik dan psikis karena merasa dilecehkan oleh seorang profesional. Berdasarkan

Corey, Corey, & Callanan (1988), diungkapkan beberapa dampak yang dirasakan oleh

klien akibat sexual intimacy antara terapis dengan klien, yaitu secara klinis pasien akan

mengeluhkan ketegangan, ketakutan pada sesuatu kelelahan, hilangnya motivasi,

depresi, dan atau kecemasan. Keputusasaan dan bersikap pesimis biasanya hal yang
paling banyak muncul sebagai dampak dari tindakan seksual dari seorang terapis.

Selain itu, sexual intimacy tersebut juga memberikan dampak seperti memburuknya

hubungan di dalam keluarga, ketidakmampuan dalam bekerja, menyalahkan diri sendiri,

dan membenci diri sendiri yang akan berakibat lebih buruk apabila tidak segera

diberikan intervensi karena dapat beresiko pasien akan melakukan bunuh diri.

Berdasarkan dampak-dampak tersebut seharusnya psikolog atau terapis sebagai

seorang profesional memberikan pelayanan psikologis dengan melindungi (adanya

caring) klien terhadap permasalahan psikologisnya serta menghormati klien

sebagaimana mestinya.

Pada awalnya kedua klien tersebut merasa dirugikan baik secara fisik maupun psikis

karena mereka yang seharusnya mendapatkan solusi dari permasalahannya justru

berbanding terbalik dengan apa yang mereka harapkan dari sesi terapi. Selama dan

setelah mengikuti terapi, para klien mengharapkan untuk mendapatkan kesembuhan

secara psikis atau mental, namun akibat dari pelecehan seksual pada klien I dan

adanya kekerasan seksual pada klien II mengakibatkan mereka mengalami tekanan

psikologis dan perasaan negatif terhadap para psikolog mereka dan pengalaman

terapinya. Keintiman secara seksual dalam suatu terapi atau konseling mungkin

melibatkan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh psikolog atau terapis.

Berdasarkan sudut pandang terapis, tindakan seksual mungkin memberikan emosional

lebih dalam sehingga menjadi bias dalam penilaian dan tidak menyelesaikan masalah

klien yang sebenarnya. Selain itu di sisi lainnya, klien juga merasa diperdaya dan

mendapatkan kenangan buruk sehingga merasa traumatis akan sesi terapi.


Menurut saya, gambaran resiliensi dari kedua klien pada kasus I dan kasus II

terhadap pelanggaran kode etik yang diterima mereka dari psikolog dan terapisnya

adalah adanya kemampuan untuk kembali bangkit dari pengalaman pelecehan dan

kekerasan seksual yang diterima dari psikolog mereka dengan memberanikan diri

melaporkan kepada badan hukum dan memperkarakan pelecehan seksual yang

diterimanya. Akibat dari pengaduan yang dilakukan oleh kedua klien tersebut, mereka

mendapatkan perlindungan akan hak-hak mereka sebagai seorang pasien dan berhasil

mendapatkan kemenangan serta ganti rugi dari piskolog dan terapis yang

merugikannya.

Grotberg (1999) mengungkapkan bahwa resiliensi dapat dikatakan sebagai kapasitas

yang dimiliki seseorang yang dihadapkan pada situasi-situasi yang rentan terhadap

stres kemudian berhasil mengatasinya bahkan mampu hidup lebih baik di kemudian

harinya. Menurut saya, kedua klien tersebut memiliki pertahanan psikologis dimana

mereka mampu untuk bangkit kembali dari pengalaman emosional negatif mereka yang

diakibatkan oleh pelecehan dan kekerasan seksual serta mencoba untuk kembali

berhadapan dan beradaptasi pada pengalaman tersebut sehingga memiliki motivasi

dan keberanian untuk mengadukan tindakan dari para terapis mereka ke pengadilan.

Hal ini sesuai dengan konsep dasar dari resiliensi adalah individu dapat melawan

kembali pengalaman-pengalaman buruk dan bahkan seringkali membuat individu

semakin tangguh dalam melewati proses resiliensi tersebut (Hendersen & Milstein,

2003).

Saat seorang wanita memiliki niat untuk mengadukan dan memperkarakan suatu

tindakan seksual ke badan hukum menurut saya tidaklah mudah. Hal ini karena suatu
pelecehan dan kekerasan seksual merupakan suatu tindakan yang terkadang masih

takut dan malu diungkapkan oleh seorang wanita karena mereka memikirkan

bagaimana pandangan sosial terhadap harga diri mereka. Terlebih pada kasus II

dimana klien dalam kasus tersebut telah menjalin hubungan yang intim melebihi

hubungan profesional antara terapis dengan klien. Berdasarkan Corey, Corey, &

Callanan (1988) sebagian besar klien yang mengalami pelecehan seksual tidak

melaporkan kejadian tersebut karena adanya rasa malu dan bersalah sehingga tidak

berkeinginan untuk meneruskan permasalahan tersebut ke pengadilan. Namun, akhir-

akhir ini semakin banyak klien perempuan yang memberanikan diri untuk melaporkan

dan menuntut terapis yang melakukan pelecehan kepada mereka.

Dengan demikian, keputusan dan tindakan kedua klien dalam kasus I dan II untuk

menghadapi pengalaman traumatis mereka dengan mengadukan psikolog dan

terapisnya merupakan suatu bentuk kemampuan mereka untuk berkembang menjadi

pribadi yang lebih dewasa, dapat lebih peka dan mengantisipasi terhadap situasi atau

keadaan yang dapat memunculkan kembali pengalaman pelecehan dan kekerasan

seksual yang diterimanya, serta meningkatkan kemampuan klien untuk dapat cepat

memiliki inisiatif ketika dihadapkan pada suatu permasalahan dan cenderung tidak

mempersepsi suatu permasalahan menjadi beban hidupnya. Menurut saya, kedua klien

dalam kasus I dan kasus II telah menjadi individu yang resilien karena mereka memiliki

harapan positif akan masa depannya walaupun sudah mengalami pelecehan dan

kekerasan seksual. Melalui harapan tersebut mereka memiliki kepercayaan diri untuk

mengungkapkan kasus mereka ke badan hukum dan publik yang kemudian kasus

tersebut dapat dimenangkan oleh klien sehingga klien mendapatkan sejumlah ganti rugi
dalam bentuk materi. Klien pada kasus I mendapatkan ganti rugi materi dengan jumlah

yang besar yaitu $1,350,000 dan klien pada kasus II mendapat ganti rugi materi

sebesar $500,000. Kemenangan mereka tersebut semakin meningkatkan harga diri,

kepercayaan diri, dan keyakinan diri mereka bahwa mereka memiliki kemampuan

dalam mengatasi masalah, mampu mengendalikan arah hidupnya, dan mampu bangkit

serta beradaptasi dari pengalaman negatifnya. Dengan demikian, kedua klien tersebut

akan semakin menunjukkan pribadi yang resilien dan dapat berkembang menjadi

pribadi yang kuat mental dan pribadi yang positif

Anda mungkin juga menyukai