KAJIAN PUSTAKA
Kode etik psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan
di Indonesia (Himpsi, 2010). Berdasarkan Bersiff (1999), kode etik psikologi merupakan
standart yang ditetapkan oleh para profesional dan diberlakukan oleh APA (American
pasal-pasal yang mencakup hal-hal yang pantas dilakukan oleh seorang psikolog.
umum etika seorang psikolog meliputi 6 area yaitu (a) competence, artinya psikolog
harus menjaga standart kemampuannya sebagai seorang psikolog; (b) integrity, artinya
psikolog harus memiliki integritas pada ilmu, pengajaran, dan praktek dalam psikologi;
berperilaku yang pantas dan bertanggung jawab; (d) respect for people’s rights and
orang; (e) concern for others’ welfare, artinya psikolog memberikan kesejahteraan
individu secara profesional, dan (f) social responsibility, artinya psikolog peka dan
Kasus kontak seksual oleh seorang profesional seperti psikolog dan terapis dengan
kliennya menjadi kasus yang sering dibahas dalam symposia atau panel. Psikolog
merupakan seorang profesional yang dituntut untuk tidak terpancing dalam pelecehen
seksual dengan kliennya. Pelecehan seksual yaitu ajakan untuk berhubungan seksual,
melibatkan kontak fisik dengan klien, dan tindakan verbal atau nonverbal yang memiliki
unsur seksual di dalamnya (dikutip dalam Corey, Corey, & Callanan, 1988). .
Berdasarkan Kode Etik Psikologi dari HIMPSI (2010) pada pasal 14 ayat (1) mengenai
pelecehan seksual oleh psikolog dan atau ilmuwan psikologi tercakup dalam pengertian
adanya permintaan berhubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal
yang bersifat seksual dimana pelecehan seksual dapa terdiri dari satu perilaku yang
intens atau parah, atau perilaku yang berulang, bertahan dan menimbulkan trauma.
Berdasarkan Corey, Corey, & Callanan (1988), terdapat tahapan sexual contacts
dengan klien yaitu: (a) psychological abuse, yaitu klien diposisikan sebagai penampung
rasa emosi konselor, (b) covert abuse, yaitu batas antara klien dan konselor menjadi
tipis, dan semakin melanggar kesepakatan professional antara klien dan terapis dengan
voyeurism, tatapan seksual, perhatian berlebihan terhadap pakaian dan fisik klien dan
semua ini dilakukan dengan konotasi seksual, serta (c) sexual misconduct, yaitu terdiri
dari bercumbu, memegang bagian privat, bersenggama, dan oral serta anal seks.
2.3 Resiliensi
Istilah resiliensi diberikan pertama kali oleh Block (dikutip dalam Klohnen, 1996)
melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada
suatu kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi dengan sesuatu yang terlihat salah
atau tidak sesuai. Dengan meningkatkan resiliensi, maka individu akan mampu
untuk mampu bangkit kembali dari pengalaman emosional negatif dan mampu
(dikutip dalam Tugade & Fredrickson, 2004). Grotberg (1999) juga mengungkapkan
bahwa resiliensi dapat dikatakan sebagai kapasitas yang dimiliki seseorang yang
merupakan kunci sukses dalam pekerjaan dan mendapatkan kepuasan dalam hidup.
kebahagiaan dan kesuksesan (dikutip dalam Fonny, Waruwu & Lianawati, 2006).
Berdasarkan Reich, Zautra, & Hall (2010) resiliensi memiliki dua tahap fundamental
yaitu saat seseorang tersebut bangkit kembali dengan mudah dari rasa sakit, depresi,
dan dari kemalangan yang disebut tahap recovery (penyembuhan) dan tahap
sustainability (mempertahankan kondisinya yang telah resilien). Konsep dasar dari
bahkan seringkali membuat individu semakin tangguh dalam melewati proses resiliensi
tersebut. Dengan demikian, resiliensi dapat terjadi karena dibangun oleh sebuah proses
yang panjang (Hendersen & Milstein, 2003). Gordon (1996) mengungkapkan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan untuk berkembang menjadi pribadi yang dewasa dan
sebagai hal positif, kemampuan menghadapi sesuatu meski berisiko tinggi, stres
Menurut Grotberg (dikutip dalam Fonny, Waruwu dan Lianawati, 2006) individu yang
memiliki resiliensi tinggi akan mampu mengatasi kesulitan dan trauma yang dihadapi.
Individu ini akan mampu melihat kegagalan sebagai suatu kesempatan untuk menjadi
lebih maju dan mampu menarik pelajaran dari kegagalannya itu. Sedangkan pada
suatu beban dalam hidupnya sehingga membuat dirinya mudah merasa terancam dan
Berdasarkan Reich, Zautra, & Hall (2010) individu yang resilien memiliki karakteristik
diri seperti memiliki self esteem (rasa harga diri untuk mengatasi masalah); self
understanding (mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam diri); self efficacy
masa depannya); control of negative behavior and emotion (memiliki tanggung jawab,
kepekaan terhadap sesame, dan menunjukkan intergritas diri yang tinggi); hardliness
(memiliki komitmen yang kuat untuk tidak mudah terpengaruh dan menunjukkan
ego resilience (dapat bersikap fleksibel dan mudah beradaptasi pada sumber yang
rentan akan stres); dan defense mechanism (proses otomatis psikologis yang
melindungi individu dari kecemasan dan waspada terhadap bahaya yang menimbulkan
stres baik dari faktor internal dan eksternal). Selain itu, individu yang resilien cenderung
resilien cenderung optimis terhadap hidupnya, memiliki harapan akan masa depan,
percaya bahwa individu mampu mengendalikan arah hidupnya, dan percaya memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang akan muncul pada masa
mendatang.
BAB III
ANALISA
Berdasarkan pada kedua kasus yang telah diuraikan di awal, terdapat persamaan
permasalahan di dalam kedua kasus tersebut yaitu adanya pelanggaran kode etik
psikologi yang mencakup pelanggaran terhadap batasan umum dalam suatu terapi
sebagai konselor atau psikoterapis, dan adanya pelecahan seksual kepada klien
Pada kasus I terdapat pelanggaran terhadap batasan umum dalam suatu terapi
yang tidak sesuai dengan permasalahan yang dikeluhkan oleh klien. Psikolog tersebut
menggunakan terapi dengan teknik reparenting yang berujung pada adanya tindakan
sebenarnya digunakan untuk mengorientasikan kembali pikiran dan perilaku klien agar
lebih sehat dari permasalahan psikologis seperti pengabaian, trauma, kekerasan, dan
penelantaran yang diyakinin berasal dari masa kanak-kanak (dikutip dalam Wikipedia,
2011). Dengan demikian melalui teknik reparenting ini, klien diharapkan dapat
melepaskan trauma tertentu yang terjadi pada masa kanak-kanak dan menerima
berpikir dan mengontrol perilaku negatif. Pada kasus I, psikolog tersebut mencoba
untuk menerapkan teknik reparenting di dalam membantu mengatasi ketidakmampuan
penyesuaian diri kliennya, namun psikolog tersebut memberikan teknik yang tidak
menggunakan prosedur baku berdasarkan teori yang relevan dengan ilmu psikoterapi.
Psikolog tersebut menerapkan teknik reparenting yang bertujuan untuk membuat klien
merasa nyaman namun dengan melakukan kontak fisik secara berlebihan dengan klien
yang bahkan menjurus pada suatu tindakan dan pelecehan seksual seperti meminta
klien untuk menyandarkan kepada di bahunya yang kemudia semakin lama tindakan
psikolog tersebut semakin melewati batas kontak fisik yaitu dengan memegang (maaf)
payudara klien. Dengan demikian, psikolog tersebut tidak memenuhi etika dalam terapi
psikologi dimana psikolog melakukan kegiatan yang dilakukan untuk penyembuhan dari
Pada kasus II, terapis telah melanggar kode etik karena dengan sengaja
menciptakan suatu kondisi di dalam sesi terapi agar klien melakukan transference
dimiliki klien kepada orang yang dianggap dekat dan signifikan di dalam kehidupan
klien. Akibatnya secara tidak sadar klien akan mengidentifikasikan terapis sebagai
sosok yang dekat dengan dirinya dan setelah klien merasa nyaman dan percaya
kepada terapis maka terapis akan dengan mudah untuk membangun suatu kontak
seksual dengan kliennya. Hal ini telah dijelaskan di dalam kasus bahwa pada delapan
bulan terapi, terapis sudah “menciptakan” atau “mensettingkan” suatu kondisi terapi
dimana terapis dapat dengan mudah melakukan tindakan seksual kepada kliennya baik
selama terapi maupun sesudah terapi. Transference tersebut memudahkan bagi terapis
Berdasarkan pada kedua kasus tersebut, maka sangat jelas bahwa psikolog dan
terapis tersebut tidak memenuhi etika profesi sebagai seorang psikolog dan terapis
yang meliputi pelanggaran pada area professional and scientific responsibility, dimana
psikolog tidak menegakkan standart profesional dalam bertindak dan berperilaku yang
tidak pantas dan tidak bertanggung jawab serta pada area respect for people’s rights
and dignity dimana psikolog tidak menghormati asas fundamental, martabat, dan harga
diri klien.
3.2 Pelanggaran Kode Etik dengan Melakukan Kontak Seksual pada Klien
Pada kasus I, psikolog tersebut melakukan kontak seksual dengan klien selama
proses terapi yang berupa covert abuse dan sexual misconduct. Berdasarkan Corey,
Corey, & Callanan (1988), covert abuse merupakan suatu kontak seksual dimana batas
antara klien dan konselor menjadi tipis, dan semakin melanggar kesepakatan secara
berlebihan terhadap pakaian dan fisik klien yang semua ini dilakukan dengan konotasi
seksual. Pertama tama, psikolog dalam kasus I melakukan kontak seksual dengan klien
dengan cara meminta klien untuk menyandarkan kepala di bahu psikolog selama
beberapa kali sesi terapi yang sebenarnya melakukan kontak fisik dengan klien telah
kontak seksual yang semakin meningkat yang disebut sebagai sexual misconduct.
Sexual misconduct adalah kontak seksual yang terdiri dari bercumbu, memegang
bagian privat, bersenggama, serta melakukan oral dan anal seks. Bentuk sexual
miscondut yang ditunjukkan psikolog dalam kasus I dengan kliennya adalah dengan
memegang (maaf) payudara klien yang sudah merupakan bagian privat dari klien.
Apabila klien tidak segera melaporkan kejadian ini kepada badan hukum, tidak menutup
pelecehan seksual yang semakin meningkat seperti mengajak klien untuk berhubungan
seksual atau melakukan tindakan kekerasan seksual. Berdasarkan Kode Etik Psikologi
dari HIMPSI (2010) pada pasal 14 ayat (1) mengenai pelecehan seksual oleh psikolog
berhubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat
seksual dimana pelecehan seksual dapa terdiri dari satu perilaku yang intens atau
Pada kasus II, terapis tersebut melakukan tindakan seksual dengan telah
direncanakannya suatu tindakan seksual kepada klien pada saat delapan bulan terapi
berlangsung. Terapis tersebut menggunakan teknik dengan cara membuat klien untuk
melakukan transference kepada dirinya sehingga klien merasa memiliki hubungan yang
dekat dengan terapis dan berakibat terapis dapat dengan mudah melakukan tindakan
seksual dengan klien. Setelah dua tahun masa terapi, terapis dan klien tersebut
akhirnya menjalin hubungan yang melebihi batas sebagai seorang profesional dan
klien. Namun klien menyadari bahwa semakin lama tindakan dari terapis menjurus pada
adanya kekerasan seksual pada diri klien dan klien segera bertindak dengan
melaporkan terapisnya pada badan hukum. Setelah diperiksa bukti rekaman selama
proses terapi, memang diketahui bahwa teknik transference yang dilakukan oleh terapis
terhadap kliennya bertujuan untuk memudahkan terapis dalam melakukan tindakan
seksual kepada klien baik selama terapi maupun setelah terapi selesai. Dengan
demikian, terapis dari semula telah dengan jelas dan nyata memiliki keinginan untuk
melanggar moral dan etika standart dalam suatu terapi dengan merencanakan suatu
secara psikis akibat tindakan dan pelecehan seksual dari psikolo maupun terapisnya.
Ketika seks dilibatkan dalam hubungan terapeutik, terapis akan kehilangan kontrol dan
arah terapi. Efek lain dari adanya tindakan seksual lainnya adalah munculnya perasaan
negative tentang pengalaman saat terapi, dampak negative pada kepribadian, serta
mereka merasa segan untuk mengikuti terapi berikutnya karena adanya pengalaman
buruk.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh psikolog dan terapis pada kasus I dan
kasus II memberikan dampak emosional bagi klien. Klien yang seharusnya dilindungi
fisik dan psikis karena merasa dilecehkan oleh seorang profesional. Berdasarkan
Corey, Corey, & Callanan (1988), diungkapkan beberapa dampak yang dirasakan oleh
klien akibat sexual intimacy antara terapis dengan klien, yaitu secara klinis pasien akan
depresi, dan atau kecemasan. Keputusasaan dan bersikap pesimis biasanya hal yang
paling banyak muncul sebagai dampak dari tindakan seksual dari seorang terapis.
Selain itu, sexual intimacy tersebut juga memberikan dampak seperti memburuknya
dan membenci diri sendiri yang akan berakibat lebih buruk apabila tidak segera
diberikan intervensi karena dapat beresiko pasien akan melakukan bunuh diri.
sebagaimana mestinya.
Pada awalnya kedua klien tersebut merasa dirugikan baik secara fisik maupun psikis
berbanding terbalik dengan apa yang mereka harapkan dari sesi terapi. Selama dan
secara psikis atau mental, namun akibat dari pelecehan seksual pada klien I dan
psikologis dan perasaan negatif terhadap para psikolog mereka dan pengalaman
terapinya. Keintiman secara seksual dalam suatu terapi atau konseling mungkin
lebih dalam sehingga menjadi bias dalam penilaian dan tidak menyelesaikan masalah
klien yang sebenarnya. Selain itu di sisi lainnya, klien juga merasa diperdaya dan
terhadap pelanggaran kode etik yang diterima mereka dari psikolog dan terapisnya
adalah adanya kemampuan untuk kembali bangkit dari pengalaman pelecehan dan
kekerasan seksual yang diterima dari psikolog mereka dengan memberanikan diri
diterimanya. Akibat dari pengaduan yang dilakukan oleh kedua klien tersebut, mereka
mendapatkan perlindungan akan hak-hak mereka sebagai seorang pasien dan berhasil
mendapatkan kemenangan serta ganti rugi dari piskolog dan terapis yang
merugikannya.
yang dimiliki seseorang yang dihadapkan pada situasi-situasi yang rentan terhadap
stres kemudian berhasil mengatasinya bahkan mampu hidup lebih baik di kemudian
harinya. Menurut saya, kedua klien tersebut memiliki pertahanan psikologis dimana
mereka mampu untuk bangkit kembali dari pengalaman emosional negatif mereka yang
diakibatkan oleh pelecehan dan kekerasan seksual serta mencoba untuk kembali
dan keberanian untuk mengadukan tindakan dari para terapis mereka ke pengadilan.
Hal ini sesuai dengan konsep dasar dari resiliensi adalah individu dapat melawan
semakin tangguh dalam melewati proses resiliensi tersebut (Hendersen & Milstein,
2003).
Saat seorang wanita memiliki niat untuk mengadukan dan memperkarakan suatu
tindakan seksual ke badan hukum menurut saya tidaklah mudah. Hal ini karena suatu
pelecehan dan kekerasan seksual merupakan suatu tindakan yang terkadang masih
takut dan malu diungkapkan oleh seorang wanita karena mereka memikirkan
bagaimana pandangan sosial terhadap harga diri mereka. Terlebih pada kasus II
dimana klien dalam kasus tersebut telah menjalin hubungan yang intim melebihi
hubungan profesional antara terapis dengan klien. Berdasarkan Corey, Corey, &
Callanan (1988) sebagian besar klien yang mengalami pelecehan seksual tidak
melaporkan kejadian tersebut karena adanya rasa malu dan bersalah sehingga tidak
akhir ini semakin banyak klien perempuan yang memberanikan diri untuk melaporkan
Dengan demikian, keputusan dan tindakan kedua klien dalam kasus I dan II untuk
pribadi yang lebih dewasa, dapat lebih peka dan mengantisipasi terhadap situasi atau
seksual yang diterimanya, serta meningkatkan kemampuan klien untuk dapat cepat
memiliki inisiatif ketika dihadapkan pada suatu permasalahan dan cenderung tidak
mempersepsi suatu permasalahan menjadi beban hidupnya. Menurut saya, kedua klien
dalam kasus I dan kasus II telah menjadi individu yang resilien karena mereka memiliki
harapan positif akan masa depannya walaupun sudah mengalami pelecehan dan
kekerasan seksual. Melalui harapan tersebut mereka memiliki kepercayaan diri untuk
mengungkapkan kasus mereka ke badan hukum dan publik yang kemudian kasus
tersebut dapat dimenangkan oleh klien sehingga klien mendapatkan sejumlah ganti rugi
dalam bentuk materi. Klien pada kasus I mendapatkan ganti rugi materi dengan jumlah
yang besar yaitu $1,350,000 dan klien pada kasus II mendapat ganti rugi materi
kepercayaan diri, dan keyakinan diri mereka bahwa mereka memiliki kemampuan
dalam mengatasi masalah, mampu mengendalikan arah hidupnya, dan mampu bangkit
serta beradaptasi dari pengalaman negatifnya. Dengan demikian, kedua klien tersebut
akan semakin menunjukkan pribadi yang resilien dan dapat berkembang menjadi