Anda di halaman 1dari 34

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Penyesuaian Diri


1. Definisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai
keseimbangan pada dirinya dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan
lingkungannya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses psikologis sepanjang
hidup dan individu berupaya untuk menemukan dan mengatasi tekanan dan
tantangan hidup agar mencapai pribadi yang sehat (Fatimah, 2012). Pendapat lain
juga menyatakan, bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diusahakan
individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, frustasi,
konflik, ketegangan serta untuk menghasilkan kualitas dan keselarasan antar
tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungannya
(Ali & Asrori 2015: 176). Kemudian menurut Sobur (2016) penyesuaian diri
adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan pada dirinya dalam
memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan lingkungannya
Menurut Schneiders (Fajar & Aviani 2022) penyesuaian diri adalah
sebagai sebuah proses yang melibatkan respons mental dan tingkah laku, dimana
individu berusaha untuk dapat berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam
dirinya, mengatasi ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustrasi yang
dialaminya. Usaha individu tersebut bertujuan agar terwujud tingkat keselarasan
dan harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan di mana ia tinggal.
Hurlock (2012) penyesuaian diri adalah kemampuan individu yang
mampu menyesuaikan diri kepada umum atau kelompoknya dan orang tersebut
memperlihatkan sikap dan perilaku yang menyenangkan, berarti orang tersebut
diterima oleh kelompok dan lingkungannya. Menurut Wlliam (Darma: 2017:5)
adalah suatu kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar
terhadap lingkungan sehingga individu merasa puas terhadapa dirinya dan
terhadap lingkungannya.
Lazarus dalam (Saputro & Sugiarti 2021.) mengatakan bahwa
menyesuaikan berasal dari kata “to adjust” yang berarti untuk membuat sesuai
atau cocok beradaptasi, Lazarus juga menyatakan bahwa penyesuaian terdiri dari
proses bagaimana individu mengatur berbagai permintaan, bersumber dari
eksternal atau dari internal diri.
Menurut Calhoun dan Acocella (Masaroh, 2021) penyesuaian diri sebagai
interaksi kemampuan seseorang untuk membuat hubungan yang serasi antara diri
dan lingkungannya. Menurut Sobur (Aliyustati 2016:7) penyesuaian adalah suatu
proses dinamik terus-menerus terjadi pada setiap diri individu yang bertujuan
untuk mengubah ketingkah laku agar mendapatkan hubungan yang lebih serasi
antara diri dan lingkungan dimana tempat individu tinggal.
Dapat disimpulkan dari pemaparan para ahli diatas bahwa penyesuaian
diri merupakan proses interaksi individu dengan diri sendiri, orang lain, dengan
situasi kondisi lingkungan yang baru penyesuaian diri bersifat dinamis dan
bertujuan untuk mengubah tingkah laku individu agar terjadi hubungan yang
lebih baik dan harmonis antara diri individu dengan lingkungannya dimana
tempat ia tinggal.
2. Aspek-aspek penyesuaian diri
Menurut Schneiders (Ningrum & Pratiwi, 2022) menyatakan bahwa
penyesuaian diri memiliki empat aspek, yaitu:
1) Adaptation. Penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan seseorang
dalam beradaptasi, individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik,
berarti memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan nya
2) Comformity. Individu dikatakan mempunyai penyesuaian diri baik bila
memenuhi kreteria sosial nya
3) Mastery. Individu yang mempunyai penmyesuaian diri baik mempunyai
kemampuan mengorganisasikan suatu respons diri sehingga dapat menyusun
dan menanggapi segala masalah dengan baik
4) Individual. Kemampuan individu pada perilaku dan responsnya dalam
menanggapi masalah yang ada di lingkungan individu tinggal.
Didalam literature lain Scheneiders (1964) menyampaikan penyesuaian
diri yang dilakukan oleh seseorang mencakup tujuh aspek sebagai berikut:
1) Kemampuan mengontrol emosi yang berlebihan. Penyesuaian diri yang
normal ditandai dengan tidak adanya gejolak emosi berlebih dari
individu. Individu yang memiliki kontrol emosi yang baik akan mampu
mengatasi dan menghadapi kondisi yang menekan dengan baik dan
sebaliknya.
2) Kemampuan meminimalisir mekanisme pertahanan diri. Keterbukaan dan
kejujuran terhadap adanya masalah ataupun konflik yang dihadapi
individu akan terlihat dengan ditunjukkannya reaksi normal ketika
menghadapi tekanan-tekanan maupun tuntutan-tuntutan.
3) Kemampuan mengurangi rasa frustasi. Penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan tidak adanya gejala depresi ataupun stress dalam
menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah. Individu cenderung
bersikap dan bereaksi secara wajar serta tidak menunjukkan perilaku yang
menyimpang.
4) Pola pikir rasional dan kemampuan mengerahkan diri. Kemampuan
kognitif individu dalam mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi
yang akan dihadapi dalam pengambilan keputusan dapat mengarahkan
individu dalam bertindak. Individu yang mampu berpikir rasional dapat
menghindarkan dirinya dari tindakan ataupun perilaku-perilaku
menyimpang.
5) Kemampuan untuk belajar. Belajar merupakan proses kognitif yang
sejatinya berlaku sepanjang hayat dan proses belajar yang dilakukan
adalah untuk memecahkan masalah baik yang sedang ataupun akan
dihadapi nantinya.
6) Pemanfaatan pengalaman masa lalu. Individu dianggap belajar apabila
mampu mengambil pelajaran dari setiap apa yang dialaminya di masa
lalu, serta kemampuan individu untuk toleran terhadap traumatiknya.
7) Sikap realitas dan objektif. Aspek ini berhubungan dengan orientasi
individu terhadap realitas yang ada. Penyesuaian ini ditandai dengan pola
pikir dan obyektivitas individu dalam menilai sesuatu, individu mampu
bertindak menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya
secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan
perasaan.
Adapun aspek–aspek penyesuaian diri menurut Runyon dan Haber (Ahmad
isham 2013) diuraikan sebagai berikut:
1) Persepsi terhadap realitas. Individu mengubah persepsinya tentang
kenyataan hidup dan menginterprestasikannya, sehinggamampu menentukan
tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali
konsekuensi dan tindakannya agar menuntun pada perilaku yang sesuai
2) Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan. Individu mempunyai
kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu
menerima kegagalan yang dialami
3) Gambaran diri yang positif. Penilaian individu tentang dirinya sendiri.
Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian
pribadi maupun melalui orang lain sehingga individu dapat merasakan
kenyamanan psikologis
4) Hubungan interpersonal. Berkaitan dengan hakekat individu sebagai
makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu yang
memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan dengan
cara berkualitas dan bermanfaat
Sedangkan menurut Fatimah (Imaidah, 2019) pada dasarnya, penyesuaian
diri memiliki dua aspek, yaitu:
1) Penyesuaian Pribadi. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang
untuk menerima diri sendiri untuk tercapainya hubungan yang harmonis
antara dirinya dan lingkungan sekitarnya. Ia dapat mengungkapkan
sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, beserta kelebihan dan kekurangannya
dan mampu untuk bertindak secara objektif sesuai dengan kondisi dan
potensi dirinya. Sebaliknya, seseorang yang mengalami kegagalan dalam
penyesuaian pribadi akan ditandai oleh adanya kegoncangan dan
ketidakpuasan, kecemasan, emosidan keluhan terhadap nasib yang
dialaminya, sebagai akibat adanya kesenjangan antara kemampuan individu
dan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya. Hal tersebut yang
menjadi sumber terjadinya konflik pada diri individu yang kemudian
terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meminimalisir
rasa tersebut, individu dituntut melakukan penyesuaian diri.
2) Penyesuaian Sosial. Dalam kehidupan di masyarakat terjadi proses yang
saling mempengaruhi satu sama lain secara terus-menerus dan silih berganti.
Dari proses tersebut, akan timbul sebuah pola kebudayaan dan pola tingkah
laku yang sesuai dengan aturan, hukum, nilai, adat istiadat dan norma sosial
yang berlaku dalam masyarakat. Proses tersebut dikenal dengan istilah
proses penyesuaian sosial.
Aspek-aspek penyesuaian diri menurut Danuri dan Tidjan (Ernawati, R.
(2017) meliputi: a) Aspek afektif emosional meliputi, Perasaan aman, percaya
diri, bersemangat, bersahabat, perhatian, tidak menghindar, mampu memberi dan
menerima cinta, berani. b) Aspek perkembangan intelektual atau kognitif
meliputi : Kemampuan memahami diri dan orang lain, kemampuan
berkomunikasi dan kemampuan melihat kenyataan hidup. c) Aspek
perkembangan sosial meliputi: Mengembangkan potensi, mandiri, fleksibel,
partisipatif dan bekerjasama. Beberapa aspek penyesuaian diri yang terdapat
pada pribadi individu remaja dapat menimbulkan penerimaan atau penolakan
“peer group” atau teman sebaya mereka dalam kelompok. Dikatakan oleh
Mappiare (1982, h. 170).
Dapat disimpulkan dari pemaparan diatas aspek penyesuaian diri menurut
Sneider terbagi menajdi empat yaitu, adaptasi dimana penyesuaian diri yang baik
ketika individu beradaptasi dengan orang lain, individu yang memiliki
penyesuaian diri yang baik, berarti memiliki hubungan yang baik dengan
lingkungan nya, yang kedua comformity individu yang memiliki oenyesuaian
diri yang baik adalah bila individu memenuhi kriteria sosial nya, mastery
individu mempunyai penyesuaian diri baik individu mempunyai kemampuan
mengorganisir respon diri sehingga dapat mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi, individual kemampuan individu pada prilaku dan responnya dalam
menanggapi masalah yang dihadapi ketika berada dilingkungan nya. Aspek
menurut Runyon & Haber yaitu, persepsi terhadap realitas, kemampuan
mengahdapi stress dan kecemasan, gambaran diri yang positif dan hubungan
intrapersonal yang baik.
Berdasarkan penjelasan tentang aspek penyesuaian diri diatas, aspek-aspek
dalam penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek penyesuaian diri yang
dikemukakan oleh Schneiders (1964), yang mana penyesuaian diri yang normal
ditandai dengan tidak adanya gejolak emosi berlebih dari individu, keterbukaan
dan kejujuran terhadap adanya masalah ataupun konflik yang dihadapi individu,
tidak adanya gejala depresi ataupun stress dalam menghadapi berbagai kesulitan
ataupun masalah, mampu berpikir rasional dapat menghindarkan dirinya dari
tindakan ataupun perilaku-perilaku menyimpang, mampu memecahkan masalah
baik yang sedang ataupun akan dihadapi nantinya, mampu mengambil pelajaran
dari setiap apa yang dialaminya di masa lalu, serta individu mampu bertindak
menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan
3. Ciri-ciri penyesuian diri yang efektif
Menurut Siswanto (Malau & Nasution, 2021) individu yang mampu
menyesuaikan diri dengan baik, umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki Persepsi yang Akurat terhadap Realita. Pemahaman atau persepsi
orang terhadap realita berbeda-beda, meskipun realita yang dihadapai adalah
sama. Perbedaan persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman masing-
masing orang yang berbeda satu sama lain. Meskipun persepsi masing-
masing individu berbeda dalam menghadapi realita, tetapi orang yang
memiliki penyesuaian diri yang baik memiliki persepsi yang relatif objektif
dalam memahami realita, persepsi yang objektif ini adalah bagaimana orang
mengenali konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya dan mampu
bertindak sesuai dengan konsekuensi tersebut.
2) Kemampuan untuk Beradaptasi dengan Tekanan atau Stres dan Kecemasan.
Setiap orang pada dasarnya tidak senang bila mengalami tekanan dan
kecemasan. Umumnya mereka menghindari hal-hal yang menimbulkan
tekanan dan kecemasan dan menyenangi pemenuhan kepuasan yang
dilakukan dengan segera. Orang yang mampu menyesuaikan diri, tidak
selalu menghindari munculnya tekanan dan kecemasan. Kadang mereka
justru belajar untuk menoleransi tekanan dan kecemasan yang dialami dan
mau menunda pemenuhan keputusan selama itu diperlukan demi mencapai
tujuan tertentu yang lebih penting sifatnya.
3) Mempunyai Gambaran Diri yang Positif tentang Dirinya. Pandangan
individu terhadap dirinya dapat menjadi indikator dari kualitas penyesuaian
diri yang dimiliki. Pandangan tersebut mengarah pada apakah individu
tersebut dapat melihat dirinya secara harmonis atau sebaliknya individu
melihatnya adanya konflik yang berkaitan dengan dirinya. Individu yang
banyak melihat pertentangan-tentangan dalam dirinya, dapat menjadi
indikasi adanya kekurangmampuan dalam penyesuaian diri. Gambaran diri
yang positif juga mencakup apakah individu yang bersangkutan dapat
melihat dirinya secara realistik, yaitu secara seimbang tahu kelebihan dan
kekurangan diri sendiri dan mampu menerimanya sehingga memungkinkan
individu yang bersangkutan untuk dapat merealisasikan potensi yang
dimiliki secara penuh.
4) Kemampuan untuk Mengekspresikan Perasaannya. Individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik dicirikan memiliki kehidupan emosi yang
sehat. Individu tersebut mampu menyadari dan merasakan emosi atau
perasaan yang saat itu dialami serta mampu untuk mengekspresikan
perasaan dan emosi tersebut. Individu yang memiliki kehidupan emosi yang
sehat mampu memberikan reaksi-reaksi emosi yang realistis dan tetap
dibawa kontrol sesuai dengan situasi yang dihadapi.
5) Relasi Interpersonal Baik. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang
baik mampu mencapai tingkat keintiman yang tepat dalam suatu hubungan
sosial. Individu tersebut mampu bertingkah laku secara berbeda terhadap
orang yang berbeda karena kedekatan relasi interpersonal antar mereka yang
berbeda pula. Individu mampu menikmati disukai dan direspek oleh orang
lain, tetapi juga mampu memberikan respek dan menyukai orang lain.

4. Penyesuaian diri yang berhasil


Penyesuaian diri yang berhasil menurut Winarna Surachmad (Norma
Ni’matul 2016:21) sebagai berikut:
a. Individu yang berhasil dalam peneysuaian diri dengan sempurna memenuhi
kebutuhan, tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi yang lain.
b. Individu tidak mengganggu satu sama lain ketika proses penyesuaian diri di
situasi lingkungan yang baru dalam memenuhi kebutuhan dirinya atau
kebutuhan yang lain nya.
c. Individu harus bisa bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana ia
berada saling menolong secara positif karena penyesuaian diri sebagai
usaha manusia untuk mencapai keharmonissan.
Menurut pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang
berhasil ialalah ketika individu mampu dengan sempurna memenuhi kebutuhan
tanpa melebih lebihkan satu dan yang lain tidak menganggu ketika proses
penyesuaian diri di lingkungan yang baru dan bertanggung jawab terhadap
masarakat atau individu yang lain mampu menolong satu sama lain dalam hal-hal
yang positif.

5. Faktor-faktor penyesuaian diri


Menurut Schneider (1964) ada lima faktor yang dapat mempengaruhi proses
penyesuaian diri individu yaitu:
1) Kondisi fisik. Kondisi fisik sangat berpengaruh terhadap penyesuaian diri
individu sebab keadaan kondisi tubuh yang baik merupakan syarat bagi
terciptanya penyesuaian diri yang baik, cacat fisik dan penyakit kronis akan
adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri,
adapun aspek yang berkaitan dengan kondisi fisik antara lain.
a. Hereditas dan konsitusi fisik. Dalam mengidentifikasi pengaruh
hereditas terhadap penyesuaian diri, lebih digunakan pendekatan fisik
karena hereditas dipandang lebih dekat dan tidak terpisahkan dari
mekanisme fisik, dari sini berkembang prinsip umum bahwa semakin
dekat kapasitas pribadi, sifat atau kecenderungan berkaiatan dengan
konstitusi fisik maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap
penyesuaian diri.
b. System utama tubuh. Sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh
terhadap penyesuaian diri adalah system syaraf, kelenjar dan otot, sistem
syaraf yang berkembang dengan normal dan sehat merupakan syarat
mutlak bagi fungsi-fungsi psikologis agar dapat berfungsi secara
maksimal yang akhirnya berpengaruh secara baik pula kepada
penyesuaian diri. Dengan kata lain, fungsi yang memadai dari sistem
syaraf merupakan kondisi umum yang diperlukan bagi penyesuaian diri
yang baik. Sebaliknya penyimpangan didalam system syaraf akan
berpengaruh terhadap kondisi mental yang penyesuaian dirinya kurang
baik.
c. Keadaan fisik. Penyesuaian diri seseorang akan lebih mudah dilakukan
jika memiliki kondisi fisik yang sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat
menimbulkan kepercayaan diri individu. Sebaliknya kondisi fisik yang
tidak sehat akan menghambat proses penyesuaian diri mengakibatkan
prasaan rendah diri, kurang percaya diri
2) Kepribadian. Setiap individu memiliki kepribadian berbeda terutama pada
setiap tahap perjalanan perkembangannya, karena individu dalam segi
intelektual, sosial, moral, emosi mempengaruhi bagaimana individu
melakukan penyesuaian diri. Adapun unsir kepribadian sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk berubah dan mau menyelesaikan setiap masalahnya
Kemampuan dan kemauan untuk berubah pengaruhnya sangat besar
terhadap penyesuaian diri. Sebagai suatu proses yang dinamais dan
berkelanjutan, penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk
berubah dalam bentuk kemauan, prilaku, dan sikap. Oleh sebab itu ketika
individu tidak ada kemauan untuk merespon lingkungan semakin besar
kemungkinan individu mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian
diri.
b. Pengaturan diri. Pengaturam diri sama pentingnya dengan penyesuaian
diri, kemauan untuk mengatur diri dan mengarahkan diri. Kemauan
mengatur diri dapat mencegah individu dari hal-hal negativ dan
penyimpangan kepribadian. Kemauan pengaturan diri dapat
mengarahkan kepribadian normal.
c. Realisasi diri. Pengaturan kemampuan diri telah mengimplementasikan
potensi dan kemauan kearah realisasi diri, proses penyesuaian diri dan
pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan
perkembangan kepribadian. Jika perkembangan perkembangan
kepribadian berjalan normal dalam bentuk sikap, tanggung jawab dan
lingkungan semua itu unsur penting yang mendasari realitas diri.
d. Intelegensi. Intelegensi sangat penting penting bagi proses penyesuaian
diri intelegensi mempunyai peranan penting bagi proses penyesuaian diri
individu tidak sedikit baik buruk nya proses penyesuaian diri individu di
tentukan oleh intelegensi dan intelektual nya.
3) Edukasi atau pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi peningkatan
penyesuaian diri individu dengan pendidikan individu dapat mengetahui
potensi agar dirinya dapat menyesuaikan diri dengan baik ketika berada
dilingkungan yang baru, adapun unsur penting pendidikan dalam
penyesuaian diri antara lain:
a. Belajar. Belajar unsur bagian yang sangat penting dalam proses
penyesuaian diri individu karena pada umumnya respon dan sifat
kepribadian yang diperlukan bagi penyesuaian diri diperoleh dan
menyerap kedalam diri individu melalui proses belajar. Oleh karena itu
kemauan belajar sangat penting karena proses belajar akan terjadi dan
berlangsung dengan baik manakala individu yang bersangkutan memiliki
kemauan yang kuat untuk belajar.
b. Pengalaman. Dalam proses penyesuaian diri ada dua pengalaman yang
memiliki nilai sangat signifikan yaitu pengalaman yang menyehatkan
dan pengalaman traumatic. Pengalaman yang menyehatkan adalah
peristiwa-peristiwa yang dialamai oleh individu dan dirasakan sebagai
suatu yang menyenangkan, pengealaman seperti ini akan dijadikan dasar
untuk di teruskan oleh individu ketika harus menyesuaian diri dengan
lingkungan yang baru. Adapaun pengalaman trauma adalah peristiwa
yangn dialami oleh individu dan dirasakan sebagai suatu yang tidak
menyenangkan, menyedihkan atau bahkan menyakitkan sehingga
individu tersebut sangat tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.
c. Pelatihan. Pelatihan merupakan proses belajar yang lebih di utamakan
kepada perolehan keterampilan atau kebiasaan. Proses penyesuaian diri
memerlukan latihan yang sungguh-sungguh agar mencapai hasil
penyesuaian diri yang baik. Tidak jarang individu yang sebelumnya
memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik tetapi
melakukan latihan secara sungguh-sungguh akhirnya lambat laun
menjadi bagus dalam proses penyesuaian diri dilingkungan yang baru.
d. Diterminan diri. Diterminan diri ini berkaitan erat dengan penyesuaian
diri bahwa sesungguhnya individu itu sendiri harus mampu menentukan
dirinya sendiri untuk melakukan proses pemyesuaian diri. Hal ini
menjadi penting karena diterminan diri merupakan faktoryang sangat
kuat dapat digunkan dalam hal kebaikan atau kenurukan ketika individu
melakukan proses penyesuaian diri yang tuntas.
Sedangkan menurut Schneiders (1964) menyatakan terdapat beberapa
faktor yang memhubungani penyesuaian diri. Berikut adalah faktor-faktornya:
a. Kondisi fisik. Kondisi fisik individu merupakan faktor yang
memhubungani penyesuaian diri, sebab keadaan tubuh yang baik
merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya
cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan
pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan kematangan. Bentuk-bentuk penyesuaian diri
individu berbeda pada setiap tahap perkerkembangan. Seiring dengan
perkembangannya, individu akan meninggalkan perilaku kekanak-
kanakan dalam merespon lingkungannya. Hal tersebut bukan karena
proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih
matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral dan
emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.
c. Keadaan psikologis. Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi
tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa
adanya frustasi, kecemasan, dan cacat mental akan memicu munculnya
hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan
mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan
dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya.
d. Kondisi lingkungan. Keadaan limgkungan yang baik, damai, tenteram,
aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan
perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang
akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila
individu tinggal di lingkungan yana tidak tenteram, tidak damai, dan
tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam
melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud
mencakup mencakup lingkungan sekolah, rumah, dan keluarga.
e. Keadaan kultur dan agama. Religiusitas merupakan faktor yang
memerikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi
konflik, frustasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai
dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas
hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang
terjadi dalam hidupnya.

6. Karakteristik penyesuaian diri


Penyesuaian diri akan terus berlangsung oleh individu terhadap lingkungan
nya Sneiders (1964) mengemukakan krakteristik penyesuaian diri sebagai berikut:
a. Tidak memilik emosi yang berlebihan. Penyesuaian yang normal dapat di
lihat dengan tidak ditemukannya emosi yang berlebihan. Individu yang
merespon masalah dengan ketenangan dan kontrol emosi yang baik
memungkinkan individu untuk memecahkan kesulitan secara inteligensi,
Adanya kontrol emosi membuat individu mampu berpikir jernih terhadap
masalah yang dihadapinya dan memecahkan masalah dengan cara yang
sesuai.
b. Tidak ada mekanisme psikologis. Penyesuaian normal tidak ditemukan
nya gejala psikologis terhadap individu. Kejujuran dan keterusterangan
terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih
terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada suatu reaksi yang diikuti
dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi,
proyeksi atau kompensasi. Individu mampu menghadapi masalah dengan
pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah.
c. Tidak adanya perasaan frustrasi pribadi. Penyesuaian yang baik terbebas
dari perasaan frustrasi pribadi. Perasaan frustrasi membuat sulit bertindak
secara normal terhadap masalah. Individu yang merasa frustrasi akan
mengganti reaksi normal dengan gejala psikologis atau reaksi lain yang
sulit dalam menyesuaikan diri seperti sering marah tanpa sebab ketika
bergaul dengan orang lain
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri. Pertimbangan
rasional dan kemampuan mengarahkan diri individu. Pertimbangan
rasional dan kemampuan mengearahkan diri ini dipakai dalam tingkah
laku sehari-hari untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh setiap
individu. Kemampuan individu menghadapi masalah, konflik, frustrasi
menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan mampu
mengarahkan diri dalam tingkah laku yang sesuai mengakibatkan
penyesuaian normal
e. Kemampuan untuk belajar. Individu mampu untuk mempelajari
pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan
yang diperoleh dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi
f. Kemampuan menggunakan pengalaman masa lalu. Kemampuan
menggunakan pengalaman masa lalu merupakan usaha individu untuk
belajar dalam menghadapi masalah. Penyesuaian normal membutuhkan
penggunaan pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lampau yang
menguntungkan individu dapat menggunakannya untuk pengalaman
sekarang ketika menghadapi kesulitan.
g. Sikap realistik dan objektif. Penyesuaian yang normal berkaitan dengan
sikap yang realistik dan objektif. Sikap realistik dan objektif berkenaan
dengan individu terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang
dialami tanpa konflik dan melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan
objektif berdasarkan pada belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan
rasional, dapat menghargai situasi dan masalah. sehingga dapat menerima
situasi dan berhubungan secara baik dengan orang lain.

B. Penelitian terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai teknik restrukturisasi kognitif untuk
meningkatkan penyesuaian diri siswa diantaranya telah dilakukan oleh Windaniati.
2015 dengan judul penelitian “Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Siswa
Melalui Teknik Cognitive Restructuring Pada Kelas X TKR 1 SML Negeri 7
Semarang” hasil dari penelitian ini siswa memiliki kemampuan penyesuaian diri
yang meningkat, terlihat dari hasil penelitian siswa yang tidak lagi memiliki
persepsi negative mengenai lingkungan barunya dan mampu menyesuaikan diri,
kemudian restrukturisasi kognitif dapat meningkatkan peer siswa hubungan dan
produktivitas serta dapat mengurangi ketergantungan, permusuhan, dan penarikan
diri dari lingkunganya dan mampu berbaur.
Kemudian peneliti lainya yaitu Marlina, (2011) dengan judul penelitian
“Pengembangan Program Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Penyesuaian
Diri Mahasiswa”. Dalam penelitian ini teridentifikasi Sebelum memperoleh layanan
konseling kelompok, perilaku penyesuaian diri mahasiswa termasuk dalam kriteria
sangat rendah pada aspek pengangan masalah dan kemampuan dalam memilih
alternative keputusan. Setelah memperoleh tindakan konseling kelompok perilaku
yang diperlihatkan oleh mahasiswa mengalami perubahan dalam berinteraksi dalam
lingkungan perkuliahan dan asrama, didukung dengan hasil t-test (uji beda) yang
dilakukan peneliti, menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan hasil tersebut
maka konseling kelompok direkomendasikan sebagai salah satu tehnik yang
seyogianya digunakan untuk membantu mahasiswa dalam membantu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan perkuliahan atau asrama.
Pada penelitian berikutnya Abdi & Mafirja (2019) dengan judul Pelaksanaan
Konseling Kelompok menggunakan Teknik Cognitive Restructuring untuk
Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa SMA. Dengan kesimpulan penelitian
menyatakan bahwa penyesuaian diri siswa dapat ditingkatkan dengan layanan
konseling kelompok menggunakan teknik cognitive restructuring dan konseling
kelompok dengan menggunakan teknik cognitive restructuring terbukti efekti untuk
meningkatkan penyesuaian diri siswa walaupun pada uji one way anava
peningkatannya tidak signifikan.

C. Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan layanan yang diberikan kepada beberapa
orang yang memiliki masalah serupa, yang didalamnya melibatkan hubungan
terapeutik dan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan pemecahan masalah
sekaligus pengembangan diri setiap anggota.
1. Pengertian Konseling Kelompok
Kelompok adalah kumpulan dari sejumlah orang yang didalamnya ada
aktivitas atau kegiatan yang mengarahkan anggota pada tujuan kelompok.
Konseling kelompok digambarkan sebagai kegiatan yang memanfaatkan
dinamika kelompok untuk mencapai tujuan yaitu ditemukan solusi dari masalah
yang dialami oleh anggota kelompok. Wibowo (2005:19) mengemukakan bahwa
“Konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu-individu dalam
suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan pengentasan masalah, dan
diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan
pertumbuhannya”.
Sementara Gazda et al sebagaimana yang dikutip oleh Wibowo (2005)
menyatakan bahwa “Konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang
dinamis yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari dan melibatkan
fungsi-fungsi terapeutik seperti permisif, berorientasi pada kenyataan, katarsis,
saling mempercayai, saling memperlakukan dengan pengertian, saling menerima,
dan saling mendukung.” Sedangkan menurut Prayitno (dalam Folastri, 2010 : 21)
mendefinisikan “Konseling kelompok adalah proses kegiatan dalam kelompok
melalui interaksi sosial yang dinamis diantara anggota kelompok untuk
membahas masalah yang dialami setiap anggota kelompok sehingga ditemukan
arah dan cara pemecahan yang paling tepat dan memuaskan”.
Pada kegiatan konseling kelompok, akan terjadi sebuah proses dinamika
antar anggota kelompok, dimana setiap anggota mendapatkan kesempatan
bertanya menggali masalah yang dialami anggota, mengungkapkan gagasan dan
mengekspresikan perasaan yang sedang dialami, saling memberi perhatian dan
empati, mendengarkan dengan tulus dan melakukan konforntasi. Dengan
demikian setiap anggota memiliki kesempatan untuk belajar mengasah
keterampilan bersosialiasai. Kegiatan yang ada didalam proses konseling
kelompok sangat sesuai dengan karakteristik remaja, karena memberikan
kesempatan untuk menyampaikan keluhan perasaan konfliknya, melepas keragu-
raguan diri, dan pada kenyataannya mereka akan senang membagi keluhan-
keluhan kepada remaja untuk mengubah cara menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan secara terbuka tentang nilai. Dalam kelompok remaja dapat belajar
berkomunikasi dengan teman sebaya, dan akan berhasil apabila ada pembimbing
yang membantunya, untuk menunjukkan bagaimana menjalani latihan dengan
baik dan dalam menguji keterbatasannya.
Secara lebih spesifik Corey (2012: 6) menyatakan masalah-masalah yang
dibahas dalam konseling kelompok yaitu lebih berpusat pada masalah pendidikan,
pekerjaan, sosial, dan pribadi. Oleh karena itu maka konseling kelompok
dipandang dapat membantu siswa untuk menyelesaikan masalah akademik yang
dihadapi.
Dari beberapa pendapat ahli maka dapat disimpulkan bahwa konseling
kelompok adalah proses konseling yang memungkinkan anggota kelompok
(konseli) memperoleh kesempatan untuk membahas dan mengentaskan masalah
yang dialami melalui dinamika kelompok dengan fungsi terapeutik, adapun
masalah yang dibahas adalah masalah yang memiliki derajat yang sama antar
anggota, baik bidang pribadi, sosial, pendidikan, maupun pekerjaan.
2. Tujuan Konseling Kelompok
Pentingnya tujuan dalam konseling kelompok yaitu untuk mengarahkan
dinamika kelompok kepada penyelesaian masalah yang efektif. Selain itu juga
untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi individu, khususnya kemampuan
komunikasi peserta layanan, serta yang utama adalah terpecahkannya masalah-
masalah yang dialami oleh para anggota kelompok. Corey (2012: 5) menyebutkan
terdapat sejumlah tujuan umum yang ingin dicapai oleh anggota kelompok
melalui layanan konseling kelompok sebagai berikut:
1) Untuk meningkatkan pemahaman konseli tentang dirinya dengan lebih
baik, menemukan dan menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap
aspek- aspek positif dalam kepribadiannya,
2) Konseli mengenali kesamaan kebutuhan dan masalah sehingga anggota
dapat saling terhubung untuk memberikan bantuan
3) Untuk membantu konseli bagaimana cara membangun hubungan yang
bermakna dan mendalam
4) Untuk membantu anggota menemukan sumber dalam keluarga besar, dan
komunitas sebagai cara menangani masalah mereka
5) Konseli memiliki peningkatan dalam penerimaan diri, kepercayaan diri,
kepedulian diri, dan untuk memperoleh pandangan baru dari diri sendiri
dan oranglain
6) Untuk berlatih bagaimana mengekspresikan perasaan/emosi dengan cara
yang sehat
7) Untuk mengembangkan perhatian dan kasih sayang untuk kebutuhan dan
perasaan orang lain
8) Untuk menemukan cara alternatif dalam menangani masalah
perkembangan dan menyelesaikan konflik-konflik tertentu
9) Untuk meningkatkanpengerahan diri konseli, interdependensi dan
tanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain
10) Untuk menyadarkan konseli akan suatu pilihan dan membuat pilihan secara
bijak
11) Membantu konseli dalam membuat rencana terukur untuk mengubah
kebiasaan tertentu
12) Untuk melatih keterampilan sosial yang efektif
13) Untuk melatih bagaimana menghadapi oranglain dengan perhatian
kepedulian, kejujuran, dan keterusterangan
14) Untuk memperjelas nilai seseorang dan memutuskan apa dan bagaimana
cara mengubahnya
Penjabaran di atas senada dengan Gibson (2011:282) yang menyatakan
bahwa “Tujuan konseling kelompok adalah memenuhi kebutuhan dan
menyediakan pengalaman nilai bagi setiap anggotanya secara individu yang
menjadi bagian kelompok tersebut”.Adapun menurut Wibowo (2005: 305) tujuan
konseling kelompok adalah sebagai berikut :
a. Memberikan kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhan siswa
berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir
b. Membantu menghilangkan titik-titik lemah yang mengganggu siswa
berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar dan karir
c. Membantu mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah yang
dihadapi siswa berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Dengan penjabaran tentang tujuan konseling kelompok menurut para ahli
di atas maka dapat disimpulkan bawa konseling kelompok mengandung tujuan
yang ingin dicapai yaitu mengembangkan pribadi, membahas dan memecahkan
masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar
terhindar dari masalah dan masalah terselesaikan dengan adanya anggota
kelompok yang saling membantu.

3. Asa Konseling Kelompok


Munro, Manthei, & Small (dalam Folastri, 2016) menjelaskan bahwa
kerahasiaan, kesukarelaan, dan keputusan diambil oleh konseli sendiri merupakan
tiga etika dasar dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kelompok.
Etika dasar tersebut dilengkapi dengan beberapa asas lainnya yakni meliputi
kegiatan, keterbukaan, kekinian dan kenormatifan. Setelah konseli berkomitmen
untuk saling menjaga kerahasiaan, maka diharapkan akan tercipta keterbukaan di
dalam kegiatan konseling kelompok. Asas kekinian berarti permasalahan atau
perencanaan apapun yang dibahas didalamnya tidak menyimpang jauh dari apa
yang dirasakan dan dibutuhkan oleh konseli pada kondisi yang ada sekarang.
Selanjutnya asas kenormatifan berkenaan dengan bagaimana cara berkomunikasi
menggunakan tata krama yang sesuai dalam kegiatan konseling kelompok.
Mengingat masalah yang menjadi pokok bahasan dalam konseling
kelompok adalah masalah pribadi, maka asas kerahasiaan menjadi perhatian
penting di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wibowo (2005) yaitu
asas dalam konseling kelompok yang sangat perlu diperhatikan adalah asas
kerahasiaan, seorang pemimpin kelompok harus menyampaikan dan membahas
secara lengkap tentang pentingnya kerahasiaan ini dengan syarat mengembangkan
kepercayaan, kohesi dan produktif dalam kegiatan konseling kelompok.
Hendaknya seorang konselor dengan sungguh-sungguh memantapkan asas
kerahasiaan, dan memastikan seluruh anggota dapat berkomitmen penuh untuk
melaksanakannya.
4. Pemimpin Kelompok
Konselor sebagai pemimpin kelompok mempunyai pengaruh yang kuat
dalam proses konseling kelompok, yang terkadang bisa disertai oleh seorang
pendamping. Pemimpin kelompok bukan saja mengarahkan anggota kelompok
agar berperilaku sesuai kebutuhan, melainkan juga harus tanggap terhadap segala
perubahan yang terjadi dalam kelompoknya sebagai akibat dari dinamika
kelompok. Oleh karenanya dibutuhkan kepemimpinan kelompok yang efektif.
Meskipun terdapat karakteristik berbeda dari kepemimpinan, namun Gibson
(2011:290) menyebutkan hal-hal tampak yang bisa diterapkan secara umum bagi
kepemimpinan kelompok yang efektif yaitu :
“1) Pemimpin menjaga dirinya tetap jujur, terbuka dan bersikap etis setiap
saat, 2) pemimpin terbuka dan menerima masukan dari semua anggota kelompok
bahkan opini anggota yang tidak disetujuinya, 3) minat utama pemimpin di
sepanjang waktu adalah pertumbuhan pribadi dan kesejahteraan semua anggota
kelompok., 4) pemimpin memodelkan nilai dan perilaku yang bisa meningkatkan
kualitas hidup anggota- anggota kelompoknya.”
Adapun Corey (2012: 348) menjelaskan secara spesifik peran pemimpin
kelompok terutama dalam konseling kelompok pendekatan kognitif-behavior
adalah sebagai berikut :
1) Pemimpin kelompok melakukan wawancara dengan calon anggota
selama assesment awal dan orientasi awal, pemimpin juga melakukan
asssement secara berkelanjutan terhadap masalah anggota kelompok
2) Pemimpin kelompok menggunakan beragam teknik yang dirancang
untuk mencapai tujuan
3) Fungsi utama pemimpin adalah sebagai model dari perilaku yang sesuai
4) Pemimpin memberikan penguatan kepada anggota untuk perubahan
perilaku yang baru walaupun perubahan itu kecil
5) Pemimpin mengajarkan anggota untuk bertanggungjawab menjadi
terlibat aktif baik dalam kelompok dan di luar konseling
6) Pemimpin kelompok merencanakan perubahan dan sikap aktif serta
membantu anggota untuk memahami bahwa verbalisasi dan pemahaman
tidak cukup untuk menghasilkan perubahan
7) Pemimpin kelompok memberikan waktu kepada anggota kelompok
hingga pertemuan selanjutnya hingga anggota bisa mengkonsolidasi apa
yang telah mereka pelajari dan berlatih keterampilan baru (homework).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan kelompok
yang efektif akan menunjang keberhasilan pemimpin dalam menjalankan
perannya dalam setiap tahap-tahap pelaksanaan konseling kelompok,
membantu anggota kelompok untuk berkembang dan mencapai tujuan
konseling melalui dinamika kelompok yang diciptakan.
5. Anggota Kelompo
Anggota kelompok dalam layanan konseling kelompok yaitu dari,
oleh, dan untuk kelompok itu sendiri. Segala yang anggota lakukan adalah
untuk menumbuhkan dinamika kelompok yang akan mengarahkan kepada
tercapainya tujuan konseling. Hal tersebut diperkuat oleh Gibson (2011:287)
menyatakan bahwa penyeleksian anggota kelompok adalah kunci menuju
kelompok konseling yang berhasil. Terdapat hal-hal yang perlu
dipertimbangkan selama proses penyaringan keanggotaan sebuah kelompok
konseling yaitu :
1) Memperkenalkan aturan-aturan dasar yang diharapkan akan dipatuhi
oleh anggota-anggota kelompok, yaitu : hak semua anggota kelompok
untuk mengungkapkan pandangan mereka, kesepakatan bahwa tidak ada
prespektif pribadi yang oleh dianggap tidak penting, dan kebutuhan
absolut untuk dipercayai
2) Mendeskripsikan bagaimana kelompok konseling akan berjalan dan
berfungsi, anggota kelompok dapat mengambil keuntungan pribadi
terbesar dari pengalaman kelompok
3) Menitikberatkan kejujuran dan keterbukaan sebagai komponen kritis
disepanjang durasi pertemuan kelompok
4) Menunjukkan bahwa adanya hambatan dalam proses kelompok yaitu
frustasi dan kekecewaan harus dianggap sebagai peluang pertumbuhan
pribadi
5) Membahas garis-garis pedoman terkait durasi terapi kelompok
Pertimbangan lain bagi pembentukan kelompok adalah jumlah anggota
yang tergabung dalam konseling kelompok. Jumlah anggota dalam kegiatan
konseling kelompok sebagaimana yang disampaikan oleh Prayitno (dalam
Folastri, 2016) menyebutkan bahwa jumlah peserta yang paling efektif dalam
kegiatan bimbingan dan konseling kelompok yaitu sebanyak 10 anggota.
Sementara Yalom (dalam Gibson , 2011:289) dari hasil konsesus dan
pengalamannya menyatakan bahwa :
“Ukuran ideal kelompok terapi interaksional 7 atau 8 anggota
dengan jangkauan minimal 5 maksimal 10 anggota. Batas terendah
kelompok ditentukan fakta kalau masalah kritis merupakan prasyarat
kumpulan individu menjadi kelompok interaktif. Ketika jumlah
anggota direduksi menjadi 3 atau 4 mereka sering berhenti beroperasi
sebagai kelompok, interaksi anggota memudar, dan terapis sering
menemukan dirinya terlibat didalam proses terapi pribadi di
kelompok tersebut. kelompok jadi kekurangan kohesivitas, dan
meskipun kepatuhan terhadap nasihat konselor tinggi, namun ini
lebih sering berkaitan dengan perasaan wajib dan bukan kerja sama
sesungguhnya. Lebih jauh lagi, kelompok yang anggotanya kurang
dari 5 cenderung pasif, menderita keterhambatan perkembangan, dan
sering menumbuhkan banyak citra negatif diantara anggota.
Sedangkan batas tertinggi jumlah anggota kelompok ditentukan
berdasarkan prinsip ekonomis. Semakin besar ukuran kelompok,
semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
setiap anggotanya sehingga semakin banyak waktu, biaya dan tenaga
yang harus dikeluarkan.”
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa jumlah anggota
kelompok yang ideal yaitu 5 – 10 orang. Jika jumlah anggota terlalu besar
maka hubungan antar pribadi dan rasa aman akan cenderung berkurang,
mempersulit jadwal pertemuan, efektivitas penyelesaian masalah menurun
karena banyak masalah yang harus disorot. Begitupula jumlah anggota yang
terlalu kecil akan mempersempit pengalaman, pemahaman, dan sudut pandang
yang diperoleh.
6. Tahapan Konseling Kelompok
Tahap-tahap dalam konseling kelompok menggambarkan adanya
dinamika yang terjadi selama kegiatan konseling kelompok berlangsung.
Terdapat keragaman dalam mengklasifikasikan dan menamai tahapan-tahapan
konseling kelompok. Corey (2012) mengelompokkan tahapan proses konseling
kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap orientasi (orientation phase), tahap
transisi (transition stage), tahap kerja (working stage) dan tahap konsolidasi
(consolidation stage).
Berdasarkan pengklasifikasian proses konseling kelompok yang
dikemukakan oleh berbagai ahli tersebut Wibowo (2005) menjelaskan tahap-
tahap konseling kelompok sebagai pengembangan model adalah sebagai berikut :
1) Tahap Permulaan (Beginning Stage).
Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menumbuhkan minat bagi
terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya
layanan konseling kelompok, penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan
konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta
kemungkinan adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan
kegiatan konseling kelompok.
Tahap ini adanya pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap
pemasukan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok, tahap menentukan
agenda, tahap menentukan norma kelompok dan tahap penggalian ide dan
perasaan. Pada tahap ini umumnya para anggota saling memperkenalkan
diri dan juga mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan yang ingin
dicapai baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Pada
tahap ini konselor hendaknya aktif mengajarkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh anggota kelompok, yaitu konselor perlu memandu, 1)
perkenalan, 2) pelibatan diri, 3) agenda, 4) norma kelompok, 5) penggalian
ide dan perasaan.
2) Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi dikatakan sebagai masa badai yang mana anggota
mulai bersaing dengan anggota lainnya dalam kelompok untuk mendapatkan
tempat didalam kelompok. Di masa ini akan muncul perasaan kecemasan,
pertentangan, pertahanan, ketegangan, konflik, konfrontasi, dan tranferensi.
Tugas konselor adalah membantu para anggota untuk mengenali dan
mengatasi halangan, kegelisahan, keengganan, sikap mempertahankan diri,
dan ketidaksabaran yang timbul.
3) Tahap Kegiatan (Working Stage)
Tahap ini merupakan tahap kehidupan yang sebenarnya dari
konseling kelompok, yaitu para anggota memusatkan perhatian terhadap
tujuan yang akan dicapai, mempelajari materi-materi baru mendiskusikan
berbagai topik, menyelesaikan tugas dan mempraktekkan perilaku baru.
Hubungan antar anggota kelompok sudah mulai ada kemajuan, terjalin rasa
saling percaya antar anggota, rasa empati, saling mengikuti dan berkembang
lebih dekat secara emosional dan kelompok tersebut akan menjadi kohesif
(kompak). Kelompok yang kohesif menunjukkan adanya penerimaan yang
mendalam, keakraban, pengertian, disamping itu mungkin berkembang
ekspresi permusuhan dan konflik. Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua
solusi yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji menurut
konsekuensinya dapat diwujudkan.
4) Tahap Pengakhiran (Termination Stage)
Kegiatan kelompok yang paling penting dalam tahap pengakhiran
adalah untuk merefleksikan pengalaman, memproses kenangan,
mengevaluasi apa yang telah dipelajari, menyatakan perasaan bertentangan,
dan membuat keputusan kognitif. Pada tahap ini Corey (dalam Wibowo,
2005) mengemukakan bahwa sesudah berakhirnya pertemuan kelompok,
fungsi utama dari anggota kelompok adalah merencanakan program dari apa
yang pernah dipelajari yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
melakukan evaluasi kelompok, dan melakukan tindak lanjut melalui
pertemuan yang telah ditetapkan jika diperlukan.
Sementara itu menurut Wingkel dan Hastuti (2006:606)terdapat lima
fase proses konseling kelompok dalam instutitusi pendidikan. Uraian kelima
fase yang dilalui tesebut adalah sebagai berikut :
1) Pembukaan diletakan atas dasar bagi pemgembangan hubungan antar
pribadi yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan
terarah pada penyelesaian masalah, 2) penjelasan masalah, masing-
masing konseli mengutarakan masalah yang dihadapi masalah yang
dihadapi berkaitan dengan materi diskusi, 3) penggalian
latarbelakang masalah, diperlukan penjelasan lebih mendetail dan
mendalam sehingga konselor perlu membawa kelompok memasuki
analisis kasus, dengan tujuan supaya para konseli lebih mudah
memahami latarbelakang masalahnya sendiri dan temannya., 4)
penyelesaian masalah, selanjutnya konselor dan konseli membahas
bagaimana persoalan dapat diatasi, 5) penutupbilamana kelompok
sudah siap untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama,
proses konseling dapat diakhiri dan kelompok dibubarkan pada
pertemuan terakhir. Bilamana proses pertemuan belum selesai,
pertemuan yang sedang berlangsung ditutup dan dilanjutkan pada
lain hari.
Selanjutnya Wingkel dan Hastuti (2006: 614) menjelaskan lebih rinci
peran konseli dan konselor pada masing-masing tahapan. Penjelasan tersebut
ada pada tabel 2.1 sebagai berikut :
No Tahapan Peran Konseli Peran Konselor
1 Pembukaan Membina hubungan Membina hubungan
pribadi dengan pribadi dengan
anggota-anggota kelompok konseli
kelompok dan konselor a. Menyembut
a. Menanggapi ucapan keadatangan para
pembuka dari konseli
konslor b. Memperkenalkan
b. Saling diri dan
memperkenalkan mempersilakan para
diri konseli untuk
c. Mendengarkan memperkenalkan
penjelasan konselor, diri
mengajukan c. Memberikan
pertanyaan berpehag penjelasan-
pada tata cara yang penjelasan yang
ditetapkan diperlukan
d. Mempersilakan
masing- masing
konseli untuk
mengemukakan
masalahnya
2 Problem Masing-masing konseli Menerima ungkapan
Definition mengutarakan pikiran masing- masing
dan perasaannya konseli , menunjukkan
berkaitan dengan materi penghayatan, dan
diskusi. Mendengarkan membantu
ungkapan teman-teman mengungkapkan diri
dan menanggpinya : secara memadai :
a. Mendengarkan a. Mendengarkan
ungkapan teman ungkapan masing-
dan menanggapinya masing konseli
b. Mengungkapkan dengan penuh
pikiran dan perhatian
perasaan sendiri b. Membantu masing-
c. Menanggapi masing konseli
perumusan yang mengungkapkan diri
diusulkan oleh dan membantu
konselor sehingga dalam menanggapi
masalahnya ungkapan teman
menjadi milik c. Membuat ringkasan
kelompok. permasalahan dan
mengusulkan suatu
rumusan umum,
yang
mengkongretkan
materi diskusi.
Menentukan
pendekatan yang
sebaiknya
diterapkan.
3 Penggalian Masing-masing konseli Membantu para konseli
latar mengutarakan pikiran mengungkapkan latar
belakang dan perasaannya belakang masalah
masalah sehingga kedudukan dengan berpegang pada
masalah bagi masing- pendekatan yang
masing konseli menjadi dipilih pada tahap
lebih jelas. analisis kasus.
a. Mendengarkan a. Membantu konseli
penjelasan konselor mengungkapkan
b. Mendengarkan latar belakang
ungkapan teman masalah dengan
dan menanggapinya berpegang pada
c. Mengungkapkan pendekatan yang
pikiran dan dipilih untuk tahap
perasaan sendiri analisis kasus.
sesuai dengan b. Mendengarkan
petunjuk konselor ungkapan masing-
d. Mengakui adanya masing konseli
kebersamaan dengan penuh
dengan saling perhatian
mengutarakan isi c. Membantu masing-
hati masing konseli
e. Membenarkan menggali lebih
ikatan/kaitan yang dalam
ditunjukan konselor d. Mengajak
f. Menentukan kelompok
bersama keadaan berefleksi atas
ideal yang keterbukaan dalam
diharapkan sharing bersama
e. Menunjukan kaitan
antara hal- hal yang
terungkap
f. Mengusulkan
supaya kelompok
merumuskan cara
penyesuaian yang
tepat berdasarkan
pendekatan yang
dipilih
4 Penyelesaian Kelompok konseli Membantu para konseli
Masalah membahas penyelesaian menentukan cara
masalah penyesuaian yang tepat
dengan berpegang pada
pendekatan yang
dipilih dalam tahap
penyelesaian masalah.
5 Penutup Masing- Mengakhiri
masingkonseli proses
mengungkapkan konseling
pegalamannya kelompok
selama proses
konseling.
Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan konseling kelompok meliputi empat tahap, yaitu pembukaan
sebagai tahap awal untuk memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan
tujuan atau harapan-harapan yang ingin dicapai oleh anggota. Kedua tahap
peralihan, sebagai fase bagi konselor untuk mengenali dan mengatasi
kegelisahan, keengganan, dan atau kesiapan anggota. Ketiga tahap kegiatan,
yaitu saat anggota kelompok mengutarakan pikiran dan perasaan yang
menjadi masalahnya, serta saling memberikan umpan balik untuk menemukan
alternatif solusi. Tahap terakhir yaitu penutup, dimana anggota merencanakan
program dari apa yang sudah dibahasuntuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, melakukan evaluasi kelompok, dan melakukan tindak lanjut.
D. Teknik Restrukturisasi Kognitif Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri
Siswa
a. Definisi Restrukturisasi Kognitif
Cognitive restructuring adalah sebuah teknik yang lahir dari terapi kognitif
dan biasanya dikaitkan dengan karya Albert Ellis, Aaorn Beck, dan Don
Meichenbaum. Sementara Dombeck & Wells Moran (dalam Erford: 2016)
menjelaskan cognitive restructuring melibatkan penerapan prinsip-prinsip belajar
pada pikiran. Teknik ini dirancang untuk membantu mencapai respon emosional
yang lebih baik dengan mengubah kebiasaan penilaian habitual sedemikian rupa
sehingga menjadi tidak terlalu terbias. Hal ini berarti teknik cognitive
restructuring memfokuskan terapi pada perubahan pola pikir yang terdistorsi,
sehingga dapat menunjang perubahan respon emosi dan perilaku supaya menjadi
lebih positif. Strategi cognitive restructuring didasarkan pada dua asumsi yaitu
pertama pikiran irasional dan kognisi detektif menghasilkan self defenting
behaviors (perilaku disengaja yang memiliki efek negatif bagi diri sendiri). Kedua
pikiran dan pernyataan tentang diri sendiri dapat diubah melalui perubahan
pandangan dan kognisi personal.
Sayre (dalam Cristy, 2013) menyatakan strategi cognitive restructuring
merupakan serangkaian kegiatan meneliti dan menilai keyakinan yang konseli
miliki saat ini untuk memahami bagaimana keyakinannya, untuk dinilai apakah
rasional atau tidak rasional melalui proses objektif dari penilaian yang
berhubungan dengan pikiran, perasaan dan tindakan. Dengan demikian berarti
cognitive restructuring dapat digunakan pada konseli yang membutuhkan
bantuan untuk mengganti pikiran dan interpretasi negatif dengan pikiran dan
tindakan yang lebih positif.
b. Tujuan Teknik Restrukturisasi Kognitif
Fokus dalam penggunaan teknik cognitive restructuring yaitu terletak pada
pengelolaan pikiran konseli yang mengarahkan pada tindakan yang lebih positif.
Adapun tujuan-tujuan cognitive restructuring menurut Meichenbaum (dalam
Erford; 2016) adalah sebagai berikut :
1) Konseli perlu menjadi sadar akan pikiran-pikirannya. Meichenbaum
merekomendasikan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan langsung dengan pikiran dan perasaan kepada konseli.
Meichenbaum juga merekomendasikan agar konseli mencatat pikiran-
pikirannya melalui self monitoring (memantau diri sendiri. Tiap kali
konseli terganggu, konseli mendeskripsikan dalam sebuah catatan harian
tentang insiden yang terjadi, beserta pikiran dan perasaan apapun yang
dialaminya.
2) Konseli perlu mengubah proses pikirannya. Ketika mengevaluasi pikiran
dan keyainan konseli, konselor bisa menanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang bisa membantu konseli mendefinisikan label-label yang diberikannya
sendiri. Konselor membantu konseli menyadari pikiran mana yang rasional
dan mana yang self defeating.
3) Konseli perlu bereksperimen untuk mengeksplorasi dan mengubah ide
tentang dirinya dan dunia. Konselor dapat memulai dengan meminta
konseli untuk melakukan eksperimen-eksperimen pribadi dalam ranah
terapeutik dan kemudian beralih ke situasi kehidupan nyata ketika konseli
sudah siap.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa teknik teknik cognitive
restructuring bertujuan untuk membantu konseli mengubah pemikiran yang salah,
mendasar, dan menggantikannya dengan pemikiran yang lenih rasional, realistis,
dan positif. Diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada konseli atas
pemikirannya yang irasional, emosi dan pola perilaku ke arah yang lebih baik
c. Prosedur teknik restrukturisasi kognitif
Penggunaan teknik secara terprosedur diharapkan dapat memberikan
teratmen yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dari konseling
kelompok. Terdapat prosedur tujuh langkah spesifik dalam teknik cognitive
restructuring menurut Doley (dalam Erford: 2016). Deskripsi tujuh langkah
spesifik tersebut yaitu :
a. Kumpulkan informasi latar belakang mengungkapkan bagaimanakonseli
menangani masalah masa lalu maupun masa kini
b. Bantu konseli dalam menjadi sadar akan proses pikirannya. Diskusikan
contoh- contoh kehidupan nyata yang mendukung kesimpulan konseli dan
diskusikan berbagai interpretasi yang berbeda tentang bukti yang ada.
c. Periksa proses beripikir irasional konseli, yang memfokuskan bagaimana
pikiran konseli mempengaruhi kesejahteraannya. Konselor dapat
membesar- besarkan pikiran irasional untuk membuat poinnya lebih terlihat
bagi konseli
d. Memberi bantuan kepada konseli untuk mengevaluasi kkeyakinan konseli
tentang pola-pola pikiran logis konseli sendiri dan oranglain.
e. Membantu konseli belajar mengubah keyakinan dan asumsi internalnya.
f. Ulangi proses pikiran irasionalnya sekali lagi, dan ajarkan tentang aspek-
aspek penting kepada konseli dengan menggunakan contoh-contoh
kehiduapan nyata bantu konseli membentuk tujuan-tujuan yang masuk akal
yang bisa dicapai olehnya.
g. Kombinasikan thought stopping dengan simulasi, pekerjaan rumah, dan
relaksasi sampai pola-pola logis benar-benar terbentuk.
Setelah tahap-tahap dalam cognitive restructuring dilaksanakan maka
diharapkan diakhir sesi dapat mencapai tujuan dari diadakannya sebuah
perlakuan tersebut. Adapun Nurmalasari (dalam Zulfa & Nisa, 2016) menyatakan
ada beberapa indikator keberhasilan dari teknik cognitive restructuring yang telah
dilakukan yaitu:
1) Konseli mampu mengetahui dan memahami akan terdapatnya kondisi
kognitif yang salah suai dalam mempersepsi situasi yang dihadapinya.
2) Konseli mampu merasakan dan mengetahui dampak negatif dari memiliki
pikiran-pikiran negatif terhadap permasalahan yang dihadapi
3) Konseli mampu mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif yang dimiliki
4) Konseli mampu merumuskan pikiran-pikiran baru yang lebih positif
sebagai pengganti pikiran-pikiran yang negatif
5) Konseli mampu memutusatkan rencana tindakan yang berguna
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses konseling kelompok teknik
cognitve restructuring konselor perlu menitikberatkan pada pikiran dan perasaan
konseli tentang masalah yang dialaminya saat ini kemudian membangun persepsi
dan keyakinan baru dari yang negatif menuju positif untuk diambil tindakan yang
terukur.

Anda mungkin juga menyukai