Abstrak
Apakah terapi seni dapat membantu proses pemulihan dan meningkatkan kemungkinan
kesadaran jangka panjang untuk individu-individu yang mencari pengobatan atas kecanduan
penyalahgunaan zat?
Dalam jurnal ini akan dibahas keuntungan-keuntungan dari terapi seni ketika digunakan sebagai
intervensi terapeutik yang melengkapi modalitas pengobatan penyalahgunaan zat lainnya (seperti
CBT, DBT, atau pengobatan 12 langkah). Penelitian selama dekade belakangan ini telah
menunjukan kesuksesan art therapy dalam menurunkan rasa malu (Grosch, 1994) dan kecemasan
(Curry dan Kasser, 2011; van der Vennet & Serice, 2012), yang penting untuk mengatasi
kecanduan (Wilson, 2012). Hubungan yang terjalin antara seni dan spiritualitas akan dibahas
dengan penekanan spesifik dalam bagaimana terapi seni dapat meningkatkan rasa hubungan
spiritual (Miller, 1995) dan untuk itu menjadi berarti dalam proses pemulihan. Praktik-praktik
penuh perhatian harus dijelaskan secara lengkap karena mereka selaras dengan filosofi-filosofi
dari terapi seni, untuk itu mendukung argumen bahwa terapi seni adalah suatu pelengkap yang
unik bermanfaat untuk program-program pengobatan penyalahgunaan zat yang ada, dan
mungkin untuk membantu tingkat kesuksesan secara keseluruhan untuk kesadaran jangka
panjang. Rencana-rencana untuk penelitian lebih jauh, yang melibatkan usulan penelitian untuk
memperoleh data kuantitatif, juga akan dibahas.
Kehidupan bisa saja menjadi sulit dan memantang – ini adalah sebuah fakta. Setiap orang
mengelola pergumulan atau perjuangan mereka dalam hidup secara berbeda-beda, namun kita
semua adalah manusia; yang artinya, kita semua tidak sempurna. Memperoleh penerimaan dari
berbagai ketidaksempurnaan dan kelemahan adalah suatu kemahiran dimana beberapa orang
akan berjuang lebih keras dari yang lainnya, karena beragam alasan biologis dan psikososial.
Untuk beberapa orang, pengaruh dari kekacauan mental dan emosional yang ditemukan dalam
hidup dapat menjadi terlalu berlebihan untuk ditanggung, membuat hidup menjadi putus asa dan
seperti tidak ada tujuan.
Lalu apa yang terjadi ketika zat-zat adiktif menjadi ‘solusi’ dari suatu masalah? Apa yang terjadi
ketika obat-obatan atau alkohol digunakan dan disalahgunakan dalam usaha untuk menutupi
emosi-emosi kelam – untuk menghindari pergumulan dan tantangan-tantangan – membuat
sebuah ilusi dari pengelolaan? Untuk banyak orang, mekanisme untuk mengatasi masalah ini
bisa meruncing pada kedalaman dari ketergantungan dan kecanduan, secara pokok membuat
masalah-masalah yang lebih banyak yang berujung pada kesepian dan kehilangan harapan.
Bagaimanapun, kecanduan penuh belum tentu merupakan suatu hasil pilihan, dan akan selalu ada
argumen mengenai nature versus nurture untuk dipertimbangkan.
Penelitian telah menemukan bukti bahwa kecanduan bisa saja berhubungan dengan genetik,
dengan dukungan melalui studi-studi klinik pada para kembar (Ruden dan Byalick, 1997). Hasil
temuan dalam penelitian memberikan kesan bahwa kecanduan bukanlah mengenai pilihan,
namun lebih pada predisposisi biologis yang berhubungan dengan keturunan (Cloninger, 1987;
Pitkens dan Svilkis, 2000; Ruden dan Byalick, 1997). Beruntungnya, bagaimanapun
penyebabnya – masih ada harapan dan juga solusinya.
Bentuk pengobatan lainnya dengan tingkat kemanjuran positif adalah yang tidak berbasis terapi,
seperti program 12 langkah termasuk Alcoholics Anonymous dan Narcotics Anonymous
(Bogenschutz, 2008; Borkman, 2008; Laudet, 2003), yang menyediakan para anggota dengan
rasa tujuan, membantu yang lainnya dengan berbagi pengalaman-pengalaman sembari
memperkuat penghargaan karena tetap sadar (Pagano et al., 2004).
Namun, ada satu bentuk dari pengobatan yang tidak banyak diketahui, tetapi secara unik
memberikan keuntungan dalam membantu mereka yang menderita kecanduan – ini adalah bidan
terapi seni (Johnson, 1990; Mahony,1999; Miller, 1995).
Walau penelitian belum secara spesifik mengevaluasi kemanjuran dari terapi seni untuk
mengatasi kecanduan, jurnal ini bertujuan untuk mendukung hipotesis-hipotesis berikut ini;
terapi seni, ketika digunakan untuk dalam konjungsi dengan sebuah program pengobaan
kecanduan, dapat membantu proses pemulihan untuk individual dengan meningkatkan perhatian,
membangun koneksi spiritual, dan menurunkan rasa malu dan kecemasan, oleh karena ini
meningkatkan kemungkinan dari kesadaran jangka panjang.
Terapi Seni
Sejak kemunculannya di tahun 1969, terapi seni adalah suatu pengobatan kesehatan mental yang
membantu proses-proses tradisional dari konseling dan psikoterapi dengan proses-proses kreatif
dari ekspresi artistik (American Art Therapy Association, 2014). Modalitas pengobatan ini
membantu orang-orang untuk menyelesaikan konflik, mengurangi stress dan kecemasan,
mengendalikan kemarahan, meningkatkan kepercayaan diri dan kesehjateraan, dan bekerja atas
sikap, perilaku, dan kondisi yang tidak sesuai (Allen, 1995; American Art Therapy Association,
2014; Holt & Kaiser, 2009; Wilson, 2012).
Terapi seni adalah sebuah jalinan kreatif, teraupetik antara terapis dan klien, yang secara luas
fokus dalam pembuatan seni sebagai bentuk dari ekspresi emosional. Seringkali, projek seni
yang spesifik ditawarkan oleh terapis seni dalam rencana pengobatan yang secara spesifik
ditujukan kearah kebutuhan klien, namun dilain waktu, pembuatan seni adalah bebas dari
paksaan dan bisa bersifat spontan. Bagaimanapun juga, terapis seni menempatkan “titik berat
pada memberdayakan partisipan untuk meinterpretasi sendiri ekspresi non-verbal mereka,
dengan bimbingan dari terapis seni” (American Art Therapy Association, 2014). Seni yang
dibuat tidaklah untuk didiagnosa, karena biasanya terjadi kesalahpahaman; tentu saja, tujuan dari
terapi tersebut adalah untuk memelihara hubungan antara klien dan terapis (mirip dengan bentuk-
bentuk psikoterapi tradisional lainnya). Dalam kata lain, ini bukanlah suatu produk estetika akhir
dari karya seni yang menarik, ini merupakan pengalaman dalam membuat seni dan pertumbuhan
dari kesadaran diri, transformasi, dan eksplorasi emosional yang datang dari proses pembuatan
seni dalam sebuah pengaturan teraupetik yang merupakan manfaat utamanya. Ketika secara fasih
disebutkan oleh de Button dan
Armstrong (2013), “seni adalah salah satu sumber daya yang dapat membawa kita kembali
kepada penilaian yang lebih akurat dari apa yang berharga dengan bekerja melawan kebiasaan
dan mengundang kita untuk mengenali ulang apa yang kita kagumi dan cintai” (hal.98).
Penyalahgunaan zat/ Kecanduan
Kecanduan obat-obatan dan alcohol merupakan masalah yang besar di United States sekarang ini
– ini adalah suatu epidemik yang mengerikan, menghancurkan jutaan kehidupan. Bahkan mereka
yang tidak secara langsung melakukan penyalahgunaan zat ikut terkena dampak negatifnya oleh
pengaruh dari kecanduan dari akal sekunder, menyaksikan seseorang yang mereka kenal dan
cintai menderita dalam genggaman dari ketergantungan zat-zat kimia (National Council on
Alcoholism and Drug Dependence, 2015). Menurut National Survey on Drug Use and Health
(NSDUH) pada tahun 2014, 21.5 juta orang di United States ditemukan mengalami gangguan
penggunaan zat (substance use disorder - SUD) dalam satu tahun terakhir, sementara sebuah
perkiraan 27.0 juta orang (umur 12 dan diatasnya) melaporkan sendiri bahwa mereka
menggunakan obat-obatan dalam resep untuk tujuan nonmedis dalam 30 hari terakhir (National
Council on Alcoholism and Drug Dependence, 2015). Secara statistic, diperkiraan satu dari
sepuluh orang di U.S mengaku baru-baru ini melakukan penyalahgunaan obat-obatan dan/atau
alkohol, atau sudah menjadi seorang pecandu; banyak dari mereka yang menyatakan bahwa
mereka kecanduan secara berbahaya terombang-ambing pada garis ketergantungan yang
beresiko (National Council on Alcoholism and Drug Dependence, 2015; Substance Abuse and
Mental Health Services Administration, 2015).
Kebanyakan zat-zat adiktif ‘mencari jalan’ ke nucleus accumbens (pusat kesenangan di otak),
mengaitkan diri mereka pada fungsi dopamin. Ketika zat tersebut mencapai otak, ia akan
memproduksi lonjakan dopamin, membanjiri sistem limbic, membuat individu yang
menggunakannya mengalami kesenangan yang memuncak. Karena ini merupakan serangan awal
dari reaksi kimia dari obat yang habis, “ini juga harus melambung dibawah dasar awal dari
aktivitas neural sebelum kembali padanya”(Wilcox & Erickson, 2000, p. 121).
Efek melambung ini berkembang menjadi suatu perdambaan yang intens – baik secara fisiologik
maupun psikologik – menuntut pada dosis yang baru dari zat yang digunakan untuk mencapai
homeostasis kembali. Suatu saat, siklus ini berlanjut pada titik dimana tidak bisa kembali; otak
tidak dapat lagi mengatur homeostatis tanpa obat tersebut, namun karena level toleransi yang
semakin meningkat, obat yang digunakan tidak dapat lagi memberikan efek yang diinginkan.
Ketika otak tidak mampu memproduksi (atau meregulasi) level dopamine yang adekuat, individu
tersebut akan kemudian tertinggal dengan ketergantungan zat kimia yang tidak bisa diatur,
depresi, dan keputusasaan (Ruden & Byalick, 2000; Wilcox & Erickson, 2000).
Chickerneo (1993) menawarkan kontribusinya dengan eksplorasi lanjutan untuk terapi seni
dengan kaitannya pada spiritualitas (tidak mesti berhubungan dengan aspek spiritual pada
program 12 langkah). Lebih spesifiknya, ia memiliki banyak studi kasus dari pengalamannya
yang didokumentasikan mengenai terapi seni dengan orang-orang yang menderita
ketergantungan zat kimia dan/atau kodependensi dan menyatakan bahwa, “semua kecanduan
adalah pelengkap yang melekat, dan proses pemulihan dari semua kecanduan tersebut
membutuhkan penghancuran dari perlekatan itu” (hal.7). Chickerneo memperdebatkan dalam
gagasan filosofis bahwa seni adalah sebuah jalan untuk bebas dari kekacauan oleh kultur yang
serba cepat bahwa kita hidup sebagai tawanan waktu, dan belajar kembali untuk menemukan
kedamaian, kewarasan, dan keseimbangan dalam hidup.
Matto (2002) mempublikasikan guideline dan teknik untuk terapis seni yang menguntungkan
untuk digunakan dalam pengobatan penyalahgunaan zat dalam jangka waktu pendek, pasien
rawat inap di rumah sakit. Walaupun ia tidak memiliki kurikulum yang ditetapkan, Matto
menyatakan bahwa arahan-arahan seni haruslah singkat, sederhana, dan memicu pergerakan
mendekati perubahan dan pengambilan aksi dalam cara yang menantang dan menarik disaat yang
bersamaan. Tujuan pengobatan jangka pendek ini berfokus pada mengekspresikan perasaan,
mengidentifikasi tempat-tempat yang aman dan perilaku-perilaku yang baru untuk mengatasi dan
eksplorasi diri, sebagai suatu gagasan untuk mendekati tujuan jangka panjang. Matto (2002)
mempromosikan terapi seni untuk ada dalam keadaan kelompok di sebuah fasilitas rawat inap
pengobatan penyalahgunaan zat, karena hal tersebut bisa menjadi bahan tambahan yang
berharga, suportif untuk klien-klien yang berjuang pada awal pemulihan. Dengan mendorong
pengambilan resiko untuk kesehatan (mencoba sesuatu melalui pembuatan karya seni),
membantu kesadaran diri sendiri, dan menetapkan interkoneksi, Matto menyatakan bahwa seni
dapat digunakan untuk memperluas hubungan dan meningkatkan partisipasi aktif dan jalinan
hubungan dalam pengobatan.
Cox and Price (1990) mengembangkan rencana terapi seni untuk klien penyalahgunaan zat
remaja mereka supaya menggunakan “Incident Drawing” untuk memfasilitasi penerimaan dari
penyakit kecanduan, melalui konfrontasi yang kreatif dan tidak mengancam dengan pengalaman-
pengalaman mereka mengenai penyangkalan, kehilangan, rasa malu dan rasa bersalah. Rencana
pengobatan-pengobatan ini sudah dikembangkan dengan tujuan untuk menyelesaikan trauma
apapun yang mendasari penyalahgunaan zat. Tujuan dari teknik “Incident Drawing” ini adalah
untuk menawarkan wawasan pada kecanduan individu yang tidak dapat dikendalikan, supaya dia
dapat secara jernih melihat bahwa banyak insiden traumatic yang berhubungan dengan
penggunaan obat-obatan.
Cox and Price mendesain intervensi terapi seni yang spesifik untuk diintegrasikan ke dalam
program pengobatan zat apapun setidaknya dua kali per minggu untuk sesi selama 45 menit,
dalam bentuk kelompok. Masing-masing sesi dengan teknik ini diawali dengan instruksi,
“gambarlah mengenai suatu insiden yang berlangsung ketika kamu minum atau mengkonsumsi
obat. (…) Ingat kembali kejadian yang signifikan dan ekspresikan insiden itu secara visual” (Cox
& Price, 1990, p. 335). Tempera paint adalah satu-satunya media yang disediakan secara sengaja,
karena lebih sulit digunakan daripada pensil atau spidols, oleh karena itu berperan sebagai suatu
metaphor untuk kecanduan yang tidak dapat dikendalikan.
Ketika sudah selesai, gambar-gambar insiden tersebut (bersamaan dengan emosi-emosi apapun
yang timbul) didiskusikan di dalam kelompok. Karena fokus kelompok tersebut dapat diarahkan
pada gambar-gambar tadi daripada pada masing-masing individu, individu yang bersangkutan
akan merasa lebih tidak terancam dan akan lebih condong untuk memberitahukan mengenai
perasaan-perasaan dan sikapnya (Cox & Price, 1990). Setelah diskusi kelompok, terapis seni
akan menanyakan individu yang bersangkutan untuk mengeksplorasi 5 pertanyaan berikut ini,
dan menyuruh mereka untuk menuliskan jawabannya di belakang kertas gambar untuk memicu
perenungan lebih jauh dan penilaian diri: “Apa pola pikirmu sekarang? Apa saja yang kamu
rasakan saat ini? Hal apa saja yang bertentangan? Hubungan apa sajakah yang terpengaruh?
Apakah orang yang sadar akan lakukan pada situasi ini?” (Cox & Price, 1990, p. 338).
Holt and Kaiser (2009) menggagaskan arahan terapi seni yang berhubungan dengan tema di
dalam model 12 langkah pemulihan yang dicocokan pada menargetkan penyangkalan dan
mengindentifikasi ambivalensi, yang memberikan penerimaan mengenai perubahan gaya hidup
baru pada akhirnya untuk memiliki hidup yang tenang. 5 arahan yang dikembangkan oleh Holt
and Kaiser, disebut “The First Step Series,” yang didesain untuk digunakan selama tahapan awal
dari pengobatan penyalahgunaan dan menunjukan suatu strategi aktif dari tubuh dan pikiran yang
dipercaya secara khusus berguna selama proses pemulihan.
Berakar pada model-model pengobatan dari Motivational Interviewing (MI) dan Stages of
Change (SOC), “The First Step Series” disajikan sebagai suatu strategi untuk mengambil peran
secara aktif dalam pemulihan. MI merupakan suatu model konseling yang berpusat pada klien
yang mendekati mekanisme defensif dari klien (seperti penyangkalan) untuk memahami
bagaimana dan mengapa orang berubah, dengan tujuan untuk membantu motivasi intrinsic untuk
berubah (Holt & Kaiser, 2009; Miller & Rollnick, 2002). Model SOC menggunakan 5 langkah
yang merupakan rangkaian kesatuan yang berkembang dari pre-kontemplasi, kontemplasi,
preparasi, aksi, dan pemeliharaan, untuk menggambarkan kesiapan klien atau kesediaan untuk
perubahan (DiClemente & Velasquez, 2002; Holt & Kaiser, 2009). Baik MI dan SOC
menekankan bahwa motivasi untuk berubah adalah sangat penting untuk proses pemulihan, yang
terjadi pada tahapan-tahapan yang progresif. Peneliti menyatakan bahwa jalinan aktif dalam
model pengobatan pada MI, dan juga mengacu pada Motivational Enhancement
Therapy (MET), membantu individu-individu dengan ketergantungan zat kimia secara signifikan
untuk menurunkan konsumsi alkohol (Project MATCH Research Group, cited in Polcin, 2002).
Dengan menggunakan 5 langkah rangkaian kesatuan untuk meningkatkan motivasi untuk
berubah, “The First Step Series” menggunakan 5 arahan seni yang spesifik. Yang pertama adalah
Crisis Directive yang didesain untuk mengevaluasi persepsi individu mengenai situasi yang
sedang berlangsung, dan menargetkan ambivalensi apapun untuk merelakan apapun zat yang ia
pilih, atau kesiapan untuk berubah. Arahan ini akan secara spesifik menanyakan klien untuk
“menggambarkan krisis atau insiden yang membawamu pada pengobatan” (Holt & Kaiser, 2009,
p. 247). Arahan ini menawarkan sebuah paralel pada langkah pertama dalam program 12
langkah, yang menyebutkan: “kami mengaku bahwa kami tidak berdaya atas alkohol – bahwa
hidup kami menjadi tidak terkendali”(Alcoholics Anonymous, 2001, p. 21). Gambar-gambar
tersebut akan secara terbuka didiskusikan dalam kelompok terapi, untuk dilema personal atau
pengalaman traumatik apapun akan dibawa kemuka melalui perumpamaan dapat digabungkan
dalam rencana pengobatan (Holt & Kaiser, 2009).
Arahan yang kedua adalah Recovery Bridge Drawing, dimana tugasnya adalah untuk
“melengkapi sebuah jembatan dimana kamu pernah ada, dimana kamu sekarang, dan dimana
kamu mau berada dalam hubungannya dengan pemulihanmu” (Holt & Kaiser, 2009, p. 247).
Perumpamaan yang muncul dari wawasan yang cepat ini dapat menyediakan wawasan ke dalam
kecemasan, ambivalensi, atau keraguan apapun yang dirasakan disaat masuk dalam pengobatan.
Ini secara khusus benar dalam hal bekerja menuju suatu perubahan hidup yang dramatis dari
penyalahgunaan zat yang aktif menuju ke ketenangan. Jika jembatan metaforikal digambar
dengan penyertaan dari api, sebagai contoh, individu tersebut mungkin akan membahas intesitas
ketakutannya atau kecemasannya yang berhubungan dengan prosesnya menuju ke kesadaran
(Holt & Kaiser, 2009). Sesi kelompok terapi ini juga akan mengikuti arahan ini untuk
memperbolehkan wawasan yang lebih jauh untuk didiskusikan dalam sebuah pengaturan yang
suportif.
Aktivitas yang ketiga adalah Costs-Benefits Collage, yang meminta individu untuk “membuat
kolase tentang biaya dan keuntungan untuk berada dikondisi yang sama, dan biaya dan
keuntungan jika berubah” (Holt & Kaiser, 2009, p. 248). Dan lagi, keuntungan untuk
ambivalensi dan/atau ketakutan yang mengelilingi proses pemulihan itu dapat diidentifikasi dan
didiskusikan. Dalam praktik, latihan kesenian ini juga menawarkan individu keuntungan untuk
menyalurkan perdambaan apapun untuk menggunakan zat-zat tertentu, yang dimana dapat
menjadi menguntungkan untuk pencegahan kekambuhan (Holt & Kaiser, 2009). Lebih jauh lagi,
eksplorasi terbuka dalam kedua realita ini (berubah versus tetap dalam keadaan yang sama)
mengklarifikasikan bahwa ada sebuah pilihan antara mencari ketenangan hidup atau tetap secara
fisiologis dan psikologis kecanduan).
Arahan yang keempat adalah latihan terapi seni popular yang mendorong penilaian kembali
dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dengan cara membayangkan skenario-skenario
masa depan (Holt & Kaiser, 2009). Membangun topic yang dieksplorasi pada arahan
sebelumnya, arahan keempat ini punya dua komponen. Pertama, untuk “menggambarkan dirimu
seperti yang kamu bayangkan dalam satu tahun jika kamu melakukan perubahan-perubahan yang
mendukung pemulihan” dan yang kedua, “menggambarkan dirimu seperti yang kamu bayangkan
dalam setahun ini jika kamu tidak melakukan perubahan-perubahan tersebut”(Holt & Kaiser,
2009, p. 249).
Arahan yang kelima dan terakhir dalam “The First Step Series” mendorong individu untuk
“membuat suatu gambar yang mengilustrasikan halangan-halangan apa saja yang kamu lihat
untuk membuat perubahan yang diperlukan untuk pemulihan (Holt & Kaiser, 2009, p. 249).
Masalah-masalah yang nyata atau yang dirasa, ketakutan-ketakutan, stress, atau keprihatinan-
keprihatinan bisa disalurkan melalui dorongan ini, yang mana akan berguna untuk terapis (atau
tim pengobatan) mengenai perawatan individual. Untuk individunya, ini bisa secara khusus
menguntungkan untuk memahami ambivalensi, dan/atau menyingkap apa yang mungkin menjadi
sebuah halangan yang mendasari motivasi untuk berubah (Holt & Kaiser, 2009).
Melalui pengalaman-pengalaman mereka sebagai terapis seni, Holt and Kaiser (2009) menemui
bahwa tindakan membuat seni adalah suatu proses yang melibatkan individu dalam penilaian diri
yang mendalam mengenai pemikiran dan emosi. Melalui “The First Step Series,” para individu
dapat menggunakan karya seni sebagai penampung yang aman untuk bekerja di seluruh persepsi,
keyakinan, keraguan, dan ketakutan, untuk pada akhirnya membuka jendela keuntungan untuk
mendukung motivasi untuk berubah.
Horay (2006) memutuskan untuk mengambil rentang fokus yang lebih luas untuk prakteknya
sendiri, setelah ia melihat bahwa kebanyakan dari terapi seni dalam bidang pengobatan
penyalahgunaan zat berasal dari model 12 langkah. Memahami bahwa banyak individu yang
menerima pengobatan untuk kecanduannya menyimpan perasaan yang ambivalen mengenai
pemulihan, Horay mendasari pendekatan pengobatan terapi seninya berdasar model teraupetik
MI yang akan menyalurkan ambivalensi tersebut melalui berbagai fase dalam perjalanan proses
pemulihan (Hinz, 2009; Horay, 2006). Horay (2006) memahami bahwa terapi seni ini unik untuk
medorong kemanjuran diri dalam individu yang mencari pengobatan, menyatakan:
Karya seni, dalam media atau arahan apapun, secara umum melibatkan memanfaatkan proses
kognitif yang sama yaitu menilai, memilih, dan memutuskan. Sebagai tambahan, proses kreatif
itu sendiri – dilaksanakan melalui pengumpulan bahan, mengeksplorasi media, memilih alat-alat,
dan pembuatan dan perbaikan aktif – sesuai sekali dengan lima tahap perubahan (p. 17).
Program terapi seni milik Horay’s (2006) menggarisbesarkan suatu kombinasi dari individu dan
juga sesi kelompok terapi seni dalam sebuah rancangan pengobatan kecanduan pasien rawat
jalan. Untuk menyalurkan – dan akhirnya bergerak melampaui – pikiran-pikiran ambivalen dan
perasaan-perasaan mengenai pemulihan, beberapa arahan seni yang spesifik disarankan. Yang
pertama, individu diminta untuk membuat kolase pro-kontra, menyatukan gambar-gambar
majalah dan/atau kliping kata-kata untuk mewakilkan baik “keuntungan dari menggunakan” dan
“kerugian dari menggunakan” atau “keuntungan dari tidak menggunakan” dan “kerugian dari
tidak menggunakan”(Horay, 2006, p. 18).
Sesi terapi seni yang kedua mengharuskan membuat sebuah kartu ucapan hipotetis, dimana
individu akan membuat sebuat kartu seperti itu akan dikirimkan untuk dirinya, dari seseorang
yang mereka perdulikan. Latihan ini bertujuan untuk menilai apa yang individu tersebut hargai
dalam hubungan, yang dapat digunakan sebagai dukungan motivasi untuk pencegahan
kekambuhan (Horay, 2006).
Seluruh sesi terapi seni selanjutnya memanfaatkan Check-In Drawings untuk mengidentifikasi
perasaan dan emosi apapun yang dialami belakangan ini. Untuk latihan kesenian ini, individu
dapat memilih dari berbagai variasi bahan untuk digunakan mengilustrasikan bentuk emosi
mereka sekarang ini. Melalui arahan yang kurang berstruktur ini, individu menunjukan
keberhasilan diri dan kebebasan memilih (suatu tujuan utama dari MI dan SOC) selagi mereka
mengeksplorasi ambivalensi dan kemajuan dalam pemulihan (Horay, 2006).
Seperti yang dirincikan diatas, terapi seni digunakan dalam pengobatan untuk kecanduan melalui
beberapa metode aplikasi. Banyak program terapi seni selaras dengan filosofi 12 langkah,
sedangkan yang lainnya menggunakan arahan-arahan seni dengan teori yang mendasari MI dan
SOC untuk meningkatkan motivasi untuk berubah.
Apapun pendekatannya, tujuan untuk meningkatkan kesadaran diri untuk mendukung kemajuan
dalam pemulihan merupakan kepentingan yang utama dalam proses terapi seni.
Hasil studi yang ada
Slayton, D’Archer, dan Kaplan (2011) mempublikasikan sebuah tinjauan komprehensif dari hasil
berbagai studi yang ditemukan dalam literatur mengenai terapi seni yang secara fokus digunakan
sebagai suatu intervensi spesifik (bukan hanya sekedar tambahan untuk modalitas pengobatan
lainnya), yang diselesaikan pada tahun 1999-2007. Tinjauan mereka menyimpulkan bahwa
semua penulis dari studi-studi kualiatif (total 7 orang) memperoleh keuntungan dari intervensi-
intervensi terapi seni (Slayton, D’Archer, & Kaplan, 2011). Populasi untuk masing-masing studi
tersebut berbeda; salah satunya berfokus pada anak muda dengan gangguan attachment (Ball,
2002), yang lainnya pada dewasa dengan penyakit Lupus (Nowicka-Sauer, 2007). Yang diteliti
juga adalah sebuah kelompok dari wanita dewasa yang dipenjara yang mengalami kematian dari
orang yang dicinta disaat mereka ditahan (Ferszt et al., 2004), para ibu dan balita (Hosea, 2006),
orang tua dengan penyakit Alzheimer’s (Seifert & Baker, 2002), para orang dewasa dalam
institusi forensik (Smeijsters & Cleven, 2006), dan anak-anak usia 10 tahun dengan kesedihan
dalam keluarga (Gersch & Sao Joao Goncalves, 2006). Intervensi terapi seni untuk masing-
masing studi ini berbeda, namun semua berlangsung dalam kelompok. Wawancara dengan
partisipan dan/atau terapis seni dilakukan untuk menyusun analisis kualitatif dari studi tersebut.
Hasilnya merefleksikan bahwa masalah-masalah yang ada telah berhasil ditujukan dengan terapi
seni, dan para partisipan melaporkan bahwa terapi tersebut membantu mereka untuk mengatasi
emosi-emosi, mengeksplor kesedihan secara baik, dan mengidentifikasi perubahan/pertumbuhan
yang positif (Slayton, D’Archer, & Kaplan, 2011).
Juga diperiksa dalam tinjauan hasil studi-studi tersebut diatas desain yang memanfaatkan
kelompok kontrol. Empat uji klinis telah diselesaikan, yang mana tiga dari empat uji tersebut
menghasilkan temuan yang signifikan secara statistic. Tiga studi tersebut difokuskan pada sesi
terapi seni individual dengan pasien kanker dewasa (menghasilkan perbaikan pada depresi dan
tingkat kelelahan) (Bar-Sela et al., 2007), kelompok intervensi terapi seni dengan para remaja
putri yang dihukum akibat kejahatan besar (menghasilkan perbaikan pada harga diri) (Hartz &
Thick, 2005), dan kelompok sesi terapi seni untuk staf medis yang bekerja dengan pasien-pasien
onkologi (menghasilkan penurunan dari burnout) (Italia et al., 2008). Uji ini tidak menyimpulkan
dengan temuan signifikan berfokus pada kelompok terapi seni untuk anak-anak dengan
leukemia, yang didokumentasikan memberi keuntungan dalam memicu perilaku kooperatif
selama intervensi yang menyakitkan (Favara-Scacco et al., 2001), namun alat-alat/data
pengukuran tidak tersedia (Slayton, D’Archer, & Kaplan, 2011). Data kuantitatif lainnya
diperoleh melalui pre/post-test desain studi, yang tampaknya lebih lazim (total dari 20 studi yang
dilakukan), yang mana 55% dari temuan hasil studi secara statistic signifikan; yang lainnya
dilaporkan memiliki tren positif (Slayton, D’Archer, & Kaplan, 2011).
Tinjauan temuan hasil studi ini mencerminkan rentang yang lebar dari intervensi terapi seni
melibatkan sejumlah alat-alat pengukuran dan populasi (Slayton, D’Archer, & Kaplan, 2011),
tetapi tidak menyertakan fokus studi populasi dari pengguna zat dan/atau pecandu apapun.
Demikian pula, American Art Therapy Association (2015) telah mempublikasikan daftar hasil
temuan studi terkini mengenai terapi seni. Daftar bibliografi ini menentukan hanya tiga studi saja
yang sudah dilakukan dalam intervensi terapi seni untuk mengobati ketergantungan zat kimia
dan/atau penyalahgunaan zat, masing-masing dengan sifat kualitatif (American Art Therapy
Association Research Committee, 2015). Setelah melihat dalam literature bahwa hampir ada
ketiadaan dari terapi seni yang disediakan untuk orang-orang dengan masalah penyalahgunaan
zat, Mahony (1999) melakukan sebuah projek penelitian dengan tujuan untuk mengeksplorasi
dan menjelaskan secara potensial mengapa terapi seni tidak dimanfaatkan secara luas sebagai
suatu pendekatan pengobatan untuk populasi ini. Oleh karena itu, ia mengirimkan kuesioner-
kuesioner ke 26 fasilitas pengobatan kecanduan yang berbeda (di UK), yang mana sebanyak 16
fasilitas merespons. Dari 16 itu, hanya satu yang membalas bahwa mereka memiliki staf terapis
seni yang terdaftar. Setengah dari program pengobatan dikonfirmasi bahwa mereka melakukan
aktivitas seni yang terintegrasi ke dalam rencana pengobatan mereka, hanya saja tidak melalui
terapis seni yang berlisensi. Respon dari kuesioner tersebut juga menyediakan informasi
mengapa terapi seni tidak ditawarkan; alasan finansial dan keterbatasan fasilitas merupakan
jawaban yang popular. Empat dari delapan fasilitas yang melaporkan tidak memiliki program
seni untuk ditawarkan menyatakan bahwa itu merupakan hasil perundingan, namun tidak
disebutkan alasannya. Bagaimanapun, delapan fasilitas yang tidak memiliki program seni
tersebut juga ditemukan tidak mempekerjakan staf medis atau psikolog manapun. Mahony
(1999) menyimpulkan temuannya dengan menunjukkan bahwa ada ketertarikan secara
keseluruhan untuk menyediakan terapi seni dalam program pengobatan, namun kelihatannya
aksesnya masih kurang, sebagai tambahan pada kurangnya kesadaran mengenai program
semacam itu.
The practice of creating art (whether or not it is for the purposes of therapy) can menghasilkan
sebuah pengalaman yang menyenangkan dan menyediakan individu dengan perasaan telah
mencapai sesuatu, selama kecemasan atau kesulitan-kesulitan belajar tidak menciptakan terlalu
banyak halangan selama prosesnya. Perasaan ‘penghargaan’ ini dikaitkan dengan dopamine
(DA), yang intrinsik pada proses neurokimia yang mendasari berbagai aktivitas dan hasil dari
terapi seni (Hass-Cohen & Carr, 2008). Menurut temuan penelitian neurologi, “aksi-aksi yang
berhubungan dengan gerakan, emosi dasar, fungsi visceral, pembelajaran berbasis penghargaan
dan pembuatan keputusan munculnya dari jalur DA” (Hass-Cohen & Carr, 2008, p. 82).
Jalur mesokortex DA menjadi aktif ketika sesuatu yang diketahui tertantang, dan telah
ditemukan terlibat dengan perubahan meta-kognitif yang terjadi selama terapi seni. Memiliki DA
dalam jumlah yang sangat sedikit di otak berkaitan dengan perasaan depresi seperti
ketidakberhargaan, penarikan diri dari sosial, konsentrasi yang rendah, dan persepsi emosi yang
tidak seimbang (Hass-Cohen & Carr, 2008). Walaupun penggunaan akut dari banyak obat
meningkatkan kadar DA, penyalahgunaan zat yang habitual menyebabkan kematian besar-
besaran dalam produksi alami DA. Sehingga, membuat karya seni yang membantu memicu
aktivasi jalur DA bisa secara khusu menguntungkan untuk orang-orang dalam pemulihan untuk
memproduksi DA tanpa harus menggunakan obat-obatan.
Melalui terapi seni, seorang individu akan menghubungkan emosi, pikiran, dan gerakan (dengan
tangannya) untuk menciptakan suatu karya seni, yang akan membangkitkan effort-driven-
rewards circuit nya dengan hasil adanya ‘penghargaan’ neurokimia tadi. Dengan demikian,
bentuk aktif dari ekspresi kreatif ini dapat mendukung harga diri dan rasa sehat secara
keseluruhan. Lebih jauh lagi, menciptakan suatu karya seni adalah suatu bentuk jalinan yang
bermakna bahwa seorang individu dapat secara mudah dan realistis memanfaatkan bahkan
setelah pengobatan selesai, sehingga dapat berkelanjutan, kesadaran jangka panjang.
Telah ada beberapa studi terdahulu selama 40 tahun belakangan ini mencerminkan hasil yang
positif dari praktik yang berbasis mindfulness dalam bidang kecanduan. Studi yang pertama
didokumentasikan berhubungan dengan meditasi dan penyalahgunaan zat pada sekitar awal
tahun 1970 an, dengan kemunculan dari sebuah praktik yang disebut teknik Transcendental
Meditation (TM) (Aron & Aron, 1983; Marcus, 1974; Witkiewitz et al., 2005). TM adalah suatu
praktik meditasi yang melibatkan posisi duduk nyaman selama 20 menit (idelanya 2 kali sehari;
satu di pagi hari dan satu pada malam hari) sambil secara hening mengulang sebuah mantra,
dengan tujuan untuk mencapai bentuk relaksasi dari fisik dan mental yang mendalam dan
kesadaran (Rosenthal, 2011). Mantra yang digunakan untuk meditasi ini adalah bunyi – atau
sebuah kata tanpa arti – yang dipercaya merupakan bahan sentral untuk TM, yang membuat
perhatian menjadi bergeser ke dalam (Marcus, 1974). 5 studi survey berbeda dilakukan pada
tahun 1970 an dan 1980 an yang melihat TM untuk pengobatan penyalahgunaan zat, melibatkan
berbagai kelompok partisipan (dari 60 sampai 1,862 subjek). Masing-masing dari 5 studi ini
menghasilkan suatu keluaran yang positif, menyatakan bahwa teknik meditasi mindfulness ini
secara efektif mampu untuk menurunkan stress, kecemasan, dan ketegangan (Aron & Aron,
1983; Marcus, 1974, Transcendental
Meditation, 2015). Karena tujuan dari pengguna obat-obatan seringkali parallel dengan hasil
yang TM berikan (untuk bisa lega dari stress, kecemasan, dll), disarankan bahwa TM bisa
menjadi pilihan pengobatan yang efektif untuk mencegah kekambuhan (Marcus, 1974).
Kerangka dari MBSR dibangun untuk membuat partisipan memperoleh kemampuan untuk
mengamati emosi, sensasi tubuh, dan pikiran mereka dalam cara yang sistematik yang bebas dari
penilaian. Hal ini akan menginisiasi kebebasan untuk memilih bagaimana cara merespon
dorongan, perdambaan dan suara-suara mental yang tidak diinginkan yang biasanya muncul pada
tahap awal pemulihan, dari pada beraksi pada impuls yang ada (Vallejo & Amaro, 2009).
Walaupun tingkat pengurangan dari studi ini tinggi (57% dari 101 partisipant keluar dari
program) – sebuah statistic yang lazim di bidang kecanduan), sisanya yang menyelesaikan
program tersebut melaporkan adanya timbal balik positif pada hubungannya dengan MBSR.
Studi ini berdasarkan penilaian partisipan mengenai 13 hal berhubungan dengan MBSR, pada
tiga interval yang berbeda selama 8 minggu program tersebut berlangung (Vallejo & Amaro,
2009). Dari perbandingan penilaian, 11 dari 13 hal respon survey ditemukan adanya perbaikan
yang signifikan secara statistik antara awal masa dan juga akhir masa program (Vallejo &
Amaro, 2009).
Ada sebuah data penelitian yang menarik yang mendukung kemanjuran dari MBRP. Sebuah
studi percontohan yang dipublikasikan tahun 2009 menggunakan uji acak terkontrol untuk
mengevaluasi kemungkinan dan kemanjuran dari program 8 minggu MBRP pada pasien rawat
jalan di sebuah fasilitas pengobatan (Bowen et al., 2009). Penilaian dilakukan pada partisipan
pada awal program MBRP, selesai program, dan pada 2 dan 4 bulan setelah program selesai.
Penilaian tersebut berfokus pada pengukuran dari perdambaan, penerimaan, kesadaran, dan hari-
hari dari penggunaan zat. Hasilnya mengindikasikan bahwa partisipan yang mendapat
pengobatan MBRP secara statistic signifikan menunjukan penurunan dalam semua hal yang
diukur, dibandingkan yang tidak (Bowen et al., 2009).
Lebih baru pada tahun 2010-2011, sebuah uji acak membandingkan MBRP dengan Relapse
Prevention (RP) standar dilakukan pada pelanggar wanita yang dirujuk pada program residensial
untuk pengobatan kecanduan melalui sistem hukum pidana (Witkiewitz et al., 2014). Penilaian
dilakukan pada 105 partisipan pada awal pengobatan (baseline), pada pertengahan pengobatan,
dan pada akhir pengobatan. Penilaian lanjutan (Followup) juga dilakukan pada partisipan setelah
15 minggu selesai melakukan pengobatan (yang mana 80 partisipan menyelesaikannya). Hasil
signifikan secara statistic dari studi ini mengindikasikan bahwa partisipan yang menerima MBRP
dibanding yang menerima RP memiliki 96% hari yang lebih sedikit dalam menggunakan obat
pada saat di followup (Witkiewitz et al., 2014).
Hasil dari penelitian mengenai TM, MBSR and MBRP semua mengusulkan bahwa praktik-
praktik mindfulness dapat membawa kebahagiaan atau kepuasan, menghilangkan stress dan
ketegangan, dan memperluas kesadaran tanpa penggunaan zat-zat tertentu (Marcus, 1974;
Murphy et al.,1986; Witkiewitz et al., 2005), dan dengan demikian dapat menjadi sebuah
mekanisme yang berguna untuk mengatur dorongan fisiologis dan psikologis serta perdambaan
selama pengobatan tahap awal.
Seni dan kesadaran memiliki hubungan mendalam dan besar dalam aplikasi dan
pengalaman (Bowen et al., 2009; Rappaport, 2014; Rosenthall, 2011). Bila digunakan berkaitan
satu sama lain, metodologi pengobatan ini ditemukan untuk mempromosikan keseimbangan
refleksi batin melalui kesadaran dan ekspresi lahiriah melalui seni. Sebagai dinyatakan oleh
Rappaport (2014):
Terapi seni telah diimplementasikan sebagai adaptasi, dan selain itu, lainnya
praktek mindfulness pada tahun 2012, grup musik, imagery, dan mindfulness diadakan di
fasilitas rehabilitasi narkoba dan alkohol yang tidak dipublikasikan selama 10 minggu di tempat
rawat jalan (Van Dort & Grocke, 2014). Setiap sesi dua mingguan dalam rangkaian perawatan 10
minggu berlangsung selama 90 menit, dan terdiri dari relaksasi pikiran (mendengarkan musik)
diikuti oleh sesaat untuk refleksi bayangan mental dalam kondisi tidak bersuara, dan diakhiri
dengan peserta untuk menggambarkan mandala - seni yang dibuat dalam bentuk lingkaran yang
digunakan untuk mengeksplorasi alam bawah sadar (Malchiodi, 2010) -yang berkaitan dengan
pengalaman mereka tentang musik yang memprovokasi citra mental (Van Dort & Grocke, 2014).
Sebelum setiap sesi, peserta dibawa ke dalam komponen musik / citra dengan induksi relaksasi
kesadaran oleh fasilitator, di mana mereka diminta untuk fokus pada sensasi setiap napas saat
sensasi tersebut bergerak melalui masing-masing bagian tubuh. Peserta diminta untuk menyadari
gambar yang muncul di belakang mata tertutup, dan membiarkan mereka terbentuk, bebas dari
penilaian, kritik, atau renggutan. Untuk menyimpulkan setiap sesi, peserta diminta membagikan
gambaran mandala mereka mengenai pengalaman dalam grup. Wawancara terdokumentasi
dengan peserta mencerminkan bahwa latihan seni sadar menghasilkan pengalaman emosional
dan emosional yang bisa dieksplorasi di lingkungan yang aman, menawarkan realisasi dan
pemahaman baru tentang "Diri Sendiri" (van Dort & Grocke, 2014).
Integrasi terapi kesenian dan perhatian penuh berkolaborasi begitu baik sehingga telah
terjadi munculnya aplikasi praktik baru dengan hasil positif. Peterson (2006) menciptakan
program perawatan delapan minggu yang dikenal hari ini sebagai Mindfulness-Based Art
Therapy (MBAT), menggabungkan terapi seni dengan Kabat-Zinn’s Mindfulness-Based Stress
Reduction (MBSR) model (Monti et al., 2006; Rappaport, 2014). Tujuan keseluruhan dari
MBAT adalah untuk menurunkan tingkat distress dan meningkatkan kualitas hidup, melalui
penggunaan ekspresi verbal dan nonverbal. Dalam format grup yang mendukung, MBAT
disusun untuk meningkatkan dukungan, mempromosikan pengaturan diri, dan memperluas
strategi penanggulangan (Monti dkk.,2006). Desain program MBAT delapan minggu mencakup
pemindaian tubuh dan cinta kasih, meditasi, meditasi berjalan, gentle yoga, dan praktik
pencitraan terpandu, ditambah dengan aktivitas seni yang penuh perhatian, seperti penilaian
gambaran diri dan pembuatan karya seni gratis di studio terbuka (Monti et al., 2006). Garis besar
rinci dari program MBAT delapan minggu kurikulum dirujuk di sini sebagai Lampiran A.
Sebuah uji coba terkontrol secara acak dilakukan untuk menyelidiki pengobatan MBAT
program untuk wanita penderita kanker, dan uji hipotesis bahwa MBAT (dengan perawatan
medis biasanya) akan mengurangi gejala distress dan meningkatkan kualitas kesehatan hidup,
dibandingkan dengan mereka yang mendapat perawatan medis saja (Monti et al., 2006). Melalui
penggunaan survei pra / pasca tes, distress diukur dengan menggunakan Symptoms Checklist
Revised (SCL-90-R), yang menilai 90 butir indikator tingkat stres, termasuk depresi, kecemasan,
ideologi paranoid, permusuhan, dll. Kualitas hidup terkait kesehatan diukur dengan Medical
Outcomes Study Short-Form Health Survey (SF-36), yang difokuskan pada penilaian 36 butir
konsep kesehatan yang berbeda seperti rasa sakit fisik, kesehatan umum, persepsi, keterbatasan
dalam aktivitas karena masalah kesehatan, vitalitas (energi dan kecerdasan), dll. Data survei juga
diperoleh pada tanggal tindak lanjut 16 minggu. Sesuai dengan hipotesis, penelitian ini
menemukan bahwa pasien yang mendapat intervensi MBAT menunjukkan penurunan signifikan
secara statistik dalam kesulitan dibandingkan dengan mereka yang menerima perawatan medis
saja, serta peningkatan statistik yang signifikan perbaikan dari 36 item dalam kualitas
pengukuran kehidupan, seperti kesehatan mental, kesehatan umum, fungsi sosial, dan vitalitas
(Monti et al., 2006). Mengikuti hasil survei mencerminkan sedikit kenaikan antara minggu ke 8
dan minggu ke 16, yang menghasilkan pemeliharaan efek pengobatan yang positif (Monti et al.,
2006, hal 369). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ada temuan penelitian yang
menyenangkan dan bermanfaat secara signifikan untuk pencegahan relaps berbasis Mindfulness
(MBRP). Dalam beberapa tahun terakhir, terapi seni telah dikombinasikan dengan latihan
kesadaran. Hal ini dapat ditarik hipotesis bahwa, terapi seni sadar itu akan memiliki temuan hasil
yang sama jika diteliti pada tingkat kuantitatif. Sayangnya, kemunculan MBAT sangat baru
sehingga percobaan semacam itu belum ada yang melakukannya.
Kerohanian
Keputusasaan adalah pertempuran internal yang serius yang pada umunya tidak bisa
diatasi dengan diri sendiri. Banyak program pemulihan kecanduan yang sukses berakar pada
prinsip spiritual, seperti sarana untuk menawarkan dukungan dan membimbing individu keluar
melalui (dan akhirnya keluar dari) keputusasaan, menghibur mereka untuk mengetahui bahwa
mereka tidak berjuang sendirian. Penelitian klinis telah menemukan bahwa spiritualitas adalah
komponen penting dari kualitas hidup, terutama bagi mereka yang menderita penyakit kronis
atau terminal, dan sangat penting sebagai sumber daya untuk individu yang mengatasi penyakit
(Monod dkk., 2011).
Sebuah teori yang dipegang oleh Alcoholics Anonymous (2001) mengemukakan bahwa
kecanduan adalah penyakit yang berakar dari trauma, dan seringkali merupakan penyakit akibat
spiritual. Tapi apa itu kerohanian? Menurut Oriah Mountain Dreamer (2005):
Spiritualitas kita adalah pengalaman langsung kita tentang apa yang secara paradoks
keduanya merupakan esensi dari apa yang kita, benda yang semuanya dibuat, dan sesuatu
yang lebih besar dari kita. Kita bisa menyebutnya Tuhan, Misteri Suci, Bunda Agung,
Kekuatan hidup ilahi, kekosongan yang subur, kesadaran cahaya yang jernih, cinta,
keindahan, kebenaran. Kemungkinan tidak ada habisnya (...) Sepenuhnya hadir, kita
mengalami kehadiran di dalam dan
di sekitar kita, luasnya semua melampaui kata-kata atau pemikiran. Saat-saat terbangun
bagi yang ilahi di dalam dan di sekitar kita memberi kita rasa tujuan dan makna, apresiasi
terhadap keutuhan hidup bahkan seperti apa yang kita alami di saat-saat ini mungkin
tidak mungkin untuk diartikulasikan atau dijelaskan. (Halaman 5).
Spiritualitas telah menjadi fondasi utama proses pemulihan dalam program 12 langkah
sejak kemunculan di tahun 1935 dengan berdirinya Alcoholics Anonymous. Dalam sebuah
program 12 langkah, orang yang dalam pemulihan tersebut disarankan untuk menemukan
kekuatannya lebih besar dari dirinya, dan menemukan kembali apa yang penting dalam hidup:
"Hanya untuk berhenti minum tanpa pertumbuhan atau perubahan lain hanya akan membuat
frustrasi orang yang belum belajar cara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia" (Farley-
Hansen, 2001, hal 102). Mempertahankan dan mengembangkan keterkaitan spiritual (komponen
kunci untuk menemukan kesuksesan dalam pemulihan) melibatkan mengenali aspek spiritual
dari "diri" - menemukan sesuatu memiliki nilai dan prioritas, sambil belajar apa yang benar dan
bermakna dalam kehidupan, dan akhirnya menciptakan (atau menciptakan kembali) kehidupan
yang layak dijalani.
Meski persekutuan (social support) dalam 12 langkah program bisa memberi semangat
kesadaran yang sukses (Borkman, 2008; Pagano et al., 2004), banyak individu memiliki
kekuatan perlawanan terhadap kepercayaan pada kekuatan yang lebih besar daripada dirinya
sendiri, dan karena itu tidak mau untuk mengerjakan langkah-langkah program sebagaimana
digariskan (Laudet, 2003); Tanpa kemauan, tidak benar kemajuan individu dapat dibuat (Pagano
et al., 2004). Terapi seni bisa menjadi wahana hubungan spiritual bagi mereka yang tidak mau
mengadopsi kekuatan tinggi pada awal ketenangan (Feen-Calligan, 1995). Tindakan sederhana
untuk menciptakan seni bersifat terapeutik (Malchiodi,2012) dan bisa menjadi ekspresi
spiritualitas selain percaya pada kekuatan yang lebih tinggi. Untuk misalnya, pikiran bawah
sadar dapat direalisasikan secara visual melalui pembuatan seni (Chickerneo,1993), yang bisa
menjadi usaha yang merendahkan dan bermakna (Feen-Calligan, 1995). Dalam hal ini, terapi
kesenian bisa menjadi alat pemulihan yang lebih bermanfaat daripada Program 12 langkah untuk
individu yang tidak berpikiran terbuka tentang spiritualitas.
Intervensi terapi seni telah berhasil dalam mempromosikan spiritualitas individu yang
mencari pemulihan dari kecanduan. Miller (1995) mendokumentasikan sebuah program terapi
seni klinis dimana kelompok seni mingguan diadakan dengan tujuan utama pertumbuhan
spiritual. Setelah menjalani perawatan, pasien / klien mengisi kuesioner tentang spiritualitas.
Sepanjang perawatan, peserta menghadiri kelompok seni mingguan yang secara khusus
bertujuan untuk mempromosikan kesadaran akan spiritualitas pribadi, sambil menentukan
hubungannya dengan Kekuasaan Yang Tinggi. Pada akhir pengobatan, kuesioner spiritualitas
yang kedua diberikan. Temuan membuktikan bahwa 90% pasien melaporkan sendiri bahwa
kelompok seni meningkatkan jumlah mereka akan kesadaran spiritual (Miller, 1995).
Ada hubungan intim yang ada antara seni dan spiritualitas. Farley-Hansen (2001) menyatakan:
Buahnya menyerupai hasil banyak praktik spiritual: semakin tinggi kesadaran diri dan
lainnya, membangkitkan kembali indra dan tubuh, kemampuan baru untuk menghuni
sepenuhnya saat ini, rasa kagum dengan cara misterius ketika gambaran yang
mengunjungi kita berbicara tentang realitas di luar pemahaman sadar kita, rasa
penerimaan yang besar untuk semua aspek diri kita dan orang lain, cinta, belas kasihan
dan rasa syukur atas kehadiran yang lebih besar, lebih dalam, dan tak dapat diampuni, di
mana kita semua (manusia, hewan, tumbuhan) berasal. (Halaman 24).
Terapi seni memungkinkan gejolakan emosi, yang mungkin sulit atau tidak nyaman
untuk dijelaskan dengan kata-kata, untuk diungkapkan secara nonverbal (Farley-Hansen, 2001;
Wilson, 2012). Menyediakan individu dengan rangkaian kreativitas unik untuk dibawa ke dalam
proses pemulihan, pemberian kebebasan pribadi dan undangan ke dalam kesehatan spiritual.
Seperti FeenCallahan (1995) menyatakan, "Pemulihan, seni, dan spiritualitas berbagi kualitas
tertentu yang meminjamkan dukungan terhadap penggunaan seni sebagai terapi dalam
pengobatan kecanduan: Pemulihan, seni, dan spiritualitas membutuhkan komitmen dan usaha
yang konsisten untuk mengetahuinya"(hal 48).
Rasa malu dan kecanduan tampaknya memiliki hubungan yang terjalin; Malu
diatribusikan keduanya dengan menjadi katalis bagi perilaku adiktif dan alasan mengapa mereka
melanjutkannya (Wilson, 2012). Mengurangi rasa malu sangat penting bagi proses pemulihan,
namun telah tercatat agak sulit untuk ditangani secara langsung selama pengobatan (Johnson,
1990; Wilson, 2012). Menurut Wilson (2012), "rasa malu, pada dasarnya, nampaknya sulit
diuraikan dengan kata-kata atau bahkan untuk mengakses melalui proses kognitif karena rasa
malu sebagian besar merupakan sebuah pengalaman bawah sadar yang dipertahankan oleh
berbagai respons maladaptif "(hal. 305).
Pecandu di awal pemulihan sering dihadapkan dengan perasaan malu yang intens dan
luar biasa serta menyesal saat dihadapi pada kenyataan perilaku masa lalu dan pengalaman yang
berpotensi menimbulkan trauma. Ahli terapi seni Marie Wilson (2012) merasakan pendekatan
terapi seni ekspresif sangat sesuai untuk mengurangi rasa malu. Dia mengklaim "Perasaan
memalukan bisa mengalir lebih mudah dan lebih langsung diakses melalui nonverbal,
pendekatan kreatif sejak mereka melewati daripada secara aktif menghadapi pertahanan yang
dipraktikkan dengan baik" (hal. 305), dan bisa mengajarkan konsep pemulihan sehingga pecandu
bisa mengatasi rasa malu secara perilaku suportif, namun dimintai tanggung jawab. Selain itu,
terapi seni dapat membantu pecandu mengenali dan mengidentifikasi manifestasi rasa malu
mereka sendiri, dengan belajar bagaimana memberi tanda/label, memilah Perasaan yang
memalukan dari kenyataan, dan mengurangi distorsi kognitif (Grosch, 1994; Wilson, 2012).
Pengurangan Kecemasan
Kecemasan dan kecanduan sering tumpang tindih, ada bersamaan (DuPont, 1995).
Kecemasan akut adalah efek tidak menyenangkan yang umum dari penarikan obat dan atau
alkohol, tapi juga merupakan alasan banyak orang menyalahgunakan zat pada awalnya, sebagai
sarana untuk mengobati diri sendiri (DuPont, 1995; Kushner, Sher, & Beitman, 1990).
Mengurangi kecemasan (psikologis dan respon stres fisiologis) sangat dibutuhkan dan penting
agar seseorang dapat membuat kemajuan dalam pengobatan (Malchiodi, 2012; Wilson, 2012).
Terapi seni adalah unik, alat bermanfaat yang bisa digunakan untuk mengungkap dan
mengidentifikasi aspek sensorik dari stres tubuh, melalui ekspresi visual (Malchiodi, 2012).
Selain itu, tindakan pembuatan seni bisa menjadi aktivitas yang menenangkan, sadar, dan dengan
demikian mengurangi stres dan kecemasan (Curry & Kasser, 2011; Malchiodi, 2012; Van der
Vennet & Serice, 2012).
khasiat terapi kesenian memang sulit. Hampir semua artikel dan buku terbitan tersedia pada
subjek referensi kebutuhan dan rekomendasi untuk penelitian tambahan.
Tidak mungkin tidak heran ... kenapa? Mengapa tidak ada penelitian?
Proposal untuk Penilaian Alat & Rekomendasi Baru untuk Penelitian lebih lanjut
Seperti yang dipromosikan oleh literatur, terapi seni merupakan alat penting yang saat ini
sedang digunakan dan dimanfaatkan dalam pengobatan kecanduan, namun ada kekurangan
penelitian. Oleh karena tidak adanya studi sehubungan dengan khasiat terapi seni untuk
penyalahgunaan zat dan kecanduan, direkomendasikan agar pengukuran penelitian kuantitatif
dicari untuk mendapatkan data. Penelitian ini diperlukan untuk menunjukkan tingkat efektivitas,
dan memberikan wawasan mengapa ini efektif. Hal ini akan sangat berharga untuk studi lebih
lanjut untuk menguji berikut hipotesis: terapi seni, bila diintegrasikan ke dalam program
pengobatan kecanduan, akan mengurangi tingkat rasa malu dan kecemasan peserta, sekaligus
meningkatkan perhatian dan perhatian hubungan spiritual, sehingga mengurangi risiko kambuh.
Penelitian yang diajukan untuk menguji hipotesis ini dibayangkan memiliki desain
percobaan terkontrol. Idealnya, penelitian ini akan dilakukan pada kecanduan rawat inap fasilitas
perawatan rehabilitasi (program 30 hari), sebagai lawan menggunakan program pengobatan
pasien rawat jalan, untuk mengurangi variabel perancu. Untuk mengevaluasi khasiat pengobatan,
dua kelompok akan dibandingkan. Kelompok kontrol peserta akan menerima pengobatan seperti
biasa (TAU), sedangkan kelompok eksperimen akan berpartisipasi dalam intervensi terapi seni
selain TAU. Mirip dengan rancangan penelitian percobaan terkontrol acak yang dilakukan untuk
menguji kemanjuran pencegahan relapse berbasis perhatian (MBRP) (Bowen et al., 2009;
Witkiewitz et al., 2014), Sesi intervensi terapi seni untuk penelitian yang diusulkan ini harus
berdurasi 50 menit, ditawarkan empat kali per minggu. Selama kelompok eksperimen yang
mendapat intervensi terapi seni, kelompok kontrol akan berpartisipasi dalam terapi 50 minutes of
small group-talk.
Penilaian (dalam bentuk survei menggunakan format skala likert) harus dilakukan
pertama kali saat diberikan pada awal pengobatan (admittance) untuk mendapatkan data dasar,
kemudian di akhir minggu dua (di tengah masa perawatan), dan minggu ke empat (sebelum
melepaskan). Survei tindak lanjut akan diberikan pada tiga bulan dan enam bulan setelah
pengobatan. Format pendaftaran bergulir diperlukan untuk populasi tersebut (Witkiewitz et al.,
2014) sehingga jumlah peserta yang diperlukan dalam ukuran sampel (N = 88, atau lebih) dapat
dipantau dari awal sampai penilaian pasca perawatan, untuk memperhitungkan kemungkinan
tingkat atrisi yang tinggi dan bertujuan untuk margin kesalahan acak (MRE) menjadi tidak lebih
dari 10% (Fox, Hunn, & Mathers, 2009). Sesi terapi seni difasilitasi oleh terapis seni yang
berlisensi khusus untuk studi yang diusulkan ini akan berlangsung di kedua kelompok (dua kali
per minggu) dan pengaturan individu (dua kali per minggu), dan jelajahi tema terkait dengan
pemulihan, termasuk namun tidak terbatas pada ketidakberdayaan, penerimaan, spiritualitas,
duka, dan syukur.
Untuk analisis statistik, informasi biografi akan diminta di bagian atas survei awal
diberikan pada saat masuk. Nomor identifikasi akan diberikan ke setiap peserta untuk
memastikan kerahasiaan; Setiap survei akan dikenali dengan angka ID peserta. Pertanyaan yang
relevan untuk masing-masing penilaian untuk penelitian yang diajukan ini meliputi mengukur
rasa malu, cemas, spiritualitas, perhatian, frekuensi dan kekuatan mendesak untuk menggunakan,
dan merasakan manfaat intervensi terapi seni. Pada survei lanjutan juga akan menyelidiki hari
penggunaan alkohol dan / atau penggunaan narkoba, dengan menggunakan Timeline Followback
(TLFB) model pengukuran. TLFB adalah metode survei laporan mandiri untuk meminta individu
untuk secara retrospektif melaporkan kapan saja peserta menggunakan rokok, alkohol, dan
narkoba dalam minggu terakhir (Sobell & Sobell, 2000). Survei ini awalnya dikembangkan pada
tahun 1970an, akan tetapi bahkan saat ini tampaknya menjadi metode tindak lanjut yang paling
umum digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif yang berkaitan dengan penggunaan
narkoba dalam penelitian klinis (Robinson et al., 2014).
Instrumen penilaian yang ada biasanya digunakan dalam berbagai studi klinis lainnya
telah ditinjau dan akan digunakan untuk tujuan penelitian yang diusulkan ini, sebagai upaya
untuk mendukung validitas dan reliabilitas dari apa yang sedang dievaluasi. Tingkat rasa malu
akan diukur dengan State Shame and Guigu Scale (SSGS) (Marschall, Sanftner, & Tangney,
1994). SSGS adalah instrumen yang banyak digunakan untuk mengukur rasa malu dan / atau
rasa bersalah, dan berisi 10 pertanyaan pada skala Likert lima poin (Rusch et al., 2007). Contoh
dari SSGS dirujuk di sini sebagai Lampiran B.
Tingkat kecemasan akan dievaluasi melalui Beck Anxiety Inventory (BAI), pengukuran
kecemasan yang handal (terpisah dari depresi). BAI terdiri dari 21 pertanyaan survei yang
menggunakan skala Likert empat poin. Laporan diri sendiri menggambarkan gejala fisiologis
(misalnya denyut jantung) dan aspek kognitif kecemasan (misalnya takut mati). Individu diminta
untuk menilai setiap pertanyaan sesuai dengan seberapa terganggunya masing-masing gejala
(Fydrich, Dowdell, & Chambless, 1992). Contoh survei BAI dirujuk disini sebagai Lampiran C.
Spiritualitas akan diukur dengan Indeks Spiritualitas Kemanusiaan atau Spirituality Index
of Well-Being (SWBS), merupakan penilaian umum tentang spiritualitas dan hasil kesehatan
dalam penelitian klinis terkait dengan perlakuan penyalahgunaan zat (Monod et al., 2011).
SWBS terdiri dari 20 pertanyaan dalam empat kategori untuk menilai keseluruhan kesejahteraan
umum, kepuasan hidup, pada skala Likert lima poin: percaya pada Tuhan, mencari makna,
perasaan keamanan, dan perhatian penuh (Ellison & Paloutzian, 1982). Untuk tujuan ini
diusulkan studi, pertanyaan yang mengandung kata "Tuhan" sedikit dimodifikasi yaitu
"Kekuatan Tinggi," untuk menghilangkan konotasi religius. Contoh dari modifikasi ini SWBS
disertakan sebagai lampiran D.
yang telah ditemukan dalam uji klinis menjadi prediktor minum terkuat (Flannery et al., 2003).
PACS hanya berisi lima pertanyaan, dan diukur pada enam poin skala likert. Untuk keperluan
penelitian yang diusulkan ini, kuesioner PACS mendapat sedikit modifikasi untuk memasukkan
"dan / atau menggunakan [obat]" selain alkohol, untuk dibuat verbiage lebih inklusif dalam
mengukur hasrat untuk zat adiktif - tidak hanya alkohol. Contoh survei PACS yang dimodifikasi
dimasukkan disini sebagai lampiran F.
Pertanyaan untuk mengevaluasi ada tidaknya hubungan antara keampuhan terapi seni dan
ketertarikan pada seni akan diberikan melalui tambahan daftar pertanyaan. Yang dimaksud disini
sebagai Art Interest Questionnaire (AIQ), merupakan kuesioner berisi 10 item pada skala Likert
lima poin, dan dikembangkan untuk tujuan dari penelitian ini. Contoh AIQ disediakan di
lampiran G.
Keenam survei ini (SSGS, BAI, SWBS, FFMQ, PACS, dan AIQ) akan dilakukan sebagai
paket untuk semua individu untuk diselesaikan pada setiap interval waktu yang sebelumnya
menyatakan: awal, akhir minggu dua, dan akhir minggu ke empat. Survei pasca perawatan akan
diberikan (pada 3 bulan dan 6 bulan pasca perawatan), terdiri dari keenam kuesioner ditambah
penilaian TLFB untuk mendata konsumsi alkohol dan / atau penggunaan narkoba. Contoh TLFB
digabungkan disini sebagai lampiran H.
Analisis komparatif akan dilakukan untuk mengevaluasi tanggapan antar kelompok pada
berbagai waktu survei yang diberikan sepanjang durasi penelitian. Hasil yang diharapkan akan
mencerminkan penurunan rasa malu dan kecemasan yang lebih besar pada peserta yang
menerima intervensi terapi seni, dibandingkan dengan TAU, dalam jangka waktu perawatan.
Hasil survei juga diharapkan bisa menunjukkan peningkatan yang lebih besar perhatian dan
spiritual dalam kelompok terapi seni (eksperimental) dibandingkan dengan TAU (Kontrol).
Selain itu, diharapkan frekuensi dan intensitas ngidam akan menurun dalam kedua kelompok
selama pengobatan, tapi sedikit lebih untuk kelompok eksperimen.
Kesimpulan
Terapi seni saja tidak mampu mengobati efek fisiologis awal dari ketergantungan kimia; Oleh
karena itu, seseorang harus mencari perawatan medis yang diperlukan agar bisa melepaskan diri
dari zat dengan aman. Namun, begitu substansi/zat tersebut benar-benar dikeluarkan dari tubuh
dan gejala sisa tidak ada, ngidam secara psikologis mungkin akan tetap ada (Ruden & Byalick,
2000). Selain itu, fisik dan pertarungan emosi yang cenderung menyertai kecanduan (DuPont,
1995) mungkin menjadikan semuanya semakin sulit bagi individu untuk bergerak menuju
ketenangan. Intervensi terapi seni dapat membimbing individu yang kecanduan melalui proses
pemulihan, membantu menemukan cara baru untuk menangani kehidupan, mengatasi hasrat
(Malchiodi, 2012), dan akhirnya belajar bagaimana mengekspresikan emosi kasar secara bebas,
tanpa harus dibawah pengaruh obat. Selanjutnya, pembuatan seni adalah outlet kreatif yang sehat
yang bisa dimanfaatkan bahkan setelah pengobatan berakhir, untuk mempromosikan kecemasan
dan pengurangan stres (Curry & Kasser, 2011; van der Vennet & Serice, 2012).
Melalui keterlibatan sadar dan pelepasan emosi, tindakan menciptakan seni di dan dari
dirinya sendiri merupakan hal terapeutik (Malchiodi, 2012) dan dapat mendukung ketenangan
hati. Terapi seni adalah metode pengobatan unik yang memungkinkan cara kreatif dan ekspresif
yang memungkinkan berhubungan kembali dengan 'diri' yang sebenarnya, sambil mendorong
sarana baru yang sehat untuk menavigasi kehidupan tanpa obat-obatan dan / atau alkohol.
Pembuatan seni bisa menggantikan keinginan dan kebutuhan palsu untuk bergantung pada
substansi yang menjadi satu-satunya penyedia kenyamanan dan kegembiraan dengan cara
membina transformasi spiritual (Farley-Hansen, 2001), dan dengan merangsang neurokimia
'Penghargaan' alamiah (bebas narkoba) sehingga mengalami keterlibatan yang berarti (Lambert,
2008). Terapi seni dapat membantu individu menemukan penerimaan seputar perjuangan dan
tantangan, sehingga bisa dilihat melalui perspektif yang berbeda. Ekspresi diri secara kreatif
memungkinkan tak sadar untuk menjadi sadar, sehingga gejolak emosi bisa diungkapkan dan
tidak lagi dikubur dalam ketakutan. Melalui terapi seni ekspresif, pemikiran adiktif dan perilaku
tidak lagi perlu mengendalikan tubuh dan pikiran meninggalkan satu perasaan - tantangan
seumur hidup bisa menjadi kanvas untuk pertumbuhan yang penuh warna melalui pemulihan.