Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada usus (inflammatory


bowel disease) yang menyebabkan inflamasi yang terus-menerus dan ulkus pada lapisan
yang paling dalam pada kolon dan rektum. Ulkus tersebut akan berdarah dan
menghasilkan pus, mukus dan inflamasi tersebut menyebabkan pengosongan rektum
menjadi lebih sering, sehingga dapat mengakibatkan diare. Kolitis ulseratif menyerupai
penyakit Crohn, merupakan jenis lain dari penyakit inflamasi pada usus.1 Tidak seperti
dengan penyakit Crohn, yang dapat mengenai setiap bagian dari traktus gastrointestinal,
kolitis ulseratif secara khusus hanya melibatkan usus besar.2 Kolitis ulseratif jarang
mengenai usus halus, kecuali pada bagian bawah, yaitu ileum.3
Tingkat kejadian kolitis ulseratif dapat bervariasi dari 0,5 sampai 31,5 per
100.000 orang setiap tahun. Prevalesinya lebih rendah di negara berkembang misalnya
Asia berkisar antara 5,3 sampai 63,6 per 100.000 orang, sedangkan di Amerika Utara
berkisar 37,5 sampai 238 per 100.000 orang.4 Etiologi yang pasti dari kolitis ulseratif
tidak diketahui, tetapi penyakit ini memiliki penyebab yang multifaktorial dan poligenik.
Kolitis ulseratif merupakan penyakit jangka panjang yang memiliki efek pada emosi dan
sosial yang dapat mempengaruhi pasien.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang
berdasarkan penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu kolitis infeksi
meliputi shigellosis, kolitis tuberkolosis, kolitis amoeba, kolitis pseudomembran,
kolitis karena virus/bakteri/parasit lain, sedangkan kolitis non infeksi meliputi kolitis

1
ulseratif, penyakit Crohn’s, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, dan
kolitis non-spesifik (simple kolitis).5

2.2 Epidemiologi
Kolitis ulseratif dapat mengenai 150 orang dari 100.000 populasi pada negara
bagian barat. Kolitis ulseratif memiliki prevalensi tiga kali lebih sering dibandingkan
dengan penyakit Crohn. Kolitis ulseratif lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
dengan pria. Di Amerika Serikat, kolitis ulseratif terjadi lebih sering pada populasi
dengan ras kulit putih. Berdasarkan statistik internasional, kolitis ulseratif sering
terdapat di negara-negara bagian barat dan utara, insidensnya rendah di negara-negara
Asia dan Timur Tengah.2,6,7
Onset usia mengikuti pola bimodal, puncaknya berada di usia 15-25 tahun dan
onsetnya menurun pada usia 55-65 tahun, meskipun penyakit ini dapat mengenai
segala jenis usia. Kolitis ulseratif jarang mengenai populasi yang berusia lebih muda
dari 10 tahun. Dua dari 100.000 anak terkena penyakit ini, namun 20-25% dari semua
kasus kolitis ulseratif terjadi pada usia 20 tahun ke bawah.2

2.3 klasifikasi
Klasifikasi yang menunjukkan berat ringannya kolitis ulseratif, dapat dilihat pada tabel
berikut ini:2,6

Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif


Ringan Sedang Berat
Pergerakan usus <4 per hari 4-6 per hari >6 per hari
Darah pada feses Sedikit Lumayan banyak Banyak
Demam Tidak ada Rata-rata <37,5oC Rata-rata >37,5oC
Rata-rata Rata-rata
Takikardia Tidak ada
<90×/menit >90×/menit
Anemia Ringan >75% ≤75%
Laju sedimentasi <30 mm >30 mm
Gambaran Eritema, Eritema, granula Terjadi perdarahan
endoskopi penurunan kasar, corak spontan dan
corak vaskuler, vaskuler tidak terdapat ulserasi
granula yang ada, terjadi
masih baik perdarahan
kontak, dan tidak

2
ada ulserasi

2.4 Anatomi
2.4.1Anatomi
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum membentuk kantung
buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum. Tonjolan kecil
mirip jari di dasar sekum adalah apendiks, jaringan limfoid yang mengandung limfosit.
Kolon, yang membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung-gelung seperti usus
halus, tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus – kolon asendens, kolon
transversus, dan kolon desendens. Bagian akhir kolon desendens berbentuk huruf S,
yaitu kolon sigmoid (sigmoid berarti ‘berbentuk S’), dan kemudian berbentuk lurus yang
disebut rektum (rectum berarti ‘lurus’).8

Gambar 1. Anatomi usus besar


(Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-
Saunders;2006.p. 267)

3
Lapisan otot polos longitudinal di sebelah luar tidak menutupi usus besar
secara penuh. Lapisan ini hanya terdiri dari tiga pita otot yang longitudinal, jelas, dan
terpisah, yaitu taenia koli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taenia koli ini lebih
pendek daripada otot polos sirkuler dan lapisan mukosa di bawahnya apabila yang
terakhir ini dijadikan mendatar. Oleh karena itu, lapisan-lapisan di bawahnya
berkumpul di dalam kantung atau sakus yang disebut dengan haustra, mirip seperti
bahan rok yang berkumpul di pinggang yang lebih sempit. Namun, haustra bukan
hanya sebagai tempat berkumpul permanen yang pasif, lokasi haustra secara aktif
berubah-ubah akibat kontraksi lapisan otot polos sirkuler.9
Mukosa usus besar, seperti pada usus halus, mempunyai banyak kripta
Lieberkuhn; tetapi, berbeda dengan usus halus, mukosa usus besar tidak memiliki vili.
Sel-sel epitelnya hampir tidak mengandung enzim. Sebaliknya, sel ini terutama
mengandung sel-sel mukus yang hanya menyekresi mukus. Sekresi yang dominan
pada usus besar adalah mukus. Mukus ini mengandung ion bikarbonat dalam jumlah
sedang yang disekresi oleh beberapa sel epitel yang tidak menyekresi mukus.
Kecepatan sekresi mukus terutama diatur oleh rangsangan taktil, langsung dari sel-sel
epitel yang melapisi usus besar dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel-sel mukus
pada kripta Lieberkuhn.10

Gambar 2. Histologi usus besar

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.
Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal
kolon,sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian
distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu
yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan.9
Mukosa usus besar seperti juga mukosa usus halus, mempunyai
kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi, dan gradient potensial listrik yang
diciptakan oleh absorpsi natrium juga menyebabkan absorpsi klorida. Taut erat
diantara sel-sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih erat daripada taut erat di usus

4
halus. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien osmotik di sepanjang
mukosa usus besar, yang kemudian akan menyebabkan absorpsi air. Usus besar dapat
mengabsorpsi maksimal 5 sampai 8 liter cairan dan elektrolit setiap hari. Bila jumlah
total cairan yang masuk usus besar melalui katup ileosekal atau melalui sekresi usus
besar melebihi jumlah ini, kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare.9
2.5 Etiologi
Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa kolitis
ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang salah,
pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid, kurangnya
kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau tidaknya riwayat merokok, dan
riwayat mengonsumsi produk susu. Sebagai contoh, beberapa orang memiliki risiko
secara genetik untuk terkena penyakit ini. Bakteri dan virus dapat memicu sistem imun
mereka, sehingga mengakibatkan suatu inflamasi. Karena kolitis ulseratif lebih sering
muncul di negara-negara berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak jenuh
dan makanan yang diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.1,2
a. Penyebab genetik
Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan seseorang
memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon imun yang dimediasi
sel dan/atau respon imun secara umum yang direaktivasi oleh bakteri komensal dan
menyebabkan disregulasi respon imun pada mukosa sehingga mengakibatkan
inflamasi pada kolon. Riwayat adanya kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan
dengan seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian
penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian genetik telah
mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait dengan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus yang diidentifikasi juga
dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma kolorektal. Kromosom pada pasien
dengan kolitis ulseratif dianggap kurang stabil. Fenomena ini juga dapat
berkontribusi pada risiko karsinoma yang meningkat. Apakah abnormalitas ini
merupakan penyebab atau akibat dari respon inflamasi sistemik yang terus-menerus
pada kolitis ulseratif, hal ini juga belum diketahui.2
b. Reaksi imun
Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat menyebabkan
kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang sifatnya melawan sel epitel
usus mungkin terlibat. Adanya antibodi antineutrofil sitoplasma/antineutrophil

5
cytoplasmic antibodies (ANCA) dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodi
(ASCA) adalah ciri-ciri utama dari penyakit inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas
yang terjadi pada sistem imun dianggap sedikit berperan pada rendahnya insiden
kolitis ulseratif pada pasien yang telah menjalani operasi usus buntu sebelumnya.
Pasien-pasien yang telah menjalani appendektomi memiliki insidens yang rendah
untuk terkena kolitis ulseratif.2
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi sulfat,
memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan kolitis ulseratif,
dan produksi sulfat pada lebih tinggi pada pasien kolitis ulseratif dibandingkan
pasien-pasien lainnya.2
d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada pasien dengan
kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol, dan sepertiga pasien dengan kolitis
ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja menggunakan obat-obatan anti
inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat menjadi bukti bahwa penggunaan obat-
obatan anti inflamasi non-steroid harus dihindari pada pasien dengan kolitis
ulseratif.2
e. Etiologi lainnya
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kolitis ulseratif, antara lain:2
 Vitamin A dan E, di mana keduanya merupakan antioksidan, memiliki kadar
yang rendah pada anak-anak dengan kolitis ulseratif eksaserbasi.
 Stress psikologik dan stress psikososial berperan pada kolitis ulseratif dan dapat
mempresipitasi terjadinya eksaserbasi
 Merokok biasanya tidak berhubungan dengan kolitis ulseratif. Hal ini
berkebalikan dengan penyakit Crohn
 Konsumsi susu dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit ini

2.6 Patofisiologi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kolitis ulseratif merupakan salah satu
bentuk dari penyakit inflamasi pada usus. Dalam penyakit inflamasi usus atau
inflammatory bowel disease, lamina propria diinfiltrasi oleh limfosit, makrofag, dan sel-
sel lain dari sistem imunitas. Penelitian yang intensif pada antigen yang memicu respon

6
imun belum menemukan suatu mikroba patogen tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas
teridentifikasi dalam serum pasien kolitis ulseratif. Penyakit inflamasi usus mungkin juga
berkaitan dengan kegagalan supresi (atau "downregulasi") dari peradangan kronis level
rendah pada lamina propria sebagai respon paparan kronis terhadap antigen luminal,
khususnya bakteri komensal.10
Apapun pemicu antigeniknya, sel T lamina propria yang teraktivasi terlibat dalam
patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit inflamasi usus, yaitu penyakit Crohn,
limfosit yang teraktivasi menjadi limfosit TH1 yang menghasilkan interferon-γ (IFN-γ).
Sitokin pro-inflamasi, termasuk interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-
α), dapat memperkuat respon imun. Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus
tampaknya disebabkan jenis oksigen reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin
seperti TNF-α dan IFN-γ.10
Pada tikus, kolitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming growth factor-
β1 terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor mutan, dan kolitis
berkembang pada tikus transgenik jika gen manusia HLA-B27 telah lebih dulu
diperkenalkan. Jika hewan yang sama dibesarkan dalam lingkungan yang bebas dari
kuman, kolitis tidak berkembang, sehingga menunjukkan bahwa kolitis bisa menjadi
satu-satunya manifestasi dari berbagai abnormalitas dalam imunitas sistemik dan kolitis
adalah hasil dari respon imun abnormal terhadap bakteri komensal.10

7
Gambar 3. Patogenesis kolitis ulseratif 10

2.7 Diagnosis
2.7.1 Gejala Klinis
Gejala utama dari kolitis ulseratif adalah diare, perdarahan pada rektum,
tenesmus, adanya mukus, dan nyeri (kram) abdomen. Berat atau tidaknya gejala
penyakit berjalan seiring dengan luasnya proses penyakit. Meskipun kolitis ulseratif
dapat bersifat akut, rata-rata gejala klinis bermanifestasi dalam jangka waktu
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Seringkali diare dan perdarahan saluran
cerna bersifat sangat ringan jadi pasien tidak memeriksakan dirinya ke dokter.3,6,11
Diare menandakan terjadinya gangguan yang meluas pada kolon. Pada
pasien dengan kolitis ulseratif yang berat atau fulminan, gejala sistemik berupa
keringat malam, demam, mual dan muntah, serta penurunan berat badan dapat
menyertai diare. Kolitis ulseratif dapat bermanifesasi pada ekstrakolon, antara lain:
uveitis, gangrenosum pioderma, pleuritis, eritema nodosum, spondilitis ankilosing,
dan spondiloarthropati.2,3,12,13

8
2.7.2 Aspek Fisik dan Laboratorium
a. Aspek Fisik
Pada pemeriksaan fisik, khususnya pemeriksaan fisik pada region abdomen,
tidak khas. Pemeriksaan fisik seringkali normal pada pasien dengan gejala klinis
yang ringan, kecuali terdapat nyeri perut pada kuadran kiri bawah. Pasien
dengan kolitis ulseratif yang berat dapat memiliki gejala defisit cairan dan
gejala-gejala toksisitas, antara lain: demam, takikardia, nyeri perut yang
signifikan, dan penurunan berat badan.2
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan anemia dan trombositosis,
Dapat ditemukan leukositosis, namun bukan merupakan indikator yang spesifik
pada penyakit ini. Pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan
hipoalbuminemia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan alkali fosfatase yang
meningkat.2,6
Peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-reaktif protein berhubungan dengan
fase akut dari penyakit ini. Sedangkan, pemeriksaan feses dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lain dari gejala yang ditimbulkan.
c. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan
diagnosis kolitis ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi
kolon yang masif yang disertai dengan kontur mukosa yang abnormal. Dilatasi
yang terjadi seringkali terdapat pada kolon transversal. Perforasi kolon
merupakan salah satu komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi dapat terjadi
dengan atau tanpa megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif biasanya
menyertai perforasi kolon. Residu feses biasanya tidak terlihat pada usus yang
mengalami inflamasi. Gambaran edema pada dinding usus biasa tampak pada
fase akut dari kolitis ulseratif, yang disebut juga gambaran thumbprinting.
Terdapat juga gambaran pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang udem
diantara mukosa yang mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi pemendekan
usus akibat spasme muskulus longitudinal atau fibrosis yang ireversibel. Selain
itu, haustra pada kolon desendens menghilang.13,14

9
Thumbprinting

Gambar 3. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi akut
menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon14

Gambar 4. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif menunjukkan
striktur/spasme yang panjang pada kolon asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat
pseudopoliposis pada kolon desendens14

10
2. Barium enema
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih
sempit, dan hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak
sempurna akibat spasme dan iritabilitas pada kolon.2
Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra
pada lumen kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem
pada mukosa yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat
menyebar dan menutupi semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-
bintik pada mukosa akibat perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar
button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang udem
dengan kripte abses pada submukosa.13,15
Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis ulseratif dalam
jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon asendens.2,15

pseudopolip

Gambar 5. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan kolitis ulseratif
pada stadium awal, di mana mukosa masih normal dan tampak pseudopolip 16

11
Gambar 6. Pemeriksaan barium enema dengan kontras dobel menunjukkan keterlibatan kolon
dengan collar button ulcers yang banyak seperti yang diperlihatkan dengan tanda panah 15

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan struktur yang panjang pada
kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen kolon desendens yang ireguler15

12
Gambar 8. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada seluruh kolon
desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan gambaran “lead-pipe”13

3. Computed tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam
membedakan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium
enema menunjukkan kemiripan di antara keduanya. CT dapat mendeteksi
bagaimana karakteristik dari kolitis ulseratif. CT-Scan abdomen dan pelvis
menunjukkan dilatasi, penebalan pada bagian mural, dan permukaan mukosa
yang ireguler, serta terdapat target sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada
dinding kolon, dan pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya inflamasi
dan hiperemia.14,17

13
Gambar 9. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan dinding
mukosa dan iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan desendens, seperti yang
diperlihatkan pada tanda panah 17

Gambar 10. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan target sign, seperti
yang diperlihatkan pada tanda panah 17

14
Gambar 11. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan aksial menunjukkan pelebaran pembuluh
darah perisigmoid dan ascites, seperti yang diperlihatkan pada tanda panah 17

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI dengan resolusi yang tinggi untuk meneliti 16 spesimen
rektosigmoid yang telah direseksi akibat kolitis ulseratif, dan
mengungkapkan bahwa MRI dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru
untuk mendeteksi perubahan dinding kolon pada kolitis ulseratif. Hasil in
vitro menunjukkan bahwa MRI dapat melihat lapisan dinding kolon secara
keseluruhan. Secara khusus pada kolitis ulseratif, T1-weighted spin-echo MRI
menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan
submukosa.14
d. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi
Sekali kita mencurigai kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa
kolonoskopi, harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada mukosa
yang meradang dan pada mukosa yang normal. Hasil yang didapatkan pada
pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat mengonfirmasi diagnosis kolitis
ulseratif, dan juga berguna untuk melihat atau memantau sejauh mana
perjalanan penyakit tersebut. Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan
hati-hati karena kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi

15
lainnya. Kasus kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan
perdarahan spontan.2,18

Gambar 12. Gambaran kolitis ulseratif pada kolonoskopi 2

2. Pemeriksaan histopatologi
Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan
hasil pemeriksaan endoskopi dari kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas
pada mukosa dan submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak
terlibat kecuali pada kolitis ulseratif fulminan. Pada kolitis ulseratif, terdapat
dua tanda histologis yang menunjukkan kronisitas dan membantu
membedakannya dari kolitis ulseratif akut dan kolitis ulseratif yang self-
limiting. Pertama, terdapat kripte yang terdistorsi pada kolon; kripte bisa saja
berbentuk bifida dan sedikit jumlahnya, dan seringkali terdapat celah di
antara dasar kripte dan muskularis mukosa. Kedua, beberapa pasien memiliki
sel basal plasma dan agregasi limfoid basal multipel. Dapat juga ditemukan
kongesti vaskuler pada mukosa, dengan edema dan perdarahan fokal, dan
infiltrat sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag.
Neutrofil menginvasi epithelium, biasanya ke dalam kripte, dan dapat
menimbulkan kriptitis dan abses kripte.6,7

16
Gambar 13. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik eksaserbasi akut
menunjukkan inflamasi difus, limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan
erosi superfisial 11

2.8 Diagnosis Banding


Kolitis ulseratif paling sering didiagnosis banding dengan penyakit Crohn,
karena diagnosis yang beda memiliki terapi yang berbeda pula. Perbedaan antara
kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat dilihat pada tabel di bawah ini:2
Tabel 2. Perbedaan antara kolitis ulseratif dan penyakit Crohn

Kolitis Ulseratif Penyakit Crohn


Hanya kolon yang terlibat / jarang
Panintestinal
pada usus halus
Inflamasi terus-menerus yang
Skip-lesions dengan mukosa yang normal
berasal dari rektum yang meluas
di antaranya
secara proksimal
Inflamasi hanya terdapat pada
Inflamasi terdapat pada transmural
mukosa dan submukosa
Tidak terdapat granuloma Terdapat granuloma non-kaseosa
ANCA perinuklear (pANCA) positif ASCA positif
Perdarahan sering terjadi Perdarahan jarang terjadi
Jarang terdapat fistula Sering terdapat fistula

17
Selain itu, kolitis ulseratif dapat juga didiagnosis banding dengan tuberkulosis
gastrointestinal. Gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium dapat memberikan gejala
yang serupa, kecuali tuberkulosis gastrointestinal biasanya terdapat nyeri pada fossa
iliaka yang disertai dengan massa yang dapat dipalpasi. Cara membedakannya juga
bisa melalui foto toraks, di mana lesi pulmoner yang aktif dapat ditemukan pada 60%
kasus tuberkulosis gastrointestinal. Pemeriksaan foto polos abdomen pada tuberkulosis
gastrointestinal dapat menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami kalsifikasi.
Selain itu, untuk membedakannya, dapat juga kita lakukan pemeriksaan bakteri tahan
asam.2,19

Gambar 14. Foto polos abdomen yang menunjukkan limfadenopati difus yang mengalami klasifikasi pada
pasien dengan tuberkulosis gastrointestinal 19

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Penatalaksanaan Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien kolitis ulseratif, antara lain:1,2,5,16
 Asam aminosalisilat
Obat ini memiliki efek anti-inflamasi lokal, secara khusus pada kolon, dan dapat
diberikan secara rektal atau oral. Formulasi obat yang slow-release (pentasa atau
asacol) dipecah di kolon.1,7
 Kortikosteroid

18
Pengobatan kolitis ulseratif dengan menggunakan steroid biasanya efektif dalam
menimbulkan remisi dan digunakan secara khusus untuk mengobati kolitis
ulseratif eksaserbasi akut. Kortikosteroid ini dapat diberikan secara intravena,
oral, atau rektal..1,2,7,18
 Antibiotik
Antibiotik digunakan dalam mengobati kolitis ulseratif namun tidak
memberikan hasil yang baik..2
 Probiotik
Probiotik digunakan untuk mengembalikan flora normal pada usus, dan telah
dilaporkan berhasil pada beberapa kasus.7
2.9.2 Penatalaksanaan Bedah
Pembedahan, berupa panproktokolektomi (memotong kolon dan rektum),
merupakan terapi definitif pada kolitis ulseratif. Indikasi operasi pada kolitisulseratif
bervariasi. Terapi medikamentosa yang gagal merupakan indikasi yang paling sering
untuk dilakukan pembedahan. Indikasi tindakan pembedahan segera pada pasien
kolitis ulseratif adalah adanya toksik megakolon yang refrakter dengan terapi
medikamentosa, adanya serangan fulminan yang refrakter dengan terapi
medikamentosa, dan perdarahan pada kolon yang tidak terkontrol. Sedangkan,
indikasi elektif adalah ketergantungan jangka panjang pada steroid, ditemukannya
displasia dan adenokarsinoma pada biopsi skrining, dan durasi penyakit yang sudah
mencapai 7-10 tahun.2,7,17

2.10 Prognosis
Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan
penurunan peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian meningkat
pada pasien-pasien usia tua, dan pada pasien yang disertai komplikasi (misalnya:
syok, malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang berat dan kronik dapat menjadi lesi
prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada kolitis ulseratif adalah megakolon
toksik.2,18

19
BAB III
RINGAKSAN

Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada usus (inflammatory bowel
disease) yang menyebabkan inflamasi yang terus-menerus dan ulkus pada lapisan yang
paling dalam pada kolon dan rektum. Ulkus tersebut akan berdarah dan menghasilkan pus,
mukus dan inflamasi tersebut menyebabkan pengosongan rektum menjadi lebih sering,
sehingga dapat mengakibatkan diare.
Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum bahwa kolitis
ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem imun yang salah, pengaruh
dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid, kurangnya kadar anti
oksidan di dalam tubuh, faktor stress, ada atau tidaknya riwayat merokok, dan riwayat
mengonsumsi produk susu.
Pemeriksaan penunjang khususnya pemeriksaan radiologi sangat membantu untuk
menegakkan diagnosis dari kolitis ulseratif. Terapi untuk kolitis ada 2 yaitu secara
medikamentosa dan pembedahan. Prognosis dari kolitis ini buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ehrlich SD. Ulcerative colitis. [cited 16 November 2016] Available


http://www.umm.edu/health/medical/altmed/condition/ulcerative-colitis
2. Basson MD, Katz J. Ulcerative colitis . [cited 16 November 2016] Available
https://emedicine.medscape.com/article/183084-overview
3. The Ohio State University Wexner Medical Center. Ulcerative colitis . [cited 16
November 2017] Available https://wexnermedical.osu.edu/digestive-
diseases/ulcerative-colitis

20
4. Da silva BC, Lyra AC, Rocha R, Santana GO. Epidemiology, demographic
characteristics and prognostic predicators of ulcerative colitis. World J Gastroenterol.
2014;20. Hal 9458-9467
5. Oesman N. Kolitis Infeksi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Interna
Publishing. 2014. hal 1827
6. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al,
editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill,
Health Professions Division; 2008.
7. Keshav S. Ulcerative colitis and crohn’s disease. In: Keshav S, editor. The
gastrointestinal system at a glance. USA: A Blackwell Publishing company; 2004. p
78-9
8. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. hlm.
582-3
9. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi gastrointestinal.Buku Ajar Fisiologi Kedokterran Edisi
11. Jakarta:EGC;2007.hal 829, 48, 58.
10. Stenson WF. Inflammatory bowel disease. In: Goldman, Ausiello, editors. Cecil
medicine 23rd edition. Philadephia: Saunders Elsevier; 2007.
11. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis. The New England Journal of Medicine 2011;
365, 18: 1713-25.
12. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc.; 2007.
13. Herring W. Ulcerative colitis. [cited 16 November 2017] Available
https://radiopaedia.org/articles/ulcerative-colitis
14. Khan AN, Lin EC. Ulcerative colitis imaging . [cited 16 November 2017] Available
https://emedicine.medscape.com/article/375166-overview
15. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals of
diagnostic radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
16. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from image to
diagnosis. Germany: Thieme; 2006. p. 197-8.
17. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP: ulcerative
colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.
18. Caprilli R, Viscido A, Latella G. Current management of severe ulcerative colitis.
Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2007; 4, 2: 92-101.
19. Anand MKN. Gastrointestinal tuberculosis imaging . [cited 16 November 2017]
Available https://emedicine.medscape.com/article/376015-overview

21

Anda mungkin juga menyukai