Kolitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Kolitis ulserativa merupakan penyakit
radang non spesifik kolon yang umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang
berganti-ganti. Sakit abdomen, diare dan perdarahan rektum merupakan tanda dan gejala yang penting.
Frekuensi penyakit paling banyak antara usia 20 -40 tahun, dan menyerang ke dua jenis kelamin sama
banyak. Insiden kolitis ulserativa adalah sekitar 1 per 10.000 orang dewasa kulit putih per tahun.
Tugas utama kolon ialah untuk menyimpan sisa makanan yang nantinya harus dikeluarkan, absorpsi air,
elektrolit dan asam empedu. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama dilakukan di kolon sebelah
kanan, yaitu di coecum dan kolon asenden, dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya. Begitu juga
beberapa macam obat-obat yang diberikan per rektal dapat dilakukan absorpsi, umumnya dalam bentuk
suppositoria. Kolon yang normal selama 24 jam dapat melakukan absorpsi 2,5 liter air, 403 mEq Na dan
462 mEq Cl. Sebaliknya kolon mengeluarkan sekresi 45 mEq K dan 259 mEq bikarbonat.
Peradangan kolon akut dapat disebabkan oleh sejumlah agen infeksi yaitu virus, bakteri, atau parasit.
Manisfestasi klinik infeksi ini adalah demam, sakit kejang abdomen bagian bawah, dan diare yang dapat
berdarah. Pada kasus yang berat darah secara kasar dapat ditemukan dalam feses, dan gambaran klinik
dan sigmoidoskopi dapat menyerupai kolitis ulserativa akut. Sel-sel radang akut terdapat pada infeksi
Shigella atau Salmonella, kolitis amoeba akut, atau kolitis ulserativa idiopatik; sel-sel ini tidak terdapat
pada gastroenteritis virus atau diare yang disebabkan oleh enterotoksin.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakitserta asuhan
keperawatan colitis ulseratif?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan dan memahami tentang konsep dasar
penyakit serta asuhan keperawatan colitis ulseratif.
2. Tujuan khusus
g. Memahami konsep dasar asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan
yang biasanya timbul, intervensi atau perencanaan keperawatan untuk kolitis ulseratif.
D. Manfaat Penelitian
Makalah ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
memberikan informasi tentang colitis ulseratif.
BAB II
ISI
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi terbatas di
mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif berawal di rektum dan
meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh kolon (Robbins, 644,2004).
Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada rektum dan
bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid dan kolon desenden atau
seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi panjang), tetapi beberapa
individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471, 2000).
Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik perokok
pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi.
Pada fenomena autoinum, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel epitel usus yang
mungkin terlibat. Pada studi individu dengan kolitis elseratif sering ditemkan memiliki antibodi p-
antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998).
Pada fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral dan imunisasi yang
diperantarai sel dan reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi terhadap flora
usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam pathogenesis penyakit inflamasi usus (Khan,
2009).
Faktor kerentanan genetik (kromosom 12 dan 16) adalah factor yang dikaitkan dengan kolitis ulseratif.
Sejarah keluarga yang positif (diamati pada 1 dan 6 keluarga) berhubungan dengan resiko lebih tinggi
untuk terjadinya penyakit (Salby, 1998). Perokok pasif dikaitkan dengan kolitis ulseratif sedangkan
perokok justru lebih rendah untuk terjadinya kolitis ulseratif. Kondisi ini merupakan fenomena terbalik
dibandingkan dengan enteritis regional (Chron’s disease) (Thoomas, 2000).
Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat meningkatkan respon penyakit
(Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan kolitis ulseratif (Le, 2008).
Infeksi tertentu telah terlibat dalam peyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri
atipikal (Tremaini, 2000).
Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses dan deplesi
dari sel-sel Goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin
dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksik, yang ditandai dengan
penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usur besar yang memungkinkan terjadinya perforasi.
Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada
kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan risiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa
karsinoma ini situ atau dispalsia. Secara antomis sebagai besar kasus melibatkan rectum; beberapa
pasien juga mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup oleocecal yang tidak
kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.
Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal sebagai
berikut.
1. Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami peradangan. Pada
pasien dengan kolitis ulseratif, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon. Perubahan ini disertai dengan
peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan produksi immunoglobulin G (IgG) dan
immunoglobulin E (IgE).
2. Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan peningkatan secara
signifikan tingkat platelet-activating factor(PAF). Pelepasan PAF dirangsang oleh leukotrienes,
endotoksin atau faktor lain yang mungkin bertanggung jawab atas peradangan mukosa, namun proses
ini tidak jelas.
Respons awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya jaringan parut dan
pembentukan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran, satu lesi
diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh
kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi dengan adanya respons
inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi dari lapisan otot dapat memberikan
kesan dinding usus menebal sehingga memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi
pemendakan dari usus.
Obstruksi usus
megakolon toksik
refraktor terhadap
terapi farmatologi
pendarahan masif
Gambar 7.30
Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical bedah. Jakarta : penerbit salemba medika
Perubahan peradangan secara mikroskopis jaringan yang mengalami ulkus segera ditutupi oleh jaringan
granulasi yang selanjutnya akan merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan polypoidal atau yang
dikenal sebagai polip atau peradangan pseudopolip.
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pengkajian pemeriksaan diagnostik terdiri atas pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan endoskopik.
Temuan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi kolitis ulseratif mungkin endoskopik.
a. Anemia (yaitu hemoglobin <14 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada wanita).
b. Peningkatan tingkat sedimentasi (variable referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan
peningkatan C-reactive protein (yaitu >100 mg/L). kedua temuan ini berkorelasi dengan aktivitas
penyakit.
g. Peningkatan alkalin fosfatase : lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis sclerosing primer
(biasanya >3 kali batas atas dari kisaran referensi).
h. Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan fases yang cermat dilakukan untuk
membedakannya dengan disentri yang disebabkan oleh organism usus umum, khususnya Entamoeba
histolytica, Fases terhadap darah.
2. Pemeriksaan radiografik
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang parah bisa didapatkan megakolon
toksik. Selain itu, bukti perforasi, obstruksi, atau ileusjuga dapat diamati (Khan, 2009).
Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema dapat dilihat
adanya megakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan
menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lengkap usus (Carucci, 2002).
c. CT Scan
Secara umum CT scan menunjukkan peran yang kecil dalam diagnosis kolitis ulseratif. CT scan dapat
menunjukkan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis sklerosis (Carucci, 2002).
3. Prosedur endoskopi
Endoskopi dapat menunjukkan mukosa yang rapuh, mukosa terinflamasi dengan eksudat dan ulserasi.
Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis kolitis. Tujuan lain dari pemeriksaan ini
adalah untuk mendokumentasi kan sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas
penyakit, dan sebagai surveilans untuk displasia atau kanker. Namun, berhati-hati dalam upaya
kolonoskopi dengan biopsi pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi
atau lainnya komplikasi (Rajwal, 2004).
5. Manifestasi Klinik
Gejala yang pertama kali diajukan yaitu keluarnya keluarnya darah segar per rektum terutama setelah
defekasi dan atau adanya diare. Pada akhirnya terjadi diare bercampur darah. Pada sebagian penderita
dapat timbul secara akut dari permulaan dengan disertai diare berdarah dan penderita terlihat sakit
berat untuk beberapa hari atau minggu. Gejala-gejala akut ini timbul bilamana terjadi perdarahan dari
kolon yang difus. Tak jarang penyakit ini timbul sejak penderita sedang hamil dan menyebabkan
keadaan jadi berat. Bilamana penyakit ini hanya dibagian kolon sigmoid (prokto sigmoiditis), maka
terjadi perdarahan kronis sehingga timbul anemi.
Tapi bila terjadi perluasan dari penyakit dan merupakan stadium akut maka terjadi panas, takhikardi, Hb
menurun (anemia normositik), berat badan menurun, badan merasa lemah dan lesu, otot-otot lemah.
Serangan yang berat dapat disertai dengan diare yang dapat lebih dari 20 kali sehari. Tinja cair dan
bercampur dengan darah, mukopurulen. Mungkin disertai dengan nausea dan vomitus. Disamping itu
akan terjadi gangguan elektrolit.
Ada rasa nyeri di perut yang kadang-kadang ada kolik. Pada saat diare juga akan kehilangan protein,
dapat menyebabkan hipoproteinemia dan terjadi edema. Pada pemeriksaan fisik pada penderita yang
berat terlihat lemah, anemia, tanda-tanda dehidrasi positif. Dinding abdomen yang lembek, nyeri tekan.
Pada penderita yang mengalami dilatasi dari kolon, maka terlihat abdomen yang mengembung,
meteoristik, timpanitik.
6. Penatalaksanaan
1. Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi,
dengan pertimbangan terapi berikut ini.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan mengarahkan aktivitas
biologis.
b. Immunomodulators
c. Antibiotik
Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol
untuk pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien
dengan kolitis yang parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d. Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat
dalam mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping.
2. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati
gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis
pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal Colectomy with Ileostomy and Hartmann’s Pouch,
Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal Rectal Anastomosis, Total
Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal
Anastomosis, Anal Transition Zone Preservation, dan Doverting Ileostomy.
c. Pendarahan parah.
e. Megakolon toksik.
f. Perforasi.
1. Pengkajian
Pengakajian kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi
diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen, diare,
tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal.
Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri bawah.
Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman
setelah BAB. Diare biasanya disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari.
Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena kolitis ulseratif adalah
penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan anus, diare,
dan sakit perut. Pada kondisi kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat
keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan
lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis yang paras dapat mengalami komplikasi yang
mengancam nyawa, termasuk pendarahan parah, mengkolon toksik, atau perforasi usus.
Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi
enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, dan
merokok perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan
tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana
pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan tingkat keparahan
penyakit. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan menifestasi klinik yang muncul. Pada kolitis
ulseratif berat survey umum pasien terlihat lemah dan kesakitan. TTV mengalami perubahan sekunder
dari nyeri dan diare. Suhu badan pasien akan naik 38,5ºC dan terjadi takikardia. Pengkajian berat
badan yang disesuaikan dengan tinggi badan dapat menentukan status nutrisi.
B1 : takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi asidosis dalam
kasus dehidrasi parah.
B2 : takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala
dehidrasi.
B3 : perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke otak. Pasien dengan
episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan mata.
B5 : Inpeksi : kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan kembung. Pada kondisi kronis, status
nutrisi bisa didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah dan kemungkinan
perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan bawah. Sebuah massa dapat teraba
menunjukkan obstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal
dari hepatitis autoimun terkait atau kolongitis sklerosis.
Perkusi : nyeri ketuk dna timpani akibat adanya flatulen.
Auskultasi : bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipoaktif. Nada gemerincing bernada tinggi dapat
ditmukan dalam kasus-kasus obstruksi.
B6 : kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian energy setelah nyeri dan diare.
Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada penyakit inflamasi usus. Sendi besa,
seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku, yang paling sering terlibat, tetapi setiap
sendi dapat terlibat. Pada integument, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan tugor
kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada permukaan ekstensor.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare.
Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: takikardia (respons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri)
c. Integritas ego
Gejala: ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Pengobatan yang mahal, faktor budaya peningkatan prevalensi pada populasi yahudi
d. Eliminasi
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau ber air, episode diare berdarah tak
dapat diperkirakan, hilang timbul, sering, tak dapat di control ( sebanyak 20-30 kali defekasi/hari):
perasaan dorongan/kram (tenesmus): defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feses
Tanda : menurunnya bising usus, tak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang dapat di lihat.
Hemoroid, fisura anal (25%): fistula perianal ( lebih sering pada crohn ). Oliguria
e. Makanan/ cairan
Gejala ; anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diet/sensitive missal
buah segar sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda ; penuruna lemak subkutan/ massa otot. Membrane mokusa pucat; luka, inflamasi rongga mulut.
f. Hygiene
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala; nyeri/nyeri tean pada kuadran kiri bawah ( mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri
berpindah, nyeri tekan (artritis), nyeri mata, fotopobia (iritis)
h. Keamanan
Gejala ; riwayat lupus eritematosus, anemia hemolitik, vaskulitis. Arthritis ( memperburuk gejala dengen
eksaserbasi penyakit usus ).
tanda: lesi kulit mungkin ada missal eritema nodusum ( meningkat, nyeri tekan, kemerahan, dan
bengkak) pada tangan , muka ; pioderma gangrenosa ( lesi tekan purulen/ lepuh dengan batas ke
unguan) pada paha, kaki, dan mata, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis iritis.
i. Seksualitas
j. Intraksi sosial
Gejala : masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif dalam social
k. Penyuluhan/pembelajaran
Pertimbangan
2. Diagnosa keperawatan
b. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
c. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake makanan
yang kurang adekuat.
d. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi doagnostik, rencana pembedahan, dan rencana
perawatan rumah.
e. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pascanyeri dan diare.
g. Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan batuk menurun, nyeri
pascabedah.
a. Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons
pembedahan.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pascabedah, nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi
nonfarmakologi dan noninvasif. lainnya telah menunjukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
· Antidiare.
b. Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang
adekuat.
Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam pascabedah intake nutrisi dapat
optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi:
No Intervensi Rasional
7.
8.
9.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria:
- Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan volume Sebagai parameter dasar untuk pemberian
cairan: kulit dan membran mukosa kering, intervensi terapi cairan atau pemenuhan hidrasi.
penurunan turgor kulit, oliguria, kelelahan,
penurunan suhu, peningkatan hematokrit,
peningkatan berat jenis urine, dan hipotensi.
· Lakukan pemasangan IVFD. Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut, maka
lakukan pemasangan IVFD. Pemberian cairan
intravena disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
· Antimikroba.