Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

FARINGITIS, LARINGITIS DAN LARINGOFARINGEAL REFLUX

Oleh :
Mohammad syahrezki, S.Ked
1518012227

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

BAB I

PENDAHULUAN

1
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Faringitis lazim terjadi di
seluruh dunia, umumnya di daerah beriklim musim dingin dan awal musim semi.
Di Amerika Serikat, sekitar 84 juta pasien berkunjung ke dokter akibat infeksi
saluran pernafasan akut pada tahun 1998, dimana 25 juta disebabkan oleh infeksi
saluran pernafasan atas. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey,
infeksi saluran pernafasan atas, termasuk faringitis akut, bertanggung jawab untuk
200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di Amerika Serikat. Di
negara-negara yang berpenghasilan tinggi, faringitis adalah umum pada anak-anak
usia 3 hingga 15 tahun. Di Amerika Serikat, rata-rata anak lingkungan usia 5
tahun terinfeksi faringitis.1

Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara (laring) yang dapat
menyebabkan suara parau. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis
dan menebal, kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi
skuamosa. Laringitis ialah pembengkakan dari membran mukosa laring.
Pembengkakan ini melibatkan pita suarayang memicu terjadinya suara parau
hingga hilangnya suara. Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa
pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama. Infeksipada laring
dapat dibagi menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun
noninfeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang melibatkan laring. Laringitis
akut biasanyaterjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3
minggu dan biasanya muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan
pernafasan dan demam. Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah
bermanifestasi beberapa minggu.2

Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan


sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta
saluran pencernaan atas. LPR dapat menyebabkan iritasi dan perubahan pada
laring. Pasien dengan LPR biasanya mempunyai keluhan di daerah kepala dan
leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan keluhan klasik seperti esofagitis
dan rasa panas di dada (heartburn). Perbedaan ini menyebabkan kedua penyakit

2
tersebut memerlukan pengobatan yang agak berbeda. Dikenal berbagai istilah
LPR seperti GERD supraesofagus, GERD atipikal, komplikasi ekstra esofagus
dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal refluks, refluks supraesofageal dan
refluks ekstraesofageal. Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan
anamnesis yang teliti, pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH
dan lain-lain. Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku,
antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Faringitis
A. Definisi
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise .
Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan bersamasama dan
dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari
sekret hidung dan ludah. 3,4,5

B. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-
60%) dan bakteri (5-40%) yang paling sering. Kebanyakan faringitis akut
disebabkan oleh agen virus. Virus yang menyebabkan faringitis termasuk
Influenza virus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Coxsackie viruses A dan
B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein Barr Virus (EBV). Selain itu,
infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) juga dapat menyebabkan
terjadinya faringitis.4.5

Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S. pyogenes


dengan 5-15% penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A
streptococcus merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak
berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia < 3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria
gonorrhoeae, Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans,
Yersinia eneterolitica dan Treponema pallidum, Mycobacterium
tuberculosis. 3,4,5

Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative


ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan
kontak orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang
terinfeksi gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria
homoseksual, 10% pada wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar

4
50% individu yang terinfeksi adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia,
demam ringan dan eritema dapat terjadi. 3,4,5

Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita
sakit tenggorokan atau demam. 3,4,5

Gambar 1. Etiologi Faringitis

Pada Faringitis kronik,faktor-faktor yang berpengaruh6,7:


1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik,
mucus purulent secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber
infeksi yang konstan. Tonsillitis kronik dan sepsis dental juga
bertanggung jawab dalam menyebabkan faringitis kronik dan
odinofagia yang rekuren.
2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos
faring ke udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan
dengan suhu tubuh sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi.
Bernapas melalui mulut biasa disebabkan oleh :
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau,
peminum minuman keras, makanan yang sangat pedas semuanya dapat
menyebabkan faringitis kronik.
4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap
industry juga menyebabkan faringitis kronik.
5. Faulty voice production. Penggunaan suara yang berlebihan atau faulty
voice production juga adalah salah satu penyebab faringitis kronik.

5
C. Patogenesis
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat
bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi
kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemis,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan
limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding
faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan
membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal. 4,5
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Group A
streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada
myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub
jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-
antibodi. 4,5
D. Klasifikasi Faringitis
1) Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Gejala dan tanda
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian
akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorokan dan sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring
dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus, dan

6
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat
menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. 3-5
Selain menimbulkan gejala faringitis, adenovirus juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein-
Barr virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar
limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV
menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan
demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat
eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah. 3-5

Gambar 2. Varingitis viral

Terapi
Istirahat dan minum air yang cukup. Kumur dengan air hangat.
Analgetika jika perlu dan tablet isap.
Antivirus seperti metisoprinol (Isoprinosine) diberikan pada infeksi
herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-
6kali pemberian/ hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun
diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

b. Faringitis Bakterial
Gejala dan tanda

7
Gejala pada faringitis yang disebabkan oleh bakteri antara lain,
nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan batuk. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa
leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan. 3-5

Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat


diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria8, yaitu :
- Riwayat demam (+1)
- Anterior Cervical lymphadenopathy (+1)
- Tonsillar exudates (+1)
- Tidak ada batuk (+1)

Terapi
a. Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini
grup A Streptokokus ß hemolitikus. Penicilin G Banzatin
50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal atau amoksisilin
50mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3x 500mg selama 6-10 hari atau eritromisin
4x500mg/hari.
b. Kortikosteroid
Deksametason 8-16mg,IM 1 kali. Pada anak 0.08-
0.3mg/kgBB,IM 1 kali.
c. Analgetika
d. Kumur dengan air hangat atau obat kumur anntiseptik

Faringitis gonorea
Faringitis ini disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae.
Pasien yang menderita faringitis tipe ini selalunya punya riwayat
pernah melakukan riwayat seks oral atau kontak orogenital.
Makanya selalu jika didapatkan pasien dengan faringitis tipe ini,

8
adalah wajib untuk ditanyakan kepada pasien apakah pernah
melakukan kontak orogenital sebelumnya. 3
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriaxone 250mg Intra Muskular.

c. Faringitis Fungal
Gejala dan tanda
Penyebab dari fungal yang tersering adalah candida yang tumbuh
di mukosa rongga mulut dan faring. Keluhan yang sering timbul
adalah nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan
tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. 3-5
Pembiakan jamur candida ini dilakukan dalam agar Sabouroud
dextrose.
Terapi
Nystatin 100.000-400.000 2 kali/ hari dan boleh diberikan
analgetika untuk menghilangi nyeri.
2) Faringitis Kronik
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik
hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi terjadi
proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi
kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang
mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya faringitis
kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya
tersumbat. 3-5
a) Faringitis Kronik Hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan berglanular. Pasien mengeluh mula-mula
tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang berdahak. 3-5
Terapi
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat
kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter).
Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika

9
diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.

b) Faringitis Kronik Atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis
atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi
pada faring. Pasien umumnya mengeluh tenggorokan kering dan
tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering. 3-5

Terapi
Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis
kronik atrofi ditambahkan obat kumur dan menjaga kebersihan
mulut.

Faringitis spesifik
a. Faringits luetika
Faringitis leutika atau faringitis syphilis ini dapat disebabkan oleh
Treponema palidum yang dapat menimbulkan infeksi di daerah
faring seperti penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik penyakit
ini berbeza dan tergantung kepada stadium yang dapat dibahagi
kepada tiga, yaitu primer, sekunder dan tersier. 3-5
1. Stadium primer
Kelainan terdapat terlihat pada lidah, palatum molle, tonsil dan
dinding faring seperti bercak keputihan. Apabila infeksi terus
berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
pada genitalia iaitu tiada rasa nyeri. Selain itu terdapat juga
pembesaran kelenjar mandibula yang tiada rasa nyeri jika
ditekan.
2. Stadium sekunder
Jarang ditemukan pasien yang berada di stadium ini. Selalunya
akan terlihat eritema pada dinding faring yang menjalar ke faring
3. Pada stadium tertier, akan terlihat guma yang dimana
predileksinya adalah pada tonsil dan palatum. Guma pada

10
dinding faring jarang ditemukan, namun sekiranya ada, ianya
dapat meluas hingga ke vertebra servikal dan dapat menyebabkan
kematian. Guma yang terdapat di palatum molle pula, sekiranya
sembuh akan membentuk jaringan parut yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen.

Terapi
Pada faringitis spesifik akibat lues, obat pilihan pertama yang
diberikan sebagai terapi adalah penisilin dengan dosis tinggi.

b. Faringitis tuberculosis
Faringitis tuberculosis merupakan suatu proses sekunder dari
tuberculosis di paru. Cara infeksi bisa secara eksogen yang
disebabkan kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Infeksi secara endogen pula dapat
terjadi lewat darah yaitu pada tuberculosis milllier. Sekiranya infeksi
terjadi secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua-dua
sisi dan dapat ditemukan lesi pada dinding faring, arkus faring
anterior, dinding lateral hipofaring, palatum molle, dan palatum
durum. Kelenjar regional akan turut membengkak dan penyebaran
pada saat ini adalah secara limfogen.3-5
Pasien dengan penyakit ini selalunya mempunyai keadaan umum
yang buruk karena anoreksi dan odinofagi. Keluhan yang sering
dinyatakan adalah seperti nyeri hebat di tenggorokan, nyeri telinga
dan pembesaran kelenjar getah bening servikal. 3-5

Gejala klinis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Pada faringitis akut gejala dapat
ringan berupa rasa tidak enak di tenggorok yang berakhir beberapa
hari, malaise ringan dan demam ringan. Pada keadaan berat sakit di
tenggorok lebih hebat. Adanya keluhan sulit menelan ludah, jika
palatum edema akan menyebabkan batuk iritatif karena uvula

11
mengenai pangkal lidah. Terdapat juga keluhan demam dan sakit
kepala. 3-5
Terapi
Faringitis yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, obat
yang harus diberikan adalah obat antituberkulosis (OAT) sama
seperti terapi tuberculosis paru.4,5
Komplikasi
Adapun komplikasi dari faringitis yaitu dapat terbagi dua, yaitu
komplikasi lokal dan general. Pada komplikasi lokal dapat terjadi
penyebaran langsung ke laring di bagian inferior dimana terjadinya
edema glotis sehingga bisa menyebabkan obstruksi pernafasan.
Komplikasi umum dari faringitis (terutama terlihat dalam kasus
faringitis bakteri) termasuk sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, dan pneumonia. Komplikasi supuratif pada faringitis
bakteri hasil dari penyebaran infeksi dari mukosa faring melalui
hematogen, limfatik atau penyebaran langsung (lebih umum infeksi
Group A Streptokokus). Antara yang terjadi adalah abses peritonsilar
dan abses retrofaring. Selain komplikasi supuratif, komplikasi non
supuratif khusus untuk infeksi (GAS) adalah demam rematik akut (3-
5 post-infeksi) dan glomerulonefritis streptokokal dan juga toxic
shock syndrome.
E. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang
cermat dan dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dan evaluasi tenggorokan,
sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang
hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran
kelenjar getah bening di leher.4,5

F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan
diagnosis antara lain yaitu : 4,5
 Pemeriksaan darah lengkap
 GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat
infeksi bakteri streptococcus group A

12
 Kultur tenggorokan
Namun pada umumnya peran diagnostik pada laboratorium dan
radiologi terbatas.

G. Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien
4,5
dengan faringitis akut biasanya sembuh dalam waktu 7-10 hari.
Namun, sebagai klinisi, kita harus mencurigai kemungkinan
komplikasi yang bisa terjadi jika faringitis tidak di obati dengan
sempurna. Kegagalan pengobatan dapat terjadi karena beberapa
factor antaranya adalah pasien sering terpajan dengan kontak
individu yang tidak diobati secara tuntas, pasien dengan
immunocompromised, pasien resisten terhadap antibiotik yang
diberikan.5,6

2.2 Laringitis

a. Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi
baik akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan
berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah
lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.7

b. Laringitis Akut

1) Definisi
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya
disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza
(tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus
influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.7,8

2) Etiologi8

13
1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas
seperti influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A
dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus.
Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae. Sebagai penyebab laringitis ini yaitu
bakteri yang menyebabkan peradangan local, ataupun virus yang
menyebabkan peradangan sistemik.
2. Perubahan musim / cuaca
3. Gizi kurang/malnutrisi
4. Pemakaian suara yang berlebihan
5. Trauma
6. Bahan kimia
7. Merokok dan minum-minum alcohol
3) Patofisiologi
Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi
mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu
mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas.
Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini
terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta
prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh
faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan
mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang
kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga
menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya
batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu
terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan
menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika
berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.9,10

4) Manifestasi Klinis
Pada laringitis akut terdapat gejala sebagai berikut:7,11
1. Gejala radang umum seperti demam, malaise
2. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai
suara yang kasar, suara yang susah keluar, atau suara dengan nada
lebih rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan

14
getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri
dan kanan sehingga menimbulkan suara menjadi parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
3. Sesak nafas dan stridor
4. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk,
peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat
celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri
diseluruh tubuh.
7. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis,
membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga
didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau
paru
8. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem
subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering
terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak
semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan
retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan
keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.
5) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis,
membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga
didapatkan tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.
Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akanditemukan mukosa laring
yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak
pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus
elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.9
6) Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen leher AP : tampak pembengkakan jaringan subglotis
(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika
disertai infeksi sekunder, leukosit meningkat.

7) Diagnosa Banding

15
1. Benda asing pada laring
2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pnemonia

8) Penatalaksanaan11,12
Non medikamentosa
1. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
2. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
3. Istirahat
4. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan
ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi
bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.
Medikamentosa
1. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak
mint bila ada muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan
garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk
semprotan hidung atau nasal spray.
2. Pengobatan simtomatik: Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik
jika demam, dapat diberikan obat anti nyeri/analgetik, hidung
tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti
fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat
diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.
3. Pemberian antibiotika yang adekuat apabila diyakini bakteri sebagai
etiologi penyakit, yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena,
terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena,
terbagi dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau
ceftriakson) lalu dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa
deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3
dosis, diberikan selama 1-2 hari.
Indikasi dirawat rumah sakit apabila :
 Usia penderita dibawah 3 tahun
 Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
 Diagnosis penderita masih belum jelas
 Perawatan dirumah kurang memadai

9) Pencegahan

16
Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat
tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum
banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang
terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk
dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah
tenggorokan kering. Jangan berdehem untuk membersihkan
tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi
abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem
juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak
lendir.8,12
10) Prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan
pemulihannya selama kurang lebih satu minggu. Namun pada anak
khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem
laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan
nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal
atau trakeostomik8,12

c. Laringitis Kronik

a. Definisi
Merupakan radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis
kronis, deviasi septum berat, polip hidung, atau bronkitis kronis.
Mungkin juga disebabkan vocal abuse seperti berteriak-teriak atau biasa
berbicara keras. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis
dan menebal, dan kadang-kadang ada pemeriksaan patologik terdapat
metaplasia skuamosa.7

b. Manifestasi klinis
Gejalanya yaitu suara parau yang menetap, dan rasa tersangkut
ditenggorokan sehingga pasien sering mendeham tanpa mengeluarkan
sekret, karena mukosa yang menebal. Pada pemeriksaan tampak mukosa
menebal, permukaan tidak rata dan hiperemis, dan bila curiga tumor
dilakukan biopsi.Terapi yang terpenting adalah mengobati radang dari

17
hidung, faring serta bronkus dan pasien diminta untuk tidak banyak
berbicara.7

c. Klasifikasi

Laringitis kronik dapat dibedakan menjadi laringitis kronik non spesifik


dan laringitis kronik spesifik (Laringitis tuberkulosa dan laringitis
luetika)

1) Laringitis Tuberkulosa
a. Definisi

Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru.


Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya
sembuh tetapi laringitis tuberkulosis menetap.Hal ini terjadi
karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada cartilago
serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi
sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.7

b. Patogenesis

Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan,


sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran
darah atau limfa.Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan
sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa interaritenoid, kemudian
kearitenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis, serta
terakhir ialah dengan subglotik.8

c. Gambaran Klinis

Secara klinis, Laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium:7

1. Stadium Infiltrasi :

Pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis ialah


mukosa laring bagian posterior.Kadang-kadang pita suara
terkena juga.Pada stadium ini mukosa laring bewarna
pucat.Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel,
sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan.Tuberkel itu makin membesar, serta

18
beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu sehingga mukosa
di atasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang
maka akan pecah dan timbul ulkus.

2. Stadium ulserasi ulkus :

Timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini


dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat
dirasakan nyeri oleh pasien (mouse eaten appereace).

3. Stadium perikondritis:

Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan


paling sering terkena adalah kartilago aritenoid dan
epiglotis.Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan
sehingga terbentuk nanah yang berbau. Proses ini akan
berlanjut dan terbentuk sekuester. Pada keadaan ini keadaan
umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila
pasien dapat bertahan maka proses ini berlanjut dan masuk
dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.

4. Stadium fibrotuberkulosis

Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding


posterior, pita suara dan subglotik. Gejala klinis tergantung
pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai
berikut:Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring, suara
parau yang berlangsung berminggu-minggu dan pada stadium
lanjut dapat timbul afoni, hemoptisis, nyeri waktu menelan
yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas, tanda sistemik
TB paru, dan pada pemeriksaan paru (secara klinis dan
radiologik) terdapat proses aktif (biasanya pada stadium
eksudatif atau pada pembentukan kaverne).7

Interpretasi pemeriksaan:

19
Hasil pemeriksaan laringoskopi pada tuberkulosis laring (A)
Tipe ulseratif, pada rongga laring (B) Tipe granulomatosa,
pada bagian posterior glotis (C) Tipe polipoid, pada pita suara
palsu kanan (D) Tipe nonspesifik, pada pita suara kanan.

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis, pemeriksaan


klinis, laboratorium : LED, BTA. Pemeriksaan lain yang
dilakukan dengan laringoskopi langsung atau tak langsung,
didapatkan aritenoid, plica, vocalis, epiglotis merah, bengkak,
nodul kekuningan pada interaritenoid & epiglotis, kombinasi
ulserasi, edema, granulasi, dan pembentukan tuberkuloma,
pemeriksaan foto rontgen toraks dan Pemeriksaan patologi
anatomi: biopsi7

e. Diagnosis Banding

Laringitis Leutika

karsinoma Laring

aktinomikosis Laring dan lupus Vulgaris Laring.7,9

f. Penatalaksanaan

Obat anti tuberculosis primer dan sekunder, dan istirahatkan


suara.7,12
g. Prognosis

Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien , kebiasaan hidup


sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosis dapat ditegakkan
pada stadium dini maka prognosisnya baik.7,10

2) Laringitis Leutika

a. Etiologi
Treponema pallidum, bakteri yang berasal dari family
spirochaetaceae.11

20
b. Gambaran Klinik
Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu dibicarakan ialah
luas stadium tertier ( ketiga) yaitu pada stadium pembentukan
guma. Bentuk ini kadang – kadang menyerupai keganasan
laring.Apabila guma pecah maka timbul ulkus. Ulkus ni
mempunyai sifat yang khas yaitu sangat dalam bertepi dengan
dasar yg keras. Ulkus ini Tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
dengan cepat.7
c. Stadium pada laringitis leutika:
1. Stadium Primer

Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum


mole, tonsil dan dinding posterior faring seperti juga penyakit
luas diorgan lain. Gambaran kliniknya tergantung pada
penyakit primer, sekunder, atau tersier.

2. Stadium Sekunder

Jarang ditemukan .terdapat eritema pada dinding faring yang


menjalar kearah laring.

3. Stadium Tersier

Pada stadium ini terdapat guma.Predileksinya pada tonsil dan


palatum.Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada
dinding posterior pharing dapat meluas ke vertebra servikal
dan bila pecah dapat menyebabkan kematian., bila sembuh
terbentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi palatum secara permanen.

d. Gejala Klinik

Suara Parau dan batuk kronik.Disfagia timbul bila ada gumma


dekat introitus osepagus. Diagnosis ditegakkan selain
pemeriksaan laringoskopik juga dengan pemeriksaan serologik.7

e. Pemeriksaan Diagnosis sifilis

21
Pemeriksaan Treponema pallidum dan tes Serologik Sifilis
(STS).7
f. Komplikasi

Stenosis laring karena terbentuk jaringan parut. 7

g. Terapi

Penisilin dosis tinggi

Pengangkatan sekuester

Bila terdapat sumbatan laring maka dilakukan trakeostomi.7

2.3 Laringofaringeal Refluks


Definisi
Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian
yang berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.13

Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux


Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal
Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux.
Dan yang paling diterima dari beberapa sinonim tersebut adalah
Extraesophageal Reflux.14

Etiologi
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung
atau isinya seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan
cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia
yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitasmendehem dan batuk
kronis akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi.13

Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini ada
dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR.

22
Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai
laring dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam
lambung dalam esofagus distal merangsang refleks vagal yang mengakibatkan
bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis, yang pada akhirnya
menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.

Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif


dari cedera refluks yaitu, LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik
esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa
esofageal, dan spingter esofageal atas.16-18
a. LES (Lower Esophageal Spinchter)
Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal
junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari
lower esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian
bawah, yang berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting
untuk menahan tekanan intraabdominal, dan mencegah isi lambung
melewati esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphincter dengan
panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat berkontraksi di distal esofagus.
Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses menelan makanan dan
memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai
ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.
b. Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung
Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus.
bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak
peristaltik dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke
gastroesophageal junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik secara
primer dirangsang oleh proses menelan di faring atau secara sekunder
dengan stimulasi langsung pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini
penting untuk membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan
gerakan esofagus akan meningkatkan refluk dengan melewati esofagus
sampai ke laringofaring. Dengan pengukuran manometric, pada pasien LPR
didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.
c. Resistensi jaringan mukosa esofageal

23
Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring
akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala
leher. Pada keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah
inflamasi dan kerusakan dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari
mukosa faring dan laring.
d. Spingter esofageal atas
Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal sphincter
(UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan
antara GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat
berkonstriksi secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada
LES, UES akan berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk
pada proses menelan. Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari
otot cricopharyngeus dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot
cricopharyngeus memegang peranan penting pada tekanan di UES. Fungsi
utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam esofagus
selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu
refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini
sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi
terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.
Gejala Klinik
Pasien LPR biasanya memiliki gejala seperti halitosis, suara serak, batuk,
disfagia, post nasal drip, sakit tenggorokan. Gejala lain yang menyertai
adalah: eksaserbasi asma, sakit leher, odinofagia, otalgia, lendir tenggorok
berlebih.13,19

Diagnosis
Ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan
pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi
pemeriksaan penunjang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis.20,21

a. Riwayat Penyakit:

24
Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama
perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini
perlu ada kecurigaan akan LPR. Gejala lain yang sering dikeluhkan
pasien adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation),
mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti
nyeri tenggorok, penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan
nafas intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis dan disfagia
dapat timbul. Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang
paling nyata dan utama.22
Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain
seperti keeadaan alergi dan kebiasaan merokok. Gerakan paradoksdari
pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga
perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan
perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR.
Refluks sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma.
Pada pasien yang asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada
perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma 78%.22
Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti
rasa seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat
mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta
riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini
membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering
datang dengan keluhan yang tidak pasti. Pola hidup seperti kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan pada pasien
dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditenggarai sebagai salah
satu penyebab penurunan tekanan esofagusbawah, kelemahan tahanan
mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang
sekresi lambung.22
Belfasky menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI)
yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan
derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti
suara serak, mendehem penumpukan dahak di tenggorok atau post
nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau

25
tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa
panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok.22
Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan
rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien
karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik
56%. Skor RSI adalah 0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR.22

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi


komissura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme,
stenosis subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR
pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling
bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura
posterior. 22

Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem


serta eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR. Dapat juga terjadi
hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat
berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada komissura posterior.
Granuloma dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang
tidak diobati.21

Belfasky membuat tabel penilaian gejala LPR melalui pemeriksaan


laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai dari
nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS ≥7
dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini
juga dapat dengan baik memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.21

Udem subglotik (Pseudosulkus vokalis) ditemui pada 90% kasus,


adalah udem subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai
laring posterior.21

Obliterasi ventrikel ditemukan pada 80% kasus. Dinilai menjadi


parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran
pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu

26
memendek. Sedangkan paada keadaan komplit ditemukan pita suara
asli dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang
ventrikel.21

Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gammbaran LPR yang


tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas
sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri
jadi kadang-kadang sulit terlihat. Edema pita suara dinilai tingkatannya.
Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan ringan, nilai 2
jika pembengkakan nyata dan gradasi berat jika ditemukan
pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4
(gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita suara.21

Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring
dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1)
jika komissura posterior terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi
sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk
garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat
penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat
apabila terlihat ada obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang
mungkin ditemukan adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi.21

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Laringoskopi fleksibel : Merupakan pemeriksaan utama untuk


mendiagnosis LPR. Biasanya yang digunakan adalah laringoskop
fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik
dibandingkan laringoskop rigid.22
2. Monitor pH 24 jam di faringoesofageal : Pemeriksaan ini disebut
ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang
merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali
diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan
klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam

27
mendiagnosis refluks karenapemeriksaan ini secara akurat dapat
membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas
dengan dibawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau
GERD.22
Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman
dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini
dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau
berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat
tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat
menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.
Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons
terhadap pengobatan supresi asam.22
3. Pemeriksaan Endoskopi : Dengan menggunakan esofagoskop dapat
membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya
ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut
dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar
“barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.21
4. Pemeriksaan videostroboskopi : Pemeriksaan video laring dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh
pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan
lambat.21
5. Pemeriksaan Histopatologi : Pada biopsi laring ditemukan gambaran
hyperplasia epitel skuamosa dengan inflamasi kronik pada
submukosa. Gambaran ini dapat berkembang menjadi atopi dan
ulserasi epitel serta penumpukan fibrin,jaringan granulasi dan
fibrotik didaerah submukosa.21
6. Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium : Pemeriksaan ini
dapat melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di
esofagus, hiatus hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter
esofagus bawah. kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai
refluks yang intermiten. pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan
jika pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis kearah GERD,
disfungsi esofagusatau diagnosis yang belum pasti.21

28
7. Pemeriksaan laringoskopi langsung : Pemeriksaan ini memerlukan
anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat melihat
secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat
dilakukan tindakan biopsi.21

d. Penatalaksanaan

Meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan


gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi
funduplikasi.21

Modifikasi diet dan gaya hidup


Pasien dengan gejala LPR dianjurka melakukan pola diet yang tepat
agar terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai
pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR.
Pasien akan mengalami pengurangan keluhan dengan perubahan diet
dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien
seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi
makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter
esofagus seperti makanan berlemak, gorengan, kopi, soda, alkohol,
mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat.24

Koufman (2011) menganjurkan pola diet bebas asam atau rendah


asam (A strict low acid or acid free) dalam penelitiannya ada
manfaat yang nyata pada perbaikan RSI dan RFS pada populasi yang
diteliti. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan
pasien berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan
kepala sewaktu berbaring 10-20cm dan mengurangi stress. Koufman
menegaskan modifikasi gaya hidup dan pola diet berperan penting
dalam proses penyembuhan. Jika merokok dianjurkan berhenti karena
akan merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit
terutama celana, korset dan ikat pinggang. Hindari olahraga seperti
angkat berat, berenang, jogging dan yoga setelah makan. Tinggikan
kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak

29
nyaman di tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging
merah, mentega, keju, telur dan bahan mengandung kafein. Hindari
selalu makanan gorengan, makanan tinggi lemak, bawang, tomat,
buahan dan jus yang asam, soda, bir, alkohol, mint dan coklat.22

Medikamentosa
Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan
terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus
refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen cairan
refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI
dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan
tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada
kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif
dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan
pengobatan lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis
adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan.24

Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu pengobatan dapat


sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari
untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya
Omeprazole disebut sebagai derivat PPI yang ampuh ternyata akhir-
akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih maksimal
dalam menekan asam lambung. Tamin menemukan terdapat perbaikan
bermakna nilai gejala/keluhan (RSI) dengan pemberian terapi
Lansoprazole 2x30 mg perhari pada 8 minngu I dan II terapi akan tetapi
pada 8 minggu III tidak terlihat perbaikan pada RSI. Kemudian zat
proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi
mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin.4

Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna


memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan.
McGlashan melakukan uji terapi pada pasien LPR dengan memberikan
suspense cairan alginate disamping proton pump inhibitor, ternyata
terdapat perbaikan yang nyata pada RSI dan RFS pada objek uji.

30
Cairan alginate ini telah digunakan bertahun tahun untuk mengobati
gejala refluks. Cairan ini efektif membuat tahanan mekanik yang
berfungsi sebagai anti refluks pada daerah fundus gaster. Sehingga
akan mengurangi efek cairan refluks jika sampai ke laring.21

Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada
daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat mencegah
refluks seluruh isi gaster kearah esofagus. Keadaan ini dianjurkan
pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis
yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung.
Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi
laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya
tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti
mengenai anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi
konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi
ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.21

Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan
gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka
keberhasilan pada pasien dengan laryngitis posterior berat sekitar 83%
setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79%
kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat. sedangkan prognosis
keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari
selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.22

31
BAB III

KESIMPULAN

1. Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa


tenggorokan. Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang
yang menderita faringitis. Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat
dimulai dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature
tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada
faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang
membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher. Terapi
faringitis yang penyebabnya adalah bakteri diberikan antibiotik dan bila
penyebabnya adalah virus maka cukup diberikan analgetik dan pasien cukup
dianjurkan beristirahat dan mengurangi aktivitasnya.

32
2. Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada laring, terbagi menjadi
laringitis akut (waktu kurang dari 3 minggu) dan laringitis kronis. Laringitis
kronis terbanyak disebabkan oleh iritasi misalnya asap rokok, sehingga pasien
disarankan beristirahat total dengan menghentikan kebiasaan merokok dan
demikian pula pada laringitis kronis akibat penyalahgunaan suara, pasien
disarankan beristirahat. Pada pasien non perokok, kemungkinan besar
laringitis kronis dipicu oleh iritasi ”silent” dari asam lambung, sehingga perlu
diberikan anti-refluks dari penyekat H2 hingga penyekat pompa proton,
disertai modifikasi gaya hidup. Laringitis akut umunya bersifat self limited.
bila terapi dilakukan dengan baik maka prognosisnya sangat baik. Pada
laringitis kronis prognosis bergantung kepada penyebab dari laringitis kronis
tersebut.
3. Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu
adanya gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia,
abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung,
sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi,
merokok, iritasi dari polusi udara, alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet
makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas, merokok, minuman
beralkohol. Refluks laringofaringeal dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis. Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu,
perlu pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan
kondisi serius lainnya.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J,Restuti RD, Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam,
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.
H213-225
2. Ballenjer JJ. Diseases of the oropharynx. In: Otorhinolaryngology head and
neck surgery. 15th Ed. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Sydney,
Tokyo: p.236-44.
3. Pharyngitis. Diunduh dari : http://medscape/pharyngitis.com pada 08
Februari 2014
4. Bailey BJ, Johnson JT, American Academy of Otolaryngology – Head and
Neck Surgery. Lippincott Williams & Wilkins, Fourth Edition, Volume one,
United States of America, 2006. p601-13.

34
5. Adam GL. Diseases of the nasopharynx and oropharynx. In: Boies
fundamentals of otolaryngology. A text book of ear, nose and throat diseases
6th Ed. WB Saunders Co 2009: p,332-69.
6. Jill G. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy of
Physician Assistants: February 2013- Volume 26-Issue 2- p 57-58.

7. Soepardi, Efiaty A, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung


Tenggorok Kepala Leher, edisi ke 6. Jakarta:FKUI, 2010, 238-241.
8. John L. Boone, MD. Etiology of Infectious Diseases of the Upper
Respiratory Tract. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Nexk
Surgery 16th Edition. 2003 BC Decker Inc. Chapter 30. P: 635-7.
9. Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A., 2013. Boies: Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.
10. Kumar S, Disease of the Larinx in Fundamental Of Ear, Nose, & throath
Disease And Head-Neck Surgery, Calcutta,publisher Mohendra Nath
Paul,2016:391-99
11. Becker W, Nauman HH & Pfalt CR, Acute laryngitis in Ear nose and
Throath Desease, New york, Thieme medical publisher:2014:414-15
12. Jhon SD & Maves MD Surgical Anatomyof the Head and Neck. In Byron-
Head and Neck surgery Otolaryngology.ed3.Vol I,USA.Wilkins
Publisher,2001:9
13. Mitrovic SM. Terminology, Diagnostic and Therapy of Laringopharingeal
Reflux: 71(6): 608-10.
14. Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, Inman CF, Phillips A, Stokes
CR. The Mucosal Immune Response to Laryngopharingeal Reflux.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine: Vol 177(1):
1187-93. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
15. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan
(Dysphagia). Semarang. 2008.
16. Lipan MJ. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting
Structures of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New
Anat, 2006 vol 289B: 261-70
17. Ahuja V, MD. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux
disease. American Family Physician. 1999 vol 60.
18. Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and
Motor Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002

35
19. Pham V. Laryngopharyngeal Reflux with an Emphasis on Diagnostic and
Therapeutic Considerations http://www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-
reflux-090825/laryng-reflux-090825.doc
20. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the
Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317
21. Koufman JA et al. Laryngopharyngeal reflux: Position statement of the
committee on Speech, Voice and Swallowing Disorders of the American
Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery. 2002. 127 (1): 32-35.
22. Koufman JA. Low acid diet for recalcitrant Laryngopharyngeal Reflux:
Therapeutics benefits and their implications. Annals of Otology,
Rhinology, Laryngology. 2011. 120 (5): 281-287.
23. Amirlak B. Reflux Laryngitis. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview#showall.
24. Vaezi MF et al. Treatment of chronic posterior laryngitis with
esomeprazole. Laryngoscope 2006. 116: 254-260.

36

Anda mungkin juga menyukai