Anda di halaman 1dari 11

12.

Green Marketing (Pemasaran Hijau)

Evolusi dan Perkembangan Konsep Pemasaran Hijau

Menurut Lampe dan Gazda dalam Efendi (2015:309) pemasaran hijau pada intinya
menggambarkan pemasaran suatu produk yang didasarkan pada kinerja lingkungan. Secara
konseptual, pemasaran hijau didefinisikan sebagai respons pemasaran terhadap pengaruh
lingkungan yang berasal dari perancangan, produksi, pengemasan, pelabelan, penggunaan, dan
pembuangan barang atau jasa. Selanjutnya, Lee dalam Efendi juga menambahkan bahwa
pemasaran hijau tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahap. Tahap pertama, pemasaran
hijau dimulai pada dekade akhir tahun 1980-an ketika konsep pemasaran hijau pertama kali
diperkenalkan dan didiskusikan dalam bidang industri. Pada tahap tersebut, banyak pemasar
yang menerapkan berbagai pemasaran hijau untuk mengantisipasi berkembangnya pemasaran
hijau. Pemasar berharap agar tindakan perusahaan untuk menerapkan pemasaran hijau
memperoleh respons positif dari konsumen, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar atau
penjualan dan meningkatkan nama baik perusahaan. Pada kenyataannya, meskipun masalah
lingkungan diangkat sebagai salah satu isu yang menjadi perhatian utama masyarakat saat itu,
pertumbuhan pasar untuk produk hijau tidak seperti apa yang diharapkan pemasar.

Pertumbuhan dramatis pada maraknya pemasaran hijau baru terjadi pada awal tahun
1990-an ketika pemasaran hijau memasuki tahap kedua, saat pemasar mulai mengalami reaksi
yang tidak menyenangkan. Perlahan-lahan pemasar menyadari bahwa kepedulian konsumen
pada lingkungan dan keinginan akan produk hijau tidak diterjemahkan ke dalam perilaku
pembelian aktual. Hambatan utama yang memunculkan reaksi tidak menyenangkan terhadap
pemasaran hijau adalah ketidakpercayaan konsumen mengenai produk hijau, klaim hijau, dan
niat serta tindakan perusahaan.

Kemudian, Peattie dan Crane dalam Efendi (2015:310) mengidentifikasi lima pendekatan
pemasaran yang menyebabkan perusahaan gagal mengimplementasikan pemasaran hijau pada
periode 1990-an. Kelima praktik tersebut adalah green spinning, green selling, green
harvesting, entrepreneur marketing, dan compliance marketing.

a. Green Spinning, menggambarkan pendekatan reaktif perusahaan dengan menggunakan


hubungan masyarakat (humas) untuk menyangkal atau mendiskreditkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hal yang dilakukan oleh perusahaan.

b. Green Selling, menggambarkan pendekatan oportunistik perusahaan dengan menambahkan


beberapa klaim hijau pada produk yang sudah ada untuk mendorong penjualan.

c. Green Harvesting, menggambarkan antusiasme pada lingkungan perusahaan hanya jika


aktivitas hijau yang dilakukan perusahaan menghasilkan penghematan biaya, terkait
dengan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak efisien, pengurangan kemasan, dan
sebagainya.
d. Entrepreneur Marketing, menggambarkan pengembangan dan pemasaran produk hijau
yang inovatif tanpa benar-benar memahami keinginan aktual konsumen.

e. Compliance Marketing, menggambarkan penggunaan tindakan sederhana perusahaan


dalam menerapkan regulasi lingkugan sebagai peluang untuk mempromosikan sertifikasi
hijau tanpa mengambil inisiatif untuk merespon regulasi.

Pada pertengahan tahun 1990-an, konsep pemasaran hijau dipahami secara lebih luas
sebagai bentuk pemasaran etis. Selama pertengahan era itu, konsumen mulai lebih sadar
lingkungan dan sosial. Konsumen yang kritis mulai muncul sebagai kekuatan baru dari
konsumerisme hijau selama periode waktu tersebut. Mereka menghendaki perusahaan
bertanggung jawab sosial.

Konsumen hijau adalah konsumen yang menghindari produk berbahaya bagi kesehatan
dirinya dan orang lain, produk yang proses produksinya menyebabkan bahaya bagi lingkungan,
produk yang diproduksi dengan menggunakan energi yang tidak proporsional, produk yang
menghasilkan limbah yang tidak dapat terurai, dan produk dengan penggunaan bahan baku
yang berasal dari binatang atau tumbuhan yang hampir punah.

Lebih lanjut menurut Uusitalo dan Oksanen dalam Efendi (2015:311) menjelaskan bahwa
munculnya konsumerisme hijau lambat laun berkembang kearah konsep konsumsi yang lebih
luas, yaitu konsumerisme etis. Konsumerisme etis menggambarkan perilaku pembeli yang
memiliki kepedulian terhadap masalah yang muncul dari perdagangan global yang tidak etis
dan tidak jujur seperti penggunaan anak-anak sebagai tenaga kerja, pelanggaran hak-hak
manusia, pengujian produk baru yang menggunakan binatang, penindasan terhadap serikat
kerja, ketidakseimbangan hubungan perdagangan dengan dunia ketiga, dan polusi lingkungan.
Konsumerisme hidau dan konsumerisme etis merupakan simbolis karena konsumen tidak
hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga nilai mengutamakan cita-cita dan ideologi sosial.
Sejak muncul konsumerisme hijau dan konsumerisme etis di pertengahan tahun 1990-an,
konsumen mulai menuntut pada produksi, pemrosesan dan sumber daya produk.

Selanjutnya, Jamrozy dalam Efendi (2015:312) menyebutkan bahwa pada akhir tahun
1990-an, konsep pemasaran hijau dipahami sebagai pemasaran berkelanjutan. Akademisi mulai
menyambut pemasaran hijau sebagai pemasaran berkelanjutan untuk mengantisipasi kekuatan
konsumerisme yang terus mengalami perkembangan pesat. Pendekatan pemasaran yang
berkelanjutan lebih berfokus pada pemasaran alternatif dan berdasarkan ide bahwa perusahaan
seharusnya mengintegrasikan tujuan ekonomi, tujuan sosial kemasyarakatan, dan tujuan
lingkungan dalam menjalankan bisnis. Dalam menghadapi tantangan ini, pemasaran hijau
memasuki cara menyesuaikan diri, meskipun hanya sedikit perusahaan yang benar-benar
berniat untuk mengembangakan bisnis secara berkelanjutan dan memperbaiki produknya
secara terus menerus.
Sejak awal tahun 2000, pemasaran hijau memasuki tahap ketiga. Banyak produk hijau
mengalami perkembangan pesat dan memperoleh kepercayaan dari konsumen, seringi dengan
penerapan teknologi yang semakin canggih, penguatan pernyataan yang lebih tegas pada klaim
iklan, regulasi dan insentif pemerintah, serta pemeriksaan lebih dekat dari berbagai organisasi
lingkungan dan media. Di samping itu, munculnya kepedulian mengenai kualitas lingkungan
secara global juga mendorong perkembangan pemasaran hijau.

Beberapa peneliti menyatakan bawa pemasaran hijau saat ini lahir kembali kalrena
adanya sensitivitas baru lingkuangan dan terhadap kepedulian sosial. Dengan penekanan pada
pembangunan berkelanjutan sebagai tema yang mendominasi iklan pada abad ke-21, ada dua
tren yang diprediksi muncul pada tahun mendatang terkait dengan perkembangan pemasaran
hijau. Kedua tema tersebut adalah konsep eco-friendly atau pendekatan going green dalam
menjalankan bisnis dan pemasaran hijau internasional. Perusahaan dari negara maju akan
memprakarsai pemasaran hijau internasional untuk tujuan memperluas pasar, meningkatkan
penjualan, dan mengambil manfaat atas citra positif dari merek hijau yang tertanam di pasar
domestik.

Mengapa Perusahaan Harus Go Green?

Pemahaman mengenai motivasi perusahaan dan tekanan untuk menerapkan pemasaran


hijau merupakan dasar dalam implementasi pemasaran hijau di seluruh aktivitas organisasi.
Perusahaan yang menerapkan pendekatan environpreneurial strategic lebih melihat adanya
perubahan orientasi ke konsep hijau, sebagai peluang bagi perusahaan untuk mengembangkan
produk dan teknologi yang inovatif dalam memuaskan kebutuhan konsumen, yang akhirnya
lebih menghasilkan keunggulan kompetitif daripada melihat perubahan sebagai hambatan bagi
perusahaan yang menuntut perlunya modifikasi pada tindakan sebelumnya.

Adanya tekanan eksternal dan internal dapat mendorong perusahaan untuk berinisiatif
menjadi go green, demikian menurut Polonsky dan Rosenberger dalam Efendi (2015:313).
Tekanan ekternal yang mendorong perusahaan menjadi go green, sebagai berikut.

a. Pemuasan permintaan konsumen. Misalnya dengan mengganti bahan dasar kemasan


produk untuk merespon kesadaran konsumen akan banyaknya kemasan yang berbahaya.

b. Reaksi terhadap tindakan go green yang dilakukan oleh pesaing.

c. Permintaan dari saluran atau pemasok untuk memodifikasi input. Perusahaan yang
menerapkan ISO 14000 diisyaratkan untuk mengevaluasi kinerja lingkungan para
pemasoknya. Sebagai konsekuensi, perusahaan menekan pemasoknya untuk memenuhi
standar yang sesuai.

Tekanan internal yang mendorong perusahan untuk menjadi go green, yaitu:


a. Biaya, dengan menjadi go green, perusahaan dapat mencapai efisiensi sumber daya yang
lebih besar dan menghemat uang yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku dan
mengolah limbah, karena bahan baku yang digunakan lebih sedikit dan jumlah limbah atau
polusi yang dihasilkan berkurang.

b. Filosofi, ketika perusahaan melihat tujuan lingkungan pada level yang sama seperti tujuan
perusahaan, isu go green dimasukkan ke dalam strategi perusahaan dan kemudian
diintegrasikan ke dalam aktivitas taktis perusahaan.

Alat-Alat Pemasarna Hijau

Menurut Rahbar dan Wahid dalam Efendi (2015:315), eco-label, eco-brand dan iklan
bertema lingkungan diidentifikasikan sebagai alat pemasaran hijau yang dapat meningkatkan
pengetahuan konsumen mengenai produk ramah lingkungan. Alat-alat pemasaran hijau
tersebut diyakini menjadi sarana yang memudahkan bagi konsumen mempersepsikan produk
hijau, memunculkan kesadaran akan produk hijau, dan mendorong konsumen untuk membeli
produk ramah lingkungan . penerapan alat-alat pemasaran hijau ini berperan penting dalam
membantu konsumen untuk membedakan produk hijau dengan produk konvensional yang
mengubah perilaku pembelian aktual konsumen dari yang semula membeli produk
konvensional, lalu membeli produk ramah lingkunggan untuk mengurangi dampak negative
produk sintetis pada lingkungan.

a. Eco-Label

Eco-Label pada produk ramah lingkungan saat ini masih banyak digunakan oleh pemasar
untuk mempromosikan identitas produk hijau. Menurut Rex dan Bauman dalam Efendi (2015:
315) mendefinisikan eco-label sebagai alat yang digunakan konsumen untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan dalam memilih produk ramah lingkungan dan memungkinkan
konsumen untuk mengetahui cara suatu produk dibuat. Eco-Label berperan sebagai pedoman
bagi konsumen dalam memilih produk ramah lingkungan dan sering kali digunakan oleh
perusahaan untuk mendiferensiasikan produk, memosisikan produk, dan mengkomunikasikan
pesan yang ramah lingkungan (D’Scouza, 2000; D’Souza et al., 2006).

Eco-Label menjadi alat penting untuk mengatasi kesenjangan informasi yang terjadi
antara produsen dengan konsumen, khususnya informasi yang berkaitan dengan karakteristik
produk yang bersifat tidak berwujud, seperti kualitas produk dan nilai yang diberikan produk
pada konsumen, seperti prestise atau kebanggaan memiliki produk. Eco-Label lebih ditujukan
untuk mempromosikan konsumerisme lingkungan, sehingga konsumen dengan mudah
mengidentifikasi dan lebih menyukai produk yang ramah lingkungan daripada produk
konvensional. Eco-Label pertama kali berkembang pada akhir tahun 1977 di negara Jerman
dengan nama eco-label Blue Angel. Hingga saat ini, terdapat sekitar 30 label hijau di seluruh
dunia. Negara-negara di Asia, seperti Cina, Jepangm Korea, India, Thailand, Malaysia, dan
Singapura juga telah meluncurkan eco-label.

Eco-Label dapat berbentuk mandatory label, yaitu label yang wajib ada pada produk dan
voluntary label, yaitu label tambahan yang ada pada produk (Rex dan Baumann dalam Efendi,
2015:316). Contoh mandatory label adalah label daya listrik EU, yang bertujuan untuk
menunjukkan besar daya listrik yang digunakan pada perabotan rumah tangga. Label tersebut
memiliki skala dari A hingga F. A menunjukkan penggunaan daya listrik yang paling kecil dan
F menunjukkan penggunaan daya listrik yang paling besar. Voluntary label dikelompokkan
sesuai dengan standar ISO, yaitu tipe I, tipe II, tipe III. Tipe I menunjukkan identitas dengan
eco-label,tipe II menunjukkan klaim lingkungan yang diinformasikan, misalnya reuse, recycle,
renewable; dan tipe III menunjukkan pernyataan produk yang ramah lingkungan, yaitu jumlah
infomasi mengenai lingkungan yang disajikan dengan cara standar.

Sejauh mana peran eco-label dalam mempengaruhi perilaku pembelian konsumen pada
produk hijau masih belum jelas. Survey yang dilakukan oleh Chase dan Smith (1992),
menunjukkan bahwa 70% responden menyatakan putusan pembelian sering kali dipengaruhi
oleh pesan lingkungan yang terdapat pada iklan dan label produk. Di sisi lain, D’Scouza et al.
(2006), menemukan bahwa kesediaan konsumen untuk membeli produk hijau sebab produk
konvensional memiliki kualitas lebih rendah, bukan karena adanya eco-label. Riset yang
dilakukan oleh Dagnoli (1991), juga menemukan bahwa hanya 15% responden yang
menyatakan bahwa klaim lingkungan sangat ekstrem atau sangat dipercaya. Menurut survei
Parliamentary Office of Science and Technology (2004), yang dikutip Rahbar dan Wahid
(2011), fungsi eco-label sebagai alat pemasaran hijau dinilai kurang efektif pada pasar yang
didominasi oleh konsumen yang kurang memiliki kesadaran pada lingkungan, karena pada
pasar tersebut konsumen kurang mempercayai eco-label. Dalam beberapa kasus,
ketidakpercayaan konsumen diekspresikan dengan mengabaikan informasi eco-label dan
regulasi yang tercantum pada label produk. Oleh karena itu, perusahaan seharusnya membuat
label yang akurat dan memiliki arti jelas, sehingga dapat membantu mempromosikan nilai
positif dari produk hijau.

b. Eco-Brand

Eco-Brand merupakan nama, simbol, atau desain produk yang tidak berbahaya bagi
lingkungan. Dengan menggunakan fitur eco-brand, perusahaan dapat membantu konsumen
untuk membedakan antara produk hijau dengan produk nonhijau. Dari penelitian mengenai
peran eco-brand dalam mempengaruhi perilaku pembelian pada konsumen pada produk hijau
umumnya, ditemukan bahwa eco-brand berpengaruh positif pada niat beli. Wustenhagen dan
Bilharz dalam Efendi (2015:317), menemukan bahwa konsumen di negara Barat seperti
Amerika Serikat dan Jerman merespon positif produk eco-brand seperti The Body Shop.
Selanjutnya Chattarge dalam Efendi (2015:317), juga menemukan bahwa konsumen di negara
Asia lebih berkeinginan untuk membeli produk eco-brand yang menghasilkan dampak
lingkungan besar dibandingkan dengan produk konvensional yang menghasilkan dampak
lingkungan kecil.

Eco-brand dapat digunakan untuk memposisikan produk yang ditawarkan perusahaan


sebagai produk hijau, sehingga memudahkan konsumen membedakan merek produk hijau
dengan merek produk nonhijau dalam kategori produk yang sama. Faktor utama yang
memotivasi konsumen mengubah perilaku pembelian aktual untuk membeli produk ramah
lingkungan adalah manfaat emosional dari merek. Dengan demikian, perilaku pembelian
konsumen untuk berpindah ke pembelian produk ramah lingkungan merupakan hasil
pertimbangan atas manfaat emosional dari merek hijau. Konsumen yang menyatakan dirinya
peduli lingkungan ebih memilih membeli produk hijau untuk memuaskan kebutuhan
emosionalnya.

c. Iklan dengan Tema Lingkungan

Seiring dengan berkembangnya gerakan hijau di seluruh dunia dan meningkatnya


perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan, sebagian besar organisasi memilih
menggunakan iklan dengan tema lingkungan yang disebarluaskan melalui media elektronik
atau media cetak, sebagai strategi untuk memperkenalkan produknya pada konsumen yang
peduli lingkungan. Iklan dengan tema lingkungan disebut juga iklan hijau. Tujuan iklan hijau
adalah memengaruhi perilaku pembelian konsumen dengan cara mendorong konsumen untuk
membeli produk yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan mengalihkan perhatian konsumen
pada konsekuensi positif dari perilaku pembelian diri konsumen itu sendiri dan lingkungannya.

Iklan dengan tema lingkungan yang digunakan oleh perusahaan memiliki tiga elemen
utama, yaitu iklan yang menggambarkan kepedulian perusahaan pada lingkungan, iklan yang
menggambarkan cara perusahaan mengubah prosedur operasionalnya untuk menunjukkan
kepedulian dan dedikasinya dalam memperbaiki lingkungan, dan iklan yang menggambarkan
tindakan perusahaan yang terlibat terhadap lingkungan tertentu, demikian yang disebutkan
Davis dalam Efendi (2015:318).

Chan dalam Efendi (2015:319), menyebutkan bahwa meskipun iklan dengan tema
lingkungan dapat membantu pembentukan nilai-nilai konsumen dan menerjemahkan nilai-nilai
tersebut ke dalam pembelian produk hijau, banyak konsumen menilai bahwa iklan dengan tema
lingkungan kurang dapat dipercaya. Ketidakjelasan pernyataan iklan dalam mengkonfirmasi
klaim lingkungan, negara asal produk yang diiklankan tidak memiliki citra ramah lingkungan,
perusahaan manufaktur atau pengiklan produk yang diiklankan tidak memiliki citra ramah
lingkungan, dan argumentasi ramah lingkungan dari produk yang diiklankan tidak sesuai
dengan pengalaman konsumsi produk yang dialami konsumen sebelumnya diidentifikasi
sebagai alasan utama mengapa konsumen kurang mempercayai klaim lingkungan yang
terdapat pada iklan bertema lingkungan.
Strategi Pemasaran Hijau

Level Penerapan Pemasaran Hijau

Menon dan Menon (1997), yang dikutip Polonsky dan Rosenberger dalam Efendi
(2015:319), menyatakan bahwa aktivitas pemasaran hijau di suatu organisasi dapat
diimplementasikan dalam tiga level, yaitu level strategic (strategic greening), level quasi-
strategic (quasi-strategic greening), dan level taktis (tactical greening).

Pada aktivitas pemasaran hijau level strategik, perubahan mendasar utama terjadi pada
filosofi perusahaan. Misalnya, perusahaan Carlovers dari Australia mendesain proses
pencucian mobil ke dalam sistem air daur ulang yang berputar karena perusahaan menjadikan
isu lingkungan sebagai fokus inti dari aktivitas perusahaan.

Pada aktivitas pemasaran hijau level quasi-strategic, perubahan mendasar utama terjadi
pada praktik bisnis. Misalnya, beberapa hotel yang menanyakan kepada para tamu mengenai
berapa jumlah handuk yang dibutuhkan untuk tujuan menghemat penggunaan air untuk
mencuci handuk.

Pada aktivitas pemasaran hijau level taktis, perubahan mendasar utama terjadi pada
aktivitas fungsional, seperti promosi. Misalnya pada musim kemarau, dinas PDAM
menggunakan kampanye untuk mendorong konsumen bertindak bijaksana dalam
menggunakan air supaya lebih efisien.

Ketiga level aktivitas pemasaran hijau tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi
besarnya perubahan yang disyaratkan perusahaan dan menggambarkan besarnya komitmen
perushaan terhadap tujuan lingkungan. Pada level taktis, perusahaan perlu mempertimbangkan
secara matang program yang tepat untuk melakukan aktivitas pemasaran hijau. Sebagai contoh
adalah perusahaan manufactur jeans yang mempromosikan bahwa perusahaan akan
mendonasikan sebagaian hasil penjualan produk untuk mendukung isu penanaman pohon.
Aktivitas taktis ini mungkin dinilai kurang dapat dipercaya karena tidak ada hubungan logis
antara memproduksi jeans dan menanam pohon. Namun, jika aktivitas ini dilakukan oleh
perusahaan manufaktur kertas, dapat menjadi logis karena ada hubungan antara memproduksi
kertas dan melestarikan lingkungan.

Pada level strategik, perusahaan perlu mempertimbangkan besarnya dana yang


diperlukan untuk investasi. Aktivitas pemasaran hijau di level strategik mensyaratkan investasi
yang besar dan bersifat jangka panjang. Jika aktivitas pemasaran hijau diimplementasikan
secara efektif, strategic greening akan jarang menjadi tidak berbobot. Misalnya, perusahaan
manufactur furnitur asal Jerman, yaitu Wilkhahn, mengadopsi pendekatan strategik terintegrasi
pada aktivitas pemasaran hijau. Beliau mendesain produk ergonomis yang awet dengan
menggunakan bahan baku daur ulang atau meminimalkan penggunaan sumber daya yang
masih baru dan memproduksinya di pabrik untuk didesain ramah lingkungan.
Pilihan Strategik Pemasaran Hijau

Ginsberg dan Bloom dalam Efendi (2015:320), mengemukakan bahwa strategi


pemasaran hijau yang tepat diperlukan oleh perusahaan yang ingin mengadopsi pemasaran
hijau. Perusahaan dapat memilih salah satu dari empat strategi pemasaran hijau, yaitu lean
green strategy, defensive green strategy, shaded green strategy, dan extreme green strategy.
Pemilihan strategy pemasaran hijau yang akan diterapkan perusahaan harus didasarkan pada
pertimbangan dua aspek penting, yaitu seberapa besar segmen pasar hijau industri di mana
perusahaan beroperasi dan kemampuan perusahaan untuk mendiferensiasikan produk atau
merek hijaunya dari para pesaing.

Gambar ....

Matriks Strategi Pemasaran Hijau


Tinggi Defensive Green Strategy Extreme Green Strategy

Ukuran Segmen Pasar Lean Green Strategy Shaded Green Strategy

Rendah

Rendah Kemampuan Tinggi


Diferensiasi
Pada Konsep Hijau

Sumber: Ginsberg dan Bloom dalam Efendi (2015:320)

Lean Green Strategy

Lean Green Strategy cocok diterapkan oleh perusahaan yang memiliki ukuran segmen
pasar hijau rendah dan kemampuan diferensiasi konsep hijau rendah. Perusahaan yang
menerapkan strategi itu berusaha menjadi good corporate citizen, tetapi tidak berfokus pada
memublikasikan atau memasarkan inisiatif hijaunya. Perusahaan lebih berfokus pada
penghematan biaya dan peningkatan efisiensi melalui aktivitas prolingkungan untuk
menciptakan keunggulan kompetitif dalam hal biaya rendah. Perusahaan cenderung mencari
solusi pencegahan jangka panjang dan ingin mematuhi regulasi yang berlaku, tetapi tidak
semata-mata mencari keuntungan financial dari segmen pasar hijau.

Perusahaan menerapkan lean green strategy seringkali mengalami kebimbangan dalam


mempromosikan aktivitas hijaunya untuk menonjolkan atribut produk hijau untuk
mendiferensiasikan diri dari pesaing.

Defensive Green Strategy

Defensive green strategy cocok diterapkan oleh perusahaan yang memiliki ukuran
segmen pasar hijau tinggi dan kemampuan diferensiai konsep hijau rendah. Perusahaan yang
menerapkan defensive green strategy cenderung menggunakan pemasaran hijau sebagai ukuran
pencegahan, yaitu respon terhadap suatu krisis atau respon terhadap tindakan pesaing.
Perusahaan berusaha untuk memperbaiki citra merek dan mengurangi bahaya, mengakui
bahwa segmen pasar hijau itu penting, dan perusahaan tidak dapat dipisahkan dari pihak-pihak
lain yang menguntungkan. Inisiatif lingkungan yang dilakukan perusahaan yang menerapkan
strategy ini benar-benar tulus dan berkelanjutan, tetapi usaha perusahaan untuk
mempromosikan dan memublikasikan inisiatif tersebut masih bersifat sporadic serta sementara,
karena perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk mendiferensiasikan diri dari pesaing
dalam hal “hijau”.

Promosi konsep hijau yang agresif akan merugikan dan memunculkan ekspektasi yang
tidak dapat dipenuhi. Perusahaan akan melakukan tindakan, seperti mensponsori beberapa
acara dan program bertema lingkungan. Perusahaan tentu juga akan menjaga citra
lingkungannya melalui hubungan masyarakat (humas) atau pesaing. Namun, kecuali jika
perusahaan menemukan bahwa perusahaan dapat memperoleh keunggulan kompetitif dalam
hal diferensiasi hijau, perusahaan tidak akan meluncurkan kampanye iklan hijau secara agresif.

Shaded Green Strategy

Shaded green strategy cocok diterapkan oleh perusahaan yang memiliki segmen pasar
hijau yang rendah dan kemampuan diferensiasi konsep hijau tinggi. Perusahaan yang
menerapkan shaded green strategy berinvestasi pada proses ramah lingkungan yang bersifat
jangka panjang dan tersistem, yang mensyaratkan komitmen besar pada aspek finansial dan
nonfinansial. Perusahaan melihat konsep hijau sebagai peluang untuk mengembangkan produk
dan teknologi yang inovatif dan memuaskan kebutuhan yang akhirnya menghasilkan
keunggulan kompetitif. Perusahaan memiliki kemampuan untuk benar-benar
mendiferensiasikan dirinya dalam hal hijau, tetapi tidak memilih untuk melakukannya karena
perusahaan dapat memperoleh uang lebih banyak dengan menekan atribut lain.

Perusahaan yang menerapkan strategi ini fokus untuk mempromosikan manfaat berwujud
yang diberikan kepada pelanggan secara langsung dan menjual produknya melalui saluran
utama. Manfaat lingkungan dipromosikan sebagai faktor pendukung. Tipe promosi adalah
untuk produk yang memiliki kemampuan membantu konsumen menghemat pengeluaran,
misalnya produk mobil hemat bahan bakar atau perabot hemat energi.

Extreme Green Strategy

Extreme green strategy cocok diterapkan oleh perusahaan yang memiliki ukuran segmen
pasar hijau tinggi dan kemampuan diferensiasi konsep hijau tinggi. Filosofi dan nilai-nilai
holistik terbentuk pada perusahaan yang benar-benar menekankan konsep hijau. Isu lingkungan
seluruhnya diintegrasikan dalam proses bisnis dan daur hidup produk dari perusahaan yang
menekankan extreme green strategy. Konsep hijau digunakan sebagai kekuatan kendali utama
operasional perusahaan sehari-hari. Praktik hijau mencakup pendekatan penetapan harga daur
hidup, manajemen kualitas total hijau, dan pemanufakturan yang ramah lingkungan.
Perusahaan yang menerapkan strategi ini sering kali melayani relung pasar dan menjual produk
atau jasa melalui toko butik dan saluran khusus.

Penggunaan Elemen Bauran Pemasaran pada Strategi Pemasaran Hijau

Elemen bauran pemasaran (produk, harga, tempat, dan promosi) yang digunakan strategi
pemasaran hijau masing-masing berbeda. Tabel ….. menyajikan elemen bauran pemasaran
yang digunakan strategi pemasaran hijau masing-masing.

Table …

Elemen Bauran Pemasaran pada Strategi Pemasaran Hijau

Tipe Strategi Produk Harga Tempat Promosi

Lean Green Strategy X

Defensive Green Strategy X X

Shaded Green Strategy X X X

Extreme Green Strategy X X X X

Sumber: Ginsberg dan Bloom dalam Efendi (2015)

Lean green strategy merupakan strategi pemasaran hijau perusahaan yang menekankan
konsep hijaunya pada elemen produk, yaitu pengembangan produk, perancangan produk, dan
pembuatan produk .

Defensive green strategy merupakan strategi pemasaran hijau perusahaan yang


menekankan konsep hijaunya pada elemen promosi, khususnya promosi melalui hubungan
masyarakat (humas) yang lebih bersifat tersirat daripada alat promosi lain, seperti iklan dan
elemen produk yang mencakup pengembangan produk, perancangan produk, dan pembuatan
produk baru.

Shaded green strategy merupakan strategi pemasaran hijau perusahaan yang menekankan
konsep hijaunya pada elemen promosi yang lebih agresif, seperti iklan, elemen produk yang
mencakup pengembangan produk, perancangan produk, dan pembuatan produk, serta elemen
harga melalui pencapaian efisiensi biaya.

Extreme green strategy merupakan strategi pemasaran hijau perusahaan yang


menekankan konsep hijaunya pada seluruh elemen bauran pemasaran yang mencakup produk,
harga, promosi, dan tempat, seperti sistem distribusi dan peritel yang dipilih dan diberikan
insentif sebagai perantara yang “hijau” (Efendi, 2015:326).

Anda mungkin juga menyukai