Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Aedes Aegypti merupakan faktor utama penyakit demam berdarah


dengeu (DBD) dan Chikungunya. Di Indonesia telah dilaporkan
semua daerah perkotaan telah ditemukan adanya nyamuk
tersebut. Faktor penting bagi penyebaran nyamuk tersebut adalah
transportasi dan banyaknya perpindahan penduduk. Spesies Aedes
Aegypti merupakan nyamuk yang mempunyai habitat di
pemukiman dan habitat stadium pradewasanya pada bejana
buatan yang berada di dalam ataupun di luar rumah yang airnya
relatif jernih. Di Jakarta, jentik Aedes Aegypti ditemukan di
tempat penampungan air seperti vas bunga, tempayan, drum yang
terbuat dari plastik ataupun besi, bak mandi bahkan tanah padat
yang terdapat pada pot tanaman yang mengeras, dan tempat
minum burung.

Berbagai cara pengendalian vektor telah dilakukan, yaitu nyamuk


dewasa dengan pengasapan (fogging) dan stadium pradewasa
dengan menggunakan bubuk Abate serta pemberantasan nyamuk
yang dikenal dengan PSN. PSN merupakan cara yang lebih aman,
murah dan sederhana. Oleh sebab itu kebijakan pemerinytah
dalam pengendalian vektor DBD menitik bertakan pada program
PSN ini, walaupun cara tersebut sangat tergantung pada peran
serta masyarakat.

Demam berdarah merupakan salah satu penyakit menular yang


kini telah menyebar luas dengan angka kesakitan berkisar 14% per
100 penduduk dan CFR 4% sehingga berpotensi untuk menimbulkan
kegelisahan dan membuat pamik masyarakat banyak karena
menyerang anak-anak golongan umur <15 tahun

Banyak usaha pemberantasan nyamuk telah dilakukan oleh


pemerintah seperti pengasapan (fogging), penebaran abate
(abatisasi) dan PSN. Meskipun demikian angka indeks jentik dan
jumlah kasus terus meningkat dan tanpa dukungan dari
masyarakat usaha tersebut tidak akan berhasil. Hal ini manarik
untuk diteliti, apakah ada perbedaan kepadatan larva pad
kelompok abatisasi dengan kelompok tanpa abatisasi.

Untuk itu perlu diteliti nilai kepadatan larva nyamuk Aedes pada
masing-masing kelompok penelitian dengan memeriksa kontainer
yang berisi air. setelah data hasil penelitian diolah dan dianalisa,
ternyata diperoleh nilai rata-rata indeks jentik pada kelompok
abatisasi yaitu HI 6,015%, CI 4,015% dan BI 7,75% per 100 rumah
sedangkan kelompok tanpa abatisasi yaitu HI 22%, CI 12,995% dan
BI 26,25% per 100 rumah. Untuk membuktikan apakah ada
perbedaan kepadatan larva nyamuk Aedes pada kelompok
abatisasi dengan kelompok tanpa abatisasi, perlu diuji secara
statistik.

Hasil uji statistik membuktikan bahwa ada perbedaan yang


bermakna antara kepadatan lerba nyamuk kelompok abatisasi
dengan kelompok tanpa abatisasi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk memantau jentik nyamuk


dengan cara abatisasi selektif.

1.3 Ruang Lingkup


Ruang lingkup pelaksanaan pelaksanaan abatisasi selektif (
pemantauan jentik )ini hanya mencakup wilayah RT.16 kelurahan
pematang sulur kecamatan simpang IV sipin.

BAB II

Tinjauan Teori

2.1 Perilaku Aedes Aegypti

Aedes sp. mempunyai habitat pada tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, drum air,

tempayan, ember, kaleng bekas, vas bunga, botol bekas, potongan bambu, aksila daun dan lubang-lubang

yang berisi air jernih.

Menurut hasil pengamatan yang dilakukan di Kelurahan Papanggo, Kodya Jakarta Utara khususnya tempat

penampungan air (TPA) rumah tangga menunjukkan bahwa TPA yang paling banyak ditemukan jentik dan

pupa nyamuk Aedes Aegypti adalah jenis tempayan yang terbuat dari tanah dan drum besar .

Kemungkinan penyebabnya adalah karena TPA seperti tempayan mempunyai resiko pecah bila

dikuras,selain karena volumenya besar sehingga sulit dikuras. Alasan semacam ini juga berlaku di wilayah

lain. Di Singapura pada tahun 1996 telah dilakukan penelitian habitat breeding places Aedes dengan hasil

dteksi sebagai berikut :

 Habitat di rumah tangga sebesar 21,9% yang terdiri dari


ember, drum, tempayan, baskom
 Barang bekas yang berisi air 18,7%
 Tempat air untuk tanaman hias antara lain vas bunga dan
pot tanaman 17%
 Lekukan lantai 8,7%
 Terpal/plastik 8,3%

Di daerah perkotaan habitat nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sangat bervariasi, tetapi 90%

ditemukan pada wadah-wadah buatan manusia. Fay. dkk menyatakan bahwa ovitrap rancangannya dapat

dipergunakan sebagai alat pemantau populasi Aedes aegypti yang bersifat sederhana, murah, cepat dan

mudah, terutama bagi daerah yang padat

Populasi vektornya rendah.


Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Aedes aegyti meletakkan telurnya antara lain jenis dan warna

penampungan air, airnya sendiri, suhu kelembaban dan kondisi lingkungan setempat. Maka berdasarkan

kepada sifat dan perilaku nyamuk Aedes aegypti tersebut diatas, ovitrap memenuhi persyaratan habitat

dan perilaku nyamuk agar dapat dipakai sebagai perangkap telur yang baik sehingga berfungsi secara

optimal. Perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti tidak tergantung pada musim hujan, walaupun jumlah

kasus Demam Berdarah di Indoensia kelihatannya bertambah selama musim penghujan.

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di


lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air
bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis
ini bersifat urban, bertolak belakang dengan Aedes
albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon
rimbun (sylvan areas).

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di


lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air
bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis
ini bersifat urban, bertolak belakang dengan Aedes
albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon
rimbun (sylvan areas).

Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan


telur pada permukaan air bersih secara individual. Telur
berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang
lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva.
Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang
disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan
waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah
menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman. Pupa
bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa
membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika
kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga


1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering
dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat
membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi
larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk
dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang
melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk
dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah.
Sebaliknya, lingkungan yang kaya akan nutrisi menghasilkan
nyamuk-nyamuk.

2.2 Morfololgi

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan


tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi
sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian punggung
(dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian
kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada
tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas
sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua.
Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi,
tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh
nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak
memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang
umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut
tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati
dengan mata telanjang.
2.3 Perilaku dan Siklus Hidup

Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang
hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena
hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya
untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk
memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah,
dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan.
Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna
hitam atau merah. Demam berdarah kerap menyerang anak-anak
karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas selama pagi
hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah
meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan


perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi vektor,
yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat
mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah,
berulang kali menusukkan proboscis nya, namun tidak berhasil
mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke
orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin
besar.

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di


lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air
bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis
ini bersifat urban, bertolak belakang dengan Aedes
albopictus yang cenderung berada di daerah hutan berpohon
rimbun (sylvan areas).

Nyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan


telur pada permukaan air bersih secara individual. Telur
berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang
lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva.
Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang
disebut instar. Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan
waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah
menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman. Pupa
bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar
dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa
membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika
kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga


1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering
dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat
membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi
larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk
dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang
melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk
dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah.
Sebaliknya, lingkungan yang kaya akan nutrisi menghasilkan
nyamuk-nyamuk.

2.4 Pengendalian Vektor

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk
mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah
dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor.

2.4.1 Gerakan 3M

Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M, yaitu


menguras, menutup, dan mengubur.
 Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva
nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur
yang melekat pada dinding bak mandi.
 Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada
nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur.
 Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air
hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

Selain itu, kita hendaknya menutup lubang-lubang pagar (pagar


bambu) dengan tanah atau adukan semen agar tidak menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. Melipat
pakaian yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap dan bersembunyi di tempat tersebut.

Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena


sifatnya yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai
jenis serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan
insektisida juga akhirnya memunculkan masalah resistensi
serangga sehingga mempersulit penanganan di kemudian hari.

2.4.2 Abatisasi

Pencegahan demam berdarah yang paling ampuh adalah dengan


memberantas nyamuk Aedes Aegypty. Hal ini dapat dilakukan
dengan meniadakan genangan-genangan air, terutama air bersih.
Di samping itu, cara lain yang juga tidak kalah ampuh ialah
abatisasi, yaitu menaburkan bubuk Abate pada tempat-tempat
penampungan air.

Dokter Spesialis Patologi Klinik, dr. Willy Anthony Ignatius


Wullur, Sp.PKmengungkap, abatisasi termasuk salah satu cara
yang ampuh untuk memutuskan siklus kehidupan atau mata rantai
dari nyamuk Aedes Aegypty. “Seperti kita ketahui penyakit
demam berdarah itu ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty.
Nyamuk ini biasanya bertelur digenangan air bersih seperti bak
mandi atau tempat penampungan air lainnya. Dengan menaburkan
bubuk Abate ke tempat-tempat tersebut, akan bisa membunuh
jentik-jentik nyamuk “ katanya

Dokter Willy juga mengatakan, abatisasi sangat efektif membasmi


jentik nyamuk Aedes Aegypty. Caranya, Abate 1% yang ditaburkan
ke dalam penampungan air dengan takaran 1 gram untuk 10 liter
air. “Abate ini dijual bebas dan bisa dibeli di apotik atau toko
abat. Biasanya pihak Dinas Kesehatan juga menyediakan bubuk
Abate ini “ tambahnya
Untuk abatisasi kata Dokter yang praktek di Rumah Sakit Budi
Kemuliaan (RSBK) Batam ini, bisa diulang setiap 2 sampai 3 bulan.
Keampuhan Abate ini bisa efektif sampai dua bulan dalam bak
yang tidak dikuras. “Sedangkan Abate ini sendiri adalah suatu
larvasida (pembunuh larva) yang efektif untuk memberantas
jentik segala macam nyamuk. Walaupun beracun untuk jentik
nyamuk, namun Abate tidak berbahaya untuk manusia dan ikan.
Karena itu tidak perlu khawatir menggunakannya walaupun
memilki balita “ paparnya.

Tapi yang harus diketahui, abatisasi hanya perlu dilakukan pada


tempat-tempat air tergenang, seperti bak mandi, jambangan
bunga, dan selokan kecil yang airnya tergenang. Jadi Abate hanya
efektif digunakan untuk wadah-wadah air yang lebih kecil
volumenya, seperti bak mandi dan tempat penampungan
air lainnya.Abate tidak bermanfaat ditaburkan pada air mengalir.
Selain itu Abate tidak cocok digunakan untuk sumur.

Juga perlu diketahui, pengertian bahwa Abate dapat membunuh


virus penyakit demam berdarah adalah salah. Karena Abate hanya
membunuh jentik nyamuk, bukan virus penyebab penyakit demam
berdarah. “Tindakan abatisasi ini sendiri, sebenarnya juga bukan
ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa tetapi membunuh
jentik-jentiknya. Tindakan ini dilakukan untuk memutuskan mata
rantai perkembangbiakan nyamuk tersebut “ jelasnya

Agar usaha dapat mencapai hasil maksimal abatisasi sebaiknya


dilakukan secara serempak oleh warga dari suatu wilayah atau
daerah.

2.5 Istilah Dalam Pengamatan Vektor

Index-index larva

Penentuan Index Larva dapat dilakukan dengan cara :

1. Hause Index :% rumah dimana ditemukan sarang-


sarang Aedes Aegyti di suatu Hourse index inilah yang di maksud
sebagai Aedes

Aegypti index di dalam International Health Regulation.

2. Container Index :% Container yang menjadi sarang


Aedes Aegypti di suatu

Daerah.

3. Bretiau
Index :Jumlah container yang menjadi sarang Aedes Aegypti
per 100 rumah di suatu daerah

Menurut departemen kesehatan (Tahun 2003) persentase bebas


jentik dari 100 rumah harus lah 95 %.

BAB III

Langkah Kerja
3.1 Alat dan Bahan

 Senter
 Bubuk ABATE
 Blanko Abatisasi
 Alat tulis

3.2 Langkah Kerja

1. Periksa setiap container yang ada di setiap rumah yang ada


di dalam lingkungan RT yang tela dientukan oleh puskesmas
2. Amati setiap container yang ditemukan ( bila perlu
menggunakan senter ), apakah di dalam container tersebut
terdapat jentik nyamuk
3. Catat setiap container yang ada di setiap rumah pada
blanko, serta catat container yang di dalamnya di temukan
jenik nyamuk
4. Bila terdapat jentik nyamuk , berikan bubuk ABATE kepada
pemilik rumah unutk di letakkan pada wadah penampungan
air

BAB IV

Hasil Kegiatan

4.1 Waktu Pelaksanaan

Hari : Senin

Tanggal : 21 Desember 2010

Pukul : 10.00 WIB sampai dengan selesai

4.2 Lokasi Kegiatan

Kegiaan praktikum clinical Instrucure ini di laksanakan di wilayah


kerja puskesmas simpang IV sipin tepatnya di RT. 16 kelurahan
pematang sulur kecamatan simpang IV sipin Jambi
4.3 Hasil Kegiatan

Hasil kegiatan pemantauan jentik nyamuk di rumah warga


terdapat diblanko sebagai berikut

4.1 Permasalahan

Dari praktek Pelaksanaan Abatisasi Selektif ( Pemantauan Jentik )


yang dilaksanakan di RT.16 kelurahan pematang sulur kecamatan
simpang IV sipin Jambi, ditemukan masalah antara lain :

1. Dari praktek Clinical Instructure (CI) yang telah dilaksanakan


di RT.16kelurahan pematang sulur kecamatan simpang IV
sipin Jambi dari 250 KK, yang bersedia di pantau jentik
nyamuknya sebanyak 47 KK. Sehingga data yang diambil
kurang mewakili keadaan jentik nyamuk yang sebenarnya di
wilayah RT tersebut. Hal ini di karenakan sebagian penduduk
tidak bersedia di pantau jentiknya dengan alasan tempat
mereka sudah bersih. Penyebab lainnya karena penghuni
rumah sedang tidak berada di rumah.
2. Dari hasil pemantauan jentik nyamuk yang telah
dilaksanakan di dapatkan data sebesar 27,66% dari jumlah
data rumah yang berhasil kami datangi terdapat jentik
nyamuk. Dari data ini menunjukan populasi nyamuk tinggi,
karena menurut departemen kesehatan angka persentase
bebas jentik dari 100 rumah harus lah 95 %. Sedangkan dari
data yang berhasil di ambil persentase bebas jentik sebesar
72,34 %. Sehingga potensi di daerah tersebut untuk
terjangkit demam berdarah cukup tinggi.

4.2 Pemecahan Masalah

Dari masalah-masalah yang ditemukan solusi yang dapat dilakukan


adalah :

1. Masyarakat hendaknya sadar bahwa pemantauan jentik


secara berkala sangat penting. Karena hal ini bertujuan
untuk memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk
Aedes Aegypti. Sehingga potensi kasus demam berdarah
dapat diminimalisir.
2. Masyarakat hendaknya meningkatkan PSN disetiap rumah
dan melaksanakan gerakan 3 M (menguras, menutup, dan
mengubur ) sehingga container yang ada di rumah warga
tidak menjadi sarang jentik nyamuk. Hal lain yang dapat
dilakukan untuk memutuskan mata rantai perkembang
biakan nyamuk aedes aegyph adalah dengan pemberian
bubuk abate

BAB V

Penutup

5.1 Kesimpulan

Pemantauan jentik dilakukan untuk mengetahui populasi


perkembangan nyamuk Aedes Aegypti. Sehingga dapat dilakukan
upaya untuk memutus mata rantai perkembangan nyamuk Aedes
Aegypti dengan ABATISASI.

Dari hasil pemantauan jentik yang telah dilaksanakan


di RT.16 kelurahan pematang sulur kecamatan simpang IV sipin
Jambi , didapatkan hasil bahwa 27,66 % dari data yang berhasil
didapatkan terdapat jentik nyamuk. Hal ini menunjukan bahwa
populasi jentik nyamuk tinggi.Persentase hasil tersebut masih
menunjukan kerentanan terhadap merebaknya kasus demam
berdarah di RT. 16.

5.2 Saran

A. Untuk Masyarakat

 Ketua RT beserta perangkatnyya bersama masyarakat


membudayakan gotong-royong setiap minggunya, untuk
membersikan got-got serta tempat-tempat yang
memungkinkan jentik nyamuk dan nyamuk bersarang.
Sehingga lingkungan dapat bersih
 Budaya 3M mulai dibudidayakan oleh masyarakat, sehingga
populasi nyamuk dapat diminimalisir dan kasus demam
berdarah dapat dicegah
 Bila perlu gunakan bubuk ABATE secara berkala

B. Untuk Tenaga Kesehatan

Pemantauan jentik secara berkala serta pelaksanaan ABATISASI


selektif terus dilakukan dengan begitu jumlah populasi nyamuk
Aedes Aegypti dapat diminimalisir. Sehingga kasus demam
berdarah dapat di cegah.

Daftar Pustaka

Irawati-indiani retno,dyah” PELAKSANAAN ABATISASI KAITANNYA


DENGAN KEPADATAN LARVA NYAMUK AEDES (VEKTOR
DBD)” http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx
=214( diakses tanggal 31 Desember 2010)

Ensiklopedia bebas “ Aedes


Aegypti “http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti ( diakses
tanggal 31 desember 2010 )

Fahmi,febri“ pemeriksaan jentik


“http://www.docstoc.com/docs/20753000/Pemeriksaan-Jentik-
Berkala ( diakses tanggal 31 desember 2010 )

Sudjain,Chasan.1985. Pemberantasan Serangga & Binatang


Pengganggu. Jakarta.Departemen Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai