Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN PENGANTAR PENDIDIKAN

ANALISIS KRITIS ARTIKEL

DOSEN MATA KULIAH:

Dr.jamaluddin,m.pd.

DISUSUN OLEH:

Nur ulla azizati rohima

NIM:E1D018083

KELAS C REGULER PAGI

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


JUDUL ARTIKEL:

“KONTROVERSI UJIAN NASIONAL SEPANJANG MASA”

PENULIS ARTIKEL:

SUKE SILVERIUS

ISI ARTIKEL:
Keberadaan dan penerapan UN menuai keritik dan kontroversi apabila dikaitkan dengan UU
sisdiknas no 20,tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional [sisdiknas].Rangkaian butir-butir
kritik itu terjalin dalam tujuh untaian pelanggran UN yakni hanya mengukur aspek kognitif
sehingga tidak dapat d jadikan stadar untuk dijadikan mutu pendidikan,mengabaikan
diversifikasi potensi daerah dan peserta didik,merampas hak guru untuk melakukan evaluasi
hasil belajar peserta didiknya ,mendasarkan evalusi pada peserta didik semata,penentun
kelulusan bukan oleh guru,pemerintah dan pemrintah daerah merampas hak pemberian ijazah
kepada peserta didik setelah lulus ujian.UN hanya mengevaluasi hasil akhir proses pembelajaran
secara momental dan tidak konfrehensif serta mengabaikan orientasi tujuan pendidikan
sehingga tidak mengindikasikan mutu pendidikan.paparan kontroversi ini dimaksudkan untuk
dimanfaatkan para pendidik dan pemerhati pendidikan guna menemukan solusi dalam rangka
pembenahan kebijakan peniliaan pendidkan demi peninggkatan pendidikan yang berakses pada
pembangunan nasional bangsa menuju bertambahnya kesejahteraan rakyat. Dengan penilaian
yang sangat terbatas,UN tidak akan memperlihatkan mutu pendidikan.apalagi jika kelulusan
peserta didik hanya didasarkan atas hasil UN yang mpmental dan tidak komprehensif,maka UN
menjadi sangat kejam kerena ratusan ribu peserta didik akan mejadi korban kebijakan yang
salah.sementara di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa keberatan karena menganggap
bahwa UN sebagai sesuatu yang sangat bersebrangandengan semangat reformasi
pembelajaran yang sedang dikembangkan.paradigma model pembelajaran lebih berorientasi
pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotor,melalui strategi dan pendekatan
pembelajaraan yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual,dengan berangkat dari teori
belajar kontruktivisme.
Pertanyaan:
1.konsekuensi apasajakah yang terjadi jika ujian nasional tidak diadakan?

2.perlukah UN online untuk siswa?

3 Jika dilihat dari segi teknologi,adilkah UN bagi siswa?

Jawaban:
1.terdapat konsekuensi yang muncul apabila ujian nasional tidak dilakukan diantaranya: a]
dorongan dan pengharggaan atas usaha seseorang untuk belajar akan menjadi lebih sulit. B]
kesuksesan program pendidikan kurang dapat dinyatakan sebagai tujuan dan penyapaian
kurang dan dibuktikan. C] hambatan kelas social kurang dapat ditembus. D] kesempatan
menempuh pendidikan tidak berdasarkan bakat dan prestasi umum lebih berdasarkan
keturunan dan prngaruh yang dimiliki. E] keputusan penting terkait dengan masalah kurikulum
dan metode tidak diambil berdasarkan bukti-bukti kuat melaikanlebih berdasarkan pada
perkiraan dan cenderung plinplan

2.pemanfaatan komputer sebagai alat test memberikan banyak keuntungan,terutama dalam


kemudahan administrasi,efektivitas penilaian,dan yang pasti terkait dengan efektifitas
biaya.selain dapat memberi motivasi kepada siswa,un online juga dilihat dapat mencegah
kebocoran dan menghindari beragam kecurangan dala m pelaksaanya.sehingga melalui un
online dapat diperoleh hasil ujian yang dapat dipercaya.

3. UN sebagai keputusan pemerintah bersifat mengikat dan berlaku bagi semua stakeholder
yang terkait.dari sudut pandang teknologi pendidikan,evaluasi merupakan bagian yang
terpisahkan mulai dari ranah [domain] lainya mulai dari pengembangan [development]
penggunaan dan pengelolaan .evaluasi harus mencerminkan bahwa tujuan belajar telah
tercapai.pemerintah telah menetapkan tujuan belajar dari setiap mata pelajaran ,namun
sekolah sebenarnya juga dapat menyesuaikan tujuan belajara dengan konteks belejar setempat
sesuai dengan model kurikulumnya.
Simpulan:
kritik dan kontroversi terhadap UN memerlukan solusinya. kajian literature telah menampilkan
untaian butir-butir kritik termaksud.UN hanya mengukur aspek kognitif tanpa menyertakan
aspek afektif dan aspek psikomotorik.hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan.dengan
demikian, hasil un tidak dapat dipakai sebai penentu kelulusan kompetensi siswa.hal ini
diperkuat secara hukum melalui ketentuan dalam UU sisdiknas.guru berhak melakukan evaluasi
hasil belajar peserta didiknya.dengan penetapan dan penerapan pola desentralistik, baik pada
tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah maka un pun akan diarahkan agar hak guru
melakukan evaluasi belajar peserta didiknya akan terakomodir.diperlukan keterpaduan
komponen sumber daya manusia dalam lingkup sekolah agar dapat diperoleh hasil optimal dari
karya pendidik di tingkat sekolah.segala paya dan cara diikhtiarkan untuk dilaksanakan kepada
para peserta didik untuk dilaksankan kepada para pesertadidik untuk mendapatkan
keberhasilan ujian nasional.disinyalir bahwa UN dimanfaatkan untuk kepentingan di luar
pendidikan,seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau
kepentingan ekonomi.bagi segelintir orang.jikahal itu benar dan terbukti maka sudah
sepantasnya menolak UN dan menciptakan kebijakan ujian sekolah yang berpotensi seperti
yang selama ini diterapkan oleh UN.berbagai pelanggaran UN terhadap ketentuan UN sisdiknas
memunculkan berbagai tanggapan yang diragukan dan diklasifikasi dalam tiga sikap yakni
pertama,setuju un dipertahankan kedua un ditelaah ulang dan disempurnakan dan ketiga un
dihapus,

REFLEKSI DIRI :

 Setelah membaca artikel diatas,saya mengetehui apa saja kontroversi ujian nasional
yang pernah terjadi dari tahun ketahun
 Dengan adanya UN,kelulusan siswa tidak lagi ditentukan oleh guru disekolah melainkan
ditentukan dengan standar nilai UN yang telah ditetapkan oleh pemerintah
PUSTAKA ACUAN
Hadiyanto dan subijanto.2002.pengembalikan kebebasan guru untuk mengkreasikan iklim kleas
dalam manajemen berbasis sekolah [mbs].jurnal pendidikan dan budaya no.039-november
2002.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/06/18/68368/persiapan.lebih.matan
g.hasil.kelulusan.UN.meningkat.pendidikan 18 juni 2009.persiapan lebih matang hasil kelulusan
un meningkat]diakses pada tanggal 9 juli 2009

http://www.kapanlagi.com/h//0000122859.print.html.aturan tak jelas,ujian nasional ulang


timbulkan kontroversi] di akses pada tanggal 24 juli 2009

kompas 2009.sosok.prof.dr.winarno surakhmad MSc Ed.selasa 23 juli 2009.

Sihombing,umberto dan suke silverius.evaluasi belajar tahap akhir nasional [EBTANAS]


menjamin mutu pendidikan.oktober 2001

Silverius, suke. 1999.desentralisasi pendidikan di tingkat kelas. Jurnal pendidikan dan


kebudayaan tahun ke-5 no.017,juni 1999

Undang- undang republik Indonesia no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

Undang -undang nomor 22 taun 1999 tentang otonomi daerah.

Refrensi jawaban pertanyaan:


1.undang-undang system pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003,.jakarta.lembaran
Negara.kementrian pendidikan dan kebudayaan.2003

Hadi s.2014.ujian nasional dalam tinjauan kritis filsafat pendidikan pragtisme .jurnal ilmiah
pendidikan guru madrasah ibtidaiyah.IV[01],283-294
http://www.kemdiknas.go.id/kemedikbud/tentang-kemendikbud,oktober 2014,permendikbud
no 81 A tahun 2013,implementasi kurikulum,kemendikbud.jakarta.

http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-dugabenchmarking.html
16 des 2014.1.41.

https://www.facebook.com/kemendikbud.RI?fref=nf,januari 2015.

2.http://www.academia.edu/11261250/mulyono_h._2015_4-
maret_._perlukah_ujian_nasional_online_harian_waspada._opini

3.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=299067&val=5943&title=ujian
%2nasional
LAMPIRAN REFERENSI :

1.Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa Suke Silverius sukesilver@yahoo.com

Abstrak: Keberadaan dan penerapan UN menuai kritik dan kontroversi apabila dikaitkan dengan
UU Sisdiknas Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Rangkaian
butir-butir kritik itu terjalin dalam tujuh untaian pelanggaran UN yakni hanya mengukur aspek
kognitif sehingga tidak dapat dijadikan standar untuk mengukur mutu pendidikan, mengabaikan
diversifikasi potensi daerah dan peserta didik, merampas hak guru untuk melakukan evaluasi
hasil belajar peserta didiknya, mendasarkan evaluasi pada peserta didik semata, penentuan
kelulusan bukan oleh guru, pemerintah dan pemerintah daerah merampas hak pemberian
ijazah kepada peserta didik setelah lulus ujian. UN hanya mengevaluasi hasil akhir proses
pembelajaran secara momental dan tidak komprehensif serta mengabaikan orientasi tujuan
pendidikan sehingga tidak mengindikasikan mutu pendidikan. Paparan kontroversi ini
dimaksudkan untuk dimanfaatkan para pendidik dan pemerhati pendidikan guna menemukan
solusi dalam rangka pembenahan kebijakan penilaian pendidikan demi peningkatan pendidikan
yang berakses pada pembangunan nasional bangsa menuju bertambahnya kesejahteraan
rakyat. Kata Kunci: kontroversi, ujian nasional, pembenahan, kebijakan Abstract: The existence
and application of National Examination initiate critics and controversies correlated with the
National Education System Act Number 20, Year 2003 about the National Education System. The
set of Critics is composed of seven disagreements linked with the national examination matter
which are appraising the cognitive aspects only with the result that it cannot be used as a
standard made to measure up education quality, disregarding the diversification of regional
potency and of students competence, taking away the teachers’ right to do the evaluation of
students achievement, establishing the evaluation based merely on the students, determining
the passing grade of the examination in the absence of teachers, national and regional
government take away the right of teachers in giving the diploma to the graduate students.
National examination evaluates the only process of momentary and incomprehensive learning
activity and at the same time neglecting educational goal orientation that brings to an end
without indicating the education quality. Explication of these controversies is aimed at providing
teachers and education observers the prospect of the solutions in terms of educational
evaluation policy improvement for the sake of the education enhancement that have access to
national development for the augmentation of people’s prosperity. Key Words: controversy,
national examination, improvement, policy.

Pendahuluan Keberadaan dan penerapan alat evaluasi hasil belajar akhir jenjang pendidikan
yang belakangan ini disebut ujian nasional (UN), menuai kritik dan kontroversi yang senantiasa
berlarut. Kontroversi seputar UN semakin mencuat dengan terbitnya UU Sisdiknas Nomor 20,
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam penyelenggaraan UN
terdapat tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan
yuridis atas dasar undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kajian

ilmiah untuk menilai dan mencarikan solusi atas kritik dan kontroversi tersebut. Rangkaian butir-
butir kritik itu terjalin dalam tujuh untaian. Pertama, UN hanya mengukur satu aspek
kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU
Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif),
pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dengan demikian, kebijakan UN yang
hanya mengukur aspek kognitif tidak dapat dijadikan standar untuk mengukur mutu pendidik

195

Suke Silverius, Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa an. Kedua, penilaian yang dilakukan
dalam UN tidak memperhatikan keragaman potensi daerah dan peserta didik. Menurut Pasal 36
ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan prinsip diversifikasi (kemajemukan)
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, namun kebijakan tersebut
diabaikan UN dengan melakukan penilaian pendidikan tanpa memperhatikan keberagaman
potensi daerah dan peserta didik. Ketiga, hak guru untuk melakukan evaluasi hasil belajar
peserta didiknya diambil alih oleh pemerintah dengan diberlakukannya UN. Hal ini melanggar
Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pro-ses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran…” Keempat, dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan
evaluasi terhadap peserta didik sedangkan menurut Pasal 57 ayat 2 UU Sisdiknas, mutu
pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik,
lembaga, dan program pendidikan. Kelima, Pasal 58 ayat 1 UU Sisdiknas, “Evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Menurut pasal 58 ayat UU Sisdiknas, evaluasi
hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan
pendidikan/sekolah. Kewenangan pendidik/guru dan sekolah termaksud telah dirampas melalui
pelaksanaan UN. Keenam, ditegaskan lebih lanjut bahwa kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah melakukan evaluasi menurut Pasal 59 ayat 1 UU Sisdiknas dapat dilakukan
terhadap pengelola satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan, dan bukan evaluasi terhadap
hasil belajar peserta didik. Ketujuh, Pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan, “ Ijazah diberikan
kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu
jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi”. Kewenangan pendidik/guru dan sekolah termaksud telah dirampas melalui
pelaksanaan UN. Kajian hukum tersebut di atas ditunjang pula oleh kajian sosial-pedagogik
dengan menge

depankan prinsip Evaluasi Pendidikan menurut UU Sisdiknas yang mengutamakan penilaian


secara komprehensif, sedangkan prinsip evaluasi UN hanya mengutamakan hasil akhir
pembelajaran daripada proses pembelajaran sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
disorientasi tujuan pendidikan. Disinyalir bahwa UN ternyata hanya menguntungkan
sekelompok kecil peserta didik yang mampu secara finansial memperoleh akses untuk lulus.
Dengan penilaiannya yang sangat terbatas, UN tidak akan memperlihatkan mutu pendidikan.
Apalagi jika kelulusan peserta didik hanya didasarkan atas hasil UN yang momental dan tidak
komprehensif, maka UN menjadi sangat kejam karena ratusan ribu peserta didik akan menjadi
korban kebijakan yang salah. UN menimbulkan berbagai permasalahan karena pelanggaran
terhadap ketentuan UU Sisdiknas. Kontroversi UN memperlihatkan tiadanya taat asas
pemerintah yang berseberangan dengan kepatuhan masyarakat umumnya dan sekolah
khususnya terhadap penyelenggaraan UN. Mengapa dibiarkan pelaksanaan UN yang
mengabaikan pengukuran mutu pendidikan tetapi hanya mengukur aspek kognitif semata
padahal seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif),
dan keterampilan (psikomotorik)? Mengapa UN diperkenankan melakukan penilaian pendidikan
tanpa memperhatikan keberagaman potensi daerah dan peserta didik? Apa alasan pemerintah
merampas hak guru untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didiknya, menentukan
kelulusan, memberi ijazah, dan memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan? Di manakah letak keadilan apabila proses belajar yang
komprehensif berkelanjutan dievaluasi melalui UN yang yang momental dan tidak komprehensif
dengan mengorbankan ratusan ribu peserta didik terhadap kebijakan yang salah tersebut? Oleh
sebab itu, tujuan tulisan ini ialah memaparkan kontroversi termaksud berikut untaian
permasalahannya agar dapat dimanfaatkan para pendidik dan pemerhati pendidikan guna
menemukan solusi demi menegakkan hukum dan perbaikan pendidikan di tanah air.

196

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 2, Maret 2010

Kajian Literatur UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur
sekolah/ madrasah yang diselenggarakan secara nasional. Kehadiran UN telah menjadi
perdebatan dan kontroversi berkesinambungan di tengah masyarakat. Di satu pihak ada yang
setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Fokus pembelajaran ditujukan
pada keberhasilan peserta didik mengikuti UN. Paradigma model pembelajaran digeser ke arah
pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif. Para guru lebih
gandrung pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk
pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Guna mempersiapkan UN, sekolah dan guru dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-
baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaikbaiknya.
Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar bisa lulus dengan
hasil yang sebaik-baiknya. Bimbingan belajar secara individual atau pun klasikal (kelompok)
diikuti guna mendapat hasil UN yang memuaskan. Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit
yang merasa berkeberatan karena menganggap bahwa UN sebagai sesuatu yang sangat
berseberangan dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan.
Paradigma model pembelajaran lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan
psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan
kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme. Kontroversi seputar UN
berakar dari berbagai pelanggaran terhadap UU Sisdiknas Nomor 20, Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berupa tindakan-tindakan yang bertentangan secara
akademik dan yuridis atas dasar undang-undang tersebut. Beberapa pelanggaran disajikan
berupa untaian butir-butir kritik sebagai materi bahasan yang akan dijadikan dasar untuk
mencarikan solusinya. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa UN hanya

mengukur aspek kognitif yang hasilnya dipakai sebagai penentu kelulusan kompetensi siswa. Hal
ini bertentangan dengan penetapan kompetensi lulusan menurut UU Sisdiknas. Padahal
menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup
tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
Dengan demikian, kebijakan UN tidak dapat dijadikan standar untuk mengukur mutu
pendidikan. Penyajian materi pembelajaran yang akan dievaluasi melalui UN pun tidak didukung
oleh metode dan model pengajaran yang tepat. Metode pembelajaran itu lebih merupakan
model pengajaran yang monologis dengan metode ceramah. Diperlukan kecermatan yang
sangat tinggi dalam menciptakan cara atau metode pembelajaran dengan model pembelajaran
yang sesuai dan yang tidak kalah pentingnya ialah pemantauan berkesinambungan terhadap
kegiatan belajar mengajar melalui penilaian berbasis kelas. Alokasi waktu dalam kaitan dengan
organisasi materi dan organisasi pengalaman belajar perlu mendapat pertimbangan yang sangat
cermat agar tidak terjerumus dalam “dosa” kurikulum masa lalu yang mengekang
pengembangan diri pribadi siswa secara menyeluruh. Pendekatan ini menghantar ke
pemberlakuan desentralisasi di tingkat kelas sebagaimana digagaskan oleh Silverius (1999).
Dalam semua kurikulum pendidikan, guru adalah the man behind the gun (manusia di balik
senjata). Diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata itu dan membidiknya sedemikian
rupa sehingga mampu dengan cermat dan tepat mengena sasarannya secara efektif dan efisien.
Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh guru. Materi kurikulum, terutama untuk
mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara
guru mengajar di depan kelas dan justru inilah yang lebih menentukan kualitas pendidikan.
Dalam kurikulum dan pembelajaran di kelas dibutuhkan pola pengajaran yang lebih interaktif
dengan peran yang lebih besar pada siswa. Guru berperan sebagai fasilitator, dan bukan sebagai
penceramah atau pengajar. Sebagai fasilitator, guru harus kreatif mengelola proses mengajar di
kelas dengan menciptakan kondisi kelas yang hidup dan menarik, menciptakan suasana belajar
yang rileks, bervariasi, dan menggelitik rasa ingin tahu, mengoptimalkan daya pikir anak didik
melalui dengar, lihat, dan rasakan, serta mengembangkan nalar kritis dan mampu secara kreatif
menemukan problem solving. Selain keragaman dalam hal kecerdasan, siswa pun memiliki
keragaman yang lain, seperti latar belakang, pengalaman belajar, cara belajar, dan lain-lain.
Dengan demikian, metode yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar pun harus
bervariasi, benar-benar multicara, multiarah, dan tidak uniform. Memberi kesempatan kepada
siwa untuk berpikir dan belajar sesuai kemampuannya adalah pilihan paling hakiki dalam proses
belajar. Posisi guru yang paling luhur dalam era paradigma baru ini adalah sebagai fasilitator.
Siswa dapat diberdayakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dari lingkungan di mana ia
hidup dan berada dengan memberikannya kemampuan menguasai teknik membelajarkan diri
secara independen. Ketentuan penyesuaian kegiatan belajar mengajar dengan kompetensi
masing-masing siswa merupakan konsep dasar yang melandasi pola pembelajaran yang patut
diciptakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan di tingkat kelas sebagaimana
digagaskan oleh Silverius (1999). Faktor lain ialah mengenai jawaban terhadap soal, khususnya
pilihan ganda. Keberhasilan siswa menjawab pertanyaan bisa karena memang mengetahui
jawabannya, tetapi bisa juga faktor kebetulan. Soal yang diujikan berbentuk multiple choice
atau pilihan ganda sehingga dalam menjawab soal, peserta ujian tinggal memilih dari jawaban
yang sudah ada. Dapat terjadi bahwa penulis soal tidak cermat sehingga soal yang ditulisnya
bisa diketahui jawabannya, bahkan oleh siswa yang tidak belajar sekali pun. Spekulasi semacam
itu tidak bisa terjadi pada soal berbentuk isian atau uraian. Hanya siswa yang sudah
mempelajari dan memahami materi dapat mengerjakan soal sedangkan yang sebaliknya tidak
akan mampu menjawab soal. Dengan kata lain, model soal dapat menggambarkan
“kemampuan siswa.” Situasi serupa terjadi pula pada bentuk soal analisis kasus,

analisis hubungan antarhal, dan melengkapi berganda. Bahkan, pada bentuk melengkapi
berganda siswa dapat menjawab soal tanpa harus membaca optionnya. Kalau siswa dapat
menjawab soal dengan benar tanpa penguasaan atau pemahaman materi soal berarti diperoleh
hasil ujian yang tidak memberikan informasi sejati mengenai kompetensi siswa. Kedua,
penilaian yang dilakukan dalam UN tidak memperhatikan keragaman potensi daerah dan
peserta didik. Menurut Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi (kemajemukan) sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik, namun kebijakan tersebut diabaikan UN dengan melakukan penilaian pendidikan
tanpa memperhatikan keberagaman potensi daerah dan peserta didik. Menelusuri hasil UN
dalam perkembangan dari tahun ke tahun tampak hasil yang sangat beragam. Keragaman itu
pula dijadikan sebagai landasan pemilihan cara merealisasikan suatu kebijakan. Sebagai contoh,
komitmen yang diminta dari pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis diselaraskan
dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing wilayah/daerah. Sanksi yang diberikan
kepada kepala sekolah atau pihak terkait lainnya yang tidak melaksanakan pendidikan gratis
ditetapkan oleh wilayah bersangkutan. Ditetapkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional
bakal memberikan sanksi kepada sekolah, khususnya SD dan SMP, yang tidak menerapkan
pendidikan gratis. Kewenangan bentuk sanksi diserahkan kepada masing-masing daerah sesuai
dengan peraturan daerahnya (Perda). Perda di setiap daerah pasti berbeda sesuai keragaman
situasi dan kondisi wilayah daerah sendiri. Dengan adanya perda sebagai aturan hukum yang
memayungi pelaksanaan pendidikan gratis maka sekolah yang tidak dapat menerapkan
pendidikan gratis bakal terkena sanksi. Setiap daerah memiliki potensi dan kebutuhan beragam.
Karena keragaman potensi dan kebutuhan masingmasing wilayah, jangan sampai kebijakan
sekolah menimbulkan polemik di masyarakat. Hal yang sama pun semestinya diberlakukan pada
kebijakan penilaian dalam UN. Ternyata, pengalaman sampai sekarang ini memperlihatkan
pelanggaran yang dilaksanakan oleh penye

198

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 2, Maret 2010

lenggara UN. UN tampaknya sudah sesuai dengan keragaman daerah, namun perlu dicermati
keragaman itu dipaksakan dari pusat yang menyiapkan bahan soal yang “beragam”. Daerah
diminta memilih dari keberagaman berkas ujian itu untuk digunakan di daerahnya sendiri. Hal
itu adalah suatu pemaksaan untuk memilih satu dari lima sampai tujuh berkas ujian yang telah
disiapkan kendatipun itu sebetulnya belum sepenuhnya sesuai dengan keadaan di sekolah
wilayahnya sendiri. Ketiga, hak guru untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didiknya
diambil alih oleh pemerintah dengan diberlakukannya UN. Hal ini melanggar Pasal 39 ayat 2 UU
Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran…” Dengan
berlakunya UU Nomor 22, Tahun 1999 tentang otonomi daerah (otoda), maka terjadi
perubahan berbagai kewenangan Pemerintah Pusat (Depdiknas) dalam berbagai hal, khususnya
yang berkaitan dengan pendidikan. Kebijakan sentralistik yang selama ini dan sampai sekarang
masih diterapkan dalam pola dan sistem top down memberikan dampak antara lain
keterbatasan kewenangan kepala sekolah dalam mengelola sumber daya pendidikan sekolah
yang dipimpinnya. Gaya panutan “menurut petunjuk bapak presiden” masih bercokol pada para
kepala sekolah sehingga membiarkan kewenangannya mengelola sekolah dirampas oleh atasan
birokrasinya. Atas situasi seperti ini maka kemampuan manajemen kepala sekolah dalam
mengembangkan program pendidikan tersendat dan menjadi belum seoptimal yang
semestinya. Hal ini lebih jauh berdampak pada kurang memadainya imbalan yang seharusnya
diberikan kepada guru yang telah dinilai profesional dalam karya dan pengabdiannya di kelas.
Alasan klasik yang selalu dilontarkan ialah pola anggaran yang tidak dapat dikendalikan oleh
masing-masing wilayah, termasuk sekolah. Dampak semua peristiwa tersebut di atas ditunjang
pula oleh keterbatasan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah. Guna solusi dan
perbaikan pola pikir dan pola tindak di atas diperlukan reformasi pengelolaan

pendidikan yang diarahkan untuk dapat terciptanya kondisi yang desentralistik, baik pada
tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah. Khusus pada tingkat sekolah, melalui otonomi
yang luas, partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan terutama dalam hal perencanaan dan
pengelolaan program sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah. Penerapan
manajemen berbasis sekolah akan mampu “memberdayakan” sekolah, terutama sumber daya
manusianya, sehingga kepala sekolah, guru, karyawan, peserta didik, orang tua peserta didik,
dan masyarakat sekitarnya menggunakan kewenangan, flek-sibilitas, dan sumber daya lain
untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Manajemen
pendidikan sentralistis yang selama ini dianut dan dipraktikkan mengakibatkan pengambilan
keputusan oleh pusat dengan birokrasi yang berbelit tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah
padahal sekolah merupakan lembaga yang paling memahami permasalahan di sekolahnya
sendiri. Dominasi birokrasi yang berbanding terbalik dengan tanggung jawab profesional
membuat kreativitas sekolah, terutama guru menjadi terpasung, serta kehilangan jiwa
kependidikannya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu keberanian untuk mengadakan perubahan
positif di sekolah. Perubahan itu akan terjadi jika semua warga sekolah mempunyai sense of
belonging atau rasa memiliki yang berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan
perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah.
Apabila perubahan ini terwujud maka kualitas pendidikan pun akan beranjak naik sampai ke
titik yang dicita-citakan. Dengan demikian, kualitas pendidikan akan meningkat dan terbuka
kesempatan bagi guru dan kepala sekolah untuk berkreasi lebih intensif dalam sistem yang lebih
demokratis yaitu manajemen berbasis sekolah. (Hadiyanto dan Subijanto, 2002). Keempat,
dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik
sedangkan menurut Pasal 57 ayat 2 UU Sisdiknas, mutu pendidikan seharusnya didasarkan
pada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
Keterpaduan komponen

199

Suke Silverius, Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa sumber daya manusia dalam lingkup
sekolah tidak dapat dipisah-pisahkan jika menginginkan hasil optimal dari karya pendidik di
tingkat sekolah. Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang sampai sekarang masih tetap melanda
pelaksanaan pendidikan ialah pemusatan pelaksanaan evaluasi pendidikan, khususnya UN,
hanya pada peserta didik. Segala upaya dan cara diikhtiarkan untuk dilaksanakan kepada para
peserta didik untuk mendapatkan keberhasilan UN. Segala cara dan upaya itu lebih banyak
didasarkan atas gengsi dan hasrat tampil beda secara lebih meningkat dalam kompetisi
antarsekolah. Kelima, menurut Pasal 58 ayat 1 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan
penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan
pendidikan/sekolah. Kewenangan pendidik/guru dan sekolah termaksud telah dirampas melalui
pelaksanaan UN. Redaksi hukum ini sangat tepat karena pendidikan yang diterima oleh peserta
didik diberikan oleh sekolah melalui para gurunya. Para guru lebih mengetahui, lebih mengenal,
dan lebih memantau perkembangan pendidikan peserta didik. Hal itu diungkap Silverius (1999)
dalam butir Abstrak. Silverius menulis: Kajian ini ingin mengulas perlunya desentralisasi secara
mikro, khususnya di tingkat kelas. Konsep pendidikan yang banyak dianut para guru dan tenaga
kependidikan berpusat pada hubungan satu arah antara guru dengan murid dengan guru
sebagai sumber segala pengetahuan yang hendak dituangkan ke dalam diri murid yang
dipandang sebagai gentong kosong yang tidak mahatahu atau bahkan yang mahatidaktahu.
Konsep ini menjauhkan guru dan murid dari kehidupan realita dan masuk dalam suatu dunia
kayalan. Oleh sebab itu, dipandang perlu adanya reformasi dalam bidang pendidikan. Bentuk
reformasi yang ditawarkan dalam kajian ini ialah desentralisasi di tingkat kelas dan perubahan
konsep pendidikan dari guru yang mahatahu menjadi guru sebagai mitra pembelajaran yang
mengajar murid dan sekaligus juga diajar murid dengan masukan dari para muridnya. Dengan
konsep ini para guru dan murid bersamasama memasuki dunia realita dan menjelajahinya
bersama dan memanfaatkannya untuk pengembangan diri dan kepribadian masing-masing ke
arah suatu kehidupan yang kritis dan kreatif.

Untuk pelaksanaan kegiatan pendidikan yang terdesentralisasi ke tingkat kelas maka kurikulum
perlu disesuaikan dengan dunia sekitar sekolah. Untuk itu, diperlukan kurikulum yang disusun
secara khusus sesuai kebutuhan setempat dan sekitar. Penyusunan kurikulum tidak lagi menjadi
beban atau tanggung jawab Pusat Kurikulum tetapi menjadi tanggung jawab wilayah setempat
atau bahkan sekolah yang bersangkutan. Paparan yang dicuplik di atas memberikan indikasi
yang berkaitan dengan evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik yang
semestinya dilakukan oleh pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah tetapi telah dirampas
melalui pelaksanaan UN. Sebagaimana telah disebutkan di atas, perkembangan peserta didik
dipantau setiap saat oleh guru yang mengajarnya. Peningkatan atau penurunan hasil belajar tiap
insan didik diketahui oleh guru. Oleh karena itu, adalah lebih tepat dan lebih pantas apabila
evaluasi terhadap perkembangan belajar insan didik itu dilakukan oleh sekolah melalui guru
bersangkutan. Dalam kenyataan, hak ini telah dirampas oleh pihak lain yang memanfaatkannya
melalui ujian sekolah yang tetap dipertahankan keberadaannya oleh pemerintah, cq Depdiknas.
Keenam, ditegaskan lebih lanjut bahwa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan evaluasi menurut Pasal 59 ayat 1 UU Sisdiknas dapat dilakukan terhadap pengelola
satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan, dan bukan evaluasi terhadap hasil belajar peserta
didik. Lagi-lagi hal ini berseberangan dengan nalar manusiawi yang pasti akan lebih menerima
kedekatan keterkaitan antara hasil belajar peserta didik dengan evaluasi yang diberikan untuk
memantau tingkat pengetahuan yang telah diterimanya. Dapat diterima tindakan evaluasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan catatan bukan yang berkaitan
dengan hasil belajar yang dipantau tingkat pencapaiannya melalui UN. Boleh saja dilakukan
evaluasi asalkan evaluasi itu tentang pelaksanaan program yang dilakukan oleh pengelola
satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ketujuh, Pasal 61 ayat 2 menyatakan, “ Ijazah
diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau

200

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 2, Maret 2010

penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi”. Kewenangan pendidik/guru dan sekolah termaksud telah
dirampas melalui pelaksanaan UN. Ketimpangan ini pun berlaku sebagai konsekuensi dari
penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan UN. Ujian sekolah disiapkan oleh pihak di
luar guru sekolah masingmasing yakni pemerintah pusat, padahal semestinya dibuat oleh
sekolah tersebut. Tindakan kebijakan ini akan menyimpangkan hasil ujian sekolah dari lingkup
pembelajaran yang diterimakan guru kepada peserta didiknya. Lebih lanjut, keberhasilan
pendidikan yang diterima oleh peserta didik yang dievaluasi oleh pihak yang semestinya tidak
berwenang itu dihargai dalam suatu bentuk reward yang disebut ijazah. Dipertanyakan, apakah
ijazah yang diterima oleh masing-masing lulusan UN itu tepat dan pantas jika ditilik dari alat
evaluasi yang dipakai untuk mengukur hasil pembelajaran yang diragukan kualitasnya. Disinyalir
bahwa UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan, seperti kepentingan
politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir
orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya ditemukan banyak kejanggalan
sebagaimana telah dipaparkan di atas ditambah pula dengan jenis pelanggaran lain seperti
kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa
dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Seluruh paparan di atas bermuara pada pandangan
menolak UN dan menciptakan kebijakan ujian sekolah yang berpotensi seperti yang selama ini
diterapkan oleh UN. Ujian Ulang Dalam sejarah diselenggarakan UN selama ini, baru kali ini
terjadi peristiwa yang mengharuskan pengulangan ujian seperti ini. Disinyalir, ada pihak-pihak
yang membocorkan jawaban soal yang membuat peserta tidak lulus ujian. Aturan yang tidak
jelas menyebabkan UN ulang bagi siswa yang tidak lulus menimbulkan kontroversi berbagai
pihak, terutama antara

pemerintah dengan DPR RI. (http://www. kapanlagi.com/h/0000122859_print.html. Aturan Tak


Jelas, Ujian Nasional Ulang Timbulkan Kontroversi) Ketidakjelasan aturan mengakibatkan
penyelenggaraan UN menjadi tidak jelas dasarnya. Tidak dapat diketahui apakah UN sebagai
syarat tamat belajar atau untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Perlu ada
peraturan yang jelas tentang tujuan diadakannya UN dan UN ulang sehingga tidak menimbulkan
selisih pendapat yang menimbulkan kontroversi. Aturan yang dibuat sering tidak komunikatif,
sehingga menimbulkan berbagai interpretasi. Oleh karena itu, aturan atau sistem
penyelenggaraan UN perlu dibenahi. Sekolah-sekolah yang diwajibkan menggelar pengulangan
UN juga mempertanyakan mengapa bisa semua muridnya tidak lulus ujian. Menurut Hery
Nugroho, Direktur Centre for Education Studies (CES) Jateng, kondisi tersebut, jelas merugikan
siswa yang jujur dan tidak lulus. (http:// suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/
2009/06/18/68368/Persiapan.Lebih.Matang.Hasil. Kelulusan.UN.Meningkat. Persiapan Lebih
Matang Hasil Kelulusan UN Meningkat. 18 Juni 2009). Karena alternatif solusinya jika ingin
melanjutkan pendidikan, harus mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket C
atau mengulang UN tahun depan. Tidak mengherankan jika para orang tua di SMKN 1 Temon,
Kulonprogo DIY menolak hasil UN lalu dan menuntut UN ulang. Dikatakannya, UN pengulangan
bisa memicu daerah-daerah lain yang siswanya tidak lulus dengan alasan keadilan, menuntut
perlakuan yang sama. Padahal jumlah siswa yang tidak lulus kalau ditotal mencapai ribuan.
Supaya kejadian serupa tidak terulang, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) harus
mengusut tuntas masalah tersebut dan memberikan sanksi yang setimpal terhadap pelaku
kecurangan, sesuai dengan apa yang telah dilakukan. Selain itu BSNP juga harus tegas kalau
memang aturannya tidak ada UN pengulangan, jangan diselenggarakan. Antara Kompetensi dan
Kompetisi Tujuan meningkatkan standar kelulusan bagi peserta UN dilandaskan pada dua
prinsip yang menjadi acuan. Pertama, sejauh mana kompetensi mempunyai pengaruh signifikan
terhadap mutu lulusan. Kedua, bagaimana peningkatan mutu kelulusan dapat menjadi sarana
kompetisi bagi siswa dan guru agar menghasilkan mutu kelulusan yang cakap dan berdaya saing
di bidang kelulusan. Pada sisi lain, ditinjau dari segi kompetisi, berbagai referensi baik nasional
maupun internasional mengungkap bahwa sumber daya manusia Indonesia belum memiliki
kualitas kompetitif yakni mutu yang berdaya saing. Kendatipun dinilai sangat memberatkan
dengan peningkatan standar kelulusan mencapai angka 5,5 namun kebijakan peningkatan
standar kelulusan tidak bisa ditawar lagi dan kalau ditunda atau diulur-ulur maka dunia
pendidikan di tanah air akan terus didera stagnasi sementara bangsa lain sudah jauh
melangkah. Seberapa tingginya kemampuan yang berdaya saing termaksud dapat disimpulkan
dari tingkat kelulusan yang diperoleh atas dasar standar kelulusan yang tinggi. Bahwa lantaran
tingginya standar kelulusan sehingga banyak peserta UN yang tidak lulus, harus diterima dengan
berbesar hati dan berdada lapang sambil menanam tekad untuk semakin meningkatkan mutu
kelulusan di tahun-tahun mendatang. Pembohongan Antargenerasi Mencermati kampanye
pilpres 2009, salah satu isu yang ditonjolkan ialah pendidikan. Masyarakat diajak untuk secara
sadar dan kritis mulai bangkit dan membangun dari sektor pendidikan menuju program bangsa
ke depan. Dihadapkan pada pelaksanaan UN sebagai suatu komponen pendidikan nasional,
masyarakat menyimak fakta dari tahun ke tahun bahwa UN dilakukan tanpa kejujuran. Alhasil,
rentetan kebohongan demi kebohongan hasil-hasil pembangunan pun terjadi dan tidak mudah
untuk dibetulkan. Telah terjadi pembohongan antargenerasi yang dilakukan oleh pemimpin
yang tidak jujur. Oleh karena itu, masyarakat menuntut perlunya alih generasi kepemimpinan
nasional yang bercirikan pemimpin yang jujur. Pembohongan dimaksud juga ditegaskan oleh
Surakhmad (Kompas, Selasa 23 Juni 2009). Surakhmad menyatakan kekecewaannya lantaran
praksis pendidikan selama ini mengalami reduksi,

baik sedari kebijakan hingga implementasi dan evaluasinya. Legalitas pendidikan tidak
mendapat pengukuhan, malahan dilanggar begitu saja demi pemudahan pelaksanaannya secara
praktispragmatis. Dicontohkannya, UN yang tidak menghargai diversifikasi wilayah antardaerah.
Harus ada pembedaan dan penekanan khas masing daerah. Karenanya Indonesia tidak bisa
diatur seragam, termasuk UN. Dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003
disebutkan bahwa evaluasi peserta didik satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan
oleh sebuah lembaga mandiri dan independen secara berkala, menyeluruh, transparan dan
sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional. Lembaga berwenang termaksud adalah
BSNP, dengan tugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar
nasional. Pemetaan Pendidikan Daerah Hasil ujian UN seyogianya dijadikan acuan oleh
pemerintah daerah dalam penyusunan peta pendidikan di wilayahnya, terutama dalam kaitan
dengan kompetensi guru. Dengan demikian, penyebaran tenaga guru tidak semata-mata
didasarkan pada hitungan kuantitas, tetapi juga pada aspek kualitas. Hasil UN hendaknya
memberi makna terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Daerah-daerah mestinya sudah
bisa membuat peta sekolah mana yang siswanya paling banyak lulus atau gagal UN. Dari situ
bisa dievaluasi apakah karena jumlah gurunya yang kurang atau karena memang gurunya
kurang kompeten. Gambaran tentang tingkat keserasian antara tenaga pendidik dan peserta
didik sangat diperlukan dalam pemetaan pendidikan. Pemetaan pendidikan merupakan hal
mutlak. Tanpa adanya pemetaan, sulit diperoleh hasil evaluasi objektif terhadap perkembangan
pendidikan di suatu daerah. Padahal, hasil evaluasi objektif itulah yang seharusnya menjadi
dasar bagi penetapan arah kebijakan maupun program dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Kendali kelulusan secara nasional agaknya bukan cara yang tepat untuk melakukan
pemetaan pendidikan karena tidak menyajikan secara komprehensif kemampuan akademik

202

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 2, Maret 2010

peserta didik. Standar kelulusan pada ujian nasional hanya didasarkan pada nilai siswa dalam
menyelesaikan soal teoritis dan praktis, yang berarti bahwa standar kompetensinya hanya
mengacu pada aspek kognitif semata-mata. Daripada mengukur kompetensi siswa melalui UN
lebih baik mengukurnya dari ulangan-ulangan harian terhadap kemampuan/kompetensi siswa
yang dilakukan guru dengan kontrol penuh dan berkesinambungan. Pemetaan kompetensi tidak
bisa dilakukan hanya satu kali selama siswa mengikuti suatu jenjang pendidikan. Yang lebih
paham tentang kemampuan akademik peserta didik adalah gurunya sendiri. Guru pun lebih
mengetahui tingkat dan dinamika perkembangan masing-masing peserta didiknya. Itulah
sebabnya UU Nomor 20 tentang Sisdiknas secara tegas memposisikan guru sebagai pihak yang
memiliki kewenangan penuh dalam mengevaluasi peserta didik dengan mengacu pada
penguasaan tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jika kendali kelulusan model
yang digunakan dalam UN masih tetap diterapkan, hal itu bukan hanya akan menghabiskan
anggaran yang miliaran rupiah tetapi justru akan melahirkan anomi pendidikan dan strategi
yang dijalankan tidak akan bisa mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Sikap Terhadap
Ujian Nasional Pada awalnya tekanan UN hanya dirasakan oleh kalangan pemerhati pendidikan
dan pengelola sekolah karena khawatir banyak siswanya tidak mampu memenuhi standar
kelulusan, namun belakangan ini justru meluas sampai kepada masyarakat umum. Terdapat
kesan bahwa pelaksanaan UN sebenarnya merupakan pembohongan publik. Tolok ukur
kelulusan nasional senantiasa disiasati agar dapat meloloskan siswa dari nilai mati. Situasi ini
menyiratkan bahwa penyelenggara dan birokrasi pendidikan bersikap tidak jujur dalam
memberikan penilaian kepada peserta didik (ujian) sampai berupaya menyiasati nilai UN.
Menyadari hakikat UN yang mengingkari berbagai ketentuan perundang-undangan dan tidak
diserahterimakan kepada pendidik, dalam hal ini guru, berbagai pihak bertanya “ada apa di balik
UN?”

Terhadap pertanyaan ini muncul berbagai tanggapan yang kesimpulannya dapat diklasifikasikan
dalam tiga sikap yakni pertama, setuju UN dipertahankan; kedua, UN ditelaah ulang dan
disempurnakan; dan ketiga, UN dihapus. Setuju Ujian Nasional Dipertahankan Walaupun UN
bukan alat yang tepat untuk mengukur keberhasilan pendidikan didik di bidang akademik
namun tetap diperlukan demi pengendalian terhadap mutu lulusan. Di samping itu, selain
merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik, UN memberikan umpan balik tentang
kemampuan guru yang pada akhirnya memunculkan strategi peningkatan mutu mereka.
Pencapaian standar kelulusan oleh peserta didik dapat dipandang sebagai bagian dari upaya
untuk meningkatkan kualitas SDM. Gambaran tentang hal itu diperoleh dari UN yang
menyajikan hasil evaluasi dan analisis ketuntasan materi yang disampaikan pada siswa. Perlu
disadari bahwa UN hanya merupakan salah satu alat ukur tingkat pencapaian prestasi belajar
siswa dalam memenuhi standarisasi pendidikan di Indonesia. Di Indonesia kualitas pendidikan
antarsekolah sangat bervariasi, dari yang tertinggi sampai yang terendah. Variasi yang sangat
mencolok pun tampak dalam kualitas antara sekolah yang ada di kota dengan sekolah yang ada
di desa. Variasi itu disebabkan oleh bermacam-macam sistem dan pengelolaannya. Otomatis
output yang dihasilkan juga berbeda. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan itu UN tetap
harus dilaksanakan. Kalau UN tidak dilaksanakan, justru akan membingungkan banyak pihak.
Misalkan ada siswa dari suatu sekolah di daerah tertentu hendak berpindah ke sekolah di
wilayah lain, dasar apa yang hendak dipakai sebagai standar penentu diterima tidaknya
perpindahannya dan akan ditempatkan pada tingkat berapa. Diperlukan standar sekolah asal
dengan standar sekolah yang dituju. Standar itu diperoleh melalui standar kelulusan UN.
Dengan demikian, UN harus tetap dipertahankan.
203

Suke Silverius, Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa Setuju Ujian Nasional Ditelaah Ulang
dan Disempurnakan UN tetap mutlak diperlukan namun perlu diadakan telaah mendalam untuk
mendudukkan kembali UN pada tujuan dan fungsinya sehingga tujuannya tercapai tanpa ekses
yang merugikan negara dan rakyat. Ditegaskan bahwa UN tetap diperlukan untuk menjaga
standar mutu meskipun otonomi daerah di bidang pendidikan sudah dilaksanakan. Walaupun
UN terkadang berperan menciptakan “pembunuhan” kreativitas proses pendidikan secara lebih
universal namun tidak perlu dihapus tetapi diadakan koreksi terhadap penyelenggaraannya,
mulai dari bentuk soal sampai praktiknya di lapangan. UN dipandang begitu penting sehingga
proses belajar selalu diarahkan pada bagaimana mengerjakan soal UN dengan efektif sehingga
terjadilah kecenderungan gaya kepemimpinan sekolah tanpa memberi ruang terhadap
kreativitas guru dalam mengajar. Pengajar pun disibukkan mengefektifkan waktu memberikan
latihan mengerjakan soal UN sebagai ukuran pencapaian target kurikulum. Kondisi ini semakin
diperburuk dengan bentuk soal UN yang (hampir) semua berupa pilihan ganda. Sudah
sepatutnya pelaksanaan UN ditinjau ulang. Disarankan agar UN diselenggarakan secara berkala.
Gagasan ini merujuk pada empat hal, yaitu: a) konsekuensi penggunaan pendekatan belajar
tuntas meniscayakan siswa dengan kecepatan belajar tinggi menyelesaikan pendidikannya lebih
cepat, b) sesuai dengan Pasal 24 UU Sisdiknas, hak siswa untuk menyelesaikan masa pendidikan
lebih awal seharusnya mendapat perhatian pemerintah, c) mengikuti pola perkuliahan di
perguruan tinggi yang juga memberikan hak percepatan masa studi bagi mahasiswa, dan d)
penyelenggaraan UN pada kursus atau pendidikan nonformal yang bisa dilakukan setiap empat
bulan sekali. Dengan demikian, bila siswa -khususnya pada tingkat akhir- telah memenuhi
standar kompetensi yang telah ditetapkan maka siswa bersangkutan dapat langsung mengikuti
UN dengan asumsi setiap sekolah telah memiliki bank soal yang telah terstandar.

Setuju Ujian Nasional Dihapus Pada awalnya himpitan UN hanya dirasakan oleh kalangan
pengelola sekolah karena khawatir banyak siswanya tidak dapat memenuhi standar kelulusan
tetapi belakangan justru masyarakat yang lebih sering menyorotinya. UN melahirkan
kecurangan-kecurangan terhadap nilai UN dan kecurangan pelaporan-pelaporan pelaksanaan
belajar dari daerah. UN menimbulkan kesenjangan pendidikan dan kesenjangan mutu
pendidikan. Daerah tidak mungkin mengikuti standar UN dari pusat, karena sarana dan
prasarana belajar-mengajar yang sangat terbatas dan pengalaman belajar anak-anak di seluruh
Indonesia yang tidak sama. Siswa di pelosok tidak mungkin mendapatkan angka yang baik
kecuali dipaksa untuk memanipulasi angka agar setaraf dengan sekolah yang bermutu.
Darmaningtyas, Pengamat pendidikan dari Lembaga Pengembangan Inisiatif Strategis untuk
Transformasi, dalam buku Umberto Sihombing dan Suke Silverius (Oktober 2001) berjudul
“Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) Menjamin Mutu Pendidikan” mengatakan
bahwa kalau UN dipertahankan berarti Depdiknas tidak punya kemauan untuk melaksanakan
otonomi pendidikan. UN merupakan kebijakan pemerintah yang tidak adil di bidang pendidikan.
Standar pendidikan yang dimiliki untuk masing-masing daerah tidak sama. Secara sosiologis,
ujian nasional dapat berarti memarginalkan siswasiswa yang orang tuanya tidak mampu. Ada
praktisi pendidikan yang menyelami berbagai seluk beluk dan lika-liku UN mengatakan bahwa
pelaksanaan UN itu sebenarnya merupakan pembohongan publik. Diduga bahwa selama ini
penyelenggara dan birokrasi pendidikan tidak jujur dalam memberikan penilaian kepada peserta
didik, sampai jauh mencoba menyiasati nilai akhir ujian. Diyakini bahwa tolok ukur kelulusan
nasional selalu disiasati agar dapat meloloskan siswa dari jeratan angka mati. Betapa pun
santernya tuntutan penghapusan UN dengan berbagai macam rasional tersebut, namun pada
kenyataannya tampak adanya keengganan “the men behind the ujian nasional” untuk
menghapusnya. Disinyalir bahwa keengganan menghapus ujian nasional dipastikan bukan
karena pertimbangan ilmiah, melainkan lebih disebabkan oleh sikap para birokrat yang sulit
mengubah tradisi penilaian penyelenggaraan pendidikan dan lebih didasarkan pada aspek
ekonomi karena UN adalah proyek pendidikan yang besar. Simpulan dan Saran Simpulan Kritik
dan kontroversi terhadap UN memerlukan solusinya. Kajian literatur telah menampilkan untaian
butir-butir kritik termaksud. UN hanya mengukur aspek kognitif tanpa menyertakan aspek
afektif dan aspek psikomotorik. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan. Dengan
demikian, hasil UN tidak dapat dipakai sebagai penentu kelulusan kompetensi siswa. Hal ini
diperkuat secara hukum melalui ketentuan dalam UU Sisdiknas. Penyajian materi pembelajaran
yang lebih berorientasi pada model pembelajaran yang monologis dalam bentuk ceramah tidak
tepat, apalagi menyangkut materi yang berkaitan dengan aspek sikap dan aspek psikomotor.
Kurikulum yang menjadi landasannya harus dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
(kemajemukan) sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan lebih
jauh dipantau melalui evaluasi dalam UN. Guru berhak melakukan evaluasi hasil belajar peserta
didiknya. Dengan penetapan dan penerapan pola desentralistik, baik pada tatanan birokrasi
maupun pengelolaan sekolah maka UN pun akan diarahkan agar hak guru melakukan evaluasi
belajar peserta didiknya akan terakomodir. Diperlukan keterpaduan komponen sumber daya
manusia dalam lingkup sekolah agar dapat diperoleh hasil optimal dari karya pendidik di tingkat
sekolah. Segala upaya dan cara diikhtiarkan untuk dilaksanakan kepada para peserta didik untuk
mendapatkan keberhasilan ujian nasional. Oleh karena itu, adalah lebih tepat dan lebih pantas
apabila evaluasi terhadap perkembangan belajar peserta didik dilakukan oleh sekolah melalui
guru-gurunya. Sangat disayangkan apabila segala cara dan upaya itu lebih banyak didasarkan
atas gengsi dan hasrat tampil beda secara lebih meningkat dalam kompetisi antarsekolah.

Sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan
setelah lulus ujian maka ijazah diberikan kepada peserta didik yang bersangkutan.
Dipertanyakan, apakah ijazah yang diterima oleh masing-masing lulusan UN itu tepat dan
pantas jika ditilik dari alat evaluasi yang dipakai untuk mengukur hasil pembelajaran itu
diragukan kualitasnya. Disinyalir bahwa UN dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan,
seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi
bagi segelintir orang. Jika hal itu benar dan terbukti maka sudah sepantasnya menolak UN dan
menciptakan kebijakan ujian sekolah yang berpotensi seperti yang selama ini diterapkan oleh
UN. Berbagai pelanggaran UN terhadap ketentuan-ketentuan UU Sisdiknas memunculkan
berbagai tanggapan yang dirangkum dan diklasifikasikan dalam tiga sikap yakni pertama, setuju
UN dipertahankan; kedua, UN ditelaah ulang dan disempurnakan; dan ketiga, UN dihapus.
Seluruh simpulan di atas menghadirkan pertanyaan: apakah kontroversi ujian nasional ini akan
berlangsung sepanjang masa? Saran Terdapat keinginan dan bahkan tuntutan agar pelaksanaan
evaluasi belajar di sekolah yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah, Pusat atau Daerah,
dikembalikan kepada guru yang memiliki hak otoritas terhadap fungsi tersebut. Keinginan dan
atau tuntutan itu telah dikokohkan oleh adanya peraturan perundangan yang mendukungnya.
Oleh sebab itu, disarankan agar masing pihak terkait mengkaji hak dan kewajibannya dalam hal
evaluasi belajar dan mengeksekusinya sebagaimana semestinya. Kenyataan selama ini
memperlihatkan bahwa kelulusan siswa didasarkan atas hasil momental UN di akhir jenjang
yang hanya mengukur aspek kognitif tanpa menyertakan aspek afektif dan aspek psikomotorik.
Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan dan ketentuan UU Sisdiknas serta tidak dapat
dijadikan standar untuk mengukur mutu pendidikan. Oleh sebab itu, disarankan kepada
Depdiknas umumnya dan

205

Suke Silverius, Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa Puspendik Balitbang Depdiknas
khususnya untuk berani memulai penyertaan aspek afektif dan psikomotor dalam UN yang nota
bene dengan melibatkan para guru. Disarankan kepada pemerintah, cq Depdiknas, agar UN
sebagai evaluasi terhadap perkembangan belajar peserta didik dilakukan oleh sekolah melalui
guru-gurunya. Sebagai konsekuensinya, penetapan kelulusan peserta didik, penyusunan dan
pemberian ijazah dilakukan oleh guru (baca: sekolah).

Adanya sinyalemen bahwa UN dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan maka


disarankan agar diberlakukan kebijakan ujian sekolah yang berpotensi seperti yang selama ini
diterapkan oleh UN. Dengan demikian, UN bukan saja tidak dipertahankan atau ditelaah ulang
melainkan dihapus.

Pustaka Acuan Hadiyanto dan Subijanto. 2002. Pengembalikan Kebebasan Guru untuk
Mengkreasi Iklim Kelas dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan No.039 - November 2002
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/06/18/68368/
Persiapan.Lebih.Matang.Hasil.Kelulusan.UN.Meningkat. Pendidikan. 18 Juni 2009. Persiapan
Lebih Matang Hasil Kelulusan UN Meningkat) Diakses pada tanggal 9 Juli 2009
http://www.kapanlagi.com/h/0000122859_print.html. Aturan Tak Jelas, Ujian Nasional Ulang
Timbulkan Kontroversi) Diakses pada tanggal 24 Juli 2009 Kompas. 2009. Sosok. Prof. Dr.
Winarno Surakhmad MSc Ed. Selasa 23 Juni 2009. Sihombing, Umberto dan Suke Silverius.
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) Menjamin Mutu Pendidikan. Oktober 2001
Silverius, Suke. 1999. Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kelas. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Tahun Ke-5, No. 017, Juni 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 199 Tentang
Otonomi Daerah

2. Ebtanas: Apa dan Mengapa dihapus?

OLEH: Drs.H. Umaedi, M.Ed (Dit. Rektorat SLTP Jakarta)

Abstrak

Keputusan Mendiknas untuk menghapuskan EBTANAS pada tahun 2002 ini menimbulkan sikap
pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tulisan ini memberikan perspektif dan dasar-dasar
pertimbangan yang menjernihkan dari pihak pengambil kebijakan (policy master) tentang
mengapa EBTANAS dihapuskan, dan apa solusinya bagi masa depan pendidikan Indonesia.

eputusan untuk menyelenggarakan Ebtanas atau menghentikan Ebtanas (evaluasi belajar tahap
akhir nasional) adalah keputusan politik atau politik pendidikan, karena didalamnya menyangkut
kepentingan orang banyak (baca: berbagai pihak), bahkan dalam batas-batas tertentu bisa
dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan ataupun mendiskriditkan kekuasaan itu sendiri. Sekolah
dalam hal ini Kepala Sekolah, Guru dan Siswa sebagai: “Stake holder” utama sangat
berkepentingan dengan ada atau tidak adanya Ebtanas, orang tua sebagai “Stake holder” yang
lain juga memiliki kepentingan berbeda dengan sekolah. Para Birokrat (di pusat maupun di
daerah) yang juga sebagai “internal stake holder” memiliki kepentingannya sendiri. Para pakar
pendidikan dan wartawan ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) akan menyoroti sesuai
kepentingannya masingmasing, meskipun yang dikemukakan kadangkadang mengatasnamakan
pihak lain, semisal orang tua atau sekolah. Jelasnya Ebtanas bukan masalah teknis pendidikan
ansich. Ebtanas sebagai kebijakan nasional yang dalam dirinya mengikat berbagai variable yang
dinamis, seperti budaya, kondisi sosialekonmi, bahkan politik dan keamanan, bukan hanya
teknis edukatif, akan selalu rentan ter

hadap perdebatan dan kontroversi, apapun yang dipilih, karena hal ini sejalan dengan dinamika
situasi masyarakat Indonesia itu sendiri. Untuk tidak terlalu skepsi, menyerah kepada kemana
angin berhembus, tulisan ini mencoba untuk dapat memahami apa, mengapa Ebtanas atau
bukan Ebtanas dan kemungkinan-kemungkinan solusi ke depan dengan mengacu pada
kebijakan nasional lainnya di bidang pendidikan yang sangat penting yaitu perluasan
kesempatan belajar dan wajib belajar 9 tahun, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan,
serta manajemen pendidikan yang “decentralized” dengan acuan “school/community based
management”. Aspek-aspek dimaksud adalah teknis edukatif, aspek penyelenggaraan, aspek
politis, manfaat dan ekses, serta alternatif solusi kedepan.

Aspek Teknis Edukatif

Secara teknis edukatif, hampir seluruh kalangan pendidik, sepakat akan perlunya evaluasi, untuk
meyakinkan apakah segala upaya yang dilakukan di dalam layanan pendidikan membuahkan
hasil yang memuaskan (atau berhasil baik), sehingga ada “jastifikasi” tentang mutu pendidikan.
Persoalan timbul, karena masalah semantik dimana “evaluasi” dianggap mengandung
pengertian yang lebih luas dari sekedar pengertian tes atau ujian yang berlingkup spesifik.
Ditambah lagi, bahwa evaluasi tersebut

No. 1/XXI/2002 Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa

Mimbar Pendidikan 15

dinamakan evaluasi tahap akhir nasional. Ada beberapa masalah teknis pendidikan yang digugat
(dipertanyakan) oleh berbagai pihak. Pertama, karena label nasional, maka bidang kajian atau
mata pelajaran yang di Ebtanaskan dianggap prioritas (lebih penting) dari yang lain, sehingga
sebgaian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk menyukseskan hasil Ebtanas murid-
muridnya. Kedua, (sebagai akibat masalah pertama) terjadi praktek dan kesan penyempitan
makna pendidikan yang harusnya utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif semata dan
dengan mata kajian terbatas pada yang di Ebtanaskan. Kecakapan yang berkaitan dengan sikap,
kecakapan sosial, kecakapan praktek (motorik) dan budi pekerti dianggap diabaikan. Para tokoh
pendidikan dan ahli-ahli evaluasi pendidikan sesungguhnya paham betul, akan keterbatasan
Ebtanas sebagai tolok ukur keberhasilan, tetapi mensosialisasikan masalah yang tidak
sederhana ini tidaklah mudah. Tambahan pula dengan segala keterbatasan lingkup yang dicakup
oleh Ebtanas itupun, hasilnya (sampai saat ini) masih jauh dari memuaskan. Memang ada
argumen kalau hasilnya mau bagus, soalsoalnya dipermudah. Lepas dari segala keterbatasan
yang diukur oleh Ebtanas, pemerintah punya kepentingan untuk mengetahui sejauhmana
kemampuan lulusan pendidikan dari berbagai jenjang dalam bidang kajian tertentu, sebagai
indikator keberhasilan sistem pendidikan yang dijalankan. Kita juga ingin tahu sejauh mana
kemampuan anak-anak kita dalam berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya,
paling tidak yang dapat dijaring melalui Ebtanas, dan membandingkannya antar wilayah,
kabupaten/kota, dan bahkan antar sekolah. Kepentingan pemerintah untuk mengetahui hasil
pendidikan secara nasional tersebut, merupakan kepentingan institusi yang bukan

bersifat pribadi, tetapi merupakan pesan UndangUndang Pendidikan Nasional No. 2 Th 1989.
Bahkan maksud dari Undang-undang tersebut adalah bukan sekedar Ebtanas, tetapi penilaian
kinerja seluruh sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Seraya tetap membuka wacana dan
dapat memahami berbagai kritik teknis yang disampaikan oleh berbagai pihak, pertanyaannya
adalah bagaimana mencari solusi/alternatif pengganti Ebtanas yang dapat memenuhi
kebutuhan akuntabilitas sistem yang ada, mengingat Depdiknas sebagai penanggungjawab atas
sistem pendidikan nasional. Persoalan teknis, dalam artian kemampuan SDM yang profesional
dan sarana pendukung Ebtanas (baik hardware maupun software) sebenarnya cukup memadai
dan secara institusional ditangani oleh Pusat Pengujian Depdiknas. Banyak masalah muncul
justru pada tatanan manajemen (pengelolaan) Ebtanas itu sendiri baik di pusat, daerah, mapun
sekolah.

Aspek Penyelenggaraan

Masalah teknis penyelenggaraan Ebtanas, sering dianggap enteng, kurang berbobot


dibandingkan penyusunan soal (instrumen, kalibrasi, analisis kesulitan dan lain-lain sejenisnya).
Padahal soal-soal Ebtanas yang sudah baik (memenuhi syarat, validitas, reabilitas, dst) akan
tidak punya makna apa-apa untuk di Ebtanaskan sekiranya terjadi kebocoran, mark-up nilai, dan
sebagainya yang berhubungan dengan penyelenggaraan. Penyelenggaraan boleh dikatakan
merupakan bagian penting dari metodologi Ebtanas yang dapat menggagalkan hasil Ebtanas
atau mengurangi kredibilitasnya. Agar lebih fokus, masalah penyelenggaraan Ebtanas akan
disoroti dari segi organisasi dan mekanisme kerja, dalam konteks desentralisasi pendidikan,
terutama efektivitas dan efisiensinya. Manajemen Ebtanas secara nasional dalam tatanan
operasional dikelola bersama antara

Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa No. 1/XXI/2002

Mimbar Pendidikan 16

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan c.q. Pusat Pengujian, dengan penekanan instansi yang disebut pertama lebih pada
administrative managerial, sedang instansi yang disebut belakang tekanannya pada
penanggungjawab subtansi soal-soal dan pengembangannya. Sementara, prosedur baku dari
pusat sampai sekolah diatur dengan Keputusan Menteri. Sekarang pembagian tanggungjawab
lebih tegas, yaitu Pusat Pengujian (Balitbang Diknas) bertanggungjawab penuh atas
pengembangan soal-soal ujian, pengamanan, pencetakan, dan pengelolaan serta pelaporan
hasilnya. Sedangkan Direktorat jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah lebih pada
penganggaran, kordinasi kegiatan dan pengaturan prosedur (tata kerja) pelaksanaan di daerah
(baik propinsi maupun kota) yang mendukung efektivitas dan efisiensi pelaksanaan. Masalah
penting yang terkadang menjadi “gawat” adalah masalah pengamanan Ebtanas dari mulai
penyusunan soal, penggandaan terbatas, penyimpanan, pencetakan dan pengiriman sampai
sekolah. Sesungguhnya sudah dilakukan berbagai cara pengamanan, tetapi kerawanan masih
tetap terbuka, mengingat jumlah sekolah yang begitu banyak, dengan letak geografis yang luas
serta beragam kondisi dan fasilitasnya. Bayangkan pemalsuan uang saja sampai sekarang masih
terjadi, padahal pengamanan terhadap proses produksi dan pengedaran uang dilakukan terus-
menerus sepanjang tahun. Sikap masyarakat yang secara luas sedang sakit, antara lain
penghargaan yang berlebihan terhadap serba kebendaan (keduniawian), persepsi bahwa segala
sesuatu dapat dibeli dengan uang (kebudayaan korup), dan lemahnya tatanan masyarakat
(termasuk institusi, hukum, moral, budaya) membuat pengamanan penyeleng-garaan Ebtanas
semakin berat. Dengan cakupan penyelengga

raan yang begitu luas, terutama untuk menjamin kecermatan waktu dan pengamanan
pelaksanaan, maka biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sedikit bukan hanya untuk menyusun
materi dan panduan serta mendistribusikannya agar tepat waktu dan sasaran, tetapi juga untuk
jasa semua yang terlibat sebagai panitia serta jasa pengamanan. Saat-saat Ebtanas, jajaran
birokrasi baik di daerah maupun di pusat merasakan suasana tegang, seperti menghadapi
situasi gawat, janganjangan terjadi sesuatu entah dimana, dengan rasa dag-dig-dug menguping
berita, apakah yang resmi maupun yang tidak resmi. Bahkan ada semacam Posko baik yang di
pusat mapun didaerah yang terus menerus memonitor dan berkomunikasi. Hal seperti ini
berjalan beberapa minggu, karena pelaksanaan untuk SD, SLTP, dan SM tidak bersamaan. Kita
juga dapat membayangkan, bagaimana kalau terjadi suatu kebocoran disuatu tempat/ daerah
(meskipun sudah diusahakan banyak paket pilihan, sehingga soal tidak sama dengan daerah
lain), benar-benar membuat stres para birokrat. Kita juga layak bertanya, bagaimana
pelaksanaan Ebtanas di daerah-daerah “konflik sosial”, daerah rawan, ditempat-tempat
pengungsian, bagaimana menjamin keefektivannya, dan sejauhmana manfaatnya. Terlepas dari
masalah biaya Ebtanas lebih kurang 250 milyar pertahun, ada beberapa pertanyaan
fundamental sehubungan dengan penyelenggaraan Ebtanas ini. Pertama, dengan keluarnya UU
No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dan UU No. 25 tahun 2000 tentang
Propernas, apakah Ebtanas masih relevan? Mengapa bukan Ebtada? Mengapa bukan Ebta
sekolah sesuai pendekatan “School Based Managmenet” seperti yang dikehendaki Propernas.
Kedua, wajib belajar 9 tahun, rencananya baru akan tuntas pada tahun 2008, yang berarti saat
ini masih banyak anak yang belum mengenyam (memiliki kesempatan) pendidikan, terutama
pada jenjang SLTP, serta drop out pada tingkat SD. Belum lagi, banyaknya sekolah yang minim
sarananya, jumlah gurunya
No. 1/XXI/2002 Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa

Mimbar Pendidikan 17

sangat terbatas, sehingga proses pembelajaran tidak dapat berjalan semestinya. Pertanyaan
lanjutannya adalah, mana yang lebih mendesak menyediakan sarana bagi yang belum sekolah,
menambah guru dan sarana belajar bagi sebagian besar yang masih kekurangan atau “all out”
berapapun biaya dan resikonya Ebtanas harus dipertahankan. Biaya Ebtanas 1 tahun
diperkirakan dapat untuk membangun 400 SLTP baru, apalagi kalau dikerjakan dengan model
“timbal swadaya” baik dengan cara ditawarkan kepada yayasan (swasta) maupun pemerintah
daerah, dimana penerima dana diwajibkan menyediakan dana (atau tanah) sebagai dana
pendamping dan pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat. Kalau ini dilakukan maka daya
tampung siswa baru bertambah lebih kurang 80.000 anak pertahun, yang merupakan kontribusi
yang tidak kecil bagi penuntasan wajib belajar. Kalau demikian, apakah sebaiknya Ebtanas
disetop saja? Nanti dulu, kita harus kembalikan apa fungsi Ebtanas yang hakiki, dan manfaatnya
bagi pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan. Secara nasional Ebtanas berfungsi
sebagai “quality control” terhadap sistem yang berjalan, karena kontrol terhadap proses dan in-
put pendidikan sudah semakin kecil, sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi, bahkan pada
saat sentralisasi masih kuatpun sebenarnya kontrol pusat di bidang pendidikan tidak dapat
dilakukan sepenuhnya, karena rapuhnya mental jaringan birokrasi akibat berbagai faktor di luar
masalah pendidikan. Bahkan ada pandangan bahwa Ebtanas sebagai pengejawantahan sistem
yang bersifat “nasional”, yang menunjukkan pula nasionalisme (persatuan) yang masih terus
diperjuangkan. Ebtanas merupakan “bench mark” atau titik acuan mutu tertentu yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja, membandingkan antar tahun, antar propinsi, antar
kabupaten

kota, antar sekolah, antara siswa (termasuk lakilaki dan perempuan) dan antar mata pelajaran,
karena soal Ebtanas dikembangkan sebagai soal yang standar. Dengan fungsi ini, Ebtanas juga di
klaim sebagai pemberi masukan objektif di dalam penyempurnaan/penyusunan kebijakan
pendidikan secara nasional. Birokrasi di bawahnya (propinsi, kebupaten dan seterusnya) juga
diharapkan memanfaatkan hasil Ebtanas untuk memperbaiki kinerja untuk tahun berikutnya.
Sekolahpun diharapkan demikian. Karena soal-soal Ebtanas dianggap standar (baku), sehingga
hasilnya dipercaya lebih objektif (dengan catatan: pelaksanaannya terjamin aman) dan dapat
membedakan kemampuan antar siswa (paling tidak untuk bidang tertentu yang diujikan), maka
hasil Ebtanas bukan hanya menjadi bahan pertimbangan ketamatan siswa, tetapi Nilai Ebtans
Murni ( NEM) yang terdapat dalam Daftar Nilai Ebtanas Murni (DANEM) dijadikan/menjadi alat
seleksi yang dianggap objektif untuk masuk ketingkat/jenjang pendidikan lanjutan, khususnya
dari SD ke SLTP dan dari SLTP ke SM. Sementara hasil Ebtanas SM (SMU/SMK) tidak/belum
menjadi alat seleksi yang diakui oleh Perguruan Tinggi Negeri.
Ekses dan Manfaat Ebtanas

Karena kedudukan Ebtanas yang demikian penting dan dicitrakan sebagai fokus gambaran mutu
pendidikan, maka terjadi ekses yang tidak kita inginkan. Disamping terjadinya persepsi
masyarakat (termasuk guru?) yang kurang pas tentang mutu pendidikan (yang seharusnya
seutuhnya) terjadilah efek berantai. Ada kecenderungan sekolah mengabaikan mutu pelajaran
non-Ebtanas, demikian pula siswa dan orang tua. Terjadi pungutan yang memberatkan orang
tua, terutama bagi sekolah-sekolah swasta dengan alasan untuk Ebtanas (yayasan tertentu
sekaligus numpang pengutan di luar biaya yang diperlukan), padahal sekolah-sekolah swasta
sebagian besar justru menampung anak-anak dari

Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa No. 1/XXI/2002

Mimbar Pendidikan 18

keluarga yang kurang mampu yang tak diterima di sekolah negeri. Rumor (pada waktu itu)
bahwa sekolah swasta membiayai sekolah negeri, tidak pernah dibantah secara tegas
(transparan). Pada saat pemerintah membebaskan biaya Ebtanas untuk semua sekolah (negeri
dan swasta) pada jenjang wajib belajar, terdapat laporan sebagian sekolah swasta masih
memungut biaya. Ada pemerintah daerah yang dengan bangga mengumumkan pengalokasian
dana Ebtanas untuk jenjang pendidikan yang tidak dibiayai pemerintah (pusat), sementara
penyediaan sarana untuk wajib belajar di daerahnya masih keteteran (alias masih banyak anak
belum tertampung di sekolah karena tidak ada fasilitas, disamping fasilitas yang ada juga banyak
yang perlu rehabilitasi total). Sementara itu pengamanan Ebtanas baik terhadap kebocoran
maupun pelaksanaan meskipun sudah dilakukan berlapis sedemikian rupa, tetap rawan
kebobolan. Mungkin hal ini tak lepas dari kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
Indonesia yang juga sedang bermasalah. Bahkan soal palsupun diperjual belikan, diakui sebagai
kebocoran sehingga sebagian anak tertipu. Hasil Ebtanas sebagai bahan pertimbangan
ketamatan siswa, ternyata juga kurang efektif, karena dengan nilai penyesuaian (rumus P-Q-R)
setiap tahun hampir semua anak tamat belajar (terima STTB) Ebtanas sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional tentu juga memberikan beberapa manfaat, seperti yang sebagian telah
dikemukakan sebelumnya. Sekolah-sekolah favorit (yang pendaftarannya lebih besar dari
kapasitas tampung) mempunyai alat seleksi masuk berdasarkan hasil NEM, yang dapat diterima
oleh orang tua dan masyarakat pada umumnya. Bahkan untuk mendaftar sekolah di luar
kabupaten/kota atau propinsi lainnya NEM menjadi acuan yang jelas. Dirasakan, adanya sistem
yang bersifat nasional.
Sekolah-sekolah (yang sungguh-sungguh) akan mangacu soal-soal dan hasil Ebtanas untuk
memperbaiki pembelajaran bidang-bidang studi yang di Ebtanaskan, dan memacu diri untuk
terus menerus memperbaiki diri. Pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) akan
mawas diri terhadap hasil Ebtanas daerahnya dibandingkan dengan daerah lain, dan berusaha
untuk mengejar ketinggalan, dengan membuat kebijakan dan perencanaan pendidikan yang
lebih tepat untuk daerahnya masing-masing. Bagi pemerintah (pusat) hasil Ebtanas,
bagaimanapun menjadi salah satu jastifikasi terhadap penentuan kebijakan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan, dengan sasaran yang lebih tepat keberpihakannya (affirmative
policy) untuk mencapai pemerataan mutu. Pertanyaannya adalah: apakah untuk kepentingan
tersebut perlu seluruh sekolah mengikuti Ebtanas (termasuk dipulau terpencil, yang gurunya
hanya 1-2 orang yang di bawah tenda, yang gedungnya sebagian ambruk, yang bayaran gurunya
nunggak terus/dicicil) tanpa kecuali dengan resiko apapun, walaupun hasilnya sebagaian sudah
dapat diprediksi (tidak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya?). Apakah Ebtanas (untuk
kepentingan pusat) tidak “sample” pada tiap kabupaten/kota, sehingga penyelenggaraannya
dapat benar-banar terkontrol dan hasil pengolahannya dapat dipercaya, dengan biaya yang
lebih sedikit? Pertanyaan-pertanyaan lain adalah: apakah harus tiap tahun, apakah harus sekian
pelajaran, apakah dapat sewaktu-waktu (setahun 1 kali, 2 kali atau 3 kali), apakah setiap kali
pelajaran yang sama?

Aspek Politis

Ebtanas sebagai kebijakan nasional, tentu harus dipertanggungjawabkan secara nasional pula.
Dengan alokasi biaya yang lumayan besar penyelenggaraan Ebtanas dipertanyakan
keberhasilannya, pertanggungjawab (tanggung gugat) bahkan merembet kepada kinerja
departemen dengan sistem pendidikan nasionalnya, sehubungan dengan hasil Ebtanas yang

No. 1/XXI/2002 Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa

Mimbar Pendidikan 19

terlanjur dikesankan mencerminkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Setiap kali ada
keluhan dari masyarakat, anggota DPR seperti memperoleh inspirasi untuk memojokkan
pemerintah yang dalam posisi lemah (karena harus mengontrol pelaksanaan yang begitu luas
secara geografis, dan beragam kondisi, yang bahkan sebagian tidak terbayangkan). Anggota
Dewan memang layak meminta pertanggungjawaban pemerintah, karena mereka mewakili
rakyat (sebagai stake holder), persoalannya kalau setiap tahun masalah-masalah yang berkaitan
dengan Ebtanas ada saja (ganti tempat kejadian, ganti jenis masalah) padahal sebagian dari
masalah terjadi di luar jangkauan pemerintah (pusat), semisal ada buruh percetakan atau
petugas setempat yang nakal. Tentu ada pertanyaan yang lebih mendasar, semisal bagaimana
konsistensi kebijakan Ebtanas dengan kebijakan lain seperti wajib belajar 9 tahun, yang
menghendaki semua tamatan SD meneruskan ke SLTP dengan target penuntasan tertentu, atau
kaitannya dengan kebijakan desentralisasi, serta “school based management” . Kaitan Ebtanas
dengan pembenahan “in-put” dan “proses pendidikan” bagaimana. Sejauh mana transparansi
hasil Ebtanas kepada publik (dulu sedikit disembunyikan?) Bagaimana jastifikasi secara teknis
edukatif? Apakah Ebtanas dipertahankan bukan karena proyek? (menjadi sumber KKN?). Sejauh
mana “cost-benefit” Ebtanas. Apakah tidak sebaiknya diserahkan kepada lembaga independen
agar lebih efisien dan objektif dan tidak “jeruk minum jeruk”? Apakah ekses kebijakan Ebtanas
dapat dihindar? Kalau disederhanakan masalah politik pendidikan berkaitan dengan Ebtanas
mencakup paling tidak lima pertanyaan: apakah secara teknis edukatif dapat diterima
(educationally acceptable) ?

apakah ada konsistensi terhadap kebijakan dan aturan yang lain (fidelity testing) ? apakah
antara manfaat dan biaya dapat dipertanggungjawabkan (aconomically feasible) ? apakah tidak
terjadi ekses yang merugikan (spillover effect) ? apakah dapat diterapkan secara baik
(practitally applicable) ? Pada waktu mau menerapkan program JPS (Jaringan Pengaman Sosial)
bidang pendidikan, Depdiknas (baca: Ditjen Dikdasmen) mengeluarkan edaran yang isinya bagi
anak kelas akhir SD yang karena sesuatu hal tidak dapat mengikuti Ebtanas, maka untuk masuk
ke SLTP cukup dengan keterangan tamat dari kepala sekolah yang bersangkutan. Tapi, ini
kaitannya dengan anak miskin, dan kebijakan ini menjadi prasyarat program JPS, yang dananya
dari pinjaman luar negeri. Penerapan di daerah, wallahu a’alam, karena tak ada laporan
mengenai hal ini. Jawaban atas lima pertanyaan tersebut menjadi pertimbangan penting untuk
memilih opsi-opsi atau alternatif solusi pada masa depan dan sedikit menjelaskan solusi masa
kini yang baru saja diputuskan oleh pemerintah.

Solusi Masa Depan

Dengan mengkaji pertanyaan-pertanyaan dan masalah yang dikemukakan sebelumnya kita


amati bahwa pemerintah d.h.i Mendiknas memutuskan penghapusan Ebtanas sekolah dasar,
sekolah dasar luar biasa, sekolah luar biasa tingkat dasar, dan madrasah ibtidaiyah dengan
Kepmen No. 011/U/2002, dan sekaligus mengambil keputusan tentang Sistem Penilaian di
Sekolah Dasar (yang setingkat) dengan Kepmen No. 012/U/2002, keduanya tertanggal 28
Januari 2002. Ada 3 pertimbangan penting yang mendasari penghapusan Ebtanas sekolah dasar.
Pertama, adalah dalam rangka mendukung wajib belajar 9 tahun, perlu penyesuaian sistem
penilaian di sekolah dasar. Kedua, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan

Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa No. 1/XXI/2002

Mimbar Pendidikan 20
mencapai sumber daya manusia yang berkualitas, sesuai dengan standar kompetensi yang
ditetapkan secara nasional perlu dilakukan penilaian hasil belajar secara sistematis dan
berkelanjutan. Ketiga, dalam rangka memberdayakan sekolah dan sesuai dengan prinsip
manajemen pendidikan berbasis sekolah, perlu lebih banyak memberikan kewenangan kepada
sekolah dalam penyelenggaraan penilaian. Yang perlu dicatat dari pertimbangan tersebut,
adalah bahwa kebijakan wajib belajar 9 tahun perlu didukung dengan penyesuaian sistem
penilaian (yang bukan dalam bentuk Ebtanas). Selanjutnya, ditegaskan bahwa mutu harus tetap
dijaga, sesuai standar kompetensi secara nasional, yang pencapaiannya dipantau terus oleh
sekolah melalui penilaian berkelanjutan. Dan akhirnya sekolah diberi kepercayaan penuh di
dalam pengelolaan proses pendidikan (termasuk pembelajaran) sampai menilai hasilnya (sesuai
kebijakan SBM atau MBS). Sementara itu pada Kepmen No. 12/U/2002, pertimbangan pertama,
kedua dan ketiga sama, sedangkan pertimbangan keempatnya menyatakan perlunya Sistem
Penyelenggaraan Penilaian Hasil Belajar di Sekolah dasar dan sekolah-sekolah lainnya yang
setingkat. Yang manarik dalam pengaturan sistem penilaian ini adalah ada penilaian di sekolah
yang terdiri dari Penilaian Kelas dan Ujian, ada penilaian tes kemampuan dasar dan penilaian
mutu pendidikan. Penilaian tes kemampuan dasar dan penilaian mutu pendidikan dapat
dilakukan oleh Pemerintah (pusat) dan Dinas Propinsi/Kanwil (untuk Depag). Sistem penilaian
SD ini lebih komprehensip, dalam arti baik caranya maupun aspek yang dinilai terutama yang
dilakukan oleh sekolah (kognitif, efektif dan psykomotor), demikian pula caranya mencakup tes
tertulis, lisan, perbuatan/praktek, penugasan, serta potopolio. Pokoknya seperti lazimnya
sekolah yang baik. Yang lebih penting lagi, pada akhir kelas terakhir ada ujian sekolah (bukan
ebta sekolah),

karena evaluasi lebih pas untuk proses yang lebih menyeluruh. Catatan lain yang masih
membawa misi Ebtanas untuk menjamin kompetensi adalah adanya tes kemampuan dasar yang
meliputi baca, tulis, hitung saja dan dilakukan pada akhir kelas III. Sementara penilaian mutu
pendidikan akan dilakukan secara sampling untuk untuk mata pelajaran dan kelas tertentu
sesuai keperluan. Nampak bahwa ada penilaian kelas, ujian (sekolah) tes kompetensi dan
penilaian mutu, semuanya berusaha menjawab berbagai keperluan sekaligus. Diharapkan
bahwa model baru ini tidak malah menambah mahalnya penilaian keseluruhan dibanding
dengan Ebtanas. Diharapkan dengan ujian yang diselenggarakan oleh sekolah ini tidak
memusingkan sekolah, karena giliran menyerahkan ujian pada sekolah, tuntutan pusat justru
lebih bermacam-macam dari pada saat Ebtanas, yang sebutannya justru evaluasi. Sebenarnya
kalau sekolah terbiasa melakukan proses pendidikan dengan baik, tak perlu pusing dan bingung.
Kalau memutuskan anak untuk naik kelas, dari kelas V ke kelas VI saja bisa, Masa iya (seperti)
menaikkan anak dari kelas VI ke VII (maksudnya tamat SD) tidak bisa. Itukan tugas sehari-hari
guru/sekolah?. Sementara itu untuk SLTP-SMU dan SMK, termasuk sekolah yang setingkat ada
ujian akhir nasional, sebutan bukan Ebtanas.Di dalam sistem ujian akhir nasional yang baru ini
ujian diusahakan lebih komperhensip sesuai dengan kurikulum. Mata pelajaran tertentu,
terutama praktek dan yang dulu tidak di Ebtanskan termasuk diujikan hanya baik
penyelenggaraan maupun bahannya dilakukan oleh sekolah, tetapi ada panduan dari pusat. Ada
perbedaan sengit, dengan diubahnya kata evaluasi dengan ujian yang menyangkut hasilnya. Kita
ujian mengandung konotasi bahwa hasilnya ada yang lulus dan ada yang gagal, tidak bisa
setengah-setengah. Sementara di lain pihak ada yang berfikir mempertimbangkan masa transisi,
sehingga hasilnya cukup diberi peringkat (pridikat), dan digunakan sebagai salah satu bahan
pertimbangan penentuan tamat belajar (memperoleh STTB= surat tanda tamat belajar).

No. 1/XXI/2002 Umaedi, Ebtanas: Apa, Mengapa

Mimbar Pendidikan 21

Ada kompromi lain, bahwa sebagai konsekwensi adanya peringkat nilai yang disebutkan di
dalam daftar nilai ujian, maka yang bersangkutan boleh menempuh ujian ulangan kalau ingin
memperbaiki nilai, dan tak perlu nunggu satu tahun, dengan maksimum dua kali. Tentang
kekuatiran adanya seleksi masuk SLTP bagi lulusan SD (yang ujiannya sudah dilakukan oleh
sekolah) tak perlu terjadi. Sebab pada dasarnya (dalam rangka wajar 9 tahun) semua pemegang
STTB SD dan sekolah setingkat dengan usia yang sesuai, berhak masuk SLTP. Persoalannya, kalau
kebetulan SLTP yang dituju merupakan sekolah favorit, sehingga pendaftar melebihi daya
tampung untuk kelas I, maka perlu seleksi yang dilakukan oleh sekolah yang bersangkutan.
Bentuk seleksi bisa memperhatikan rapor, hasil ujian sekolah atau prestasi dibidang seni atau
apa terserah sekolah yang bersangkutan dan dirundingkan dengan guru dan orang tua (komite
sekolah). Yang penting obyektif dan transparan, diumumkan terbuka. Kalau pendaftar tidak
melebihi kapasitas, tentu harus diterima semua. Menurut catatan sekolah yang kelebihan
pendaftar tidak banyak dari pada sekolah yang biasa-biasa saja, dan terutama di kota-kota
besar. Jadi, jangan masalah seleksi masuk yang dikedepankan dulu. Rasanya opsi-opsi ke depan
masih akan dinamis, tergatung pengalaman praktek dan masukan-masukan dari para pakar,
yang penting bagaimana menjamin mutu. Pembicaraan juga akan bersayap, tergantung
pengertian mutu. Ada pengertian absolut, ada pengertian standar (mutu

menurut standar), ada pengertian mutu menurut konsumen. Kalau kita mengajar mutu “beyond
the standar” maka ujian nasional belum dapat menjamin daya saing, karena ujian nasional
hanya menjadi “bench mark” yang bisa dinaikkan atau diturunkan standarnya.

Penutup

Penulis tidak dapat memberikan solusi yang telak terhadap masalah ini. Bukan karena tidak
berani mendahului “karsanya yang maha tahu”, tetapi dari bahan diskusi yang dikemukakan dan
masalah yang menyangkut lima pertanyaan kebijakan, pembaca dapat menerka pendapat/opini
penulis. Terhadap kebijakan yang dinamis, terus mengalami perubahan/penyempurnaan
dikritik, katanya membingungkan, pemborosan, asal berubah dan seterusnya. Sebaliknya, kalau
tidak ada perubahan dikatai juga, katanya tidak responsive, tidak reformis, bahkan dikatain tak
punya “sense of crisis” dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Grodhund, Norman E. 1998. Assesment of Student Achievement. Boston and London : Allyn and
Boton.

Marzamo, Robert J. Debra J. Pickering and Jay McTighe. 1994. Assesing Student Outotomes:
Performance Assesment Using the Dimensious of Learning Model. Alexandria, Virginia
USA:ASCD.

Arikunto Suharsimi. 1987. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Bert, John W. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

3. See discussions, stats, and author profiles for this publication at:
https://www.researchgate.net/publication/273119152 Perlukah ujian nasional online?

Article · March 2015

CITATIONS 0

READS 583

1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Preservice EFL teachers' performance in a teaching practicum program View project

Herri Mulyono Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka 23 PUBLICATIONS 13 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Herri Mulyono on 04 March 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

3.Perlukah ujian nasional online?1

Oleh: Herri Mulyono*


Tidak lama lagi perhelatan besar bernama ujian nasional akan segera di lakukan serentak di
sekolah seluruh tanah air. Walaupun tidak lagi menjadi penentu kelulusan, kredibilitas
pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dipertaruhkan.
Khususnya dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN) yang bebas dari kecurangan. Salah satu
alternatif yang di gadang-gadang pemerintah adalah melalui penyelenggaraan UN secara online,
atau ujian berbasis komputer.

Penjajakan pemerintah terhadap kemungkinan pelaksanaan UN secara online gencar dilakukan


melalui proyek piloting di beberapa sekolah di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan kota-
kota lainnya. Bagi sekolah, piloting UN online merupakan bentuk prestise serta unjuk gigi
tentang kualitas sarana dan prasarana TIK yang ada. Wajar saja demi prestise tersebut sekolah
yang ditunjuk mulai melakukan pembenahan terhadap kualitas infrastruktur yang ada, serta
melatih calon-calon operator dan tenaga administrasi ujian online. Tentunya agar tidak ada
masalah dalam pelaksanaan ujian online.

Efektivitas Pemanfaatan komputer sebagai alat test memberikan banyak keuntungan, terutama
dalam kemudahan administrasi, efektivitas penilaian, dan yang pasti terkait dengan efektivitas
biaya. Selain dapat memberikan motivasi kepada siswa, UN online juga dilihat dapat mencegah
kebocoran dan menghindari beragam kecurangan dalam pelaksanaannya. Sehingga melalui UN
online dapat diperoleh hasil ujian yang dapat dipercaya.

Namun, pemanfaatan komputer sebagai media ujian di sekolah tidak melulu lebih baik
dibandingkan dengan ujian konvensional menggunakan kertas. Selain radiasi komputer yang
berdampak pada kelelahan mata dalam membaca soal, ujian berbasis komputer ternyata
memiliki kompleksitas tinggi yang tidak hanya bergantung kepada infrastruktur. Bila tidak
ditangani dengan baik, penggunaan komputer tidak lebih efektif atau bahkan dapat berdampak
negatif dibandingkan dengan cara yang konvensional, baik dalam proses pelaksanaannya
maupun terkait dengan hasil ujian.

Dalam kualitas hasil ujian misalnya, hasil penelitian Jeong (2014) memperlihatkan bahwa nilai
ujian siswa Korea yang menggunakan cara konvensional dengan kertas ternyata lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang menggunakan komputer. Padahal, dibandingkan dengan siswa
di tanah air, siswa Korea memiliki tingkat kedekatan dan literasi teknologi yang jauh lebih tinggi
seperti pada komputer, internet, dan perangkat TIK lainnya.
Belajar dari kasus di Korea ini, pemerintah harus melihat bahwa pada hakekatnya ujian berbasis
komputer tidak hanya berbicara tentang instruksi, soal, dan bagaimana cara siswa menjawab
melalui perangkat komputer. Tetapi juga bagaimana interaksi antara siswa pengguna dan
komputer dapat

1 Artikel opini diterbitkan pada Harian Waspada, 4 Maret 2015, dapat diakses di
http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=41592:perlukah-
ujian-nasionalonline&catid=59:opini&Itemid=215

dijaga melalui desain komputer yang interaktif serta ramah/mudah. Selain itu, guru juga harus
memiliki pemahaman yang baik tentang sistem dan prosedur ujian berbasis komputer. Sikap
dan perhatian guru terhadap urgensi pembelajaran berbasis teknologi menjadi faktor penentu
terhadap pilihan, aplikasi serta keberhasilan ujian berbasis komputer.

Dalam hal proses pembelajaran, penggunaan komputer sebagai alat ujian tidak bisa muncul
begitu saja pada tahap evaluasi. Tetapi, terintegrasi pada sistem pembelajaran digital yang telah
dilakukan di ruang kelas. Artinya, guru dan siswa harus sudah menggunakan perangkat
teknologi dalam proses pembelajaran. Jika dalam proses pembelajaran perangkat TIK seperti
komputer belum digunakan untuk mendukung kegiatan belajar dan mengajar, maka akan sangat
sulit untuk memprediksi keberhasilan dari penggunaan TIK sebagai alat ujian seperti UN online.

Infrastruktur Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat ketimpangan teknologi di sekolah-
sekolah di tanah air. Fasilitas TIK di kota-kota besar cukup memadai seperti ketersediaan
komputer, laptop, LCD projector, ruang atau laboratorium multimedia sampai dengan papan
tulis elektronik. Namun, kesiapan dan kondisi perangkat TIK yang ada di sekolah di daerah
terpencil akan menjadi tantangan berat bila pemerintah tetap bersikeras menjalankan UN
secara online.

Bukan hanya keterbatasan jumlah komputer tetap yang lebih memprihatinkan adalah pasokan
listrik yang sering bermasalah atau bahkan tidak ada sama sekali. Jangankan berbicara tentang
fasilitas TIK yang modern, banyak sekolah di tanah air masih berjuang untuk mendapatkan akses
listrik sekedar untuk penerangan. Kondisi ini memunculkan rasa skeptis terhadap pelaksanaan
ujian nasional secara online.
Pemanfaatan TIK untuk ujian online sebenarnya bukan hal yang baru di dunia pendidikan tanah
air. Ujian online dalam dunia pendidikan tanah air telah digunakan secara massive dalam ujian
kompetensi guru (UKG) beberapa waktu lalu. Sayangnya, UKG yang menghabiskan dana miliaran
rupiah tersebut penuh masalah dan tidak jauh lebih baik dari ujian konvensional. Misalnya,
layout soal ujian yang tidak ada gambarnya karena permasalahan dalam sistem komputer. Juga
jaringan komputer yang sering bermasalah ketika koneksi internet.

Akibatnya, UKG online yang direncanakan serentak harus dilaksanakan berdasarkan kesiapan
dari masing-masing dinas pendidikan daerah. Beragam permasalahan inilah yang kemudian
berdampak pada kondisi psikologis peserta ujian seperti berkurangnya motivasi, keraguan
dalam pelaksanaan ujian, serta sampai pada tingkat depresi.

Bila pemerintah serius untuk melaksanakan ujian nasional secara online, maka pemerintah
perlu menjamin ketersediaan infrastruktur yang mendukung. Bila pembelajaran di sekolah
belum terintegrasi TIK dan infrastruktur yang ada tidak berfungsi dengan baik, maka ujian
nasional secara online tidak akan mampu merefleksikan hasil belajar siswa yang sebenarnya.
Dan pertanyaannya kemudian, masih perlukan ujian nasional secara online?

*Dosen FKIP UHAMKA Jakarta, kandidat doktor bidang pendidikan di The University of York, UK

4. UJIAN NASIONAL (UN), MASIH PERLUKAH?

Oleh: Setyo Hartanto Widyaiswara LPPKS Setyohartanto@lppks.org

ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dampak baik dan dampak buruk (kelebihan
dan kekurangan) Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia, sehingga diketahui pula masih
perlukah Ujian Nasional ini diberlakukan lagi tiap-tiap tahun? Hal ini berdasarkan berbagai
penjelasan bermacam-macam pertimbangan dan kajian-kajian di dalam Ujian Nasional itu
sendiri. Ujian nasional lebih tepat jika berkomplementer dengan Ujian Sekolah. Ujian Nasional
hanya sebagai gagasan dan tetap hanya sebagai pemetaaan Standar Nasional Pendidikan (SNP)
jangan sampai dijadikan standar kelulusan tingkat nasional. Ujian Nasional berdasarkan filosofi
pendidikan yang berpedoman dengan falsafah Pancasila menunjukkan adanya kepentingan
menyelamatkan salah satu ciri khas dan budaya bangsa Indonesia, dengan alasan keterkaitan
atau tidak terpisahkannya antara ujian nasional dengan tujuan pendidikan nasional. Kata kunci:
Ujian Nasional, Ujian Sekolah, Tujuan Pendidikan Nasional
ABSTRACT

This paper aims to determine the effects of good and bad effects ( advantages and
disadvantages ) Implementation of National Examination in Indonesia , is it necessary to note
also the National Examination is applied again each year ? It is based on a variety of
explanations various considerations and studies at the National Examination itself . The
national test is more appropriate if berkomplementer with Exams . National exams just as the
idea and remained only as mapping the National Education Standards ( NES ) should not be
used as a passing standard national level . National Exam based educational philosophy guided
by the philosophy of Pancasila shows the interest of saving one of the characteristics and
culture of Indonesia , with reason or inseparable connection between the national exam with
national education goals . Keywords : National Exam , Exams , National Education Goals

5. Nadwa | Jurnal Pendidikan Islam Vol. 7, Nomor 1, April 2013

Ujian Nasional, Dulu, Kini dan yang Akan Datang: Tinjauan Normatif

Muntholi’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Email:


lilikmuntholiah@yahoo.com

Abstract The policy of the National Examination (UN) continues to get criticism from education
experts, practitioners, as well as various elements of society. With the problems happen in the
implementation of National Examination, it can be affirmed that the impacts of its
implementation are more harmful than the objectives to be achieved. Considering the
imbalances and disadvantages of the National Examination implementation, the government
through the Ministry of Education should have to be more thoughtful and immediately review
the policy comprehensively. Thus, the purpose of education should be tailored to the interests
of Indonesia, which is stated and defined in the the National Education Law No. 20/ 2003 on
National Education System Chapter II, Article 3.

Keywords: comprehensive, evaluation principles, education quality, hypocrite, instruments


validity

Abstrak Kebijakan Ujian Nasional (UN) terus menuai kritik dari para pakar dan praktisi
pendidikan serta berbagai kalangan masyarakat. Melihat banyaknya permasalahan dan carut-
marut dalam pelaksanaan Ujian Nasional dapat ditegaskan bahwa dampak dari
penyelenggaraan UN lebih banyak mudaratnya dari pada tujuan yang ingin dicapai. Menilik
berbagai ketimpangan dan kemudaratan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan UN, maka
seyogianya pemerintah melalui Kemendiknas harus bersikap lebih bijaksana dan segera
mengkaji ulang kebijakan UN secara komprehensif. Dengan demikian maka tujuan pendidikan
yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini
tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3. Kata kunci: komprehensif, prinsip
evaluasi, kualitas pendidikan hipokrit, validitas instrumen

162 | Muntholi’ah

A. Pendahuluan Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap
pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah,
sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun
menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana
tertulis dalam pembukaan Undangundang Dasar 1945 alenia ke 4, yang berbunyi: Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban duniayang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1 Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak
dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan
pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

1 Kitab Undang-undang Dasar 1945. 2 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3 Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini
disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk
evaluasi. Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, kita akan mengetahui bahwa setiap jenis atau
bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu
mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan,
selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun
oleh pendidik. Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat
dipisahkan dari komponen pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi
dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi
tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan
sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan
hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. Evaluasi pendidikan juga merupakan
ranah teknologi pendidikan.4 Ranah ini tentu tidak terpisahkan dengan ranah lain yaitu desain
(design), pengembangan (development), penggunaan (utilization) dan pengelolaan
(management). Oleh karena itu dalam menentukan sebuah mekanisme evaluasi perlu melihat
ranah yang lain sehingga dapat dihasilkan hasil belajar atau potret “nilai” peserta belajar secara
komprehensif.

3 Undang Undang Nomor 20 ... 4 Seels, Barbara B. and Richey, Rita C. Instructional Technology:
The Definition and Domains of the Field. (Wahington: AECT, 1994).

164 | Muntholi’ah

Definisi Teknologi Pendidikan tahun 2004 lebih luas mencakup studi dan praktik etis
memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan menciptakan, menggunakan dan
mengelola proses teknologi yang cocok dan sumberdaya5. Di dalam fasilitasi tersebut masuk
unsur evaluasi dalam rangka memastikan bahwa hasil belajar telah tercapai sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Namun pada tingkat praktik, ternyata pandangan teoretis ini tidak
atau belum terealisasi dengan baik. Salah satu masalah yang terkait dengan teori, model dan
keputusan dalam pelaksanaan evaluasi (yang merupakan ranah teknologi pendidikan) adalah
keputusan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) bagi semua jenjang pendidikan sekolah.

B. Kebijakan Kebijakan Ujian Nasional (UN) mulai diberlakukan sejak tahun 2002. UN saat itu
bertujuan menggantikan model evaluasi akhir belajar yang dikenal dengan Evaluasi Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS). Dipandang perlu untuk diuraikakan secara detail tentang sejarah kebijakan
evaluasi secara nasional yang pernah berlaku di Indonesia untuk menambah wawasan kita yang
mempunyai atensi dalam dunia pendidikan kita, sebagai berikut: 1. Periode tahun 1950-1960-
an. Pada periode ini ujian kelulusan disebut dengan ujian penghabisan dan diadakan secara
nasional serta soal-soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal-
soal yang diujikan berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon. 2. Periode tahun
1965 – 1971. Pada periode ini, semua mata pelajaran diujikan dalam hajatan yang disebut ujian
negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di
Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat. Peserta ujian disilang antar-
sekolah sehingga dalam satu ruang ujian, peserta yang berasal dari sekolah yang sama paling
banyak 2 sampai dengan 3 orang (untuk Sekolah Dasar). Pelaksana dan penentu kelulusan ujian
adalah pemerintah. Pada Ujian Negara maupun Ujian Sekolah
5 Januszewski, dkk., Educational Technology: A Definition with Commentary. (New York:
Lawrence Erlbaum Associates. 2004).

(Nilai Raport) ditetapkan nilai kelulusan adalah di atas 4. Artinya, siswa yang bernilai 4 ke bawah
tidak lulus atau tidak naik kelas. 3. Periode tahun 1972 – 1979. Pada periode ini, pemerintah
memberi kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah menyelenggarakan ujian
sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok sekolah.
Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum. Penentuan kelulusan
berdasarkan hasil Ujian Sekolah. Penentu kelulusan adalah sekolah. 4. Periode tahun 1980 –
2001. Pada Periode ini mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut EBTANAS
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk, yaitu
EBTANAS untuk mata pelajaran tertentu dan EBTA untuk mata pelajaran nonEBTANAS. EBTANAS
dikoordinasi oleh pemerintah pusat dan EBTA dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Dalam
EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “paralel” untuk setiap mata pelajaran,
dan penggandaan soal dilakukan di daerah. Penyelenggara ujian adalah sekolah dan
pemerintah. Pada awalnya hasil EBTANAS tidak dijadikan penentu kelulusan. Namun tahun
berikutnya dijadikan salah satu penentu kelulusan walau tidak dijadikan satu-satunya penentu
kelulusan sehingga kelulusan bisa mencapai 100%. Penentu kelulusan siswa adalah sekolah,
yang ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai EBTANAS
murni (R). 5. Periode tahun 2002 – 2004. Pada periode ini, EBTANAS diganti dengan nama Ujian
Akhir Nasional (UAN). Penyelenggara ujian adalah sekolah dan pemerintah. Penentu kelulusan
adalah sekolah dengan kebijakan standar kelulusan tiap tahun berbeda-beda. Pada UAN tahun
2002 kelulusan ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Pada UAN tahun 2003
standar kelulusan adalah 3,10 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6,00. Soal
ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang
tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya. Pada
UAN tahun 2004, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran
4,10 dan tidak ada nilai rata

166 | Muntholi’ah

rata minimal. Pada mulanya UAN tahun 2004 ini tidak ada ujian ulang bagi yang tidak/belum
lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masayarakat, akhirnya diadakan
ujian ulang. Pada UAN 2004 ini terdapat kontroversi tentang Konversi Nilai UAN yang dianggap
merugikan siswa-siswa yang pandai dan lebih menguntungkan siswa yang kurang pandai. 6.
Periode tahun 2005 – 2010. Pada periode ini, UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional
(UN). Penyelenggara ujian adalah sekolah (satuan tingkat pendidikan) dan pemerintah. Penentu
kelulusan adalah sekolah (satuan tingkat pendidikan) dengan batas/standar kelulusan nasional,
yang setiap tahun berbeda-beda. Pada UN tahun 2005 minimal nilai untuk setiap mata pelajaran
adalah 4,25. Pada UN tahun 2005 ini para siswa yang belum lulus pada tahap I boleh mengikuti
UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Pada UN 2005, sesuai janji
Mendiknas yaitu tidak ada lagi konversi nilai seperti tahun sebelumnya. Berkaitan dengan hasil
Ujian Nasional tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan kepada siswa yang belum lulus
Ujian Nasional tahap pertama, mengikuti Ujian Nasional tahap kedua hanya untuk mata
pelajaran yang belum lulus. Selain itu, Depdiknas mengeluarkan edaran kepada perguruan tinggi
dan SMA/MA/SMK bahwa mereka dapat melakukan penerimaan bersyarat bagi siswa yang
belum lulus UN. Artinya bagi siswa yang tidak lulus UN, tetap bisa mengikuti SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru). Jika ternyata lulus seleksi masuk di perguruan tinggi, maka
haknya bisa dipenuhi apabila telah lulus pada Ujian Nasional tahap kedua. Untuk tahun
pelajaran 2005/2006, pemerintah tidak lagi bertindak sebagai penyelenggara ujian nasional.
Wewenang tersebut dilimpahkan kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Tujuan utama
pemerintah dalam UN selama ini adalah untuk memetakan mutu pendidikan. Termasuk di
dalamnya pemetaan terhadap daya serap siswa terhadap mata pelajaran yang diujikan. Pada UN
tahun 2006 standar kelulusan minimal adalah 4,25 untuk tiap mata pelajaran yang diujikan dan
rata-rata nilai harus lebih dari 4,50 dan tidak ada ujian ulang. Pada UN tahun 2007 terdapat dua
kriteria kelulusan, yaitu: (1) Nilai

rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran dengan tidak ada nilai di bawah 4,25; (2)
Jika nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan, maka nilai pada dua mata
pelajaran lainnya adalah 6,00. Pada UN tahun 2007 ini tidak ada ujian ulang. Bagi yang tidak
lulus disarankan untuk mengambil Paket C untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN
tahun depan. Pada UN tahun 2008 mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula
tiga, pada tahun ini menjadi enam (SMA). Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria
yang hampir sama dengan tahun 2007 hanya saja terdapat penambahan nilai rata-rata untuk
seluruh mata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan
IPA minimal adalah 5,25 dengan tidak ada nilai di bawah 4,25. Penambahan mata pelajaran
pada UN tahun 2008 ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan
tingkat keseriusan antara mata pelajaran yang di-UN-kan dan yang tidak. Pada tahun 2010,
pelaksanaan ujian terdiri atas Ujian Nasional Utama dan Ulangan. Selain itu, mulai tahun
pelajaran 2008/2009, pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional
untuk SD/MI/SDLB. 7. Periode tahun 2011. Pemerintah dan Badan Standar Pendidikan Nasional
telah siap dengan formula baru penilaian kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Untuk itu,
pelaksanaan ujian nasional tahun ajaran 2010/2011 hanya dilaksanakan satu kali pada bulan
Mei 2011. Penilaian kelulusan antara UN dan hasil belajar di sekolah tidak lagi saling memveto,
namun bisa saling membantu. Untuk itu, penilaian UN digabung dengan nilai dari sekolah.
Kelulusan peserta didik sebagaimana tercantum dalam Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010
tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah,
Sekolah Menengah Atas Luar Biasa, dan Sekolah Menengah Kejuruan Tahun Pelajaran
2010/2011. Pasal 5 menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus US/M SMP/MTs, SMPLB,
SMA/MA, SMALB, dan SMK apabila peserta didik telah memenuhi kriteria kelulusan yang
ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan Nilai S/M.

168 | Muntholi’ah

Nilai S/M sebagaimana dimaksud diperoleh dari gabungan antara nilai US/M dan nilai rata-rata
rapor semester 1, 2, 3, 4, dan semester 5 untuk SMP/MTs dan SMPLB dengan pembobotan 60%
(enam puluh persen) untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk nilai rata-rata
rapor. Nilai S/M sebagaimana dimaksud diperoleh dari gabungan antara nilai US/M dan nilai
rata-rata rapor semester 3, 4, dan semester 5 untuk SMA/MA, SMALB dan SMK dengan
pembobotan 60% (enam puluh persen) untuk nilai US/M dan 40% (empat puluh persen) untuk
nilai rata-rata rapor.6 Dalam Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan
Peserta Didik, Pasal 6 menyebutkan bahwa kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan
berdasarkan NA. NA diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai S/M dari mata pelajaran yang
diujinasionalkan dan Nilai UN, dengan pembobotan 40% (empat puluh persen) untuk Nilai S/M
dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% (enam puluh persen) untuk Nilai UN. Peserta
didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA sebagaimana dimaksud
mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0
(empat koma nol).7 Selanjutnya Pasal 7 menyebutkan bahwa kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan melalui rapat dewan guru berdasarkan
kriteria kelulusan: (1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (2) memperoleh nilai
minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani,
olah raga, dan kesehatan; (3) lulus US untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi; dan (4) lulus UN. Kelulusan ditentukan oleh Satuan Pendidikan berdasarkan hasil
rapat Dewan Guru dengan memperhatikan nilai akhlaq mulia. Untuk tahun 2011, nilai murni
(UN) digunakan untuk penentuan nilai kelulusan masuk Perguruan Tinggi.

6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik. 7


Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 ....,

C. Permasalahan Dengan melihat perkembangan ujian nasional di atas, dapat kita tarik benang
merah bahwa UN mengalami berbagai perubahan dalam mekanisme penyusunan dan
pelaksanaan serta penentuan pemberian arti terhadap hasilnya. Hal ini, menurut pandangan
kelompok kami, menunjukkan bahwa konsep dan penerapan UN ternyata masih mengalami
semacam trial and error. Idealnya sebuah kebijakan ditetapkan melalui telaahan objek formal
dan uji publik. Apakah memang benar bahwa untuk mengetahui hasil belajar dapat diketahui
dari sebuah alat tes. Apakah instrumen evaluasi yang lain tidak perlu dipergunakan, seperti
pengamatan (observasi), uji keterampilan. Sepertinya tahapan ini dalam menentukan kebijakan
UN tidak sepenuhnya dilalui. Hal ini terlihat dari indikator banyaknya permasalahan yang timbul
dari pelaksanaan UN mulia dari penolakan dari beberapa pihak sampai dengan permasalahan
etika penyelenggaraannya. Argumentasi Pemerintah bahwa UN adalah sebagai salah satu cara
untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pelajaran secara nasional memang masuk akal.
Dengan adanya UN, diharapkan mutu pendidikan Indonesia meningkat dan “compatible” secara
nasional sehingga dapat diprediksi sekaligus dibandingkan antara siswa yang ada di kota-kota
yang berbeda di seluruh tanah air karena telah mengikuti UN dengan satu standar penilaian.
Namun sebagai suatu proses, UN harus memperhatikan unsur lain dalam proses pendidikan,
dan Pemerintah telah menerbitkan aturan tersebut Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah). Namun kenyataannya di
lapangan banyak sekali permasalahan yang timbul mulai dari segi administrasi (distribusi yang
terkesan amburadul, risiko kebocoran soal), maupun pedagogis. Banyak peserta didik yang
frustasi bahkan di antaranya sampai nekat melakukan pelanggaraan dengan berbagai cara
(mencontek, meminta jawaban melalui SMS, dll) karena merasa tertekan dan cemas yang
berlebihan takut tidak lulus. Ini menunjukkan bahwa Ujian Nasional (UN) tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan telah mengesampingkan aspek paedagogis dalam
pendidikan. Ujian Nasional (UN) telah membuat peserta didik banyak kehilangan kesempatan
untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa dalam proses pembelajaran.

170 | Muntholi’ah

Ujian Nasional (UN) juga telah mengaburkan tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai
seperti tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003. UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu
pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan
dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi
penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UAN merupakan salah satu bentuk
evaluasi belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap “penting”, walaupun masih ada perdebatan tentang mengapa mata pelajaran itu yang
penting dan apakah itu berarti yang lain tidak penting. Benarkah bahwa matematika, IPA, dan
Bahasa Inggris merupakan tiga mata pelajaran yang paling penting? Pertanyaan yang muncul
adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab semua informasi yang
diperlukan dalam pencapaian tujuan? Apakah UN dapat memberikan informasi tentang
keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UN dapat
menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah UN dapat menjawab sikap
demokratis anak? Dapatkah UAN memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut? Evaluasi seharusnya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam UndangUndang No. 20
Tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana
kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu
penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang
mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi?
Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya? Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang
dirasa sulit oleh anak?8 UN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi

8 McNeil, John D. Curriculum A Comprehensive Introduction. (Boston: Little, Brown and


Company, 1977), hlm.134-135.

menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan.
Dalam Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan,
fungsi, dan bentuk ujian. Pertama, bahwa pelaksanaan UN bertujuan untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul
beberapa pertanyaan antara lain: 1. Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun
pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik? 2. Dapatkah
tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian? 3. Dapatkah tes tertulis
melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak? 4. Dapatkah tes di ujung tahun ajaran
menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya? 5. Bagaimana kalau terjadi anak sakit pada
saat mengikuti tes? 6. Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan
anak selama mengikuti pelajaran? Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk
memperoleh jawabannya bila dengan hanya memberikan tes pada akhir tahun pelajaran. Hasil
belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga berupa
keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan
menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Dengan kata lain terjadi pertentangan
antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil
belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun pelajaran saja. Kedua,
tujuan ujian sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mendiknas di atas adalah untuk
mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.
Lagi pertanyaan yang serupa dengan pertanyaanpertanyaan di atas muncul, seperti apakah
mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun
ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah
bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat
nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan

172 | Muntholi’ah

UAN sebagaimana yang dipraktikkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu
pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan
terdapat indikasi bahwa soal-soal UN (yang dulu disebut EBTANAS) berbeda dari tahun ke tahun,
dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara
tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya
memberikan tes pada beberapa mata pelajaran “penting” saja, apalagi dilaksanakan sekali di
akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan
yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UN tidak
akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal
seni, olah raga, dan menyanyi. UN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya
diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan
kata lain, UN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu
pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UN. Ketiga, ujian bertujuan untuk mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Adalah ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan
terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk
membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreatif yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata lain, UN
belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan kepada masyarakat. Jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UN juga tidak sejalan
dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu “diversifikasi
kurikulum”. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan
dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi
yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan
kota relatif lebih baik karena

sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan
prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak
qualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UN untuk semua sekolah di Indonesia telah
melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidak adilan karena ibarat mengetes atletik
tingkat pelatnas yang setiap hari dilatih dengan segala sarana dan prasarana termasuk pelatih
yang memadai dengan atletik kampung yang memiliki sarana seadanya. Tentu saja hasilnya jauh
berbeda, tetapi kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka. Pelaksanaan UN hanya
pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri.
Benarkah hanya matematika, bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran penting?
Bagaimana kalau ada anak yang memiliki bakat untuk melukis, apakah itu berarti bahwa
pelajaran seni jelas merupakan pelajaran penting bagi dia? Bagaimana juga dengan anak yang
bercita-cita menjadi olahragawan yang berarti bahwa pelajaran olah raga merupakan pelajaran
yang penting bagi dia? Kalau begitu kata “penting” di sini untuk siapa? Pelaksanaan UN pada
beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan mata pelajaran
tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat
terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran
yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang
tidak dilakukan pengujian. Beberapa orang berpendapat bahwa UN bertentangan dengan
kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004. Hal ini
dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya
kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi
sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan
tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UN telah membuat otonomi
sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UN yang diatur dari
pusat. Selain itu UN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan
yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya

174 | Muntholi’ah

kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan
manajemen berbasis sekolah. UN telah dijadikan alat untuk “menghakimi” siswa, tetapi dengan
cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.00. Dengan
menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia
memang ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4
dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada
bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di
atas 6. Dengan kata lain, UN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah
telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan
prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan. Bila
dilihat dari sudut kebijakan, kemungkinan hal ini karena lemahnya pengawasan dalam
pelaksanaan kebijakan. Hal ini juga bisa disebabkan kerena belum terpenuhinya standar proses
yang telah ditetapkan.

D. Pembahasan Untuk menjawab permasalahan di atas, berikut akan dijelaskan komponen yang
terkait dengan kebijakan, kelerasan dengan ranah teknologi pendidikan dan alternatif solusi
terhadap permasalahan. 1. Kesesuaian antara kebijakan yang ada Pendidikan sebagai kebutuhan
manusia telah dijamin oleh konsitusi (UUD 1945). Setiap warga Negara berhak memperoleh
pendidikan yang layak. Pemerintah bahkan wajib menyediakan pendidikan dasar bagi seluruh
anak yang telah memenuhi persyaratan. Kesempatan memperoleh pendidikan juga sama bagi
setiap warga Negara. Akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya. Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 menyatakan pendidikan "berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal 3).9 Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan
bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Selain itu UAN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.10
Dalam UU telah dicantumkan fungsi dan tujuan pendidikan secara luas, namun evaluasi yang
dilaksanakan hanya berupa tes. Tes dalam UN berbentuk multiple choice. Dari bentuknya
terlihat ketidaksesuain antara tujuan luhur pendidikan yang termuat dalam UU. Oleh karenanya
validitas UN perlu dipertanyakan. Bila yang dituju adalah kemampuan kognitif, UN dapat
dikatakan memiliki validitas yang tinggi, namun pendidikan bukan mengenai kognitif saja; di
dalamnya terdapat aspek afektif dan psikomotor. Lalu dengan apa kedua aspek yang terakhir
disebut itu dievaluasi. Selanjutnya karena validitasnya tinggi hanya di ranah kognitif dan kurang
di ranah afektif dan psikomotor, maka otomatis hasil UN belum mampu mencerminkan hasil
belajar secara komprehensif. Terdapat aspek lain yang tidak dipotret oleh alat tes UN. Kenyataan
ini belakangan disadari oleh Pemerintah sehingga aturan main pelaksanaan UN sedikit
dimodifikasi. UN bukan lagi penentu kelulusan siswa, namun sebagai salah satu unsur penentu
nilai akhir (kelulusan). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 74 Tahun 2009 tentang
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah
Dasar Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010 dan Nomor 75 Tahun 2009 tentang
Ujian Nasional

9 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 10 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.


153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004.

176 | Muntholi’ah

SMP/SMA/SMK Tahun Pelajaran 2009/2010 menyebutkan bahwa hasil UN digunakan sebagai


salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau
satuan pendidikan. Dengan demikian nilai akhir bukan diambil bulat-bulat dari UN dalam
menentukan kelulusan.11 Adilkah UN bagi siswa? Permasalahan mengenai keadilan akan
dibahas lebih rinci dari sudut pandang teknologi pendidikan. 2. Kesesuaian dari Pandangan
Teknologi Pendidikan UN sebagai keputusan Pemerintah bersifat mengikat dan berlaku bagi
semua stakeholder yang terkait. Evaluasi pendidikan dengan menggunakan alat tes dalam UN d
satu sisi dapat dikatakan belum menyeluruh dalam memotret hasil belajar siswa. Namun karena
telah menjadi kebijakan, mau tidak mau perangkat harus menyesuaikan diri. Dari sudut
pandang teknologi pendidikan, evaluasi merupakan bagian yang terpisahkan mulai dari ranah
(domain) lainnya mulai dari pengembangan (development), penggunaan (utilization) dan
pengelolaan (management). Evaluasi harus mencerminkan bahwa tujuan belajar telah tercapai.
Pemerintah telah menentukan tujuan belajar dari setiap mata pelajaran, namun sekolah
sebenarnya juga dapat menyesuaikan tujuan belajar dengan konteks belajar setempat sesuai
dengan model Kurikulum tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Hal in dapat membuat strategi
belajar berbeda, namun tetap dengan tujuanyang sama (standar isi). Teknologi Pendidikan
mendukung sebuah evaluasi yang dilakukan dengan memperhatikan standar isi dan proses
karena hal ini menunjukkan paradigma yang holistik dalam pendidikan. Evaluasi harus mampu
menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga
kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka.12 Untuk itu evaluasi harus

11 Peraturan Menteri Pendidikan nasional Tahun 2009 tentang Ujian Nasional . 12 Soedijarto,
Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo, 1993), hlm.17.

mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem
evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar
kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang
lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi
terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat
mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat
menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan.
Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan
dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan
hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh
dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.13 Selanjutnya
berkaitan dengan proses pembelajaran, dapat disampaikan bahwa menurut Wotruba dan
Wright sebagaimana dikutip dalam Miarso terdapat tujuh indikator pembelajaran yang efektif
yaitu: a. Pengorganisasian kuliah yang baik b. Komunikasi secara efektif c. Penguasaan dan
antusiasme dalam mata pelajaran d. Sikap positip terhadap peserta didik e. Pemberian ujian
dan nilai yang adil f. Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran, dan g. Hasil belajar peserta
didik yang baik.

Ujian harus adil dengan memberikan akses informasi tentang hal-hal yang akan diujikan di akhir
tahapan pendidikan. Peserta didik perlu mengetahui apa saja yang akan diujikan dan setelah itu
umpan baliknya juga disampaikan kepada peserta didik. Untuk mengakomodasi berbagai
karakter peserta didik, maka bentuk ujian juga harus bervariasi dan dilakukan beberapa kali. Tes
yang dilakukan sekali dan

13 Soedijarto, Memantapkan Sistem ..., hlm. 27-29.

178 | Muntholi’ah

menentukan nasib peserta didik kurang memenuhi rasa keadilan. Namun dalam menanggapi
masalah UN terkait dengan pembelajaran perlu dilakukan dengan hati hati di praktik lapangan.
Banyak proses pembelajaran ditujukan hanya untuk memenuhi keterampilan menjawab soal.
Siswa seharusnya belajar tentang ilmu pengetahuan yang mampu mendorong peningkatan
kapasitas mereka, namun tidak membuat fenomena apa yang disebut dengan washback effect
di mana guru hanya mengajar siswa cara menjawab soal. 3. Alternatif Solusi Terdapat beberapa
alternatif yang dapat ditempuh untuk menengahi permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu: a.
Sejak tahun 2011, hasil UN tidak sepenuhnya dijadikan penentu kelulusan merupakan alternatif
yang paling tepat saat ini. Kelulusan ditentukan oleh nilai gabungan, yaitu Nilai Gabungan = (0,6
x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Namun untuk tahun-tahun berikutnya, hendaknya bobot nilai
UN mempunyai rasional tersendiri. Paling tidak jika penetapan bobot didasarkan pada
persentase pemenuhan standar input dan proses yang telah dipenuhi pemerintah akan dirasa
lebih rasional. Oleh karena itu, setiap tahun bobot Nilai UN ini akan berubah sesuai dengan
pemenuhan kewajiban pemerintah atas standar input dan standar prosesnya. Lebih dirasa
rasional lagi apabila setiap sekolah bobotnya berbeda disesuaikan dengan seberapa banyak
standar input dan proses telah terpenuhi. Konsekuensinya akreditasi sekolah harus dilakukan
secara berkelanjutan (minimal 6 bulan sebelum pelaksanaan UN) sebagai dasar penetapan
bobot. b. Hasil UN hanya dijadikan bahan evaluasi pencapaian standar kompetensi lulusan dan
dikaitkan dengan pemenuhan standar input dan proses oleh pemerintah. Jadi, Nilai UN sama
sekali tidak dikaitkan dengan kelulusan siswa dari satuan pendidikan sebelum pemenuhan
standar isi dan proses dipenuhi 100%. c. Apabila standar input dan standar proses telah
terpenuhi dan telah dapat disusun alat ukur yang hasil ukurnya betulbetul mencerminkan
standar output, yaitu tujuan

pendidikan nasional “manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” berdasarkan indikator-indikator yang jelas, maka
pemerintah berkewajiban melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada stakeholder
pendidikan. Penyelenggara pendidikan diberi kebebasan yang penuh untuk ber-improvisasi
tentang pengembangan kurikulum, model pembelajaran, sarana dan prasarana asal semuanya
mengacu kepada pencapaian tujuan pendidikan nasional di atas. Untuk evaluasi, pemerintah
menyelenggarakan Ujian Nasional yang sepenuhnya dijadikan penentu kelayakan lulusan. Jadi,
bisa berupa sertifikasi kompetensi lulusan pada setiap jenjang pendidikan.

E. Kesimpulan Berdasarkan pendahuluan, permasalahan dan pembahasan tersebut di atas,


penulis mencoba meninjau UN sebagai suatu kebijakan yang harus ditaati oleh para stakeholder.
Sebuah kebijakan lahir dari sebuah pemikiran. Penentu kebijakan tentu telah memikirkan baik
buruk hasil keputusan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. UN
memang penting namun perlu peningkatan baik dari segi kebijakan, isi maupun proses. 2. Bukti
empiris menunjukkan bahwa banyak terdapat kelemahan dalam penyelenggaraan UN, namun
tidak perlu sampai menghapus kebijakan ini, cukup dievaluasi kembali 3. Dari tahun ke tahun
Pemerintah berusaha menyempurnakan kualitas UN agar mampu dipergunakan secara
menyeluruh dengan hasil sesuai apa yang telah ditetapkan.

Kepustakaan Januszewski, dkk. 2004. Educational Technology: A Definition with Commentary.


New York: Lawrence Erlbaum Associates. McNeil, John D. 1977. Curriculum A Comprehensive
Introduction. Boston: Little Brown and Company.

180 | Muntholi’ah
Miarso, Yusufhadi. 2011. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 74 Tahun 2009 tentang Ujian
Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar
Luar Biasa (SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010. Peraturan Menteri Pendidikan nasional
Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional SMP/SMA/SMK Tahun Pelajaran 2009/2010.
Seels, dkk. 1994. Instructional Technology: The Definition and Domains of the Field. Wahington:
AECT. Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai
Pustaka. Soedijarto. 1993. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.
Undang Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

1. PENDAHULUAN Landasan filsosofi pendidikan di Indonesia relatif sama dengan falsafah


bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini beralasan karena Pancasila sebagai dasar Negara dan
sebagai falsafah Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar filosofi mencerminkan ciri khas dan
kepribadian Bangsa Indonesia dengan demikian falsafah Pancasila sebagai landasan filosofi
pendidikan Indonesia. Ujian Nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
pendidikan nasional, Ujian Nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan
menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional, maka dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk
menunjukan feed back dan mengembalikan pelaksanaan UN ke arah yang prosedur yang benar,
monev ini dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan
evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan. Hasil evaluasi akan dijadikan dasar
perubahan sistem ujian ke arah yang lebih baik, dan hal tersebut secara otomatis juga akan
mengubah metode pembelajaran ke arah yang lebih baik pula. Kenyataan yang terjadi
bertahun-tahun pelaksanaan Ujian Nasional dari sekolah tingkat dasar sampai tingkat
menengah masih sering terjadi permasalahan-permasalahan yang dijadikan polemik ditiap-tiap
forum-forum sosial maupun forum-forum pemerintahan. Hal ini terjadi di lapangan memang
sesuai dengan kenyataan dan laporan masyarakat luas tentang kendala-kendala yang ada,
stakeholder yang terkait atau kendala infrastruktur, persiapan penyelenggaraan, sampai pada
kendala distribusi soal, maupun penyelenggaraan di tingkat satuan pendidikan. Berdasarkan
uraikan tersebut di atas maka muncul pertanyaan klasik dan selalu dilontarkan dalam forum-
forum diskusi maupun seminar, Masih perlukah UN? Oleh karena itu melalui tulisan ini saya
akan mendeskripsikan konsep, sejarah Ujian Nasional, dan menyoroti kelemahan dan kelebihan
pelaksanaan UN, Tinjauan UN.

2. KONSEP UJIAN NASIONAL (UN) Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk mandated
examination (ujian yang diamanatkan atau di bawah pengawasan) yang didesain untuk
menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan sistem pendidikan, bukan pencapaian individu
tertentu. Menurut Miller (2009), mandated examination memiliki beberapa kegunaan, yaitu: a.
Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pendidikan untuk mendeteksi
kelemahan yang dimiliki. b. Sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan.
c. Memberikan informasi mengenai kondisi terkini dan kemajuan peserta didik serta kualitas
sekolah. d. Memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan peserta didik
untuk berusaha lebih baik.

Menurut Kellaghan dan Greaney (2001), tujuan pelaksanaan ujian negara adalah sebagai
berikut: a. Meningkatkan standar pendidikan untuk menjawab kebutuhan lapangan kerja b.
Untuk mempertahankan standar pendidikan yang sudah dimiliki. c. Memberikan informasi yang
dapat digunakan untuk mengambil keputusan terkait dengan alokasi sumber daya pembelajaran
untuk sistem pendidikan secara umum, sekolah-sekolah yang memiliki karakteristik khusus dan
sekolah berprestasi. d. Untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menetapkan
akuntabilitas prestasi belajar peserta didik. e. Ujian negara dilakukan sebagai bagian dalam
gerakan modernisasi, di bawah pengaruh pemberi modal, yang tidak terlalu memperhatikan
kesinambungan dan tidak memahami bagaimana memanfaatkan informasi yang diperoleh. f.
Untuk mengubah keseimbangan pengawasan dalam sistem pendidikan. g. Untuk mengimbangi
lemahnya praktek penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh para guru. Terdapat konsekuensi
yang muncul apabila Ujian Nasional tidak dilakukan, Ebel (1980) menyebutkan beberapa
konsekuensi yang muncul jika ujian negara tidak dilakukan, yaitu: a. Dorongan dan penghargaan
atas usaha seseorang untuk belajar akan menjadi lebih sulit. b. Kesuksesan program pendidikan
kurang dapat dinyatakan sebagai tujuan dan pencapaian kurang dapat dibuktikan. c. Keputusan-
keputusan penting terkait dengan masalah kurikulum dan metode tidak diambil berdasarkan
bukti-bukti yang kuat melainkan lebih berdasarkan pada perkiraan dan cenderung plin-plan. d.
Kesempatan menempuh pendidikan tidak berdasarkan bakat dan prestasi namun lebih
berdasarkan keturunan dan pengaruh yang dimiliki. e. Hambatan kelas sosial kurang dapat
ditembus.

3. SEJARAH UJIAN NASIONAL Dalam pelaksanaannya, sistem ujian akhir memang tidak pernah
lepas dari evaluasi dan penyempurnaan. Sejarah mencatat beberapa kali perubahan sistem
ujian hingga saat ini kita mengenalnya sebagai UN. a. Tahun 1965-1971 Sistem ujian akhir yang
dilaksanakan disebut Ujian Negara dan berlaku untuk semua mata pelajaran. Pada periode ini,
ujian masih tersentralisasi sehingga pelaksanaannya masih ditetapkan oleh pemerintah pusat.
b. Tahun 1972-1979 Pada periode ini, ujian negara dihapuskan dan diganti dengan ujian
sekolah. Sistem ini memberikan kewenangan pada tiap sekolah untuk menyelenggarakan ujian
akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil pun diserahkan kepada pihak sekolah. Peran
pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman ujian yang bersifat umum. c.
Tahun 1980-2000

Diberlakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Sistem ini diterapkan untuk
meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta memperoleh indikator (nilai) yang
bermakna “seragam” agar dapat menjadi bahan perbandingan antar sekolah. Dalam
penyelenggaraannya, Ebtanas dirasakan mempunyai banyak kelemahan baik dari segi akademis
maupun teknis penyelenggaraan. Kelemahan-kelemahan yang dijumpai, antara lain: 1)
ketidakmampuan mengukur pencapaian prestasi akademik secara komprehensif 2) pengujian
dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang singkat 3) proses pembelajaran tereduksi dan
hanya berorientasi pada Ebtanas, 4) Ebtanas hanya mampu mengumpulkan informasi terkait
dengan kemampuan kognitif saja. d. Tahun 2001-2004 Mengingat kelemahan-kelemahan yang
muncul akibat Ebtanas, pada periode ini sistem ujian akhir diganti dengan Ujian Akhir Nasional
(UAN). Perbedaan yang menonjol antara Ebtanas dengan UAN ada pada cara penentuan
kelulusan siswa. Dalam Ebtanas, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi antara nilai
semester I, nilai semester II dan nilai Ebtanas murni. Sedangkan dalam UAN, kelulusan siswa
ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. e. Tahun 2005 - KTSP Untuk mendorong
tercapainya wajib belajar yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan ujian nasional untuk
tingkat SMP dan SMA atau sederajat. Sedangkan untuk tingkat SD atau sederajat Ujian Akhir
Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) baru diterapkan pada tahun 2008 dan kini nama yang
digunakan adalah UN. f. Kurikulum 2013 Perancangan Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah
dalam Kurikulum 2013 dilakukan melalui Ujian Nasional dan ujian mutu Tingkat Kompetensi,
dengan memperhatikan hal-hal berikut. 1) Ujian Nasional Penilaian hasil belajar dalam bentuk
UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan
yang aman, jujur, dan adil. Hasil UN digunakan untuk: a) salah satu syarat kelulusan peserta
didik dari satuan pendidikan; b) salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang
pendidikan berikutnya; c) pemetaan mutu; dan d) pembinaan dan pemberian bantuan untuk
peningkatan mutu. e) Dalam rangka standarisasi UN diperlukan acuan berupa kisi-kisi bersifat
nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah, sedangkan soalnya disusun oleh Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan komposisi tertentu yang ditentukan oleh
Pemerintah. f) Sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan,
kriteria kelulusan UN ditetapkan setiap tahun oleh Pemerintah.

g) Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap UN dan menyampaikan
hasilnya kepada pihak yang berkepentingan. 2) Ujian Mutu Tingkat Kompetensi a) Ujian Mutu
Tingkat Kompetensi dilakukan oleh Pemerintah pada seluruh satuan pendidikan yang bertujuan
untuk pemetaan dan penjaminan mutu pendidikan di suatu satuan pendidikan. b) Ujian Mutu
Tingkat Kompetensi dilakukan sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikan pada jenjang
tertentu, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk perbaikan proses pembelajaran. c)
Instrumen, pelaksanaan, dan pelaporan Ujian Mutu Tingkat Kompetensi mampu memberikan
hasil yang komprehensif sebagaimana hasil studi lain dalam skala internasional.

4. TINJAUAN-TINJAUAN UJIAN NASIONAL a. Tinjauan Mekanisme Dan Prosedure Penilaian


Mekanisme dan prosedur penilaian dalam KTSP 2013 dapat penulis gambarkan sebagai berikut;
Mekanisme penilaian dapat diterjemahkan sebagai feedback (umpan balik) dari siswa tentang
ketercapaian pembelajaran yang telah dilaksanakan sebagai indikator keberhasilan guru sebagai
agen pembelajaran, hal ini bila penilaian tersebut jika dilakukan oleh guru yang mengajar mata
pelajaran tertentu. Sedangkan penilaian yang dilakukan oleh sekolah merupakan feedback dari
siswa dalam kurun waktu selama belajar di sekolah tersebut sehingga sekolah dapat
memberikan predikat maupun prestasi sebagai hasil anak didik di akhir tahun kelulusan.
Pemerintah maupun Lembaga yang independen melakukan penilaian terhadap sekolah maupun
peserta didik pada khususnya merupakan upaya mendapatkan pemetaan kualitas pembelajaran
di tiap-tiap sekolah dan daerah, sehingga penilaian yang dilakukan termasuk bagian utama
mengetahui pencapaian standar nasional pendidikan tiap-tiap sekolah di daerah-daerah. Tujuan
utama pemerintah mengetahui hasil UN tiap sekolah sebagai

Selain mekanisme dan prosedure penilaian menjadi pertimbangan utama dalam perlu tidaknya
pelaksanaan Ujian Nasional juga masih dibutuhkan beberapa pertimbangan lagi tentang
berbagai tinjauan ranah dan tinjauan fungsi atas pemeberlakuan adanya Ujian Nasional.

b. Tinjauan Ranah Ada 2 macam tinjauan ranah ujian nasional, yaitu; 1) Ranah Idealisme Bentuk
Idealisme pucuk pimpinan dalam melaksanakan pengorganisasian suatu kelembagaan tertuju
dalam tercapainya suatu tujuan pendidikan nasional, bentuk keberhasilan salah satunya adanya
prestasi bebas buta aksara, atau prestasi tingkat internasional dan seterusnya. Sehingga Ujian
Nasional jika ditinjau dari ranah idealisme sangat berkomparasi dengan politik praktis
pendidikan. 2) Ranah Implementasi Keberhasilan implementasi tujuan pendidikan nasional dan
kurikulum nasional sangat ditentukan adanya prestasi tiap-tiap satuan pendidikan memperoleh
nilai-nilai dalam Ujian Nasional sehingga perlu pengembangan maupun implementasi lebih
lanjut dari kurikulum tersebut atau daya serap kurikulum tersebut di lapangan.

c. Tinjauan Fungsi 1) Fungsi Benchmarking (IBM dalam Sri Winarni) ⇒ Benchmarking


merupakan suatu proses terusmenerus untuk menganalisis tata cara terbaik di dunia dengan
maksud menciptakan dan mencapai sasaran dan tujuan dengan prestasi dunia. Dengan adanya
Ujian Nasional bertujuan untuk mengambil pengalaman terbaik agar diperoleh pembelajaran
tentang tujuan pendidikan nasional, yang diakui dunia pendidikan internasional. 2) Fungsi Tes
Banyak sekali keputusan pendidikan yang diambil berdasarkan hasil tes prestasi belajar,
misalnya pemberian nilai suatu mata pelajaran, penentuan lulus atau tidaknya siswa, perlu atau
tidaknya penyelenggaraan kegiatan belajar tambahan, perlu tidaknya pengulangan suatu mata
pelajaran tertentu dan lain-lain. Azwar (2007) mengemukakan bahwa berbagai macam
keputusan pendidikan itu menempatkan tes prestasi belajar dalam beberapa fungsi, yaitu fungsi
penempatan, fungsi formatif, fungsi diagnostik dan fungsi sumatif.Dalam hal fungsi sumatif,
Azwar (2007) memaparkan bahwa penggunaanhasil tes prestasi untuk memperoleh informasi
mengenai penguasaan pelajaranyang telah direncanakan sebelumnya dalam suatu program
pelajaran. Hasil tessumatif dapat dipakai untuk menentukan apakah dengan nilai yang
telahdiperolehnya itu siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus pada program pendidikan
tersebut atau apakah dapat melanjutkan ke jenjang program yang lebih tinggi.

Tes hanya memenuhi aspek kognitif, dalam tes ada tes formatif dan tes sumatif. Sumatif
merupakan tes yang dilakukan di akhir waktu pembelajaran. Tes formatif berfungsi pemantauan
materi pembelajaran sebagai feedback, bahan remidi, dan membantu peserta didik.

d. Tinjauan Kebijakan Pemerintahan Di tengah berbagai polemik yang muncul terkait


penyelenggaraan Ujian Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Muhammad Nuh)
menyatakan bahwa pemerintah akan tetap melaksanakan Ujian Nasional yang baik dan
kredibel. Terdapat empat kunci keberhasilan Ujian Nasional yang baik dan kredibel, yaitu: 1)
Ujian Nasional dijamin kerahasiaan dan keamanannya. Jika berkas bocor atau hilang maka
kredibilitas Ujian Nasional dipertaruhkan. 2) Distribusi tepat waktu, tepat jumlah dan tepat
bahan yang diujikan. 3) Kelancaran pelaksanaan Ujian Nasional dengan cara meminimalisir
terjadinya kesalahan, seperti kesalahan soal. 4) Sistem evaluasi harus dipastikan agar nilai rapor
bisa menjamin bahwa nilai tersebut mencerminkan kemampuan peserta didik yang
bersangkutan. Jika keempat poin tersebut dilakukan maka fungsi pelaksanaan Ujian Nasional
dapat terwujud yaitu dapat menggambarkan atau memetakan pencapaian seluruh sistem
pendidikan. Mendikbud (16-01-2015) mengatakan; “UN Sudah Menjadi standar, ………..
merupakan instrumen Domestik Yang Berlaku di Internasional. Kita Punya Ukuran Lokal Yang
diakui Beroperasi internasional.”

e. Tinjauan Survey Hasil Survey Melalui Angket Terhadap 200 Orang sampel Kepala Sekolah SMP
Negeri Dan Swasta wilayah se-Provinsi Jawa Tengah, tentang indikator pertanyaan angket
mengenai permasalahan yang dihadapi oleh Kepala Sekolah dalam Ujian Nasional, secara garis
besar cheklist berisi pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuannya dalam “Melihat Langsung
Dan Atau Tidak Melihat Langsung Adanya Kecurangan UN” serta pertanyaan-pertanyaan
tentang Upaya Kepala Sekolah sebagai leader di sekolahnya dalam rangka Pencegahan
terjadinya Kecurangan UN. Angket dilaksanakan pada akhir bulan Juni tahun 2013 data
dikumpulkan dan diolah oleh Setyo Hartanto (terlampir), menyimpulkan dan menyebutkan hasil
survey membuktikan bahwa 26% responden mengetahui adanya/terjadi kecurangan dalam
pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah-sekolah baik mengetahui secara langsung dan tidak
langsung melalui media massa. Informasi-informasi dan saran pendapat dari sejumlah
responden (+20% dari jumlah responden/terlampir) menunjukkan adanya motivasi dan
kepedulian sebagian besar kepala sekolah terhadap peningkatan mutu pendidikan.

5. PENUTUP a. Simpulan Tulisan di awal telah membeberkan bahwa Ujian Nasional berdasarkan
filosofi pendidikan yang berpedoman dengan falsafah Pancasila menunjukkan adanya
kepentingan menyelamatkan ciri khas dan budaya (salah satu) bangsa Indonesia, dengan alasan
keterkaitan atau tidak terpisahkannya antara ujian nasional dengan tujuan pendidikan nasional.
Apabila terjadi permasalahan tentang Ujian Nasional yang patut disalahkan itu adalah sistem
dan pelaksanaannya serta personal-personal yang tidak profesional, bukan ujiannya. Karena
ujian dimaksudkan untuk membantu peserta didik meningkatkan dan mengembangkan
pembelajarannya. Ujian nasional lebih tepat jika berkomplementer dengan Ujian Sekolah.Ujian
Nasonal hanya sebagai gagasan dan tetap hanya sebagai pemetaaan SNP jangan sampai
dijadikan standar kelulusan. b. Saran Stakeholder agar bersatu dan memegah teguh Prosedur
Operasional Standar (POS) Ujian Nasional tiap-tiap tahun penyelenggaraan, agar dapat
menumbuhkan generasi emas Indonesia. Sebaiknya Ujian Nasional diarahkan untuk pemetakan
tercapainya Standar Nasional Pendidikan (Pembiayaan, Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Proses, Penilaian, Kelulusan, Isi, Sarana Prasarana) bukan sebagai penentu kelulusan peserta
didik. Kepala sekolah/madrasah yang tergabung dalam MKKS perlu membenahi dalam
perencanaan dan pelaksanaan UN atau EN (Evaluasi Nasional=istilah baru) tidak membuka
peluang adanya kecurangan UJIAN tingkat NASIONAL. Percetakan yang menjadi pelaksana
proyek pengadaan beserta distributor soal-soal UN secara kelembagaan dan personalia perlu
menanda tangani pakta kejujuran pula.

6. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,.


Jakarta. Lembaran Negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2003 Hadi S. 2014. Ujian
Nasional Dalam Tinjauan Kritis Filsafat Pendidikan Pragmatisme. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah, IV(01), 283-294. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/tentang-
kemdikbud, Oktober 2014. Permendikbud No 81A Tahun 2013. Implementasi Kurikulum.
Kemendikbud. Jakarta. http://sriwinarni-sriwinarni86sriwinarni.blogspot.com/2010/06/patok-
dugabenchmarking.html 16 Des 2014. 1.41. https://www.facebook.com/Kemdikbud.RI?fref=nf,
Januari 2015.

Anda mungkin juga menyukai