Anda di halaman 1dari 5

Bioherbisida

Usaha untuk mengendalikan gulma merupakan suatu cara untuk mengubah


keseimbangan ekologis dimana bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma tetapi tidak
berpengaruh negatif terhadap budidaya. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya yakni dengan menggunakan bahan kimia atau herbisida (Isda, dkk., 2013).
Menurut Pustiloka 2010, berdasarkan cara kerjanya herbisida dibedakan menjadi herbisida
kontak, herbisida sistemik, herbisida selektif, dan non-selektif. Adapun berdasarkan waktu
pemakaiannya, herbisida dikelompokkan menjadi herbisida pra-tumbuh (pre-emergence) dan
herbisida pasca-tumbuh (post-emergence). Menurut Isda, dkk., 2013, herbisida dapat dibagi
menjadi 2 yaitu herbisida sintetik dan herbisida organik (bioherbisida).

Berbagai masalah yang dapat ditimbulkan dalam penggunaan herbisida sintetik yakni
biaya penyediaan herbisida yang relatif mahal, pencemaran lingkungan, penurunan kadar organik
tanah dan gulma menjadi toleran terhadap jenis herbisida tertentu. Untuk menghindari masalah
tersebut, alternatif lainnya adalah dengan menggunakan bioherbisida. Bioherbisida berasal dari
tumbuhan yang mengandung senyawa alelopati yang dapat mengahmbat atau mematikan
pertumbuhan tanaman sekitar. Bioherbisida tidak mengandung bahan yang berbahaya, tidak
meninggalkan residu atau mencemari tanah sehingga ramah lingkungan, aman bagi manusia
maupun hewan dan telah banyak digunakan dalam sistem pertanian organik (Isda, dkk., 2013).
Alternatif pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan dapat dilakukan dengan mencari
potensi senyawa golongan fenol dari tumbuhan lain sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
bioherbisida. Efek dari bioherbisida ini tidak terkena langsung terhadap tanaman budidaya dan
mempunyai peluang kecil untuk menyebabkan pencemaran (Saraswati, 2016).

Kebutuhan dan penggunaan herbisida kimia sintetis untuk tanaman perkebunan saat ini
sangatlah tinggi. Dalam rangka mendukung gerakan pertanian organik di Indonesia, diperlukan
perstisida organik khususnya herbisida organik (bioherbisida) yang lebih efektif untuk menekan
pertumbuhan gulma terutama pada tanaman perkebunan. Selain memiliki pengaruh negatif bagi
pertumbuhan tanaman lain dan dirinya sendiri, senyawa alelopati ternyata mempunyai potensi
yang sangat baik untuk bahan baku herbisida organik (Djazuli, 2011). Menurut Rahayu 2003,
penggunaan bahan alami alelopati yang dikeluarkan oleh tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai
bahan untuk pengendalian gulma dan dapat menjadi alternatif bioherbisida. Bioherbisida adalah
senyawa yang berasal dari organisme hidup yang dapat mengendalikan gulma atau tanaman
pengganggu (Senjaya dan Surakusumah, 2007). Adanya senyawa-senyawa alelokimia dapat
digunakan sebagai bioherbisida (Alegore, 2017). Bioherbisida dari bagian tanaman merupakan
hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik itu dari daun, buah, biji atau akar yang
mengandung senyawa metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap organisme
pengganggu tanaman tertentu (Audina, 2017).

Kajian alelopati banyak mendapat perhatian dan mendukung teknologi budidaya tanaman
ramah lingkungan pada system pertanian berkelanjutan. Pada tahun 1937, istilah alelopati
pertama kali dikemukakakan oleh Hans Molisch. Alelopati berasal dari kata allelon (saling) dan
pathos (menderita). Menurut Molisch, alelopati meliputi interaksi biokimiawi secara timbal
balik, yaitu yang bersifat penghambatan maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan
termasuk mikroorganisme. Alelopati kemudian didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun
tidak langsung dari suatu tumbuhan terhadap yang lainnya termasuk mikroorganisme baik yang
bersifat positif/perangsangan atau negatif/penghambatan terhadap pertumbuhan, melalui
pelepasan senyawa kimia ke lingkungannya (Junaedi dkk., 2006).

Alelopati merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman, alga, bakteri, dan
jamur yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pertanian dan sistem biologi.
Pada tumbuhan senyawa alelopati dapat ditemukan diseluruh bagian tanaman, tetapi tempat
penyimpanan terbesar senyawa ini biasanya berlokasi di akar dan daun. Senyawa alelopati dapat
dilepaskan dengan beberapa cara yaitu melalui penguapan, pencucian, dikeluarkan melalui akar,
dan dekomposisi residu tanaman dalam tanah (Senjaya dan Surakusumah, 2007). Alelopati dari
tanaman dan gulma dapat dikeluarkan dalam bentuk eksudat dari akar dan serbuk sari, luruhan
organ, senyawa yang menguap dari daun, batang dan akar, serta pencucian dari organ bagian luar
(Reigosa et al, 2000; Qasem dan Foy, 2001). Menurut Yanti, dkk. 2016, alelopati merupakan
senyawa kimia yang tedapat pada tubuh tumbuhan yang dikeluarkan ke lingkungannya dan dapat
menghambat atau mematikan individu tumbuhan lainnya. Senyawa alelopati dari tumbuhan atau
mikroorganisme memiliki pengaruh sebagai herbisida yang sangat memberikan insentif bagi
kesehatan dan kelestarian lingkungan (Macias et al. 2001; Singh et al. 2003).

Adapun beberapa senyawa alami yang telah diuji sebagai herbisida adalah sinmetilin,
toksin yang dikeluarkan Alternaria alternate f.sp. lycopersici (toksin AAL yakni metabolit dari
patogen penyebab kanker batang tomat), dan mesotriona (Bhowmik dan Inderjit, 2003). Efikasi
formulasi cairan dari ekstrak umbi teki telah dilakukan terhadap pertumbuhan kecambah gulma
Mimosa invisa dan Melochia corchorifolia (Setyowati dan Suprijono, 2000). Herbisida dari
senyawa alelopati yang sudah dikomersialkan antara lain organofosforus (bialafos dan
fosfontrisin yang diperoleh dari isolate bakteri), triketon (leptospermona yang diperoleh dari
tumbuhan Leptospermum scoparium) dan sinmetilin (Vyvyan, 2002).

Masuknya senyawa metabolit sekunder atau alelopati yang digunakan sebagai


bioherbisida bersama air ke dalam biji akan menghambat induksi hormone pertumbuhan seperti
asam giberelin (GA) dan asam indolasetat (IAA). Dengan dihambatnya sintesis giberelin maka
tidak akan terjadi pemacuan enzim α-amilase, akibatnya proses hidrolisis pati menjadi glukosa di
dalam endosperm atau kotiledon berkurang. Berkurangnya komponen makromolekul
mengakibatkan terhambatnya sintesis protein yang juga akan berakibat pada terhambatnya
sintesis protoplasma. Karena hal tersebut, proses pembelahan dan pemanjangan sel menjadi
terhambat yang mengakibatkan terhambat proses perkecambahan dan pertumbuhan. Bahkan,
walaupun terjadi pertumbuhan, hasilnya banyak pertumbuhan yang tidak normal atau dengan
kata lain cacat (Riskitavani, 2013). Alelopati dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan pada
berbagai macam stadium pertumbuhan. Misalnya, perkecambahan biji, pemanjangan akar,
hipokotil, berat basah, dan berat kering kecambah (Regina, 2007). Pengaruh alelopati dapat
digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan dalam komposisi spesies gulma,
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman, serta sebagai alat manajemen gulma (Zimdahl,
2007).

Adapun senyawa alelokimia menghambat pertumbuhan kecambah dengan menghambat


aktivitas auksin dalam proses pemanjangan dan pembesaran sel (Hamidah, 2015). Pada
umumnya alelokimia merupakan metabolit sekunder yang dikelompokkan menjadi 14 golongan,
yaitu asam organik larut air, lakton, asam lemak rantai panjang, quinon, terpenoid, flavonoid,
tanin, asam sinamat dan derivatnya, asam benzoat dan derivatnya, kumarin, fenol dan asam
fenolat, asam amino non protein, sulfida, serta nukleosida (Delsi, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Alegore, F. 2017. Pemanfaatan Ekstrak Daun Ketapang (Terminalia catappa) sebagai Herbisida
Alami terhadap Pertumbuhan Gulma Rumput Teki (Cyperus rotundus).
Audina, M. 2017. Potensi Ekstrak Daun Eucalyptus pellita F.Muell sebagai Bioherbisida
Pascatumbuh.
Bhowmik, P.C. dan Inderjit, 2003, Crop. Prod. J., 22, 661-671.
Delsi, Y. 2012. Studi Potensi Alelopati Teki (Cyperus rotundus L.) sebagai Bioherbisida untuk
Pengendalian Gulma Berdaun Lebar.
Djazuli, M., 2011, Perspektif, 10, 1.
Isda, M.F., Fatonah, S., dan Fitri, R., 2013, Jurnal Biologi, 6, 2, 120-125.
Junaedi, A., Chozin, M.A. dan Kwangho, K., 2006, Hayati, 79-84.
Macias, F.A. et al., 2001, J. Crop. Prod, 4, 237-255.
Pustiloka (Pusat Penelitian Kopi Daun Kakao Indonesia). 2010. Buku Pintar Budi Daya Kakao.
Qasem, J.R. dan Foy, C.L.,2001, J. Crop. Prod, 4, 43-119.
Rahayu, E.S. 2003. Peranan Penelitian Alelopati dalam Pelaksanaan Low External Input and
Suistainable Agriculture.
Regina, G.B., 2007, Review, 63, 308-326.
Reigosa, M.S. et al. 2000. Allelopathy in Forest Ecosystem.
Riskitavani, D.V., 2013, Jurnal Sains dan Sni Pomits, 2, 2.
Saraswati, N.I. 2016. Potensi Ekstrak Daun Bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz) sebagai
Bioherbisida terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Cyperus iria L. dan Amaranthus
spinosus L.
Senjaya, Y.A. dan Surakusumah, W., 2007, Jurnal Perrenial, 4, 1, 1-5.
Setyowati, N. dan Suprijono E., 2000, J. Ilmu-ilmu Pert. Indonesia, 2, 75-82.
Singh, H.P., Batish, D.R. dan Kohli, R.K., 2003, Crit. Rev. Plant. Sci, 22, 239-311.
Vyvyan, J.R. 2002. Tetrahedron, 58, 1631-1646.
Yanti, M., Indriyanto dan Duryat, 2016, Jurnal Sylva Lestari, 4, 2, 27-38.
Zimdahl, R.L. 2007. Weed-Crop Competition: A Review. 2nd Ed.

Anda mungkin juga menyukai