Anda di halaman 1dari 6

1.

Inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode
yang dapat diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok
orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery.
Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah.
Kreativitas adalah kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang
untuk mengkonstruksi ide yang orisinil (asli), bermanfaat, variatif (bernilai seni)
dan inovatif (berbeda/lebih baik) dengan cara mengkombinasikan, merubah atau
memanfaatkan kembali ide. Pada umumnya istilah inovasi dan kreativitas kerap
diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah ini memang secara konteks mempunyai
hubungan kasual sebab-akibat. Sebuah inovasi biasanya dihasilkan oleh sebuah
daya kreativitas. Tanpa kreativitas, inovasi akan sulit hadir dan diciptakan. Namun
demikian, dalam kenyataannya, kehadiran inovasi juga tidak mutlak mensyaratkan
adanya kreativitas. Difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi
dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap
anggota suatu sistem sosial. Dalam ilmu difusi inovasi dikenal dua jenis model difusi
yaitu (1) model difusi pengaruh internal dan (2) model difusi pengaruh eksternal.
Model internal merupakan model awal difusi yang pada umumnya dikenal sejak
awal dikembangkannya disiplin ilmu difusi inovasi. Adapun model kedua adalah
model difusi pengaruh eksternal. Model ini relatif tidak banyak disentuh dalam
literatur difusi. Hal ini karena studi dan riset terakhir menunjukkan bahwa model
ini mensyaratkan adanya infrastruktur yang memungkinkan terjadinya pertukaran
informasi dari satu sistem ke sistem lain dalam waktu yang cepat, sehingga tidak
ada lagi kendala geografis yang menghambat penyebaran informasi mengenai
inovasi yang baru.
Karakteristik inovasi supaya diadopsi atau digunakan oleh calon pengguna adalah
sebagai berikut : 1. Relative Advantage atau Keuntungan Relatif : Sebuah inovasi
harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi
sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi yang
menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain. 2. Compatibility atau
Kesesuaian Inovasi juga mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan
inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta
merta dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit,
namun juga inovasi yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi
terbaru. Selain itu juga dapat memudahkan proses adaptasi dan proses
pembelajaran terhadap inovasi itu secara lebih cepat. Complexity atau Kerumitan
Dengan sifatnya yang baru, maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh
jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena
sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat
kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting. 4. Triability atau
Kemungkinan dicoba Inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti
mempunyai keuntungan atau nilai lebih dibandingkan dengan inovasi yang lama.
Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setap
orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah
inovasi. 5. Observability atau Kemudahan diamati Sebuah inovasi harus juga dapat
diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
2. Factor Oleh karena itu keberhasilan suatu inovasi ditentukan oleh banyak faktor. Di
bawah ini merupakan enam faktor utama penghambat inovasi pendidikan
diantaranya : 1. Estimasi tidak tepat terhadap inovasi Hambatan yang disebabkan
oleh tidak tepatnya perencanaan atau estimasi dalam proses difusi inovasi antara
lain, tidak tepat dalam mempertimbangkan implementasi inovasi, kurang adanya
kerja sama antarpelaksana inovasi, baik itu antara guru dengan guru, guru dengan
siswa, atau antara siswa dengan siswa, sehingga tidak adanya persamaan pendapat
tentang tujuan yang akan dicapai didalam pelaksanaan pembelajaran, tidak jelasnya
struktur pengambilan keputusan, komunikasi yang kurang lancar, adanya tekanan
dari pemerintah untuk mempercepat hasil inovasi dalam waktu yang sangat singkat.
Oleh karena itu para pelaksana inovasi harus benar-benar merencanakan dan
mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada tempat yang
menjadi sasaran inovasi. 2. Konflik dan motivasi Hambatan ini diakibatkan karena
adanya masalah-masalah pribadi, seperti adanya pertentangan antar pelaku inovasi,
misalnya antar anggota tim, adanya rasa iri antara anggota yang satu dengan yang
lain, ada anggota tim yang tidak semangat kerja, berpandangan sempit, kurang
adanya penguatan atau hadiah terhadap anggota yang melaksanakan tugas dengan
baik. 3. Inovasi tidak berkembang Inovasi tidak berkembang karena hal-hal seperti,
lambatnya material yang diterima, alokasi dana yang tidak tepat, dipengaruhi oleh
anggota lain yang malas berinovasi, pergantian pengurus dan manajemen kepala
sehingga mengganggu kontinuitas tugas. 4. Masalah keuangan Yang termasuk dalam
hambatan keuangan yaitu tidak memadainya dana subsidi dari pemerintah daerah
atau pemerintah pusat lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan penundaan
penyampaian dana yang dilakukan oleh Bendahara Madrasah. Oleh karena itu
dituntut kemampuan untuk mencari sumber-sumber dana lain yang akan digunakan
untuk pembiayaan pelaksanaan inovasi. 5. Penolakan inovasi dari kelompok
tertentu Penolakan inovasi yang dimaksud bukan penolakan karena kurang dana
atau masalah personalia, tetapi penolakan masuknya inovasi karena beberapa
faktor berikut, yaitu adanya pertentangan dalam memandang inovasi, adanya
kecurigaan masyarakat akan masuknya inovasi tersebut. 6. Kurang adanya
hubungan sosial Faktor terakhir ini terdiri dari dua hal, yaitu hubungan antar
anggota kelompok pelaksana inovasi dan hubungan dengan masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya ketidakharmonisan antar anggota proyek pelaksnaaan
inovasi pendidikan. Selain faktor-faktor utama penghambat inovasi tersebut di atas
ada faktor lain yang menghambat inovasi didalam pelaksanaannya, faktor tersebut
adalah: 1. Faktor kegiatan pembelajaran Kegiatan belajar-mengajar adalah suatu
kegiatan yang berlangsung selama kegiatan pengajaran terjadi. Dalam kegiatan
belajar-mengajar ini terjadi interaksi antara guru dan siswa. Keberhasilan kegiatan
belajar-mengajar ditentukan oleh pribadi guru dan pribadi siswa itu sendiri. Sebagai
contoh penggunaan internet sebagai salah satu inovasi pendidikan akan sulit
diterapkan bila pribadi guru tidak dapat menerima penggunaan internet tersebut. 2.
Faktor Internal dan Ekternal Faktor internal yang dimaksud di sini adalah siswa.
Siswa mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses penerimaan inovasi
pendidikan karena dalam kegiatan pembelajaran tujuan yang akan dicapai adalah
perubahan tingkah laku siswa. Jadi dalam membuat keputusan untuk melaksanakan
inovasi dalam bidang pendidikan perlu memperhatikan siswa. Faktor eksternal
yang mempengaruhi proses inovasi pendidikan adalah orang tua siswa. Peran orang
tua sebagai pendukung siswa baik moral maupun penyedia dana bagi
siswa/anaknya. Bila orang tua tidak memberikan dukungan bagi kegiatan
pendidikan anaknya, maka kegiatan pembelajaran akan terhambat, dengan
terhambatnya kegiatan pembelajaran ini maka kegiatan inovasi yang telah
direncanakan akan terhambat pula. Faktor internal dan eksternal lain yang
mempengaruhi proses penerimaan inovasi adalah, guru, administrator, konselor
yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Ada pula
ahli-ahli lain yang terlibat tidak secara langsung dalam kegiatan pembelajaran ini
seperti, penilik, pengawas, konsultan dan juga pengusaha yang membantu dalam
pengadaan fasilitas sekolah. 3. Sistem Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia diatur dengan undang-undang yang diatur oleh pemerintah dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut diatur tentang
kurikulum, jenjang, jam belajar sampai pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas.
Jadi guru dan siswa tidak dapat berbuat semau mereka. Dengan adanya aturan-
aturan tersebut tentu saja kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik, akan
tetapi dapat saja terjadi bahwa guru atau siswa merasa terkekang dengan adanya
aturan tersebut. Guru atau siswa menjadi tidak bergairah untuk belajar, sehingga
peran mereka sebagai pendidik dan peserta didik tidak optimal. Siswa tidak
mempunyai motivasi untuk menerima pelajaran. Hal ini akan berdampak buruk
terhadap pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Begitu pula
dengan guru yang tidak mempunyai motivasi dalam mengajar, ia datang tidak tepat
waktu, memberi materi pelajaran seperlunya saja, membiarkan kelas kosong,
merasa apatis terhadap tugas karena tidak diberikan kewenangan secara penuh
dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan tugasnya, akan sangat
mempengaruhi kegiatan pembelajaran. Bila kegiatan pembelajaran terganggu maka
kegiatan inovasi pun ikut terganggu.
3. Untuk mencapai keunggulan yang dicita-citakan, banyak pendekatan yang dapat
dilakukan salah satunya apa yang dipaparkan oleh Salisbury (1996) yaitu
tentang Five Technologies untuk perubahan pendidikan. Teknologi ini sudah banyak
diterapkan dalam dunia bisnis dan menjadikan kegiatan bisnis menjadi lebih
kompetitif dan siap terhadap perubahan. Teknologi tersebut adalah:
1. System Thinking (Berpikir serba Sistem)
2. System Design (Perancangan Sistem)
3. Quality Science (Ilmu Kualitas)
4. Change Management (Manajemen Perubahan)
5. Instructional Technology (Teknologi Pembelajaran)
Jadi, Salisbury berpendapat kelima disiplin ilmu tersebut sebagai teknologi.
Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa pelaksanaan perubahan itu terjadi secara
simultan atas kelima komponen tersebut. Perubahan terjadi karena efek sinergi
yang timbul sebagai dampak kerja sama, keterkaitan, serta harmoni dari kelima
disiplin tersebut. Sistem adalah landasan berpikir dari konsep perubahan Salisbury.
Ia berpendapat semua pihak perlu menyadari bahwa reformasi atau restrukturisasi
di bidang pendidikan terjadi karena dukungan semua pihak, baik inovator maupun
pengguna, organisasi sekolah/pendidikan maupun pemerintah. Selain itu, seluruh
subsistem atau komponen pendidikan, manusia dan nonmanusia memiliki andil
terhadap kesuksesan penyebaran dan pelaksanaan perubahan.
4. Revolusi industri 4.0 membuat dunia kini mengalami perubahan yang semakin
cepat dan kompetitif. Di bidang pendidikan, revolusi industri 4.0 memberi
tantangan sekaligus peluang menarik. Olehnya, dunia pendidikan juga mau tak mau
harus tanggap dan siap menyesuaikan agar output-nya bisa bersaing dan berdaya-
guna di era industri 4.0. Namun permasalahannya system pembelajaan di Indonesia
kebanyakan masih berkutat di tahap pembelajaran di era Education 1.0 yaitu
pedadgogy dan belum bertransformasi menuju Education 2.0, 3.0, apalagi sekarang
dituntut untuk menerapkan Education 4.0 untuk menunjang kesiapan peserta didik
untuk menghadapi revolusi industrsi 4.0. penerapan Education 4. 0 mungkiin bisa
diterapkan dengan efisien jika diterapkan di daerah perkotaan yang memiliki
fasilitas dan akses yang tidak terbatas akan informasi. Namun sulit diterapkan di
daerah yang jauh dari pusat kota yang bahkan tidak memliki gedung sekolah yang
layak dan memiliki akses yang terbatas untuk menjangkau informasi. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dunia pendidikan untuk memnghadapi revolusi
industri 4.0 antara lain: (a) Peninjauan Kembali Fokus Kurikulum Pendidikan.
Menghadapi industri 4.0 kurikulum pendidikan harus ditinjau dan disesuaikan.
Kiranya mendesak dalam kurikulum pendidikan untuk sejak dini peserta didik
dibekali dengan lima kompetensi ini. Pertama, kemampuan berpikir kritis. Kedua,
kreatifitas dan kemampuan inovatif. Ketiga, keterampilan menggunakan teknologi
dan kemampuan berkomunikasi. Keempat, kemampuan bekerjasama dan
berkolaborasi. Kelima, kepercayaan diri. Kelima kompetensi ini mendesak untuk
ditanamkan sejak dini karena akan menjadi modal dasar bagi peserta didik untuk
masuk dalam dunia industri 4.0. Bila ini diabaikan atau tidak direspon secara cepat
dan tepat, produk pendidikan kita pasti tidak akan siap menjawab tantangan di era
revolusi 4.0.(b) Penerapan Konsep Heutagogi dalam Proses Belajar Mengajar. Dalam
proses belajar mengajar, konsep pedagogi masih terasa dominan dimana peserta
didik lebih banyak ditentukan dan diarahkan pengajar. Pada tingkatan pendidikan
yang lebih tinggi konsep ini perlu digeser pada konsep andragogi dimana hubungan
pengajar dan peserta didik lebih bersifat timbal balik,.(c) Perlunya Penelitian dan
Pengembangan serta Prioritas Program. Di samping melakukan reformasi sekolah,
penambahan kuota guru, revitalisasi serta peningkatan kapasitas dan
profesionalisme tenaga pendidik maupun kependidikan, kurikulum yang dinamis
serta sarana dan prasarana yang handal, teknologi pembelajaran yang mutakhir
kiranya sangat mendesak untuk memberi perhatian lebih pada investasi, penelitian
dan pengembangan program-program yang berkaitan dengan era industri 4.0. Hal
ini dimaksudkan untuk mendata dan memetakan potensi, peluang, tantangan dan
kesiapan kita memasuki era industri 4.0. Program-program hasil penelitian tersebut
harus dijadikan prioritas dan sesegera mungkin dikembangkan secara maksimal
agar kita tidak tertinggal dan kalah bersaing di era industri 4.0. Program-program
yang secepatnya diberi perhatian antara lain: penyiapan teknologi yang berbasis
internet di lingkungan sekolah, penyiapan sekolah-sekolah kejuruan berbasis
teknologi muthahir, vokasi SMK, penyiapan politeknik-politeknik melalui program
skill for competitiveness, pelatihan-pelatihan dan edukasi teknologi informasi di
lingkungan pendidikan.Sebagai seorang calon guru yang memiiki tuntutan untuk
kreatif dan inovatif dalam mengembangkan PBM salah satunya dengan menjadi
guru yang berperan sebagai fasilitator. Penekanannya lebih pada diskusi, simulasi,
permainan peran dan pemecahan masalah. Pada era industri 4.0 proses belajar
tidak cukup hanya sampai pada konsep adragogi, tetapi harus dikembangkan
konsep heutagogi dimana peserta didiklah yang diberi peran dominan. Peserta didik
diberi banyak ruang dan waktu untuk menentukan apa dan bagaimana belajar itu
sambil memanfaatkan ledakan teknologi informasi di sekitarnya. Stewart Hase &
Chris Kenyon (2013) menjelaskan bahwa “… the essence of heutagogy is that in
some learning situations, the focus should be on what and how the learner wants to
learn, not on what is to be taught…” Konsep heutagogi menawarkan kebebasan
kepada pebelajar (learner) untuk menentukan (determine) sendiri
belajarnya. Learner dan teacher saling bertukar pikir tentang apa yang pas untuk
dipelajari oleh pebelajar dan bagaimana cara membelajarkannya atau langkah-
langkah pembelajaran dan sumber-sumber belajar apa yang digunakan untuk
mencapai tujuan belajar yang sudah ditentukan tersebut. Dengan kata lain posisi
pembelajar lebih sebagai konsultan pembelajaran. Namun, yang perlu untuk
digarisbawahi bahwa dalam praktiknya heutagogi lebih menekankan pada tingkat
kemandirian dan kematangan pebelajar dalam belajarnya. Dengan kata lain,
meskipun sangat menjanjikan, kesuksesan penerapan heutagogi hanya akan
maksimal jika target belajarnya memiliki tingkat kemandirian dan kematangan
belajar yang cukup, yaitu memiliki visi belajar yang jelas, memiliki pemahaman yang
baik tentang kecenderungan belajar dan gaya belajar (metacognitive skill) yang
dimiliki. Metode ini tentu tidak cocok untuk pebelajar di jenjang awal, tetapi ini
menjadi tantangan kita ke depan yaitu menemukan dan memastikan
formula heutagogi yang tepat untuk diterapkan pada semua jenjang pendidikan
5. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan
materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa
sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan
dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni : kontruktivisme
(constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki (inquiry), masyaraka belajar
(learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan dan penilaian
autentik (authentic assessment).Makna dari kontruktivisme adalah siswa
mengkonstruksi/membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru
berdasar pada pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-
akomodasi. Implikasinya adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Inti dari inquiry atau menyelidiki
adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Oleh karena itu
dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
Bertanya atau questioning dalam pembelajaran kontekstual dilakukan baik oleh
guru maupun siswa. Guru bertanya dimaksudkan untuk mendorong, membimbing
dan menilai kemampuan berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya
meupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
Kompetensi dasar yang bisa diterapkan dengan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran biologi cukup banyak salah satunya adalah KD 3.10 mengenai materi
Bioteknologi yaitu Menganalisis prinsip-prinsip Bioteknologi dan penerapannya
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan manusia .pada Kd ini siswa dituntut untuk
menganalisis prinsip bioteknologi serta penerapanya yang bisa mereka rasakan
setiap hari.

1. penilaian autentik (authentic assessment).Socratic Circles atau Socratic Seminar


merupakan suatu metode pengajaran dengan menggunakan deretan pertanyaan
yang dapat mendorong siswa berpikir analitis dan kritis, dari serangkaian
pertanyaan itu diharapkan peserta didik mampu menemukan jawabannya, atas
dasar kecerdasan dan kemampuannya sendiri. Socratic Circles dalam proses
pembelajaran dilaksanakan dengan cara dialog atau seminar (Copeland, 2005)
Socratic Circles akan mendorong peserta didik berpikir divergen (Kenner, 2009)
dan aktif melibatkan siswa dalam proses pembelajaran (Peterson, 2009a). Copeland
(2005) menjelaskan bahwa proses penyelidikan bersama dalam Socratic Circles
akan membantu siswa mengembangkan kebiasaan berpikir dan analisis yang
mengarah pada peningkatan kemampuan berpikir siswa. Penerapan metode
Socratic berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa (Noviasari, 2011).
Ong and Borich (2006) mengemukakan bahwa banyak bagian-bagian keterampilan
penting untuk berpikir kritis yang penting untuk berpikir kreatif. Dalam proses
pembelajran Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011: 47) mendefinisikan metode
socratic sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa
memepertanyakan validitas penalaran atau untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Metode ini memudahkan siswa untuk mendapatkan pemahaman secara berangkai
dari bentuk tanya jawab yang dilakukan. Pertanyaan socratic adalah pertanyaan
kritis yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa.
Pertanyaan ini membantu siswa mengembangkan ide-ide atau materi yang telah
dipelajari sehingga pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran semakin
mendalam. Pertanyaan socratic ini terdiri atas enam jenis, yaitu: (1) Pertanyaan
yang meminta klasifikasi; (2) pertanyaan yang menyelidiki asumsi; (3) pertanyaan
yang menyelidiki alasan dan bukti; (4) pertanyaan tentang pendapat atau
perspektif; (5) pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat; dan (6)
pertanyaan tentang pertanyaan (Paul, dalam Redhana, 2012: 354). Metode socratic
circles akan mendorong peserta didik berpikir divergen juga socratic circles
memungkinkan peserta didik mengambil keputusan secara kritis fakta yang terkait
dengan situasi. Socratic circles juga menjadi sarana efektif dalam memupuk
kemampuan berpikir kritis, (Peterson, dalam Afidah, dkk, 2012: 2).pada
pembelajaran biologi dapat diterapkan pada materi yang menuntut siswa untuk
menganalisis dan memiliki kemampuan berpikir kritis contohnya adalah materi
ekosistem.

Anda mungkin juga menyukai