Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN

“Konsumsi Oksigen”

Disusun oleh:
Nama : DIANOVI GITA PERTIWI
NIM : K4316021
Kelas :A
Kelompok :3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN

I. JUDUL : Konsumsi Oksigen


II. TUJUAN :
1. Mempelajari sebagian proses yang terjadi dalam respirasi
2. Menghitung konsumsi oksigen hewan pada uji respirasi

III. ALAT DAN BAHAN

ALAT BAHAN

Neraca Analitik 1 buah Jangkrik 2 ekor


Respirometer 1 buah Eosin Secukupnya
Pipet tetes 1 buah KOH Secukupnya
Stopwatch 1 buah Kapas Secukupnya
Vaselin Secukupnya
Plastisin Secukupnya

IV. CARA KERJA


1. Menyiapkan hewan uji (1 spesies) minimal 2 ekor hewan dengan variabel berbeda
besar, kecil, jantan, betina.
2. Menimbang berat hewan uji (jangkrik), mencatat hasilnya.
3. Memasukkan Kristal KOH yang dibungkus kapas serta hewan uji ke dalam ruang
pernapasan respirometer.
4. Ruang pernapasan ditutup kembali dengan mengoleskan vaselin pada sambungan
alat atau merekatkan sambungan alat menggunakan plastisin.
5. Melakukan penerapan pipa respirometer dengan memasukkan larutan pewarna,
misalnya eosin secukupnya, tunggu hingga larutan warna mencapai skala 0.
6. Menghitung serta mengukur waktu dan jarak yang ditempuh cairan berwarna
dalam pipa dengan interval waktu 2 menit selama 10 menit.
7. Mengulangi cara kerja no 3-6 untuk perlakuan suhu panas, dingin, dan normal.
8. Mencatat dan analisis data yang diperoleh.
9. Membuat grafik berdasarkan data yang diperoleh.
V. DATA PENGAMATAN
Jarak Eosin/Waktu (menit)
Ukuran Suhu
0 1 2 3 4 5
0
Panas (36 C) 0 0,23 0,46 0,66 0,81 0,9
Besar Dingin (180C) 0 0,28 0,37 0,48 0,54 0,65
Biasa (270C) 0 0,15 0,29 0,47 0,6 0,75
Panas (360C) 0 0,18 0,34 0,51 0,6 0,71
Kecil Dingin (180C) 0 0,10 0,21 0,28 0,33 0,37
Biasa (270C) 0 0,06 0,19 0,24 0,35 0,42
Panas (360C) 0 0,28 0,59 0,78 0,95 1,08
Jantan Dingin (180C) 0 0,21 0,51 0,69 0,81 0,93
Biasa (270C) 0 0,16 0,46 0,65 0,80 0,89
Panas (360C) 0 0,04 0,10 0,21 0,32 0,52
Betina Dingin (180C) 0 0,03 0,11 0,34 0,41 0,52
Biasa (270C) 0 0,37 0,52 0,64 0,70 0,75

VI. PEMBAHASAN
1. Proses Respirasi Jangkrik

Proses respirasi pada serangga dilakukan dengan menggunakan sistem


trakea. Udara keluar dan masuk tidak melalui mulut melainkan melalui lubang–
lubang sepanjang kedua sisi tubuhnya. Lubang–lubang tersebut dinamakan stigma
atau spirakel. Pada masing–masing ruas tubuh terdapat sepasang stigma, satu di
sebelah kira dan satu lagi di sebelah kanan. Stigma selalu terbuka dan merupakan
lubang menuju ke pembuluh trakea. Trakea bercabang–cabang sampai ke
pembuluh halus yang mencapai seluruh bagian tubuh. Udara masuk melalui stigma,
kemudian menyebar mengikuti trakea dengan cabang–cabangnya. Jadi, oksigen
diedarkan tidak melalui darah melainkan langsung dari pembuluh trakea ke sel–sel
yang ada disekitarnya. Dengan demikian cairan tubuh serangga (darah serangga)
tidak berfungsi mengangkut udara pernafasan tetapi hanya berfungsi mengedarkan
sari–sari makan dan hormon (Macdonald, 2016).
Proses respirasi serangga terjadi karena otot–otot yang bergerak secara
teratur. Kontraksi otot–otot tubuh mengakibatkan pembuluh trakea mengembang
dan mengempis, sehingga udara keluar dan masuk melalui stigma. Pada saat trakea
mengembang, udara masuk melalui stigma, selanjutnya masuk ke dalam trakea,
lalu ke dalam trakeolus dan akhirnya masuk ke dalam sel–sel tubuh. O2 berdifusi
ke dalam sel–sel tubuh. CO2 hasil respirasi dikeluarkan melalui sistem trakea yang
akhirnya dikeluarkan melalui stigma pada waktu trakea mengempis (Bakri, Ali
dkk. 2017).
2. Analisis Kuantitatif
a) Jangkrik Betina Besar
 Suhu Panas (360C)
𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,23 2 0,115
0,46 4 0.115
0,66 6 0,11
0,81 8 0,101
0,9 10 0,09
Rata-rata 0,106

 Suhu Dingin (100C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,28 2 0,14
0,37 4 0,09
0,48 6 0,08
0,54 8 0,068
0,65 10 0,065
Rata-rata 0,087

 Suhu Biasa (270C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,15 2 0,075
0,29 4 0,073
0,47 6 0,078
0,6 8 0,075
0,75 10 0,075
Rata-rata 0,075

b) Jangkrik Betina Kecil


 Suhu Panas (360C)
𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,18 2 0,09
0,34 4 0,085
0,51 6 0,085
0,6 8 0,075
0,71 10 0,071
Rata-rata 0,081

 Suhu Dingin (180C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,10 2 0,05
0,21 4 0,05
0,28 6 0,05
0,33 8 0,04
0,37 10 0,03
Rata-rata 0,044

 Suhu Biasa (270C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,06 2 0,03
0,19 4 0,05
0,24 6 0,04
0,35 8 0,04
0,42 10 0,04
Rata-rata 0,04
c) Jangkrik Betina
 Suhu Panas (360C)
𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,28 1 0,28
0,59 2 0,3
0,78 3 0,26
0,95 4 0,24
1,08 5 0,22
Rata-rata 0,26

 Suhu Dingin (180C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,21 1 0,21
0,51 2 0,26
0,69 3 0,23
0,81 4 0,20
0,93 5 0,19
Rata-rata 0,218

 Suhu Biasa (270C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,16 1 0,16
0,46 2 0,23
0,65 3 0,22
0,80 4 0,2
0,89 5 0,18
Rata-rata 0,198

d) Jangkrik Jantan
 Suhu Panas (360C)
𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,04 1 0,04
0,10 2 0,05
0,21 3 0,07
0,32 4 0,08
0,52 5 0,10
Rata-rata 0,068

 Suhu Dingin (180C)


𝑠
s t V= 𝑡
0 0 0
0,03 1 0,03
0,11 2 0,06
0,34 3 0,11
0,41 4 0,10
0,52 5 0,10
Rata-rata 0,08

 Suhu Biasa (270C)


𝑠
S t V= 𝑡
0 0 0
0,37 1 0,37
0,52 2 0,26
0,64 3 0,21
0,70 4 0,18
0,75 5 0,15
Rata-rata 0,23

3. Analisis Kualitatif
a. Jangkrik Besar Suhu Panas

Jangkrik Besar (Suhu Panas)


0.15

0.1

0.05

0
2 4 6 8 10

suhu panas

- Laju respirasi jangkrik besar pada suhu panas yaitu 0,106cm3/menit


- Pada 6 menit terakhir, terjadi penurunan laju respirasi. Hal tersebut
dikarenakan suhu pada jangkrik mulai kembali normal.
b. Jangkrik Kecil (Suhu Panas)

Jangkrik Kecil (Suhu Panas)


0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
2 4 6 8 10

Suhu Panas

- Laju respirasi jangkrik kecil pada suhu panas yaitu 0,081 cm3/menit
- Pada 6 menit terakhir, terjadi penurunan laju respirasi. Hal tersebut
dikarenakan suhu pada jangkrik mulai kembali normal.
Laju Respirasi Jangkrik Besar > Jangkrik Kecil
c. Jangkrik Betina (Suhu Panas)

Jangkrik Betina (Suhu Panas)


0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5

Series 2

- Laju respirasi jangkrik betina pada suhu panas yaitu 0,26 cm3/menit
- Pada 6 menit terakhir, terjadi penurunan laju respirasi. Hal tersebut
dikarenakan suhu pada jangkrik mulai kembali normal.
d. Jangkrik Jantan (Suhu Panas)

Jangkrik Jantan (Suhu Panas)


0.15

0.1

0.05

0
1 2 3 4 5

Suhu Panas
- Laju respirasi jangkrik jantan pada suhu panas yaitu 0,068 cm3/menit
- Laju respirasi pada jangkrik jantan terus mengalami kenaikan.
Laju Respirasi Jangkrik betina > Jangkrik Jantan

e. Jangkrik Besar (Suhu Dingin)

Jangkrik Besar (Suhu Dingin)


0.15

0.1

0.05

0
2 4 6 8 10

Suhu Dingin

- Laju respirasi jangkrik besar pada suhu dingin yaitu 0,087 cm3/menit

f. Jangkrik Kecil (Suhu Dingin)

Jangkrik Kecil (Suhu Dingin)


0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
2 4 6 8 10

Suhu Dingin

- Laju respirasi jangkrik betina pada suhu dingin yaitu 0,044


cm3/menit
Laju Respirasi Jangkrik Besar > Jangkrik Kecil
g. Jangkrik Betina (Suhu Dingin)

Jangkrik Betina (Suhu Dingin)


0.3

0.2

0.1

0
1 2 3 4 5

Suhu Dingin

- Laju respirasi jangkrik betina pada suhu dingin yaitu 0,218 cm3/menit

h. Jangkrik Jantan (Suhu Dingin)

Jangkrik Jantan (Suhu Dingin)


0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
1 2 3 4 5

Series 1

- Laju respirasi jangkrik betina pada suhu dingin yaitu 0,08 cm3/menit
Laju Respirasi Jangkrik betina > Jangkrik Jantan
i. Jangkrik Besar (Suhu Normal)

Jangkrik Besar (Suhu Normal)


0.08
0.078
0.076
0.074
0.072
0.07
2 4 6 8 10

Suhu Normal

Laju respirasi jangkrik besar pada suhu normal yaitu 0,075 cm3/menit
j. Jangkrik Kecil (Suhu Normal)

Jangkrik Kecil (Suhu Normal)


0.06

0.04

0.02

0
2 4 6 8 10

Series 3

Laju respirasi jangkrik kecil pada suhu normal yaitu 0,04 cm3/menit
Laju Respirasi Jangkrik Besar > Jangkrik Kecil
k. Jangkrik Betina (Suhu Normal)

Jangkrik Betina (Suhu Normal)


0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
1 2 3 4 5

Suhu Normal

Laju respirasi jangkrik betina pada suhu dingin yaitu 0,0198 cm/menit

l. Jangkrik Jantan (Suhu Normal)

Jangkrik Jantan (Suhu Normal)


0.4

0.3

0.2

0.1

0
1 2 3 4 5

Suhu Normal

Laju respirasi jangkrik betina pada suhu dingin yaitu 0,08 cm/menit
Laju Respirasi Jangkrik betina > Jangkrik Jantan
VII. FUNGSI BAHAN
ALAT
 Respirometer : untuk mengukur rata-rata pernapasan organisme dengan
mengukur rata-rata pertukaran oksigen dan karbondioksida.
 Pipet tetes : untuk memasukkan eosin ke dalam pipa respirometer
 Timer : pengatur waktu pengamatan jarak eosin
 Neraca : untuk menimbang berat tubuh jangkrik
BAHAN
1. Jangkrik, sebagai hewan uji.
2. KOH, peran KOH adalah mengikat CO2 dan meningkatkan tekanan pada pipa
respirometer. Reaksi KOH ini akan menghasilkan air, karena KOH bersifat
hidrofil (Hydrofilic) maka H2O hasil respirasi akan diserap oleh KOH. Maka dari
itu KOH dilapisi tissue agar sifat kaustik dari KOH tidak terlalu berefek pada
makhluk hidup yang ada di dalam tabung ketika melakukan ekspirasi.
3. Vaseilin, fungsi vaselin ini diharapkan agar udara yang berada di dalalm tabung
tidak dapat keluar dan udara yang diluar tidak dapat masuk melalui celah-celah
antara mulut tabung dengan penutup.
4. Eosin, sebagai indikator kadar oksigen atau laju oksigen di dalam pipa
respirometer. Dimana hewan invertebrata ataupun hewan vertebrata akan
menghirup oksigen yang ada pada tabung dan pipa respirometer sehingga dengan
adanya penghirupan oksigen maka akan mengakibatkan eosin yang ada di pipa
akan bergerak menuju tabung respirometer sesuai dengan pengambilang oksigen
yang di ambil oleh hewan tersebut (Sazali, 2015).
5. Plastisin, plastisin yang kami gunakan pada penelitian kali ini adalah supaya pada
tabung respirometer laju respirasi atau penggunaan tidak mengalami kebocoran.
Apabila mengalami kebocoran maka penelitian yang sedang di lakukan percuma
di karenakan hasil tidak murni. Sehingga laju respirasi ini haruslah sangat di jaga
supaya di dalam tabung tetap terjadi respirasi yang baik dan murni sehingga hasil
yang di dapatkan pun valid.
6. Kapas, untuk membungkus KOH.
VIII. PENJABARAN TEORI
Bernapas artinya melaksanakan pertukaran gas, yaitu mengambil oksigen (O2)
dan mengeluarkan Karbondioksisa (CO2). Oksigen merupakan zat yang sangat penting
untuk segenap kehidupan. Hewan dapat ber “puasa” tetapi oksigen harus tersdia terus.
Kepompong kupu-kupu yang tampak tidak bergerak juga memerlukan oksigen,
sehingga apabila sekelilingnya dilapisi cat, kepompong akan mati. Pertukaran gas
O2 dengan CO2 dapat berlangsung melalui proses difusi (Campbell, 2002).
Serangga merupakan hewan terestial yang tidak memiliki paru-paru tetapi
menggunakan system trakea untuk pertukaran gas. Kulit pada serangga terletak dikedua
sisi bagian toraks dan abdomen, memiliki sederatan paru-paru atau disebut juga
spirakel, yang tersusun pada setiap segmen dan behubungan dengan system saluran
trakea spirakel dilindungi katub atau rambut-rambut untuk mencegah evaporasi yang
berlebihan lewat pori-pori ini. Trakea tersusun dengan teratur, sebagian berjalan
longitudinal dan sebagian lagi tranpersal. Diameter trakea yang besar berkisar sekitar
1mm dan selalu terbuka dengan penebalan berbentuk spiral dan melingkar, terbentuk
dari khitin yang keras, merupakan suatu bahan yang juga terdapat pada kutikula
(Darmadi Goenarso, 2005)
Trakea merupakan invaginasi (lekukan kedalam)dari ectoderm dan umumnya
mempunyai lubang keluar yang disebut spirakel. Bentuknya berupa pembuluh yang
silindris yang mempunyai lapisan kitin (chitin). Lapisan kitin ini mempunyai penebalan
seperti spiral. Spirakel terdapat sepasang tiap ruas tubuh yang kadang-kadang
mempunyai katup untuk menjaga penguapan air. Trakea mempunyai cabang-cabang
dan cabang yang terkecil yang menembus jaringan disebut trakeolus dengan diameter
1-24. Trakeolus tidak mempunyai lapisan kitin dan dibentuk oleh sel yang disebut
trakeoblas, trakeolus pada serangga ujungnya buntu dan berisi udara atau kadang-
kadang berisi cairan (Djamhur Winatasasmita, 1985).
Alat pernapasan pada serangga berupa trakea, udar masuk dan keluar melalui
lubang kerut yang disebut spirakel atau stigma yang terletak di kanan kiri tubuhnya.
Dari stigma udara terus masuk ke pembuluh trakea memanjang dan sebagian ke kantung
hawa halus yang masuk ke seluruh jaringan tubuh. Pada system trakea ini pengangkutan
oksigen dan karbon dioksida tidak memerlukan bantuan system transportasi khususnya
darah (Cartono,2005).
Fungsi spirakel dan trakea untuk memungkinkan lewatnya udara kepercabangan
saluran yang disebut trakeol, yang merupakan saluran lembut intraseluler dengan
diameter sekitar 1μm. Jumlahnya sangat banyak dan berada diberbagai jaringan,
terutama otot. Berbeda dengan trakease, saluran-saluran lembut ini tidak dilapisi
dengan kutikula, pertukaran gas terjadi dengan mudah melewati dinding saluran ini.
System pernapasan pada serangga melalui sejumlah percabangan saluran udara pada
system trakea. Oksigen langsung dibawa ke jaringan, jadi tidak dilaksanakan melewati
aliran darah. Distribusi oksigen dan pengeluaran karbondioksida tidak dilakukan lewat
system peredaran. Pada kebanyakan serangga dengan difusi saja sudah tercukupi oleh
karena itu tubuh serangga pada umumnya berukurab kecil. Pada beberapa spesies difusi
ini dibantu dengan gerakan ritmiks toraks atauabdomen. Cara mengalirkan udara
(ventilsi) seperti itu, pada belalang spirakel dibuka dan ditutup bergantian, sehingga
udara dapat masuk ke tubuh lewat spirakel toraks dan keluar tubuh lewat spirakel
abdomen. Selain itu serangga dapat mengendalikan laju masuknya oksigen ke jaringan.
Bila terjadi peningkatan otot (saat terbang ) akan terjadi penumpukan asam laktat di
jaringan. Akibatnya tekanan osmosis cairan jaringan meningkat sehingga cairan di
trakeol terserap masuk, sehingga jalan udara lebih leluasa mencapai jaringan dan difusi
oksigen ke jaringan lebih cepat (Darmadi Goenarso dkk, 2005).
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Respirasi
1. Usia : Semakin tua usia, semakin sedikit rspirasi yang dibutuhkan. Hal ini
disebabkan oleh penurunan regenerasi sel sehingga respirasi yang dibutuhkan pun
sedikit
2. Berat Badan: Organisme yang berat badannya lebih berat, lebih banyak respirasi
yang dibutuhkan karena jumlah sel yang dimiliki lebih banyak dibanding
organisme yang lebih ringan berat tubuhnya.
3. Jenis Kelamin: Betina lebih banyak melakukan respirasi karena betina memiliki
sistem hormonal yang lebih kompleks dibanding jantan.
4. Suhu: Semakin tinggi suhunya, semakin banyak respirasi yang dibutuhkan karena
H2O yang dihasilkan oleh respirasi berguna untuk menyesuaikan tubuh dengan
menurunkan suhu.
5. Aktivitas: Semakin banyak aktivitas, semakin banyak respirasi yang dibutuhkan.
Hal ini disebabkan akibat banyaknya energi yang dibutuhkan.
6. Emosi: Semakin tinggi emosi, semakin banyak respirasi yang dilakukan karena
adanya hormon-hormon tertentu yang memengaruhi metabolisme sehingga
respirasi lebih cepat (Isnaeni, 2006).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respirasi Pada Serangga
1) Berat tubuh. Semakin berat tubuh suatu organisme, semakin banyak oksigen yang
dibutuhkan dan semakin cepat proses respirasinya.
2) Ukuran tubuh, Semakin besar ukuran tubuh, semakin banyak keperluan
oksigennya.
3) Kadar O2, Bila kadar oksigen rendah maka frekuensi respirasi akan meningkat
sebagai kompensasi untuk meningkatkan pengambilan oksigen
4) Aktivitas, Makhluk hidup yang melakukan aktivitas memerlukan energi. Jadi
semakin tinggi aktivitasnya, semakin banyak kebutuhan energinya, sehingga
pernapasannya semakin cepat (Ville, 1988).

IX. KESESUAIAN DENGAN TEORI


a. Suhu panas
1. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik besar pada suhu panas lebih besar daripada laju respirasi pada jangkrik
kecil. Data tersebut telah sesuai dengan teori. Berdasarkan teori jangkrik yang
memiliki ukuran lebih besar seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan jangkrik yang berukuran kecil karena salah satu
faktor yang mempengaruhi laju respirasi adalah berat tubuh. Dimana organisme
yang memiliki berat lebih besar seharusnya membutuhkan lebih banyak oksigen
dan laju respirasinya juga semakin cepat. Organisme yang berat badannya lebih
berat, lebih banyak respirasi yang dibutuhkan karena jumlah sel yang dimiliki
lebih banyak dibanding organisme yang lebih ringan berat tubuhnya
(Suharsono, 2018).
2. Laju respirasi jangkrik besar pada suhu panas merupakan laju respirasi terbesar
jika dibandingkan pada suhu dingin dan suhu biasa. Hal tersebut sesuai dengan
teori. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju respirasi, yaitu suhu.
Berdasarkan teori, semakin tinggi suhu maka semakin banyak respirasi yang
dibutuhkan karena H2O yang dihasilkan oleh respirasi berguna untuk
menyesuaikan tubuh dengan menurunkan suhu. Laju respirasi jangkrik kecil
pada suhu panas merupakan laju respirasi terbesar, jika dibandingkan dengan
suhu dingin dan suhu biasa. Hal tersebut sesuai dengan teori. Salah satu faktor
yang mempengaruhi laju respirasi, yaitu suhu. Berdasarkan teori, semakin tinggi
suhu maka semakin banyak respirasi yang dibutuhkan karena H2O yang
dihasilkan oleh respirasi berguna untuk menyesuaikan tubuh dengan
menurunkan suhu. (Bakri et al., 2017).
3. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik betina pada suhu panas lebih besar daripada laju respirasi pada jangkrik
jantan. Data tersebut telah sesuai dengan teori. Berdasarkan teori jangkrik betina
seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan
jangkrik jantan karena jangkrik betina memiliki sistem hormonal yang lebih
kompleks dibanding jantan. Selain itu, jangkrik betina kebanyakan memiliki
ukuran yang lebih besar sehingga laju respirasinya juga semakin besar.
4. Laju respirasi jangkrik betina pada suhu panas merupakan laju respirasi terbesar
jika dibandingkan pada suhu dingin dan suhu biasa. Hal tersebut sesuai dengan
teori. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju respirasi, yaitu suhu.
Berdasarkan teori, semakin tinggi suhu maka semakin banyak respirasi yang
dibutuhkan karena H2O yang dihasilkan oleh respirasi berguna untuk
menyesuaikan tubuh dengan menurunkan suhu. Laju respirasi jangkrik jantan
pada suhu panas merupakan laju respirasi terbesar kedua setelah suhu biasa.
Tidak sesuainya dengan teori dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya aktivitas dan emosi.
b. Suhu dingin
1. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik besar pada suhu dingin lebih besar daripada laju respirasi pada jangkrik
kecil. Data tersebut telah sesuai dengan teori. Berdasarkan teori jangkrik yang
memiliki ukuran lebih besar seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan jangkrik yang berukuran kecil karena salah satu
faktor yang mempengaruhi laju respirasi adalah berat tubuh. Dimana organisme
yang memiliki berat lebih besar seharusnya membutuhkan lebih banyak oksigen
dan laju respirasinya juga semakin cepat. Organisme yang berat badannya lebih
berat, lebih banyak respirasi yang dibutuhkan karena jumlah sel yang dimiliki
lebih banyak dibanding organisme yang lebih ringan berat tubuhnya (Jannatan
et al., 2013).
2. Laju respirasi jangkrik besar pada suhu dingin lebih kecil dibandingkan dengan
laju respirasi pada suhu panas. Data tersebut belum sesuai dengan teori karena
semakin tinggi suhu maka semakin besar laju respirasi. Tidak sesuainya dengan
teori dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya aktivitas dan emosi.
Laju respirasi pada jangkrik kecil suhu dingin merupakan laju respirasi paling
kecil. Data tersebut sesuai dengan teori karena semakin rendah suhu maka laju
respirasinya semakin kecil.
3. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik betina pada suhu dingin lebih besar daripada laju respirasi pada
jangkrik jantan. Data tersebut telah sesuai dengan teori. Berdasarkan teori
jangkrik betina seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar
dibandingkan dengan jangkrik jantan karena jangkrik betina memiliki sistem
hormonal yang lebih kompleks dibanding jantan. Selain itu, jangkrik betina
kebanyakan memiliki ukuran yang lebih besar sehingga laju respirasinya juga
semakin besar.
4. Laju respirasi jangkrik jantan pada suhu dingin merupakan laju respirasi paling
kecil jika dibandingkan pada suhu panas dan suhu biasa. Hal tersebut sesuai
dengan teori. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju respirasi, yaitu suhu.
Berdasarkan teori, semakin tinggi suhu maka semakin banyak respirasi yang
dibutuhkan karena H2O yang dihasilkan oleh respirasi berguna untuk
menyesuaikan tubuh dengan menurunkan suhu. Laju respirasi jangkrik betina
pada suhu dingin merupakan laju respirasi kedua setelah suhu panas. Hal
tersebut tidak sesuai dengan teori. Tidak sesuainya dengan teori dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya aktivitas dan emosi.
c. Suhu biasa
1. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik besar pada suhu biasa lebih besar daripada laju respirasi pada jangkrik
kecil. Data tersebut telah sesuai dengan teori. Berdasarkan teori jangkrik yang
memiliki ukuran lebih besar seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan jangkrik yang berukuran kecil karena salah satu
faktor yang mempengaruhi laju respirasi adalah berat tubuh. Dimana organisme
yang memiliki berat lebih besar seharusnya membutuhkan lebih banyak oksigen
dan laju respirasinya juga semakin cepat. Organisme yang berat badannya lebih
berat, lebih banyak respirasi yang dibutuhkan karena jumlah sel yang dimiliki
lebih banyak dibanding organisme yang lebih ringan berat tubuhnya (Jannatan,
Rahayu, & Santoso, 2013).
2. Laju respirasi pada jangkrik besar suhu biasa merupakan laju respirasi paling
kecil. Data tersebut kurang sesuai dengan teori dimana semakin rendah suhu
maka laju respirasinya semakin kecil. Laju respirasi jangkrik kecil pada suhu
biasa sama dengan pada suhu dingin. Data tersebut tidak sesuai dengan teori
karena semakin tinggi suhu maka semakin besar laju respirasi sehingga urutan
laju respirasi dari terbesar ke terkecil berdasarkan teori, yaitu suhu panas suhu
biasa suhu dingin. Ketidaksesuaian dengan teori dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya aktivitas dan emosi.
3. Berdasarkan praktikum yang dilakukan, didapatkan data bahwa laju respirasi
jangkrik jantan pada suhu biasa lebih besar daripada laju respirasi pada jangkrik
betina. Data tersebut tidak sesuai dengan teori. Berdasarkan teori jangkrik betina
seharusnya memiliki laju respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan
jangkrik jantan karena jangkrik betina memiliki sistem hormonal yang lebih
kompleks dibanding jantan. Selain itu, jangkrik betina kebanyakan memiliki
ukuran yang lebih besar sehingga laju respirasinya juga semakin besar. Tidak
sesuainya dengan teori dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
aktivitas dan emosi.
4. Laju respirasi jangkrik jantan pada suhu biasa merupakan laju respirasi terbesar.
Sedangkan jangkrik betina pada suhu biasa merupakan laju respirasi terkecil.
Data tersebut tidak sesuai dengan teori. Salah satu faktor yang mempengaruhi
laju respirasi, yaitu suhu. Berdasarkan teori, semakin tinggi suhu maka semakin
banyak respirasi yang dibutuhkan karena H2O yang dihasilkan oleh respirasi
berguna untuk menyesuaikan tubuh dengan menurunkan suhu. Urutan laju
respirasi dari terbesar ke terkecil berdasarkan teori, yaitu suhu panas suhu
biasa suhu dingin.
X. KESIMPULAN
1. Bernapas artinya melaksanakan pertukaran gas, yaitu mengambil oksigen (O2) dan
mengeluarkan Karbondioksisa (CO2). Oksigen merupakan zat yang sangat penting
untuk segenap kehidupan. Hewan dapat ber “puasa” tetapi oksigen harus tersdia
terus. Kepompong kupu-kupu yang tampak tidak bergerak juga memerlukan
oksigen, sehingga apabila sekelilingnya dilapisi cat, kepompong akan mati.
Pertukaran gas O2 dengan CO2 dapat berlangsung melalui proses difusi.
2. Konsumsi Oksigen Jangkrik :
a) Jangkrik Besar
- Suhu Panas : 0,106 cm3/menit
- Suhu Dingin : 0,087 cm3/menit
- Suhu Biasa : 0,075 cm3/menit
b) Jangkrik Kecil
- Suhu Panas : 0,081 cm3/menit
- Suhu Dingin : 0,044 cm3/menit
- Suhu Biasa : 0,04 cm3/menit
c) Jangkrik Betina
- Suhu Panas : 0,26 cm3/menit
- Suhu Dingin : 0,218 cm3/menit
- Suhu Biasa : 0,198 cm3/menit
d) Jangkrik Jantan
- Suhu Panas : 0,068 cm3/menit
- Suhu Dingin : 0,08 cm3/menit
- Suhu Biasa : 0,23 cm3/menit
XI. DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Ali dkk. 2017. Alternatif Bahan Pembungkus Kalium Hidroksida (KOH) dalam
Penyerapan O2 dalam Percobaan Respirasi. Jurnal Penelitian Sains. 19(1)
Campbell, N. A. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta : Erlangga
Cartono, 2005. Biologi Umum Untuk Perguruan Tinggi LPTK. Bandung : Prime Press.
Djamhur Winatasasmita, 1985. Materi Pokok Fisiologi Hewan dan Tumbuhan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : UT
Darmadi Goenarso, 2005. Fisiologi Hewan. Jakarta : UT
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kanisius
Macdonald, Alexis. Et.All. 2016. Effects Of Jumping On Grasshopper Muscle
Carbohydrate Levels. The FASEB Journal 30(2)
Mathur P.N,and Hurkat P.C.1976.A Text Book of Animal Physiologi. Schand Co
Ltd,New Delhi
Suharsono, Suharsono. 2018. Perbedaan Jumlah Konsumsi Oksigen (O2) Pada
Respirasi Berbagai Hewan Invertebrata Kelas Insecta. Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada 18 (2)
Sazali, Munawir. 2015. Identifikasi Fauna Tanah Pada Areal Pascapenambangan Tanah
Urugan sebagai Reklamasi Lahan Pertanian di Desa Lendang Nangka
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Biota 8 (2), 117-128
Ville, C.A.,F, W. Warren and R.D Barnes. 1988. General Biology. New York :
Saunders Compan
XII. LAMPIRAN
1. 1 lembar laporan sementara
2. 1 lembar lampiran foto

XIII. LEMBAR PENGESAHAN


Surakarta, 23 November 2018

Asisten Praktikan
LAMPIRAN FOTO
LAMPIRAN LAPORAN SEMENTARA

Anda mungkin juga menyukai