Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Achondroplasia merupakan salah satu penyebab tersering dari dwarfisme.
Penyakit ini merupakan displasia skeleton murni yang diturunkan secara
autosomal dominan. Gangguan terutama pada pertumbuhan tulang-tulang
panjang, paling sering pada tulang lengan dan tungkai. Penyakit ini memberikan
gambaran perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak yang tidak
proporsional. Pemendekan anggota gerak terutama pada segmen proksimal yang
disebut rhizomelia.1
Menurut Horton et al, 2007 dan Baujat et al, 2008, Achondroplasia (Ach)
atau achondroplasia merupakan bentuk dwarfisme yang paling sering terjadi pada
manusia. Frekuensi kejadiannya yaitu 1 dari 5-25.000 kasus dan 80% dari kasus
jarang terjadi. Achondroplasia merupakan kelainan genetik autosomal dominan.
Perawakan pendek pada Ach terutama merupakan hasil dari pemendekan dari
anggota badan dengan segmen proksimal yang terkena dampaknya, yang disebut
sebagai rhizomelia. Sedangkan menurut penelitian lain, achondroplasia terjadi
pada 1 dari setiap 10.000-30.000 kelahiran hidup. Hal tersebut terjadi akibat
mutasi gen pertumbuhan pada reseptor transmembran fibroblast growth factor
receptor 3 (FGFR3), yang sangat penting untuk mengatur aktivitas lempeng
pertumbuhan tulang.6
Achondroplasia merupakan penyakit langka di seluruh dunia. Menurut data
statistik dari lembaga penelitian barat, achondroplasia memiliki insiden global
sekitar 1/177.000-1/15.000 kasus. 80-90% bayi baru lahir dengan kondisi ini
mempuyai kasus sporadik yang disebabkan oleh adanya mutasi gen pertumbuhan,
dan 10-20% dari bayi baru lahir dengan kondisi ini memiliki bentuk keterkaitan
genetik.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Achondroplasia adalah suatu kelainan autosomal dominan yang
dikarakteristikkan oleh adanya tungkai dan lengan yang pendek, tubuh yang
kecil, dan macrosephali. Achondroplasia merupakan salah satu penyebab
tersering dari dwarfisme, kelainan autosomal dominan ini bersifat diturunkan.
Pasien yang menderita dwarfisme ini disertai dengan kelainan kraniofasial,
sistem saraf pusat, spinal, pernapasan, dan kelainan pada jantung.1,2

2.2. Etiologi
Adanya mutasi pada gen yang mengkode Fibroblast Growth Factor
Receptor 3 (FGFR3) dan bersifat autosomal dominan. Sekitar 80% mutasi
merupakan mutasi baru yang terjadi sejak masa embrional. Mutasi pada fungsi
FGFR3, mempengaruhi lempeng pertumbuhan tulang rawan pada tulang yang
sedang tumbuh yang menyebabkan perubahan kerangka tubuh.1,2,6

2.3. Anatomi dan Fisiologi Tulang


Tulang dalam garis besarnya dibagi atas :6
1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, fibula, ulna dan
humerus dimana daerah batas disebut diafisis dan yang berdekatan dengan
garis epifisis disebut metafisis. Didaerah ini merupakan suatu daerah yang
sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh karena di
daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak
mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan
pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan
tulang.

2
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang
karpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula dan
tulang pelvis.

Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut
korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan
diluarnya dilapisi periosteum. Periosteum pada anak lebih tebal daripada orang
dewasa, yang memungkinkan penyembuhan tulang pada anak akan lebih cepat
dibandingkan orang dewasa. Pada tulang panjang terdapat bagian-bagian khas
antara lain diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk
silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang
besar.6
Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas
untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifis adalah daerah
pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, dan bagian ini akan menghilang pada
tulang dewasa. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteri nutrisi khusus.
Lokasi dan keutuhan dari arteri-arteri inilah yang menentukan berhasil atau
tidaknya proses penyembuhan tulang yang patah.6
Berdasarkan histologis, maka dikenal (Gambar 2):
1. Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone)
Tulang ini pertama-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada suatu
perkembangan embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi
tulang yang imatur dan pada umur satu tahun tulang imatur kemudian
secara perlahan-lahan menjadi tulang yang matur.
2. Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)

3
o Tulang trabekuler (cancellous bone, trabecular bone, spongiosa)

Proses pembentukan tulang imatur telah dimulai pada usia gestasi 8


minggu. Dimana pada saat tersebut tulang telah dibentuk dari struktur tulang
rawan (kondrosit). Seiring dengan waktu, terbentuklah vaskularisasi sehingga
memungkinkan suplai darah ke tulang imatur dan mengaktifkan fungsi
osteoblast untuk menyekresikan kompenon osteoid sehingga terjadi osifikasi
(proses pengkakuan) primer dan menjelang kelahiran, osteoclast mengalami
aktivasi untuk membuat kanal-kanal medular. Setelah lahir, proses osifikasi
terjadi pada daerah diafisis & kondrosit epifisis yang mengalami osifikasi
terus-menerus hingga mencapai tinggi maksimum.

Gambar 1: Pertumbuhan dan perkembangan tulang sejak embrional hingga dewasa


(dikutip dari kepustakaan 6).

Secara histologik, pada masa pertumbuhan, lempeng epifisis memiliki


zona-zona yang berbeda berdasarkan maturitas tulangnya (Gambar 2). Tulang
matur ditandai dengan sistem Havers yang memberikan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan

4
lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding tulang imatur (Gambar 3
& 4).

Gambar 2 : Gambaran histologi pada lempeng pertumbuhan tulang yang mengalami


proses osifikasi endochondral. (1) Zona cadangan (2) Zona proliferasi (3) Zona hipertrofi
(4) Zona mineralisasi (5) Zona spongiosa primer (dikutip dari kepustakaan 6).

Gambar 3 : Gambar 4 :
Makrostruktur tulang matur Mikrostruktur tulang matur
(dikutip dari kepustakaan 6) (dikutip dari kepustakaan 6)

5
2.4. Epidemiologi
Insiden kelahiran dengan Achondroplasia diperkirakan sekitar 1/10.000
sampai 1/30.000 kelahiran dan lebih dari 90% kasus bersifat sporadik.
Achondroplasia merupakan penyebab perawakan pendek terbanyak. Adapun
angka kejadian lahirnya anak dengan Achondroplasia meningkat seiring dengan
meningkatnya usia ayah pada saat terjadi konsepsi dimana hal ini dihubungkan
dengan kualitas dari sperma. Lebih dari 95% pasien pasien yang mengalami
achondroplasia mengalami mutasi yang sama yaitu pada gen FGFR3 dan
sebagian besar dari mereka memiliki mutasi yang baru. Achondroplasia
merupakan kasus paling banyak terjadi yang bersifat diturunkan dan
menyebabkan ketidakstabilan pada tinggi penderitanya. Achondroplasia yang
terjadi pada bayi didapatkan bentuk tubuh yang pendek dan pertumbuhan yang
terhambat pada masa kanak-kanak. Tulang kranial yang membesar dibandingkan
dengan basis cranii dan tulang fasial, yang tampak kecil.2

2.5. Patofisiologi
Achondroplasia terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang mengkode
Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3). Pada mamalia, FGFRs terdiri
dari 4 macam reseptor Tirosin Kinase (FGFR1-4) yang memiliki afinitas yang
berbeda-beda terhadap Fibroblast Growth Factors (FGFs). Adapun FGF 1, 2, 4,
8, dan memiliki afinitas tinggi untuk mengaktifkan FGFR3. FGFs terdiri dari 18
protein struktural misalnya, heparin-binding polypeptides yang memegang
peranan pada pertumbuhan dan differensiasi berbagai jenis sel yang berasal dari
mesenkim dan neuroektodermal. Selain itu, FGFs juga memenggaruhi
kemotaksis, angiogenesis, dan apoptosis sel tersebut.5
Pada keadaan normal, adanya akitivasi pada FGFR3 membuka jalur
STAT1, MAPK-ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya untuk menginhibisi
proliferasi kondrosit, sintesis matriks post-mitotik, dan diferensiasi akhir
(hipertrofi) sel. Dengan teraktvasinya FGFR3 maka, teraktivasi pula C-type

6
Natriuretic Peptide (CNP) melalui interaksi dengan reseptornya, Natriuretic
Peptide Receptor B (NPR-B). CNP menginduksi Cyclic Guanosine
Monophosphate (cGMP) sehingga menginhibisi jalur MAPK yang akhirnya akan
menyebabkan proliferative dan pra-hipertrofi pada zona lempeng pertumbuhan.5

Gambar 5 : Aktivasi FGFR3 oleh FGF membuka jalur STAT1, MAPK-ERK, MAPK-
p38, dan jalur lainnya serta, induksi CNP yang menghambat jalur MAPK (dikutip dari
kepustakaan 5).

Adanya mutasi pada FGFR3 menyebabkan aktivasi berlebih pada FGRF3


sehingga menyebabkan hambatan pertumbuhan dan diferensiasi pada kondrosit.5

2.6. Diagnosis
 Gejala klinis
Achondroplasia ditandai dengan batang tubuh yang panjang dengan
esktremitas yang kecil dan pendek, khususnya ekstremitas bagian proksimal.
Pada kepala, ukuran cranium frontal besar sedangkan wajah lebih kecil oleh
karena mengalami hipoplastik karena berasal dari endokondrial dasar
cranium. Hiperekstensi terutama pada sendi lutut dan tangan. Ektremitas atas
juga pendek dengan jari-jari membentuk trisula atau trident hand.2,4,5

7
Gibbus thorasikus biasanya telah ada sejak lahir namun, tampak lebih
jelas pada usia 4 bulan. Hipotoni dari ringan hingga sedang sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Selain itu, bayi sering memiliki posisi abduksi atau
lordosis pada sendi panggul saat dibaringkan.4,5

Gambar 6 : Tampilan fisik pada anak dengan achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 5)

 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiologi
 Foto konvensional
Pada pemeriksaan foto konvensional, didapatkan :
- Pelebaran tulang cranium (kalvari) dengan bagian frontal yang
menonjol disertai hipoplasia midface.7

8
Gambar 7 : Menunjukkan adanya pembesaran kalvaria dengan bagian basis
cranium yang mengecil disertai bagian frontal cranium yang menonjol (dikutip
dari kepustakaan 7).

- Tulang rusuk yang lebih pendek dari panjang batang tubuh (ratio
ekstremitas dan costa dibanding trunkus bertambah).7

Gambar 8 : Gambar menunjukkan adanya pemendekan tulang rusuk (dikutip dari


kepustakaan 7)

- Rongga pelvis yang menyempit dan adanya pemendekan jarak


interpedikular serta tampak gambaran champagne glass-pelvis.7

9
Gambar 9 : Champagne-glass appereance dengan berkurangnya sudut
acetabulum, dan sayap iliaca berbentuk persegi (dikutip dari kepustakaan 7).

- Adanya trident hand, dimana tulang-tulang falang yang memendek


dengan jarak antara jari yang melebar (gambaran trisula).7

Gambar 10 dan 11 : Trident hand (dikutip dari kepustakaan 7)

- Berkurangnya jarak interpedicular pada kolumna vertebra dilihat


dari arah caudal dan berkurangnya diameter anteroposterior dari
vertebra.7

10
a b
Gambar a.12 : Berkurangnya jarak interpedicular vertebra dilihat dari arah caudal
(dikutip dari kepustakaan 7) .
Gambar b.13 : Gambar vertebra dari posisi lateral dimana menunjukkan gambaran
berkurangnya diameter anteroposterior (AP) tulang belakang (dikutip dari
kepustakaan 7).

Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi biasanya dilakukan saat perawatan
antenatal oleh ibu hamil yang berisiko tinggi memiliki anak dengan
achondroplasia. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan
achondroplasia yang bersifat homozigot dan heterozigot.7
Pada achondroplasia yang bersifat homozigot, didapatkan panjang
batang tubuh yang normal, dan adanya perbedaan proporsi yang nyata antara
ukuran tengkorak dan/atau diameter biparietal (BPD) dengan panjang tungkai
dimana, panjang femur berada di bawah percentile ke-3 sesuai usia
gestasinya. Gambaran ini sudah dapat dinilai pada usia gestasi 13 minggu.
Adapun kasus ini bersifat letal akibat hipoplasia paru yang dihubungkan
dengan hambatan pertumbuhan rongga dada.7

11
Pada achondroplasia yang bersifat hererozigot, gambaran
ultrasonografi trimester awal kehamilan menunjukkan gambaran normal dan
kelainan baru dapat diamati pada akhir trimester II (usia gestasi >24-28
minggu). Dimana kelainan dari gambaran ultrasonografi bersifat ringan
dengan ekstremitas yang pendek, ukuran batang tubuh yang kecil,
peningkatan lingkar kepala dan BPD, dahi menonjol, dan jarak
interpendikular pada tulang belakang berkurang.7

CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sering digunakan untuk menilai ukuran
foramen magnum pada penderita achondroplasia. Hal itu dikarenakan, pada
96% penderita achondroplasia, ukuran foramen magnumnya akan mengalami
penurunan atau menyempit.7
Selain itu, pemeriksaan CT-Scan juga digunakan untuk menilai
adanya penyempitan maupun penekanan pada medulla spinalis akibat
kompresi dari corpus vertebra cervical I dengan foramen magnum yang
berukuran kurang dari normal. Adapun komplikasi otitis media yang sering
didapatkan pada penderita achondroplasia dapat pula dinilai melalui
pemeriksaan tulang temporal pada CT-Scan.7

12
Gambar 14 : Penyempitan foramen magnum dengan cervicomedulari yang menyusut
(merah) dan clivus yang memendek (hijau) (dikutip dari kepustakaan 7).

MRI
Pemeriksaan MRI yaitu pemeriksaan craniocervical dilakukan untuk
menilai adanya kompresi pada medulla spinalis yang melewati kanal vertebra
cervical I. Selain itu, dengan pemeriksan MRI dapat pula dinilai adanya
penyempitan ruang subarachnoid pada pertemuan cervical dan medulla otak,
adanya ventriculomegaly derajat ringan hingga sedang serta anomali-anomali
lain yang sering menyertai achondroplasia.7

13
Gambar 15 : Potongan sagital cervical T2, adanya penyempitan foramen magnum pada
canalis C1, tidak tampak ruang subarachnoid pada foto tersebut (dikutip dari kepustakaan 7).

2.7. Diagnosis Banding


1. Hipochondroplasia
Hipochondroplasia merupakan penyakit yang juga disebabkan oleh
mutasi gen FGFR3 yang bersifat autosomal dominan. Penderita
hipochondroplasia memiliki ciri-ciri yaitu berperawakan pendek, micromelia,
dan lordosis lumbar tanpa disertai rhizomelia, mesomelia, atau acromelia.
Adapun gejala klinis, gambaran radiologi, dan gambaran histopatologinya
serupa dengan achondroplasia, namun dengan derajat yang lebih ringan.5

14
Gambar 16 : Penderitta hipochondroplasia dengan perawakan tubuh yang pendek
namun, dengan tampilan fisik dan keadaan yang lebih ringan dibanding penderita
pada achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 5).

2. Thanatoporic dysplasia
Thanatoporic dysplasia merupakan salah satu bentuk tersering
displasia tulang yang bersifat letal. Adapun thanatoporic dysplasia ini berciri-
ciri yaitu, micromelia, tulang punggung yang pendek, makrosefal,
platispondilis, dan menurunnya ukuran rongga thoraks. Biasanya, penderita
thanatoporic dysplasia meninggal pada masa neonatus.5

15
Gambar 17 : Thanatoporic dysplasia (dikutip dari kepustakaan 5)

3. SADDAN dysplasia
SADDAN dysplasia merupakan penyakit yang bersifat fenotip,
dimana biasanya menyerang 3 sistem tubuh yaitu, kulit, tulang, dan otak.
Adapun SADDAN dysplasia berciri-ciri perawakan yang sangat pendek,
achantosis nigrans, keterlambatan perkembangan tubuh dan otak. Penderita
dengan SADDAN dysplasia seringkali memiliki riwayat kejang, hidrosefalus
pada masa bayi, dan keterbatasan perkembangan motorik dan intelektual yang
berat.5

Gambar 17 : Gambar ini menunjukkan penderita SADDAN dysplasia yang berusia


20 tahun. Tampak perawakan yang sangat pendek dan memiliki keadaan yang lebih
berat dibandingkan penderita achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 5).

16
4. Osteogenesis Imperfecta
Osteogenesis imperfecta (OI) merupakan suatu kelainan pada tulang
terutama fragilitas tulang yang disebabkan oleh adanya mutasi pada gen
COL1A1 dan COL1A2 yang mengkode procolagen tipe 1. Terdapat 4 tipe
osteogenesis imperecta yang telah dijelaskan oleh Sillence pada tahun 1979
dan sekarang telah digunakan secara luas sebagai kriteria Sillence. Adanya
gen tambahan yang mengalami mutasi juga dapat menyebabkan kerapuhan
tulang.8
Pasien dengan osteogenesis imperfecta sering memiliki riwayat
keluarga yang mengalami osteogenesis imperfecta juga, namun pada beberapa
kasus didapatkan adanya mutasi baru. Pasien pada umumnya datang dengan
fraktur setelah terjadi trauma ringan. Pada kasus yang berat, screening
ultrasonografi prenatal dapat digunakan selama trimester kedua yang mungkin
akan menampilkan gambaran tulang-tulang panjang yang bengkok, fraktur,
tungkai dan lengan yang pendek, dan penurunan echogenicity tengkorak.
Osteogenesis imperfect yang bersifat letal tidak bisa didiganosis pasti di
dalam rahim. Manifestasi klinis pasien dengan OI tergantung pada
fenotipenya.8
a. Tipe 1
Tipe 1 merupakan bentuk yang ringan dan paling sering terjadi. Pasien
memiliki klinis sclera biru (sering dijelaskan sebagai warna biru dengan abu),
derajat kelemahan tulang yang berubah-ubah, deformitas tulang sedang, dan
tuli yang terjadi sejak awal. Tinggi badan biasanya normal. Pada 20% kasus
didapatkan adanya skoliosis dan kifosis.8
b. Tipe 2
Beberapa bayi yang mengalami OI tipe 2, lahir dengan kondisi
dwarfisme,, sclera biru, dan lengan sertai tungkai yang bengkok. Pasien
mungkin memiliki hidung yang kecil, micrognathia, atau keduanya. Penyakit
ini biasanya fatal saat persalinan, namun terdapat beberapa bayi yang mampu

17
bertahan hidup sampai beberapa bulan. Semua pasien sudah mengalami
fraktur sejak di dalam kandungan, yang mungkin melibatkan tengkorak,
tulang panjang, dan vertebra. Tulang kosta berbentuk tidak jelas, dan tulang
panjang mengalami deformitas berat. Penyebab kematian meliputi kelemahan
tulang kosta yang ekstrem, pulmonary hypoplasia, dan malformasi atau
perdarahan system saraf pusat.8
c. Tipe 3
Dari semua tipe OI, tipe 3 merupakan salah satu yang sering memerlukan
pembedahan. Bayi yang mengalami OI sering lahir dengan kelemahan atau
kerapuhan tulang yang berat dan fraktur multiple, meskipun berat badan saat
lahir normal. Kelemahan tulang dapat terjadi lebih dulu sebelum
hiperealksitas sendi, kelemahan otot, nyeri kronik pada tulang yang terus
menerus, dan deormitas pada tulang tengkorak. Fraktur juga sering terjadi saat
bayi masih dalam kandungan. Setelah lahir, fraktur sering terjadi tanpa sebab
dan sembuh dengan deformitas. Kebanyakan penderita mengalami perawakan
pendek. Bentuk wajah relative triangular dan makrosefali. Sclera bervariasi
dari putih hingga biru. Sering dijumpai dentinogenesis imperfect (80% pada
usia anak < 10 tahun). Disorganisasi matriks tulang menyebabkan gambaran
popcorn pada metafisis, dilihat dari gambaran radiologi.8

18
Gambar 18 : Beberapa daerah radiolusen kecil dengan margin sklerotik di epiphysis dan
methapysis disebut sebagai “gambaran popcorn” (dikutip dari kepustakaan 8).

d. Tipe 4
Terjadi karena point mutation atau delesi kecil pada prokolagen tipe I
yaitu pada rantai COL1A2, kadang pada COL1A1. Merupakan tipe OI yang
paling heterogen karena memasukkan temuan-temuan pada penderita yang
tidak tergolong dalam 3 tipe sebelumnya. Fraktur dapat terjadi dalam uterus
dengan tulang panjang bawah bengkok yang tampak sejak lahir. Penderita
mengalami perawakan pendek moderat. Sclera biasanya putih. Dapat dijumpai
dentinogenesis imperfecta. Gambaran radiologi dapat menunjukkan
osteoporotic dan kompresi vertebra. Para peneliti menemukan beberapa
penderita yang secara klinis termasuk tipe IV mempunyai tipe yang berbeda
pada tulangnya. Mereka menamakan sebagai OI tipe V dan VI.8
OI tipe V merupakan deformitas berat dan pasien menunjukkan kerapuhan
tulang sedang sampai parah. Tidak didapatkan sclera biru dan dentinogenesis
imperfect. Pada pasien OI tipe V juga dijumpai adanya pembentukan kalus
hipertroik si lokasi patah tulang dan kalsifikasi dari membrane interoseus
dantara tulang lengan bawah.8

19
Gambar 19 : Osteogenesis imperfect tipe V dengan hipertrofi kalus (dikutip dari kepustakaan
8)

Pada tipe VI OI pasien juga tampak adanya deformitas skeletal dari moderat
sampai berat dan tidak didapatkan sclera biru atau dentiogenesis imperfect.
Tanda khas dari jenis OI ini adalah scale-like appearance dari lamella tulang
dan adanya osteoid berlebih pada pemeriksaan histologi.

Gambar 20 : Osteogenesis imperfecta tipe V dengan perawakan pendek yang moderat dan
deformitas berat (dikutip dari kepustakaan 8).

20
Pada OI tipe VII, pasien juga memiliki deormitas tulan dari moderat dan
kerapuhan dari tulang, sclera biru dan imperfect dentinogenesis jarang.
Gambaran klinis khas dari penyakit ini adalah rhizomelic shortening dari
humerus dan femur. Tidak seperti bentuk lain dari OI, yang dapat diwariskan
secara autosomal dominan, jenis VII OI menunjukkan pewarisan secara
autosomal resesif.

Gambar 21 : Osteogenesis imperfect tipe VII dengan didapatkan “Rhizomelic shortening dari
humerus dan femur” (dikutip dari kepustakaan 8).

OI Tipe VIII menyerupai lethal OI tipe II/III dalam penampilan dan gejala,
kecuali bayi memiliki sclera putih. Disebabkan oleh ketiadaan atau defisiensi
berat dari aktivitas prolyl 3-hydroxylase karena mutasi gen LEPRE1. Terdapat
defisiensi pertumbuhan yang berat dan undermineralization skeletal yang
berat.8

2.8. Penatalaksanaan
Sampai saat ini, penatalaksanaan pada penderita achondroplasia masih
dalam penelitian. Kesulitan penatalaksanaan dikarenakan penyebab yang
mendasari terjadinya achondroplasia adalah mutasi gen. Namun, pada beberapa
kasus, pemberian hormon pertumbuhan (growth hormone) pada penderita

21
achondroplasia yang masih kecil sering dilakukan karena pada beberapa kasus,
terjadi peningkatan pertumbuhan tulang. Akan tetapi, mekanisme kerjanya belum
jelas sehingga belum direkomendasikan pada pengobatan achondroplasia.
a. Terapi hormon
Pada beberapa Negara, terapi hormon merupakan salah satu terapi
pilihan untuk sebagian besar pasien dengan achondroplasia. Setelah dilakukan
terapi, beberapa pasien menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tidak
diterapi, diduga bahwa beberapa pasien berespon terhadap terapi hormon.
Akan tetapi, tingginya biaya dari terapi ini menyebabkan terapi ini sangat
jarang digunakan. Untuk jangka waktu yang lama, didapatkan hasil yang
berbeda dari penggunaan terapi hormon. Baru-baru ini, dari hasil follow up
sebuah penelitian, setelah pemberian terapi hormon pada seorang pasien
selama 5 tahun didapatkan bahwa Growth Hormone memperbaiki tinggi dari
pasien tersebut tanpa menimbulkan efek samping disproporsi batang tubuh.5
Seperti GH, baru-baru ini didapatkan bahwa injeksi sistemik hormon
parathyroid yang dilakukan secara intermiten secara signifikan mengurangi
retardasi pertumbuhan skeletal pada tikus percobaan. Selanjutnya, dari hasil
penelitian juga didapatkan bahwa terapi PTH dapat mengurangi osteopenia
dan memperbaiki struktur tulang pada achondroplasia. Pada level molecular,
peningkatan PTH-related peptide (PTHrP) dan penurunan regulasi dari
FGFR3 bertangung jawab dalam keuntungan penggunaan PTH dalam hal
pertumbuhan tulang pada achondroplasia, tetapi terapi PTH tidak dianjurkan
untuk digunakan secara terus menerus.5
b. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan merupakan pilihan terapi yang paling efektif
untuk achondroplasia. Di Negara barat, prosedur pembedahan seperti
osteotomy sering diusulkan ketika didapatkan genu varum yang menetap
selama masa kanak-kanak. Osteotomy dianjurkan sebagai terapi pembedahan
untuk kifosis torakolumbar dan stenosis lumbar pada pasien dengan

22
achondroplasia. Berdasarkan pengamatan terbaru dengan prosedur
pembedahan limb-lengthening menghasilkan tingginya komplikasi seperti
nyeri dan infeksi, namun prosedur tersebut telah mengalami kemajuan yang
memberikan hasil yang signifikans yaitu meningkatnya tinggi pasien dalam
periode 24 bulan.5
Dekompresi kanalis spinalis merupakan salah satu strategi
pembedahan yang paling banyak digunakan untuk menangani stenosis spinalis
pada pasien dengan achondroplasia, dan hal tersebut dapat mengurangi gejala
dari stenosis lumbalis. Akan tetapi, besarnya risiko cedera saraf telah
mengurangi penggunaan prosedur ini. Setelah dilakukan pembedahan, tulang
tibia dan femur bertambah pajang sekitar 10 cm. Karena pasien dengan
achondroplasia memiliki tungkai dan lengan yang pendek, dengan demikian
membutuhkan pertimbangan, umur merupakan hal yang perlu diperhatikan
dalam pembedahan ini. Setelah dilakukan operasi, tungkai bagian bawah
harus digunakan sesegera mungkin untuk meningkatkan pembentukan tulang
baru dan harus tetap dikontrol setiap 1-2 tahun penutupan lempeng
epifisisnya.5

2.9. Prognosis
Prognosis hidup penderita achondroplasia bergantung kepada derajat
komplikasinya. Makin berat komplikasi yang dialami, maka makin buruk pula
prognosisnya. Pada penderita achondroplasia homozigot, prognosisnya jauh
lebih buruk dibandingkan achondroplasia heterozigot. Penderita biasanya sudah
meninggal pada masa janin atau beberapa saat setelah dilahirkan. Selain itu,
pemantauan berkala pada bayi yang lahir dengan achondroplasia menjadi
sangat penting karena dapat mengantisipasi bahkan menghindari terjadinya
komplikasi yang berat.4,5

23
BAB III
LAPORAN KASUS

4.1. Data pasien


Nama : Anak L
Usia : 38 minggu
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM :-

4.2. Anamnesa
a. Keluhan utama : distress pernapasan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang bayi laki-laki berusia 38 minggu, dengan BB 3500 gram, lahir
dengan kondisi distress pernapasan dan telah mendapatkan perawatan. USG
prenatal saat berusia 36 minggu menyatakan adanya ketidaksesuaian ukuran
diameter biparietal (BPD) pada bayi dengan ukuran >95 centil, lingkar
abdomen >95 centil, panjang femur dan humerus <5 centil disertai dengan
polyhidramnios (maksimal vertical pool 8 cm). Didapatkan gambaran lainnya
yaitu frontal yang menonjol dengan penekanan pada tulang hidung, adanya
midfacial yang hipoplasia dan tulang tubular yang pendek. Didapatkan pula
adanya “bell-shaped” toraks dengan dada yang sempit, abdomen yang
distensi dan tidak didapatkan abnormalitas lainnya.
Riwayat kehamilan pertama ibu dari bayi tersebut, dilahirkan seorang
anak perempuan yang meninggal dalam 24 jam setelah lahir karena distres
pernapasan, wajah yang dismorphic dan lengan dan tungkai yang pendek
(diduga achondroplasia). Pada kehamilan kedua, terjadi abortus pada
trimester kedua. Ayah dari bayi-bayi tersebut berusia 38 tahun, akan tetapi
kariotipe dari kedua orang tua dari bayi tersebut normal.

24
Bayi tersebut membutuhkan resusitasi setelah lahir dengan APGAR
score masing-masing 5 dan 7 dalam 1 menit dan 5 menit berikutnya. Bayi
tersebut memiliki bentuk tubuh rhizomelic dengan tungkai dan lengan yang
pendek, lipatan kulit yang berlebih, ukuran kepala yang membesar dengan
ukuran oksipitofrontalis 37cm (lebih dari 90 centil).3
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Saudara kandung memiliki keluhan yang sama
e. Riwayat Sosial :
Tidak ada

4.3. Pemeriksaan Fisik


 Vital sign : Tidak dijelaskan
Namun, didapatkan adanya distress pernapasan dengan suara mendengkur
pada saat pemeriksaan.
 APGAR Score : 5 dan 7 pada menit pertama dan kelima
 Status generalis
- Kepala : Makrochepali (+) dengan frontal yang lebih menonjol
(ukuran oksipitorontalis 37cm atau >90 centil), midfacial hypoplasia.
- Mata : Hypertelorism (+).
- THT : Depresi atau penekanan pada tulang hidung (+),
micrognathia (+).
- Leher : Tidak dijelaskan
- Toraks
o Inspeksi : Retraksi sela iga (+), “bell-shaped” toraks
dengan dada yang sempit, bentuk dada kecil (ukuran dada 33cm).
o Palpasi : Tidak dijelaskan

25
o Perkusi : Tidak dijelaskan
o Auskultasi : Tidak dijelaskan
- Jantung
o Inspeksi : Tidak dijelaskan
o Palpasi : Tidak dijelaskan
o Perkusi : Tidak dijelaskan
o Auskultasi : Tidak dijelaskan
- Abdomen
o Inspeksi : Tampak cembung atau distensi.
o Auskultasi : Tidak dijelaskan
o Perkusi : Tidak dijelaskan
o Palpasi : Tidak dijelaskan
- Ekstremitas
o Bentuk tubuh rhizomelic dengan tungkai dan lengan yang pendek
o Short stubby finger dengan trident hand
o Tulang tubular yang pendek
o Lipatan kulit berlebih.6

4.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Radiografi
1) Toraks
Didapatkan gambaran pengembangan dinding dada yang masih baik
dengan batas bronchovaskular yang tampak prominent.3

26
Gambar 22 : Radiografi toraks dengan gambaran pengembangan dinding dada (dikutip
dari kepustakaan 3)

2) Columna vertebra dan kolumna spinalis


Menggambarkan adanya penyempitan jarak interpedicular dari L1 hingga
L5.3
3) Radiografi pelvis
Menggambarkan ileum berbentuk persegi dengan atap acetabulum yang
mendatar.3

Gambar 23 : Radiografi pelvis dengan gambaran ileum berbentuk persegi (dikutip dari
kepustakaan 3)

27
4) Radiografi ekstremitas
- Menggambarkan bentuk humerus yang pendek (rhizomelic) dengan
penebalan ujung dari radius dan ulna.
- Trident hand.3

Gambar 24 : Radiografi ekstremitas (dikutip dari kepustakaan 3)

Gambar 25 : Trident hand (dikutip dari kepustakaan 3)

- Menggambarkan bentuk femur yang pendek disertai penebalan dan


pelebaran, dan tulang fibula yang relative panjang.3

28
Gambar 26 : Radiografi ekstremitas (dikutip dari kepustakaan 3)

b. Echocardiography
Didapatkan gambaran dilatasi atrium kanan dan ventrikel kanan dengan
pelembungan septum interatrium.3

Gambar 27 : Echocardiography (dikutip dari kepustakaan 3)

c. Infantogram
- Peningkatan ukuran kepala
- Penyempitan toraks
- Tulang tubular yang pendek.3

29
Gambar 28 : Infantogram (dikutip dari kepustakaan 3)

d. Analisis kromosom
Adanya mutasi dari gen G1138A pada Fibroblast Growth Factor Gene 3
(FGFR3) yang berlokasi di kromosom 4p16.3, yang mengkonfirmasi adanya
kondisi achondroplasia.3

4.5. Terapi
- Ventilasi tekanan positif.3

30
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan Kasus


Seorang bayi laki-laki berusia 38 minggu, dengan BB 3500 gram telah
dirawat dengan kondisi distress pernapasan sejak lahir. USG prenatal saat berusia
36 minggu menyatakan adanya ketidaksesuaian ukuran diameter biparietal atau
Biparietal Diameter (BPD) pada bayi dengan ukuran >95 centil, lingkar
abdomen >95 centil, panjang femur dan humerus <5 centil disertai dengan
polyhidramnios (maksimal vertical pool 8 cm). Didapatkan gambaran lainnya
yaitu frontal yang menonjol dengan penekanan pada tulang hidung, adanya
midfacial yang hipoplasia dan tulang tubular yang pendek. Didapatkan pula
adanya “bell-shaped” toraks dengan dada yang sempit, abdomen yang distensi
dan tidak didapatkan abnormalitas lainnya. Riwayat kehamilan pertama,
dilahirkan seorang anak perempuan yang meninggal dalam 24 jam setelah lahir
karena distres pernapasan, wajah yang dismorpic dan lengan dan tungkai yang
pendek (diduga achondroplasia). Ayah dari bayi-bayi tersebut berusia 38 tahun,
akan tetapi kariotipe dari kedua orang tua dari bayi tersebut normal.
Bayi tersebut memiliki bentuk tubuh rhizomelic dengan tungkai dan
lengan yang pendek, lipatan kulit yang berlebih, ukuran kepala yang membesar
dengan ukuran oksipitofrontalis 37 cm (lebih dari 90 centil). Gambaran wajah
menampilkan depresi atau penekanan pada tulang hidung (nasal bridge),
hypertelorism, lidah yang pendek dan micrognathia. Bentuk dada kecil (ukuran
dada 33 cm) dengan short stubby fingers dengan trident hand. Panjang tubuh
bayi tersebut yaitu 42 cm (<10 centile). Pada pemeriksaan fisik, bayi tersebut
mengalami distres pernapasan dengan mendengkur dan disertai retraksi dinding
dada. Infantogram menunjukkan adanya peningkatan ukuran kepala dengan
toraks yang sempit dan tulang tubular yang pendek. X ray anggota gerak
menggambarkan bentuk humerus yang pendek (rhizomelic) dengan penebalan

31
ujung dari dari radius dan ulna. Adanya bentuk yang serupa bentuk femur yang
pendek disertai penebalan dengan pelebaran dan fibula yang relatif panjang.
Didapatkan pula bentuk trident hand, dan pada radiografi anteroposterior tulang
belakang menggambarkan adanya penyempitan jarak interpedicular sedikit demi
sedikit dari L1 hingga L5. X ray pelvis menunjukkan ileum berbentuk persegi
dengan atap acetabulum yang mendatar.
Dari hasil analisis kromosom bayi tersebut, dinyatakan adanya mutasi
dari gen G1138A pada Fibroblast Growth Factor Gene 3 (FGFR3) yang
berlokasi di kromosom 4p16.3, yang mengkonfirmasi adanya kondisi
achondroplasia.

32
BAB V
PENUTUP

5.1. KESIMPULAN
Pada laporan kasus yang terjadi pada An. L dapat disimpulkan bahwa
manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan sesuai dengan teori yang menjelaskan sindrom Achondroplasia pada
pasien, yakni ditemukannya ukuran kepala yang membesar dengan bagian frontal
yang lebih menonjol, rhizomelic, trident hand, dan gejala lainnya. Adapun
beberapa kelainan lain yang menyertai sindrom Achondroplasia juga ditemukan
pada pasien seperti thanatoporic dysplasia dan saddan dysplasia. Kelemahan
dalam kasus An. L adalah pemeriksaan fisik yang tidak ditampilkan secara
menyeluruh dalam laporan kasus. Selain itu penatalaksanaan spesifik untuk kasus
distress pernapasan maupun sindrom achondroplasia, pemeriksaan penunjang
lainnya seperti CT Scan dan MRI untuk membantu menentukan kelainan lain
yang mungkin dapat terjadi, juga tidak ditampilkan dalam kasus.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahbooheh, S., et al. 2016. Successful Delivery in a Woman with


Achondroplasia : A Case Report. Department of Obstetrics and Gynecology,
Women’s Hospital, Tehran University of Medical Sciences, Tehran, Iran.
2. Arun, P., et al. 2017. A Term Female Neonate with Achondroplasia : A Case
Report. Indian Journal of Neonatal Medicine and Research.
3. Soumya, A., et al. 2015. A Term Male Neonate with Achondroplasia and
Persistent Pulmonary Hipertension : A Case Report. Department Of
Paediatrics, Deccan College of Medical Sciences, Princess Esra Hospital,
Hyderabad 500 002, Andhra Pradesh, India.
4. Wang, Yao et al. 2013. Advances in Research on and Diagnosis and
Treatment of Achondroplasia in China. Shandong Academy of Medical
Sciences, Shandong, China.
5. David, M., dan Laurence, L. 2017. Achondroplasia : Development,
Pathogenesis, and Therapy. Department of Developmental Biology,
Washington University School of Medicine, St. Louis, Missouri, USA.
6. Waugh, A., dan Grant, A. 2014. Dasar-Dasar Anatomi dan Fisiologi, edisi
12. Elsevier Singapore, Killiney Road.
7. Khan, A. N., et al. 2015. Achondroplasia Imaging. North Manchester General
Hospital Pennine Acute NHS Trust, UK.
8. Ramachandran, M. 2016. Osteogenesis Imperfecta Clinical Manifestation.
William Harvey Research Institute, Barts and The London School of
Medicine and Dentistry, Queen Mary's, University of London, UK.

34

Anda mungkin juga menyukai