Anda di halaman 1dari 10

2.

1 Klasifikasi Demensia
Adapun klasifikasi demensia berdasarkan Group Health, terbagi menjadi:
A. Stadium Awal:
 Lupa kejadian yang baru saja terjadi
 Penurunan kemampuan dalam berhitung
 Kesulitan menyelesaikan tugas, seperti merencanakan makan malam untuk
tamu, membayar tagihan, atau mengelola keuangan
 Melupakan sejarah diri seseorang
 Menjadi moody, khususnya dalam situasi sosial atau tantangan mental

B. Stadium Ringan:
Mulai kekosongan dalam ingatan, mulai membutuhkan bantuan dalam aktivitas
harian. Pada stadium ini terdapat gejala:
 Tidak bisa mengulang alamat atau nomor telpon atau asal sekolah sendiri
 Bingung sekarang berada dimana dan hari apa
 Memiliki permasalahan dalam berhitung
 Membutuhkan bantuan memilih pakaian berdasarkan musim atau tujuan
 Masih mengingat hal detail mengenai dirinya dan keluarga
 Tidak membutuhkan bantuan saat makan atau ke toilet

C. Stadium Lambat:
Ingatan menjadi semakin buruk, perubahan personalitas membuat
membutuhkan bantuan sehari-hari. Pada stadi ini, individu menjadi:
 Ketidaksadaran akan kejadian yang baru terjadi disekelilingnya
 Mengingat nama sendiri tapi kesulitan dengan sejarah diri sendiri
 Dapat membedakan wajah familiar dan bukan familiar namun sulit
mengingat nama pasangan atau pramuwedha
 Membutuhkan bantuan berpakaian, apabila tidak dibimbing, dapat keliru
seperti memakai piyama dalam pakaian harian atau memakai sepatu dengan
kaki yang salah
 Perubahan pola tidur, seperti tidur sepanjang hari dan menjadi gelisah pada
malam hari
 Membutuhkan bantuan ke kamar mandi
 Semakin meningkatnya permasalahan dalam mengontrol kandung kemih
 Pengalaman personal dan kepribadian berubah termasuk menjadi curiga dan
berkhayal (seperti menganggap pramuwedha adalah penipu) memaksa,
mengulang kebiasaan (seperti meremas tangan atau merobek tisu)
 Cenderung keluyuran sendiri atau hilang

D. Stadium Akhir:
Pada stadium ini, akan didapatkan:
 Masih dapat berbicara kata atau kalimat, namun membutuhkan bantuan
dalam keseharian, seperti makan atau menggunakan toilet
 Kurangnya kemampuan untuk merespon lingkungan atau masuk dalam
percakapan
 Kurangnya tersenyum, duduk tanpa bantuan, dan menggenggam tangannya
 Hilangnya kemapuan dalam mengontrol perpindahan:
- Refleks menjadi abnormal
- Otot menjadi kaku
- Gangguan menelan

2.4 Diagnosis Demensia


Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari
berbagai segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau
tidak, juga harus ditentukan berat-ringannya penyakit, serta tipe demensianya. Hal ini
berpengaruh pada penatalaksanaan dan prognosisnya. Diagnosis demensia ditegakkan
berdasarkan kriteria diagnosis yang sesuai dengan Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV). Sehingga, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat (Rochmah, 2009).

2.4.1 Anamnesis

Kriteria Diagnosis Demensia berdasarkan American Psychiatric Association,


tahun 2000 yang tertulis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
4th Edition (DSM-IV):
a. Muncul defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan
berikut:
1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau
untuk mengingat informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru
saja dipelajari)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:
a. Afasia (gangguan berbahasa)
b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun
fungsi motorik masih normal)
c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
walaupun fungsi sensorik masih normal)
d. Gangguan fungsi eksekutif seperti merencanakan, mengorganisasi,
berpikir runut, berpikir abstrak)
b. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang
bermakna dari fungsi sebelumnya.
Anamnesis mengenai keluhan sebaiknya dilakukan pada penderita dan orang
lain yang sehari-hari berhubungan langsung dengan penderita. Hal yang paling penting
untuk diperhatikan adalah apakah ada penurunan fungsi terutama fungsi kognitif
dibandingkan dengan sebelumnya. Anamnesis harus terfokus pada onset, lamanya, dan
bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif terjadi.
Berikut contoh anamnesis pada penderita demensia:
Pernahkah ada kesulitan ingatan, disorientasi, konsentrasi, dan apatis? Adakah akibat
fungsional atau sosial (pengucilan, malnutrisi, dan sebagainya)?
Adakah pemicu yang jelas, seperti cedera kepala?
Adakah kemunduran mendadak? Adakah pemicunya (misalnya perubahan obat,
penyakit lain, atau perubahan lingkungan)?
Adakah kemunduran gradual atau bertahap?
Adakah tanda-tanda hipotiroidisme?
Adakah tanda yang menunjukkan penyakit fisik?
Adakah tanda neurologis yang tidak biasa (misalnya ataksia, kelemahan, mioklonus,
nyeri kepala, atau gejala neuropati)?
Adakah tanda-tanda depresi? Hati-hati terhadap pseudodemensia. Gejala depresi
seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering ditemukan pada pseudodemensia
akibat depresi, contohnya disebabkan oleh anggota keluarga yang baru ini meninggal.
Riwayat penyakit dahulu juga perlu ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko.
Adakah riwayat penyakit lain sebelumnya, khususnya penyakit ateromatosa dan
faktor risikonya?
Riwayat stroke? Riwayat adanya stroke dengan progresi bertahap dan tidak teratur
mengarah pada demensia multi-infark.
Adakah riwayat kondisi neurologis lain sebelumnya?
Diarahkan pula untuk menanyakan faktor risiko seperti trauma kepala berulang,
infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis (neurosifilis), intoksikasi bahan kimia pada
pekerja pabrik.
Riwayat pengobatan, antara lain,
Apakah pasien mengkonsumsi obat, khususnya penggunaan obat-obatan jangka
panjang, seperti sedatif, tranquilizer, dan sebagainya?
Apakah pasien sedang menjalani terapi untuk demensia (misalnya inhibitor
kolinesterase)?
Adakah tanda-tanda penyalahgunaan alkohol?
Riwayat keluarga juga harus dievaluasi, mengingat bahwa pada penyakit
Alzeimer, FTD, dan penyakit Huntington sebagai salah satu penyebab demensia terdapat
kecenderungan familial.
Riwayat sosial juga dievaluasi. Tentukan deskripsi lengkap dari situasi sosial,
orang yang merawat, dukungan, dan keluarga (Gleadle, 2007; Rochmah, 2009).

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai demensia juga perlu dilakukan.
Selain pemeriksaan dari kepala hingga kaki, pemeriksaan neurologis juga diperlukan
untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat
dihubungkan dengan gangguan kognitifnya.
Pemeriksaan fisik khususnya yang perlu diperhatikan adalah pendengaran dan
penglihatan. Kesulitan merespon lingkungan dapat menyebabkan kebingungan dan
disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut
defisit sensorik seperti pada pendengaran dan penglihatan sering terjadi.
Pemeriksaan neurologis antara lain pemeriksaan sensorik, motorik, kekuatan dan
tonus otot, tremor, dan refleks patologi. Umumnya penyakit Alzheimer tidak
menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik
dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau gangguan motorik
lain umumnya timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Pemeriksaan
neurologis juga ntuk menemukan kelainan yang mengindikasikan terjadi gangguan
vaskuler (Rochmah, 2009).
Diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk menunjang diagnosis, salah
satunya penilaian status mental dengan Mini-Mental State Examination (MMSE), yaitu
untuk mengevaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif dan dapat digunakan
untuk memantau perjalanan penyakit. Pemeriksaan ini tidak sensitif pada demensia
awal dan hasil akan berbeda dengan usia dan latar belakang pendidikan. Pemeriksaan
dengan skor maksimum 30 yang berisikan uji orientasi, memori kerja dan memori
episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata (NCCC, 2003).
Adapun pemeriksaan lain seperti Functional Activities Questionnaire (FAQ) dan
Activities of Daily Living (ADL) untuk mengetahui status fungsional. Serta Geriatric
Depression Scale and Single-Item Depression Indicator untuk penilaian depresi (NCCC,
2003).

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Tidak semua penderita yang diduga demensia melakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium digunakan apabila terdapat dugaan penyebab
terjadinya demensia bersifat reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh
terlewat. Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin
B12, darah lengkap, glukosa, elektrolit, dan VDRL. Penyebab sistemik seperti defisiensi
vitamin B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala yang
khas (Rochmah, 2009).
Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan adalah CT scan/MRI kepala.
Pemeriksaan ini dpaat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark,
hematoma subdural, dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal atau
penyakit white matter yang luas. Abnormalitas white matter yang luas berkolerasi
dengan demensia vaskular. CT scan/MRI kepala juga mendukung diagnosis penyakit
Alzheimer, terutama apabila ditemukan atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal
yang difus (Department of Family Medicine, 2011).
Berdasarkan Canadian Consensus Conference on Dementia, pemeriksaan CT scan
kepala direkomendasikan apabila terdapat kriteria:
 Berusia kurang dari 60 tahun
 Berlangsung dengan cepat, sekitar 1-2 bulan kemunduran fungsi kognitif
yang tidak bisa dijelaskan
 Terdapat durasi demensia yang singkat (kurang dari 2 tahun)
 Baru saja mengalami trauma kepala
 Gejala neurologis yang tidak jelas, seperti terdapat onset sakit kepala berat
yang baru atau kejang)
 Riwayat kanker, khususnya di area dan yang bersifat metastase ke otak
 Menggunakan antikoagulan atau riwayat perdarahan
 Riwayat inkontinensia urin dan gangguan gaya berjalan awal pada demensia
 Terdapat tanda lokal baru, seperti hemiparesis atau refleks Babinski
 Gejala kognitif yang tidak biasa atau atipikal, seperti afasia progresif
 Gangguan gaya berjalan

2.5 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien demensia adalah mengobati
penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan
mendukung bagi pasien.

2.5.1 Tatalaksana Non Farmakologis


Jenis dukungan penderita dan keluarga serta pramuwedha akan dibutuhkan
seiring dengan progresivitas penyakit. Keluarga semestinya menyadari penyakit ini
berhubungan dengan defisit terhadap ingatan, perilaku, suasana hati, dan fungsi, seperti
inkontinensia, imobilitas, dan kebingungan.
Berikut tujuan tatalaksana berdasarkan progresivitas penyakit:
Stadium Penyakit Tujuan Terapi
Gangguan kognitif ringan/hilang ingatan  Pertahankan fungsi, keselamatan,
ringan dan ketidaktergantungan
 Mengurangi atau berhenti medikasi
yang berefek menurunkan kognitif
Early-stage Dementia  Pertahankan fungsi, keselamatan,
dan ketidaktergantungan
 Mengurangi atau berhenti medikasi
yang berefek menurunkan kognitif
Mid-stage Dementia  Pellihara fungsi, keselamatan, dan
ketidaktergantungan
 Mengembangkan ketrampilan yang
mendukung kehidupan dirumah dan
memperlambat progresivitas
Late-Stage Dementia  Pelihara keselamatan, kenyamanan,
dan martabat
End-Stage Dementia Mempertimbangkan dibawa ke panti
wedha
(Group Health, 2012)
Adapun berbagai tatalaksana non farmakologis, antara lain:
 Program Intervensi Pramuwedha (Caregivers)
Kerjasama yang baik antara dokter dan pramuwedha (caregivers) diperlukan.
Sehingga diperlukan edukasi terhadap pasien, keluarga pasien, serta pramuwerdha
mengenai demensia dan tatalaksananya. Pramuwerdha merupakan orang yang paling
mengerti dengan kondisi pasien dari hari ke hari dan bertanggung jawab terhadap
pemberian obat dan makanan,mengimplementasikan terapi non farmakologis terhadap
pasien, meningkatkan status kesehatan umum pasien, serta memberikan waktu yang
sangat berarti sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup pasien demensia.

 Stimulasi Kognitif
Stimulasi kognitif menghasilkan dampak klinis yang positif pada fungsi kognitif
pederita demensia. Pada stadium awal, dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas
dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien, seperti melakukan latihan
(olahraga ringan), mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit lain, imunisasi
terhadap pneumokokkal dan influenza, higienitas mulut dan gigi, serta mengupayakan
kacamata dan alat bantu dengar apabila terdapat gangguan penglihatan atau
pendengaran.
Memakai kacamata, alat bantu dengar jika dibutuhkan. Memakai walker dan
quad canes lebih dianjurkan dan pemakaian kursi roda sebaiknya dihindari. Serta
pemakaian alat lain yang mengkompensasi kemunduran kognitif pasien dan ingatan
termasuk modifikasi lingkungan, tugas sederhana, dan aktivitas yang cocok.

 Desain Lingkungan
Apabila penderita dipindahkan ke panti wedha merupakan malapetaka bagi
pasien yang tidak dapat mengingat dan memfamiliarkan lingkungan baru. Untuk
mengurangi reaksi malapetaka, sebaiknya ruangan pasien memiliki jendela, kalender
yang besar (ditandai dari hari ke hari), jam yang besar, sebaiknya digital. Foto keluarga
dan barang-barang personal sebaiknya dibawa, dianjurkan pula untuk langganan koran.
Kunjungan dari keluarga dan teman yang rutin juga diperlukan.

 Stimulasi Multisensorik dan Terapi Kombinasi


Demensia terkadang mengubah modalitas sensorik. Hal yang dapat
meningkatkan stimulasi multi sensorik dibutuhkan bervariasi peralatan seperti efek
cahaya, musik yang relax, perlengkapan pijat, wewangian yang menciptakan lingkungan
multisensorik.

 Aktivitas Rekreasi
Aktivitas rekreasi memberikan kesempatan pada penderita demensia untuk
sibuk dalam aktivitas yang berarti dan terkadang digunakan untuk memfasilitasi
kebutuhan berkomunikasi, self esteem, pengertian identitas dan produktivitas. Aktivitas
yang dilakukan sebagai ekspresi diri seperti menggambar, bermain musik, seni, prakarya,
memasak, bermain games dan berinteraksi dengan hewan peliharaan. Pelatihan asah
otak juga penting, seperti bermain kartu dan menyusun puzzle.

Pada fase lanjut, hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar
pasien seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk mencegah ulcus
decubitus (Rochmah, 2009; SIGN 2006).

2.5.2 Tatalaksana Farmakologis


Pada demensia terjadi kemunduran kognitif dan terganggunya fungsi. Gejala
yang muncul pada demensia seperti agitasi, mudah marah, gangguan tidur,berkhayal,
halusinasi atau agresi. Abnormalitas dalam neuron kolinergik menyebabkan perubahan
patologis pada otak. Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin, dan
galantamin adalah kolinesterase inhibitor yang telah disetujui oleh U.S Food and Drug
Administration (FDA). Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter
asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada
gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat
untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron
kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Julianti,
2008; SIGN, 2006).

Donepezil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Tidak satupun dari obat-
obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif. Donepezil dimulai
padadosis 5 mg perhari, dan dosis dinaikkan menjadi 10 mg perhari setelah1 bulan
pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari 1,5 mg 2 kali perhari menjadi 3 mg 2 kali
perhari, kemudian 4,5 mg, hingga dosis maksimal 6 mg. Dosis dapat dinaikkan pada
interval antara 1-4 minggu. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4 mg 2
kali perhari, dinaikkan menjadi 8 mg dan kemudian 12 mg. Dosis dapat dinaikkan pada
obat-obatan tersebut pada interval antara 1 sampai 4 minggu, efek samping umumnya
lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama. Pemakaian obat-obatan
tersebut dapat meningkatkan fungsi kognitif terutama pada penderita demensia ringan
dan sedang. Selain itu lebih dapat mempertahankan kemampuan untuk aktivitas
kehidupan sehari-hari, lebih sedikit timbul perubahan perilaku, lebih tidak tergantung
kepada pramuwedha dan lingkungan sekitar, serta dapat menunda masuk ke panti
werdha (Rochmah, 2009).
L-glutamate merupakan perangsang utama neurotransmitter pada susunan
syaraf pusat, hal ini melibatkan transmisi neuron, pembelajaran, mengingat, dan
plastisitas neuron. Peningkatan perangsangan aksi L-glutamate bermain peran dalam
patogenesis Penyakit Alzheimer. Afinitas rendah antagonis N-metil-D-aspartat seperti
memantine dapat mencegah perangsangan neurotoksisitas asam amino tanpa
mencampuri aksi glutamat yang penting dalam pembelajaran dan mengingat. . Diberikan
pada demensia sedang dan berat. Memantine diberikan 20 mg per hari (SIGN, 2006).
Antioksidan yang memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol
(vitamin E). Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses
menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer. Vitamin E digunakan sebagai
pencegahan primer demensia dengan fungsi kognitif normal. Efek terapi vitamin E pada
penderita demensia maupun gangguan kognitif ringan hanya bermanfaat apabila
dikombinasi dengan kolinesterase inhibitor (Rochmah, 2009).
American Psychiatric Association, 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th Edition.

Department of Family Medicine, 2011. Approach to Dementia. Schulich School of


Medicine and Dentistry

Gleadle J. 2007. Kondisi-kondisi: Neurologi. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan


Fisik. Jakarta: Erlangga Medical Series

Group Health. 2012. Dementia and Cognitive Impairment Diagnosis and Treatment
Guideline. December 2012

Julianti R., Budiono A. 2008. Demensia. Universitas Riau: 2008

National Chronic Care Consortium (NCCC), 2003. Tools for Early Identification, Assessment, and
Treatment for People with Alzheimer’s Disease and Dementia.

Rochmah W, Murti KH. 2009. Demensia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam hal 837-
844. Jakarta: Interna Publishing.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of Patients With


Dementia. A National Clinical Guidline. 2006. Edinburgh 86: 1-53

Anda mungkin juga menyukai