Anda di halaman 1dari 62

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obesitas telah menjadi permasalahan yang diderita oleh semua jenis kelamin, usia
dan ras1, dimana jumlah penderita overweight dan obesitas dari tahun ke tahun terus
meningkat.2 World Health Organization menyatakan bahwa angka kejadian
obesitas (Indeks Massa Tubuh (IMT) >30kg/m2) di dunia pada tahun 2008 adalah
sekitar 10% pada laki-laki dan 14% pada perempuan, meningkat dua kali lipat
dibandingkan tahun 1980 dimana prevalensi obesitas sekitar 5% pada laki-laki dan
8% pada perempuan.3 Fakta terbaru pada tahun 2014 terdapat lebih dari 1,9 milyar
orang dewasa yang berusia 18 tahun keatas di seluruh dunia mengalami overweight
dan 600 juta diantaranya mengalami obesitas.3,4 Di Indonesia sendiri prevalensi
obesitas terus meningkat, dimana pada tahun 2015 didapatkan 26,6% lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu 18,8%.5
Overweight dan obesitas dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Beberapa faktor resiko yang dapat diubah, misalnya kebiasaan hidup yang tidak
sehat (unhealthy lifestyle) dan lingkungan.6 Faktor resiko lainnya yang tidak dapat
diubah seperti usia, genetik, ras, dan jenis kelamin. Kebiasaan yang dapat
menyebabkan obesitas diantaranya adalah kurangnya aktivitas fisik, pola makan
yang tidak teratur, stres berat dan tidak cukup tidur.6,7 Beccuti G et al (2011)
menyimpulkan bahwa kekurangan tidur kronis berhubungan dengan meningkatnya
8
resiko obesitas. National Heart, Lung And Blood Institute (2017) menyatakan
adanya hubungan antara tidur dengan mekanisme penggunaan nutrisi sebagai
energi oleh tubuh serta bagaimana kekurangan tidur dapat mengganggu hormon
yang mengatur rasa lapar.9
National Sleep Foundation tahun 2017 menyatakan ada empat indikator
tidur yang berkualitas yaitu waktu tidur ≥ 85% dari waktu total di tempat tidur,
tertidur setelah ≤ 30 menit, terbangun dari tidur tidak lebih dari sekali per malam
dan terbangun ≤ 20 menit setelah tidur.10 Namun faktanya, kekurangan tidur kronis
merupakan hal yang umum pada 2-3 dekade belakangan,6 khususnya pada
mahasiswa/i kedokteran. Evelina P et al (2010) melakukan penelitian kualitas tidur
terhadap 405 mahasiswa/i dari jurusan kuliah yang berbeda yaitu; kedokteran,

Universitas Tarumanagara 1
bisnis dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan di empat universitas berbeda di negara
Lithuania-Eropa, dan hasilnya menunjukan lebih dari setengahnya (59,4%)
memiliki kualitas tidur yang buruk dan mahasiswa/i kedokteran memiliki kualitas
terburuk dibandingkan dengan jurusan bisnis dan ekonomi.11
Dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kualitas tidur dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) pada mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara (FK UNTAR). Hal ini dikarenakan mahasiswa/i FK UNTAR
menjalani jadwal kuliah yang padat dan dituntut untuk belajar mandiri sehingga hal
tersebut dapat menyita banyak waktu dan akibatnya dapat menyebabkan
menurunnya kualitas tidur sehingga meningkatkan resiko overweight maupun
obesitas.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Pernyataan Masalah
Adanya peningkatan jumlah penderita overweight pada mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara.

1.2.2 Pertanyaan Masalah


1.2.2.1 Bagaimana kualitas tidur mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara?
1.2.2.2 Bagaimana IMT mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara?
1.2.2.3 Apakah kualitas tidur berhubungan dengan IMT pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara?

1.3 Hipotesis
1.3.1 H0: Tidak terdapat hubungan kualitas tidur dengan IMT pada mahasiswa/i
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.
1.3.2 H1: Terdapat hubungan kualitas tidur dengan IMT pada mahasiswa/i
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.

Universitas Tarumanagara 2
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk menurunkan jumlah penderita
overweight pada mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara.

1.4.2 Tujuan Khusus


1.4.2.1 Diketahuinya kualitas tidur mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara.
1.4.2.2 Diketahuinya IMT mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara.
1.4.2.3 Diketahuinya hubungan kualitas tidur dengan IMT mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Dengan dilakukannya penelitian ini, mahasiswa/i FK UNTAR
mendapatkan pengetahuan mengenai hubungan kualitas tidur dengan IMT.
Dengan diperolehnya pengetahuan ini, diharapkan mahasiswa/i dapat
memperbaiki kualitas tidur, dan menurunkan resiko terjadinya overweight,
sehingga dengan berat tubuh yang ideal, mahasiswa/i FK UNTAR akan
lebih sehat secara jasmani dan dapat mengikuti kegiatan akademis dengan
baik.

1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat membantu Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara dalam upaya meningkatkan mutu
kesehatan jasmani mahasiswa/i FK UNTAR khususnya dalam menjaga
berat badan yang ideal. Dengan kesehatan jasmani dan rohani yang baik,
diharapkan dapat berdampak positif bagi peningkatan mutu akademik
mahasiswa/i yang tentunya akan mengharumkan nama FK UNTAR.

Universitas Tarumanagara 3
1.5.3 Bagi Peneliti
Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti belajar mengenai prosedur dan
proses dalam melakukan penelitian ilmiah. Selain itu, peneliti juga
mendapatkan pengetahuan dalam bidang neurosains dan fisiologi yang
berhubungan dengan judul yang diangkat, serta memperluas wawasan yang
bermanfaat kelak saat menjadi dokter, yaitu dengan mengetahui tatalaksana
KIE overweight.
1.5.4 Bagi Masyarakat
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam hal pencegahan overweight, dengan bukan
hanya memperhatikan faktor diet dan olahraga saja, namun juga kualitas
tidur yang merupakan salah satu faktor penting terhadap IMT
1.5.5 Bagi Ilmu Pengetahuan
Melalui penelitian ini, diharapkan hasil temuannya dapat dipertimbangkan
di kemudian hari, yaitu dalam penatalaksanaan overweight, baik preventif
maupun kuratif, dengan memperhitungkan kualitas tidur sebagai salah satu
faktor yang dapat berpengaruh. Diharapkan tatalaksana overweight
kedepannya dapat menjadi lebih komprehensif.

Universitas Tarumanagara 4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
2.1.1. Definisi
Tidur merupakan suatu proses aktif. Intensitas kerja dalam otak secara keseluruhan
tidak berkurang saat kita tidur. Hal tersebut yang menyebabkan pada saat tidur,
seseorang dapat bermimpi dan dapat bangun apabila ada rangsangan, misalnya
terbangun karena bunyi alarm.12

2.1.2 Fungsi Tidur


Ada banyak teori yang telah diakui untuk menjelaskan mengenai fungsi tidur.
Beberapa diantaranya ialah:
1. “catch-up time” bagi otak untuk mengisi ulang bahan-bahan biokimia yang
diperlukan untuk mekanisme terjaga misalnya asetilkolin.12
2. Teori lain ialah tidur sebagai “restoration and recovery”.12 Pada saat tidur,
otak memperbaiki jaringan rusak yang diakibatkan oleh kadar radikal bebas
yang meningkat saat keadaan sadar.1
3. Selain itu ada juga teori “shift gears” yang mengaitkan tidur dengan
perkembangan otak dalam hal struktural maupun kimia dan meningkatkan daya
pemahaman serta memori. Karena faktor inilah, maka anak-anak memerlukan
tidur lebih lama dibandingkan orang dewasa.12

2.1.3 Fisiologi Tidur


2.1.3.1 Irama Sirkadian
Irama sirkadian mengatur siklus bangun-tidur, pelepasan hormon, pola makan,
temperatur tubuh dan fungsi tubuh penting lainnya. Bagian otak yang mengontrol
irama ini adalah suprachiasmatic nucleus (SCN) yang terletak di hipotalamus.
Irama sirkadian dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama intensitas cahaya.
Tidur saat malam hari dan bangun saat siang hari merupakan salah satu contoh
irama sirkadian yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya.13
Informasi cahaya pertama kali diterima oleh retina yaitu reseptor sel batang,
sel kerucut dan yang terutama adalah intrinsically photosensitive Retinal Ganglion

Universitas Tarumanagara 5
Cells (ipRGCs). Berbeda dengan sel kerucut dan sel batang, ipRGCs menerima
informasi cahaya menggunakan fotopigmen yang disebut melanopsin. Pada saat
cahaya masuk ke retina, melanopsin mengalami depolarisasi kemudian informasi
cahaya diteruskan ke SCN melalui retinohypothalamic pathway.13
Aktivasi SCN memicu respon di paraventricular nucleus di hipotalamus
dan preganglionic sympathetic neuron yang kemudian memodulasi neuron di
superior cervical ganglia dan kelenjar pineal yang terletak di dorsal thalamus.
Kelenjar pineal lalu mensintesis neurohormon yang berfungsi sebagai penginduksi
tidur yaitu melatonin. (N-acetyl-5-methoxytryptamine). Setelah disekresikan,
melatonin kemudian beredar di aliran darah, dan berinteraksi dengan reseptornya
di SCN dan menyebabkan proses tidur terjadi. Sekresi melatonin meningkat
khususnya pada saat informasi intensitas cahaya yang diterima retina menurun dan
kadar paling tinggi dicapai pada jam 2 sampai jam 4 pagi.14
Hal yang berbeda terjadi apabila seseorang tidak mendapat petunjuk waktu
sama sekali. Penelitian yang dikutip Purves D et al (2012) menunjukan saat subjek
ditempatkan kedalam bunker yang tidak terpapar cahaya, mereka masih dapat
mempertahankan siklus bangun tidur selama 24 jam. Hal ini disebabkan subjek
tersebut masih melakukan aktivitas seperti biasa misalnya berinteraksi sosial dan
makan dengan jadwal seperti biasa, serta mendapat petunjuk lain seperti dari radio
dan televisi. Namun saat interaksi dan petunjuk waktu tersebut disingkirkan, terjadi
kondisi yang disebut “free running time”. Pada kondisi tersebut, subjek bangun
tidur lebih lama setiap harinya sehingga lambat laun irama sirkadian semakin
memanjang sampai dengan 26 jam.14

2.1.3.2 Sirkuit Neural dalam Siklus Bangun-Tidur


Siklus bangun tidur dapat terjadi akibat adanya pengaturan sirkuit neural di otak
yang bekerja secara periodik. Sirkuit yang berperan utama dalam proses terjaga
adalah reticular activating system (RAS). RAS adalah kumpulan neuron kolinergik
yang terletak di perbatasan antara pons dan otak tengah. (lihat Gambar 2.1A).
Neuron ini mengatur pelepasan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin
menyebabkan desinkronisasi aktivitas gelombang electroencephalogram (EEG)
menjadi gelombang dengan amplitudo rendah dan berfrekuensi tinggi. Proses ini

Universitas Tarumanagara 6
mengimplikasikan bahwa kerja dari neuron kolinergik merupakan penyebab utama
proses bangun dan inaktivasi sirkuit ini penting untuk masuk ke proses non- rapid
eye movement (NREM).14
Sirkuit lain yang juga ikut berperan dalam proses terjaga adalah neuron
noradrenergik yang melepaskan norepinefrin dan terletak di locus coeruleus,
neuron serotonergik yang melepaskan serotonin dan terletak di raphe nuclei, dan
neuron yang mengandung histamin di tuberomammilary nucleus (TMN). Locus
coeruleus dan raphe nuclei dimodulasi oleh TMN yang terletak di tuberal region.
TMN sendiri diaktivasi oleh neuropeptida yang dihasilkan lateral hypothalamus
yaitu orexin/hypocretin (lihat Gambar 2.1B). Aktivasi sirkuit kolinergik dan
monoaminergik bersama-sama menghasilkan keadaan terjaga. Sirkuit yang
berperan dalam proses terjaga, secara berkala dinhibisi oleh suatu sirkuit yang
bertanggung jawab dalam permulaan proses tidur. Sirkuit neural tersebut adalah
ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) yang terletak di hipotalamus. (lihat Gambar
2.1C).14
Sirkuit lain yang berperan dalam siklus bangun tidur adalah pontine
reticular formation yang berperan dalam pergerakan mata pada saat tidur rapid eye
movement (REM). Pada saat tidak ada rangsangan visual dari luar, sinyal
dikirimkan dari sirkuit tersebut ke motor region di superior colliculus. Kemudian
rangsangan dari collicular neuron dikirimkan ke paramedical pontine reticular
formation (PPRF) dan rostral interstitial nucleus.14

Gambar 2.1 Sirkuit Neural Bangun Tidur14

Universitas Tarumanagara 7
Gambar 2.2 Lokasi Hypothalamic Nuclei yang Berperan Dalam Tidur14

Gambar 2.3 Aktivasi VLPO Menginduksi Proses Tidur14

2.1.3.3 Gelombang Gamma, Beta, Alfa, Theta dan Delta


Aktivitas otak dapat diobservasi menggunakan electroencephalogram (EEG).
Mesin EEG merekam tegangan listrik di otak melalui dua elektroda yang
dipasangkan di kepala. Tegangan listrik tersebut kemudian divisualisasikan
kedalam bentuk gelombang. Gelombang otak diklasifikasikan menjadi 5 kategori
yaitu gamma, beta, alfa, theta dan delta. Masing-masing gelombang berkaitan

Universitas Tarumanagara 8
dengan kondisi kesadaran yang berbeda. Gelombang gamma (30-120 Hz) dan
gelombang beta (15–30 Hz, ~30μV) merupakan gelombang yang prominen pada
keadaan terjaga.15
1. Gelombang gamma juga sering muncul bersamaan dengan gelombang theta
saat proses bangun dan tidur REM. Selain itu gelombang gamma juga
muncul dalam waktu yang sangat singkat saat tidur NREM.15
2. Gelombang alfa (8-14 Hz, 50-100 μV) adalah gelombang yang muncul
dalam keadaan terjaga rileks. Gelombang alfa diduga berperan dalam proses
berpikir yang memerlukan kemampuan aritmetik dan kemampuan visual.15
3. Gelombang theta (4-8 Hz) terlihat prominen pada saat tidur REM serta
ketika aktivitas otak meningkat, misalnya pada waktu seseorang melakukan
aktivitas yang memerlukan perhatian atau kemampuan memori yang
tinggi.15
4. Gelomban delta (1-4 Hz, 100-150 μV) adalah gelombang yang menandakan
tahap tidur yang dalam yaitu pada saat tidur tahap 3 dan 4. Gelombang delta
muncul karena meningkatnya produksi neuromodulator khususnya
kolinergik dan aminergik sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran
potensial yang lebih tinggi.15

2.1.3.4 Tahapan Tidur


1. Tahap W wakefulness (Tahap W).
Pada tahap pertama atau tahap W, seseorang dalam keadaan rileks, mata
tertutup dan EEG menunjukan gelombang alfa.16 (Lihat Gambar 2.4)

Drowsy, relaxed
Alpha waves

Gambar 2.4 Keadaan Mengantuk dan Rileks (Gelombang Alfa)

Universitas Tarumanagara 9
2. Tahap non-REM sleep atau NREM 1 (Tahap N1)
Pada tahap ini, EEG menunjukan gelombang theta,13 serta diikuti oleh
hilangnya gelombang alfa. Kemudian kelopak mata mulai terasa berat,
perlahan-lahan bola mata mulai bergerak ke kanan dan ke kiri, pupil
menjadi lebih kecil dan tonus otot mulai rileks. Selain itu tanda-tanda vital
seperti denyut jantung, pernapasan, tekanan darah, metabolisme, dan suhu
mengalami penurunan.16 (Lihat Gambar 2.5)

Stage 1 sleep
Theta waves

Gambar 2.5 Tidur Tahap N1 (Gelombang Theta)

3. Tahap NREM 2 (Tahap N2)


Selanjutnya, tahap N2 ditandai dengan timbulnya K complexes dan sleep
spindles14 pada gelombang EEG.16 K complexes adalah gelombang yang
panjang dan lebar yang muncul setiap menit.13 Sedangkan sleep spindle
adalah ledakan gelombang yang terjadi dalam waktu 0, 5 sampai 2 detik
dengan frekuensi 12 sampai 14 Hz. Sleep spindle berperan sebagai gerbang
untuk masuk ke tahap tidur selanjutnya dan berfungsi dalam mencegah
terganggunya proses tidur.13,16 (Lihat Gambar 2.6)

Stage 2 sleep
Sleep
Sleep spindles, K complexes
K complexes

Gambar 2.6 Tidur Tahap N2 (Sleep Spindles dan K Complexes)

4. Tahap NREM 3 (Tahap N3) dulu disebut tahap 3 dan tahap 4 atau slow wave
sleep)
Kemudian memasuki tahap N3, EEG menunjukan gelombang delta.13 Pada
tahap ini, tanda-tanda vital dalam keaadaan terendah, otot-otot dalam

Universitas Tarumanagara 10
keadaan aktif, sehingga seseorang dapat bergerak atau mengubah posisi
tidurnya.13 Selain itu, apabila kelopak mata dibuka, terlihat bola mata dalam
keadaan eksotropik dan ukuran pupil semakin kecil dari sebelumnya.16
(Lihat Gambar 2.7)

Stage 3/ Stage 4 sleep


Slow-wave sleep
Delta waves

Gambar 2.7 Tidur Tahap N3 (Gelombang Delta)

5. Tahap Rapid Eye Movement [REM] Sleep (Tahap R)


Setelah keempat tahap, siklus tidur kembali ketahap-tahap sebaliknya
dengan waktu yang relatif singkat kemudian memasuki tahap R (rapid eye
movement [REM]). Pada saat tahap tidur REM, EEG menunjukan frekuensi
gelombang yang sama seperti saat terjaga rileks tetapi tidak terbangun. Bola
mata terus bergerak bolak-balik secara horizontal, frekuensi napas dan
jantung meningkat serta terjadi ereksi pada laki-laki dan sekresi mukosa
vagina meningkat pada perempuan. Walaupun terlihat adanya rangsangan,
pada tahap REM, tubuh cenderung tidak bergerak, bahkan otot berada
dalam keadaan lumpuh atau atonia.13 (Lihat Gambar 2.8)
REM sleep
Fast, random

Gambar 2.8 Tidur Tahap R, Gelombang Cepat dan Acak

2.1.3.5 Fungsi Tidur NREM dan REM


Fase NREM ditandai dengan keadaan otak yang tidak aktif tetapi tubuh dalam
keadaan aktif. Keadaan otak dalam fase tidak aktif menimbulkan hipotesis yang
menyatakan bahwa NREM merupakan fase tidur yang berfokus pada istirahat dan
pemulihan. Hipotesis yang dikutip Garret B (2015) menyatakan slow-wave sleep
yang terjadi pada fase NREM berfungsi dalam pemulihan otak khususnya area
korteks prefrontal. Slow-wave sleep juga dipercaya berperan dalam mengembalikan
fungsi kognitif yang menurun.13

Universitas Tarumanagara 11
Bertolak belakang dengan fase NREM, pada fase tidur REM, aktivitas otak
dalam keadaan aktif, seperti dalam keadaan terjaga. Hal ini terlihat pada EEG, yang
menunjukan gelombang yang serupa pada kedua fase tersebut yaitu gelombang
dengan frekuensi yang tinggi dan amplitudo yang rendah. Walaupun begitu pada
saat tidur REM tidak terjadi kesadaran penuh melainkan masuk ke fase bermimpi.
Bermimpi merupakan fase kesadaran unik yang melibatkan memori dan halusinasi.
Pada saat bermimpi, otot-otot dalam keadaan tidak aktif sehingga pergerakan
sangat minimal. Keadaan lumpuhnya otot (atonia) pada fase ini disebabkan oleh
karena kerja dari GABAergic neuron di pontine reticular formation dengan cara
menginhibisi saraf motorik. Selain itu, juga terjadi peningkatan aktivitas inhibitorik
dari pons ke dorsal column nuclei sehingga menyebabkan hilangnya respon
terhadap rangsangan sensorik somatis.14
Fungsi tidur REM masih belum diketahui secara jelas sampai saat ini,
namun Garret B (2015) mengutip suatu hipotesis yang menyatakan bahwa fase
tidur REM berkaitan dalam proses pertumbuhan. Hipotesis ini menyatakan bahwa
proporsi tidur REM pada balita 50% lebih lama daripada saat dewasa. Menurut
hipotesis ini, sinyal yang dieksitasi dari pons ke seluruh saraf di otak menggiatkan
diferensiasi, maturasi dan myelinisasi sel-sel otak.13

2.1.3.6 Neurotransmiter yang Memengaruhi Tidur


2.1.3.6.1 Adenosin
Adenosin adalah salah satu hormon yang berperan dalam proses homeostatis tidur.
Saat terjaga, adenosin berakumulasi di basal forebrain area. Pada lokasi ini
adenosin menghambat kerja neuron yang berperan merangsang keadaan terjaga,
menginduksi rasa kantuk dan mengurangi aktivitas listrik di otak. Saat tidur, kadar
adenosin ini akan berangsur-angsur menurun. Adenosin juga bekerja pada lokasi
lain di otak yaitu di area preoptik di hipotalamus dan di area pons. Area ini berperan
dalam mengirimkan sinyal ke magnocellular nucleus yang menyebabkan
kelumpuhan yang terjadi pada saat tidur REM.14

Universitas Tarumanagara 12
2.1.3.6.2 Melatonin
Melatonin berperan sebagai pengatur irama sirkadian yang dipengaruhi oleh siklus
terang-gelap. Hormon melatonin diproduksi oleh kelenjar pineal yang terletak di
epitalamus, ditengah-tengah kedua hemisphere otak. Sekresi melatonin terjadi
apabila kelenjar pineal menerima sinyal dari suprachiasmatic nucleus (SCN) yang
merupakan pusat pengaturan jam biologis. Pusat pengaturan ini menerima
informasi terang-gelap yang dikirimkan melalui retino-hypothalamic tract dari sel
ganglion di retina dengan bantuan suatu fotopigmen melanopsin.12

2.1.4 Gangguan Tidur


2.1.4.1 Insomnia
International Classification of Sleep Disorder–3 (ICSD-3) tahun 2014
mendefinisikan insomnia sebagai suatu gangguan tidur berulang yang berkaitan
dengan inisiasi, durasi, konsolidasi dan kualitas tidur, walaupun tersedia
kesempatan yang cukup dan suasana yang kondusif untuk tidur. Berdasarkan ICSD-
3, insomnia diklasifikasikan kedalam dua kategorik yaitu akut dan kronik. Insomnia
akut merupakan gangguan tidur yang berlangsung satu sampai dua hari. Gangguan
ini dipicu oleh stressor yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti
stres pekerjaan, kesulitan ekonomi atau masalah rumah tangga. Apabila stressor
sudah hilang, insomnia akan membaik dengan sendirinya. Sedangkan insomnia
dapat dikatakan kronik apabila keluhan insomnia terjadi minimal terjadi tiga kali
dalam seminggu dan sudah berlangsung selama tiga bulan atau lebih. Penelitian
epidemiologis menyatakan bahwa insomnia kronis dapat mengakibatkan
penurunan status fungsional.17
Faktor tertentu dapat menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami
insomnia. Contohnya adalah faktor usia, jenis kelamin dan riwayat depresi.
Perempuan khususnya yang telah menopause dan lansia lebih dari 60 tahun
dikatakan lebih rentan mengalami insomnia. Selain itu, faktor lain seperti stres,
bising, suhu ekstrim, perubahan suasana tidur, jet lag dan efek samping obat sering
menyebabkan insomnia transien atau insomnia intermittent. Di sisi lain insomnia
kronik disebabkan oleh interaksi dari beberapa faktor yang lebih kompleks terutama
apabila ada kondisi fisik tertentu atau adanya riwayat gangguan mental. Salah satu

Universitas Tarumanagara 13
penyebab utama insomnia kronis yang paling sering adalah depresi. Penyebab
lainnya yaitu arthritis, penyakit ginjal, gagal jantung, asma, sleep apnea,
narcolepsy, restless legs syndrome, Parkinson, dan hipertiroid. Namun insomnia
kronik juga dapat disebabkan karena faktor perilaku seperti konsumsi kafein atau
alkohol yang berlebihan.18

2.1.5 Instrumen Pengukur Kualitas Tidur


2.1.5.1 Epworth Sleepiness Scale (ESS)
Epworth Sleepiness Scale adalah kuisioner yang digunakan untuk menilai tingkat
rasa kantuk seseorang atau kecenderungan tidur rata-rata sehari-hari. Kuisioner
ESS merupakan kuisioner sederhana berbasis laporan retropesktif mengenai rasa
kantuk dan tertidur pada berbagai situasi sehari hari. Kuisioner ini terdiri dari 8
pertanyaan, masing-masing memiliki nilai 0-3. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
berkaitan dengan seberapa sering seseorang merasa mengantuk atau tertidur. Total
nilai ESS berkisar 0-24. Nilai >10 mengindikasikan rasa kantuk yang signifikan.
Epworth Sleepiness Scale telah diterjemahkan kedalam 52 bahasa dan telah
dipakai untuk berbagai macam penelitian klinis berbasis populasi. Kuisioner ini
sering digunakan untuk mendeteksi perbaikan klinis suatu terapi misalnya pada
penderita sleep apnea yang sedang menjalani terapi continuous positive airway
pressure (CPAP). Konsistensi internal pada kedelapan pertanyaan dalam ESS telah
diuji dengan Cronbach’s alpha dan hasilnya berkisar 0,73 dan 0,90 serta reliabilitas
bervariasi antara 0,81 dan 0,93.19

2.1.5.2 Insomnia Severity Index (ISI)


Insomnia Severity Index adalah kuisioner yang terdiri dari 7 pertanyaan mengenai
sifat, tingkat keparahan dan akibat dari insomnia. Evaluasi hal-hal tersebut
diperoleh dengan cara recall, dengan jangka waktu satu bulan terakhir. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut berkaitan dengan tingkat keparahan permulaan tidur, sleep
maintenance, masalah bangun dini hari, rasa ketidakpuasan setelah tidur, gangguan
fungsi pada siang hari, gangguan tidur yang dilihat pasangan tidur, dan penderitaan
akibatnya. Skala Likert 5 digunakan pada masing-masing pertanyaan dan
menghasilkan skor total berkisar 0-28. Total skor kemudian diklasifikasikan

Universitas Tarumanagara 14
sebagai berikut; tidak insomnia (0-7), dibawah ambang batas (8-14), insomnia
sedang (15-21) dan insomnia berat (22-28). Dengan nilai ambang 10, ISI memiliki
nilai sensivitas 86,1% dan spesifisitas 87,7% untuk mendeteksi insomnia pada
sampel berbasis komunitas.20

2.1.5.3 Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)


The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah kuisioner untuk menilai kualitas
tidur dan gangguannya dalam satu bulan terakhir. Kuisioner ini terdiri dari 19
pertanyaan yang diisi sendiri. Pertanyaan dalam kuisioner ini meliputi pertanyaan
yang berhubungan dengan kualitas tidur seperti perkiraan durasi tidur, latensi tidur
dan gangguan tidur yang dialami serta derajat keparahannya. Pertanyaan-
pertanyaan ini dikelompokan kedalam 7 komponen yaitu subjective sleep quality,
sleep latency, sleep duration, habitual sleep efficiency, sleep disturbances, use of
sleeping medication, dan daytime dysfunction. Masing-masing komponen dapat
dinilai dengan skor 0-3.
Skor dari ketujuh komponen tersebut kemudian dijumlahkan untuk
memperoleh global PSQI score dimana angka terendah 0 dan angka tertinggi 21.
Global PSQI score <5 menandakan bahwa subjek memiliki kualitas tidur yang baik
sedangkan apabila >5 menandakan subjek memiliki gangguan tidur yang berat
dalam sedikitnya 2 komponen atau gangguan tidur yang sedang sedikitnya pada 3
komponen. Semakin tinggi nilainya mengindikasikan kualitas tidur yang semakin
buruk.21 Global PSQI score >5 memiliki sensitivitas 89,6% dan spesifisitas 86,5%
(kappa = 075, p < 0,001) dalam membedakan antara kualitas tidur yang baik dan
buruk.22 Data tersebut menunjukan PSQI merupakan kuisioner yang dapat dipakai
untuk kepentingan klinis dan penelitian dan dimaksudkan hanya untuk sampel
berbasis komunitas.21,22
Penulis memilih PSQI sebagai instrumen dalam penelitian ini dikarenakan
empat alasan. Pertama, seperti yang telah dipaparkan, PSQI memiliki tingkat
reliabilitas, spesifisitas dan sensitivias yang tinggi sehingga merupakan instrumen
yang valid untuk digunakan dalam penelitian. Kedua PSQI merupakan kuisioner
yang tepat berkaitan dengan variabel bebas penelitian ini yaitu mengenai kualitas
tidur. Ketiga, pengisian kuisioner PSQI terbilang singkat yaitu hanya memakan

Universitas Tarumanagara 15
waktu 5-10 menit, sehingga dapat mempersingkat pengambilan sampel. Terakhir,
pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam PSQI mudah dipahami oleh subjek
yang akan diteliti yaitu mahasiswa/i kedokteran.

2.2 Regulasi Keseimbangan Energi


Fungsi normal manusia mengikuti hukum pertama termodinamik yang menyatakan
bahwa energi hanya dapat diubah tetapi tidak bisa dihilangkan. Hukum tersebut
diformulasikan sebagai berikut: perubahan energi (ES) sama dengan selisih dari EI
dan EO. Pemasukan energi (EI), sebagian besar diperoleh dari energi kimia yaitu dari
makanan dan cairan yang dikonsumsi. pengeluaran energi (EO) terdiri dari
pengeluaran panas oleh tubuh dengan cara radiasi, konduksi, konveksi dan
evaporasi serta segala aktivitas yang dilakukan tubuh.

2.2.1 Pemasukan Energi (EI)


Energi yang dapat dipakai oleh tubuh (EI) diperoleh dari jumlah energi yang dicerna
dikurang dengan energi yang hilang bersama feses dan urin (~2-10%).23 Pemasukan
energi diperoleh dari 3 komponen makronutrien utama yaitu karbohidrat, protein,
lemak dan sedikit komponen dari alkohol. Saat dikonsumsi ketiga komponen
tersebut tidak diabsorbsi seluruhnya dan jumlah yang diasorbsi bervariasi pada
setiap individu bergantung dengan jenis makanan yang dikonsumsi, bagaimana
makan tersebut diproses dan faktor pencernaan. Setiap komponen mempunyai
densitas kalori yang berbeda beda. Lemak memiliki densitas kalori paling tinggi
yaitu 9 kkal/g diikuti dengan karbohidrat dan protein yaitu 4 kkal/g.
Proses pencernaan sendiri bergantung dari komposisi makanan itu sendiri
dan jumlah serat serta komponen-komponen lain yang tidak dapat dicerna.
Komponen seperti serat otomatis menghambat pencernaan dan memengaruhi
jumlah nutrisi yang dapat diserap. Selain itu, efisiensi penyerapan juga dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sepert flora normal dalam usus, cara memproses
makanan dan komposisi diet.

Universitas Tarumanagara 16
2.2.2 Pengeluaran Energi (EO)
Karbohidrat, protein dan lemak diubah in vivo menjadi substrat yang siap dioksidasi
untuk menghasilkan energi yang dapat langsung dipakai dalam proses metabolisme
atau untuk disimpan. Tingkat pengeluaran energi (EO) berubah-ubah dalam waktu
24 jam maupun sepanjang hidup. Selain untuk metabolisme, pengeluaran energi
juga terjadi pada pertumbuhan, body maintenance, aktifitas fisik, kehamilan, laktasi
dan proses lainnya.
Komponen pengeluaran energi yang utama adalah resting energy
expenditure (REE), thermic effect of feeding (TEF), dan activity energy expenditure
(AEE).11 Resting energy expenditure adalah pengeluaran energi saat istirahat yang
terdiri dari kira-kira dua per tiga dari EO. Resting energy expenditure bervariasi
antara setiap individu tergantung ukuran tubuh, komposisi tubuh. Semakin besar
total massa jaringan tubuh, semakin besar pula REE, dimana kontribusi massa
bebas lemak membutuhkan REE yang lebih besar daripada massa lemak.
Thermic effect of feeding adalah pengeluaran energi yang berkaitan dengan
pencernaan dan prosesnya. Komposisi diet sangat berpengaruh pada TEF. Setiap
makronutrien membutuhkan TEF yang berbeda-beda. Proses pencernaan protein
membutuhkan TEF yang paling tinggi diikuti dengan karbohidrat, dan yang paling
rendah adalah lemak. Sedangkan AEE adalah pengeluaran energi meliputi energi
yang diperlukan untuk aktifitas fisik serta termogenesis.23

2.2.3 Regulasi Rasa Lapar


Rasa lapar disebabkan oleh tiga sinyal utama yaitu menurunnya suplai oksigen ke
otak (glucoprivic hunger), defisit asam lemak (lipoprivic hunger) dan deplesi
nutrisi di lambung. Hati memperoleh informasi mengenai kadar glukosa dan asam
lemak dalam darah lewat vena porta yang berjalan dari usus halus menuju hati.
Informasi kadar glukosa dan asam lemak ini kemudian dikirimkan lewat saraf vagus
ke nucleus of the solitary tract (NST) di medulla oblongata.
Di sisi lain, otak memiliki reseptor glukosa tersendiri sehingga, otak dapat
langsung mendeteksi apabila ada penurunan kadar glukosa dan kadar asam lemak
dalam darah tanpa melewati saraf vagus. Informasi dari NST kemudian diteruskan
ke arcuate nucleus yang ada di hipotalamus, yaitu area yang paling penting dalam

Universitas Tarumanagara 17
memonitor keadaan nutrisi juga regulasi energi tubuh. Setelah itu, informasi
dikirimkan ke paraventricular nucleus (PVN) yang ada di lateral hipotalamus untuk
regulasi asupan makanan serta metabolisme. Pada saat perut dalam keadaan
kosong, hormon ghrelin disekresikan di lambung kemudian mencapai arcuate
nucleus melalui peredaran darah. Pada manusia, kadar ghrelin meningkat sampai
80% sebelum makan dan menurun tajam setelah makan.
Ketiga sinyal lapar tersebut kemudian merangsang arcuate nucleus untuk
mensekresi neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein (AgRP) dimana
keduanya akan mengeksitasi PVN dan hipotalamus lateral untuk meningkatkan rasa
lapar dan menurunkan laju metabolisme.

2.2.4 Regulasi Rasa Kenyang


Rasa kenyang yang pertama dirasakan saat setelah makan, disebabkan adanya
peningkatan volume dalam lambung. Distensi lambung mengaktivasi reseptor
regangan yang kemudian mengirimkan sinyal melalui saraf vagus menuju NST. Di
sisi lain, nilai gizi suatu makanan juga berpengaruh. Saat ada makanan masuk,
mulut, lambung dan usus mengeluarkan suatu peptida. Berbagai macam peptida
yang dikeluarkan akan merangsang pankreas, hati dan kandung empedu, untuk
mensekresikan enzim ke dalam duodenum agar nutrisi dapat dicerna. Sebagian
peptida ini dikirimkan ke otak melalui peredaran darah dan melalui saraf vagus,
untuk menginformasikan apa saja nutrisi yang sedang dicerna dan apakah sudah
memenuhi kebutuhan. Salah satu peptida yang terkenal sebagai sinyal rasa kenyang
adalah cholecystokinin (CCK). Cholecystokinin adalah hormon peptida yang
dikeluarkan saat makanan melewati duodenum. Peptida ini berfungsi mendeteksi
lemak dan merangsang sekresi empedu yang berguna untuk memecah lemak.

2.2.5 Kontrol Jangka Panjang


Peptida lain yang berperan menekan nafsu makan adalah peptide YY3-36 (PYY).
Peptida ini diangkut melalui peredaran darah ke arcuate nucleus, dan menghambat
NPY releasing neurons. Tidak seperti CCK yang bekerja langsung sesaat setelah
makan, PYY bekerja lambat dengan mengurangi asupan kalori sampai sepertiganya
dalam waktu 12 jam setelah makan.

Universitas Tarumanagara 18
Tubuh mengatur kebiasaan makan dengan memonitor berat badan,
khususnya lemak tubuh. Sel lemak, mensekresikan suatu hormon bernama leptin
yang berfungsi dalam menghambat nafsu makan. Kadar leptin dalam darah
berbanding lurus dengan proporsi lemak tubuh. Pada orang dengan obesitas, kadar
leptin meningkat empat kali lipat dari pada orang dengan berat badan normal.
Kadar insulin juga meningkat apabila proporsi lemak tubuh meningkat.
Insulin dan leptin bersama-sama mengurangi nafsu makan di arcuate nucleus
dengan menghambat NPY/AgRP neuron. Pada saat yang bersamaan, kedua hormon
ini mengaktivasi sel-sel proopiomelanocortin (POMC) agar menghambat PVN di
hipotalamus lateral.
Kontributor lainnya yang berkaitan dengan kontrol nafsu makan dan berat
badan adalah orexin. Orexin adalah suatu peptida yang berfungsi dalam
meningkatkan nafsu makan. Orexin aktif saat kadar leptin atau glukosa dalam darah
menurun atau saat kadar ghrelin tinggi. Orexin diproduksi oleh sekelompok neuron
yang terletak di lateral hipotalamus kemudian diteruskan ke arcuate nucleus untuk
mengaktivasi NPY dan menghambat POMC.13

2.2.6 Faktor yang Memengaruhi Regulasi Lapar Kenyang


2.2.6.1 Faktor Hedonik
Selain faktor fisiologi yang mengatur asupan makanan, ada faktor di luar
pengaturan fisiologis yang berkaitan dengan sifat makanan. Makanan yang
disajikan dengan penampilan, aroma dan rasa yang menarik dan menggiurkan dapat
menghilangkan sinyal rasa kenyang dan menimbulkan overfeeding. Hal ini
disebabkan peran dari reseptor gustatorik yang ada pada lidah dan rongga mulut.
Reseptor gustatorik meliputi rasa manis, asin, asam, dan pahit. Informasi
rasa dikirimkan oleh neuropeptida yang dilepaskan di lidah dan rongga mulut
kemudian diterima oleh NST dan parabranchial nucleus di batang otak. Sensasi
gustatorik tersebut kemudian disampaikan ke talamus dan lateral frontal cerebral
cortex, central nucleus pada amygdala dan lateral hypothalamus area.
Neuropeptida yang berperan dalam sinyal gustatorik tersebut diantaranya adalah
substansi P, CCK, opioid dan leptin. Rexford S (2008) menyatakan bahwa
kekurangan leptin dapat meningkatkan persepsi rasa manis dan sebaliknya.24

Universitas Tarumanagara 19
2.2.6.2 Stres
Stres merupakan masalah yang dapat mengganggu proses homeostasis dari suatu
organisme. Ada dua komponen utama respon stres, yaitu sistem saraf otonom dan
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Stres dapat disebabkan stressor
eksternal seperti masalah pekerjaan, masalah sosial maupun faktor instrinsik seperti
kekurangan tidur. Walaupun respon stres dalam jangka waktu singkat bermanfaat,
stres jangka panjang atau yang berkelanjutan dapat membahayakan dan
menyebabkan banyak gangguan. Suatu penelitian melaporkan bahwa riwayat
depresi menyebabkan hiperaktivitas dari HPA axis. Selain itu dalam 30 tahun
kebelakang banyak penelitian yang menunjukan bahwa depresi yang berhubungan
dengan status sosial ekonomi, pekerjaan, dan kekurangan tidur merupakan faktor
resiko kelainan obesitas dan kelainan metabolic lainnya.25
Sebuah literatur menggagaskan pendapat bahwa sirkuit penghargaan di otak
(brain reward circuitry) memainkan peranan penting dalam asupan makanan yang
dipengaruhi stres. Stres dan makanan tinggi kalori menstimulasi pengeluaran
opioid. Pelepasan opioid merupakan pertahanan suatu organisme dalam melindungi
tubuh dari efek buruk stres dengan cara menurunkan aktivitas HPA axis. Apabila
mekanisme ini terus berulang maka dapat menyebabkan adaptasi neurobiologis
yang kemudian mempromosikan sifat kompulsif untuk makan berlebihan. Selain
itu, kortisol juga menyebabkan disregulasi neuroendokrin seperti leptin, insulin dan
NPY dan meningkatkan nafsu makan dan akumulasi lemak viseral.26

2.2.6.3 Budaya dan Kebiasaan


Regulasi lapar kenyang juga dibentuk oleh faktor psikologis, sosial dan faktor
lingkungan. Seringkali keputusan untuk makan atau menyudahinya tidak semata-
mata ditentukan oleh dorongan dari dalam. Keputusan tersebut dapat dikarenakan
oleh suatu kebiasaan dan rutinitas, misalnya makan tiga kali sehari tanpa
memedulikan status lapar-kenyang. Kebiasaan sosial seperti rekreasi atau
pertemuan bisnis yang melibatkan makan, juga berpengaruh. Selain itu, jargon
seperti “makanan di piring harus dihabiskan” dapat memengaruhi asupan makan.12

Universitas Tarumanagara 20
2.2.7 Gangguan Keseimbangan Regulasi Energi
2.2.7.1 Overweight dan Obesitas
Overweight dan obesitas adalah keadaan dimana adanya penumpukan lemak tubuh
dalam jumlah yang abnormal dan mengakibatkan peningkatan berat badan.
Keadaan ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara pemasukan energi dan
kebutuhan energi oleh jaringan. Dengan kata lain, obesitas merupakan kelainan
dalam sistem keseimbangan, dimana tubuh tidak dapat menyesuaikan pemasukan
energi dan pengeluarannya.27
Pada prinsipnya obesitas terjadi karena tingginya masukan energi atau
rendahnya pengeluaran energi atau keduanya. Namun etiologi obesitas bersifat
multifaktorial karena banyak mekanisme yang dapat berkontribusi. Obesitas dapat
terjadi apabila ada interaksi faktor lingkungan dan faktor genetik. Peran genetik
dapat dilihat dari bukti bahwa IMT anak adopsi tetap mencerminkan IMT orang tua
kandung, daripada IMT orang tua angkat, dimana faktor lingkungan dapat
berpengaruh. Selain itu, IMT pada anak kembar cenderung sama, bahkan bila
keduanya tinggal di tempat yang terpisah.28
Sindrom genetik spesifik yang berperan dalam obesitas adalah mutasi gen
ob. Pada tikus percobaan yang dengan gen ob/ob terjadi resistensi insulin,
hiperfagia, penurunan metabolisme. Mutasi pada gen ob menghambat pembentukan
leptin, sehingga tubuh tidak dapat mendeteksi kadar lemak, akibatnya nafsu makan
tidak terkontrol. Pada tikus percobaan lain dengan mutasi db/db, terjadi resistensi
terhadap leptin sehingga menghasilkan sindrom serupa. Onset terjadinya obesitas
terkait mutasi gen spesifik ini terjadi saat setelah lahir dengan gejala berat dan
disertai dengan abnormalitas neuroendokrin misalnya gonadotropic hypogonadism.
Selain mutasi gen ob dan db, mutasi pada gen lain juga dapat menyebabkan
obesitas pada manusia. Mutasi pada gen yang berperan dalam produksi POMC
menyebabkan gagalnya sintesis α-MSH. Selain itu, mutasi proenzym convertase 1
(PC-1) juga dapat menimbulkan resiko obesitas dengan menghambat interaksi
antara α-MSH dan POMC. α-MSH berikatan dengan type 4 melanocortin receptor
(MC4R) di hipotalamus dan menghambat nafsu makan. Di sisi lain kerusakan pada
reseptor ini otomatis dapat menyebabkan obesitas. Ketiga mekanisme tersebut

Universitas Tarumanagara 21
walaupun jarang dapat mengganggu kerja leptin yaitu mestimulasi POMC dan
meningkatkan kadar α-MSH dalam menurunkan nafsu makan.
Di sisi lain, faktor lingkungan juga berpengaruh. Sebagai bukti, prevalensi
obesitas di Amerika mengalami peningkatan yang terlalu cepat, yang tidak
memungkinkan apabila obesitas hanya disebabkan oleh faktor genetik.27 Faktor
lingkungan yang berpengaruh penting dalam timbulnya obesitas adalah faktor diet
yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik. Diet yang buruk mencakup konsumsi fast
food yang tinggi akan lemak dan gula, konsumsi alkohol secara berlebihan, makan
dengan porsi besar, sering mengonsumsi minuman berkalori dan menjadikan
makan sebagai sarana penghilang stres. Kekurangan aktivitas fisik menyebabkan
berkurangnya pengeluaran energi.29 Terlebih lagi pada zaman modern, aktivitas
fisik menjadi sangat kurang disebabkan berkembangnya teknologi yang
mempermudah aktivitas sehari-hari. Hal ini tentu berpengaruh pada kurangnya
aktivitas fisik sehingga meningkatkan resiko obesitas.30

2.2.7.2 Anorexia Nervosa


Kebalikan daripada obesitas, anorexia nervosa adalah keadaan dimana seseorang
tidak memiliki nafsu makan. Anorexia umumnya diderita oleh perempuan remaja
atau dewasa yang memiliki ketakutan tidak wajar terhadap obesitas. Ketakutan
tersebut membuat pengidap anorexia untuk makan dalam porsi yang sangat sedikit
bahkan tidak makan sama sekali bahkan hingga menyebabkan kematian. Ditambah
lagi kelainan ini juga ditandai dengan perubahan sekresi hormon, terhentinya siklus
menstruasi, dan suhu tubuh yang rendah. Penyebab dari keadaan ini belum dapat
dipastikan, namun diduga peranan faktor psikologis.12

2.3 Pengukuran Massa Lemak


2.3.1 Pengukuran Tebal Lemak Subkutan
Pengukuran tebal lemak subkutan merupakan cara pengukuran antropometri yang
dilakukan dengan cara mengukur tebal lemak di berbagai area tubuh menggunakan
kaliper. Formulasi perhitungannya akan menghasilkan prediksi massa lemak tubuh
yang kemudian dipakai untuk menggambarkan kondisi metabolik yang
berhubungan dengan penyakit degeneratif seperti hipertensi dan stroke.

Universitas Tarumanagara 22
Keuntungan dari pengukuran tebal lemak subkutan adalah caranya yang sederhana,
tidak perlu memakai alat yang rumit dan kesalahan teknik minimal serta dapat
memprediksi lemak secara keseluruhan. Namun kelemahannya adalah diperlukan
keterampilan yang terstandar untuk mendapatkan hasil pengukuran yang akurat.31

2.3.2 Pengukuran Lingkar Pinggang


Pengukuran lingkar pinggang merupakan cara mudah untuk memeriksa kelebihan
lemak khususnya di perut. Pada pemeriksaan ini, tinggi badan dan bentuk tubuh
tidak diperhitungkan.32 Nilai maksimal lingkar pinggang laki-laki adalah 90 cm dan
pada wanita adalah 80 cm.33 Apabila melebihi dari angka yang ditetapkan, hal
tersebut mengindikasikan bahwa selain diperut, lemak juga melapisi organ-organ
lainnya misalnya jantung, ginjal, hati, pankreas dan organ pencernaan yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit jantung dan strok.
Pengukuran lingkar pinggang biasanya dilakukan bersamaan dengan
perhitungan indeks massa tubuh untuk memperoleh hasil kadar lemak yang lebih
akurat. Cara pengukurannya adalah dengan melingkari pita meteran tepat ditengah
diantara batas atas tulang pinggul dan batas bawah tulang iga. Namun cara
pengukuran ini tidak akurat pada situasi tertentu misalnya ibu hamil, adanya
gangguan distensi abdomen, serta pada ras-ras tertentu misalnya pada ras Aborigin,
Torres Strait Islander, Asia selatan, Cina, dan Jepang.32

2.3.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)


Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah rumus antropometri yang digunakan untuk
mengukur lemak tubuh berdasarkan perhitungan yang melibatkan massa badan dan
tinggi badan dan dapat diaplikasikan pada laki-laki maupun perempuan.34 Untuk
menghitung IMT, digunakan rumus berikut:
Berat Badan (Kg)
IMT = -------------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Untuk Indonesia, berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian, Departemen
Kesehatan Indonesia tahun 2011 telah menyediakan klasifikasi yang akurat bagi
orang Indonesia, sebagai berikut:35

Universitas Tarumanagara 23
Tabel 2.1 Indeks Massa Tubuh
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0


Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0
(Overweight)
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
(Obesitas)

Indeks ini berguna sebagai alat screening yang mudah, murah dan cepat
untuk menentukan status berat badan suatu populasi. Namun penggunaan IMT
hanya untuk orang dewasa berumur > 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada
bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Pengukuran IMT tidak dapat
diaplikasikan pada anak-anak dikarenakan status IMT pada anak-anak berhubungan
erat dengan usia dan jenis kelamin. Sedangkan interpretasi IMT pada dewasa tidak
mencakup hal tersebut. Selain itu komposisi tubuh setiap orang berbeda-beda.
Perempuan memiliki komposisi lemak tubuh yang lebih tinggi dari pada laki-laki.
Lansia, cenderung memiliki massa lemak lebih tinggi dibandingkan orang dewasa
muda.Ras asia memiliki komposisi lemak tubuh paling tinggi diikuti ras kulit putih
kemudan ras kulit hitam. Komposisi lemak pada olahragawan jauh lebih rendah
dibandingkan yang bukan olahragawan.34
Oleh karena hal-hal yang disebutkan, perlu diingat bahwa IMT tidak
memperhitungkan faktor-faktor tersebut dan hanya mengandalkan berat badan dan
tinggi badan saja. Hal tersebut tentu saja menjadi kelemahan IMT sebagai
instrument penelitian. Namun Center of Disease Control and Prevention (2016)
menyatakan bahwa pengukuran menggunakan IMT masih dapat digunakan sebagai
alat untuk screening obesitas beserta resiko kesehatan yang ditimbulkannya. Hal ini
dikarenakan nilai IMT berkorelasi dengan kadar lemak dan dapat meramalkan
morbiditas serta mortalitas suatu populasi.36
Penulis menggunakan IMT sebagai instrumen penelitian ini dikarenakan
paling sedikit tiga alasan. Alasan pertama adalah, IMT merupakan rumus
antropometri yang sederhana, murah dan cepat, sehingga membuat pengambilan

Universitas Tarumanagara 24
sampel menjadi lebih efisien. Kedua, karena IMT merupakan pengukuran yang
sesuai untuk menilai variabel terikat pada penelitian ini yaitu mengenai status berat
badan. Ketiga, IMT merupakan pengukuran yang lazim digunakan dalam penelitian
di Indonesia, termasuk oleh Departemen Kesehatan Indonesia sehingga cut off, dan
perbandingan hasil penelitian dapat lebih akurat.

2.4 Hubungan Kualitas Tidur dengan Indeks Massa Tubuh


Kualitas tidur yang buruk meningkatkan faktor resiko terjadinya overweight. Hal
ini disebabkan karena buruknya kualitas tidur menyebabkan ketidakseimbangan
dua faktor utama yang berperan dalam regulasi energi yaitu pemasukan energi dan
pengeluaran energi.
Dalam faktor pemasukan energi, kualitas tidur yang buruk menyebabkan
perubahan berbagai aspek. St-Onge et al (2011) mengemukakan dalam
penelitiannya bahwa saat kekurangan tidur, pemasukan energi meningkat menjadi
300 kkal/hari.37 Peningkatan ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan
sebanyak 20 pound per tahun atau setara dengan 9 kg.38 Selain itu Markwald RR et
al (2013) mendukung hal ini pada penelitiannya bahwa peningkatan asupan
makanan saat kekurangan tidur, sebenarnya merupakan adaptasi fisiologis untuk
menyediakan energi tambahan untuk mempertahankan waktu terjaga yang
memanjang.
Mekanisme fisiologis ini timbul karena adanya peningkatan kadar
orexin/hypocretin saat kekurangan tidur.39 Hal ini menyebabkan meningkatnya
nafsu makan. Schmid et al (2008) membandingkan tingkat rasa lapar pada subjek
penelitiannya setelah tidur 4,5 jam dan 7 jam. Dibandingkan dengan 7 jam tidur,
subjek yang tidur 4,5 jam melaporkan rasa lapar yang lebih tinggi dua kali lipat. 40
Selain itu Kilkus et al (2011) mengobservasi bahwa kualitas tidur yang buruk
menyebabkan ketidakstabilan emosi sehingga menimbulkan rasa lapar yang tidak
terkontrol.41 Namun, peningkatan berat badan akan terjadi apabila subjek berada
dalam lingkungan yang mendukung terjadinya obesitas (obesogenic environment),
dimana makanan sangat mudah diakses.39
Fakta tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Gonnissen et
al (2011). Pada penelitian tersebut subjek dibagi ke dalam dua kelompok dan

Universitas Tarumanagara 25
diminta untuk tidur selama 8 jam. Sewaktu tidur, salah satu kelompok dibangunkan
setiap 90 menit, dan kelompok lainnya tidak diganggu sama sekali. Kelompok yang
tidurnya terus diganggu, mengalami penurunan durasi tidur REM dan peningkatan
N2. Pada kelompok ini, subjek mengeluhkan rasa lapar siang hari dan peningkatan
keinginan untuk makan pada malam hari.42 Penyebab kenaikan nafsu makan
dibuktikan dalam penelitian oleh Bosy-Westphal A et al (2008) yang menyatakan
kualitas tidur memicu kenaikan ghrelin dan penurunan kadar leptin. Ghrelin adalah
sinyal orexigenic dari lambung yang berperan dalam peningkatan nafsu makan,
sedangkan adipocytokine leptin berperan sebagai anorexigenic, yaitu mengirimkan
sinyal ke hipotalamus untukn menekan nafsu makan.43
Data epidemiologis menunjukan bahwa kekurangan tidur berkaitan dengan
berkurangnya asupan buah-buahan dan sayur-sayuran dan bertambahnya konsumsi
makanan berlemak, fast food dan camilan tinggi karbohidrat, di luar jam makan44,45
Arlet V Nedeltcheva (2009) mengemukakan, bahwa peningkatan asupan camilan
terutama disebabkan peran dari faktor psikologis berkaitan dengan motivasi dan
reward seeking. Selain itu, masa terjaga yang memanjang dan gaya hidup yang
buruk (sedentary lifestyle) meningkatkan kesempatan seseorang untuk
mengonsumsi makanan tinggi kalori.46
Faktor lain yang penting adalah pengeluaran energi. Schmid et al (2009)
menemukan fakta bahwa kekurangan tidur mengurangi aktivitas fisik, yang diukur
dengan wrist accelerometry. St-Onge et al (2011) menyatakan bahwa saat
kekurangan tidur, puncak aktivitas fisik menurun.47 Penurunan aktivitas fisik
diakibatkan rasa kelelahan dan rasa kantuk di siang hari. Padahal aktivitas fisik
yang cukup dapat meningkatkan kualitas tidur di malam hari. 48

Universitas Tarumanagara 26
2.5 Kerangka Teori
Faktor eksternal: stres, bising, suhu
Faktor internal:
ekstrim, perubahan suasana tidur,
Usia, jenis kelamin,
jet lag dan efek samping obat.
riwayat depresi

Kualitas tidur buruk

Perubahan hormon Perubahan perilaku


regulasi energi

Leptin, ghrelin, Perubahan diet dan


orexin/hypocretin aktivitas fisik

Ketidakseimbangan
regulasi energi

Peningkatan berat
badan

Overweight

Obesitas

2.6 Kerangka Konsep

Kualitas tidur buruk Overweight


dan obesitas

Universitas Tarumanagara 27
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik dengan metode cross-sectional terhadap 2
proporsi tidak berpasangan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
pada mahasiswa/i FK UNTAR yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai
Maret 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Mahasiswa/i Universitas Tarumanagara Kampus I.
3.3.2 Populasi Target
Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
3.3.3 Populasi Terjangkau
Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2015, 2016
dan 2017
3.3.4 Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability sampling yaitu
simple random sampling.

3.4 Perkiraan Besar Sampel


Besar sampel didapat berdasarkan rumus besar sampel analitik terhadap 2 proporsi
tidak berpasangan sebagai berikut49:

2
𝑍𝛼√2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽√𝑃1 𝑄1 + 𝑃2 𝑄2
𝑛1 = 𝑛2 = [ ]
𝑃1 −𝑃2

Keterangan :
n1 = besar sampel pada proporsi 1
n2 = besar sampel pada proporsi 2

Universitas Tarumanagara 28
α (Zα) = 1,96 untuk Confidence Interval 95%
β (Zβ) = 0,84 untuk power 80%
P2 = 0, 27 (diperoleh dari jurnal penelitian serupa sebelumnya)49

P1-P2 = 0, 2 (selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna)50


P1 =20% + P2= 0, 47 (merupakan clinical judgement)50
Q1 = 1 – P1 = 0, 53
Q2 = 1 – P2 = 0, 73

P = (P1+P2)/2 = 0, 37
Q = 1 – P = 0, 63
2
1,96√2(0, 37)(0, 63) + 0,84√(0, 47)(0, 53) + (0,270)(0, 73)
𝑛1 = 𝑛2 = [ ]
0,2

𝑛1 = 𝑛2 = 90
n = 180
Dengan demikian jumlah sampel pada penelitian ini adalah 180 orang.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1 Kriteria inklusi
1. Seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
2. Bersedia sebagai responden.
3. Mempunyai kemampuan Bahasa Inggris secara pasif.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


1. Perokok.51,52
2. Menderita penyakit metabolik (diabetes mellitus, hipertensi).51
3. Mengonsumsi obat-obatan yang memengaruhi kualitas tidur (misalnya:
alkohol, kafein, beta-bloker, klonidin, kortikosteroid, diuretik, antihistamin,
SSRIs, stimulan, teofilin, hormon tiroid, ).52
4. Mengonsumsi obat-obatan yang dapat memengaruhi berat badan (misalnya:
orlistat, Belviq, Contrave, Saxenda, phentermine, Qsymia, susu protein,
steroid).53

Universitas Tarumanagara 29
3.6. Cara Kerja Penelitian
3.6.1 Pengukuran dan Intervensi
3.6.1.1 Alat: Timbangan berat badan
Tipe: Manual
Perusahaan pembuat: GEA Medical

3.6.1.2 Alat: Pengukur tinggi badan


Tipe: Roll up model
Perusahaan pembuat: General Group

3.6.2 Variabel Penelitian


3.6.2.1 Variabel Bebas
Variabel Bebas dalam penelitian ini adalah kualitas tidur Mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara. (Kategorik)

3.6.2.2 Variabel Terikat


Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah IMT Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara. (Kategorik)

3.7 Definisi Operasional


3.7.1 Kualitas Tidur
Definisi : Kepuasan yang dirasakan seseorang sesaat setelah bangun tidur
dan sepanjang hari.54 Dapat dinilai dengan mengukur 7 komponen;
penilaian subjektif, latensi, durasi, efisiensi, gangguan, medikasi,
disfungsi siang hari.21
Cara Ukur : Kuisioner
Alat Ukur : Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Skala Ukur : Numerik - Kategorik
Hasil Ukur : Kategorik
1. Baik (PSQI <5)
2. Buruk (PSQI >5)

Universitas Tarumanagara 30
3.7.2 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Definisi : Rumus antropometri yang digunakan untuk mengukur lemak tubuh
berdasarkan perhitungan yang melibatkan massa badan dan tinggi
badan.34
Cara Ukur : Rumus IMT
Alat Ukur : 1. Timbangan berat badan digital (SI: kilogram)
2. Pengukur tinggi badan (stature meter) (SI: meter)
Skala Ukur : Numerik
Hasil Ukur : Kategorik
1. IMT Normal (IMT ≤ 25)
2. IMT Overweight (IMT > 25)

3.8 Pengumpulan Data


1. Subjek penelitian diperoleh dengan cara probability sampling yaitu simple
random sampling karena akan dilakukan pada seluruh mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara.
2. Peneliti menjelaskan secara singkat mengenai penelitian.
3. Subjek yang telah mengisi informed consent dianggap sah menjadi subjek
penelitian.
4. Subjek mengisi kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index.
5. Subjek diminta untuk melepas alas kaki dan berdiri tegak diatas timbangan
manual dan tidak bergerak-gerak saat pengukuran.
6. Subjek masih melepas alas kaki lalu diminta untuk berdiri tegak didepan
dinding dengan belakang kepala, punggung, bokong, betis bagian belakang
dan tumit menempel di dinding, lalu peneliti mengukur tinggi badan
menggunakan stature meter.
7. Peneliti memasukan sampel yang telah diperoleh kedalam kriteria inklusi
maupun eksklusi.
8. Peneliti menghitung Indeks Massa Tubuh Subjek.
9. Peneliti menghitung Score PSQI.

Universitas Tarumanagara 31
3.9 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan program statistik
terkomputerisasi.

Universitas Tarumanagara 32
3.10 Alur Penelitian

Mengajukan Judul
Penelitian

Membuat Proposal
Penelitian

Disetujui

Izin Mengambil Data

Mengambil data
menggunakan
kuisioner

Kriteria Eksklusi

Kriteria Inklusi

Mengolah Data

Analisis Data

Menyimpulkan Hasil

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Universitas Tarumanagara 33
3.11 Jadwal Penelitian
Semester 7 Semester 8
Ags - Des Jan - Mar Apr - Jun
2017 2018 2018
Penyusunan
proposal
Pengumpulan
proposal
Perijinan
lokasi
penelitian
Pengambilan
dan analisis
data
Penyusunan
skripsi
Pengumpulan
skripsi
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

Universitas Tarumanagara 34
BAB 4

HASIL PENELITIAN
4.1 Subjek dan Karakteristik Penelitian

Pada awal penelitian, kuisioner Pitsburgh Sleep Quality Index (PSQI) disebarkan
kepada mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan
2015, 2016 dan 2017 dengan total jumlah 596 orang. Sebanyak 292 mahasiswa/i
menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian sedangkan 304 mahasiswa/i
lainnya tidak bersedia. Namun sebanyak 62 mahasiswa/i yang bersedia
berpartisipasi tidak dapat diikutsertakan karena tidak memiliki kemampuan Bahasa
Inggris secara pasif (kriteria inklusi). Selain itu sebanyak 35 mahasiswa/i juga tidak
diikutsertakan karena mempunyai penyakit metabolik, seorang perokok, dan/atau
sedang mengonsumsi zat/obat-obatan yang memengaruhi kualitas tidur serta IMT
(kriteria eksklusi). Pada akhirnya mahasiswa/i yang memenuhi kriteria keseluruhan
dan bersedia mengikuti penelitian adalah 195 orang. Setelah responden mengisi
kuisioner PSQI untuk menilai kualitas tidur, dilakukan pengukuran berat badan dan
tinggi badan. Setelah didapatkan data berat badan dan tinggi badan responden,
dilakukan penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Dengan demikian, didapatkan karakteristik responden adalah sebagai
berikut:

Tabel 4.1.1 Karakteristik Responden Penelitian


Variabel Jumlah (n=195) Persentase (%) Mean±SD
Jenis Kelamin
Laki-laki 57 29,2
Perempuan 138 70,8
Umur
16 tahun 1 0,5
17 tahun 4 2,1 19,13±0,936
18 tahun 39 20
19 tahun 88 45,1
20 tahun 55 28,2
21 tahun 5 2,6
22 tahun 2 1,0
23 tahun 1 0,5

Universitas Tarumanagara 35
Berdasarkan data yang diperoleh, hasil responden yang berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 57 (29,2%) dan jenis kelamin perempuan berjumlah 138 (70,8%). Usia
responden yang mendominasi adalah usia 19 tahun (45,1%). (Lihat Tabel 4.1.1)

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Hasil Penilaian Kualitas Tidur dengan Menggunakan Kuisioner PSQI

Tabel 4.2.1 PSQI global score Responden


Variabel Jumlah (n=195) Persentase (%)
Kualitas tidur baik 65 33,3
(PSQI <5)
Kualitas tidur buruk 130 66,7
(PSQI ≥5)

Berdasarkan dari data yang didapatkan, dapat diinterpretasikan bahwa jumlah


responden yang mempunyai responden yang mempunyai kualitas tidur yang baik
(PSQI <5) hanya berjumlah 65 orang (33,3%), sedangkan kualitas tidur yang buruk
(PSQI ≥5) mendominasi yaitu berjumlah 130 orang (66,7%). (Lihat Tabel 4.2.1)

4.2.2 Hasil Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)

Tabel 4.2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden


Variabel Jumlah (n=195) Persentase (%)
IMT normal (≤25) 139 71,3
IMT overweight (>25) 56 28,7

Sesuai dengan data IMT diatas, ada sebanyak 139 responden (71,3%) dengan berat
badan normal (IMT≤25). Sebanyak 56 responden (28,7%) menderita overweight
(IMT>25). Kriteria IMT yang digunakan adalah berdasarkan Pedoman Praktis
Departemen Kesehatan tahun 2011. (Lihat Tabel 4.2.2)

Universitas Tarumanagara 36
4.3 Analisis Hasil Penelitian

Uji chi-square merupakan uji non-parametris yang berguna untuk menguji


hubungan atau pengaruh dua buah atau lebih variabel kategorik dan mengukur
kuatnya hubungan antar variabel. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan uji
chi-square untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kualitas tidur dan IMT
serta kekuatan hubungan kedua variabel tersebut.

Tabel 4.3.1 Hasil Analisis Uji Chi-Square Hubungan Kualitas Tidur Dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kualitas tidur IMT IMT Nilai P PR* CI# 95%


Overweight Normal
(N=56) (N=139)
Buruk 46 (82,1%) 84 (60,4%) 0,006 2,3 1,403 s/d
6,464

Baik 10 (17,9%) 55 (39,6%)


*Prevalence Ratio; #Confidence Interval

90 82,1%
80
70
60,4%
Persentase IMT

60
50
39,6%
40
30
17,9%
20
10
0
Baik Buruk
Kualitas Tidur

IMT Normal (N=139) IMT Overweight (N=56)

Gambar 4.3.1 Hubungan Kualitas Tidur Dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Universitas Tarumanagara 37
Berdasarkan analisis hasil penelitian uji chi-square di atas, didapatkan:
1. Sebanyak 55 (39,6%) responden dengan IMT normal, memiliki kualitas
tidur yang baik, sedangkan sebanyak 84 (60,4%) responden mempunyai
kualitas tidur yang buruk. Selain itu didapatkan sebanyak 10 (17,9%)
responden dengan IMT overweight memiliki kualitas tidur yang baik dan
sisanya sebanyak 46 (82,1%) responden mempunyai kualitas tidur yang
buruk. (Lihat Gambar 4.3.1)
2. Nilai P sebesar 0,006 (p= <0,05) menunjukan bahwa secara statistik terdapat
hubungan antara kualitas tidur dengan IMT.
3. Selisih perbedaan proporsi penderita overweight yang memiliki kualitas
tidur buruk dan kualitas tidur baik adalah 20%, sama dengan perbedaan
proporsi minimal yang dianggap bermakna. Dengan demikian, secara klinis
terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT).
4. Rentang nilai interval kepercayaan tidak terdapat angka satu. (1,403 s/d
6,464). Dengan demikian dapat disimpulkan hipotesis nol ditolak.
5. Nilai prevalence ratio (PR) adalah 2,3 menunjukan bahwa responden
dengan kualitas tidur yang buruk mempunyai kemungkinan 2,3 kali untuk
menderita overweight dibandingkan dengan responden dengan kualitas
tidur yang baik. (Lihat Tabel 4.3.1)

Universitas Tarumanagara 38
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia tidak terkecuali di
Indonesia. Jumlah penderita overweight dan obesitas dari tahun ke tahun terus
meningkat. Overweight dan obesitas dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Salah satu faktor yang berperan adalah faktor kebiasaan seperti aktivitas fisik yang
kurang, pola makan yang tidak teratur, stres berat dan tidak cukup tidur. Beccuti G
et al (2011) menyimpulkan bahwa kekurangan tidur kronis berhubungan dengan
meningkatnya resiko obesitas. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti ingin
mengetahui hubungan kualitas tidur dengan IMT pada mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara.
Pada penelitian ini responden diminta untuk mengisi kuisioner Pittsburgh
Sleep Quality Index (PSQI). Kemudian dilakukan pengukuran berat badan dan
tinggi badan untuk dihitung skor Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan menggunakan
kriteria Pedoman Praktis Departemen Kesehatan tahun 2011. Hasil PSQI global
score dan IMT kemudian dianalisis menggunakan metode uji chi-square yang dapat
menunjukan ada atau tidaknya hubungan antara dua atau lebih variabel serta
kekuatan hubungan tersebut. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa/i
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Dari total populasi yang
berjumlah 596 mahasiswa/i, sebanyak 292 mahasiswa/i bersedia menjadi
responden, sedangkan sisanya tidak bersedia. Sebanyak 97 mahasiswa/i tidak
diikutsertakan kedalam penelitian karena tidak memenuhi kriteria inklusi dan/atau
termasuk dalam kriteria eksklusi. Pada akhirnya didapatkan 195 mahasiswa/i yang
menjadi responden pada penelitian ini.
Pada hasil penelitian didapatkan sebanyak 55 (39,6%) responden dengan
IMT normal, memiliki kualitas tidur yang baik, sedangkan sebanyak 84 (60,4%)
responden mempunyai kualitas tidur yang buruk. Selain itu didapatkan sebanyak
10 (17,9%) responden dengan IMT overweight memiliki kualitas tidur yang baik
dan sisanya sebanyak 46 (82,1%) responden mempunyai kualitas tidur yang buruk.
Setelah dilakukan analisis statistik dengan menggunakan metode chi-square,
didapatkan nilai p yang diperoleh adalah 0,006 (p<0,05) dengan interval

Universitas Tarumanagara 39
kepercayaan 1,40 s/d 6,46. Dengan demikian hasil penelitian ini bermakna secara
statistik. Nilai prevalence (PR) yang didapat adalah 2,3. Hal ini mengindikasikan
bahwa responden yang memiliki kualitas tidur yang buruk mempunyai resiko 2,3
kali untuk menderita overweight. Selain itu didapatkan selisih antar kedua proporsi
sama dengan perbedaan proporsi yang dianggap bermakna yang telah ditetapkan
diawal penelitian (20%). Hal ini menunjukan bahwa hasil penelitian ini penting
secara klinis (clinically important). Dari data yang dihimpun, dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas tidur dengan IMT, secara
statistik maupun klinis.
Dengan demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sagala NJ et al (2017) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara kualitas tidur yang buruk dan obesitas pada orang dewasa.
(nilai p=0.0001).49 Selain it Burt J et al (2014) menemukan fakta bahwa kualitas
tidur yang buruk berhubungan dengan peningkatan nafsu makan yang
mengakibatkan meningkatnya faktor resiko obesitas (p<0,05).56 Hasil penelitian
yang serupa juga dikemukakan oleh Brondel L et al (2010). Ia mengemukakan
bahwa satu hari kekurangan tidur dapat meningkatkan asupan makanan (p<0,01)
dan meningkatkan rasa lapar sebelum sarapan (p<0,001) dan sebelum makan
malam (p<0,05). Apabila berlangsung dalam jangka panjang, hal ini dapat
mendorong terjadinya obesitas.57
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tasya, N S et al (2017) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara perubahan kualitas tidur dengan perubahan IMT. (p=0,472).58
Selain itu Sinaga YY et al (2015) juga mengemukakan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara kualitas tidur dengan obesitas (p=0,855). 59 Utami NP (2013)
juga mengemukakan bahwa tidak hubungan yang bermakna antara durasi dan
kualitas tidur terhadap asupan energi. (p>0,05).60 Penelitian yang tidak sejalan
dapat terjadi karena keterbatasan dalam metode penelitian, alat pengumpul data
yang digunakan dan adanya faktor perancu misalnya seperti usia, jenis kelamin,
diet, kondisi kesehatan, tingkat stres, aktifitas fisik dan lainnya.
Kualitas tidur yang buruk meningkatkan faktor resiko terjadinya
overweight. Hal ini disebabkan karena buruknya kualitas tidur menyebabkan

Universitas Tarumanagara 40
ketidakseimbangan dua komponen utama yang berperan dalam regulasi energi
yaitu pemasukan energi dan pengeluaran energi.37 Pertama, berkaitan dengan
pemasukan energi, Markwald RR et al (2013) menyatakan bahwa saat kekurangan
tidur, terjadi perubahan fisiologis yang menyebabkan meningkatnya nafsu makan.39
Perubahan tersebut disebabkan adanya peningkatan hormon orexin/hypocretin dan
ghrelin serta penurunan hormon leptin.39,43 Selain itu, perubahan faktor psikologis
juga terjadi. Arlet V Nedeltcheva (2009) mengemukakan bahwa peningkatan asupan
energi dapat disebakan oleh rangsangan psikologis yang disebut reward seeking
yang membuat seseorang ingin mengonsumsi makanan yang tinggi kalori.46
Pada komponen pengeluaran energi, Schmid et al (2009) menemukan fakta
bahwa kekurangan tidur mengurangi aktivitas fisik. Penyebabnya dikemukakan
oleh St-Onge et al (2011) yang menyatakan bahwa saat kekurangan tidur, puncak
aktivitas fisik menurun dan presentase aktivitas fisik dengan intensitas tinggi juga
berkurang. Diketahui juga bahwa penurunan aktivitas fisik tersebut dikarenakan
rasa kelelahan dan rasa kantuk di siang hari.47 Selain itu, aktivitas fisik memiliki
efek positif terhadap kualitas tidur, sehingga jika seseorang kurang melakukan
aktivitas fisik maka dapat menurunkan kualitas tidurnya.48
Selain kualitas tidur, ada banyak faktor lain yang dapat menyebabkan
overweight yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Diantaranya yaitu faktor genetik,
jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, diet, lingkungan, sosial dan gaya hidup.61,62
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan, beberapa faktor bisa jadi mendukung atau
mengganggu hasil penelitian ini. Salah satu faktor yang mendukung adalah faktor
lingkungan dan sosial. Penelitian dilakukan pada populasi mahasiswa/i kedokteran
yang memiliki jadwal akademik yang padat dan dituntut untuk belajar mandiri,
sehingga kualitas tidur yang buruk umum dialami. Hal ini memudahkan penulis
dalam hal memperoleh data yang diinginkan. Sebaliknya faktor aktivitas fisik dan
diet dapat mengganggu hasil penelitian. Hal ini dikarenakan kedua faktor tersebut
berperan penting dalam memengaruhi IMT. Terlebih lagi aktivitas fisik dan diet
sangat bervariasi antara individu.

Universitas Tarumanagara 41
5.2 Keterbatasan Penelitian.
Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur ilmiah,
namun demikian masih memiliki keterbatasan yaitu:
1. Ada kemungkinan jawaban responden pada kuisioner PSQI tidak sesuai
dikarenakan responden tidak dapat mengingat kejadian yang sesungguhnya.
(recall bias)
2. Ada kemungkinan terjadi ketidakakuratan dalam pengukuran berat badan
maupun tinggi badan yang dapat disebabkan kesalahan pada saat proses
pengukuran ataupun kesalahan pada alat yang digunakan. (measurement
bias)

Universitas Tarumanagara 42
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Dari 195 responden yang berpartisipasi dalam penelitian, didapatkan 130
(66,7%) responden memiliki kualitas tidur yang buruk (PSQI ≥5) dan 65
(33,3%) responden memiliki kualitas tidur yang baik (PSQI <5).
2. Didapatkan juga dari 195 responden yang berpartisipasi dalam penelitian,
sebanyak 139 (71,3%) responden memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
normal (IMT≤25) dan sebanyak 56 (28,75) responden memiliki IMT
overweight.
3. Dari penelitian ini dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara
kualitas tidur dengan IMT pada mahasiswa/i Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara. (p <0,05)
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, makan peneliti memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
 Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa/i
untuk memperoleh berat badan yang ideal dengan cara memperbaiki
kualitas tidur, yaitu dengan menerapkan sleep hygiene63 dengan cara:
 Tidak tidur siang lebih dari 30 menit.
 Menghindari zat-zat stimulan seperti kafein, nikotin dan alkohol
sebelum tidur.
 Melakukan olahraga aerobik (misal: berjalan, bersepeda)
minimal 10 menit untuk meningkatkan kualitas tidur.
 Menghindari makanan yang dapat menimbulkan gangguan
pencernaan sebelum tidur (misal: makanan yang berlemak,
goreng-gorengan, makanan pedas, buah-buahan sitrus, minuman
bersoda)
 Memiliki rutinitas sebelum tidur seperti mandi air hangat,
membaca buku dan melakukan peregangan ringan. Selain itu

Universitas Tarumanagara 43
sebisa mungkin menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan
stres.
 Memastikan lingkungan tidur nyaman dan gelap dengan
memerhatikan kenyamanan tempat tidur dan bantal, suhu kamar
tidur, serta menghindari paparan cahaya dari lampu maupun
perangkat teknologi.
 Selain itu juga diharapkan mahasiswa/i dapat mengupayakan diet yang
seimbang serta meningkatkan aktivitas fisik.
2. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (FK UNTAR)
 Diharapkan FK UNTAR dapat memfasilitasi organisasi FK UNTAR
dalam melaksanakan program yang dapat memotivasi mahasiswa agar
sadar akan kesehatan jasmani dan pentingnya kualitas tidur yang baik.
Salah satu cara adalah dengan memasang poster-poster dilingkungan FK
UNTAR yang berisikan kutipan-kutipan mengenai kesehatan, misalnya
poster mengenai bahaya kekurangan tidur, bahaya rokok, dan manfaat
makanan dengan gizi seimbang.
3. Bagi Peneliti
 Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan
hubungan antara kualitas tidur dengan IMT.
 Diharapkan pada penelitian berikutnya dapat menggunakan instrumen
yang lebih baik seperti sleep diary dan actigraph agar informasi
mengenai kualitas tidur dapat diperoleh dengan lebih jelas, rinci, dan
akurat.
4. Bagi Masyarakat
 Diharapkan kesadaran akan pentingnya kualitas tidur dan berat badan
yang ideal dapat meningkat.
 Diharapkan masyarakat dapat memperbaiki kualitas tidur dengan
menerapkan sleep hygiene.63
 Diharapkan masyarakat dapat mengupayakan berat badan yang ideal
dengan cara menerapkan diet seimbang dengan mengonsumsi makanan
sehat dan menghindari makanan tinggi kalori dan meningkatkan
aktifitas fisik dengan berolahraga secara teratur.

Universitas Tarumanagara 44
5. Bagi Ilmu Pengetahuan
 Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
dikembangkannya pencegahan maupun tatalaksana overweight.
 Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar untuk dikembangkannya
penelitian lain berkaitan dengan IMT dan faktor lain yang
memengaruhinya.
 Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi tatalaksana overweight
dalam tingkat preventif dan kuratif. Dengan mempertimbangkan
kualitas tidur sebagai salah satu faktor yang penting yang dapat
memengaruhi IMT.

Universitas Tarumanagara 45
DAFTAR PUSTAKA
1. Ferranti R, Marventano S, Castellano S, Giogianni G, Nolfo F, Rametta S,
et al. Sleep quality and duration is related with diet and obesity in young
adolescent living in Sicily, Southern Italy. Sleep Science. 2016;9(2):117–
22.
2. National Center for Health Statistics [Internet]. Centers for Disease Control
and Prevention. Centers for Disease Control and Prevention; 2016 [cited
2017Jul28]. Available from:
https://www.cdc.gov/nchs/data/hestat/obesity_adult_13_14/obesity_adult_
13_14.htm
3. Obesity and overweight [Internet]. World Health Organization. World
Health Organization; [cited 2017Jul27]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en
Obesity [Internet]. WHO. World Health Organization; [cited 2017Aug18].
Available from: http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/obesity_text/en
4. Obesity [Internet]. WHO. World Health Organization; [cited 2017Aug18].
Available from: http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/obesity_text/en
5. BERANDA [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [Cited
2017Aug18]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/15012300021/25-januari-hari-gizi-
nasional.html
6. Knutson KL, Spiegel K, Penev P, Cauter EV. The metabolic consequences
of sleep deprivation. Sleep Medicine Reviews. 2007; 11(3):163–78.
7. Overweight & Obesity [Internet]. Centers for Disease Control and
Prevention. Centers for Disease Control and Prevention; 2017 [cited
2017Sep30]. Available from:
https://www.cdc.gov/obesity/adult/causes.html
8. Beccuti G, Pannain S. Sleep and obesity. Current Opinion in Clinical
Nutrition and Metabolic Care. 2011; 14(4):402–12.
9. Risk Factors [Internet]. National Heart Lung and Blood Institute. U.S.
Department of Health and Human Services; 2017 [cited 2017Aug24].
Available from: https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/obe/risks#
10. What is Good Quality Sleep? [Internet]. National Sleep Foundation. [Cited
2017Sep3]. Available from: https://sleepfoundation.org/press-release/what-
good-quality-sleep
11. Evelina Preišegolavičiūtė, Darius Leskauskas, Virginija Adomaitienė.
Associations of quality of sleep with lifestyle factors and profile of studies
among Lithuanian students. Medicina (Kaunas). 2010; 46 (7):482–9.
12. Sherwood L. Introduction to human physiology. 8th ed.United States:
Brooks/Cole Cengage Learning; 2013:668-675.
13. Garret B, Hough G, Agnew J. Brain and behavior. 4th ed. Canada: SAGE;
2015.481-499
14. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, LaMantia AS, White LE.
Neuroscience. 5th ed. Mooney DR, Plait ML, editors. Sunderland (USA):
Sinauer Associates; 2012:625-645
15. Brown RE, Radhika Basheer, McKenna JT, Strecker RE. Control of sleep
and wakefulness. Physiological reviews: 2012; 92(3): 1087–187.

Universitas Tarumanagara 46
16. Ropper AH, Samuel MA. Adams and Victor’s: Principles of neurology. 9th
ed. United States: McGraw Hill Companies; 2009:395-405
17. Insomnia - APS Foundation of America, Inc [Internet]. [cited 2017Dec17].
Available from: www.apsfa.org/docs/insomnia.pdf
18. New Guideline - American Academy of Sleep Medicine [Internet]. [cited
2017Dec20]. Available from:
https://aasm.org/resources/clinicalguidelines/040515.pdf
19. About the ESS [Internet]. Epworth Sleepiness Scale. [cited 2017Dec17].
Available from: http://epworthsleepinessscale.com/about-the-ess/
20. Morin CM, Belleville G, Bélanger L, Ivers H. The insomnia severity index:
psychometric indicators to detect insomnia cases and evaluate treatment
response. Sleep. 2011;34(5):601–8.
21. Buysse,D.J., Reynolds,C.F., Monk,T.H., Berman,S.R., & Kupfer,D.J. The
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI): A new instrument for psychiatric
research and practice. Psychiatry Research.1989;28(2):193-213
22. Backhaus J, Junghanns K, Broocks A, Riemann D, Hohagen F. Test–retest
reliability and validity of the Pittsburgh Sleep Quality Index in primary
insomnia. Journal of Psychosomatic Research. 2002;53(3):737–40.
23. Hall KD, Heymsfield SB, Kemnitz JW, Samuel Klein, Schoeller DA,
Speakman JR. Energy balance and its components: implications for body
weight regulation. 2012Apr;95(4):989–94.
24. Ahima RS, Antwi DA. Brain regulation of appetite and satiety.
Endocrinology and Metabolism Clinics of North America. 2008;37(4):811–
23.
25. Patz MD, Day HE, Burow A, Campeau S. Modulation of the hypothalamo–
pituitary–adrenocortical axis by caffeine. Psychoneuroendocrinology.
2006;31(4):493–500.
26. Adam TC, Epel ES. Stress, eating and the reward system. Physiology &
Behavior. 2007;91(4):449–58.
27. Braunwald E, Hauser SL, Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrison’s principles of internal medicine. 15th ed. Vol. 1. New
York: McGraw-Hill; 2001.
28. Gardner DG, Shoback DM, Greenspan FS. Greenspans basic & clinical
endocrinology. 8th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2007.
29. Obesity Causes [Internet]. NHS Choices. NHS; 2016 [cited 2017Dec4].
Available from: https://www.nhs.uk/conditions/obesity/causes/
30. Physical inactivity a leading cause of disease and disability, warns WHO
[Internet]. WHO. World Health Organization; [cited 2017Dec4]. Available
from: http://www.who.int/mediacentre/news/releases/release23/en/
31. Fatimah SN, Akbar LB, Ambrosius Purba, Tarawan VM, Nugraha GI.
Hubungan pengukuran lemak subkutan dengan indeks massa tubuh pada
laki-laki usia lanjut. Jurnal penelitian gizi dan makanan. 2017;40(1):29–34.
32. Foundation TH. Waist measurement [Internet]. The Heart Foundation.
[cited 2017Dec17]. Available from:
https://www.heartfoundation.org.au/your-heart/know-your-risks/healthy-
weight/waist-measurement

Universitas Tarumanagara 47
33. Waist circumference and waist–hip ratio [Internet]. WHO. World Health
Organization; [cited 2017Dec19]. Available from:
http://www.who.int/nutrition/publications/obesity/WHO_report_waistcircu
mference_and_waisthip_ratio/en/
34. Body Mass Index (BMI) [Internet]. Centers for Disease Control and
Prevention. Centers for Disease Control and Prevention; 2015 [cited
2017Dec3]. Available from:
https://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/index.html
35. Pedoman praktis - gizi.depkes.go.id [Internet]. [cited 2017Dec17].
Available from: gizi.depkes.go.id/wp-content/.../ped-praktis-stat-gizi-
dewasa.doc
36. Overweight & Obesity [Internet]. Centers for Disease Control and
Prevention. Centers for Disease Control and Prevention; 2017 [cited
2017Dec19]. Available from:
https://www.cdc.gov/obesity/.../bmiforpactitioners.pdf
37. St-Onge M-P, Roberts A, L, Jinya Chen, Kelleman M, O’Keeffe M,
RoyChoudhury A, et al. Short sleep duration increases energy intakes but
does not change energy expenditure in normal-weight individuals.
2011Jun;94(2):410–6
38. Energy Balance and Obesity, Healthy Weight Basics [Internet]. National
Heart Lung and Blood Institute. U.S. Department of Health and Human
Services; [cited 2017Dec19]. Available from:
https://www.nhlbi.nih.gov/health/educational/wecan/healthy-weight-
basics/balance.htm
39. Markwald RR, Melanson EL, Smith MR, Higgins J, Perreault L, Eckel RH,
et al. Impact of insufficient sleep on total daily energy expenditure, food
intake, and weight gain. Proceedings of the National Academy of Sciences.
2013Nov;110(14):5695–700.
40. Schmid SM, Hallschmid M, Jauch-Chara K, Born J, Schultes B. A single
night of sleep deprivation increases ghrelin levels and feelings of hunger in
normal-weight healthy men. Journal of Sleep Research. 2008;17(3):331–4.
41. Kilkus JM, Booth JN, Bromley LE, Darukhanavala AP, Imperial JG, Penev
PD. Sleep and eating behavior in adults at risk for type 2 diabetes. Obesity.
2011;20(1):112–7.
42. Gonnissen HK, Rutters F, Hursel R, Martens EA, Westerterp-Plantenga
MS. Effects of sleep fragmentation in healthy men on energy expenditure,
substrate oxidation, physical activity, and exhaustion measured over 48 h in
a respiratory chamber. American Journal of Clinical Nutrition.
2011;94(3):804–8.
43. Bosy-Westphal A, Hinrichs S, Jauch-Chara K, Hitze B, Later W, Wilms B,
et al. Influence of partial sleep deprivation on energy balance and insulin
sensitivity in healthy women. Obesity Facts. 2008;1(5):266–73.
44. Kant AK, Graubard BI. Association of self-reported sleep duration with
eating behaviors of American adults: NHANES 2005-2010. American
Journal of Clinical Nutrition. 2014;100(3):938–47
45. Stamatakis KA, Brownson RC. Sleep duration and obesity-related risk
factors in the rural Midwest. Preventive Medicine. 2008;46(5):439–44

Universitas Tarumanagara 48
46. Nedeltcheva AV, Kilkus JM, Imperial J, Kasza K, Schoeller DA, Penev PD.
Sleep curtailment is accompanied by increased intake of calories from
snacks. American Journal of Clinical Nutrition. 2008;89(1):126–33.
47. Schmid SM, Hallschmid M, Jauch-Chara K, Wilms B, Benedict C, Lehnert
H, et al. Short-term sleep loss decreases physical activity under free-living
conditions but does not increase food intake under time-deprived laboratory
conditions in healthy men. American Journal of Clinical Nutrition.
2009;90(6):1476–82.
48. Taheri S. The link between short sleep duration and obesity: we should
recommend more sleep to prevent obesity. Archives of Disease in
Childhood. 2006Jan;91(11):881–4.
49. Sagala NJ, Sofyani S, Supriatmo S. Association between sleep quality and
obesity in adolescents. Paediatrica Indonesiana. 2017; 57(1):41-46.
50. Chaput J-P, Després J-P, Bouchard C, Tremblay A. The association between
short sleep duration and weight gain is dependent on disinhibited eating
behaviour in adults. Sleep Medicine. 2011;12.
51. M Bambang, Mz S Moeslichan, Sostroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH.
Perkiraan besar sampel dalam dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Sastroasmoro S, Ismael S, editors. 5th ed. Sagung Seto; 2014. Hal. 366-367.
52. Publishing HH. Medications that can affect sleep [Internet]. Harvard Health.
[cited 2017Nov9]. Available from:
https://www.health.harvard.edu/newsletter_article/medications-that-can-
affect-sleep
53. Yanovski SZ, Yanovski JA. Long-term Drug Treatment for Obesity. Jama.
2014Jan; 311(1):74.
54. Harvey AG, Stinson K, Whitaker KL, Moskovitz D, Virk H. The Subjective
Meaning of Sleep Quality: A Comparison of Individuals with and without
Insomnia. Sleep. 2008;31(3):383–93.
55. BIPM - measurement units. [Cited 2017Dec14]. Available from:
https://www.bipm.org/en/measurement-units
56. Burt J, Dube L, Thibault L, Gruber R. Sleep and eating in childhood: a
potential behavioral mechanism underlying the relationship between poor
sleep and obesity. Sleep Medicine. 2014;15(1):71–5.
57. Brondel L, Romer MA, Nougues PM, Touyarou P, Davenne D. Acute
partial sleep deprivation increases food intake in healthy men. The
American Journal of Clinical Nutrition. 2010;91(6):1550–9.
58. Tasya, N.S., Tirtayasa, K. Hubungan antara kualitas tidur dan perubahan
berat badan pada mahasiswa perempuan program studi kedokteran umum
tahun pertama di universitas udayana 2014. Intisari Sains Medis.
2017;8(2):114–7.
59. Sinaga YY, Eka Bebasari, Yanti Ernalia. Hubungan kualitas tidur dengan
obesitas mahasiswa fakultas kedokteran universitas riau angkatan 2014.
Jom FK. 2015
60. Utami NP. Hubungan pola tidur terhadap asupan energi dan obesitas pada
remaja smp di kota yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
2013.

Universitas Tarumanagara 49
61. Institute of Medicine (US) Subcommittee on Military Weight Management.
Weight management: state of the science and opportunities for military
programs. Washington (DC): National Academies Press (US); 2004.
62. Ortega-Alonso A, Pietiläinen KH, Silventoinen K, Saarni SE, Kaprio J.
Genetic and environmental factors influencing bmi development from
adolescence to young adulthood. Behavior Genetics. 2011;42(1):73–85.
63. Sleep Hygiene [Internet]. National Sleep Foundation. [cited 2018May1].
Available from: https://sleepfoundation.org/sleep-topics/sleep-hygiene

Universitas Tarumanagara 50
LAMPIRAN 1

Universitas Tarumanagara 51
LAMPIRAN 2

Persetujuan Menjadi Responden

Perkenalkan nama saya Wenny Damayanti dengan NIM 405140049. Saya sedang
melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Kualitas Tidur dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) pada Mahasiswa/i FK UNTAR”. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk untuk menurunkan jumlah penderita overweight pada mahasiswa/i
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Dengan dilakukannya penelitian
ini, mahasiswa/i FK UNTAR dapat memperoleh pengetahuan mengenai hubungan
kualitas tidur dengan berat IMT. Diharapkan dari pengetahuan tersebut,
mahasiswa/i dapat memperbaiki kualitas tidur, dan menurunkan resiko terjadinya
overweight, sehingga dengan berat tubuh yang ideal, mahasiswa/i FK UNTAR akan
lebih sehat secara jasmani dan dapat mengikuti kegiatan akademis dengan baik.
Saya meminta kesediaan teman-teman untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini untuk mengisi lembar identitas diri, mengisi kuisioner PSQI (Pittsburgh Sleep
Quality Index) dan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan yang akan
dibantu peneliti. Adapun segala informasi yang diberikan akan dirahasiakan dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelitian semata.
Mohon untuk mengisi persetujuan berikut apabila teman-teman bersedia
untuk mengikuti seluruh proses pengambilan data dari penelitian ini. Untuk waktu
dan kesediaannya saya ucapkan terima kasih.

Universitas Tarumanagara 52
Persetujuan Menjadi Responden

Nama :

Umur :

Alamat :

Saya menyatakan bersedia untuk turut berpartisipasi sebagai responden sehubungan


dengan penyusunan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara, dengan judul penelitian “Hubungan
Kualitas Tidur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Mahasiswa/i Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara”, yang diteliti oleh :

Nama : Wenny Damayanti

Nim : 405140049

Jakarta,
Responden

( )
Tanda tangan dan nama jelas

Universitas Tarumanagara 53
Identitas Partisipan

Nama :
Umur :
Angkatan :
No. HP :
Email :
Alamat :

Lingkari jawaban yang sesuai.


Jika jawaban YA, mohon berikan keterangan bila perlu!

1. Apakah anda dapat mengerti Bahasa Inggris dengan baik? Ya / Tidak

2. Apakah anda seorang perokok? Ya / Tidak

3. Apakah anda menderita penyakit metabolik


(misalnya: Diabetes Mellitus, hipertensi)? Ya / Tidak
Ket:…………………………………………………….................

4. Apakah anda sedang mengonsumsi zat atau obat-obatan Ya / Tidak


yang memengaruhi kualitas tidur? (misalnya: alkohol, kafein,
beta-bloker, klonidin, kortikosteroid, diuretik, antihistamin,
SSRIs, stimulan, teofilin, hormon tiroid)
Ket………………………………………………………………...

5. Apakah anda sedangan mengonsumsi obat yang Ya / Tidak


dapat menurunkan berat badan/ obat diet? (misalnya: orlistat, Belviq, Contrave,
Saxenda,
Phentermine, Qsymia)
Ket:…………………………………………………………………

Universitas Tarumanagara 54
LAMPIRAN 3

The Pittsburgh Sleep Quality Index

Name Date

Instructions:

The following questions relate to your usual sleep habits during the past month
only. Your answers should indicate the most accurate reply for the majority of
days and nights in the past month. Please answer all the questions.

1. During the past month, when have you usually gone to bed at night?

usual bed time

2. During the past month, how long (in minutes) has it usually taken you to fall
asleep each night?
number of minutes

3. During the past month, when have you usually got up in the morning?

usual getting up time

4. During the past month, how many hours of actual sleep did you get at night?
(This may be different than the number of hours you spend in bed).

hours of sleep per night

For each of the remaining questions, check (√) the one best response. Please
answer all questions.

5. During the past month, how often have you had trouble sleeping because
you……

(a) Cannot get to sleep within 30 minutes

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

Universitas Tarumanagara 55
(b) Wake up in the middle of the night or early morning

Not during the Less than Once or Three or more

past month once a week twice a week times a week

(c) Have to get up to use the bathroom

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(d) Cannot breathe comfortably

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(e) Cough or snore loudly

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(f) Feel too cold

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(g) Feel too hot

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

Universitas Tarumanagara 56
(h) Had bad dreams

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(i) Have pain


Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

(j) Other reason(s), please describe

How often during the past month have you had trouble sleeping because of
this?

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

6. During the past month, how would you rate your sleep quality overall?

Very good

Fairly good

Fairly bad

Very bad

7. During the past month, how often have you taken medicine (prescribed or “
over
the counter”) to help you sleep?

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

Universitas Tarumanagara 57
8. During the past month, how often have you had trouble staying awake while
driving, eating meals, or engaging in social activity?

Not during the Less than Once or three or more

past month once a week twice a week times a week

9. During the past month, how much of a problem has it been for you to keep up
enough enthusiasm to get things done?

No problem at all

Only a very slight problem

Somewhat of a problem

A very big problem

10. Do you have a bed partner or roommate?

No bed partner or roommate

Partner/roommate in other room

Partner in same room, but not same bed

Partner in same bed

11. How often do you feel tired during the following times during the day?

Morning:

0 1 2 3

most days often occasionally never

Afternoon:

0 1 2 3

Universitas Tarumanagara 58
most days often occasionally never

Evening:

0 1 2 3

most days often occasionally never

Indeks Massa Tubuh


Berat Badan= _______ kg Tinggi Badan= ________cm IMT= _________

Universitas Tarumanagara 59
LAMPIRAN 4

Universitas Tarumanagara 60
Universitas Tarumanagara 61
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wenny Damayanti

NIM : 405140049

Program Studi : Sarjana Kedokteran

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Mei 1996

Agama : Kristen

Alamat : Kalideres Permai Blok G5 No. 2B Jakarta Barat 11840

Email : wd.wenny@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Yunike Andreas
2. SD Galatia III
3. SD Dian Harapan Daan Mogot
4. SMP Dian Harapan Daan Mogot
5. SMA Dian Harapan Daan Mogot

Universitas Tarumanagara 62

Anda mungkin juga menyukai