Anda di halaman 1dari 21

RINGKASAN

Sumber :
- Dedi Supriadi (2002). Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia. Jakarta:
Dikemenjur.
- Putu Sudiro (2017). TVET Abad 21. Yogyakarta: UNY Press
-Wardiman Djojonegoro. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui
SMK. Jakarta : PT. Jayakarta Agung Offset.
BUKU I
A. Selayang pandang pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode
utama, yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada
zaman kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode
atau babak yang lebih membahas spesifikasi dari pendidikan di Indonesia. Di antara
pendidikan pada zaman sebelum masa kemerdekaan yaitu;
1. Pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan,
2. Pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah,
3. Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan (Depdikbud, 1996)
Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi menjadi tiga babak yaitu;
1. Tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia
sampai sebelum pelaksanaan Pelita I
2. Pejak pelaksanaan Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun
1997/1998
3. Periode reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya
otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan
mengalami desentralisasi yang radikal (Jalal & Supriyadi, 2001)

B. Satu setengah abad pendidikan kejuruan di indonesia


Pendidikan di zaman kuno sampai berakhirnya pendidikan zaman Hindia
Belanda dapat dikatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan suatu
perkembangan yang relatif baru. Sebelumnya, pada zaman Mesir kuno, pelajaran
kejuruan berasal dari luar sistem pendidikan dan berada di bawah asuhan apa yang
disebut sistem guilde (guild system). Orang-orang yang mempunyai keterampilan
membentuk suatu organisasi, sistem ini bertujuan melindungi anggotanya seperti
yang sekarang dilakukan oleh organisasi buruh (labour organization). Sampai Abad
Pertengahan kejuruan dan keterampilan menjadi bagian dari pendidikan.
Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10 abad
sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang berbasis
keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam. Namun
baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis
di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul pendirian
sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia
Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa
Barat. Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah
intelektualismenya, yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan
kerja yang kemudian berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak
lebih maju daripada Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris.
Waktu Indonesia mampu mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun
harus membangun sistem pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya
dari sistem pendidikan Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi
landasannya.
Sampai pada tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda,
isinya mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap
pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari sinilah memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan
oleh ratu Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan
kesepakatan untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah
pertam yang didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat
Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian
Pendidikan Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6
juli 1900 nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan
Kejuruan (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900
nomor 49/2280).
Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar
cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara
yang kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan
adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan
bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia
waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras
dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan
Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka
kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan
dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas
Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun),
pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di
Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah
Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali
sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping
Sekolah Tingkat Menengah.
Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan
banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya
dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat
besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun
1998, siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar
37 % dari seluruh populasi SLTA di Indonesia.

C. Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada


PELITA I dan II
Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia
menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral
REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I
dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah
melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan.
Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM
Pembangunan, dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia
sendiri. Tahun kedua Pelita I (1970-1971), pembangunan pendidikan teknik
ditingkatkan lagi dengan membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai
Latihan Pendidikan Teknik) dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan
tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-
1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan
pusat penyelenggaraan di STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9
Bandung, dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada
proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT.
Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan
teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan
World Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah
Belanda maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru
teknik. Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973,
dan Mr. Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang
waktu itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre).
D. Pendidikan Kuantitatif Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi
pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah terutama dalam proses
pendidikan.
Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan
televisi untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut
kebijakan karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan
pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya yang maju
menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula; sebaliknya
masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada
masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang
pendidikan.
Berdasarkan pengkajian Komisi PBB Untuk Pembangunan Pengetahuan dan
Teknologi (United Nations Commission on Science and Technology for
Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara teknologi informasi
dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di semua sektor. Oleh
karena itu disarankan agar semua negara angota PBB memanfaatkan potensi TIK
secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat berpengetahuan. Perubahan
Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan berbagai usaha
pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan mulai tahun
1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan mulai
Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek seperti
berikut:
1. Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan daya
tampung siswa.
2. Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas lulusan melalui
peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga pengajar dan
peningkatan tenaga pengajar.
3. Relevansi ditingkatkan dengan mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum
dengan kebutuhan industri/dunia kerja.
4. Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk
menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan
tenaga kerja atau persyaratan mandiri.
5. Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan pengelolaan
pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu.

E. Perkembangan Kualitatif Pendidikan Kejuruan hingga Pelita IV


Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif
tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan,
faktor-faktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial
Budaya, faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor
tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
jenis dan jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses
pelaksanaan pendidikan kejuruan.
Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu lembaga
pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama pendidikan,
struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode pengajaran dan
evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan dalam pendidikan
kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan Kurikulum 1984.
Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam
Pembaruan Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan
antara lain;
1. Kurikulum dan Program Pendidikan
2. Penyesuaian Masa Pendidikan
3. Pembaruan melalui Kurikulum 1984
4. Fasilitas Pendidikan
5. Tenaga Kependidikan
6. Manajemen dan Administrasi
7. Kesiswaan
8. Pendirian dan Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan
9. Efisiensi Biaya Pendidikan
Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah
Kejuruan menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan
mutu Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan,
masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar,
serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Maka, akan dibutuhkan suatu
strategi pecahan masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah
ditetapkan, dengan menyesuaikan program-program pendidikan menengah
kejuruan dengan berbagai kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas
kesempatan belajar bagi setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan
tenaga pengajar yang memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas
pendidikan, sedang dalam asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan
pendidikan dengan mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah
kejuruan yang diharapkan terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, jika diperlukan dilaksanakan studi banding ke luar negeri,

F. Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V


Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan
program telah tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan
yang akan diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan,
pariwisata, perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya
waktu, terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan
kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa
faktor yang mempengaruhi, seperti ;
1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia dengan sejarah pertumbuhannya,
2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan warisan dari
zaman sebelum Perang Dunia II, dan
3. Peta geografi indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak
jumlahnya dengan ragam tingkat perkembangannya.
Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan
menjadi beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh
pemerintah antara lain seperti di bawah ini ;
1. Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan.
2. Pembiayaan.
3. Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri.
4. Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5. Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri.
6. Usulan proyek-proyek baru.
7. Hal-hal yang memerlukan perhatian.

G. Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita VI


Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan
Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh
Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut
belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada
pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka
harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal,
luwes, adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan
menengah kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan
operasional, seperti;
1. Masalah Konsepsi
2. Masalah Program
3. Masalah Operasional
4. Perlunya Pembaruan.
Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk
pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and
Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan,
wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan
nilai tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan,
khususnya pendidikan kejuruan.

H. Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi


Berdasarkan Kurikulum 1984, bidang-bidang keahlian dalam lingkungan
pendidikan menengah kejuruan meliputi enam kelompok, yaitu;
1. Kelompok Teknologi dan Industri
2. Kelompok Pertanian dan Kehutanan
3. Kelompok Bisnis dan Manajemen
4. Kelompok Pariwisata
5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat
6. Kelompok Seni dan Kerajinan.
Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang keahlian
Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan
diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun
1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan
Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini
dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM
Pembangunan 4 tahun.
I. Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem Ganda di
SMK
PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara
operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan.
Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk
meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan
bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan
praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG.
Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya
bertumpu pada upaya merangkul industri.
Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor
pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan
Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik
di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga
diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri,
Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik
Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di
Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan
sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan
Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan
Perundang-undangan.

J. Industri Berbasis Pengetahuan dan Pembangunan Teknologi Manufaktur


Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau
langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat
lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan
memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan
faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan
keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya
industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain
(misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja)
akan layu dan mati.
Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan
global manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-
cepatnya dan sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan
paradigma tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal
dengan New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu
industri manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya.
Langkah-langkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur
menjadi bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan
kemitraan. Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin
dalam Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui:
1. Integrated Product and Process Development (IPPD)
2. Flexible and Modular Equiments and Processes
3. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE
4. Didukung oleh suatu Enterprise-Wide Computing Environment
5. Didukung oleh jaringan komunikasi global.

K. Pokok-Pokok Pikiran: Pengembangan Pendidikan Kejuruan Menjelang


2020
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang
menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya, Indonesia
memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar potensi tersebut dapat
menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan
relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan
kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih
ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan
perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi
pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang
bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa
depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian
dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usaha-
usaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional
maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra
kerjasama.

L. Perlunya Reposisi Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020


Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali
konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka
peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan
(trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun
internasional.
Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1. Menata ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel
dengan menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis
kompetensi.
2. Menata ulang program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK
dengan menerapkan Competency Based Training (CBT).
Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1. Para pengambil keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi,
permasalahan, dan tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta
kaitannya dengan ketenaga-kerjaan.
2. Bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah,
reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.
BUKU II
Technical and Vocational Education and Training
A. Pendahuluan
Beragamnya penggunaan nomenklatur Pendidikan Vokasional di berbagai
negara menjadi agenda pembahasan forum The Second International Congress on
Technical and Vocational Education yang mengusung tema “Technical and
Vocational Education and Training: A Vision for the Twenty-first Century”. Para
delegasi kongres dari anggota UNESCO dan ILO serta mitra kerja pada kongres
kedua tersebut sepakat menggunakan terminologi “Technical and Vocational
Education and Training (TVET)”. Sejak itu nomenklaur TVET digunakan secara
luas dalam pembahasan pendidikan dan pelatihan vokasional. Menurut UNESCO-
UNEVOC dan ILO, TVET meliputi pendidikan dan pelatihan formal, nonformal,
dan informal untuk dunia kerja.
Pembelajaran pada TVET Abad XXI dirancang untuk mengembangkan seluruh
potensi peserta didik agar memiliki wawasan kerja, keterampilan teknis bekerja,
employability skills, dan melakukan transformasi diri terhadap perubahan tuntutan
dunia kerja. bisa diselenggarakan di kelas, bengkel, laboratorium, studio, teaching
factory, business centre, edotel, technopark, rumah sakit, klinik, lading pertanian,
pusat peternakan, perikanan, industri tempat kerja, dunia usaha, lapangan olahraga,
masyarakat dan sebagainya. Pemilihan strategi pembelajaran mendidik dalam TVET
tidak bisa lepas dari perkembangan konteks pendidikan dunia kerja baik dalam
skala lokal, nasional, regional maupun internasional.

B. Okupasi, Vokasi, Vokasional, Vokasionalisasi


Vokasi itu adalah produk pengalaman sebagai keahlian khusus seseorang yang
menarik dan berkaitan dengan pekerjaan yang menyebabkan orang lain
bergantung atau membutuhkannya sehingga dipanggil atau diundang untuk
mengerjakan sesuatu pekerjaan atau job. Vokasi berhubungan dengan kapasitas
yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu aktivitas pekerjaan atau jabatan.
Umumnya dikaitkan dengan panggilan pekerjaan (okupasi) atau jabatan dengan
bayaran atau gaji atau upah.
Tidak semua panggilan atau perintah atau undangan adalah vokasi. Vokasi
secara bahasa adalah perintah atau panggilan atau undangan untuk melakukan atau
menjalankan pekerjaan atau jabatan tertentu sehingga vokasi dapat juga diartikan
tugas pekerjaan. Kata vokasi dan okupasi berkaitan erat, vokasi berkaitan dengan
perintah dan okupasi berkaitan dengan substansi dari perintah atau panggilan itu
yakni melakukan pekerjaan.
Pendidikan dan pelatihan yang menyiapkan kevokasian seseorang disebut
pendidikan vokasional. Pendidikan vokasional bertujuan membekali dirinya
dengan berbagai kompetensi dalam rangka memperoleh panggilan atau penugasan
kerja/okupasi. Vokasi adalah panggilan penugasan melakukan pekerjaan/okupasi.
Okupasi adalah pekerjaan dimana pekerjaan itu dapat digolongkan sebagai kerja
dibayar dan kerja layanan kepada masyarakat tanpa bayar.
Vokasional berkaitan dengan skill khusus, pendidikan, pelatihan atau training
skill atau perdagangan untuk pengembangan karir. Pendidikan Vokasional
berkaitan dengan pengembangan keilmuan yang mempelajari sifat-sifat pekerjaan,
aspek pekerjaan, jalur dan jenjang karir kerja melalui pengembangan kompetensi
atau skill kerja yang dibutuhkan di dunia kerja. Pada pedagogi vokasional
berlangsung proses pembentukan jiwa seseorang agar konsern dan mengapresiasi
pekerjaan. Proses pengembangan ke-vokasi-an seseorang membutuhkan
pendidikan dan pelatihan yang disebut dengan Pendidikan Vokasional yang
kemudian terakhir berkembang menjadi TVET.
Vokasionalisasi adalah proses pengenalan berbagai aspek dunia kerja melalui
pendidikan di sekolah, keluarga, masyarakat, kunjungan industri, kunjungan ke
lembaga pemerintah dan lembaga swasta, kunjungan ke lapangan kerja, pemberian
bimbingan bekerja dan pemberian bekal pengajaran dan pelatihan hand-on skill
kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Proses pengenalan dunia kerja
meliputi pengenalan jenis-jenis okupasi, jabatan, profesi, job pada setiap okupasi,
pengembangan kompetensi kerja, kompetensi sosial, soft skills, skill berbisnis,
skill teknis, karir kerja, sistem kesejahteraan dan penggajian, perpajakan, sistem
kerja, budaya kerja, keamanan kerja, regulasi dan hukum ketenagakerjaan, dan
sebagainya.

C. Pendidikan Vokasional, Vokasi, Teknikal dan Kejuruan


Pendidikan Vokasi adalah pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan
ilmu untuk memahami jenis-jenis perintah atau penugasan kerja atau jabatan.
Pendidikan Vokasi mengkaji jenis-jenis perintah penugasan pekerjaan sebagai
noun tidak mendalami sifat-sifat atau karakteristik pekerjaan itu sendiri. Istilah
Pendidikan Vokasi sebagai ilmu tentang jenis-jenis perintah atau penugasan kerja
sangat sempit dan bahkan dapat masuk dan menjadi bagian kecil dari Pendidikan
Vokasional.
Pendidikan Vokasional jelas memiliki makna dan cakupan pengembangan
keilmuan lebih luas daripada Pendidikan Vokasi. Jika yang dikaji dalam berilmu
itu adalah sifat-sifat pekerjaan itu sendiri maka Pendidikan Vokasional yang tepat
digunakan. Jika yang dikaji jenis-jenis perintah atau penugasan pekerjaan sebagai
yang dibendakan maka Pendidikan Vokasi yang tepat digunakan.
Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama dengan Pendidikan
Vokasional. Kata kejuruan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris kata
“vocational”. Untuk kasus di Indonesia istilah Pendidikan Vokasional dan
Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama.
Pendidikan Teknikal (Technical Education) adalah pendidikan yang
mengajarkan penerapan prinsip-prinsip dan teori bekerja kepada peserta didik
dalam menerapkan pengetahuannya pada situasi kerja yang baru dan terus
berubah. Pendidikan Teknikal mencakup pelatihan atau training keterampilan atau
teknik-teknik bekerja. Pendidikan dan pelatihan teknikal mengajarkan
pengetahuan dan skill khusus yang penting bagi pengembangan individu sebagai
pekerja. Melalui Pendidikan Teknikal seseorang mampu menyiapkan dirinya
memiliki kapasitas yang diperlukan dalam dunia kerja. Pendidikan Teknikal
merupakan studi kepemilikan keahlian kerja (occupational experts possess),
kemampuan menggunakan keahliannya dengan skill penuh pada situasi seperti
apapun baik sudah familier atau masih baru.
TVET disesuaikan dengan tingkat umur, kematangan, kedewasaan dan
kesiapan anak untuk mengapresiasi pekerjaan. Di Indonesia batasan minimal usia
kerja 18 tahun sebagai batasan umur setelah melewati pendidikan menengah
(SMK). Apresiasi terhadap pekerjaan penting maknanya bagi peserta didik dan
lulusan satuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional. Kematangan dan
kedewasaan peserta didik dalam Pendidikan Teknikal dan Vokasional sangat
penting dan perlu mendapat kajian yang cukup. Kekurangdewasaan peserta didik
Pendidikan Vokasional mengakibat berbagai resiko mulai dari permasalahan
motivasi belajar sampai dengan permasasalahan keselamatan kerja dalam
menjalani pelatihan-pelatihan kerja. Lulusan Teknikal dan Vokasional yang tidak
memanfaatkan kompetensi yang diperoleh dari berbagai jenis pendidikan dan
pelatihan merupakan bentuk in-efisiensi Pendidikan Vokasional.
Indonesia menggunakan nomenklatur pendidikan kejuruan pada tingkat
menengah dan pendidikan vokasi pada tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan
kejuruan diselenggarakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan Vokasi diselenggarakan di Politeknik dan
Sekolah Vokasi dengan jenjang Diploma 1, Diploma 2, Diploma 3, dan Diploma
4.
Secara yuridis definisi dasar pendidikan kejuruan Indonesia dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun
2003. Pasal 15 UU Sisdiknas menyatakan pendidikan kejuruan merupakan
pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja
dalam bidang tertentu. Kemudian pendidikan vokasi merupakan pendidik- an
tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan
keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan
kejuruan diselenggarakan di SMK dan MAK. Pendidikan vokasi diselenggarakan
di Akademi, Sekolah Tinggi,Politeknik, Institut, dan Universitas.
Definisi pendidikan kejuruan kembali dipertegas dalam Peraturan Pemerintah
(PP) 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang
menyatakan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat
SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari
SMP sederajat.
Untuk mewujudkan pendidikan vokasional yang baik diperlukan proses
vokasionalisasi. Tujuan utama vokasionalisasi adalah untuk meningkatkan
relevansi pendidikan dan bimbingan kejuruan dengan perkembangan kebutuhan
keduniakerjaan dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang kompetitif dan
berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan.
Disamping mengupayakan penyiapan masyarakat untuk menjadi semakin
melek, menjadi tenaga kerja yang produktif, vokasionalisasi menjadi sangat
potensial dalam mengembangkan masyarakat belajar dan terus berkomitmen
mengembangkan efisiensi dalam berbagai bentuk pemikiran.
Keterampilan belajar Abad XXI adalah keterampilan belajar orde tinggi dengan
ciri pokok kritis dalam berpikir, kreativitas, kemampuan berkomunikasi dan
berkolaborasi dengan orang lain dari berbagai etnis, serta cerdas merayakan setiap
keberhasilan hidupnya. TVET dikatakan berhasil melakukan edukasi bangsa jika
mampu membangun budaya hidup pada seluruh masyarakatnya menjadi insaf
akan teknologi, memahami dan melek teknologi, memiliki kapabilitas
menerapkan teknologi, kreatif menemukan teknologi baru, kritis mengambil sikap
bagaimana dan mengapa menggunakan teknologi. Budaya semacam ini
merupakan budaya TVET yang peduli, sadar, melek, insaf, berkemampuan,
kreatif, kritis terhadap teknologi. Mampu menerapkan teknologi pada sektor
produksi agar semakin produktif dan memuaskan pelanggan dalam sektor layanan.
Berdasarkan empat tujuan pembelajaran TVET maka muncul konsep belajar
(learning), belajar kembali (relearning), tidak belajar sesuatu yang usang
(unlearning), berlatih (training), berlatih kembali (retraining), tidak berlatih
sesuatu yang tidak bermanfaat (untraining). Dalam TVET pendidikan dan
pelatihan berjalan seirama.

D. Cakupan Bidang TVET


Kembali pada penetapan UNESCO bahwa “Technical and Vocational
Education and Training (TVET) is concerned with the acquisition of knowledge
and skills for the world of work” maka Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan
untuk dunia kerja memiliki cakupan bidang pendidikan yang sangat luas mulai
dari program studi di perguruan tinggi dengan status yang tinggi sampai
pendidikan menengah dengan status yang rendah hingga pelatihan- pelatihan
singkat kompetensi kerja baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan
di perguruan tinggi dengan status tinggi seperti pendidikan dokter, pendidikan
notaris, pendidikan bisnis, teknik dan sebagainya termasuk dalam cakupan
Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan yang konsern pada pemerolehan
pengetahuan dan skill untuk okupasi. Semua pendidikan yang diselenggarakan di
perguruan tinggi jika mengorientasikan lulusannya untuk bekerja maka termasuk
dalam cakupan bidang Pendidikan Vokasional (TVET).

E. Filosofi dan Asumsi TVET


Filosofi pragmatisme adalah filosofi yang paling sesuai diterapkan dalam
TVET masa depan (Miller & Gregson, 1999; Rojewski, 2009). Filosofi
pragmatisme mendudukkan TVET sebagai pendidikan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan individu dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.
Dalam kehidupan modern TVET tidak lagi dikembangkan sekedar hanya
memenuhi kebutuhan ekonomi.
Karakteristik filosofi pragmatisme menekankan pemecah- an masalah berpikir
orde tinggi. Filosofi pragmatisme meletakkan pendidikan sebagai interaksi
aktif memandirikan peserta didik dalam belajar memecahkan permasalahan
hidupnya.
Asumsi adalah anggapan yang diterima sebagai kebenaran, syarat suatu
filosofi, teori, kebijakan diterapkan. Jika asumsi yang dipilih salah atau tidak
memenuhi syarat maka kebijakan itu tidak akan efektif dilaksanakan. Asumsi
sangat penting dipilih, dipertimbangkan, dan ditetapkan sebelum membuat
kebijakan- kebijakan dan menjalankan menjadi kegiatan teknis dalam sistem
TVET. Asumsi yang valid dan reliabel membuat program TVET mencapai
sasaran yang diinginkan. Delapan asumsi yang dipakai dalam pengembangan
program TVET antara lain:
1. TVET diharapkan memerankan fungsi sosial, budaya, teknologi,
lingkungan, dan ekonomi dalam memberi layanan dan proses produksi
2. pengembangan karir jangka panjang ditekankan lebih dari sekedar fokus
memasuki level pekerjaan
3. skill pengembangan karir merupakan bagian dari skill menempuh
kehidupan secara utuh
4. TVET bersifat dinamis terhadap perubahan sosial di tempat kerja, rumah,
dan masyarakat
5. TVET semakin eksis berbasis pengetahuan dengan semakin intens
melakukan pengembangan skill belajar
6. spesialisasi pekerjaan semakin berkurang karena perubahan pekerjaan
berdinamika tinggi;
7. TVET harus menuju keberhasilan pembangunan ekonomi, teknologi,
lingkungan, sosial budaya jangka panjang bukan sesuatu yang sempit dan
jangka pendek
8. pemerintah mendukung dan memfasilitasi secara penuh pengembangan
TVET.
Delapan asumsi di atas penting sekali diperhatikan dalam pengembangan
kebijakan program-program TVET. Penerapan kebijakan TVET di kelas,
laboratorium, bengkel, studio, workshop, teaching factory, business centre, edotel,
technopark, rumah sakit, klinik, ladang pertanian, pusat peternakan, perikanan, dan
lapangan dalam bentuk kegiatan pembelajaran adalah muara utama.

F. Teori TVET
Teori Prosser menyatakan bahwa TVET membutuhkan lingkungan
pembelajaran menyerupai dunia kerja dan peralatan yang memadai sesuai
kebutuhan pelaksanaan pekerjaan di dunia kerja. Agar efektif TVET harus melatih
dan membentuk kebiasaan kerja sebagai suatu kebutuhan yang harus dimiliki bagi
setiap individu yang mau bekerja.
TVET dalam pandangan Teori John Dewey menegaskan bahwa Pendidikan
Teknikal dan Vokasional menyiapkan peserta didik memiliki kemampuann
memecahkan permasalahan sesuai perubahan-perubahan dalam cara-cara berlogika
dan membangun rasional melalui proses pemikiran yang semakin terbuka dalam
menemukan berbagai kemungkinan solusi dari berbagai pengalaman.
Kurikulum TVET menurut Dewey memuat kemampuan akademik yang luas
dan kompetensi generik, skill teknis, skill interpersonal, dan karakter kerja.
Kurikulum TVET mengintegrasi- kan pendidikan akademik, karir, dan teknik. Ada
artikulasi di antara pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, dekat
dengan dunia kerja.
Selain dua teori induk TVET yaitu teori efisiensi sosial dari Charles Prosser
dan Pendidikan Vokasional demokratis dari John Dewey, Teori Tri Budaya sebagai
pemikiran awal dapat digunakan untuk pengembangan kompetensi kevokasionalan
(Sudira, 2011). Teori Tri Budaya menyatakan TVET akan berhasil jika mampu
mengembangkan budaya berkarya, budaya belajar, dan budaya melayani secara
simultan. TVET dalam melakukan proses pendidikan dan pelatihan harus
membangun budaya berkarya, belajar, dan menerapkan hasil-hasil karya inovatif
sebagai bentuk-bentuk layanan kemanusiaan. Karya sebagai hasil inovasi belajar
harus digunakan untuk kesejahteraan bersama melayani orang lain.

G. Sains, Teknologi, Rekayasa dalam TVET


Perkembangan sains, teknologi, dan rekayasa menuntut pembelajaran TVET
kedepan semakin mengutamakan pendekatan tekno-sains-sosio-kultural
dibandingkan pendekatan psikologis. Pendidikan sebagai proses psikologis tanpa
proses tekno-sainssosio-kultural akan kehilangan makna. Pembelajaran TVET
diarahkan pada pendekatan baru yang holistik dan semakin meningkatkan skill
belajar serta menyediakan akses pendidikan untuk semua yang membutuhkan.
Reformasi sistem TVET mengarah pada peningkatan daya fleksibilitas, inovasi,
produktivitas sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan skill pasar dunia kerja,
pelatihan dan pelatihan kembali pekerja dan calon pencari kerja pada semua sektor
ekonomi baik formal maupun nonformal.
TVET membutuhkan dunia kerja akan tetapi tidak boleh menjadi underbow dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan usaha mereka semata. TVET tidak boleh
mengeksploitasi peserta didik sebagai alat pemenuh kebutuhan industri dan dunia
kerja. TVET memerlukan partnership dengan lembaga swadaya masyarakat yang
berfungsi melakukan pengawasan dan supervise program-program yang
dilaksanakan. Program-program TVET membangun masyarakat yang memiliki
tatanan sosial budaya sebagai jati diri bangsa yang mampu menerima warisan
berbagai artefaks, benda-benda, proses teknikal, ide-ide kreatif, kebiasaan bekerja
keras besama-sama secara kolaboratif, dan mengkomunikasikan dan mentradisikan
nilai-nilai. Misi TVET membangun masyarakat berbudaya kreatif dan produktif
berbasis sains, teknologi dan rekayasa sebagai dampak dari TVET.

H. UNESCO-UNEVOC dan TVET


UNESCO-UNEVOC bersama ILO menyadari bahwa TVET harus mencakup
aspek pendidikan dan pelatihan yang luas tidak terbatas hanya pada pendidikan
formal di sekolah. Pendidikan dan pelatihan pada sector nonformal dan informal di
Indonesia sangat banyak dibutuhkan. TVET mengarahkan agar kaum muda laki
dan perempuan mempelajari pengetahuan dan berlatih skill mulai dari level dasar
sampai lanjut di berbagai lembaga atau tempat kerja. Tujuan pokok dari TVET
adalah membuat setiap orang dapat mempekerjakan dirinya sendiri (self-
employable), memfasilitasi kebutuhan dirinya sendiri, mandiri dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya secara wajar, berkontribusi pada pembangunan ekonomi
bangsa, negara, masyarakat dan lingkungan hidupnya.
TVET sebagai pendidikan untuk dunia kerja sangat penting fungsi dan
posisinya dalam memenuhi tujuan kebijakan ketenagakerjaan. Kebijakan
ketenagakerjaan suatu negara diharapkan mencakup tujuh hal pokok yaitu:
1. Memberi peluang kerja untuk semua angkatan kerja yang membutuhkan
2. Pekerjaan tersedia seimbang dan merata di setiap daerah dan wilayah
3. Memberi penghasilan yang mencukupi sesuai dengan kelayakan hidup
dalam bermasyarakat
4. Pendidikan dan latihan mampu secara penuh mengembangkan semua
potensi dan masa depan setiap individu
5. Matching man and jobs dengan kerugian-kerugian minimum, pendapatan
tinggi dan produktif
6. Kebijakan ketenakerjaan tidak boleh memihak hanya pada sekelompok atau
sebagian dari masyarakatnya
7. Jumlah dan jenis-jenis lapangan pekerjaan tersedia, tersebar merata,
seimbang, dan layak untuk kehidupan seluruh masyarakat
I. TVET: Visi Abad XXI
Visi TVET Abad XXI diarahkan pada pengembangan pendidikan untuk semua,
belajar sepanjang hayat, kesejajaran dan pemerataan kesejahteraan, pengentasan
kemiskinan dan pengangguran. Sistem TVET direformasi dengan paradigma baru
pendidikan yang lebih fleksibel, inovatif, produktif, memberi skills sesuai
kebutuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali tenaga kerja. Belajar
sepanjang hayat dikembangkan sebagai bagian dari aspek budaya yang memberi
keuntungan bagi diri, lingkungan, dan ekonomis. TVET memberi inspirasi bagi
kaum muda sikap positif untuk berinovasi.
Visi TVET Abad XXI diarahkan untuk mewujudkan pemenuhan enam cita-cita
yaitu:
1. Tantangan TVET dalam menghadapi perubahan tuntutan Abad XXI dalam
bidang ekonomi dan sosial yang berimplikasi pada tranformasi
meningkatnya mobilitas tenaga kerja dan permodalan, kesenjangan kaum
kaya dengan kaum miskin, akses pendidikan yang semakin mahal,
terganggunya keseimbangan alam.
2. Pengembangan sistem TVET sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat
membangun mentalitas pengalaman berkehidupan diseluruh dimensi baik
sosial, budaya, ekonomi, spiritualitasInovasi proses pendidikan dan
pelatihan.
3. TVET untuk semua. TVET merupakan instrumen bagi semua warga
masyarakat dalam merespon tantangan kehidupan Abad XXI khususnya
tantangan dalam peningkatan produktivitas.
4. Perubahan peran bagi Pemerintah dan Stakeholder.
5. Peningkatan kerjasama internasional dalam TVET.

J. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan/Vokasional


Menurut Pavlova (2009, 5) Pendidikan Teknologi dan Pendidikan Vokasional
memiliki domain yang berbeda dari lingkungan belajarnya, berbeda konsep
pekerjaan dan tujuan pendidikannya. Perbedaan domain antara Pendidikan
Teknologi dan Pendidikan Vokasional menjadi penting dipahami sebagai dasar
pengembangan substansi pendidikan dan pembelajarannya.
Pendidikan Teknologi adalah pendidikan yang bertujuan mengembangkan
pengetahuan, skill, sikap, dan nilai-nilai peserta didik agar mampu
memaksimalkan daya lentur/fleksibilitas dan daya adaptasinya terhadap
perubahan-perubahan karakteristik pekerjaan yang akan datang termasuk aspek-
aspek kehidupan lainnya yang semakin kompleks. Pendidikan Teknologi adalah
pendidikan yang bersifat adaptif terhadap perubahan karakteristik pekerjaan.
1. Empat model teknologi diidentifikasi oleh Mitcham dalam Pavlova (2009)
yaitu:
(1) Teknologi sebagai objek (peralatan, perlengkaan, mesin, perangkat
sibernetik
2. (2) Teknologi sebagai pengetahuan (peribahasa, kaidah, teori, pengetahuan
keteknikan)
3. (3) Teknologi sebagai proses (pembuatan, perancangan, perawatan,
penggunaan)
4. (4) Teknologi sebagai kemauan/volition (motif, kebutuhan, perhatian).

K. Pendidikan Dunia Kerja


Menurut Pavlova (2009) penyiapan peserta didik memasuki dunia kerja
merupakan peran utama Pendidikan Teknologi di negara-negara barat. Di Inggris
dan Australia Pendidikan Teknologi dilaksanakan sebagai proses pemerolehan
skills dan pemahaman berbagai teori hingga sampai pada kondisi lulusan siap
masuk dunia kerja.
Tipe pengetahuan dan kompetensi Pendidikan Teknologi berbeda-beda sesuai
levelnya. Level paling rendah adalah level sadar teknologi (technological
awareness) dengan tipe pengetahuan yang diajarkan adalah mengerti teknologi
tersebut atau sekedar tahu sebagai tahap pengenalan. Level kedua adalah level
melek teknologi (technological literacy) dengan tipe pengetahuan memahami
teknologi secara komprehensif tentang kemanfaatan, resiko, carapemanfaatan yang
benar, kemungkinan kegagalan, perawatan, perbaikan, dan sebagainya. Level ke
tiga adalah kemampuan atau kesanggupan secara teknologi (technological
capability) merupakan level dengan kompetensi menerapkan atau mengaplikasikan
teknologi dengan tipe pengetahuan memahami teknologi tersebut dengan baik dan
bagaimana cara menggunakan atau menerapkannya. Level ke empat adalah level
(technological ceativity) yang ditandai dengan kompetensi penemuan teknologi
baru, memahami teknologi dan bagaimana menerapkan dalam kehidupan. Level ke
lima yang tertinggi atau terakhir adalah (technological critism) adalah level dimana
kompetensi yang dimiliki adalah pengambilan keputusan tentang mengapa,
bagaimana sebuah teknologi dipilih dan digunakan.
Vokasionalisasi adalah proses pengenalan subjek-subjek praktis
keduniakerjaan melalui kegiatan kunjungan industri, pemberian bimbingan
kejuruan dan pemberian pengajaran dan pelatihan terapan kepada masyarakat yang
membutuhkan pekerjaan. Kita gunakan istilah vokasionalisasi yang mencakup
makna kejuruanisasi. Pengenalan subjek-subjek praktis keduniakerjaan mencakup
pengembangan kompetensi kejuruan, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
soft skill, keterampilan kerja, keterampilan teknis, karir kejuruan, sistem
penggajian, sistem kerja, keselamatan kerja, peraturan dan perundang-undangan
ketenagakerjaan dan sebagainya. Tujuan utama vokasionalisasi adalah untuk
meningkatkan relevansi pendidikan dan bimbingan kejuruan dengan
perkembangan kebutuhan keduniakerjaan dalam mewujudkan negara dan
masyarakat sejahtera yang kompetitif dan berorientasi kepada pembangunan
berkelanjutan.
BUKU III

Anda mungkin juga menyukai