Anda di halaman 1dari 25

REFERAT BEDAH PLASTIK

LUKA BAKAR DENGAN TRAUMA INHALASI

Oleh:
Yurike Rizkhika
G99161113

Pembimbing:

dr. Dewi Haryanti K, Sp.BP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
PENDAHULUAN

Luka bakar atau combustio merupakan cedera yang cukup sering dihadapi.
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan
mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Hal ini
disebabkan karena pada luka bakar terdapat keadaan sebagai berikut : 1. terdapat
kuman dengan patogenitas tinggi 2. terdapat banyak jaringan mati 3. mengeluarkan
banyak air, serum dan darah 4. terbuka untuk waktu yang lama (mudah terinfeksi
dan terkena trauma) 5. memerlukan jaringan untuk menutup. Luka bakar yang lebih
luas dan dalam memerlukan perawatan lebih intensif dibandingkan luka bakar yang
hanya sedikit dan superfisial. Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem
yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan,
biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar
lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah
anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis penyakit
dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi.

2
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Dan Histologi Kulit

Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan
dalam homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh.
Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 –
3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai
0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis
terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan
atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung,
bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda,
lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm
sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium
yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat

A. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri
dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit,
Langerhans dan Merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai
tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi
regenerasi setiap 4-6 minggu.Fungsi Epidermis : Proteksi barier,
organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi
sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas
sampai yang terdalam) :
1. Stratum Korneum : Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum : Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit
tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.

3
3. Stratum Granulosum : Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum : Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting
untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel
Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum) : Terdapat aktifitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu
lapis sel yang mengandung melanosit

B. Dermis
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang
paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua
lapisan :
1. Lapisan papiler; tipis : mengandung jaringan ikat jarang.
2. Lapisan retikuler; tebal : terdiri dari jaringan ikat padat.

Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang


dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat
dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan
dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang. Hal ini menyebabkan
kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak

4
keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak
tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur
penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces
dan respon inflamasi.

C. Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan
nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi. Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar,
isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock
absorber

II. Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun tidak
langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia, air, dll)
atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat).

PATOGENESIS
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan menimbulkan bula yang
banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.
Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat

5
penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka
bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20% akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurrang.
Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.
Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang
terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan
napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak bewarna
gelap akibat jelaga.
Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun lainnya. Karbon monoksida
akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bisa lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12 – 24 jam,
permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta penyerapan kembali
cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan meningkatnya diuresis.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang
menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir
selalu berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS).
MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat
gangguan sirkulasi mikro. Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan
luka bakar fase akut berubah, semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro
menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai
end-point dari prosedur resusitasi.
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka
bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh.

6
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain
berupa
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular
yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke
interstitial. Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan
perifer. Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan
adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka
bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul
respiratory distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga
3 kali lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic
menyebabkan dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara
agresif untuk menurunkan katabolisme dan mempertahankan integritas
saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang
mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler.
Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:
1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation, berlangsung
selama 0 - 48 jam (72 jam).
2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.
3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),
berlangsung sampai 8-12 bulan.
Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan
gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme bernapas dan
gangguan sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan perfusi jaringan
yang dapat menyebabkan kematian.
Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak
dengan sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan kuat mengenai
adanya cedera inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang disebabkan api,

7
terperangkap di ruang tertutup, luka bakar pada wajah dan leher, bulu hidung
terbakar, sputum dan air liur mengandung karbon. Kerusakan mukosa dapat pula
disebabkan oleh minyak panas, air panas, bahan kimia yang mengenai muka, leher,
dada bagian atas. Pada cedera inhalasi terjadi edema mukosa dari orofaring dan
laring hingga membran alveoli. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi yang ditandai
dengan stridor, suara serak, sulit bernapas, gelisah. Bronkospasme dapat terjadi bila
reaksi inflamasi melibatkan otot polos bronkus.
Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi

Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada pasien
dengan eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses ekspansi
rongga toraks sehingga compliance paru berkurang.
Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme perubahan
integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling, gangguan perfusi
(syok seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera termis, terjadi pelepasan
histamin diikuti pelepasan histmain dan aktivasi komplemen yang menyebabkan
perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan
radikal bebas yang diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam
arakidonat. Hal ini menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin
(IL1, IL6, TNFa). Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini
mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium. Selain
itu mediator inflamasi memacu sel-sel epitel mukosa mengalami proses inflamasi

8
akut terutama mengakibatkan sel epitel nekrosis. Pada mukosa alveoli penumpukan
fibrin membentuk membran hialin yang menyebabkan gangguan difusi dan perfusi
oksigen (acute respiratory distress syndrom). ARDS ini umumnya muncul 4-5 hari
pasca cedera luka bakar.

III. Penilaian Derajat Luka Bakar

A. Penilaian Kedalaman Luka Bakar


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung
menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju
yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti
nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu
menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,


yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I
biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna.
Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri
dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah
sunburn.

9
 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a. Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis.Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebecea masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel.
Penyembuhan terjadi secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa
terbentuk sikatrik.
b. Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa
jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjarkeringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit.
Penyembuhan terjadi lebih lama dandisertai parut hipertrofi.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih darisatu bulan.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat, luka dapat sembuh dalam 2-
3 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi
cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas
dindingnya, disertai rasa nyeri.Apabila luka bakar derajat II yang dalam

10
tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran
darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness
burn atau luka bakar derajat III.

 Derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampaimencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan,tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakarberwarna abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering. Terjadikoagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai esker. Tidakdijumpai rasa nyeri dan hilang
sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak.Penyembuhan terjadi lama
karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

11
B. Penilaian Luas Luka Bakar

Beberapa cara penentuan derajat luka bakar.


1. Palmar surface
Luas permukaan pada telapak tangan pasien (termasuk jari-jari)secara kasar
adalah 0,8% dari seluruh luas permukaan tubuh. Permukaan telapak tangan
dapat digunakan untuk mengukur luka bakar yang kecil (<15%>85% luas
permukaan tubuh). Untuk luka bakar dengan ukuran sedang, pengukuran
dengan cara ini tidak akurat.

2. Wallace rule of nines


Merupakan cara yang baik dan cepat untuk mengukur luas luka bakar pada
orang dewasa. Tubuh dibagi menjadi area 9%, dan total daerah yang terkena
luka bakar dapat dihitung. Tetapi cara ini tidak akurat pada anak-anak. Pada
anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal
rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak. Untuk anak, kepala
dan leher 15 %, badan depan dan belakang masing-masing 20 %,

12
ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10 %, ekstremitas bawah
kanan dan kiri masing-masing 15 %

3. Lund and Bowder chart


Tabel ini, apabila digunakan dengan benar, merupakan cara yang paling
akurat. Tabel ini mengkompensasi variasi bentuk tubuh dengan umur,
sehingga dapat memberikan perhitungan luas luka bakar yang akurat pada
anak-anak

IV. Penyebab Luka Bakar

1. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)


Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan
api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau
kontak dengan objek-objek panas lainnya. Beberapa hal yang dapat
menyebabkan thermal burn antara lain:

 Benda panas: padat, cair, uap


 Api
 Sengatan matahari/ sinar panas
2. Luka bakar bahan kimia (chemical burn)

13
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau basa kuat yang
biasa digunakan dalam industri, militer, laboratorium, danbahan pembersih
yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga.

3. Luka bakar sengatan listrik (electrical burn)


Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah, dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada
pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan
gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi
kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun ground.

4. Luka bakar radiasi (radiation injury)


Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan bahan radioaktif untuk
keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan dalam bidang industri.
Terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka
bakar radiasi.

V. Pemeriksaan

1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah anamnesis
singkat dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat daruratan
biasanya anamnesis dilakuakan secara auto dan alloanamnesis. Anamnesis
yang sering ditanyakan adalah, berat badan pasien, umur, sudah berapa lama
setelah terapar ledakan, terkena ledakan apa, seberapa besar ledakan,
penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain seperti keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu riwayat penyakit
keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup
menyusul.

14
2. Pemeriksaan Fisik
a) Primary survey
A (Airway) – Jalan nafas
Edema mukosa dapat terjadi pada pasien luka bakar atau trauma
inhalasi, obstruksi pada saluran napas atas (pharynx/larynx) dapat
berkembang dengan cepat terutama pada anak. Trauma inhalasi harus
dicurigai pada siapa pun dengan luka bakar dan diasumsikan sampai
terbukti sebaliknya, pada siapa pun yang terbakar dalam ruang tertutup.
Inspeksi dari mulut dan pharynx harus dilakukan lebih awal, dan
intubasi endotracheal dilakukan jika perlu. Suara serak dan bunyi
wheezing pada ekspirasi adalah tanda-tanda edema saluran napas yang
serius atau trauma inhalasi. Produksi lendir berlebihan dan dahak karbon
yaitu dahak bercampur flek hitam juga tanda-tanda positif trauma
inhalasi. Tingkat karboksihemoglobin harus didapatkan dan
peningkatan tingkat gejala atau keracunan karbon monoksida (CO)
adalah berdasarkan kemungkinan trauma inhalasi. Penurunan rasio dari
tekanan oksigen arteri (PaO2) dan persentase oksigen terinspirasi (FiO2),
adalah salah satu indikator yang paling awal pasien telah menghirup
asap. Bila pasien positif trauma inhalasi sebaiknya pasien dirujuk ke
rumah sakit yang mempunyai fasilitas pusat luka bakar (burn centre)
dengan dilakukan intubasi terlebih dahulu untuk memastikan jalan nafas
tetap terbuka.
B (Breathing) – Kemampuan bernafas
Jika jalan napas baik dan pasien dapat bernapas, pemberian oksigen
dengan sungkup atau nasal kanul mungkin dapat mencukupi. Tetapi jika
pasien tidak dapat bernapas akibat obstruksi jalan napas atas atau akibat
penurunan kesadaran, dapat diberikan intubasi endotrakeal.
Trakeostomi emergensi harus dihindari kecuali jika hal itu benar-benar
dibutuhkan. Jika curiga terdapat trauma pada vertebra servikalis,
manipulasi jalan napas harus dilakukan dengan tetap meimobilisasi

15
leher dan kepala pada axis tubuh sampai vertebra servikal terevaluasi
sepenuhnya.
C (Circulation)
Sirkulasi perifer yang adekuat harus ditemukan dengan cepat setelah
terjadinya luka bakar dengan meraba pulsasi di perifer.Semua pakaian
pasien harus dilepaskan. Cincin, jam dan perhiasan harus dilepaskan
pada anggota tubuh yang mengalami cedera, konstriksi pada bagian
yang bengkak akibat jeratan perhiasan dapat mengakibatkan iskemia di
bagian distal. Pada luka bakar, permeabilitas pembuluh darah
meningkat, sehingga terjadi perpindahan cairan dari pembuluh darah ke
jaringan intersitial, akibatnya dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Semakin luas area luka bakar, semakin berat syok hipovolemik yang
terjadi.Resusitasi cairan harus diberikan secepatnya.
D (Disability)
Apakah ada gangguan ekstremitas atau gerakan lain
E (Exposure)
Bagaimana tampak keseluruhan dari unjung rambut sampai ujung kaki,
dan apakah pasien mengalami hipotermi atau tidak.
b) Secondary survey
Pada secondary survey dilakukan pemeriksaan head to toe mulai
dari kepala, mata, wajah, leher, thorax, paru, jantung, abdomen, ,
genitalia, hingga ekstremitas atas dan bawah.
c) Status Lokalis
Status lokalis akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan derajat luka
bakar.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan
hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.
b) Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada
kehilangan air.

16
c) Alkalin fosfat : peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan
interstitiil/ganguan pompa natrium.
d) Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan
jaringan dalam dan kehilangan protein.
e) Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi
f) Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
g) EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka
bakar listrik.
h) BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
i) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
j) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
k) Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema
cairan.
l) Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar selanjutnya.

VI. Tatalaksana luka bakar

Beberapa penatalaksanaan luka bakar adalah sebagai berikut:

1. Rawat inap semua pasien dengan luka bakar >10% permukaan tubuh; yang
meliputi wajah, tangan, kaki, perineum, melewati sendi; luka bakar yang
melingkar dan yang tidak bisa berobat jalan.
2. Periksa apakah pasien mengalami cedera saluran respiratorik karena
menghirup asap (napas mengorok, bulu hidung terbakar),
a. Luka bakar wajah yang berat atau trauma inhalasi mungkin
memerlukan intubasi, trakeostomi
b. Jika terdapat bukti ada distres pernapasan, beri oksigen

17
3. Resusitasi cairan (diperlukan untuk luka bakar permukaan tubuh > 10%).
Gunakan larutan Ringer laktat dengan glukosa 5%, larutan garam normal
dengan glukosa 5%, atau setengah garam normal dengan glukosa 5%.
a. 24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan
cairan dari kebutuhan cairan rumatan dan kebutuhan cairan
resusitasi (4 ml/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh yang
terbakar)

i. Berikan ½ dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam


pertama, dan sisanya 16 jam berikutnya.
Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka
bakar 25%
Total cairan dalam waktu 24 jam pertama
= (60 ml/jam x 24 jam) + 4 ml x 20kg x 25% luka bakar
= 1440 ml + 2000 ml
= 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)

b. 24 jam kedua: berikan ½ hingga ¾ cairan yang diperlukan selama


hari pertama
c. Awasi pasien dengan ketat selama resusitasi (denyut nadi, frekuensi
napas, tekanan darah dan jumlah air seni)
d. Transfusi darah mungkin diberikan untuk memperbaiki anemia atau
pada luka-bakar yang dalam untuk mengganti kehilangan darah.
4. Mencegah Infeksi
a. Jika kulit masih utuh, bersihkan dengan larutan antiseptik secara
perlahan tanpa merobeknya.
b. Jika kulit tidak utuh, hati-hati bersihkan luka bakar. Kulit yang
melepuh harus dikempiskan dan kulit yang mati dibuang.
c. Berikan antibiotik topikal/antiseptik (ada beberapa pilihan
bergantung ketersediaan obat: peraknitrat, perak-sulfadiazin,
gentian violet, povidon dan bahkan buah pepaya tumbuk).

18
Antiseptik pilihan adalah perak-sulfadiazin karena dapat menembus
bagian kulit yang sudah mati. Bersihkan dan balut luka setiap hari.
d. Luka bakar kecil atau yang terjadi pada daerah yang sulit untuk
ditutup dapat dibiarkan terbuka serta dijaga agar tetap kering dan
bersih.
5. Obati bila terjadi infeksi sekunder
a. Jika jelas terjadi infeksi lokal (nanah, bau busuk, selulitis), kompres
jaringan bernanah dengan kasa lembap, lakukan nekrotomi, obati
dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari), dan
kloksasilin (25 mg/kgBB/dosis 4 kali sehari). Jika dicurigai terdapat
septisemia gunakan gentamisin (7.5 mg/kgBB IV/IM sekali sehari)
ditambah kloksasilin (25–50 mg/kgBB/dosis IV/IM 4 kali sehari).
Jika dicurigai terjadi infeksi di bawah keropeng, buang keropeng
tersebut .
6. Menangani rasa sakit
a. Pastikan penanganan rasa sakit yang diberikan kepada pasien
adekuattermasuk perlakuan sebelum prosedur penanganan, seperti
mengganti balutan.
b. Beri parasetamol oral (10–15 mg/kgBB setiap 6 jam) atau analgesik
narkotik IV (IM menyakitkan), seperti morfin sulfat (0.05–0,1
mg/kg BB IV setiap 2–4 jam) jika sangat sakit.
7. Periksa status imunisasi tetanus
a. Bila belum diimunisasi, beri ATS atau immunoglobulin tetanus (jika
ada)
b. Bila sudah diimunisasi, beri ulangan imunisasi TT (Tetanus
Toksoid) jika sudah waktunya.
8. Nutrisi
a. Bila mungkin mulai beri makan segera dalam waktu 24 jam pertama.
b. Anak harus mendapat diet tinggi kalori yang mengandung cukup
protein, vitamin dan suplemen zat besi.

19
c. Anak dengan luka bakar luas membutuhkan 1.5 kali kalori normal
dan 2-3 kali kebutuhan protein normal.
9. Fisioterapi dan rehabilitasi
a. Harus dimulai sedini mungkin dan berlanjut selama proses
perawatan luka bakar.
b. Jika pasien dirawat-inap dalam jangka waktu yang cukup lama,
sediakan mainan untuk pasien dan beri semangat untuk tetap
bermain.
10. Kontraktur Luka Bakar
a. Luka bakar yang melewati permukaan fleksor anggota tubuh dapat
mengalami kontraktur, walaupun telah mendapatkan penanganan
yang terbaik (hampir selalu terjadi pada penanganan yang buruk).
b. Cegah kontraktur dengan mobilisasi pasif atau dengan membidai
permukaan fleksor Balutan dapat menggunakan gips. Balutan ini
harus dipakai pada waktu pasien tidur.

20
VII. Proses Penyembuhan Luka Bakar
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi
dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang
terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah
segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh dalam jangka lebih
dari 4-6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera
jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada
tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan
ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau
luka akibat tindakan bedah.
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah
kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel
berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh
dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama

21
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21.
Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh
darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24
jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan
substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi
luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan
epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur
yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan
meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang
merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen
yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang
baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan.

22
Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas
selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.

VIII. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan
grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis
dan MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu
atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan
ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal
yang menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal
ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut
suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik,
keloid dan kontraktur.

IX. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi,
dan kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-
10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam
10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka bakar mayor
membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan
parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa
kasus, pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alharbi Ziya, Platkowski, Rolf Dembinski, Swen, Reckort, Gerrit Grieb, Jens K,
Norbert Pallua. 2012. Treatment of burn in the first 24 hours: simple and
practical guide by answering 10 questions in a step-by-step form. Wound
Journal of Emergency Surgery, 7:13.
Bhavsar P. & Kirtikumar Jagdish Rathod . 2013. Utility of Serum Creatinine,
Creatine Kinase and Urinary Myoglobin in Detecting Acute Renal Failure
due to Rhabdomyolysis in Trauma and Electrical Burns Patients. Indian J
Surg (January–February 2013) 75(1):17–21
Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. 2008. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp
RD, Evers BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery. 18th
Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Gibran NS. 2006. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Gerard
M, Ronald V, Upchurch GR. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles
and Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Grace, Pierce A. & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga.
Jakarta: Erlangga. Kapita selekta edisi 3 jilid 2.
Harvey M,, Vijay Thumma. 2007. Pneumothorax due to electrical burn injury.
Emerg Med J 2007;24:371–373
Idries, Abdul M. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta.

24
Binarupa Aksara. 1997.
Karpelowsky, Rode H. 2008. Basic principles in the management of thermal
injuries. SA Fam Pract Vol 50 No 3.
Lynge, DC. 2001. Traumatic Injury, Surgical Problems and Procedurs in Primary
Care, McGraw Hill, Washington.
McCall JE, Cahill TJ. 2005. Respiratory care of the burn patient. J Burn Care
Rehabil, 26:200–206.
Melanie Stander and Lee Alan Wallis. 2011. The Emergency Management and
Treatment of Severe Burns. Emergency Medicine International, Article ID
161375.
R. Palao, I. Monge, M. Ruiz J.P. 2009. Barret Chemical burns: pathophysiology
and treatment. JBurns.
Rilantono, Ismudiati E, dkk. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI. 2004.
Robert. H, Demling. MD. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Doherty,
Gerard M, Way, Lawrence W (editor). 2006. Hlm: 248
Shankar Gowri, Naik Vijaya A, Rajesh Powar, Ravindra Honnungar, Mallapur M
D. Epidemiology and Outcome of Burn Injuries. J Indian Acad Forensic
Med.(2012), Vol. 34, No. 4
Sjamsuhidajat. Wim De Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Surybhanji A.Mona M. Meshram (2013) The Management of Electrical Burn.
Indian J Surg (July–August 2013) 75(4):278–283
Talbot, S. & Joseph Upton & Daniel N. Driscoll. (2011) Changing trends in
pediatric upper extremity electrical burns. HAND (2011) 6:394–398
Torpy Janet M, Lynm Cassio, Glass Richard. 2008. Burn injuries. The Journal of
the American Medical Association.

25

Anda mungkin juga menyukai