Anda di halaman 1dari 179

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN SUMEDANG
TAHUN 2014

TESIS

HEDY HARDIANA
NPM: 1206192815

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2015

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN SUMEDANG
TAHUN 2014

TESIS

HEDY HARDIANA
NPM: 1206192815

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Kesehatan Masyarakat (MKM)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2015

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015
SI]RAT PER}TYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama Hedy Hardiana


NPM 1206192815

Mahasiswa Program llmu Kesehatan Masyarakat


Peminatan Kebijakan dan Hukum Kesehatan

Tahun Akademik 201212013

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan


sk+itrxi/tesis/dise+asi. saya yang berjudul:

"Analisis Impelementasi Kebijakan Desa Siaga AHif di Kabupaten Sumedang


Tahun 2014"

Apabila suatu saat nanti terbukli saya melakukan plagiat maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya

16 Januari 2015

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015
ABSTRAK

Nama : Hedy Hardiana


Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Analisis Implementasi Kebijakan Desa Siaga Aktif di
Kabupaten Sumedang Tahun 2014

Desa siaga aktif merupakan kebijakan pemberdayaan masyarakat yang memiliki


peran penting dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pemecahan
permasalahan kesehatan secara mandiri. Berdasarkan Data dan Informasi
Pengembangan Desa Siaga Aktif didapatkan bahwa cakupan Nasional Desa Siaga
Aktif pada tahun 2012 masih 65% dan target tahun 2015 80%. Sementara di
Sumedang pelaksanaan telah seluruhnya tercapai (100%) namun bukan
berdasarkan Desa Siaga Aktif, tetapi Desa Siaga. Selain itu, permasalahan masih
tersisa yaitu PHBS berada di bawah target provinsi pada tahun 2014 (<49.4%).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan Desa Siaga
Aktif di Kabupaten Sumedang tahun 2014. Dilaksanakan penelitian kualitatif
dengan metode wawancara mendalam dan telaah data sekunder. Informan terdiri
dari 7 orang dari level pemerintahan yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan
bahwa alokasi anggaran merupakan permasalah utama Desa Siaga Aktif. Sementara
faktor lainnya yaitu komunikasi, kemitraan lintas sektor, birokrasi, persepsi pejabat
dan sosioekonomi politik mempengaruhi secara tidak langsung. Hampir semua
pendanaan berasal dari uang masyarakat dan bersifat terbatas. Perlunya
merampingkan beberapa program lintas sektor dan memfokuskan satu atau dua
program sangat diperlukan. Strategi ini akan menambah alokasi anggaran kepada
program penting dan dapat meningkatkan mekanisme koordinasi.

Kata kunci: desa siaga aktif, analisis, implementasi, kebijakan, pemberdayaan


masyarakat

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


ABSTRACT

Name : Hedy Hardiana


Study Program : Public Health Science
Title : Analysis of Policy Implementation Desa Siaga Aktif in
Sumedang Regency Year 2014

Desa Siaga Aktif is a form of community empowerment policy that have important
role to make community able to solve health problems by their own. Based on the
Data and Information of Desa Siaga Aktif, national coverage of Desa Siaga Aktif
was 65% in 2012, and the target in 2015 is 80%. While in Sumedang, the coverage
was 100% but based on Desa Siaga Aktif. The other problem remain is PHBS
achievement which still below the province target (<49.4%) in 2014. This study is
to analyze the policy implementation of Desa Siaga Aktif in Sumedang year 2014.
Qualitative study has been conducted with depth interview and secondary data
review method. It involves seven informants, which were from national and local
government offices. The result indicate that budget allocation is the main problem
in Desa Siaga Aktif. While other factors like communication, sectorial partnership,
bureaucracy, official perception and socioeconomic politic affect the
implementation process indirectly. Almost all the budget allocation was from
villagers, and it was limited. Cutting down on some of sectorial programs and
focusing on one or two programs is required. This strategy will earn budget
allocation to certain programs that was important and will increase the coordination
mechanism.

Key words: desa siaga aktif, analyze, implementation, policy, community


empowerment

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut Bismillahirrahmanirrahim dan Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin,


dengan ijin Allah SWT saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis
Implementasi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Desa Siaga
Aktif di Kabupaten Sumedang Tahun 2014” dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ede Surya Darmawan, SKM., MDM, selaku dosen pembimbing saya
yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran mengarahkan saya
dalam penyusunan tesis ini,
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, serta Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang yang telah
memberikan ijin kepada saya untuk mengadakan penelitian,
3. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral,
4. Teman-teman fakultas kesehatan masyarakat khususnya peminatan
kebijakan dan hukum kesehatan, yang selalu memberi semangat,
5. Teman sekaligus saudara saya, Victorino yang memberi semangat, tempat
berkeluh kesah, dan membantu saya dalam proses perijinan tesis saya.
6. Teman seperjuangan, Ratna Utami Wijayanti, Mbak El yang saling
memberi semangat serta berbagi setiap keluhan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua
pihak. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.

Depok, 5 Januari 2015

Penulis

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015
DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................i
Pernyataan Orisinalitas........................................................................................ii
Lembar Pengesahan ............................................................................................iii
Lembar Persetujuan publikasi karya ilmiah ........................................................iv
Abstrak ................................................................................................................v
Kata Pengantar ....................................................................................................vii
Daftar Isi..............................................................................................................ix
Daftar Tabel ........................................................................................................xi
Grafik dan Diagram.............................................................................................xii
Daftar Gambar .....................................................................................................xiii
Daftar Bagan .......................................................................................................xiv
Daftar Singkatan..................................................................................................xv
I. Pendahuluan ............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................9
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................10
1.4 Tujuan Penelitian...............................................................................11
1.5 Manfaat Penelitian.............................................................................11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................11
II. Tinjauan Pustaka .....................................................................................13
2.1 Kebijakan ..........................................................................................13
2.1.1 Pengertian Kebijakan.............................................................13
2.1.2 Kebijakan Kesehatan .............................................................14
2.1.3 Tahapan Kebijakan ................................................................15
2.1.4 Model Implementasi Kebijakan ............................................17
2.1.5 Analisis Kebijakan.................................................................25
2.2 Desentralisasi ....................................................................................37
2.3 Desentralisasi bidang Kesehatan .......................................................35
2.4 Urusan Pemerintahan ........................................................................36
2.5 Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan .............................37
2.5.1 Prinsip Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan .........39
2.5.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ........40
2.5.3 Peran Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan
Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan ...42
2.6 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif ........................................................48
2.6.1 Pengertian ..............................................................................48
2.6.2 Pelayanan Kesehatan Dasar ...................................................48
2.6.3 Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan UKBM 49
2.6.4 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) .............................50
2.6.5 Kriteria Pengembangan Desa Siaga Aktif .............................52
2.6.6 Strata Desa Siaga Aktif .........................................................53
2.6.7 Peran Pemangku Kepentingan ...............................................55
2.6.8 Dasar Hukum .........................................................................62
III. Kerangka Teori, Kerangka Pikir dan Daftar Istilah ................................65
3.1 Kerangka Teori ..................................................................................65

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


3.2 Kerangka Pikir...................................................................................66
3.3 Daftar Istilah ......................................................................................66
IV. Metode Penelitian ....................................................................................71
4.1 Desain Penelitian ...............................................................................71
4.2 Tahapan Penelitian ............................................................................71
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................72
4.4 Informan ............................................................................................72
4.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................................73
4.6 Manajemen Data ...............................................................................73
4.7 Analisis Data .....................................................................................74
V. Hasil Penelitian .......................................................................................75
VI. Pembahasan .............................................................................................113
VII. Simpulan dan Saran .................................................................................123
Daftar Pustaka .....................................................................................................127

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di Indonesia (per-Provinsi)
Tahun 2012 ........................................................................................... 4
Tabel 1.2 Jumlah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat ........................ 5
Tabel 2.1 Kategori Desentralisasi Menurut Tujuan dan Instrumen ...................... 28
Tabel 2.2 Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif .............................................. 53
Tabel 5.1 Cakupan PHBS, Desa Siaga Aktif dan Poskesdes
Provinsi Jawa Barat .............................................................................. 78
Tabel 5.2 Jumlah Strata Desa Siaga Aktif dan RPJMD 2014
Kabupaten Sumedang ........................................................................... 84
Tabel 5.3 Jumlah Strata Posyandu di Kabupaten Sumedang ................................ 87
Tabel 5.4 Capaian Kegiatan dan Kesenjangan Berdasarkan Renstra Dinas
Kesehatan Kabupaten Sumedang ......................................................... 88
Tabel 5.5 Karakteristik Informan .......................................................................... 89
Tabel 5.6 Alokasi Anggaran dan Penyerapan untuk Kesehatan Provinsi Jawa Barat
.............................................................................................................. 95
Tabel 5.7 Kegiatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedng dalam Rangka
Pengembangan Desa Siaga Aktif ......................................................... 97

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


GRAFIK DAN DIAGRAM

Grafik 1.1 Persentase Rumah Tangga ber-PHBS di Provinsi Jawa Barat Tahun
2012 .................................................................................................... 7
Grafik 5.1 Perkembangan Rumah Tangga Sehat di Jawa Barat 2013 .................. 80
Grafik 5.2 Perkembangan Desa Siaga Aktif di Kabupaten Sumedang ................. 84
Grafik 5.3 Perkembangan PHBS di Kabupaten Sumedang .................................. 86
Grafik 5.4 Perkembangan Posyandu di Kabupaten Sumedang ............................. 87
Diagram 5.1 Persentase Desa Siaga Aktif di Jawa Barat 2013 ............................. 80

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahapan Pembuatan Kebijakan Menurut William Dunn .................. 16


Gambar 2.2 Model Implementasi Menurut Edwards III ....................................... 18
Gambar 2.3 Model Proses Implementasi Kebijakan Menurut van Horn dan van
Meter .................................................................................................. 25
Gambar 2.4 Dimensi Analisis Kebijakan .............................................................. 26
Gambar 2.5 Skema keterlibatan Pemangku Kepentingan di Berbagai Level
Pemerintahan pada program Desa Siaga Aktif ................................ 55
Gambar 5.1 Alur Pengembangan Kebijakan Desa Siaga Aktif ............................ 76
Gambar 5.2 Persentase Rumah Tangga ber-PHBS per Kabupaten di Jawa Barat
Tahun 2014 ......................................................................................... 79

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Teori Penelitian ................................................................... 65


Bagan 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 66
Bagan 3.3 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 67

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


DAFTAR SINGKATAN

ADD : Alokasi Dana Desa


APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ASI : Air Susu Ibu
BOK : Bantuan Operasional Kesehatan
BPD : Badan Permusyawaratan Desa
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KMS : Kartu Menuju Sehat
KPM : Kader Pemberdayaan Masyarakat
LAN : Lembaga Administrasi Negara
LPND : Lembaga Pemerintah Non-Departemen
MDGs : Millenium Development Goals
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PIK : Pagu Indikatif Kewilayahan
PKMD : Pos Kesehatan Masyarakat Desa
PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
POKJANAL : Kelompok Kerja Operasional
PONED : Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Dasar
PONEK : Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Komprehensif
PP : Peraturan Pemerintah
RKP : Rencana Kerja Pembangunan
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
SDM : Sumber Daya Manusia
SKN : Sistem Kesehatan Nasional
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SOP : Standard Operating Procedure

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


SPMK : Standar Pelayanan Minimal Kesehatan
TOGA : Tanaman Obat Keluarga
TOT : Training of Trainer
UGD : Unit Gawat Darurat
UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
UPTD : Unit Pelayanan Terpadu Daerah
UU : Undang-undang

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan merupakan agenda nasional Pemerintah untuk
mewujudkan Indonesia Sehat. Pemerintah Indonesia telah menetapkan tujuan
pembangunan kesehatan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Dijelaskan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya
dengan memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan.
Selain itu, berdasarkan PP Nomor 72 tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) pasal 1 ayat 2, bahwa SKN merupakan pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa dengan tujuan
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Diperjelas pada pasal 4 ayat 1 bahwa Sistem Kesehatan Nasional dilaksanakan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Sehingga jelas
menyiratkan bahwa kesehatan merupakan tanggung jawab seluruh komponen
bangsa. Sistem kesehatan nasional yang menjadi landasan pelaksanakan upaya
kesehatan, menekankan pada peningkatan perilaku dan kemandirian
masyarakat, profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, serta upaya
promotif dan preventif tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Hal ini tercantum pada pasal 6 ayat 1, sehingga masyarakat sebenarnya
memiliki andil besar dalam peningkatan derajat kesehatan
Adanya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peran serta
masyarakat dan pembangunan yang berakar pada kekuatan masyarakat serta
upaya untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, maka Pemerintah
kemudian berusaha untuk menerapkan suatu kebijakan melalui perancangan
berbagai program pembangunan yang melibatkan masyarakat sebagai salah

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


satu komponennya, terutama untuk daerah-daerah yang tertinggal. Penelitian
sebelumnya telah memberikan gambaran bahwa kebijakan pemberdayaan
masyarakat yang optimal dalam pelaksanaan pembangunan di daerah dapat
terwujud apabila target kemandirian masyarakat dapat dicapai. Ini berarti
bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat berjalan efektif apabila tercipta
masyarakat yang mandiri yang dapat mengelola pembangunan di daerahnya,
sehingga apa yang direncanakan masyarakat tersebut merupakan suatu yang
benar-benar dibutuhkan masyarakat dan bermanfaat bagi masyarakat banyak
(Yuniarsih, 2005).
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah kebijakan inisiasi untuk
mempromosikan kesehatan masyarakat dan representasi aspirasi pemerintah
untuk mengembangkan sebuah kebijakan kesehatan dan masyarakat yang adil.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam promosi
dan menjaga kesehatan optimalnya, sementara itu kebijakan kesehatan yang
lain berfokus terhadap individu, maka pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan diharapkan dapat mengambil alih dalam promosi kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat ini diharapkan dapat menjadi representasi kemauan
individu dalam pemeliharaan kesehatan yang nanti dapat menjadi sebuah
kepedulian terhadap kesehatan masyarakat. Cakupan layanan kesehatan saat ini
menjadi hambatan dalam mengembangkan upaya pemberdayaan masyarakat
karena keterbatasan masyarakat sendiri dalam penentuan kebijakan dan aksi
nyata (Kenyon and Gordon, 2009).
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat membutuhkan aparat
Pemerintah sebagai pelaku dari penentu kebijakan karena setiap daerah
memiliki keterbatasan dalam hal sarana dan prasarana serta kemampuan
masyarakat untuk mandiri. Walaupun tokoh sentral dari pemberdayaan
masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, namun peran pemerintah tetap
diperlukan sebagai pengawas dan pembina dalam mengatasi kondisi yang
dihadapi dalam setiap program pemberdayaan masyarakat terutama di bidang
kesehatan. Kolaborasi dalam penentuan kebijakan dan koordinasi program
lintas sektor dan lintas bidang sangat penting karena dapat meningkatkan
kontrol, pengkajian terhadap kebutuhan dan keterbatasan dalam menjalankan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


program (Carman and Hefner, 2012). Hal ini pun telah menjadi landasan bahwa
keterlibatan berbagai pihak dalam pembuatan kebijakan, faktor-faktor yang
mendukung seperti ideologi dan budaya dan bagaimana pelaksanaan kebijakan
tersebut dapat dilaksanakan, secara langsung mempengaruhi kebijakan itu
secara keseluruhan (Walt et al., 2005).
Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 menjelaskan bahwa masyarakat
terlibat dalam upaya kesehatan. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 65 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan dan
Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan bahwa masyarakat
memiliki kontribusi besar dalam upaya kesehatan, terutama dalam upaya
promotif dan preventif.
Sejalan dengan peraturan di atas, Kementerian Kesehatan telah
menuangkan konsep pemberdayaan masyarakat dalam Visi Pembangunan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tahun 2010-2014 yaitu “Masyarakat
Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” yang kemudian diturunkan menjadi misi;
1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani,
2) Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan,
3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan, dan
4) Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

Dalam mencapai visi misi tersebut, kementerian kesehatan menetapkan


strategi yaitu dengan upaya pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan
lintas sektor dan berbagai pihak dalam menjalin kerjasama dengan menerapkan
promosi kesehatan sebagai ujung tombaknya.
Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan upaya pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan adalah dengan meluncurkan Desa Siaga Aktif
yang merupakan pengembangan dari program sebelumnya yaitu Desa Siaga.
Pengembangan desa/kelurahan siaga ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006 dan dilanjutkan
dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor
1529/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Kelurahan Siaga Aktif, bahwa desa/kelurahan siaga aktif merupakan upaya
memfasilitasi proses belajar masyarakat desa dan kelurahan dalam
memecahkan masalah-masalah kesehatannya. Karena merupakan upaya
pembangunan desa dan kelurahan, maka program ini memerlukan peran aktif
dari berbagai pihak mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan
sampai dengan desa/kelurahan.
Kegiatan yang masuk ke dalam siaga aktif ini meliputi 3 komponen
pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif, yaitu: 1) akses layanan
kesehatan dasar, 2) pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan upaya
kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) serta, 3) Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
Tabel 1.1 Jumlah Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di Indonesia (per-Provinsi)
Tahun 2012
Jumlah
RW, Desa
Jumlah Jumlah Jumlah Desa Proporsi
No Provinsi dan
Desa Kelurahan dan Kelurahan (%)
Kelurahan
Siaga Aktif
Nangroe Aceh
1 6.464 - 6.464 578 8.94
Darussalam
2 Sumatera Utara 5.281 664 6.945 2.965 42.69
3 Sumatera Barat 886 259 1.145 1.014 88.56
4 Riau 1.594 241 1.835 854 46,54
5 Jambi 1.391 162 1.553 972 62,59
6 Sumatera Selatan 2.768 376 3.144 2.715 86,35
7 Bengkulu 1.356 168 1.524 1.342 88,06
8 Lampung 2.375 205 2.580 1.331 51,60
Kepulauan Bangka
9 313 67 380 296 77,89
Belitung
10 Kepulauan Riau 274 141 415 351 84,58
11 DKI Jakarta* - 267 267 2.006 74,10
12 Jawa Barat 5.295 639 5.934 5.532 93,23
13 Jawa Tengah 7.809 769 8.678 8.577 98,83
14 DI Yogyakarta 392 46 438 408 93,15
15 Jawa Timur 7.722 783 8.505 7.968 93,69
16 Banten 1.273 278 1.551 1.331 85,82
17 Bali 634 80 714 698 97,76
Nusa Tenggara
18 941 139 1.080 955 88,43
Barat
Nusa Tenggara
19 2.881 319 3.200 502 15,69
Timur
Nusa Tenggara
19 2.881 319 3.200 502 15,69
Timur
20 Kalimantan Barat 1.897 89 1.986 1.069 53,83
Kalimantan
21 1.420 138 1.558 629 40,37
Tengah
22 Kalimantan Selatan 1.866 143 2.009 1.868 92,98
23 Kalimantan Timur 1.268 224 1.492 948 63,54

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Jumlah
RW, Desa
Jumlah Jumlah Jumlah Desa Proporsi
No Provinsi dan
Desa Kelurahan dan Kelurahan (%)
Kelurahan
Siaga Aktif
24 Sulawesi Utara 1.458 332 1.790 689 38,49
25 Sulawesi Tengah 1.767 169 1.936 989 51,08
26 Sulawesi Selatan 2.240 784 3.024 2.605 86,14
27 Sulawesi Tenggara 1.772 370 2.142 261 12,19
28 Sulawesi Barat 533 71 604 131 21,69
29 Gorontalo 667 72 729 511 70,1
30 Maluku 1.135 34 1.169 808 69,12
31 Maluku Utara 1.039 112 1.161 859 73,99
32 Papua Barat 1.477 77 1.554 31 1,99
33 Papua 4.766 91 4.857 1.020 21
Indonesia 72.944 8.309 81.253 52.804
*DKI Jakarta: Berbentuk RW Siaga, dengan jumlah 2.707 RW

Sumber: Permendagri Nomor 18 Tahun 2013 dan Laporan Pokjanal Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif Tingkat Pusat Tahun 2013.

Dari total 81.253 Desa/Kelurahan yang ada di Indonesia, hanya 52.804


desa/kelurahan saja yang sudah memproklamirkan menjadi desa/kelurahan
siaga aktif. Artinya hanya 64,98% saja yang telah menjadi desa/kelurahan siaga
aktif, sedangkan target Pemerintah pada tahun 2015 adalah sebanyak 80%.
Empat daerah yang paling banyak memproklamirkan dirinya menjadi
desa/kelurahan siaga aktif yaitu Jawa Tengah sebanyak 8.577 (98,83%)
desa/kelurahan, Jawa Timur sebanyak 7.968 (93,7%) desa/kelurahan, dan Jawa
Barat sebanyak 5.532 (93,2%) desa/kelurahan.
Tabel 1.2 Jumlah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
No UKBM Jumlah Jumlah Provinsi Sumber Data
1 Posyandu 275.942 33 Kemenkes
2 Posmaldes 2.441 14 Kemenkes
3 Pos TB Desa 104 13 Kemenkes
4 Pos UKK 290 11 Kemenkes
5 Poskestren 1.040 33 Kemenkes
6 PAUD 162.748 33 Kemendikbud
7 BKB 7.230 33 BKKBN
8 Posbindu PTM 7.250 33 Kemenkes
Sumber: Pokjanal Desa dan Keluarahan Siaga Aktif Pusat Tahun 2013

Tabel 1.2 menunjukkan jumlah upaya kesehatan bersumberdaya


masyarakat yang ada di Indonesia yang dilaksanakan Kementerian dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Lembaga Pemerintah. Namun dari data terlihat bahwa ada upaya-upaya yang
tidak sepenuhnya terdapat di setiap provinsi (Posmaldes, Pos TB Desa, Pos
UKK), terlihat dari segi jumlahnya yang seharusnya dapat sama yaitu 33. Hal
ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan kebijakan upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh setiap
provinsi. Sedangkan untuk Kabupaten Sumedang, diperoleh data jumlah
poskesdes dan posyandu pada tahun 2012 yaitu sebanyak 203 posyandu dan
1622 posyandu.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah pasal 11 dan 12 serta Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bahwa penanganan bidang kesehatan menjadi salah satu urusan
wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka penguatan pemerintahan desa,
Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan
Kabupaten/Kota kepada Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36
Tahun 2007 tentang Pelimpahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada
Kelurahan. Oleh karena itu, pengembangan Desa Siaga yang kemudian
dikembangkan menjadi Desa dan Kelurahan Siaga Aktif termasuk wajib untuk
diselenggarakan oleh Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, desa
dan kelurahan siaga aktif ini merupakan salah satu indikator dalam Standar
Pelayanan Minimal bidang Kesehatan (SPMK) di kabupaten/kota berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008.
Sebagai target dari program, capaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
di Provinsi Jawa Barat masih jauh dari target Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan RI. Pada tahun 2013. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI merilis data tahun 2012 bahwa capaian PHBS di provinsi Jawa
Barat masih 46,5%, sedangkan target pada tahun tersebut adalah 60%.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Grafik 1.1 Persentase rumah tangga ber-PHBS di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2012
68.84
70
57.92 57.91
60 54.48 53.45
48.98 48.54 50.41 48.49
47.7
50 45.11 45.31 44.77
41.63 40.4
38.5
40 33.06 34.4
32.25 32.47 32.17
29.47
30 25.3
24.28
19.33
20

10 5.6

0
GARUT
CIANJUR

KOTA SUKABUMI

KOTA BANJAR
KUNINGAN

INDRAMAYU

KOTA DEPOK
CIREBON

KOTA CIMAHI
MAJALENGKA
SUKABUMI

KARAWANG

BANDUNG BARAT

KOTA BANDUNG

KOTA BEKASI
KOTA BOGOR
CIAMIS

KOTA TASIKMALAYA
BANDUNG

BEKASI

KOTA CIREBON
BOGOR

SUMEDANG

SUBANG
PURWAKARTA
TASIKMALAYA

Sumber: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, 2012

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa cakupan pencapaian program


PHBS sebagai salah satu bagian komponen Desa Siaga Aktif sangat bervariasi.
Terdapat 2 daerah Kabupaten yang masih rendah cakupannya, yaitu Kabupaten
Ciamis dan Cianjur. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat daerah yang
belum optimal dalam melaksanakan program Desa Siaga Aktif dengan salah
satu komponennya adalah PHBS.
Pelaksanaan desa siaga di lingkungan Kabupaten Sumedang pada tahun
2012, dari jumlah desa 283 baru 279 telah menjadi desa siaga (98,59%).
Sedangkan untuk cakupan desa siaga aktif pada tahun yang sama sebanyak 110
desa (39.43%) berada pada strata pratama, 120 desa (43.01%) strata madya, 25
desa (8.96%) strata purnama, dan 24 desa (8.6%) strata mandiri (BPPD Kab.
Sumedang, 2013). Dari data tersebut terlihat bahwa strata pratama dan madya
proporsinya lebih banyak daripada strata purnama dan mandiri.
Upaya pemberdayaan masyarakat memang harus dimulai dari masalah
daerah masing-masing dan potensi daerah yang dimiliki. Oleh karenanya
diperlukan pendelegasian wewenang lebih besar kepada daerah. Kesiapan
daerah dalam menerima dan menjalankan kewenangannya sangat dipengaruhi

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


oleh tingkat kapasitas daerah yang meliputi perangkat organisasi dan sumber
daya manusia, serta kemampuan fiskal. Daerah diberikan kewenangan lebih
besar karena dirasakan mampu untuk pengimplementasian program. Hal ini
pun telah menjadi dasar teori bahwa di dalam proses implementasi kebijakan,
van Horn dan van Meter mengemukakan bahwa jika menginginkan suatu
perubahan ataupun pencapaian target, maka harus disertai dengan konsensus
yang tinggi (Hill & Hupe, 2002, pp. 45-46). Van Horn dan Van Meter
setidaknya telah mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
proses implementasi tersebut, yaitu standar kebijakan dan tujuannya, sumber
daya yang tersedia, hubungan kualitas interorganisasi, karakteristik pelaksana
kebijakan, ekonomi, sosial dan lingkungan politik, serta disposisi atau respon
dari pelaksana.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2005-2025, salah satu arah pembangunannya adalah peningkatan
peran serta swasta dan masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya dengan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan guna meningkatkan sumber daya manusia dan daya saing untuk
melaksanakan pembangunan kesehatan dan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, lahirlah Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Kesehatan sebagai
pedoman bagi Pemerintah provinsi, Pemerintah kabupaten/kota, swasta dan
masyarakat di dalam menyelenggarakan kesehatan.
Perda tersebut telah dijelaskan tanggung jawab, kewenangan dan ruang
lingkup Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kesehatan termasuk salah
satunya dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan
berlakunya desentralisasi terutama dalam bidang kesehatan. Namun, evaluasi
kebijakan Pemerintah Daerah terhadap upaya pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan selama ini belum dilakukan dengan baik. Akhirnya masih
banyak kebijakan maupun program Pemerintah Pusat yang sekiranya menjadi
titipan kepada daerah agar dilaksanakan dengan baik dan butuh penguatan
akhirnya tidak tercapai dengan maksimal. Masih banyaknya permasalahan
kesehatan di setiap daerah masih menjadi indikator keberhasilan bahwa

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


masyarakat belum memiliki upaya maksimal dalam mengenali dan
memberdayakan diri untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit di
lingkungan masyarakat dan keluarga. Sedangkan potensi terbesar dalam
kesuksesan program maupun kebijakan di bidang kesehatan yaitu bersumber
dari partisipasi masyarakat dan kemampuan daerah dalam alokasi fiskal serta
kebijakan mendukung lainnya.
Sementara itu, dalam lingkup Nasional masih banyak daerah yang
belum mengimplementasikan bahkan belum memformulasikan kebijakan
daerah sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan pusat di bidang kesehatan
menjadi salah satu faktor pembangunan kesehatan di Indonesia belum merata
dan maksimal. Padahal sebelumnya telah jelas bahwa daerah melingkupi
Pemerintahan provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa/kelurahan
memiliki kewajiban dalam mengatur dan mengembangkan upaya kesehatan di
daerahnya masing-masing sesuai dengan kapabilitasnya dan sumber daya yang
dimiliki. Masyarakat adalah unsur terpenting dalam pelaksanaan upaya
kesehatan masyarakat yang dapat diupayakan melalui kebijakan dan program
pemberdayaan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Kebijakan Desa Siaga Aktif sebenarnya telah dikembangkan dalam
bentuk program sejak tahun 2006 dan secara konsep telah dikembangkan sejak
tahun 1999. Perjalanan pengembangan kebijakan dan program tersebut sampai
saat ini masih meninggalkan berbagai permasalahan, salah satunya adalah
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap PHBS dan masih banyaknya
indikator kesehatan yang harus dicapai serta belum maksimalnya pelaksanaan
kebijakan di daerah. Selain itu, capaian program Desa Siaga Aktif sampai saat
ini masih 64,98% dari target yaitu 80% pada tahun 2015. Salah satu
permasalahan yang peneliti temukan di Kabupaten Sumedang yaitu masih
rendahnya cakupan PHBS pada tahun 2012 yakni sebesar 38.5% dengan
cakupan desa siaganya yang sudah 100% dan jumlah strata purnama dan
mandiri yang masih sedikit dibandingkan strata pratama dan madya. Strata
purnama dan mandiri mengindikasikan dukungan desa dan partisipasi
masyarakatnya tinggi dan tujuan dari upaya pemberdayaan masyarakat berhasil.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Sehingga perlu untuk diteliti apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik dan faktor apakah yang menghambat pelaksanaan kebijakan
tersebut.
Mengingat pentingnya peran Pemerintah Daerah dalam mengurusi
kewajibannya dalam bidang kesehatan salah satunya adalah kewajiban dalam
melaksanakan program Desa Siaga Aktif, maka sudah seharusnya Pemerintah
Daerah mengupayakannya secara optimal dengan mengeluarkan kebijakan-
kebijakan turunan/koordinatif. Masih banyaknya daerah yang belum
mengimplementasikan Desa Siaga Aktif dan indikator kesehatan
masyarakatnya masih rendah, menjadi hal yang penting untuk diteliti.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitian yang
diajukan yaitu:
1) Bagaimanakah proses implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif dari pusat
sampai ke daerah dilihat dari aspek komunikasi, sumber daya (SDM,
anggaran, wewenang dan fasilitas), persepsi pelaksana, struktur birokrasi,
dan kondisi sosial ekonomi politik?
2) Bagaimanakah implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif di Kabupaten
Sumedang Tahun 2014?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengevaluasi proses implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif
1.4.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui proses implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif dikaitkan
dengan aspek komunikasi, sumber daya (SDM, anggaran, wewenang
dan fasilitas), persepsi pelaksana, struktur birokrasi, dan kondisi sosial
ekonomi politik.
2) Mengetahui implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif secara riil di
Kabupaten Sumedang tahun 2014.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Aplikatif
Penelitian ini bermanfaat bagi Pemerintah Daerah baik tingkat
kabupaten/kota sampai tingkat desa/kelurahan dalam melaksanakan upaya
pemberdayaan masyarakat dalam hal ini:
1) Dengan berlakunya otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah
sebaiknya memiliki kebijakan, pedoman maupun arahan teknis dalam
membimbing dan mengawasi program Pemerintah Pusat sehingga
kebijakan ataupun program dapat terlaksana dengan efektif dan
disesuaikan dengan sumber daya daerah masing-masing.
2) Dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
khususnya Desa Siaga Aktif pada tingkat provinsi, kabupaten sampai
tingkat desa/kelurahan.
1.5.2 Metodologis
Penelitian ini memberikan rujukan tentang bagaimana menganalisis
kebijakan untuk mendukung upaya Pemerintah Pusat dalam pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan khususnya pelaksanaan program Desa
Siaga Aktif bagi Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya analisis
kebijakan ini, Pemerintah Daerah dapat lebih bersinergis dan mendukung
upaya Pemerintah Pusat agar target pembangunan manusia dapat tercapai
khususnya di bidang kesehatan dengan memanfaatkan kerjasama lintas
sektor dan lintas program.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali secara
mendalam mengenai implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif. Data yang
digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari
informan melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh
dari telaah dokumen.
Penelitian ini melingkupi:

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


a) Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam mendukung upaya
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya kebijakan Desa
Siaga Aktif.
b) Proses komunikasi dalam penyampaian kebijakan atau program Desa
Siaga Aktif dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.
c) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat khususnya program Desa Siaga Aktif.
d) Unsur-unsur yang terlibat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
e) Telaah kebijakan dasar pembagian kewenangan dan urusan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah khususnya di bidang
kesehatan.
f) Capaian pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya
program Desa Siaga Aktif di tingkat nasional maupun daerah.
g) Kendala dan strategi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
mengimplementasikan kebijakan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil Provinsi Jawa Barat


sebagai target penelitian dengan melibatkan satu kabupaten terpilih sebagai
studi kasus dengan kriteria pelaksanaan desa siaga aktif yang masih berjalan
sampai saat ini yaitu Kabupaten Sumedang.
Kabupaten Sumedang terpilih karena masih memiliki Desa Siaga
Aktif dan mendapatkan penghargaan Siaga Award pada Tahun 2009 dan
beberapa penghargaan lainnya dalam bidang kesehatan sampai pada tahun
2013. Selain itu, Sumedang memiliki desa yang menjadi rujukan dalam
pengimplementasian Desa Siaga Aktif.
Selain itu, peneliti mengambil dua desa dan dua puskesmas sebagai
proyeksi gambaran pelaksanaan desa siaga aktif di Kabupaten Sumedang.
Dari dua desa yang terpilih, salah satu desa menjadi percontohan penerapan
desa siaga aktif di lingkungan Kabupaten Sumedang dan pada lingkungan
kerja salah satu puskesmas yang menjadi informan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Kebijakan merupakan intervensi pemerintah dan publik untuk
mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung
proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan publik, menurut Brooks,
adalah kerangka kerja yang luas terhadap ide-ide dan nilai-nilai dimana
keputusan diambil dan bertindak, atau tidak bertindak, yang dilakukan oleh
Pemerintah dalam kaitannya dengan beberapa isu atau masalah (Smith,
2003, p. 5).
Kebijakan publik adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang untuk mengatasi masalah publik, sehingga diharapkan
tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan
publik adalah suatu peraturan atau ketentuan yang diharapkan dapat
mengatasi masalah publik. Terkadang term kebijakan disamakan dengan
kebijakan publik.
Salah satu definisi lain mengenai kebijakan publik diberikan oleh
Robert Eyestone yang mengemukakan bahwa ‘secara luas’ kebijakan publik
merupakan ‘hubungan suatu unit Pemerintah dengan lingkungannya’. Carl
Friedrich memandang bahwa kebijakan publik merupakan suatu arah
tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-
peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan
mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
sasaran atau maksud tertentu. Batasan lagi dikemukakan oleh Thomas R.
Dye yang mengatakan ‘kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh
Pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan’ (Winarno, 2012, p. 20).
Dengan mengacu pada pandangan Dye, maka keputusan-keputusan
Pemerintah adalah kebijakan, namun membiarkan sesuatu tanpa ada
keputusan merupakan kebijakan juga. Kebijakan publik pada dasarnya tidak

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


permanen, tetapi harus selalu disesuaikan karena adanya perubahan
keadaan, baik masalah politik, sosial, ekonomi, maupun adanya informasi
yang berubah. Perubahan dalam kebijakan publik dengan demikian adalah
dinamis mengikuti perubahan yang didorong oleh perubahan lingkungan
diluar maupun dari dalam organisasi publik tersebut. Dengan berbagai
definisi kebijakan tersebut, dapat diambil batasan bahwa kebijakan
merupakan suatu tindakan yang diambil oleh orang tertentu (perseorangan,
kelompok maupun pemerintah) dalam menangani masalah tertentu dengan
sasaran/cara-cara tertentu.
2.1.2 Kebijakan Kesehatan
Kebijakan publik merupakan keputusan yang dibuat oleh legislatif,
eksekutif, dan yudikatif maupun cabangnya dari sebuah lembaga
Pemerintahan (Longest, 2001, p. 12). Keputusan ini dapat disusun dengan
tujuan secara langsung atau mempengaruhi aksi, perilaku dan keputusan
orang lain, baik masih dalam level Pemerintahan maupun swasta.
Jika kebijakan publik bersinggungan dengan sektor kesehatan serta
mempengaruhinya, maka secara tidak langsung kebijakan tersebut
merupakan kebijakan kesehatan. Secara umum, kebijakan kesehatan dapat
mempengaruhi individu maupun masyarakat dalam berbagai level tingkat
ekonomi dan sosial, organisasi, layanan kesehatan, tenaga kerja kesehatan,
serta produsen teknologi dan alat kesehatan (Longest, 2001, p. 12). Walt
berpendapat bahwa kebijakan kesehatan memiliki kesamaan dengan politik
dan secara eksplisit dengan orang yang berpengaruh terhadap kebijakan
politik, dan kebijakan kesehatan tidak dapat lepas dari politik (Walt, et al.,
2005, pp. 6-7).
Secara politis, kebijakan publik terpengaruh oleh kondisi politik dari
suatu daerah atau Negara. Hal ini dapat diidentifikasi dari proses formulasi
sebuah kebijakan, entah dengan tujuan untuk mengakomodir kepentingan
politik tertentu, perbantuan orang politik dalam penyusunan atau secara
langsung kebijakan tersebut berasal dari organisasi politik (Longest, 2001,
p. 33). Bahkan organisai politik bisa saja mempengaruhi pada tahap

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


implementasi dengan cara memfokuskan dan mengawal implementasi
kebijakan tersebut.
Kebijakan kesehatan dalam perspektif Pemerintah dilakukan dalam
rangka meningkatkan status kesehatan atau memfasilitasi upaya kesehatan
dengan mendorong masyarakat sebagai sentralnya. Sehingga kebijakan
kesehatan disusun berdasarkan adanya kebutuhan masyarakat terhadap
pengaturan yang jelas dan tertulis terhadap suatu isu atau konteks tertentu
sebagai bentuk upaya kesehatan (Longest, 2001, p. 20).
Pada tatanan implementasi, sebuah penelitian memberikan
gambaran bahwa adanya yang mempengaruhi kebijakan daerah yaitu
sasaran, finansial dan informasi lain yang memiliki peranan penting dalam
pengambilan keputusan (Evans, et al., 2013, p. 6). Selanjutnya informasi
lokal merupakan sumber yang relevan dalam pengembangan kebijakan
lokal yang tepat, sehingga jika ingin mengatasi masalah kesehatan daerah
diperlukan sikap pro-aktif Pemerintah Daerah dalam penyusunan agenda
dan aksi strategis, bukan dari kebijakan nasional yang seringkali terkesan
“dipaksakan”.
2.1.3 Tahapan Kebijakan
Proses pembuatan sebuah kebijakan merupakan suatu proses yang
kompleks yang melibatkan banyak proses maupun variable yang harus
dikaji. Oleh karena itu beberap ahli politik yang menaruh minat untuk
mengkaji kebijakan public membagi proses-proses penyusunan kebijakan
public kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk
memudahkan di dalam mengkaji kebijakan public. Tahap-tahap kebijakan
publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut (Winarno, 2012, pp.
35-37):

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Gambar 2.1 Tahapan Pembuatan Kebijakan Menurut William Dunn

Penyusunan Agenda

Formulasi
Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi
Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
public. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu
untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa
masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini
suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang
lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena
alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternative atau pilihan kebijakan. Pada tahap
ini, masing-masing actor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan
masalah terbaik.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para


perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternative kebijakan
tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus
antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan
program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecahan harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Pada tahap implementasi
ini berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa mungkin akan
mendapatkan dukungan dan mungkin saja mendapat pertentangan.
Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dibuat mampu
memecahkan masalah yang menjadi fokus kebijakan. Oleh karena itu,
ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk
menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak yang diinginkan.
2.1.4 Model Implementasi Kebijakan
Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan public akan sangat
besar sekali manfaatnya. Alasannya yaitu karena kebijakan public
merupakan proses yang kompleks. Dengan adanya model analisis kebijakan
public, seperti misalnya model implementasi kebijakan, maka kita akan
lebih mudah untuk memilah-milah proses-proses implementasi kebijakan
ke dalam elemen-elemen implementasi yang lebih sederhana. Hal ini akan
sangat berguna untuk melihat variable-variabel apa saja yang berpangaruh
dalam proses implementasi. Kedua, karena sifat alamiah manusia yang tidak
mampu memahami realitas yang kompleks tanpa menyederhanakan terlebih
dahulu, maka peran model

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2.1.4.1 Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III
Model pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan oleh George C.
Edwards III adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya (Winarno, 2012, p. 177). Jika suatu kebijakan tidak tepat
atau tidak mengatasi masalah yang menjadi sasarannya, maka kebijakan
tersebut dikatakan telah gagal walaupun dilaksanakan dengan sangat baik.
Sebaliknya, apabila kebijakan tersebut telah direncanakan dengan baik,
namun dalam hal teknis pelaksaannya ternyata tidak dapat berjalan
maksimal, maka hal ini akan berdampak pula pada kebijakan keseluruhan
dan dapat dikatakan telah gagal.
Menurut Edwards III, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi dalam
implementasi kebijakan. Faktor tersebut Antara lain: komunikasi, sumber-
sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku, dan struktur
birokrasi. Keempat variable ini saling berkaitan satu sama lain, dan tidak
ada variable yang mencolok sehingga secara tunggal mempengaruhi.

Gambar 2.2 Model Implementasi Menurut Edwards III

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi

Disposisi/
kecenderungan

Struktur Birokrasi

Sumber: Winarno, 2012, p.211


1) Komunikasi
Terdapat 3 hal penting yang proses komunikasi kebijakan yaitu,
transmisi, konsistensi dan kejelasan. Pada aspek transmisi, mereka yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang akan dilakukan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


sehingga kebijakan tersebut dapat diteruskan kembali sampai kepada
personil yang tepat. Agar kebijakan tersebut dapat dipahami, maka perlu
adanya suatu petunjuk pelaksanaan. Dengan adanya petunjuk tersebut,
para personil akan lebih mengerti dan tidak ada kebingungan serta
multitafsir terhadap kebijakan tersebut.
Walaupun demikian, pada proses transmisi masih terdapat
hambatan-hambatan. Pertama, masih adanya pertentangan pendapat
Antara pelaksana dan pembuat kebijakan, karena pelaksana bisa saja
tidak melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik berkaitan dengan
kesadaran pelaksanan sendiri dalam melaksanakan keputusan. Kedua,
informasi yang harus disampaikan masih dan harus melalui proses
birokrasi. Adanya birokrasi terkadang akan mempersulit kebijakan
tersebut sampai dan terlaksana, bahkan mungkin tidak menutup
kemungkinan salah tafsir atau salah komunikasi. Hal ini karena tidak
adanya komunikasi langsung sehingga distorsi tersebut masih ada.
Ketiga, adanya persepsi pada para pelaksana terhadap kebijakan bisa
saja mempengaruhi pelaksanaan kebijakan atau keputusan. Persepsi ini
tentunya bisa bersifat negative maupun positif, tergantung pelaksana.
Aspek selanjutnya adalah kejelasan. Jika kebijakan
diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk tidak
hanya menjadi satu-satunya yang menjadi penjelas akan tetapi
komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Kebanyakan instruksi
tersebut sering kabur dan tidak jelas pesannya dan hal ini akan
mendorong kepada interpretasi yang salah bahkan bertentangan. Akan
tetapi, kejelasan tidak harus selalu menghambat komunikasi kebijakan,
terkadang pesan tersebut harus fleksibel agar dapat disesuaikan dengan
pelaksana di lapangan dan pembuat kebijakan cukup dengan membuat
garis besarnya saja.
Konsistensi adalah faktor ketiga yang berpengaruh terhadap
komunikasi kebijakan. Penyampaian kebijakan haruslah konsisten dan
jelas. Kedua unsur ini harus dipenuhi, agar tidak ada pertentangan di
dalam pelaksanaan. Perintah implementasi kebijakan yang tidak

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


konsisten akan cenderung membuat para pelaksana ‘longgar’ di dalam
menafsirkan dan melaksanakannya. Jika hal ini terjadi, maka kebijakan
tersebut tidak akan efektif lagi.
2) Sumber-Sumber
Perintah implementasi mungkin dapat diteruskan dengan transmisi
yang jelas dan konsisten. Akan tetapi dalam pelaksanaan kebijakan
tersebut, dibutuhkan sumber-sumber sebagai alat yang penting. Sumber-
sumber yang dimaksud meliputi: staf, informasi, wewenang dan
fasilitas.
Staf disini ialah orang yang ahli dan professional untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka. Banyak staf tidak menutup
kemungkinan implementasi tersebut akan gagal, tergantung dari kualitas
staf tersebut, apakah terampil dalam melaksanakan tugasnya atau tidak,
memiliki pengetahuan yang luas atau tidak. Disinilah permasalah
birokrasi di Indonesia, banyak staf namun tidak banyak yang ahli dan
professional di bidangnya.
Informasi, merupakan bagian kedua terpenting sebagai sumber
pelaksanaan kebijakan. Informasi ini melingkupi dua kategori,
informasi bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan dan informasi
mengenai ketaatan pelaksana terhadap kebijakan. Hal ini akan
mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung bagaimana
kebijakan tersebut diimplementasikan. Ketidakhadiran informasi
sebagai aspek penting akan menghilangkan efektifitas dalam sosialisasi
kebijakan kepada masyarakat atau para pelaksana sehingga kebijakan
yang baru saja atau telah disusun dalam jangka waktu lama tanpa adanya
distribusi informasi kepada seluruh sasaran kebijakan, maka kebijakan
tersebut akan tidak efektif dan efisien.
Sumber penting lainnya adalah wewenang. Kewenangan ini
tentunya akan berbeda-beda pada setiap level birokrasi, program dan
lembaga. Namun dalam praktiknya, wewenang dapat saja berjalan
secara efektif maupun tidak. Kurangnya wewenang yang efektif disadari
karena kurangnya kerjasama dengan pelaksana kebijakan lain. Sehingga

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


dalam hal ini pejabat atau pelaksanan dari yurisdiksi tinggi perlu
mengadakan diskusi dengan mereka yang berada di yurisdiksi rendah
agar kebijakan dapat diimplementasikan bahkan dimodifikasi kembali
sesuai dengan kebutuhan dan saran dari yurisdiksi rendah.
Ketidakadekuatan para pelaksanan di yurisdiksi lebih tinggi untuk
melakukan jajak pendapat dan evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya,
menjadi salah satu faktor penghambat dan penentu efektifitas-efisien
kebijakan tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak selalu menjadi mutlak
untuk dilakukan, karena bisa saja pelaksana dari yurisdiksi rendah tidak
memahami dan mengetahui dengan benar kondisi daerah yurisdiksinya.
Terakhir, sumber penting lainnya adalah fasilitas. Walaupun
memiliki staf yang ahli dan professional, informasi yang adekuat,
namun tidak diiringi dengan fasilitas yang mendukung, tetap saja
kebijakan tersebut tidak akan efektif terlaksana. Para pelaksana pun
membutuhkan fasilitas agar dapat menunjang aktifitasnya. Contohnya
saja, untuk meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil ke fasyankes,
maka setidaknya perlu adanya fasilitas yang memadai dan tersebar
secara merata di setiap daerah. Walau kelihatannya kecil, akan tetapi
dalam pelaksanaannya tidak selalu mudah.
3) Kecenderungan-Kecenderungan
Maksud dari kecenderungan ini adalah sifat dan sikap dari para
pelaksana dan pejabat terhadap suatu kebijakan. Terkadang ada pejabat
atau pelaksana yang bersifat acuh terhadap kebijakan yang sudah dibuat,
hal ini karena adanya kepentingan entah dari dirinya, kelompok maupun
organisasinya. Bisa saja karena adanya ketidakcocokan sehingga timbul
ketidakacuhan ini, ataupun merasa dirinya lebih baik dan tidak perlu
untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Walaupun demikian, tidak
semua kecenderungan ini bersifat negative, dan tergantung kepada
pelaksana kebijakan.
4) Struktur Birokrasi
Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa
yang dilakukan dam mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin mereka
masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka
menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards III, ada dua
karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja
ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standar Operating
Procedure (SOP) dan fragmentasi. SOP berkembang sebagai tanggapan
internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para
pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya
organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Fragmentasi
berasal dari terutama dari tekanan dari luar unit birokrasi, seperti komite
legislatif, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi Negara
dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi Pemerintah
(Winarno, 2012, p. 206).
SOP merupakan aspek structural paling mendasar dalam suatu
organisasi. SOP berfungsi sebagai penyeragaman tindakan dari pejabat
dalam organisasi sehingga dapat menerapkan peraturan-peraturan
dengan baik. SOP dapat saja bersifat menghambat jika hal tersebut
dibuat pada masa lampau dan tidak dilakukan revisi sesuai dengan
kondisi yang dihadapi sekarang. Sehingga dampaknya adalah
pelaksanaan kebijakan tidak dilakukan secara maksimal bahkan tidak
dapat diimplementasikan karena bertentangan dengan SOP ataupun
karena program baru yang tidak dapat mengikuti kondisi pada suatu
lembaga. Namun demikian, SOP juga memiliki manfaat, yaitu dengan
adanya SOP perusahaan ataupun lembaga dapat luwes dan memiliki
control besar terhadap program.
Selanjutnya adalah fragmentasi yang merupakan penyebaran
tanggung jawab dan kekuasaan pada suatu organisasi. Fragmentasi
mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak
lembaga birokrasi. Hal ini menimbulkan dua konsekuensi pokok yang
merugikan bagi implementasi. Pertama, tidak ada orang yang akan
mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-
fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


menjadi terpecah-pecah. Di samping itu, karena masing-masing badan
mempunyai yurisdiksi yang terbatas, atas suatu bidang, maka tugas-
tugas yang penting mungkin akan terdampar Antara retak-retak struktur
organisasi. Kedua, pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan
mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan
mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan
itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan
akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan
perubahan (Winarno, 2012, p. 210).
2.1.4.2 Model Implementasi Kebijakan Menurut van Horn dan van Meter
Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan mendorong adanya aksi dari individu maupun kelompok
pemerintah dan swasta yang mengarah terhadap pencapaian tujuan dari
setiap keputusan kebijakan (Hill & Hupe, 2002). Model yang dikemukakan
oleh van Horn dan van Meter ini tidak dimaksudkan untuk mengukur dan
menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tapi untuk
mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan dengan pencapaian
program. Walaupun demikian, tetap dalam prosesnya ada variabel-variabel
yang saling berhubungan dan saling terkait terhadap implementasi program.
Variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
Menurut van Horn dan van Meter, identifikasi indikator-indikator
kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi
kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-
ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran
dasar dan tujuan ini berguna dalam menguraikan tujuan keputusan
kebijakan secara menyeluruh, dan merupakan bukti yang dapat diukur
dengan mudah. Akan tetapi dalam beberapa kasus, terdapat kesulitan
dalam mengidentifikasi dan mengukur kinerja. Hal ini disebabkan oleh
dua faktor, pertama mungkin disebabkan oleh program yang terlalu
luas dan sifat tujuan yang kompleks, kedua mungkin akibat dari

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kekaburan dan kontradiksi dalam pernyataan ukuran dasar dan tujuan
(Winarno, 2012, p. 159).
2) Sumber-sumber kebijakan
Sumber-sumber yang dimaksud disini mencakup dana atau insentif
lain yang mendorong dan memperlancar implementasi kebijakan.
Tanpa adanya sumber ini, sebuah program seringkali terhambat pada
awal implementasi, pertengahan, bahkan bisa saja pada tahap terminasi.
3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Menurut van Horn dan van Meter, komunikasi merupakan variabel
yang penting dalam menyampaikan ukuran dasar dan tujuan sebuah
kebijakan agar dapat disosialisasikan secara luas dan tanpa adanya
interpretasi-interpretasi yang beragam. Oleh karenanya, diperlukan
komunikasi yang tepat, jelas dan konsistensi dalam
mengkomunikasikan semuanya.
Masih menurut van Horn dan van Meter, Pemerintah Pusat dan
daerah dapat bekerjasama dalam hal perbantuan pendanaan demi
kelancaran program bersama. Selain itu, peran Pemerintah Daerah
sangat penting dalam menjalankan fungsi pengawasan dan evaluasi
program yang telah dilaksanakan, pemeriksaan anggaran dan laporan.
4) Karakteristik-karakteristik badan pelaksana
Karakteristik badan-badan administratif, menurut para peminat
politik dapat mempengaruhi pencapaian kebijakan, salah satunya adalah
struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-
karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam badang-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki
dengan menjalankan kebijakan.
5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Identifikasi yang dilakukan oleh Van Horn dan Van Meter,
menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat
mempengaruhi implementasi kebijakan-kebijakan. Faktor ini melingkupi

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


karakteristik lingkungan ataupun kondisi yang secara langsung dan tidak
langsung mempengaruhi badan-badan pelaksana.
6) Kecenderungan pelaksana
Van Horn dan van Meter berpendapat bahwa setiap komponen dari
model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi
pelaksana dalam yurisdiksi dimana kebijakan tersebut dihasilkan.
Kecenderungan pelaksana ini terkait dengan sikap pelaksana terhadap
kebijakan tersebut, apakah menerima, netral ataupun menunjukkan
penolakan.

Gambar 2.3 Model Proses Implementasi Kebijakan Menurut van Horn dan van
Meter

Ukuran-ukuran Komunikasi antar organisasi


dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan
Dasar dan tujuan
Kinerja
Karakteristik badan pelaksana Kecenderungan pelaksana
Kebijakan

Sumber-sumber Kondisi sosial ekonomi

Sumber: (Hill & Hupe, 2002, p. 47)

2.1.5 Analisis Kebijakan


Kebijakan Publik (Public Policy) meliputi dua dimensi: yakni proses
kebijakan (policy process), dan analisis kebijakan (policy analysis) (LAN
RI, 2008, pp. 37-38). Dimensi pertama, proses kebijakan, mengkaji proses
penyusunan kebijakan mulai dari identifikasi dan perumusan masalah,
implementasi kebijakan, monitoring kebijakan serta evaluasi kebijakan.
Sedangkan, dimensi kedua, analisis kebijakan, meliputi penerapan metode
dan teknik analisisyang bersifat multidisiplin dalam proses kebijakan.
Analisis kebijakan, tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja,
akan tetapi terkait dengan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu
pendekatannya adalah multidisiplin, yaitu penerapan dari berbagai metode
dan teknik analisis dari berbagai disiplin ilmu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Menurut William N. Dunn, analisis kebijakan publik adalah
aktivitas intelektual dan praktis menggunakan berbagai metode pengkajian
multipel argumentasi dan debat politk yang ditujukan untuk menciptakan,
secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan
dalam proses kebijakan (Dwidjowijoto, 2007, pp. 7-8). Sedangkan menurut
Patton dan Savicky analisis kebijakan adalah suatu evaluasi sistematis
berkenaan dengan visibilitas teknis dan ekonomi serta viabilitas politis
alternatif kebijakan, strategi implementasi kebijakan, dan adopsi kebijakan.
Analisis kebijakan yang baik mengintegrasikan informasi kualitatif dan
kuantitatif, mendekati permasalahan dari berbagai perspektif, dan
menggunakan metode yang sesuai untuk menguji visibilitas opsi-opsi yang
ditawarkan (Dwidjowijoto, 2007, p. 63).
Tujuan dari analisis kebijakan adalah memberikan informasi kepada
pembuat kebijakan, yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-
masalah masyarakat. Di samping itu, analisis kebijakan juga bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dengan
mengevaluasi kebijakan yang sebelumnya dikeluarkan dengan memakai
metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Gordon, Lewis, and Gunn (Wayne Parsons), mengemukakan adanya
macam analisis kebijakan (LAN RI, 2008, pp. 42-43), seperti yang terlihat
pada bagan di bawah ini:
Gambar 2.4 Dimensi Analisis Kebijakan

Analysis of Policy Analysis for Policy

Analysis of Policy Analysis of Policy Policy of Information of Policy Advocay


Determination Content Monitoring and Policy
Evaluation
Sumber: Gordon, Lewis, and Gunn (Wayne Parsons) di dalam LAN RI (2008, pp. 42-43)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Analysis of Policy, meliputi:

1) Policy Determination, yaitu analisis yang berkaitan dengan bagaimana


kebijakan itu dibuat mengapa dibuat, kapan dibuat, dan untuk siapa
dibuat (how, when, for whom).
2) Policy Content, yaitu terkait dengan deskripsi suatu kebijakan tertentu,
dan bagaimana kebijakan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan
kebijakan-kebijakan lain yang telah lalu.
3) Policy Monitoring and Evaluation, meliputi:
a) Policy Monitoring, yaitu mengkaji bagaimana kebijakan itu
diimplementasikan, dikaitkan dengan tujuan kebijakan,
b) Policy Evaluation, yaitu apa dampak kebijakan tersebut terhadap
permasalahan tertentu.

Analysis for Policy, meliputi:

1) Policy Advocacy, yaitu terkait dengan riset dan argumen yang bertujuan
untuk mempengaruhi policy agenda, baik diluar maupun didalam
Pemerintah.
2) Information for Policy, yaitu suatu bentuk analisis yang ditujukan
untuk mendukung kegiatan pembuatan kebijakan dalam bentuk hasil
penelitian.
2.2 Desentralisasi
Konsep desentralisasi telah berubah secara bertahap selama seperempat
abad dalam kaitannya dengan pemerintahan. Desentralisasi didefinisikan
sebagai pemindahan otoritas, tanggung jawab dan sumberdaya melalui
mekanisme dekosentrasi, delegasi ataupun peralihan, dari pusat ke administrasi
bagian bawah atau daerah (Rondinelli, 1983). Konsep pemerintahan telah
berkembang tidak hanya dalam lingkungan pemerintah tetapi juga institusi
social termasuk sector swasta dan asosiasi public. Saat ini desentralisasi tidak
hanya transfer of power, otoritas dan tanggung jawab sesama pemerintah (baik
pusat maupun daerah) tetapi juga sharing otoritas dan sumber daya untuk
menajamkan kebijakan public terhadap masyarakat. (Cheema & Rodinelli,
2007, p. 6).

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Tabel 2.1 Kategori Desentralisasi menurut tujuan dan instrumen
No Kategori Desentralisasi Lingkup
1 Desentralisasi Administrasi Dekosentrasi struktur pemerintahan
pusat dan birokrasi; delegasi otoritas
dan tanggung jawab pemerintah
pusat kepada badan semiotonom
pemerintah; desentralisasi kooperasi
badan pemerintah dalam
menjalankan fungsinya seperti
duplikasi struktur.
2 Desentralisasi politik Desentralisasi organisasi dan
prosedur untuk meningkatkan
partisipasi public dalam memilih
representasi politik dan pembuatan
kebijakan public; perubahan dalam
struktur kepemerintahan lewat
peralihan kekuatan dan otoritas
kepada unit pemerintahan local;
power-sharing institusi dalam
bentuk negaran federal, federasi
konstitusi ataupun wilayah otonomi;
adanya institusi dan prosedur yang
membolehkan masyarakat terlibat
dalam pembuatan kebijakan dengan
tujuan penyediaan layanan social dan
mobilisasi social dan sumber daya
finansial untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan politik
3 Desentralisasi Fiskal Pengertian dan mekanisme kooperasi
fiscal dalam sharing pendapatan
diantara semua level pemerintahan;

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


No Kategori Desentralisasi Lingkup
delegasi fiscal dalam peningkatan
pendapatan publik dan alokasi
pengeluaran; otonomi fiscal untuk
pusat, regional dan pemerintah
daerah.
4 Desentralisasi ekonomi Termasuk liberalisasi pasar,
deregulasi, privatisasi perusahaan
pemerintah, dan public-private
partnership
Sumber: (Cheema & Rodinelli, 2007, p. 7)

Sebagai bentuk dan konsep dari desentralisasi yang menjadi bermacam-


macam, begitu pula hal ini terjadi pada tujuan yang dibawanya. Banyak yang
berargumentasi bahwa konsep desentralisasi dapat memperepat pengembangan
ekonomi meningkatkan akuntabilitas politk, menambah parisipasi public
dalam pemerintahan, dan dapat membantu mengurangi bottleneck hirarki
birokrasi dan membantu pegawai pemerintah daerah dan sector privat
memotong kompleksitas prosedur dan mendapatkan pengambilan keputusan
serta dapat diimplementasikan secara cepat. Desentralisasi seharusnya dapat
meingkatkan sumber daya finansial bagi pemerintah daerah dan menyediakan
fleksibilitas untuk merespon secara efektif kebutuhan dan permintaan
daerahnya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
yang bertujuan membentuk Pemerintahan yang baik dan demokratis seperti
disebutkan pada ketentuan umum, pasal 1 ayat 6, menjelaskan tentang
desentralisasi; ‘penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi’. Oleh karena itu, dianutnya
sistem desentralisasi dalam NKRI bertujuan untuk mewujudkan asas
demokrasi. Mengutip pendapat Chaidir dalam Hardinata (2010), menyebutkan
bahwa dalam konteks desentralisasi menjelaskan otonomi daerah menjadi
suatu hal yang penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kewenangan yang besar kepada daerah. Tapi dengan otonomi proses
pembangunan akan menjadi lebih terarah dan tepat sasaran (Hardinata, 2010,
p. 39).
Desentralisasi secara konsep merupakan penyerahan otoritas dan fungsi
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah yang berada di tingkat lain yang
secara yurisdiksi masih bagian integral dari Pemerintahan nasional. Otoritas ini
diberikan salah satunya kepada Pemerintah Daerah dalam menjalankan urusan
daerah dan segala aktivitas ekonomi masyarakatnya. Secara garis besar, konsep
desentralisasi berhubungan dengan transfer kekuasaan dan kewenangan dari
level Pemerintahan yang tinggi kepada yang lebih rendah dalam suatu sistem
Pemerintahan (Abdullah, 2005, p. 58).
Abdullah mengutip Steve Leich berpendapat bahwa desentralisasi
dianggap sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi yang begitu besar
dimana Pemerintah Daerah diharapkan lebih responsif dibandingkan
Pemerintah Pusat terhadap berbagai kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini
sejalan dengan mainstream pendapat Musgrave sebagaimana dikutip Abdullah
yang berargumen bahwa tingkat Pemerintahan yang lebih rendah ternyata lebih
sensitif kepada preferensi individual untuk penyediaan public goods daripada
tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi (Abdullah, 2005, p. 61).
Pendekatan lain terhadap konsep desentralisasi adalah pendekatan neo
clasical approach sebagaimana dikutip oleh Abdullah dari Roy yang
menghasilkan dua asumsi tentang desentralisasi. Asumsi pertama adalah
penerimaan bahwa pilihan Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan
adalah pilihan yang terdekat dengan pilihan individual/masyarakat
dibandingkan pilihan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Asumsi kedua adalah
pengambilan keputusan yang terdesentralisasi ternyata sangat lebih baik jika
preferensi masyarakat sama (Abdullah, 2005, p. 61). Hal ini dimungkinkan
karena kedekatan secara fisik dan emosional yang terjadi diantara Pemerintah
Daerah dan masyarakat daerah tersebut sehingga keputusan yang dibuat dapat
mencerminkan kebutuhan yang sebenarnya.
Berdasar pada studi yang dilakukan Hommes dalam Abdullah (2005)
yang menyatakan bahwa desentralisasi ternyata menuntut lebih banyak proses

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


sentralisasi dan kemampuan politik yang canggih di tingkat pusat (Abdullah,
2005, p. 61). Sejalan dengan pendapat Tendler dalam Abdullah (2005)
berkesimpulan bahwa peningkatan kompetensi daerah ternyata tidak
sepenuhnya merupakan hasil dari proses desentralisasi termasuk kolaborasi
dari tiga cara dinamis diantara Pemerintah Daerah, civil society dan sebuah
Pemerintah Pusat yang aktif. Nuansa paradox desentralisasi ini dapat
tergambar dari betapa kuatnya intervensi Pemerintah Pusat sebagai aktor dalam
proses implementasi kebijakan otonmi daerah di Indonesia. Judit Tendler
mengemukakan bahwa “the more the government desentralise the policy, the
more the government centralize it” atau semakin Pemerintah mendesentraliasi
sistem Pemerintahannya namun yang terjadi adalah semakin Pemerintah
mensetralisasi kebijakannya (Abdullah, 2005, p. 62). Jadi yang terjadi adalah
paradoks atau berbanding terbalik, disebabkan peranan Pemerintah Pusat yang
lebih dominan dibandingkan Pemerintah Daerah dan aktor-aktor lain yang
sebetulnya relevan dengan kebijakan tersebut. Menyimak kondisi tersebut
maka dapat dikatakan bahwa “centralization comes first before
desentralization step” atau sentralisasi menjadi prioritas utama sebelum
langkah desentralisasi.
Hal yang sama juga terjadi di indonesia pada masa orde baru dengan
prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab sebagaimana disampaikan
Hoessein: “Pengarahan yang intensif dari Pemerintah Daerah kurang memiliki
gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan yang
bertalian dengan Pemerintahan yang diembannya” (Hoessein, 2009).
Terkait dengan hal tersebut Hoessein juga berpendapat bahwa
pembahasan mengenai desentralisasi selalu terkait dengan sentralisasi.
Menurut Hoessein, sentraliasi dan desentralisasi tidak ditempatkan pada kutub
yang berlawanan, tetapi ditempatkan dalam suatu rangkaian kesatuan
(continuum).
Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan
Pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta
penghalusannya dekosentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan
Pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara
desenralisasi. Urusan Pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan Pemerintahan yang
mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)
diselenggarakan secara desentralisasi (Hoessein, 2002).

Dalam bukunya Hoessein menegaskan bahwa desentralisasi adalah


pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang Pemerintahan
tertentu kepadanya oleh Pemerintah. Oleh karena itu, desentralisasi
mempunyai dua pengertian, yaitu (1) desentralisasi merupakan pembentukan
daerah otonom dan penyerahan wewenang Pemerintahan tertentu kepadanya
oleh Pemerintah dan (2) desentralisasi dapat pula berarti penyerahan
wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh
Pemerintah. Daerah otonom atau kerap kali disingkat “Daerah” bukanlah
daerah dalam bahasa percakapan, tetapi merupakan istilah teknis yuridis
(Hoessein, 2009).
Secara yuridis daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah (tertentu) berwenang untuk mengatur
(menetapkan kebijakan) dan mengurus (melaksanakan kebijakan) berbagai
urusan Pemerintahan berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan kondisi
dan potensi masyarakat yang bersangkutan. Wewenang mengatur dan
mengurus disebut otonomi daerah.

Sedangkan Safri Nugraha dalam bukunya menyebutkan bahwa


sentralisasi dan desentralisasi tidak dapat dijalankan salah satu, melainkan
harus bersama-sama (Nugraha, 2007). Karena bagaimanapun desentralisasi
merupakan bagian sentralisasi.

Suatu Negara yang menganut asas desentralisasi tidak berarti Negara


tersebut tidak menganut asas sentralisasi dan atau dekonsentrasi.
Pelaksanaan kedua asas tersebut (sentralisasi-desentralisasi) tidak bisa
dipilih salah satu, tetapi dilaksanakan secara bersama-sama atau kontinum,
bukan dikotomis (mempertentangkan). Pilihan salah satu melaksanakan
desentralisasi secara penuh akan berakibat pada disintegrasi dari Negara
tersebut. Pemberian desentralisasi pemerintahan kepada daerah harus
diikuti dengan pembinaan dan pengawasan, karena sesungguhnya daerah
yang diberikan desentralisasi tersebut tetap merupakan bagian dari Negara
pemberi, yang diberikan hanya sebagian kewenangan pemerintahan dan
bukan kedaulatan Negara.
Sentralisasi lebih mencerminkan kepada pendekatan Negara dan bangsa
sebagai refleksi konsep Negara kesatuan (NKRI). Sementara itu
desentralisasi merupakan pendekatan yang mempresentasikan kepada

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kemajemukan masyarakat (Bhinneka tunggal ika) serta sekaligus pula
sebagai wacana pendidikan politik berdemokrasi.
Penyerahan wewenang dalam konsep desentralisasi mengandung makna
yang berbeda dengan istilah “pelimpahan wewenang” dalam konsep
desentralisasi, Dalam penyerahan wewenang, wewenang diserahkan
mencakup baik wewenang untuk menetapkan kebijakan maupun wewenang
untuk melaksanakan kebijakan, sedangkan dalam pelimpahan wewenang,
wewenang yang dilimpahkan terbatas hanya pada wewenang untuk
melaksanakan kebijakan. Pembagian urusan Pemerintahan merupakan
tindaklanjut dari desentralisasi, hal ini dilakukan dengan penyerahan tugas atau
urusan kepada Pemerintah tingkat bawah yang lazimnya berdasarkan pada
undang-undang dasar dan penyerahannya dilakukan dengan undang-undang
(Hoessein, 2009).
Pengaturan mengenai desentralisasi tidak bisa dilepaskan dari
sentralisasi seperti yang disampaikan oleh pakar diatas. Pada tataran daerah hal
ini dapat menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya. Walaupun telah
ada ‘aturan main’ dalam bentuk peraturan perundang-undangan diberbagai
tingkatan, hal ini kerap menjadi masalah baik di Pemerintah sendiri mapun di
daerah karena pemahaman yang berbeda terhadap urusan-urusan yang sudah
di desentralisasikan.
Daerah otonom tidak dapat ‘secara mandiri’ melaksanakan semua urusan
Pemerintahan yang sudah dilimpahkan kepadanya. Pedoman pelaksanaan
urusan Pemerintahan ditetapkan oleh Pemerintah melalui Menteri/Kepala
lembaga negara sesuai jenis urusan Pemerintahannya. Kecuali untuk urusan
Pemerintahan pilihan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Menurut (Dwiyanto, 2005), ada beberapa alasan perlunya Pemerintah
mendesentralisasikan kekuasaan kepada provinsi dan kabupaten/kota:
1) Dari segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan
warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri
maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui
pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Dalam hal ini ada
kesetaraan dan partisipasi politik. Ini juga merupakan media pendidikan
politik untuk belajar berdemokrasi secara nyata.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2) Dari segi manajemen Pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan
efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas publik, terutama dalam
penyediaan pelayanan publik.
3) Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan
kekhususan, keistimewaan, atau kentekstualitas suatu daerah, seperti
geografis, kondisi penduduk, perekonomian, kebudayaan ataupun latar
belakang sejarahnya.
4) Dari segi pembangunan, desentralisasi dapat melancarkan proses
formulasi dan implementasi program pembangunan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan warga. Ketika Pemerintah provinsi atau
kabupaten mempunyai kewenangan untuk merumuskan sekaligus
mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerahnya, maka
kebijakan tersebut akan lebih efektif dibandingkan jika wewenang ini
dipegang oleh Pemerintah Pusat. Mengingat kedudukannya yang beda
di daerah, maka Pemerintah Daerah seharusnya lebih peka terhadap
persoalan dan kebutuhan masyarakat setempat.
5) Dilihat dari kepentingan Pemerintah Pusat sendiri, desentralisasi dapat
mengatasi kelemahan Pemerintah Pusat dalam mengawasi program-
programnya.
6) Dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat
meningkatkan persaingan (perlombaan) antar daerah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong
Pemerintah lokal untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas
pelayanannya kepada warga.
Penelitian ini menggunakan konsep desentralisasi sebagai desentralisasi
territorial. Pada konsep ini, terjadi penyerahan wewenang dari Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk berbagai urusan Pemerintahan.
Urusan Pemerintahan ini yang kemudian akan dijadikan sebagai dasar bagi
daerah untuk mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan.
Kewenangan daerah provinsi dan Kabupaten/kota untuk mengatur dan
mengurus kepentingan daerahnya sendiri (daerah otonom) adalah merupakan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


‘pengakuan negara’ sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 18, jadi bukan semata-mata
merupakan pemberian atau pendelegasian kewenangan dari Pemerintah (pusat)
kepada daerah.
2.3 Desentralisasi Bidang Kesehatan
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah,
disebutkan bahwa daerah memiliki kewajiban dalam urusan tertentu yang
merupakan kekuasaan konkuren. Salah satu kewajiban tersebut adalah bidang
kesehatan. Konsep desentralisasi sebenarnya tidak sepenuhnya dapat berjalan
tanpa ada ‘campur tangan’ Pemerintah Pusat, terutama dalam bantuan alokasi
anggaran, SDM, dan kebijakan.
Dalam lampiran keputusan Menteri Kesehatan Nomor
004/Menkes/SK/I/2003 telah ditetapkan tujuan desentralisasi di bidang
kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan
yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara
memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk
kepentingan daerah dan prioritas nasional (Lampiran Kepmenkes Nomor 828
Tahun 2008).
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah ditetapkan 8 (delapan) kebijakan
desentralisasi bidang kesehatan, yaitu (Lampiran Kepmenkes Nomor 828
Tahun 2008):
1) Desentralisasi bidang kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah,
2) Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan didasarkan kepada otonomi
luas, nyata dan bertanggung jawab,
3) Desentralisasi bidang kesehatan yang luas dan utuh diletakkan di
Kabupaten dan Kota, sedangkan desentralisasi bidang kesehatan di
Provinsi bersifat terbatas,
4) Pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan harus sesuai dengan konstitusi
Negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi Antara pusat dan
daerah serta antar daerah,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


5) Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, Pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi pelaksanaan
pembangunan kesehatan daerah dengan meningkatkan kemampuan daerah
dalam pengembangan sistem kesehatan dan manajemen kesehatan,
6) Desentralisasi bidang kesehatan harus lebih meningkatkan peran dan fungsi
badan legislatif daerah, baik dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan,
maupun fungsi anggaran,
7) Sebagai pelengkap desentralisasi bidang kesehatan, dilaksanakan pula
dekonsentrasi bidang kesehatan yang diletakkan di daerah provinsi sebagai
wilayah administrasi,
8) Untuk mendukung desentralisasi bidang kesehatan, dimungkinkan pula
dilaksanakan tugas pembantuan di bidang kesehatan, khususnya dalam hal
penanggulangan kejadian luar biasa, bencana, dan masalah-masalah
kegawatdaruratan kesehatan lainnya.
2.4 Urusan Pemerintahan
Hingga saat ini belum ada rumusan pengertian urusan Pemerintahan
yang sempurna. Istilah urusan Pemerintahan seringkali digunakan dengan
terminologi yang berbeda-beda, namun pada dasarnya menunjukkan
pengertian yang kurang lebih sama. Phillip Mawbood menggunakan istilah
function dan affairs untuk menujukkan istilah urusan Pemerintahan, sedangkan
B.C Smith menggunakan istilah authority dan power untuk menunjukkan
istilah urusan Pemerintahan.
Menurut Hoessein istilah urusan Pemerintahan terkait dengan
kekuasaan Pemerintahan. Secara garis besar urusan Pemerintahan dibagi dalam
dua kelompok. Pertama, urusan Pemerintahan khusus yang dibidangi oleh
menteri departemen teknis/lembaga Pemerintahan non departemen (LPND).
Kedua, urusan Pemerintahan umum yang berada di luar pengelolaan
departemen teknis/lembaga Pemerintahana non departemen. Lebih lanjut
Hoessein mengatakan bahwa urusan Pemerintahan merupakan penyebutan dari
materi wewenang yang termasuk dalam salah satu dimensi dari wewenang
Pemerintahan. Sementara wewenang Pemerintahan terdiri atas wewenang
politik yaitu wewenang untuk menetapkan keputusan politik (kebijakan) dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


wewenang administratif yaitu wewenang untuk menetapkan keputusan guna
melaksanakan kebijakan.
Dalam rangka distribusi atau penyerahan wewenang (urusan
Pemerintahan), terdapat dua metode yang dipakai sebagaimana dikutip
Hoessein dari Maddick, yaitu open-end arrangement atau cara penyerahan
wewenang Pemerintahan dengan rumusan umum dan cara penyerahan
wewenang ultra-vires doctrine atau dengan rincian. Apabila digunakan cara
pertama, maka daerah otonom berwenang melakukan berbagai fungsi
sepanjang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tidak
termasuk dalam yurisdiksi Pemerintah yang lebih atas. Sebaliknya apabila
digunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian, maka daerah otonom
hanya berwenang melakukan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan dan dirinci
terlebih dahulu oleh Pemerintah.
Pada masa orde baru, urusan Pemerintahan dilaksanakan oleh
Pemerintah melalui instansi vertikal, sehingga kabupaten/kota hanya memiliki
urusan Pemerintahan yang sangat sedikit, kemudian provinsi memiliki urusan
Pemerintahan yang lebih banyak. Sedikitnya urusan tersebut juga berdampak
pada sedikitnya kewenangan daerah otonom untuk melakukan diskresi.
Adanya perubahan politik pada tahun 1998 yang diikuti dengan perubahan
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 menjadi Undang-Undang nomor 22 tahun
1999 kemudian menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan terakhir
yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan Pemerintahan
dilaksanakan oleh daerah otonom dengan pengaturan berasal dari Pemerintah
untuk urusan Pemerintahan yang telah didesentralisasikan. Apapun sebutannya
Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak boleh melalaikan kewajiban ini
karena hal ini jelas tercantum dalam konstitusi. Pemerintah sebagai organisasi
yang menetapkan peraturan dan Pemerintah Daerah sebagai organisasi yang
melaksanakn peraturan tersebut harus bersinergi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan dasar seluruh rakyat Indonesia.
2.5 Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan
Pemberdayaan adalah proses peningkatan prbadi, antar pribadi, atau
kekuasaan politik sehingga individu keluarga, dan masyarakat dapat

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi mereka (Dubois & Miley,
2006). Parson menyatakan pemberdayaan adalah sebuah proses dimana orang
menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupannya
(Suharto, 2005). Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan
potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik
bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya yang
menjadi salah satu strategi dari pembangunan nasional (Hardinata, 2010, p.
41). (Kenyon & Gordon, 2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan area yang dikembangkan secara politik
dan sosial, berfokus terhadap kualitas hidup masyarakat dan kesejahteraan
demokrasi masyarakat. Oleh karena itu, konsep pemberdayaan masyarakat ini
lebih cenderung menggunakan pendekatan bottom-up, karena pada hakikatnya
pemberdayaan masyarakat akan menstimulasi potensi masyarakat
berkembang.
Dengan demikian, pemaknaan pemberdayaan masyarakat dapat
disimpulkan bahwa: (a) pemberdayaan masyarakat hendaknya bukan membuat
masyarakat menjadi tergantung para program-program pemberian (charity),
(b) akan tetapi, setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri,
dan (c) hasil akhirnya yaitu memandirikan masyarakat dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri kea rah kehidupan yang lebih baik secara
bekelanjutan (sustainable) (Sopiandi, 2010, p. 41)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 65 Tahun 2013,
pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non-
instruktif, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar
mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki,
merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi
setempat. Untuk meningkatkan hasil dari pemberdayaan masyarakat terutama
dalam bidang kesehatan, dibutuhkan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud
yaitu kemampuan dalam menentukan keputusan dalam menyelesaikan masalah
kesehatan (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2008).
Pemberdayaan di bidang kesehatan adalah proses pemberian informasi
kepada individu, keluaraga atau kelompok (klien) secara terus menerus dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu
klien agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
pengetahuan datau knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek sikap atau
attitude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang
diperkenalkan (aspek tindakan atau practice).
2.5.1 Prinsip Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah merumuskan prinsip-
prinsip pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan yang tertuang pada
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 65 Tahun 2013,
yaitu:
a. Kesukarelaan, yaitu keterlibatan seseorang dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat tidak boleh berlangsung karena adanya
pemaksaan, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran sendiri dan
motivasinya untuk memperaiki dan memecahkan masalah
kehidupan yang dirasakan,
b. Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri
dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok,
maupun kelembagaan yang lain,
c. Keswadayaan, yaitu kemampuannya untuk merumuskan
melaksanakan kegiatan dengan penuh tanggung hawab, tanpa
menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar,
d. Partisipatif, yaitu keikutsertaan semua pemangku kepentingan
sejak pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya,
e. Egaliter, yang menempatkan semua pemangku kepentingan dalam
kedudukan yang setara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan
tidak ada yang merasa direndahkan,
f. Demokratis, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk
mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat
maupun perbedaan di Antara sesame pemangku kepentingan,
g. Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling
memperdulikan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


h. Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan
mengembangkan sinergisme,
i. Akuntabilitas, yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka
untuk diawasi oleh siapapun,
j. Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah
otonom (kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumber daya
kesehatan bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dan
kesinambungan pembangunan kesehatan.

Lebih lanjut, pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan juga


melandaskan pada:

a. Prinsip-prinsip menghargai yang lokal, yang mencakup:


pengetahuan lokal, keterampilan lokal, budaya lokal, proses lokal,
dan sumber daya lokal,
b. Prinsip-prinsip ekologis, yang meliputi: keterkaitan, keberagaman,
keseimbangan dan keberlanjutan,
c. Prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia yang tidak
merugikan dan senantiasa memberikan manfaat kepada semua
pihak.
2.5.2 Strategi Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan mengembangkan kemampuan masyarakat
untuk mandiri dalam memecahkan masalah kesehatannya, maka dalam
penyusunan strategi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI
adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan kesadaran masyarakat melalui penggerakan masyarakat
sehingga masyarakat mempunyai peluang yang sebesar-besarnya
untuk terlibat aktif dalam proses pembangunan kesehatan,
2) Pengembangan/pengorganisasian masyarakat (community
organization) dalam pemberdayaan dengan mengupayakan peran
organisasi masyarakat lokal makin berfungsi dalam pembangunan
kesehatan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


3) Peningkatan advokasi yang mendukung masyarakat swasta, dunia
usaha dan pemangku kepentingan dalam pengembangan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
4) Peningkatan pemanfaatan potensi dan sumber daya berbasis kearifan
lokal, baik dana dan tenaga serta budaya.

Dengan strategi tersebut, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat


bidang kesehatan mencakup:

1) Upaya membangun kesadaran kritis masyarakat dimana masyarakat


diajak untuk berpikir serta menyadari hak dan kewajibannya di
bidang kesehatan. Membangun kesadaran masyarakat merupakan
awal dari kegiatan pengorganisasian masyarakat yang dilakukan
dengan membahas bersama tentang harapan mereka, berdasarkan
prioritas masalah kesehatan sesuai dengan sumber daya yang
dimiliki,
2) Perencanaan partisipasif merupakan proses untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan serta potensi selanjtunya menerjemahkan tujuan
ke dalam kegiatan nyata dan spesifik yang melibatkan peran aktif
masyarakat dalam perencanaan segala hal dalam kesehatan.
Kegiatan ini dilakukan sendiri oleh masyarakat didampingi
fasilitator. Hal ini, selain dapat menimbulkan rasa percaya akan hasil
perencanaan juga membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki
terhadap kegiatan yang dilakukan. Perencanaan partisipatif ini
berbasis pada hasil survey dan pemetaan mengenai potensi, baik
kondisi fisik lingkungan dan sosial masyarakat, yang digali oleh
masyarakat sendiri,
3) Pengorganisasian masyarakat sendiri merupakan proses yang
mengarah pada terbentuknya kader masyarakat yang bersama
masyarakat dan fasilitator berperan aktif dalam lembaga berbasis
masyarakat (Forum Masyarakat Desa) sebagai representasi
masyarakat yang akan berperan sebagai penggerak masyarakat
dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


4) Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masyarakat bersama dengan
pengelola pemberdayaan dengan menggunakan metode dan waktu
yang disepakati bersama secara berkesinambungan untuk
mengetahui dan menilai pencapaian kegiatan yang dijalankan. Hasil
evaluasi ini digunakan sebagai rujukan untuk melakukan kegiatan
yang berkelanjutan.
2.5.3 Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pelaksanaan dan
Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan dapat dilakukan
dengan pendekatan a) Makro, dilakukan dengan membangun komitmen
di setiap jenjang, membangkitkan opini masyarakat, menyediakan
petunjuk teknis operasional atau petunjuk pelaksanaan dan biaya
operasional, serta monitoring dan evaluasi serta koordinasi; b) Mikro,
dilakukan dengan menggali potensi yang belum disadari masyarakat
(potensi dapat muncul dari adanya kebutuhan masyarakat) yang
diperoleh melalui pengarahan, pemberian masukan, dialog, kerjasama
clan penclelegasian serta membuat model-model percontohan dan
prototipe pengembangan masyarakat.
A. Tingkat Pusat
1) Persiapan
a. Diseminasi informasi mengenai pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dengan
kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait termasuk
organisasi masyarakat dan dunia usaha.
b. Mengembangkan sistem database dan informasi terkait
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan yang terintegrasi.
2) Perencanaan
a. Merencanakan teknis pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat dengan kementerian/lembaga
dan pihak lain yang terkait termasuk organisasi
masyarakat dan dunia usaha.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


b. Mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
3) Pelaksanaan
a. Membentuk kelembagaan untuk pelaksanaan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
tingkat pusat yang beranggotakan kementerian/lembaga
dan pihak lain yang terkait termasuk organisasi masyarakat
dan dunia usaha,
b. Menetapkan kebijakan yang mendukung operasionalisasi
pelaksanaan dan pembangunan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
c. Menerbitkan pedoman dan petunjuk teknis yang diperlukan
dalam pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan,
d. Mensosialisasikan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis
yang mendukung operasionalisasi pelaksanaan dan
pembinaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
e. Menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas
aparatur provinsi dalam pelaksanaan dan pembinaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
f. Melakukan pembinaan dan pendampingan pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
provinsi,
g. Memfasilitasi stimulant untuk pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan,
h. Menyelenggarakan sistem database dan informasi terkait
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan yang terintegrasi di tingkat pusat.
4) Monitoring Evaluasi
a. Pemantauan berkala terintegrasi perkembangan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan pada lingkup
nasional,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


b. Melaporkan perkembangan dan upaya perbaikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
Kementerian Kesehatan dan Kementerian/Lembaga terkait
secara berkala,
c. Melakukan evaluasi secara periodik. Pemantauan dan
pengawasan independen oleh berbagai pihak, baik secara
internal maupun eksternal. Hasil monitoring dan evaluasi
ini digunakan sebagai rujukan untuk melakukan kegiatan
yang berkelanjutan.
B. Tingkat Provinsi
1) Persiapan
a. Diseminasi informasi upaya pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan di tingkat provinsi dengan dinas
kesehatan dan SKPD serta pihak lain yang terkait,
2) Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan tingkat provinsi yang beranggotakan dinas
kesehatan dan SKPD serta pihak lain yang terkait,
3) Perencanaan
a. Merencanakan teknis kegiatan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan bersama SKPD dan pihak lain yang
terkait,
b. Mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan yang bersumber dari APBN,
ABPD Swasta/Dunia Usaha dan masyarakat.
4) Pelaksanaan
a. Menerapkan kebijakan yang sudah ditetapkan dari tingkat
pusat,
b. Menetapkan kebijakan koordinatif dan pembinaan dalam
bentuk penetapan peraturan atau keputusan tentang
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


c. Menetapkan mekanisme koordinasi antar instansi terkait
dengan seluruh instansi yang terlibat dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
d. Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan di tingkat Provinsi bersama SKPD dan pihak
terkait,
e. Menyelenggarakan peningkatan kapasitas bagi petugas
pelaksanaan, yaitu pelatihan manajemen dan pelatihan
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan,
f. Memfasilitasi sumber daya dan sumber dana untuk
pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan,
g. Melakukan pembinaan dan pendampingan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
Kabupaten/kota,
h. Menyelenggarakan sistem database dan informasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
yang terintegrasi.
5) Monitoring Evaluasi
a. Pemantauan berkala terintegrasi mengenai perkembangan
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
lingkp provinsi secara berkala,
b. Pemantauan dan pengawasan dilakukan oleh lembaga
yang terbentuk di tingkat provinsi sesuai dengan tugas dan
fungsinya,
c. Pemantauan dan pengawasan independen dilakukan oleh
berbagai pihak baik secara internal maupun eksternal,
d. Melaporkan perkembangan dan upaya perbaikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
pengambil kebijakan tingkat provinsi secara berkala,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


e. Melakukan evaluasi secara periodic. Hasil monitoring dan
evaluasi ini digunakan sebagai rujukan untuk melakukan
kegiatan yang berkelanjutan.
C. Tingkat Kabupaten/kota
1) Persiapan
a. Diseminasi informasi upaya pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan di tingkat Kabupaten/kota dengan
SKPD serta pihak lain yang terkait,
b. Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan tingkat Kabupaten/kota yang beranggotakan
SKPD serta pihak lain yang terkait.
2) Perencanaan
a. Merencanakan teknis kegiatan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan bersama SKPD dan pihak lain yang
terkait,
b. Mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan yang bersumber dari APBN,
ABPD Swasta/Dunia Usaha dan masyarakat.
3) Pelaksanaan
a. Menerapkan kebijakan yang sudah ditetapkan dari tingkat
pusat,
b. Menetapkan kebijakan koordinatif dan pembinaan dalam
bentuk penetapan peraturan atau keputusan tentang
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
c. Menetapkan mekanisme koordinasi antar dinas terkait
dengan seluruh dinas yang terlibat dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan,
d. Membentuk dan mengaktifkan kelembagaan untuk
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan di tingkat Kabupaten/kota bersama SKPD dan
pihak terkait,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


e. Melakukan pembinaan dan pendampingan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
Kecamatan,
f. Menyelenggarakan peningkatan kapasitas mengenai
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan bagi aparatur
desa/keluraha, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
dan lembaga kemasyarakatan serta pihak-pihak lain,
g. Memfasilitasi sumber daya dan sumber dana dari APBD
Kabupaten/kota dan sumber daya lain untuk pelaksanaan
dan pembinaan kegiatan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan,
h. Menyelenggarakan sistem database dan informasi
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
yang terintegrasi.
4) Monitoring Evaluasi
a. Pemantauan berkala terintegrasi mengenai perkembangan
kegiatan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
lingkup kabupaten/kota secara berkala,
b. Pemantauan dan pengawasan dilakukan oleh lembaga
yang terbentuk di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan
tugas dan fungsinya,
c. Melaporkan perkembangan dan upaya perbaikan kegiatan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan kepada
pengambil kebijakan tingkat kabupaten/kota secara
berkala,
d. Melakukan evaluasi secara periodic. Hasil monitoring dan
evaluasi ini digunakan sebagai rujukan untuk melakukan
kegiatan yang berkelanjutan.

Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan di atas selanjutnya


dilakukan di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan sesuai
dengan kewenangannya. Dengan menerapkan langkah-
langkah pelaksaaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


bidang kesehatan, maka keberhasilan kegiatan yang dilakukan,
baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan
desa/kelurahan dapat terukur dengan baik.

2.6 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif


2.6.1 Pengertian
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan
dari Desa Siaga yang telah dimulai sejak tahun 2006. Desa atau
Kelurahan Siaga Aktif adalah desa atau yang disebut dengan nama lain
atau kelurahan, yang:
1. Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan
kesehatan dasar yang memberikan pelayanan setiap hari melalui
Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di
wilayah tersebut seperti, Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu
(Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau sarana
kesehatan lainnya.
2. Penduduknya mengembangkan UKBM dan melaksankan
survailans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit,
kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan
lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).

Sehingga komponen dasar dari Desa dan Kelurahan Aktif ini


adalah (1) Pelayanan Kesehatan Dasar, (2) Pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan UKBM dan mendorong upaya survailans
berbasis masyarakat, kedaruratan bencana, serta penyehatan
lingkungan (3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

2.6.2 Pelayanan Kesehatan Dasar


Pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Desa Siaga/Kelurahan
Aktif diselenggarakan melalui berbagai UKBM, serta kegiatan kader
dan masyarakat. Pelayanan ini selanjutnya didukung oleh sarana-sarana
kesehatan yang ada seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Puskesmas,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


dan rumah sakit. Teknis pelaksanaan pelayanan mengacu kepada
petunjuk-petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan dengan
pengawasan dan bimbingan dari puskesmas.
Pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan primer, sesuai
dengan kewenangan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan
kesehatan dasar berupa: (1) pelayanan kesehatan untuk ibu hamil, (2)
pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui, (3) pelayanan kesehatan
untuk anak, serta (4) penemuan dan penanganan penderita penyakit.
2.6.3 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan UKBM
Pemberdayaan masyarakat terus diupayakan melalui
pengembangan UKBM yang ada di desa. Kegiatan difokuskan kepada
upaya survailans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan
penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan. Survailans
berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan penyakit yang
disleenggarakan oleh masyarakat (kader) dibantu oleh tenaga
kesehatan, dengan berpedoman kepada petunjuk teknis dari
Kementerian Kesehatan. Kegiatan-kegiatannya berupa:
(1) pengamatan dan pemantauan penyakit serta keadaan kesehatan ibu
dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat,
(2) pelaporan cepat (kurang dari 24 jam) kepada petugas kesehatan
untuk respon cepat,
(3) pencegahan dan penanggulangan sederhana penyakit dan masalah
kesehatan, serta
(4) pelaporan kematian.

Kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana adalah upaya-


upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencegah dan mengatasi
bencana dan kedararuratan kesehatan dengan berpedoman kepada
petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan. Kegiatan-kegiatannya
berupa:

(1) Bimbingan dalam pencarian tempat yang aman untuk mengungsi

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


(2) Promosi kesehatan dan bimbingan mengatasi masalah kesehatan
akibat bencana dan mencegah faktor-faktor penyebab masalah
(3) Bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar (air
bersih, jamban, pembuangan sampah/limbah, dan lain-lain) di
tempat pengungsian,
(4) Penyediaan relawan yang bersedia menjadi donor darah, dan
(5) Pelayanan kesehatan bagi pengungsi.

Penyehatan lingkungan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh


masyarakat untuk menciptakan dan memelihara lingkungan
desa/kelurahan dan permukiman agar terhindar dari penyakit dan
masalah kesehatan, dengan berpedoman kepata petunjuk teknis dari
Kementerian Kesehatan. Kegiatan-kegiatannya berupa:

(1) Promosi tentang pentingnya sanitasi dasar,


(2) Bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar (air
bersih, jamban, pembuangan sampah/limbah, dan lain-lain), dan
(3) Bantuan/fasilitasi upaya pencegahan pencemaran lingkungan
2.6.4 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Masyarakat di desa/kelurahan siaga aktif wajib melaksanakan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). PHBS adalah sekumpulan
perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil
pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga atau masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
Yang menjadi salah satu indikator bagi keberhasilan
pengembangan desa/kelurahan siaga aktif adalah PHBS yang
dipraktikkan di tatanan rumah tangga. Akan tetapi untuk mencapai hal
tersebut, PHBS harus dipraktikkan di tatanan manapun pada saat
seseorang sedang berada. Selain di tananan rumah tangga, PHBS harus
dikembangkan dan dipraktikkan di tatanan-tananan institusi pendidikan,
tempat kerja, tempat umum dan sarana kesehatan.
PHBS yang harus dipraktikkan oleh masyarakat di desa dan
kelurahan siaga aktif meliputi perilaku sebagai berikut:

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


(1) Melaporkan segera kepada kader/petugas kesehatan jika mengetahui
dirinya, keluarganya, temannya atau tetangganya menderita penyakit
menular,
(2) Pergi berobat atau membawa orang lain berobat ke
Poskesdes/Pustu/Puskesmas bila terserang penyakit,
(3) Memeriksakan kehamilan secara teratur kepada petugas kesehatan,
(4) Mengonsumsi tablet tambah darah semasa hamil dan nifas (bagi ibu),
(5) Makan-makanan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang
(terutama bagi perempuan termasuk pada saat hamil dan menyusui),
(6) Mengonsumsi sayur dan buah setiap hari,
(7) Menggunakan garam beryodium setiap kali memasak,
(8) Menyerahkan pertolongan persalinan kepada Tenaga kesehatan,
(9) Mengonsumsi kapsul vitamin A bagi ibu nifas,
(10) Memberi ASI ekslusif kepada bayinya (0-6 bulan),
(11) Memberi makanan pendamping ASI,
(12) Memberi kapsul vitamin A untuk bayi dan balita setiap bulan
Februari dan Agustus,
(13) Menimbang berat badan bayi dan balita secara teratur serta
menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) atau Buku KIA untuk
memantau pertumbuhannya,
(14) Membawa bayi/anak, ibu dan wanita usia subur untuk diimunisasi
(15) Tersedianya oralit dan zinc untuk penanggulangan diare.
(16) Menyediakan rumah dan atau kendaraannya untuk pertolongan
dalam keadaan darurat (misalnya untuk rumah tunggu ibu bersalin,
ambulan dan lain-lain),
(17) Menghimpun dana masyarakat desa untuk kepentingan kesehatan,
termasuk bantuan bagi pengobatan dan persalinan,
(18) Menjadi peserta (akseptor) aktif keluarga berencana,
(19) Menggunakan air bersih untuk keperluan sehari-hari,
(20) Mecuci tangan dengan air bersih dan sabun,
(21) Menggunakan jamban sehat,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


(22) Mengupayakan tersedianya sarana sanitasi dasar lain dan
menggunakannya,
(23) Memberantas jentik-jentik nyamuk,
(24) Mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, baik di rumah,
desa/kelurahan maupun di lingkungan pemukiman,
(25) Melakukan aktifitas fisik setiap hari,
(26) Tidak merokok, minum-minuman keras, madat dan
menyalahgunakan napza serta bahan berbaya lain,
(27) Memanfaatkan UKBM, Poskesdes, Pustu, Puskesmas atau sarana
kesehatan lain,
(28) Pemanfaatan pekarangan untuk Taman Obat Keluarga (TOGA) dan
warung hidup di halaman masing-masing rumah atau secara bersama-
sama (kolektif),
(29) Melaporkan kematian,
(30) Mempraktikkan PHBS lain yang dianjurkan,
(31) Saling mengingatkan untuk mempraktikkan PHBS.

Untuk mengukur keberhasilan pembinaan PHBS di Rumah Tangga


digunakan 10 (sepuluh) perilaku yang merupakan indikator yaitu (1)
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, (2) memberi ASI ekslusif
kepada bayi, (3) menimbang berat badan balita, (4) menggunakan air
bersih, (5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, (6)
menggunakan jamban sehat, (7) memberantas jentik nyamuk, (8)
mengonsumsi sayur dan buah setiap hari, (9) melakukan aktifitas fisik
setiap hari, (10) tidak merokok dalam rumah.

2.6.5 Kriteria Pengembangan Desa dan Siaga Aktif


Untuk menjamin kemantapan dan kelestarian, pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif dialaksanakan secara bertahap, dengan
memperhatikan kriteria atau unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kepedulian Pemerintah desa/kelurahan dan pemuka masyarakat
terhadap desa/kelurahan siaga aktif yang tercermin dari keberadaan
dan keaktifan forum desa dan kelurahan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2. Keberadaan kader pemberdayaan masyarakat/kader teknis desa dan
kelurahan siaga aktif,
3. Kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar
yang buka atau memberikan pelayanan setiap hari,
4. Keberadaan UKBM yang dapat melaksanakan survailans berbasis
masyarakat, penanggulangan bencana dan kedaruratan kesehatan,
serta penyehatan lingkungan,
5. Tercakupnya (terakomodirnya) pendanaan untuk pengembangan
desa/kelurahan siaga aktif dalam anggaran pembangunan
desa/kelurahan serta dari masyarakat dan dunia usaha,
6. Peran serta aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
kegiatan kesehatan di Desa/kelurahan siaga aktif,
7. Pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di rumah tangga
di desa/kelurahan.

2.6.6 Strata Desa Siaga Aktif


Pentahapan atau klasifikasi desa siaga aktif dapat digambarkan sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
Kriteria
Pratama Madya Purnama Mandiri
1) Forum Ada, tetapi Berjalan, Berjalan Berjalan
Desa/Kelurahan belum tetapi belum setiap setiap bulan
berjalan rutin setiap triwulan
triwulan
2) KPM/Kader Sudah ada Sudah ada Sudah ada 6- Sudah ada 9
Kesehatan minimal 2 minimal 3-5 8 orang orang atau
orang orang lebih
3) Kemudahan akses Ya Ya Ya Ya
pelayanan
kesehatan dasar

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
Kriteria
Pratama Madya Purnama Mandiri
4) Posyandu & Posyandu Posyandu & Posyandu & Posyandu &
UKBM lainnya ya, UKBM 2 UKBM 3 UKBM 4 UKBM
aktif lainnya lainnya aktif lainnya aktif lainnya aktif
tidak aktif
5) Dukungan dana Suda ada Sudah ada Sudah ada Sudah ada
untuk kegiatan dana dari dana dari dana dari dana dari
kesehatan di Desa pemerintah pemerintah pemerintah pemerintah
dan Kelurahan: desa dan desa dan desa dan desa dan
a. Pemerintah desa kelurahan kelurahan kelurahan kelurahan
dan kelurahan serta serta satu serta dua serta dua
b. Masyarakat belum ada sumber dana sumber dana sumber dana
c. Dunia usaha sumber lainnya lainnya lainnya
dana
lainnya
6) Peran serta Ada peran Ada peran Ada peran Ada peran
masyarakat dan aktif aktif aktif aktif
organisasi masyarakat masyarakat masyarakat masyarakat
kemasyarakatan dan tidak dan peran dan peran dan peran
ada peran aktif satu aktif dua aktif lebih
aktif ormas ormas ormas dari dua
ormas
7) Peraturan kepala Belum ada Ada, belum Ada, sudah Ada, sudah
desa atau direalisasikan direalisasikan direalisasikan
peraturan
Bupati/Walikota
8) Pembinaan PHBS Pembinaan Pembinaan Pembinaan Pembinaan
di rumah tangga PHBS PHBS PHBS PHBS
kurang minimal 20% minimal 40% minimal 70%
dari 20% rumah tangga rumah tangga rumah tangga
rumah yang ada yang ada yang ada
tangga
yang ada

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Adanya strata atau pentahapan ini dapat menjadi sebuah pedoman dan
evaluas implementasi desa siaga aktif. Evaluasi ini dilakukan dengan
mengacu kepada petunjuk teknis yang telah disusun bersama
Kementeraian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan.

2.6.7 Peran Pemangku Kepentingan


Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang terintegrasi ke
dalam proses pembangunan partisipatif desa dan kelurahan
memerlukan dukungan dari berbagai pihak (Kementerian Kesehatan
RI, 2010, pp. 27-34).
.Gambar 2.5 Skema Keterlibatan Pemangku Kepentingan di
Berbagai Level Pemerintahan pada Program Desa Siaga Aktif

Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, 2010, p. 27)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


A. Pusat
1. Kementerian Dalam Negeri
a. Melakukan pembinaan pelaksanaan pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif di Daerah,
b. Membentuk Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif Tingkat Pusat.
c. Bersama Kementerian Kesehatan melanjutkan dan
mendorong pelaksanaan kebijakan revitalisasi Puskesmas
dan Posyandu,
d. Bersama Kementerian Kesehatan menerbitkan pedoman-
pedoman yang diperlukan dalam pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
2. Bersama Kementerian Kesehatan mengembangkan Sistem
Informasi Desa Siaga yang terintegrasi dalam Profil Desa dan
Kelurahan.
3. Kementerian Kesehatan
a. Bersama Kementerian Dalam Negeri menetapkan kebijakan
yang mendukung operasionalisasi pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif di Dareah,
b. Menerbitkan dan mensosialisasikan petunjuk-petunjuk
teknis yang diperlukan dalam rangka pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
c. Menyelenggarakan TOT pengembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif bagi aparatur Provinsi,
d. Mengalokasikan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya untuk
pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif dan PHBS,
e. Melaksanakan kebijakan revitalisasi Puskesmas dan
Posyandu bersama Kementerian Dalam Negeri,
f. Melakukan sosialisasi, penyebaran informasi dan advokasi
bersama instansi/lembaga terkait lainnya,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


g. Mengupayakan Puskesmas Pelayanan Obstetrik Neonatal
Emergency Dasar (PONED) dan Rumah Sakit Pelayanan
Obstetrik Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK),
h. Bersama Kementerian Dalam Negeri mengembangkan
Sistem Informasi Desa Siaga yang terintegrasi dalam profil
desa dan kelurahan.
4. Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga Tingkat Pusat
a. Melakukan rapat berkala (minimal 2 kali setahun) untuk
pemantauan perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
lingkup nasional,
b. Secara berkala melaporkan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kesehatan.
B. Provinsi
1. Pemerintah Provinsi
a. Menetapkan kebijakan-kebijakan koordinatif dan pembinaan
dalam bentuk penetapan peraturan atau keputusan tentang
pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
b. Menetapkan kebijakan-kebijakan koordinatif dan pembinaan
dalam bentuk penetapan peraturan atau surat keputusan
tentang pelaksanaan revitalisasi Puskesmas dan Posyandu di
wilayahnya,
c. Membentuk forum Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga di
tingkat Provinsi,
d. Menyelenggarakan pelatihan untuk pelatih (TOT)
pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif bagi aparatur
Kabupaten/kota
e. Memberikan dukungan dana dan sumber daya lain untuk
pengembangan dan pembinaan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
f. Menyelenggarakan Sistem Informasi Desa Siaga yang
terintegrasi dalam profil desa/kelurahan lingkup provinsi.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2. Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga Tingkat Provinsi
a. Melakukan rapat berkala (minimal 2 kali setahun) untuk
pemantauan perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
lingkup provinsi,
b. Secara berkala melaporkan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif kepada Gubernur.
C. Kabupaten/kota
1. Pemerintah kabupaten/kota
a. Menetapkan kebijakan-kebijakan koordinatif dan pembinaan
dalam bentuk penetapan peraturan atau keputusan tentang
pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
b. Menetapkan mekanisme koordinasi antar instansi terkait
dengan seluruh instansi yang terlibat dalam pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
c. Menetapkan kebijakan-kebijakan koordinatif dan pembinaan
dalam bentuk penetapan peraturan atau surat keputusan
tentang pelaksanaan revitalisasi Puskesmas dan Posyandu di
wilayahnya,
d. Membentuk forum Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga di
tingkat kabupaten/kota,
e. Menyelenggarakan pelatihan pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif bagi aparatur desa dan
kelurahan, KPM dan lembaga kemasyarakatan serta pihak-
pihak lain,
f. Memberikan bantuan pembiayaan dari APBD
Kabupaten/kota dan sumber daya lain untuk pengembangan
dan pembinaan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
g. Menyelenggarakan Sistem Informasi Desa Siaga yang
terintegrasi dalam profil desa/kelurahan lingkup
kabupaten/kota, melalui penetapan langkah dan mekanisme
penyelenggaraan dan pelaporan penyelenggaraan secara

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


berjenjang dari desa/kelurahan-kecamatan-kabupaten/kota-
provinsi dan Pemerintah Pusat,
h. Memfasilitasi kecamatan dan desa untuk ikut
bertanggungjawab dalam pengembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif
i. Melaksanakan hal-hal lain yang dianggap perlu sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah.
2. Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga Tingkat Kabupaten
a. Melakukan rapat berkala (minimal 3 kali setahun) untuk
pemantauan perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
lingkup kabupaten/kota,
b. Secara berkala melaporkan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif kepada Bupati/Walikota.
D. Kecamatan
1. Pemerintah Kecamatan
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif terintegrasi dengan kegiatan
pemberdayaan masyarakat terkait,
b. Mengkoordinasikan penerapan kebijakan/peraturan
perundang-udnangan berkaitan dengan pengembangan
Desa/Kelurahan siaga Aktif,
c. Membentuk Forum Desa/Kelurahan Siaga tingkat
kecamatan,
d. Menyelenggarakan Sistem Informasi Desa Siaga yang
terintegrasi dalam profil Desa/Kelurahan lingkup kecamatan.
2. Forum Desa/Kelurahan Siaga Tingkat Kecamatan
a. Melakukan rapat berkala (minimal 4 kali setahun) untuk
pemantauan perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
lingkup kecamatan,
b. Secara berkala melaporkan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif kepada Camat.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


E. Desa dan Kelurahan
1) Pemerintah Desa dan Pemerintah Kelurahan
a. Menerbitkan peraturan tingkat desa dan kelurahan untuk
pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif serta
mengawasi pelaksanaannya,
b. Mengintegrasikan Rencana Pembangunan Des/Kelurahan
Siaga Aktif ke dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP)
Desa/Kelurahan (di desa berupa perumusan program
pemberdayaan masyarakat dalam APBDesa yang berkaitan
dengan upaya mengembangkan Desa Siaga Aktif),
c. Mengupayakan bantuan dana dan sumber daya lain baik dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun dari pihak-pihak
lain untuk mendukung pengembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif,
d. Dalam rangka pelaksanaan Alokasi Dana Desa agar dalam
pendisribusian pada kebutuhan lokal desa diharapkan dapat
membantu pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
terutama yang menyangkut:
1. Penyuluhan dan motivasi masyarakat,
2. Penggerakan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
3. Koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk
melaksanakan pengembangan program Desa/Kelurahan
Siaga Aktif
e. Melaksanakan pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
di desa dan kelurahan, melalui pengadaan sarana pendukung
bagi kelancaran penyelenggaraan pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktf,
f. Memanfaatkan Forum Desa/Kelurahan yang sudah ada,
g. Melakukan konsultasi dengan BPD dan masyarakat tentang
penggerakan masyarakat dalam melaksanakan program
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan Desa/Kelurahan Siaga
Aktif terintegrasi dalam laporan pertanggujawaban Kepala Desa
atau Lurah.
3) Forum Desa/Kelurahan Siaga Tingkat Desa/Kelurahan
a. Melakukan rapat berkala (minimal 4 kali setahun) untuk
pemantauan perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
b. Secara berkala melaporkan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif kepada Kepala Desa/Lurah.
4) Lembaga Kemasyarakatan
a. Menyusun rencana pengembangan Desa/Kelurahan Siaga
Aktif yang terintegrasi dalam pembangunan desa atau
kelurahan secara partisipatif,
b. Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara
dn mengembangkan Desa/Kelurahan Siaga Aktif secara
partisipatif,
c. Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong
royong dan swadaya masyarakat dalam rangka
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,
d. Menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam
rangka pemberdayaan masyarakat untuk pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif.
5) Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
a. Menyusun rencana pengembangan Desa/Kelurahan Siaga
Aktif bersama Forum Desa dan Kelurahan Siaga,
b. Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan dan
memelihara upaya pengembangan Desa/Kelurahan Siaga
Aktif secara partisipatif,
c. Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong
royong dan swadaya masyarakat untuk pengembangan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


d. Melaksanakan promosi kesehatan kepada masyarakat dan
membantuk masyarakat memecahkan masalah-masalah
kesehatan yang dihadapi.
2.6.7 Dasar Hukum
Pengembangan desa/kelurahan siaga aktif dilaksanakan dengan mengacu
kepada peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah dan Penyakit Menular,
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah,
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah,
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan,
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah dan Penyakit Menular,
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
8. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan,
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembaguan
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota,
10. Peratuarn Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan,
11. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Gubernur
Selaku Wakil Pemerintah di Daerah,
12. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,
Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara,
13. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan
Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/Menkes.PB/VIII/2005
tentang Penyelenggaraan Kabupaten/kota Sehat,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyerahan URusan Pemerintahan Kabupaten/kota
kepada Desa,
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007 tentang
Kader Pemberdayaan Masyarakat,
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Profil Desa/Kelurahan,
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Perlombaan Desa dan Kelurahan,
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2007 tentang
Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan,
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 tentang
Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2007 tentang
Pelimpahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/kota kepada Lurah,
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keaungan Desa,
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 tentang
Perencanaan Pembangunan Desa,
24. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di
Kabupaten/kota,
25. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan,
26. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


27. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat,
28. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga,
29. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008
tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten/kota,
30. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/SK/V/2009
tentang Sistem Kesehatan Nasional yang kemudian dirubah menjadi
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012,
31. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 267/Menkes/SK/II/2010
tentang Penetapan Roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA PIKIR DAN DAFTAR ISTILAH

4.1 Kerangka Teori


Salah satu model studi implementasi di dalam sebuah kebijakan publik
yaitu model yang dikembangkan oleh van Meter dan van Horn. Model ini
menurutnya dapat menguraikan proses-proses yang terjadi dengan melihat
keterkaitan bagaimana keputusan-keputusan kebijaksanaan dilaksanakan
dibandingkan hanya sebatas menghubungkan variable bebas dan terikat
(Winarno, 2012, pp. 154-176). Studi implementasi ini hampir mirip dengan apa
yang dikembangkan oleh George C. Edwards III secara konsep namun di dalam
penjelasan faktor-faktor yang saling terkait tidak sama.

Bagan 3.1 Kerangka Teori Penelitian

Model George C. Edwards III

1) Komunikasi
2) Sumber-Sumber
3) Kecenderungan pelaksana
kebijakan
4) Struktur Birokrasi Kerangka Teori Penelitian

1) Komunikasi
2) Sumber-sumber
3) Persepsi pelaksana
4) Struktur birokrasi
Model van Horn dan van Meter
5) Kondisi sosial, ekonomi dan
politik
1) Ukuran/tujuan kebijakan
2) Sumber-sumber kebijakan
3) Komunikasi antar organisasi dan
pelaksana
4) Karakteristik badan pelaksana
5) Kondisi sosial, ekonomi dan
politik
6) Kecenderungan pelaksana

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Sehingga dari kerangka teori penelitian, maka kerangka konsep yang dapat
digambarkan adalah sebagai berikut:

Bagan 3.2 Kerangka Konsep Penelitian

1. Komunikasi: Transmisi, Konsistensi,


Kejelasan
2. Sumber-sumber: Alokasi Anggaran, SDM, IMPLEMENTASI
Wewenang, Fasilitas KEBIJAKAN

3. Persepsi Pelaksana Kebijakan


4. Struktur Birokrasi: SOP, Fragmentasi
(Distribusi wewenang dan tanggung jawab)
5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik EFEKTIFITAS
KEBIJAKAN

4.2 Kerangka Pikir


Berdasarkan latar belakang penelitian dan kerangka teori yang telah
dijelaskan sebelumnya serta mempertimbangkan data sekunder yang disajikan,
maka peneliti membuat suatu kerangka konsep penelitian ini melalui
pendekatan campuran Antara model studi implementasi van Meter dan van
Horn dengan George C. Edwards III sebagai analisis implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dalam kaitannya desentralisasi
(studi analisis program desa siaga aktif). Kerangka pikir penelitian dapat
digambarkan dalam bagan 3.3.
4.3 Daftar Istilah
1) Komunikasi
a. Transmisi
Transmisi adalah cara penyampaian informasi yang digunakan untuk
melakukan sosialisasi kebijakan program Desa Siaga Aktif.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai proses penyampaian informasi
yang selama ini dilakukan dalam penyampaian kebijakan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Bagan 3.3 Kerangka Pikir Penelitian
Kebijakan Pada Level Tingkat Pusat

1. Komunikasi: Transmisi, Konsistensi, Kejelasan


2. Sumber Daya: Alokasi Anggaran, SDM, Fasilitas
3. Kecenderungan/Persepsi Pelaksana Kebijakan
4. Struktur Birokrasi: SOP, Fragmentasi (Distribusi wewenang
dan tanggung jawab)
5. Kondisi Sosial ekonomi dan Politik

Kebijakan Pada Level Tingkat Daerah provinsi

1. Komunikasi: Transmisi, Konsistensi, Kejelasan


2. Sumber Daya: Alokasi Anggaran, SDM, Fasilitas
3. Kecenderungan/Persepsi Pelaksana Kebijakan
4. Struktur Birokrasi: SOP, Fragmentasi (Distribusi wewenang
dan tanggung jawab)
5. Kondisi Sosial ekonomi dan Politik

Kebijakan Pada Level Tingkat Daerah kabupaten/kota

6. Komunikasi: Transmisi, Konsistensi, Kejelasan


7. Sumber Daya: Alokasi Anggaran, SDM, Fasilitas
8. Kecenderungan/Persepsi Pelaksana Kebijakan
9. Struktur Birokrasi: SOP, Fragmentasi (Distribusi wewenang
dan tanggung jawab)
10. Kondisi Sosial ekonomi dan Politik

Implementasi Kebijakan di Tingkat Desa

b. Konsistensi
Adalah penyampaian kebijakan yang secara berkesinambungan
dilakukan, baik dalam rangka penguatan ataupun pertemuan rutin.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Tujuan: Didapatkan informasi mengenai kesinambungan penyampaian
kebijakan yang kontinyu dalam proses pengimplementasian kebijakan.
c. Kejelasan
Adalah pemahaman terhadap konsep dan tujuan kebijakan Desa Siaga
Aktif.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai pemahaman terhadap konsep
dan tujuan kebijakan Desa Siaga Aktif.
2) Sumber Daya
a. Alokasi anggaran
Adalah ketersediaan anggaran yang mencukupi dan berkesinambungan
dalam pelaksanaan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai ketersediaan anggaran dan
usaha alokasi anggaran di dalam melaksanakan kebijakan.
b. Sumber daya manusia
Adalah jumlah dan kompetensi tenaga di dalam melaksanakan
kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai ketersediaan SDM pada setiap
level pelaksana kebijakan.
c. Fasilitas
Adalah alat-alat atau komponen fisik yang dibutuhkan dalam
melaksanakan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai fasilitas yang ada dan
dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


3) Persepsi Pelaksana Kebijakan
Adalah tindakan dari para pelaksana kegiatan dengan memegang
komitmen, kejujuran, kepahaman, pandangan dan komunikatif didalam
melaksanakan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai adanya komitmen, kejujuran,
kepahaman, dan kesatuan maupun perbedaan pandangan dalam
pelaksanaan kebijakan.
4) Struktur Birokrasi
a. SOP
Adalah mekanisme atau alur koordinasi dan pelaksanaan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai adanya mekanisme koordinasi
dan pelaksanaan kebijakan.
b. Distribusi wewenang dan tanggung jawab
Adalah pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam organisasi
untuk melaksanakan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai pembagian tanggung jawab
dan kewenangan dalam pelaksanaan kebijakan.
5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik
Adalah keadaan/kondisi sosial, ekonomi dan politik masyarakat (daerah)
yang mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Seluruh informan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai hubungan faktor sosial, ekonomi
dan politik terhadap pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan.
6) Kebijakan Pemerintah Pusat
Adalah keputusan/kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Pokjanal tingkat pusat, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian
Kesehatan.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai kebijakan apa saja yang telah
dikeluarkan dan bagaimana implementasinya.
7) Kebijakan Pemerintah Daerah provinsi
Adalah keputusan/kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Pokjanal tingkat provinsi, dalam hal ini diwakili oleh pihak
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai kebijakan apa saja yang telah
dikeluarkan dan bagaimana implementasinya.
8) Kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
Adalah keputusan/kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Pokjanal tingkat Kabupaten/Kota, dalam hal ini diwakili oleh
pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai kebijakan apa saja yang telah
dikeluarkan dan bagaimana implementasinya.
9) Implementasi Kebijakan di Tingkat Desa
Adalah gambaran pelaksanaan kebijakan desa siaga aktif di tingkat desa.
Sumber: wawancara mendalam, studi dokumentasi.
Informan: Kepala Desa.
Tujuan: Didapatkan informasi mengenai gambaran pelaksanaan kebijakan
desa siaga aktif.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif
analitik melalui pendekatan studi kasus. Studi kasus dipilih karena peneliti
mencoba untuk menjelaskan mengapa sebuah kebijakan tersebut diambil,
bagaimana pengimplementasiannya serta dampaknya terhadap masyarakat,
dibandingkan dengan capaian ataupun indikator berdasarkan teori dan konsep
yang telah ada sebelumnya (Yin, 2009). Hal ini akan mengeksplorasi secara
mendalam bagaimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan saling
berkaitan terhadap pencapaian suatu kebijakan. Melalui sifat pendekatan bottom
up, peneliti mengkaji kondisi secara nyata di lapangan, kemudian dilanjutkan
dengan mengikuti arus kebijakan yang bersifat vertikal ke atas untuk mencari
letak permasalahan dan hambatan dalam pengimplementasian kebijakan.
Selain itu, peneliti melakukan analisis konten (content analysis),
literature review, wawancara mendalam dan studi dokumentasi yang terkait
kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara mendalam
implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif di Kabupaten Sumedang.

4.2 Tahapan Penelitian


1) Persiapan
Pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, maka hal yang
pertama yang dilakukan adalah menyusun rancangan peneltian.
Rancangan penelitian ini didasarkan pada data dan literatur yang relevan
bagi penelitian ini. Penelusuran literatur dilakukan dengan
menggunakan beberapa kata kunci, “pemberdayaan masyarakat”,”desa
siaga aktif”,”community engagement”, “community empowerment”,
digabungkan dengan“implementasi desa siaga aktif”. Kata kunci
tersebut digunakan untuk mengumpulkan referensi artikel jurnal ilmiah
nasional dan internasional, pedoman, peraturan melalui Proquest,
Google Search, EbscoHost. Setelah kepustakaan yang terkumpul

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


dicermati daftar isi, abstrak dan artikel lengkap, dilakukan pemilihan
terhadap isi dan konteks artikel tersebut.
Selanjutnya adalah peneliti menetapkan daerah yang akan diteliti.
Peneliti mengambil lingkup implementasi kebijakan tingkat Kabupaten
Sumedang dengan mengambil dua desa terpilih sebagai sampel dan
meneliti kaitannya terhadap kebijakan pemerintah pusat dan provinsi,
serta menetapkan informan-informan yang dapat dijadikan sumber
informasi bagi penelitian ini. Kemudian peneliti menyiapkan instrumen
berdasarkan rancangan penelitian yang telah disusun pada tahap awal.
2) Lapangan
Tahapan ini adalah tahapan pengambilan informasi dari informan-
informan yang telah ditetapkan sebelumnya (purposive informan). Data
diambil dengan menggunakan teknik wawancara mendalam serta telaah
dokumen dari informan yang miliki sebagai data tambahan. Peneliti
menekankan pada proses kebijakan dan implementasinya, bukan pada
produk/output yang dihasilkan dari kebijakan tersebut.
3) Pengolahan Data
Tahap terakhir adalah dimana semua data dikumpulkan dan dianalisis
berdasarkan teknik manajemen data dan analisis data yang telah
disinggung sebelumnya. Data yang telah direduksi dan dianalisis
berdasarkan kesesuaian dengan penelitian ini, kemudian diambil
kesimpulan sampai pada akhirnya dinarasikan.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di tatanan pemerintahan Kabupaten Sumedang dengan
menggunakan desa yang masih aktif menjalankan Kebijakan Desa Siaga Aktif.
Selain itu, penelitian dilakukan juga di Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kementerian Kesehatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan April-Oktober
2014.

4.4 Informan
Informan yang dipilih adalah pelaksana dan pengampu kebijakan pada tatanan
pemerintah pusat dan daerah dengan karakteristik yang memahami dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


memiliki andil dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan
khususnya program desa siaga aktif. Adapun informan yang dipilih di dalam
penelitian ini adalah:
1) Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
2) Kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat
3) Penangung Jawab Program Desa Siaga, Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumedang
4) Petugas Promkes, UPTD Puskesmas Sukamantri
5) Petugas Promkes, UPTD Puskesmas Rancakalong
6) Kepala Desa Tanjungmedar, Kecamatan Tanjungkerta
7) Kepala Desa Pangadegan, Kecamatan Rancakalong

4.5 Teknik Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman
wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, data
program, literature, dan peraturan perundang-undangan/produk hukum. Alat
yang dipergunakan dalam pengambilan informasi ini dapat berupa alat perekam
suara dan gambar.

4.6 Manajemen Data


Pada pengelolaan data kualitatif yang terkumpul baik dari hasil wawancara
maupun dalam bentuk data sekunder, kemudian langkah selanjutnya adalah
melakukan reduksi (data reduction) dengan membuat transkrip dan
diorganisasikan dalam bentuk matriks.
Dalam rangka menjamin keabsahan data dalam penelitian, maka peneliti
melakukan uji kredibilitas data dengan melakukan triangulasi sumber dan
teknik.
a. Triangulasi sumber dengan cara cross check data yang diperoleh melalui
beberapa sumber dan membandingkan antar informasi,
b. Triangulasi teknik dengan membandingkan hasil wawancara mendalam
dengan studi dokumentasi yang didapatkan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


4.7 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan oleh peneliti meliputi:
1) Analisis sebelum ke lapangan, dalam hal ini analisis dilakukan terhadap
data hasil studi sebelumnya atau data sekunder agar terfokus.
2) Analisis data di lapangan, saat dilapangan peneliti melakukan analisis
terhadap jawaban informan, jika dianggap kurang memuaskan maka
peneliti akan mengejar kepada sumber informan lain yang memahami
dan mengetahui apa yang menjadi pertanyaan sampai dirasakan
informasi yang diperoleh cukup.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Kebijakan Nasional Desa Siaga Aktif


Desa Siaga Aktif merupakan salah satu kebijakan pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan yang dilaksanakan secara lintas sektor. Desa
Siaga Aktif ini merupakan revitalisasi dari konsep Desa Siaga yang telah
dimulai pada tahun 2006 sebagai konsep pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan yang ingin membangkitkan era kejayaan Pos Kesehatan Masyarakat
Desa (PKMD) yang telah mengalami kemunduran pasca reformasi. Dengan
kondisi tersebut, maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Dalam Negeri merevitalisasi konsepnya menjadi konsep kekinian
yang dinamakan Desa Siaga Aktif.
Keputusan Menteri Kesehatan (KEPMENKES) Nomor 1529 Tahun 2010,
yang merupakan landasan hukum operasionalisasi desa siaga aktif, yang
kemudian ditegaskan dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan
(PERMENKES) Nomor 65 Tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat,
mengamanatkan bahwa implementasi desa siaga aktif harus dapat dilaksanakan
secara menyeluruh dengan target pada tahun 2015 yaitu 80% desa atau
kelurahan di Indonesia sudah terbentuk desa siaga aktif. Akan tetapi
berdasarkan data dan informasi pengembangan desa kelurahan siaga aktif tahun
2013, capaian program desa siaga aktif masih berada pada 65%. Sehingga
perkembangan desa siaga aktif tidak terlihat signifikan. Walaupun memang
pengembangan dan pengaktifan konsep ini memerlukan suatu proses.
Kebijakan desa siaga aktif ini berdasar pada pemberdayaan dan
kemandirian yang dimana masyarakat bersama dengan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan dengan mengoptimalkan upaya kesehatan masyarakat. Selain
itu, Desa Siaga Aktif telah masuk ke dalam SPM Kesehatan di kabupaten/kota
sehingga sudah menjadi tanggung jawab dan wewenang kabupaten/kota untuk
menyelenggarakan kesehatan berbasis pemberdayaan masyarakat.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Desa Siaga Aktif ini memiliki 8 indikator sebagai kriteria bagi
desa/kelurahan untuk menentukan strata dan keaktifannya. Indikator tersebut
yaitu: 1) Adanya forum Desa/Kelurahan, 2) Jumlah KPM/kader kesehatan, 3)
kemudahan akses pelayanan kesehatan dasar, 4) posyandu dan UKBM lainnya
yang aktif, 5) adanya dukungan dana untuk kegiatan kesehatan di
desa/kelurahan, 6) adanya peran serta masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan, 7) adanya dukungan peraturan Kepala Desa atau peraturan
Bupati/Walikota, dan 8) pembinaan PHBS.
Dari hasil wawancara dengan informan, didapatkan bahwa pelaksanaan
program ini memang mengalami kendala, masih adanya daerah yang belum
mengerti dan paham tentang pentingnya desa/kelurahan siaga aktif dan
kurangnya dukungan dari desa/kelurahan menjadi salah satu faktor
penghambat.

5.2 Implementasi Desa Siaga Aktif


Pada pelaksanaan kebijakan desa siaga aktif, terdapat berbagai kendala
yang dihadapi di lapangan, terutama di daerah-daerah. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya daerah yang belum sepenuhnya melaksanakan desa siaga aktif
karena terbentur berbagai kendala, salah satunya otonomi daerah.
Gambar 5.1 Alur Pengembangan Kebijakan Desa Siaga Aktif

Tingkat Pusat
Perangkat Kebijakan

Tingkat Daerah Provinsi


Kebijakan Hukum
Pengembangan Pedoman

Tingkat Daerah Kabupaten


Pengembangan Pedoman Kebijakan Hukum

Tingkat Daerah Kecamatan


Pengembangan Pedoman Kebijakan Hukum

Implementasi di Desa/
Kelurahan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Implementasi kebijakan Desa Siaga Aktif bervariasi tiap daerah provinsi
(lihat tabel 1.1). Hal ini berkaitan dengan kapasitas daerah untuk menjalankan
kebijakan tersebut. Perlunya dukungan dari pemerintahan daerah dan
masyarakat sangat diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan ini, karena secara
konsep kebijakan ini bergantung terhadap kemandirian daerah dan
masyarakatnya.
Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri telah
membuat perangkat kebijakan yang melandasi Desa Siaga Aktif. Selain
Kepmenkes Nomor 1529 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan
Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
140/1508/SJ Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan
Kelompok Kerja Operasional dan Forum Desa dan Kelurahan Siaga Aktif, maka
disusunlah Permenkes Nomor 65 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan
Masyarakat. Perangkat kebijakan ini harus sampai pada tingkat daerah sebagai
pedoman umum, kemudian pemerintah daerah mengembangkannya sesuai
dengan kapasitas daerah. Apabila tidak dapat dikembangkan, maka konsep
otonomi daerah tidak berjalan.
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka dalam proses
pengimplementasian kebijakan perlu memperhatikan beberapa aspek sehingga
kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, seperti; 1) Aspek
Komunikasi, 2) Aspek Sumber Daya, 3) Aspek Persepsi dan sikap pelaksana, 4)
Struktur Birokrasi, dan 5) Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik.

5.2.1 Implementasi Desa Siaga Aktif di Provinsi Jawa Barat


Dalam konsep otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota bahwa urusan kesehatan merupakan urusan
wajib yang telah menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota.
Urusan kesehatan yang menjadi perhatian Pemerintah Daerah adalah
peningkatan pelayanan kesehatan guna mempercepat pencapaian Milenium
Development Goals (MDGs) pada Tahun 2015, melalui penyediaan dana untuk
pembangunan sarana kesehatan, pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


menular.
Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), telah dilaksanakan pendampingan
dan pelatihan PHBS bagi 4.000 kader POSYANDU se-Jawa Barat, pemberian
jaminan bagi masyarakat miskin, gelandangan, serta pasien pasung sebanyak
25.200 pasien untuk rawat jalan/UGD dan 18.204 pasien untuk rawat inap.
Bentuk komitmen pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap kebijakan
Desa Siaga yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur tentang Tim
Pembina Gerakan PHBS, Keputusan Gubernur tentang Tim Pembina
Kabupaten/Kota Sehat, dan pengembangan monitoring dan evaluasi desa siaga
aktif di lingkungan provinsi Jawa Barat.
Pencapaian dan target Jawa Barat terhadap cakupan PHBS, Desa Siaga
Aktif, dan poskesdes dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1 Cakupan PHBS, Desa Siaga Aktif dan Poskesdes Provinsi
Jawa Barat

Tahun 2013 Tahun 2014


Indikator
Target Realisasi Target Realisasi
Persentase Rumah Tangga 50% 48% 52% 49%
ber-PHBS
Desa Siaga Aktif 70% 79.09% 75% 82.4%
Poskesdes yang beroperasi - 2.425 1.728 -
Sumber: Visualisasi Data Prov. Jawa Barat, 2014

Dari tabel di atas, terlihat bahwa cakupan program PHBS masih belum
memenuhi target pada tahun 2013 dan 2014. Dan untuk Desa/Kelurahan Siaga
Aktif belum dapat sepenuhnya dilaksanakan sepenuhnya pada tahun 2013-2014
di lingkungan Provinsi Jawa Barat, walaupun sudah memenuhi target minimal
yang telah disusun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan
informasi yang didapatkan dari wawancara, bahwa hambatan dalam
pelaksanaan desa siaga aktif ini yaitu kurangnya dana operasional kegiatan desa
siaga aktif dan motivasi bagi daerah sehingga mereka kurang bersemangat
dalam mengembangkan dan mempertahankan desa siaga aktif yang sudah
berjalan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Untuk persentase rumah tangga ber-PHBS tiap wilayah dapat dilihat pada
diagram berikut.

Gambar 5.2 Persentase Rumah Tangga ber-PHBS per Kabupaten


di Jawa Barat Tahun 2014

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (data sudah diolah)

Banyaknya daerah yang belum ber-PHBS mengindikasikan bahwa upaya


kegiatan desa/kelurahan siaga aktif belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Terlihat dari gambar bahwa Kabupaten Sumedang masih 44,2% dan berada di
bawah cakupan Jawa Barat 49,4%.

Sedangkan, pemantauan terhadap rumah tangga ber-PHBS pada tahun


2013 dari jumlah rumah tangga yang ada di Jawa Barat, baru 54,93% saja telah
dipantau. Artinya, pembinaan dalam bentuk pemantauan baik dari pemerintah
Provinsi Jawa Barat maupun dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota belum
maksimal dalam melaksanakan kebijakan dan menjalankan kewajiban dalam
urusan kesehatan. Kecenderungan upaya kesehatan masyarakat masih belum
menjadi prioritas daripada upaya kuratif.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Grafik 5.1 Perkembangan Rumah Tangga Sehat di Jawa Barat 2013

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (data sudah diolah)

Walaupun terjadi perkembangan grafik rumah tangga sehat di Jawa Barat


secara konsisten, tetap saja target yang sudah ditetapkan belum mencapai
harapan. Dari realisasi 48,36% pada 2013, masih ada sekitar 1,64% rumah
tangga yang belum terapai berdasarkan target Jawa Barat dan 16,64% belum
tercapai berdasarkan target nasional.

Untuk program Desa Siaga Aktif di Provinsi Jawa Barat, strata yang lebih
banyak adalah strata pratama kemudian strata madya. Hal ini dapat
digambarkan pada diagram di bawah ini.

Diagram 5. 1 Persentase Desa Siaga Aktif di Jawa Barat 2013

3.12%

Strata
8.63% Pratama
Strata Madya

40.52% Strata
26.84%
Purnama
Strata
Mandiri

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (data sudah diolah)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Dari diagram di atas, terlihat bahwa persentase strata pratama sangat
tinggi, yaitu 40,52%. Strata pratama merupakan tingkatan pertama desa siaga
aktif yang masih belum optimal dalam penyelenggaraan desa siaga aktif, salah
satunya adalah belum adanya dukungan dari kepala daerah dalam bentuk
peraturan sebagai pengembangan kebijakan maupun hukum untuk
implementasi desa siaga aktif. Sedangkan strata mandiri merupakan tingkatan
yang paling tinggi dalam klasifikasi desa siaga aktif dengan keseluruhan
indikator aktif.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam upayanya mendukung
kegiatan program desa siaga aktif, telah melaksanakan beberapa kegiatan
diantaranya,
1) Kegiatan Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dengan alokasi
anggaran sebesar Rp.1.357.500.000,-, realisasi anggaran sebesar
Rp.1.256.035.500,- atau 92,53%. Hasil kegiatan adalah tercapainya
kesepakatan pemegang komitmen atau kebijakan di seluruh
Kabupaten/Kota dalam meningkatkan PHBS Rumah Tangga, melalui
IV-16 penyediaan leaflet PHBS sebanyak 68.000 lembar; Form kegiatan
sebanyak 20.000 lembar; Media promosi kesehatan berupa spanduk
sebanyak 2 buah; Calon gerakan masyarakat di 26 Kabupaten/Kota
tentang penyebaran Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) melalui
sosialisasi; Rencana tindak lanjut gerakan masyarakat di 26
Kabupaten/Kota; Mensosialisasikan informasi kesehatan melalui media
masa dan elektronik; serta menyediakan balon udara tentang PHBS
sebanyak 1 buah.
2) Kegiatan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat BKPM
yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dengan
alokasi anggaran sebesar Rp.70.000.000,-, realisasi anggaran sebesar
Rp.67.580.000,- atau 96,54%. Hasil kegiatan adalah meningkatnya
pemahaman masyarakat terhadap kesehatan paru dengan menyebarkan
informasi kesehatan melalui media elektronik (radio) dan media cetak
berupa 100 lembar poster dan 3000 lembar pamflet; Serta menjalin

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kemitraan dengan 100 orang Programer Tuberculosis (TB) Puskesmas
dalam pertemuan Jejaring Eksternal Program DOTS.
3) Kegiatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dasar, yang
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dengan alokasi
anggaran sebesar Rp.90.000.000,-, realisasi anggaran sebesar
Rp.89.690.000 atau 99,66%. Hasil kegiatan adalah terlaksananya
Program keswa, gimul, kestrad, kesorga, kesindera di Kabupaten/Kota
dapat memenuhi sasaran, melalui koordinasi dan evaluasi kesehatan
tradisional dan kesehatan olahraga di Provinsi Jawa Barat.
4) Kegiatan Koordinasi dan Fasilitasi Kabupaten/Kota Sehat dan Siaga
yang dilaksanakan Biro Pelayanan Sosial Dasar Provinsi Jawa Barat
dengan alokasi anggaran sebesar Rp.278.750.000,-, realisasi anggaran
sebesar Rp.278.375.000,- atau 99,8%. Hasil kegiatan adalah tercapainya
Kabupaten/Kota sehat di 26 Kabupaten/Kota, melalui fasilitasi dan
pembinaan Kabupaten/Kota Sehat/Siaga di 26 Kabupaten/Kota untuk
persiapan verifikasi tahun 2013 dan peningkatan komitmen kemampuan
Kabupaten/Kota untuk mencapai Desa Siaga dan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS).

5.2.2 Implementasi Desa Siaga Aktif di Kabupaten Sumedang


Sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah dan sesuai dengan tugas dan
tangung jawab daerah dalam melaksanakan kebijakan desa siaga aktif, maka
Pemerintah Kabupaten Sumedang menyusun beberapa produk kebijakan dan
hukum, yaitu:
a. Keputusan Bupati Sumedang Nomor 440/Kep.53.a-Dinkes/2007
tentang Pembentukan Pokjanal Kabupaten Siaga di Kabupaten
Sumedang
b. Keputusan Bupati Sumedang Nomor 440/Kep.133-Dinkes/2007 tentang
Pembentukan Paguyuban Sumedang Sehat
c. Surat edaran Bupati Sumedang Nomor 440/729/Dinkes Tahun 2007
tentang pengembangan Desa Siaga di Seluruh Kecamatan di Kabupaten
Sumedang

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


d. Keputusan Bupati Sumedang Nomor 002/Kep.443-Dinkes/2007 tentang
Penetapan Penerimaan Penghargaan Program Pemberdayaan
Masyarakat di Bidang Kesehatan di Kabupaten Sumedang
e. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang Nomor
800/892/III/UMUM/2007 tentang Pembentukan Tim Kerja Desa Siaga
di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.
f. Peraturan Daerah atas Peraturan Bupati Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir.
Selain komitmen dalam bentuk kebijakan, Pemerintah Sumedang telah
menjalin kerjasama lintas sektor dengan sektor pendidikan dan perguruan
tinggi yang ada di lingkungan Kabupaten Sumedang. Institusi yang pernah
menjalin kerjasama yaitu Akper Pemkab Sumedang, Program Studi Ilmu
Keperawatan dengan dibentuknya Nursing Center, dan STIKES UNSAP
Sumedang. Kerjasama ini terjalin sebelum kebijakan Desa Siaga Aktif lahir,
sehingga pada masa kebijakan baru ini masih belum terlalu terlihat aktifitas
pendukung.
Kegiatan pengembangan desa siaga dimulai dari tingkat kabupaten
dengan pembentukan Tim Fasilitator Desa Siaga Kabupaten Sumedang dan
melakukan kemitraan dengan Paguyuban Sumedang Sehat dalam
mensosialisasikan program desa siaga. Upaya-upaya yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam pengembangan desa siaga tersebut
telah memberikan dampak yang cukup baik, dimana pada tahun 2013 di
Kabupaten Sumedang telah terbentuk 284 (100% desa siaga). Dalam
Rencana Strategis (RENSTRA) Program Promosi Kesehatan Dinas
Kabupaten Sumedang tahun 2014 masih banyak target yang harus dicapai
diantaranya untuk program Desa Siaga Purnama Mandiri 25%, Posyandu
Purnama Mandiri 65% dan PHBS Rumah Tangga 52%.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Grafik 5.2 Grafik Perkembangan Desa Siaga Aktif di Kabupaten Sumedang

140

120

100

80

60

40

20

0
Pratama Madya Purnama Mandiri

2011 2012 2013

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Dari grafik diatas, terlihat bahwa terjadi penurunan dan kenaikan dari
jumlah strata desa siaga aktif di Kabupaten Sumedang. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak mudahnya mempertahankan strata desa siaga
aktif, dan kegiatan belum dapat secara kontinyu dan berkesinambungan.
Untuk strata desa siaga aktif di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 5.2 Jumlah Strata Desa Siaga Aktif dan RPJMD 2014 Kabupaten
Sumedang
Strata RPJMD 2014
Purnama

Purnama
Pratama

Mandiri

Mandiri

No Kecamatan ∑ Desa
Madya

15%

10%

1 Jatinangor 9 3 0 0 12 1-2 1
2 Cimanggung 3 3 2 3 11 1-2 1
3 Tanjungsari 3 3 1 0 7 1 1
4 Margajaya 0 5 0 0 5 1 1
5 Sukasari 2 4 1 0 7 1 1
6 Harugombong 4 2 0 0 6 1 1
7 Pamulihan 5 0 0 0 5 1 1

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Strata RPJMD 2014

Purnama

Purnama
Pratama

Mandiri

Mandiri
No Kecamatan ∑ Desa

Madya

15%

10%
8 Rancakalong 0 8 2 0 10 1-2 1
9 Sumedang selatan 5 3 0 0 8 1 1
10 Sukagalih 2 4 0 0 6 1 1
11 Kotakaler 3 0 0 0 3 0 0
12 Situ 0 8 1 1 10 1 1
13 Ganeas 6 2 0 0 8 1 1
14 Situraja 5 4 5 0 14 2 1
15 Cisitu 9 1 0 0 10 1-2 1
16 Darmaraja 5 7 2 2 16 2 1-2
17 Cibugel 4 3 0 0 7 1 1
18 Wado 4 4 3 0 11 1-2 1
19 Jatinunggal 1 6 2 0 9 1 1
20 Jatigede 12 0 0 0 12 2 1
21 Tomo 0 5 4 1 10 1 1
22 Ujungjaya 0 5 4 0 9 1 1
23 Conggeang 9 3 0 0 12 2 1
24 Paseh 0 8 2 0 10 1 1
25 Cimalaka 0 5 9 0 14 2 1
26 Cisarua 0 6 1 0 7 1 1
27 Sukamantri 5 0 0 0 5 1 1
28 Tanjungkerta 7 0 0 0 7 1 1
29 Tanjungmedar 9 0 0 0 9 1 1
30 Buahdua 0 5 4 0 9 1 1
31 Hariang 0 5 0 0 5 1 1
32 Surian 2 7 0 0 9 1 1
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Pengembangan Desa Siaga Aktif di lingkungan daerah Sumedang memang


belum sepenuhnya berpatokan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1529 Tahun 2010. Hal ini dinilai karena indikatornya sama dan belum semua
desa dapat menjalankan desa siaga.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…walaupun indikatornya sama, tapi kan kita itu masih dalam
proses itu. Sehingga untuk proses yang lebih aktif 1529, kita baru
mau melaksanakan sekarang (2014)…” (DK)

“…Nah kemarin saya waktu pas sekitar 2013, mulai dibentuk lagi.
Dan sampai sekarang kepengurusan udah deal, tapi masih belum
menjadi desa siaga aktif. Ada beberapa indikator yang belum
tercapai, misalnya untuk gladi (simulasi bencana)…” (P2)

Salah satu indikator dalam Desa Siaga Aktif yaitu pembinaan dan
penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Berikut disajikan
grafik perkembangan PHBS di Lingkungan Kabupaten Sumedang.
Grafik 5.3 Perkembangan PHBS di Kabupaten Sumedang

46
44.79
44

42 42.02
41.3
40

38 38.5

36

34
2010 2011 2012 2013

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Tahun 2014, Kabupaten Sumedang memiliki target capaian perkembangan


Posyandu Purnama mandiri sebesar 65%. Posyandu merupakan salah satu indikator
penilaian Desa Siaga Aktif. Grafik di bawah menyajikan perkembangan Posyandu
di daerah Kabupaten Sumedang.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Grafik 5.4 Perkembangan Posyandu di Kabupaten Sumedang

2011 2012 2013

714 715

578 584
500 504

241
208 212 229
168 177

Pratama Madya Purnama Mandiri

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Dari grafik diatas, terlihat terjadi peningkatan strata, walaupun terdapat


penurunan pada strata pratama dan madya. Hal ini karena strata pratama telah
berangsur meningkat ke strata yang lebih lanjut, sehingga pada strata purnama
dan mandiri terlihat adanya kecenderungan peningkatan.
Sedangkan untuk strata posyandu, dapat dilihat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.3 Jumlah Strata Posyandu di Kabupaten Sumedang
Strata
Jml Posyandu Kader Aktif
Pratama Madya Purnama Mandiri
177 504 715 229 8089 1625
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Pencapaian berbagai kegiatan diatas, dapat disajikan dalam tabel di bawah ini
dibandingkan dengan target atau renstra yang sudah disusun.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Tabel 5.4 Capaian Kegiatan dan Kesenjangan Berdasarkan Renstra Dinas Kesehatan
Kabupaten Sumedang
No Kegiatan Strata Hasil Kegiatan Renstra 2014 Kesenjangan
Desa Siaga Purnama 43 43 0
1
Aktif Mandiri 7 28 21
Posyandu Purnama 715 780 65
2
Mandiri 229 276 47
3 PHBS 44,7% 52% 7.23%
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)
Dari tabel diatas, dapat kita lihat bahwa masih adanya target yang belum
tercapai dari kegiatan Desa Siaga Aktif, Posyandu dan PHBS. Hal ini
mengindikasikan bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut belum dapat
dilaksanakan secara maksimal di lingkungan Kabupaten Sumedang, terutama
pada tataran pelaksana puskesmas dan rumah tangga. Perlunya komitmen dan
dukungan dari segala sektor menjadi faktor keberhasilan pelaksanaan program
tersebut.

5.3 Karakteristik Informan


Informan dalam studi analisis desa siaga aktif ini berjumlah 7 orang, antara
lain:
8) Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
9) Kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat
10) Penangung Jawab Program Desa Siaga, Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumedang
11) Petugas Promkes, UPTD Puskesmas Sukamantri
12) Petugas Promkes, UPTD Puskesmas Rancakalong
13) Kepala Desa Tanjungmedar, Kecamatan Tanjungkerta
14) Kepala Desa Pangadegan, Kecamatan Rancakalong

Adapun usia informan bervariasi, Antara usia 29-65 tahun. Pendidikan


paling rendah adalah SLTP dan paling tinggi adalah Magister Kesehatan (S2).
Sebagai gambaran informan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Tabel 5.5 Karakteristik Informan

Nama Kode Pendidikan Usia


Informan 1 DP Magister 46 tahun
Informan 2 DK Sarjana 35 tahun
Informan 3 P1 Sarjana 30 tahun
Informan 4 P2 Sarjana 29 tahun
Informan 5 KD SLTA 65 tahun
Informan 6 KD2 SLTP 42 tahun
Informan 7 KK Magister

Berdasarkan rencana penelitian, peneliti ingin mengambil kepala puskesmas


sebagai informan, namun dalam praktiknya peneliti tidak memiliki kesempatan
untuk mewawancarai karena dinas luar kota dan pada akhirnya digantikan oleh
penanggung jawab program desa siaga aktif.
Dalam rangka validasi data, peneliti melakukan penelusuran data-data sekunder
yang berhubungan dengan informasi yang didapatkan berkaitan dengan variabel
penelitian.
5.4 Proses Implementasi Kebijakan
5.4.1 Komunikasi
Aspek komunikasi pada penelitian ini melingkupi transmisi, konsistensi dan
kejelasan. Berikut hasil wawancara peneliti yang didapatkan dari informan.
1) Transmisi
Pada aspek transmisi ini, parameter yang diukur yaitu bagaimana proses
penyampaian kebijakan tersebut dan apakah ada petunjuk
pelaksanaannya. Informan menunjukkan bahwa desa siaga aktif
merupakan revitalisasi dari kebijakan desa siaga sebelumnya.
Pelaksanaan desa siaga ini mendapatkan aksi yang cepat dari Dinas
Kesehatan Provinsi maupun Kabupaten.

“…kami secara…apa namanya…marathon langsung membentuk


desa siaga ini keseluruh desa di Jawa Barat…” (DP)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…emang desa siaga di Kabupaten Sumedang itu, dari awal itu,
emang sudah booming. Kalau gak salah, itu 2007, dari sejarah,
masuk 2007..malah untuk kabupaten Sumedang, khususnya desa
siaga Banjarsari Kecamatan Jatinunggal itu
masuk..provinsi…juara provinsi program desa siaga..kalau gak
salah juara kedua…” (DK)

Akan tetapi seiring dengan perubahan dan revitalisasi, konsep desa siaga
aktif yang merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1529
Tahun 2010, belum dapat dilaksanakan secara maksimal terutama di
lingkungan kerja dinas kesehatan Kabupaten Sumedang. Hal ini dinilai
karena indikatornya sama dan belum semua desa dapat menjalankan
desa siaga.

“…walaupun indikatornya sama, tapi kan kita itu masih dalam


proses itu. Sehingga untuk proses yang lebih aktif 1529, kita baru
mau melaksanakan sekarang (2014)…” (DK)

“…Nah kemarin saya waktu pas sekitar 2013, mulai dibentuk lagi.
Dan sampai sekarang kepengurusan udah deal, tapi masih belum
menjadi desa siaga aktif. Ada beberapa indikator yang belum
tercapai, misalnya untuk gladi (simulasi bencana)…” (P2)

Konsep desa siaga aktif ini menjadi lambat pengimplementasiannya,


padahal konsep ini sudah dikembangkan sejak 2010. Masih adanya
persepsi bahwa desa siaga aktif hanya modifikasi indikator dari konsep
desa siaga sebelumnya dan adanya penekanan lebih kepada
pembentukan strata menjadi salah satu faktor penghambat. Sedangkan
inti dari program pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana
memberdayakan masyarakat menjadi tahu, mau, dan dapat
mengusahakan upaya kesehatan secara mandiri dengan potensi yang
dimilikinya.
Sedangkan pada indikator proses penyampaian kebijakan, seluruh
informan menyatakan bahwa dalam sosialisasi kebijakan tingkatan level
pemerintahan maupun masyarakat dilaksanakan secara berjenjang. Hal
ini dilaksanakan sesuai dengan hirarki level pemerintahan secara
vertikal dan adanya sistem birokrasi yang harus ditempuh. Ini dilakukan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


agar proses penyampaian dapat berjalan efektif walaupun membutuhkan
waktu yang banyak dalam proses penyampaiannya.

“…Kemudian kita juga sudah menginstruksikan agar


kabupaten/kota juga melakukan hal yang sama secara berjenjang
sampai ke bawah…” (DP)

“…Untuk dalam kegiatan sosialisasi, kita itu kan…hamper setiap


minggu itu ada. Untuk desa siaganya ada, posyandunya juga ada,
posyandu kan ukbm yah..untuk phbs juga ada…” (DK)

“…berjenjang saja dari provinsi ke kabupaten. Nah, untuk


sosialisasi, biasanya kami dari petugas promkes ada pertemuan
khusus gitu, nah sosialisasinya biasanya di tingkat kabupaten
seperti itu, dari dinas biasanya, untuk lebih menjangkau…”(P1)

Keterangan dari puskesmas 1 menambahkan bahwa selain sosialisasi


dilakukan berjenjang, sosialisasi kepada level pemerintahan desa dan
masyarakat (kader) dilakukan berdasarkan pertemuan rutin di desa.

“….Trus sasaran yang paling inih, biasanya ke bidan desa. Karena


kan bidan desa ada di desa setempat. Setelah itu biasanya bidan
desa sosialisasi lewat pertemuan. Dan kebetulan di wilayah R ada
paguyuban kader se-desa, nah kader dititipkan sosialisasi untuk ke
masyarakat…” (P1)

“…Jadi nantinya bukan ketua desa siaga, tapi ketua forum. Forum
desa siaga. Langsung oleh kepala desa. Waktu itu teh saya
sosialisasi minggu akhir di kecamatan...”(P2)

“…Nah, setelah payung hukumnya ada dalam bentuk perdes, nah


tinggal kita sosialiasi kepada masyarakat dan pada akhirnya
masyarakat mengerti…” (KD2)

Penguatan secara internal pada tatanan puskesmas, khususnya tenaga


promosi kesehatan dilakukan sebagai langkah strategis untuk
membentuk tim dan penguatan antar petugas.

“…kita kan petugas promkes sudah mendapat sosialisasi di tingkat


kabupaten, sebelum ke bawah kita sosialisasikan dulu di tingkat
puskesmas..karena kan kita di puskesmas tim..lah.. Selanjutnya,
sosialisasi biasanya disampaikan oleh petugas puskesmas di dalam
rapat-rapat atau pertemuan kader, rapat minggonan di desa
ataupun kecamatan…” (P1)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…Jelas, secara rutinitas kami…pertama menyampaikan kepada
para perangkat desa, itu kan ada rapat rutin setiap seminggu
sekali...Maka saya intern dulu perangkat desa, kasih tahu, itu
program-program yang akan dijalankan oleh kepala desa…” (KD2)

Dari aspek transmisi, dapat disimpulkan bahwa proses pentransmisian


dilakukan secara berjenjang dengan menghadirkan perwakilan masing-
masing daerah. Setelah itu, perwakilan yang menghadiri sosialisasi
kebijakan harus mengadakan pertemuan dalam rangka penguatan dan
tahap sosialisasi pada tatanan masyarakat. Bentuk transmisi yang
dilakukan yaitu berupa pedoman yang telah disusun oleh pusat dan
pedoman pengembangan dari provinsi.

2) Konsistensi
Pada aspek ini, indikatornya adalah apakah kebijakan desa siaga
aktif dapat disosialisasikan secara kontinyu atau tidak. Informasi yang
didapatkan memberikan gambaran bahwa kebijakan Desa Siaga Aktif
tidak ada yang ditambahkan kecuali jika ada peraturan tambahan atau
penunjang disesuaikan dengan daerah masing-masing. Selain itu,
sosialisasi terus dilakukan secara rutin dengan tujuan penguatan
kebijakan atau program.

“…Untuk dalam kegiatan sosialisasi, kita itu kan…hampir setiap


minggu itu ada. Untuk desa siaganya ada, posyandunya juga ada,
posyandu kan UKBM yah..untuk PHBS juga ada…”(DK)

Sementara pada tatanan desa, kebijakan akan dilanjutkan dari


pemerintahan desa sebelumnya ke pemerintahan desa yang baru. Akan
tetapi, pada tatanan pelaksanaan dimungkinkan bahwa program desa
siaga aktif dapat tidak dilaksanakan secara penuh dan tergantung
kepada kewenangan kepala desa itu sendiri.

“…Itu pak, kalau…kepala desa berhenti ya pak ya.. ya mungkin itu


ditibankan kepada kepala desa yang baru..serah terimakan
keuangan dan sebagainya…” (KD1)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Peraturan dari pusat dalam hal ini kementerian kesehatan ataupun dinas
kesehatan provinsi akan disampaikan sesuai dengan yang telah diterima
sebelumnya. Sehingga untuk peraturan lain yang bersifat peraturan
tambahan yang menunjang kebijakan utama, diserahkan kepada daerah.

“…Tentang perda kiblanya, terus tentang pelayanan kesehatan


dasarnya, itu sudah semua…(DK)

“…Tentang peraturan menteri kesehatan perubahan dari desa


siaga sebelumnya penguatan ke desa siaga aktif…” (P1)

“…Kita kan sosialisasi ke masyarakat kebijakannya seperti ini,


indikatornya seperti ini…” (P2)

Dari informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa pada aspek konsistensi,


kebijakan desa siaga aktif di lingkungan Kabupaten Sumedang telah
secara konsisten disosialisasikan dan diberikan penguatan.
3) Kejelasan
Pada aspek ini, dinilai muatan dari kebijakan Desa Siaga Aktif ini
apakah dapat dimengerti oleh setiap pihak, baik itu masyarakat maupun
para pelaksana kebijakan. Terkadang dalam penyampaian kebijakan
atau program, terutama dari masyarakat terjadi pemahaman yang kurang
imbang atau kurang dimengerti. Namun demikian, secara umum
kebijakan desa siaga aktif dapat diterima di Provinsi Jawa Barat dan
Kabupaten Sumedang pada khususnya. Hal ini karena Kabupaten
Sumedang telah terbiasa dengan konsep desa siaga.

“…kadang-kadang ada masyarakat yang kontra. Tapi kebanyakan


yang pro. Tapi mungkin karena ketidaktahuannya...” (KD2)

“…kan kepala desanya berganti-ganti terus ya..mereka itu banyak


tidak paham untuk sosialisasi ke camat, ke desa itu harus rutin dan
terus…” (DP)

Walaupun demikian, hambatan pun tidak dapat dihindari. Salah satunya


adalah pemahaman masyarakat terhadap konsep desa siaga aktif. Masih
adanya yang beranggapan bahwa desa siaga aktif lebih berat daripada
desa siaga sebelumnya.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…Kita kan sosialisasi ke masyarakat kebijakannya seperti ini,
indikatornya seperti ini. Kok katanya enakan desa siaga,
dibandingkan dengan desa siaga aktif..” (P2)

Salah satu upaya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten


Sumedang agar penyampaian program tidak salah sasaran yaitu dengan
melibatkan sektor-sektor terkait sesuai dengan tujuan dan pihak-pihak
yang akan terlibat dalam program tersebut.

“…sekarang mah PHBS kan ada indikatornya, jadi kan indikator


yang menyangkut ini program mana aja, siapa sih yang bisa
mendukung kebijakan ini..udah mulai ke arah sana …” (DK)

5.4.2 Sumber daya


1) Alokasi Anggaran
Konsep desa siaga aktif memang dimulai pada tahun 2006, akan tetapi
untuk dukungan dana operasional khusus bagi desa siaga aktif mulai
pada tahun 2010 sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada dana pada saat itu,
hanya digunakan untuk pertemuan evaluasi setahun dua kali. Informasi
ini berdasarkan informan sebagai berikut.

“…untuk kebijakan desa siaga aktif, desa siaga mulai 2006. Pada
saat itu, pusat itu sekaligus juga memberikan anggaran kepada
dinas kesehatan khususnya di tempat saya ini, melalui APBN untuk
sosialisasi dan pelatihan dalam rangka pembentukan desa siaga…
…karena tidak ada lomba, mulailah…kemudian pusatnya juga
sudah mulai menghentikan biaya-biayanya, hanya untuk pertemuan
evaluasi satu tahun dua kali…” (DP)

Walaupun tidak ada alokasi khusus untuk peningkatan kapasitas desa


siaga aktif, dana yang ada hanya dalam bentuk kegiatan saja, contohnya
adalah PHBS.
“…Untuk dana ada. Ada kegiatan untuk peningkatan PHBS rumah
tangga dalam meningkatkan desa siaga aktif itu ada...” (DK)

Sedangkan pada tatanan nasional, dana diberikan dalam suatu paket


BOK. Dana ini digunakan oleh puskesmas untuk keperluan pembinaan
kegiatan-kegiatan saja, tidak secara khusus dalam bentuk desa siaga
aktif. Informasi ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…Kita sih untuk kesehatan, bentuknya tidak dalam bentuk desa
siaga. Sebenarnya dalam bentuk….kita punya BOK. Yang
didalamnya sebenarnya ada aktifitas desa siaga itu tadi...(KK)

Alokasi anggaran desa siaga aktif secara konsep lebih


menitikberatkan kepada upaya masyarakat, karena program ini
merupakan pemberdayaan bersumber masyarakat. Akan tetapi, para
pelaksana pada level bawah mempersepsikan bahwa harus adanya
alokasi khusus pada kementerian pusat untuk program desa siaga aktif
seperti yang telah terlaksana pada program desa siaga sebelumnya.
Begitupun alokasi anggaran daerah dari pemerintah provinsi Jawa Barat
untuk kesehatan. Sebagian besar penggunaan adalah dalam bentuk
revitalisasi kegiatan pokok program desa siaga aktif.
Tabel 5.6 Alokasi Anggaran dan Penyerapan untuk Kesehatan
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013
No Jenis Kegiatan Alokasi Rincian Kegiatan
1 Peningkatan Perilaku 1.000.000.000 - Pembinaan PHBS 26
Hidup Bersih dan Sehat Penyerapan: Kabupaten/Kota sehat dan
(PHBS) 936.538.550 siaga
- Penyediaan promosi isu
kesehatan
- Sosialisasi SJSN
- HKN ke-49
2 Peningkatan Pelayanan 300.000.000 - Tercapainya indikator KIA,
KIA, UKS, dan Lansia Penyerapan: UKS, dan lansia
285.039.500 - Penanganan masalah korban
kekerasan anak
- Monev pelaksanaan
jampersal
3 Peningkatan Kualitas 371.200.000 - pembinaan penatalaksanaan
Pelayanan Kesehatan Penyerapan: kesehatan jiwa masyarakat
Dasar 358.814.500 - monev pelayanan kesehatan
dasar

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


No Jenis Kegiatan Alokasi Rincian Kegiatan
- koordinasi perkesmas
- koordinasi pengembangan
pelayanan kesehatan dasar
4 Pemantauan, Pencegahan 428.950.000 - pelaksanaan masalah gizi
dan Penanggulangan Penyerapan: mikro di daerah endemic
Kurang Gizi 396.890.635 - Sosialisasi peningkatan
pemberian ASI di tempat
kerja
- Sosialisasi program
penanggulangan Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY)
- Dokumen pendampingan
peningkatan cakupan gizi di
puskesmas
5 Kegiatan Program Hibah 100.000.000 - peningkatan intervensi
Kompetensi Institusi Penyerapan: sadarzi
(PHKI) 91.853.995 - terbinanya keluarga sadarzi
di 3 puskesmas kecamatan
6 Koordinasi, Fasilitasi dan 375.000.000 peningkatan komitmen dan
Verifikasi Penyerapan: kemampuan kabupaten/kota
Kabupaten/Kota Sehat 374.601.000 untuk desa siaga dan PHBS
Dan Siaga
7 Pengembangan Jejaring 343.496.000 Koordinasi dan sinergisitas
dalam Pelayanan Kasus Penyerapan: dalam pencegahan dan
TB Paru 268.492.000 pengobatan pasien TB Paru
dengan dinas kesehatan
kabupaten/kota
8 Koordinasi dan Fasilitasi 542.200.000 terlaksananya fasilitasi penilaian
TP-UKS Penyerapan: lomba sekolah sehat di 26
541.745.000 kabupaten/kota

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


No Jenis Kegiatan Alokasi Rincian Kegiatan
Kabupaten/Kota di Jawa
Barat
9 Surveilance Penyakit dan 100.000.000 Penyediaan media
Penanggulangan Penyerapan: penanggulangan KLB tingkat
Kejadian Luar Biasa 77.662.900 Provinsi Jawa Barat
Sumber: LKPJ Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa alokasi anggaran yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak ada kekhususan kepada
program desa siaga aktif. Begitu pun dengan alokasi dari Kementerian
Kesehatan. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan desa siaga aktif tingkat
desa dan puskesmas harus mencari anggaran dari sumber-sumber lain
yang sekiranya dapat diterima.
Berikut tersaji alokasi anggaran pemerintah kabupaten Sumedang
beserta sumber pendanaan dalam rangka pengembangan Desa Siaga
Aktif.
Tabel 5.7 Kegiatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang dalam Rangka
Pengembagan Desa Siaga Aktif Tahun 2013

No Nama Kegiatan Biaya Sumber


1 Pertemuan petugas promkes dalam rangka
peningkatan Strata Desa Siaga Aktif
2 Pertemuan Tim Pokjanal Siaga Aktif tingkat
Kabupaten dalam rangka terwujudnya
Kabupaten Sehat tahun 2013 120.000.000,-
APBD
3 Pertemuan Penguatan Kapasitas Tim Pokjanal Kegiatan RKA I
Siaga Aktif Tingkat Kecamatan
4 Pertemuan dalam Rangka Implementasi PHBS
pada Tatanan Institusi Pendidikan di Model
Desa Siaga Aktif

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


No Nama Kegiatan Biaya Sumber
5 Pertemuan Dalam Rangka Penguatan Forum
Masyarakat Desa Demi Terwujudnya Model
Desa Siaga Aktif
6 Pertemuan Tim Pokjanal Siaga Aktif Tingkat
Kabupaten dalam rangka terwujudnya
Kabupaten Sehat 2013
7 Pertemuan dalam rangka penguatan Forum
Masyarakat desa Demi Terwujudnya Model
Desa Siaga Aktif
8 Pertemuan dalam Rangka Strategi
Pengembangan PHBS Melalui Dasawisma
9 Pertemuan Dalam Rangka Rakontek Promkes
10 Workshop Pemetaan Desa Siaga Paseh 86.620.276,-
PIK
11 Workshop pemetaan Desa Siaga Tanjungsari Kegiatan 1 RKA
12 Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu di 7
Kecamatan (Ujung Jaya, Cibugel, Rancakalong, 205.343.8985,- PIK
Tanjungsari, Situ, Tanjungkerta)
13 Sosialisasi JKN melalui Badan Penyelenggara
300.000.000.- APBD
Jaminan Sosial (BPJS) Tahun 2014
14 Penyelenggaraan Penyehatan Lingkungan
175.000.000,- APBD
Kabupaten Sehat
Rp 886.964.171
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang (data sudah diolah)

Semua informan pada tingkatan desa dan puskesmas menyatakan bahwa


anggaran desa siaga aktif itu dilakukan secara mandiri, karena termasuk
indikator dalam pelaksanaan program tersebut. Desa siaga aktif yang
merupakan salah satu bentuk dari pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan, diharapkan dapat menciptakan kemandirian masyarakat
dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan. Sehingga, bentuk kegiatan
kemandirian masyarakat dapat dilakukan dengan segala upaya yang
bersumber dari masyarakat itu sendiri.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…Tapi untuk ditahun-tahun sekarang itu belum ada…(dana dari
pusat atau provinsi)…” (DK)

“…Di awal-awal itu memang…cukup bagus yah..responnya.


sehingga kami sendiri bisa menganggarkan di APBD provinsi untuk
lomba penyelenggara desa siaga... Tetapi ternyata dengan
penyempurnaan Kepmenkes 1529 tahun 2010 itu dimana disitu
indikator desa siaga aktif itu salah satunya menjadi ada dukungan
dana dari desa….. “ (DP)

“…karena desa siaga itu dulunya..bersumber daya dari masyarakat


ya..untuk awal anggaran itu biasanya kan ada kesepakatan iuran
dari masyarakat…”(P1)

Hal serupa diungkapkan pada level pemerintahan desa, bahwa tidak


adanya dana dari pusat ataupun provinsi terkait program Desa Siaga
Aktif. Berbeda dengan tahun lalu yaitu pada kebijakan Desa Siaga yang
masih mendapatkan dana untuk operasional kegiatan.

“…Nah ini, tidak ada desa siaga itu. Mandiri pak, sumber daya
masyarakat…” (KD1)

Sehingga dalam menyiasati kekosongan dana operasional Desa Siaga


Aktif, maka pemerintahan desa beserta kepengurusan Desa Siaga Aktif
membentuk kebijakan untuk mengumpulkan dana dari PNS.

“…Dan kebetulan Tanjung Medar punya donator khusus dan tetap.


PNS…” (P2)

Adapun untuk alokasi yang lain, didapatkan dari Pagu Indikatif


Kewilayahan (PIK) dan hasil Musyawarah Perencanaan dan
Pembangunan (MUSRENBANG) Desa.

“…misalkan kemarin…kita mendapatkan dana dari dana PIK,


berupa peralatan desa siaga…seperti meubeler, buku aktifasi,
papan-papan data…”(KD2)
“…Mungkin yah..itu juga kan mandiri. Pasti kan sarana masih
kurang, cuman mengandalkan kalo desa siaga dari PIK” (P2)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Sedangkan dalam menjalin kerjasama dengan pihak swasta, selama
ini mengalami kendala dan tidak ada yang bekerjasama. Kalaupun ada,
itupun sudah merupakan kegiatan desa siaga, bukan desa siaga aktif.
Salah satu faktornya adalah ketidaktahuan akan prosedur dalam
pengajuan permintaan dana tambahan atau proposal kegiatan.

“…Kebetulan untuk dulu, desa siaga seperti ini…desa siaga


nagarawangi..desa siaga sauyunan..dulu pernah bekerjasama
dengan perusahaan kopi singa….Kayak kegiatan-kegiatan..paling
ya gitu..kerjasama dengan misalkan…produk-produk cussons, dulu
kan pernah…”(P1)

“…Tapi kalau saya butuh dana ke kabupaten, saya


membutuhkan..untuk pengembangannya.. tapi kan saya awam,
harus kemana saya minta dana, atau proposal kemana ditujukan…”
(KD1)

Pada awalnya memang ada alokasi khusus untuk Desa Siaga, namun
ketika bergeser kepada Desa Siaga Aktif maka masyarakat dalam hal ini
diwadahi oleh kepengurusan Desa Siaga Aktif harus dapat memetakan
permasalahan mereka dengan sumber daya yang dimiliki, termasuk
dalam hal pendanaan. Pendanaan kesehatan dari pusat dialihkan kepada
BOK, agar dapat memaksimalkan kegiatan dari puskesmas untuk
membina masyarakat.

2) SDM
Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang menilai bahwa keterbatasan
sumber daya manusia terutama petugas promkes di lingkungan kerja
Kabupaten Sumedang menjadi salah satu faktor penghambat. Tidak
semua petugas promkes berstatus PNS dan banyaknya bidan desa yang
memegang program yang mirip dengan tujuan sama menjadi hambatan
dalam pelaksanaan desa siaga aktif. Sehingga pelaksanaan program
yang seharusnya berjalan sesuai waktu, tidak dapat terpenuhi karena
berbenturan dengan program yang lain.

“…Untuk SDM itu emang…salah satu indikator penyebab kurang


pesatnya desa siaga. Misalkan dari 32 puskesmas kita miliki, 32

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


petugas promkes, itu belum PNS semua. Dalam artian mungkin
karena status yah... Kadang-kadang untuk bidan desa sendiri, kan
terlalu banyak pekerjaan, terlalu banyak program, dengan tujuan
yang sama, tapi programnya berbeda-beda. Itu yang jadi
masalah…” (DK)

Walaupun ketersediaan SDM terbatas hampir seluruh petugas promkes


di lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang telah
sarjana. Sehingga pemahaman dan kompetensinya dapat selaras dan
sama.

“…petugas kami itu hamper semua S1. Hapir semua S1. Berarti kan
pemahaman, pengetahuan hampir sama...”(DK)

Hanya saja, ada kendala yang masih menjadi tugas bersama, yaitu
peningkatan kapasitas kader, pelatihan secara kontinyu dan
berkesinambungan serta penambahan kader untuk program ke
depannya. Upaya penambahan kader tidak dapat dilakukan begitu saja,
hal ini terkait pendanaan yang masih belum jelas.

“Jelas..karena cuma kader posyandu…75% lah kader posyandu


lah pelaksana. Jadi itu memang salah satu masalah sih sebenarnya
…Kalau dimasukkan kita, saya lemparkan ke desa, desa angkat
tangan darimana saya membayar transport…” (P2)

“Saya rasa…karena jaman sudah semakin gimana gitu ya…apalagi


untuk kedepannya…saya rasa dengan SDM yang saat ini memang
boleh dikatakan cukup. Tapi kalau melihat untuk apa…kedepannya
itu jelas..harus terus ada pembinaan, peningkatan” (KD2)

Adanya kecemburuan status kepegawaian, dikhawatirkan menjadi salah


satu penghambat pelaksanaan desa siaga aktif.

“...Misalkan dari 32 puskesmas kita miliki, 32 petugas promkes, itu


belum PNS semua...” (DK)

“Masa kader lain (yang baru) dapat (transport), saya nggak.” (P2)
Dari hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa masih adanya
keterbatasan SDM dalam pelaksanaan kebijakan Desa Siaga Aktif. Hal

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


ini karena banyaknya bidan desa dan petugas promkes yang merangkap
tugas dengan kegiatan yang berbeda-beda, sehingga untuk
pendampingan tidak dapat dilakukan secara maksimal. Selain itu,
adanya kecemburuan status kader dan petugas fasilitator menambah
permasalahan SDM.

3) Fasilitas
Ketersediaan sarana-prasarana masih dirasakan kurang di tatanan
desa. Hal ini dimungkinkan karena masih mengalami keterbatasan dana.
Sejak digulirkannya desa siaga aktif, dan keharusan adanya dana dari
masyarakat yang bersifat mandiri, maka sarana dan prasarana penunjang
desa siaga aktif tidak lagi bersumber dari pusat ataupun provinsi bahkan
daerah. Akhirnya, fasilitas penunjang pun sudah ada yang rusak dan
dalam kondisi yang kurang karena keterbatasan dana.
“Nah itu yang jadi masalahnya. Jadi kan, soalnya kan, diinstrumen
yang baru ada dukungan dana dari pemerintah desa, ada dukungan
dari dunia usaha, dan ada dukungan dana dari masyarakat. Orang
desanya juga yg jelas-jelas mengelola anggaran. Itu belum
mendukung..” (DK)

“misalkan di poskesdes..kan itu salah satu bentuk bagian dari desa


siaga ya..misalkan tempat tidur atau tempat periksa
pasien..kondisinya kan kadang-kadang sudah parah..” (P1)

“fasilitas memang agak kekurangan. Pertama mungkin, untuk


fasilitas kegiatan-kegiatan kader, terus atau mungkin yang…ya
contohnya fasilitas lah pak” (KD1)

“…Pasti kan sarana masih kurang, cuman mengandalkan kalo desa


siaga dari PIK...” (P2)

Untuk mengantisipasi kendala yang ada, maka kepengurusan desa siaga


dibantu oleh puskesmas berupaya membidik keuangan dari pos-pos
anggaran lain.

“Pernah masukan proposal yah. Dinas juga kan tidak ada


anggaran, jadi bidiknya kata dinas ke khususnya ke kami ke petugas,
tolong bidik satu PIK, dua ADD, ketiga PNPM” (P2)

“Biasanya puskesmas sih, suka konsul di acara musrenbang di


desa.. musyawarah perencanaan pembangunan…biasanya

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


puskesmas mendorong ke kader untuk pengajuan penyediaan
fasilitas di poskesdes.” (P1)

Dari informasi diatas dapat disimpulkan bahwa fasilitas penunjang untuk


kegiatan Desa Siaga Aktif masih terbatas dan kurang. Hal ini karena tidak
adanya anggaran yang memadai dalam pengadaan fasilitas tersebut.
5.4.3 Persepsi Pelaksana Kebijakan
Pada aspek ini terdapat dua indikator yang diukur, yaitu sikap dari
pelaksana kebijakan terhadap kebijakan atau program Desa Siaga Aktif dan
hubungan antara institusi.
Indikator pertama, berdasarkan informasi yang didapat, adanya kesan
pesimis dari Dinas Kesehatan Provinsi terhadap implementasi desa siaga
aktif pada awal diberlakukannya Kepmenkes Nomor 1529 Tahun 2010,
sehingga menimbulkan pengenduran dalam hal keaktifan desa siaganya. Hal
ini diduga karena kewajiban desa untuk menganggarkan sendiri pendanaan
dari kas desa ataupun dari masyarakat. Berikut kutipan informasi yang
didapatkan dari informan.

“…karena dirasakan, saya menduganya dirasakan sudah mulai gak


aktif. Tetapi ya kami kritisi ya…bahwa desa siaganya itu menjadi…ada
beberapa kriteria yang menjadikan sulit. Dimana disitu indikator desa
siaga aktif itu salah satunya ada dukungan dana dari desa. Nah inilah
yang menghambat diseluruh desa…” (DP)

Hambatan pun dirasakan ketika sosialisasi kebijakan desa siaga aktif


(Kepmenkes 1529 Tahun 2010) kepada kepala daerah, terutama kepala
desa. Pemahaman dari para kepala desa menjadi salah satu faktor
penghambat, karena masih adanya sikap dari kepala desa yang belum
sepakat atau belum menemukan jalan bagaimana desa harus
mengalokasikan anggaran desa untuk kegiatan desa siaga aktif. Kemudian
hal ini dikuatkan karena masih adanya pemahaman bahwa desa siaga aktif
adalah milik kesehatan, sehingga pemerintah desa dirasa tidak perlu untuk
melaksanakan kebijakan tersebut.

“…nah..dana desa inilah yang menurut pengamatan saya selama


ini…menjadi faktor hambatan. Desa itu banyak yang tidak
mengeluarkan anggaran, walaupun sebenarnya masih aktif. Karena

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


mereka menurut saya kurang terpapar. Kemudian lebih cenderung
jalannya itu selalu milik kesehatan…” (DP)

“..Masalahnya ngadukung teu pamarentah desana. Nya rek


siapapun warnanya, desa siaga mah seperti ini.”(DK)

“...kayak kegiatan posyandu itu rata-rata kan selama ini yang ada
dipikiran itu.,..posyandu itu bidang kesehatan…jadi kadang-kadang
mereka,..ah udah ada yang ituin dari puskesmas.. dan mungkin salah
satu permasalahan…” (P1

Selain itu, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat melihat kebijakan desa
siaga aktif merupakan kebijakan yang kurang tepat jika di terapkan di
daerah perkotaan. Hal ini karena desa sudah tidak lagi cocok dengan kondisi
urban, karena desa/kelurahan terlalu luas dan tingkat partisipasi masyarakat
di daerah perkotaan berbeda jauh dengan partisipasi masyarakat di
pedesaan.

“…kalau diperkotaan yang maju itu udah susah


pendekatannya..kan jadi sekarang ada juga di kelurahan, kelurahan
siaga. Kalau kelurahan itu terlalu luas untuk jaman
sekarang…..kalau ditingkat desa tuh udah jarang yang mau aktif
lah.. terlalu luas isitilahnya” (DP)

Tidak adanya sanksi ataupun punishment bagi daerah/desa yang tidak


mendukung desa siaga aktif ini dengan salah satu aspeknya yaitu tidak
adanya pendanaan dari desa sehingga implementasi program tersebut tidak
dapat berjalan secara maksimal. Pemerintah daerah tidak bisa memberikan
instruksi untuk memberikan sanksi karena ini merupakan kebijakan pusat.

“…Kalau memang harus, ya sulit kepala desa, tidak ada sanksinya.


Sampai sekarang itu tidak ada sanksinya. Saya selalu minta tolong
inventarisir nama-nama desa, tanya ke kepala desanya masing-
masing, ada berapa persen yang melakukan dana..dan yang nggak.
Yang nggak itu kenapa? Itu karena tidak ada instruksi dan tidak ada
punishment…” (DP)

Dinas kesehatan kabupaten sumedang memiliki pandangan lain


terhadap desa siaga. Program yang sejatinya adalah pemberdayaan
masyarakat, sehingga segala sumber daya harus bersumber dari masyarakat,
akan tetapi pemerintah pusat membenturkan dengan program lain dari

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kementerian yang berbeda, yaitu dengan adanya program Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat. Menurutnya program tersebut sangat bertolak
belakang dengan konsep desa siaga yang merupakan lintas sektor tersebut.

“…karena kita itu berbenturan dengan program yang lain.. disisi


lain, kita itu berupaya untuk memberdayakan masyarakat,
memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar mereka itu tahu,
agar mereka itu mau, agar mereka itu mampu, tapi disisi lain ada
program yang lain. Misalkan, tah PNPM. Judulnya kan program
nasional pemberdayaan masyarakat, tapi kan mereka itu bawa
senjata (dana)…” (DK)

Hal inilah yang menimbulkan adanya kesenjangan antar program yang


sama-sama berasal dari pemerintah dengan domain yang sama, yaitu
program pemberdayaan masyarakat akan tetapi perlakuan berbeda. Akan
lebih baik jika program semua pemerintah dapat terintegrasi ke dalam satu
wadah yang dinamakan desa siaga. Hal itu dimungkinkan karena desa siaga
mencakup berbagai aspek yang aktif di dalamnya.

“…beda sekarang dengan posyandu.. posyandu kan pemberdayaan,


tapi kan SK posyandu, bangunan dipasihan ku PNPM..ya pasti
berjalan. Ada transportnya, ada PMTnya, perlu timbangan dikasih
timbangan, perlu KMS dikasih KMS. Itu kan rata semua.. untuk desa
siaga? Belum mungkin…Tapi kan desa siaga itu, urusan bencanana,
berarti korlapnya mana, apakah koramilna apakah polisina, apakah
misalkan teh, apakah siapanya…sigana lebih simpel seperti
itu…”(DK)

Pemahaman kerjasama lintas sektor, yang seharusnya dapat digunakan


untuk menguatkan desa siaga aktif, menjadi salah satu faktor penghambat
berjalan atau tidaknya program lintas sektor.
“…adanya dana dari desa itu. Karena kalau gak ada…itu juga
harusnya mah kewajibannya langsung aja instruksi dari atas..bila
perlu uangnya juga dari atas. Kalau memang harus, ya sulit kepala
desa, tidak ada sanksinya..” (DP)

“Kemudian lebih cenderung jalannya itu selalu itu milik kesehatan.


Padahal di kebijakannya itu…kalau desa itu lebih taatnya itu lebih
ke kemendagrinya” (DP)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Secara keseluruhan, para pelaksana kebijakan mengikuti instruksi dari
pusat, khususnya dalam pedoman atau juklak/juknisnya.
“..misalkan yang tadi kan, kepmenkes 1529, itu prinsip dasarnya,
termasuk pedoman pelaksanaan phbs rumah tangga, kita itu masih
dari provinsi” (DK)

“…Bingung sih kalau seperti itu mah.. yang namanya evaluasi kan,
yah…kita ngikut yang atas.”(P2)

Indikator kedua, menggambarkan hubungan antar institusi. Hal ini


dilakukan karena kebijakan program Desa Siaga Aktif merupakan program
lintas sektor dan membutuhkan institusi pemerintah dan lembaga lainnya
untuk berkoordinasi dan bekerja secara berkesinambungan. Informasi yang
didapat terkait hubungan antar institusi, terkendala dalam intensitas
pertemuan koordinasi. Berikut kutipan wawancaranya.

“…sebenarnya gini ya..kendalanya kurang intens ya.. kurang.. ya kita


hanya satu kali setahun..yang resminya..di tingkat provinsi itu..sesuai
anggaran dari pusat.. tapi kita juga sebenarnya..anggaran daerah juga
ada untuk koordinasi.. hambatannya sebenarnya..mereka itu
menganggap bahwa ini masih kerjaannya kesehatan…” (DP)

Upaya peningkatan kerjasama lintas sektor, terus digiatkan oleh


pemerintah dinas kesehatan kabupaten Sumedang. Dimulai pelatihan bagi
fasilitator sampai kegiatan lomba desa siaga tingkat kabupaten.

“…terus lintas program, lintas sektor, kita juga sudah melakukan


bermacam kegiatan. Termasuk dari dinas juga ada semacam pelatihan
fasilitator desa siaga, pelatihan kader posyandu, pelatihan
pemberdayaan, terus kita ada perlombaan desa siaga tingkat
kabupaten, ada perlombaan kader posyandu, ada perlombaan
fasilitator desa siaga…”(DK)

5.4.4 Struktur Birokrasi


1) Distribusi wewenang dan tanggung jawab
Tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan masih belum optimal. Masih
adanya kekurangan dalam hal koordinasi dan pembinaan terhadap level
pemerintahan bawah masih belum dirasakan begitu besar.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…ya..pusat..ya memang sangat minim sekali. Kalau untuk desa
siaga pusat itu cukup memberikan anggaran saja.. selesai.. dan
meminta laporannya. Tapi ya itu, terobosan-terobosan, seminar gitu
misalnya..tentang desa siaga aktif..mengundang pembicaranya dari
antar departemen terkait gitu..nah itu juga..belum kami diundang
tuh oleh pusat itu…” (DP)

“…untuk pengawasan-pengawasan sendiri, mungkin belum


yah..mungkin terbentur biaya..terbentuk waktu mungkin…” (DK)

Selain itu, koordinasi antar kementerian terhadap lomba desa yang


menjadi salah satu motivator desa untuk menyelenggarakan
pemerintahan desa yang maksimal masih kurang. Menurut Dinas
Kesehatan Provinsi, seharusnya Kementerian Kesehatan dapat masuk ke
lomba desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan
memberikan usulan bahwa salah satu penyelenggaran desa terbaik
adalah dengan melaksankana program desa siaga aktif. Tidak cukup itu
saja, seharusnya lomba desa pun dapat diadakan sampai tingkat
nasional, tidak hanya berhenti pada level provinsi.

“…jadi kementerian kesehatan, menitipkan ke Kemendagri, kalau


lomba desa itu sampai nasional..itu ada kriteria desa siaga. Oh
langsung tuh jalan semua (desa siaga). Nah ini gak ada..kita sudah
berhasil instrumennya tingkat provinsi tuh..siaganya...begitu ke
pusat, katanya instrumentnya gak ada ini, jadi di drop lagi nilai-
nilai siaganya. Jadi sebenarnya yang menang itu bisa jadi
siaganya gak berjalan, tapi bisa jadi juara…” (DP)

Masih adanya pemilahan tanggung jawab dan kewenangan dalam


implementasi program desa siaga aktif menjadikannya sebagai salah
satu kendala. Hal ini tercermin dari sikap para pejabat pemerintahan,
baik itu tingkat pusat, daerah maupun desa. Sehingga dengan adanya
pemilahan kewenangan dan tanggung jawab, pemerintahan desa banyak
yang tidak secara maksimal melaksanakannya.

“…kemudian lebih cenderung jalannya itu selalu miilik kesehatan.


Padahal di kebijakannya itu…kalau desa itu lebih taatnya ke
Kemendagrinya. Harusnya dari pusat ada semacam…upaya
pendekatan ke Kemendagri untuk mengadakan desa siaga itu dari
mereka, termasuk kebawah ke BPMD, Camat, dan BPD… Itu pasti
bagus rata-rata dari Kemendagri. Kalau melibatkan kepala

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


daerah, kepala wilayah, kalau dari Kemendagri lebih dihormati
dan lebih dilaksanakan. Kalau kesehatan itu ya seperti itulah…”
(DP)

Terdapat pembagian kewenangan dan tanggung jawab terkait kinerja


lintas sektor. Walaupun berada dalam sektor yang berbeda, akan tetapi
pengurus desa siaga menjalin kerjasama sebagai strategi dalam
meningkatkan koordinasi dan keefektifan program.
“Misalnya kan tanjung mekar kan, pertanian dan perikanan. Jadi
mereka mengambilnya itu. Saya juga pernah sih diundang, tapi
penyelenggaranya desa siaga. Seksinya seksi gizi.. masuk ke
program..” {P2)

“..selama ini Alhamdulillah sangat dirasakan lah dari setiap dinas


yang ada kaitannya dengan program desa siaga. Kita merasa didik,
dibina, ada banyak manfaatnya.” (KD2)

Sebagai bentuk dari otonomi dan kewajiban pemerintahan daerah,


Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang telah membentuk peraturan
yang mendukung kebijakan desa siaga aktif, yaitu Peraturan Daerah
tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita
(KIBBLA). Selain itu, pemerintah daerah membentuk tim kerja desa
siaga.

“…Tetapi kita juga dalam rangka mendukung desa siaga ada perda
Kibla nomor 3 tahun 2008, tentang pelayanan ibu bersalin. Jadi kan
setiap ibu yang mau bersalin, harus ditempat pelayanan kesehatan,
harus ke bidan desa,.. kalau tidak ke bidan desa,, itu ada semacam
punishment...” (DK)

Selain itu, pemerintah desa diberikan kewenangan dalam mengatur


besaran iuran yang dibebankan kepada masyarakat sebagai pendanaan
desa siaga aktif. Hal ini sejalan dengan otonomi daerah bidang
kesehatan, bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan merupakan hal
yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
“…Dan Alhamdulillah sampai saat ini dasolin ini sudah cukup
bagus…yang 500 per KK setiap bulannya itu disetorkan kepada
bendahara dasolin, dalam hal ini pengurus desa siaga...” (KD2)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…baru kepengurusan bersama itu…keputusan bersama…dengan
fokus jumlah iuran tee, satu bulan seribu”. (KD1)
2) SOP
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan, kebijakan
program desa siaga aktif di Provinsi Jawa Barat, khususnya di
Kabupaten Sumedang, pedomannya merunut kepada institusi yang
berada di atas, dalam artian kebijakan pemerintah pusat (Kementerian
Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi) dilaksanakan secara penuh.
Sehingga dalam pelaksanaannya menggunakan pedoman yang sudah
ada.

“…Sedangkan untuk kebijakan itu sendiri, kita masih mengadop


kebijakan dari provinsi. Masih mengadop kebijakan pusat. Kita
hanya melaksanakan, berarti kan perpanjangan tangan… Unttuk
pedoman, kita langsung dari pusat. Jadi kan kita itu dikasih
pedoman…semua puskesmas petugas promkes itu memberi
pedoman tersebut…” (DK)

Akan tetapi, pedoman yang ada ini memberikan hambatan kepada


tatanan pengurus desa siaga aktif, terutama dari petugas puskesmas,
bahwa pelaksanaan salah satu indikator dari desa siaga aktif yaitu
adanya simulasi kebencanaan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini karena
melihat kondisi lapangan yang masih belum dapat dipetakan potensi
bencana yang dapat terjadi.

“Kalau mau dimasukkan (indikator penanggulangan kebencanaan),


coba yang rawan total. Misalnya daerah cimanggung banjir, kalau
di Sumedang kan banyak perumahan, kebakaran.. kenapa
difokuskan semua.. kalau topografi Tanjngkerta, jarang..longsor
jarang.” (P2)

Walaupun pedoman dilakukan sesuai dengan pedoman pusat dan


provinsi, tetapi untuk sosialisasi Permenkes Nomor 65 Tahun 2013
tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan belum diterima
oleh tingkatan Kabupaten dan Puskesmas.

“…Secara umum sih lebih mengacu ke…kepmenkes itu sih


(Kepmenkes Nomor 1529 tahun 2010). Yang khusus seperti itu tidak
ada…” (P1)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…Iyah, belum dapat juknis untuk desa siaga aktif, yang baru
sekarang. Kita cuman memakai yang 2010 (Kepmenkes Nomor 1529
Tahun 2010)…” (P2)
Prosedur pelaksanaan kebijakan program, dilaksanakan secara
berjenjang. Salah satunya adalah mekanisme koordinasi. Sehingga
setiap daerah dan penanggung jawab program benar-benar
menanggungjawabkan programnya.

“…jadi di provinsi itu sekarang itu berjenjang.. Kita slelau


mengumpulkan orang kabupaten/kota termasuk…bukan hanya
dinas kesehatan saja tetapai BPMPD dan pemegang program-
program desa siaganya terutama yang bertanggung jawab di
kabupaten/kota di dinas kesehatan. Karena ini saya tekankan bahwa
sudah menjadi standar pelayaan..minimal dan menjadi target kita
tiap tahun, sehingga mereka itu juga harus bisa membina lagi
kebawahnya…” (DP)

Dari informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa SOP pelaksanaan atau


pedoman kegiatan desa siaga aktif sepenuhnya merujuk pada pedoman
yang telah disusun oleh Pusat dan pengembangan dari Provinsi.
Pelaksanaan di tingkat puskesmas dan desa menunjukkan bahwa
pedoman yang ada (dari Pusat dan Provinsi) masih perlu disesuaikan
lagi dengan kondisi di lapangan. Karena tidak semua pedoman atau
indikator dapat terpenuhi karena kondisi lapangan yang berbeda-beda.

5.4.5 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik


Secara umum, pelaksanaan desa siaga aktif secara tidak langsung
dipengaruhi oleh keadaan perekonomian masyarakat setempat. Sehingga
program-program lintas sektor yang sering diunggulkan didasarkan pada
mata pencaharian penduduk setempat, contohnya lintas sektor dengan
pertanian, kehutanan dan perikanan. Dari kerjasama lintas sektor ini
didapatkan penguatan terhadap isu gizi masyarakat.
“Rata-rata, mayoritas, karena daerah pertanian..petani.. mayoritas
itu. Berikut kader-kader ge petani. Kalau ada fasilitas pupuk, mungkin
kinerja lebih meningkat. Penanaman tomat dan sebagainya.” (KD1)

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“Misalnya kan tanjung mekar kan, pertanian dan perikanan. Jadi
mereka mengambilnya itu.” (P2)

Selain kondisi perekonomian masyarakat mempengaruhi terhadap


kerjasama lintas sektor, hal tersebut berpengaruh juga terhadap proses
pertemuan dan sosialisasi desa siaga aktif kepada masyarakat. Banyaknya
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan PNS,
menyebabkan kegiatan sosialisasi ataupun pertemuan kader seringkali
diadakan pada waktu sore hari sampai malam.
Pemahaman masyarakat terhadap kesehatan masih menjadi hambatan
dalam implementasi desa siaga aktif. Perlu ada usaha lebih dari para petugas
agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dengan kegiatan desa siaga.
“karena begini…masyarakat kalau di pedesaan kan kecenderungannya
masih bisa diarahkan, berbeda halnya dengan di perkotaan, kadang-
kadang melihat kepentingan sendiri” (P1)

“Untuk kegiatan kesehatan mereka itu menunggu ketika sakit. Sebelum


itu ya nggak.” (DK)

“Dalam hal ini kesadaran tanjung mekar, melihat cukup bagus. Cuman
akibat dari tidak mengerti itu…kurang pemahaman tentang desa
siaga.” (KD2)

Dari segi politik, kebijakan desa siaga aktif juga dipengaruhi oleh adanya
sikap ataupun perhatian dari kepala daerahnya, terutama kepala desa yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dukungan dari para pemangku jabatan politik
setidaknya menentukan apakah ada dukungan dana atau kebijakan alternatif
lain dalam menyiasati pendanaan mandiri desa siaga aktif.
5.5 Kondisi Geografis Daerah Kabupaten Sumedang
Sumedang memiliki luas wilayah sebanyak 155.871,98 Ha yang terdiri dari
26 kecamatan, 276 desa dan 7 kelurahan. Secara letak astronomis, Sumedang
berada pada posisi 6034’46,18” - 70 00’56,25” lintang selatan dan 1070 01’
45,63’ – 1080 12’59,04” bujur timur. Sedangkan secara letak geografis, wilayah
administrative Kabupaten Sumedang berbatasan langsung dengan wilayah
administrative:
a. Sebelah utara : Kabupaten Indramayu
b. Sebelah selatan : Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


c. Sebelah barat : Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang
d. Sebelah timur : Kabupaten Majalengka.
Keadaan suhu udara pada umumnya berkisar Antara 200C – 280C dengan
ketinggian tempat berkisar Antara 100m – 1100 meter di atas permukaan laut,
dan kelembaban berkisar Antara 65%-85% dan pH tanah berkisar Antara 4,5-
6,0.
Jumlah penduduk di Kabupaten Sumedang dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Sumedang, pada tahun 2012 jumlah penduduk tercatat 1.121.787
jiwa dan 1.108.169 jiwa pada tahun 2011. Sehingga laju pertumbuhan penduduk
(LPP) sebesar 1,23%.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB VI

PEMBAHASAN

Implementasi pada dasarnya adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut van Horn-van Meter dan Edwards
III, bahwa agar pengimplementasiannya baik dan sesuai dengan apa yang telah
disusun, setidaknya ada beberapa indikator yang harus diperhatikan oleh setiap
jenjang pemerintahan, yaitu 1) Komunikasi, 2) Alokasi Sumberdaya, 3)
Persepsi pelaksana kebijakan, 4) Struktur birokrasi dan 5) Kondisi sosial
ekonomi dan politik.

6.1 Keterbatasan Penelitian


Pada pelaksanaan penelitian ini, terdapat keterbatasan penelitian.
Keterbatasan-keterbatasan penelitian tersebut yaitu,
1) Penelitian ini hanya dilakukan pada dua desa dan dua puskesmas kecamatan
di wilayah Kabupaten Sumedang, sehingga informan pada tataran
pelaksanaan Desa Siaga Aktif terbatas,
2) Adanya kendala pada birokrasi, sehingga informan lintas sektor dari Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi
Jawa Barat tidak dapat dilakukan,
3) Keterbatasan informasi terkait besaran alokasi anggaran masing-masing
level pemerintahan

6.2 Komunikasi
Van Meter dan van Horn mengungkapkan bahwa komunikasi memegang
peranan penting bagi keberlangsungan koordinasi kebijakan. Berdasarkan
informasi didapatkan bahwa dalam proses komunikasi dan koordinasi
dilakukan secara bertahap dan berjenjang. Hal ini dilakukan karena tidak
mungkin untuk sosialisasi kebijakan kepada semua lapisan, karena keterbatasan
dana dan waktu. Adanya komunikasi berjenjang ini dirasakan efektif, akan
tetapi menjadi panjang prosesnya dan terhambat dengan birokrasi yang ada.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Proses berjenjang tersebut walaupun dinilai baik, akan tetapi untuk proses
penyerapan aspirasi para pelaksana kegiatan di tatanan grass root menjadi tidak
dapat dilakukan. Hal ini karena aspirasi yang akan disampaikan kepada tingkat
pembuat kebijakan harus melalui berbagai tahapan birokrasi setiap level
pemerintahan. Walaupun pada hakikatnya ada forum evaluasi pada setiap
jenjang birokrasi. Ini sejalan dengan pendekatan kebijakan secara top-down.
Artinya, segala kebijakan yang ada disusun dari pusat dan daerah diharapkan
menyesuaikan dengan kebijakan tersebut.
Selama ini bentuk koordinasi dan evaluasi pusat serta provinsi adalah dalam
bentuk laporan tertulis. Bentuk koordinasi dan evaluasi tersebut memungkinkan
minimnya pembinaan langsung bagi daerah. Walaupun demikian, koordinasi di
tingkat kabupaten dapat dilaksanakan secara langsung melewati pertemuan
petugas promkes se-Kabupaten Sumedang.
Dikaitkan dengan otonomi daerah, pemerintah desa dalam hal ini telah
melaksanakan amanat yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 65 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan, yaitu adanya
kewenangan kepada setiap daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk
mengoptimalkan sumber daya kesehatan bagi kemakmuran masyarakat dan
kesinambungan pembangunan kesehatan. Ini tercermin dalam adanya Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2008 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan
Anak Balita (KIBBLA). Hanya saja, di dalam memanfaatkan sektor dunia usaha
dan swasta masih belum teroptimalkan dengan baik sehingga menjadi salah satu
permasalahan pendanaan kegiatan desa siaga aktif di Kabupaten Sumedang.
Selain itu, sebagai kelanjutan otonomi daerah, pemerintah daerah provinsi
Jawa Barat telah mengeluarkan 2 keputusan gubernur tentang pembentukan
Tim Pembina Kabupaten/Kota Sehat dan Tim Pembina Gerakan PHBS di
wilayah Jawa Barat. Ini merupakan sebagai bentuk dari pelaksanaan kewajiban
daerah dalam upaya kesehatan.
Walaupun demikian, selama ini pemerintah daerah ataupun pelaksana pada
level bawah hanya bisa menunggu instruksi dari pusat saja. Sehingga,
pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat sepenuhnya terlihat karena
mengandalkan semua dari pusat.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


6.3 Sumber Daya
1) Alokasi Anggaran
Sebelum Kepmenkes 1529 berlaku pada tahun 2010, desa siaga
mendapatkan kucuran dana dari pusat sebagai stimulan bagi program desa
siaga agar terus aktif dan mendapatkan manfaat dari program tersebut.
Namun pada akhirnya alokasi di pusat tidak lagi ada untuk program desa
siaga aktif, baik itu dalam bentuk perlombaan tingkat nasional maupun
tingkat provinsi. Anggaran yang ada selama ini hanya untuk pembinaan
saja, dan hanya cukup untuk melakukan 1-2 kali pembinaan pada tingkat
provinsi dan kabupaten. Sehingga, anggaran dana yang tadinya begitu besar
didapatkan untuk melakukan program desa siaga sekarang dituntut untuk
menjadi mandiri dengan pendanaan dari alokasi yang lain. Inilah yang
menjadi hambatan hampir disetiap daerah. Walaupun daerah memiliki
kebijakan masing-masing dalam menangani masalah dana, seperti
mengalokasikan dari Pagu Indikatif Kewilayahan dan PNPM, tetapi
anggaran tersebut sangatlah terbatas. Akhirnya, pendanaan sebagian besar
dilakukan dari iuran masyarakat.
Pada pedoman pengembangan desa siaga aktif yang telah disusun oleh
Pusat yaitu Kepmenkes 1529 Tahun 2010 disebutkan bahwa Kementerian
Kesehatan berperan dalam mengalokasikan Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) untuk peningkatan kinerja puskesmas dan jaringannya untuk
pengembangan Desa Siaga Aktif. Akan tetapi pada pelaksanaannya, dana
BOK ini tidak ada yang khusus mengarah ke desa siaga aktif. Terlebih lagi
dana BOK ini terbatas dan masih banyak program-program lain yang harus
dilaksanakan oleh puskesmas.
Begitupun dengan provinsi, pada pedoman tersebut dinyatakan bahwa
provinsi diberikan tanggung jawab untuk memberikan dukungan dana dan
sumber daya lain untuk pengembangan dan pembinaan desa siaga aktif.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, karena pusat pun sudah
menghentikan alokasi anggaran langsung ke program desa siaga aktif, maka
pemerintah provinsi akhirnya tidak mengalokasikannya. Kalaupun ada

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


anggaran, maka anggaran tersebut dipergunakan untuk pembinaan dan
kegiatan koordinatif lainnya yang dilakukan minimal setahun sekali.
Selain anggaran dana dari provinsi, sebenarnya desa sudah diberikan
anggaran dari Pemerintah Pusat dan disesuaikan dengan perimbangan
daerah dalam hal ini berupa Alokasi Dana Desa. Rencana alokasi tahun
2015 saja, Kabupaten Sumedang akan mendapatkan Dana Desa sebesar Rp
54.466.317.825. Apabila dibagi rata dengan jumlah desa di Sumedang
mencapai 283 Desa, maka setiap desa akan mendapatkan kurang lebih Rp
192.460.487 (Kementerian Keuangan RI, 2014). Dan untuk tahun 2013-
2014 mungkin tidak jauh berbeda besaran alokasinya. Namun, dalam
pelaksanaannya alokasi dana desa ini lebih berfokus terhadap pembangunan
fisik desa, seperti jalan desa, saluran irigasi, jembatan, pasar, dan lainnya.
Inilah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan desa siaga aktif, karena
alokasi anggaran yang seharusnya terdapat untuk sektor kesehatan dan
pemberdayaan tidak dapat teralokasi secara baik.
Secara konsep, desa siaga aktif menuntut daerah agar mandiri dalam hal
pendanaan dan kegiatan termasuk kemandirian masyarakatnya. Konsep
inilah yang sama sekali belum dipahami secara penuh oleh masyarakat,
sehingga masih mengharapkan pendanaan dari pusat ataupun pemerintah
provinsi. Akan tetapi, program lain yang sama-sama merupakan
pemberdayaan masyarakat, yaitu PNPM masih mendapatkan dana dari
pemerintahan pusat yakni dari Kementerian Dalam Negeri. Hal inilah yang
menjadikan kecemburuan diantara para pelaksana program maupun para
kader.
Pendanaan secara mandiri yang menjadi salah satu indikator dalam
program desa siaga aktif dirasakan oleh beberapa daerah menjadi hal yang
sangat berat. Ketika lahirnya desa siaga karena bersumber dana dari pusat,
dan berkembang menjadi desa siaga aktif dengan tingkat kemandiriannya,
maka secara tidak langsung strata desa siaga yang sudah dipertahankan
sedemikian rupa menjadi merosot. Hal ini tentunya harus menjadi lebih
banyak pertimbangan lagi, karena setiap daerah tingkat kemandiriannya
tidaklah sama.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintahan daerah, baik dari
desa maupun kepengurusan desa siaga aktif, yaitu dengan menjalin
kemitraan dengan lintas sektor. Akan tetapi, karena kondisi perekonomian
daerah yang belum banyak sektor swastanya maka strategi ini pun hanya
mendapatkan sedikit pendanaan yang hanya cukup untuk mengadakan
kegiatan sekali saja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan
utama dalam pelaksanaan desa siaga aktif ini masih berada pada pendanaan
kegiatan.
2) SDM
Sumber daya manusia yang potensial dalam menunjang atau
menyukseskan program desa siaga aktif adalah bidan desa dan kader desa
siaga. Walaupun dihadapkan kepada rangkap tugas dan rangkap jabatan,
tapi setidaknya peran keduanya sangat mengambil andil.
Bidan desa dan kader merupakan ujung tombak kesehatan pada tatanan
masyarakat keluarga, karena dengan kehadiran mereka di tengah-tengah
masyarakat diharapkan menjadi agen perubahan yang membantu petugas
kesehatan yang berada di puskesmas. Akan tetapi terdapat permasalahan
dalam sektor SDM ini yaitu adanya kecemburuan sosial diantara kader desa
siaga dengan kader program lain, contohnya dengan kader PNPM. Kader
desa siaga itu pada dasarnya tidak diberikan gaji, sedangkan kader PNPM
setiap bulan mendapatkan gajinya dari pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Dalam Negeri. Padahal kedua program pusat ini sama-sama
berlabel pemberdayaan masyarakat. Hal ini mengakibatkan banyaknya
kader desa siaga yang tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai upaya strategi dari kepengurusan desa siaga aktif dan dibantu oleh
puskesmas, maka kader desa siaga aktif di dua wilayah informan diberikan
sistem gaji dari alokasi dana yang sudah ada sebesar 10%. Walaupun tidak
besar jumlahnya, diharapkan dapat memacu motivasi kader agar lebih
semangat dalam menjalankan program atau kegiatan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


3) Wewenang
Pada pedoman pengembangan desa siaga aktif yang telah disusun oleh
Kementerian Kesehatan, telah disusun sedemikian rupa tanggung jawab dan
kewenangan setiap jenjang pemerintahan yang terlibat dalam
pengembangan Desa Siaga Aktif. Dalam pedoman tersebut dinyatakan
bahwa pusat dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Dalam Negeri bertugas untuk menerbitkan pedoman-pedoman yang
diperlukan dalam rangka pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif,
termasuk petunjuk teknisnya. Akan tetapi pada pelaksanaannya, pedoman
maupun petunjuk teknis tersebut tidak dapat sepenuhnya dikembangkan dan
diterima oleh tatanan pelaksanan di daerah. Hal ini mengakibatkan
pelaksanaan desa siaga aktif di daerah tidak dapat dilakukan secara
maksimal.
Kewenangan pemerintah desa di dalam mengelola program desa
siaga menjadi kesempatan untuk meningkatkan kembali alokasi-alokasi dan
kegiatan yang dapat ditingkatkan lagi sebelumnya. Dengan adanya usaha
lintas sektor, maka kegiatan yang seharusnya dapat dikolaborasikan dengan
sektor tertentu akhirnya dapat terlaksana dengan baik. Walaupun persepsi
tentang dikotomi bahwa ini bukan ranah kesehatan dan non kesehatan masih
ada, tapi tetap pada intinya kegiatan desa siaga dapat terlaksana dengan
baik.
Konsep yang ideal dalam pengelolaan kebijakan pemberdayaan
masyarakat sebenarnya bertujuan bagaimana desa secara mandiri dapat
mengelola urusan tersebut dengan sumber daya yang dimiliki oleh desa.
Sehingga kewenangan desa sangat terlihat jelas dalam kebijakan ini, dan
tidak menunggu stimulasi dari pemerintah pusat atau provinsi.
4) Fasilitas
Keterbatasan fasilitas dan kurangnya sumber pendanaan kegiatan
untuk pengembangan desa siaga aktif hampir seluruhnya dirasakan oleh
informan. Selama ini fasilitas yang didapatkan berasal dari hibah lomba
ataupun secara mandiri iuran dari masyarakat. Sebagai salah satu strategi,
maka secara inisiatif, Kepala Dinas Kesehatan mengkoordinasikan petugas

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


puskesmas sebagai pendamping teknis desa siaga aktif agar mengajukan
alokasi anggaran kepada desa atau kecamatan, dengan membidik dana ADD
dan PIK. Walaupun jumlahnya tidak terlalu besar, minimalnya dapat
memenuhi kebutuhan alat tulis.

6.4 Kecenderungan/Persepsi pelaksana kebijakan


Sebagian besar masyarakat atau pelaksana kebijakan dapat melaksanakan
program desa siaga aktif ini dengan baik. Pentingnya pemahaman dan
sosialisasi menjadi hal utama yang harus dilakukan.
Sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah dalam hal ini adalah
pemerintah daerah Sumedang, telah melahirkan beberapa produk hokum yang
berkaitan dengan desa siaga maupun desa siaga aktif. Komitmen tersebut
diantaranya adalah,
1. Pencanangan Desa Siaga di Kabupaten Sumedang pada tanggal 22
Desember 2005,
2. Keputusan Bupati Sumedang Nomor: 440/Kep.53.a-Dinkes/2007
tentang Pembentukan Pokjanal Kabupaten Siaga di Kabupaten
Sumedang,
3. Keputusan Bupati Sumedang Nomor: 440/Kep.133-Dinkes/2007
tentang Pembentukan Paguyuban Sumedang Sehat,
4. Surat Edaran Bupati Sumedang Nomor:440/729/Dinkes tanggal 16
Februari 2007 tentang Pengembangan Desa Siaga di Seluruh Kecamatan
di Kabupaten Sumedang
5. Keputusan Bupati Sumedang Nomor: 002/Kep.443-Dinkes/2007
tentang Penetapan Penerimaan Penghargaan Program Pemberdayaan
Masyarakat di Bidang Kesehatan di Kabupaten Sumedang,
6. Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang
Nomor: 800/892/III/UMUM/2007 tentang Pembentukan Tim Kerja
Desa Siaga di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.
Upaya-upaya ini mengindikasikan bahwa para pelaksana kebijakan di
daerah telah memahami pentingnya pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan khususnya desa siaga aktif.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pada tatanan pelaksanaan, ditemukan adanya dikotomi urusan masing-
masing unit pelaksana. Salah satunya adalah dalam hal pelaksanaan desa
siaga aktif ini. Kebijakan desa siaga aktif selain menitikberatkan pada
kemandirian dan pemberdayaan masyarakat, adanya kerjasama lintas sektor
menjadi salah satu komponen utama dari kebijakan ini. Kurangnya
dukungan lintas sektor ini disebabkan masih adanya dikotomi antara urusan
kesehatan dan non-kesehatan. Berdasarkan informasi yang didapatkan,
sebagai bentuk pembinaan di Kabupaten seharusnya Dinas Kesehatan
Kabupaten dibantu oleh BPMPD Kabupaten dalam pelaksanaan dan
penguatan desa siaga aktif. Akan tetapi pada pelaksanaannya urusan
program ini sepenuhnya dilaksanakan dan dibina oleh sektor kesehatan.
Menariknya, BPMPD pun memiliki program yang sama dengan kesehatan
yaitu posyandu namun pelaksanaannya tidak dikoordinasikan dengan baik
dengan sektor kesehatan.

6.5 Struktur birokrasi


Pelaksanaan desa siaga aktif ini tidak dapat dilepaskan dari banyaknya
pengaruh birokrasi dan kerjasama lintas sektor. Kolaborasi lintas sektor antar
pemerintahan, sektor swasta dan LSM bukan lagi barang baru dan pada
sekarang ini terus berkembang (Yankey & Willen, 2010). Meskipun kolaborasi
ini sudah berkembang, akan tetapi kolaborasi ini membutuhkan waktu dan
sumber daya yang banyak, serta sedikit sulit untuk diterapkan secara maksimal
(Lasker, et al., 2001).
Peneliti menganalisis bahwa aktifnya program desa siaga ini dapat dilihat
dari dukungan para pejabat-pejabat yang memiliki kewenangan maupun self-
interest terhadap bidang tertentu. Apabila pejabat berwenang, salah satunya
adalah kepala desa, tidak memiliki perhatian dalam sektor kesehatan maka
kegiatan desa siaga aktif pun akan menjadi terhambat. Tanpa adanya dukungan
politik, walaupun sumber daya lainnya terorganisir dan berjumlah banyak tetap
saja upaya pemberdayaan masyarakat akan mengalami hambatan (Brown &
Fiester, 2007). Oleh karena itu, sebagai salah satu strategi dari puskesmas dan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


dinas kesehatan diupayakanlah advokasi ke setiap-setiap kepala desa agar dapat
mendukung kebijakan desa siaga aktif.
Adapun kemitraan telah dilaksanakan di Kabupaten Sumedang dalam
rangka upaya menjalin kerjasama lintas sektor dengan perguruan tinggi di
Kabupaten Sumedang. Berikut adalah kemitraan yang dilaksanakan di
pemerintahan Kabupaten Sumedang.
1. PSIK (Program Studi Ilmu Keperawatan)
Kemitraan yang dibentuk adalah dengan membentuk Nursing Center,
dan Puskesmas Paseh yang menjadi binaan dari PSIK. Tujuan dari
pembentukan Nursing Center ini adalah meningkatkan mutu pelayanan
kesehatna terhadap masyarakat sehingga terjadi peningkatan kualitas
kesehatan masyarakat di Kabupaten Sumedang.
2. AKPER Pemda Sumedang
Kemitraan yang dibentuk adalah dengan memberikan pembinaan dan
arahan kepada mahasiswa keperawatan di dalam menjalankan Prakter
Kerja Lapangan dengan materi Desa Siaga. Seluruh mahasiswa harus
melaksanakan salah satu bentuk upaya dari program desa siaga ini.
3. STIKES UNSAP Sumedang
Kemitraan yang di bentuk adalah dengan memasukkan materi desa siaga
ke dalam kurikulum perkuliahan sehingga mahasiswa mengetahui dan
memahami program desa siaga sebagai salah satu bentuk peningkatan
IPM.
Sebagai bentuk dari pelaksanaan pengawasan, maka dinas kesehatan
provinsi telah membuat form monitoring evaluasi desa/kelurahan siaga aktif di
Jawa Barat. Upaya ini mengindikasikan bahwa adanya peran pemerintah daerah
dalam membina dan mengawasi program sebagai bentuk dari tanggung jawab
dan kewenangannya.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


6.6 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
Paradigma sehat masyarakat saat ini masih tetap sama dalam hal konsep
sehat-sakit. Dalam artian, melakukan pengobatan atau pemeriksaan kesehatan
itu kalau tubuhnya merasa sakit. Sehingga, para petugas kesehatan yang ada
dilapangan harus menjemput mereka yang berparadigma seperti itu. Walaupun
demikian, banyak juga masyarakat yang sudah terpapar akan pentingnya
kesehatan dari segi pencegahan terutama bagi penyakit endemik.
Mata pencaharian masyarakat pada hal ini pun berpengaruh terhadap
aktifnya program desa siaga aktif. Hal ini ditunjukkan dapat dilihat dalam setiap
kali pertemuan desa siaga yang selalu mengambil waktu di sore hari atau di
malam hari selepas masyarakat menyelesaikan pekerjaannya.
Pengaruh perpolitikan di daerah, dirasakan tidak terlalu signifikan. Karena
desa siaga aktif ini memang telah dilaksanakan pada periode sebelumnya dan
menjadi andalan desa tersebut dalam memberdayakan masyarakat. Terlebih lagi
telah ada peraturan desa dan peraturan daerah yang menunjang terlaksananya
program ini.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Kebijakan nasional Desa Siaga Aktif pada saat ini tidak menjadi
prioritas dari Kementerian Kesehatan. Hal ini karena asumsi
pelaksanaannya telah diserahkan kepada daerah sepenuhnya terutama desa.
Sehingga kesuksesan dan keberlangsungan kebijakan desa siaga aktif
bergantung kepada ada atau tidaknya dukungan masing-masing kepala
daerah atau kepala desanya.
Sedangkan implementasi desa siaga aktif di Kabupaten Sumedang
masih belum maksimal. Walaupun desa-desa di wilayah Kabupaten
Sumedang telah menjadi desa siaga 100%, akan tetapi untuk menjadi desa
siaga aktif dibutuhkan penyesuaian dan dukungan dari para kepala desa
sehingga pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan mengambil
beberapa desa sebagai pilot project.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat mengambil beberapa
kesimpulan penting, diantaranya.
1) Pada aspek komunikasi, proses transmisi kebijakan tidak berjalan
efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi masih adanya pedoman
yang belum didapatkan oleh pelaksana desa siaga aktif di tingkat
puskesmas. Kemudian, proses transmisi yang telah dilakukan masih
menyisakan permahaman yang beragam terhadap kebijakan desa siaga
aktif khususnya para kepala desa. Seharusnya, transmisi kebijakan
dapat dilakukan oleh semua jenjang secara massif, termasuk kepada
masyarakat. Hal ini diperlukan karena konsep desa siaga aktif
melibatkan peran aktif masyarakat, sehingga masyarakat perlu
mengetahui kebijakan ini agar mendukung.
2) Aspek ketersediaan sumber-sumber (SDM, anggaran, wewenang dan
fasilitas) belum dapat dilakukan secara maksimal. Pada unsur
pendanaan, peneliti menemukan bahwa alokasi anggaran dan
pendanaan kebijakan ini masih kurang, termasuk dukungan desa dalam

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


pengalokasian dana desa. Tidak adanya dana stimulan, baik dari
pemerintah pusat maupun daerah yang secara khusus dialokasikan
untuk desa siaga aktif masih menjadi alasan pelaksanaan desa siaga
aktif tidak dapat dijalankan secara maksimal. Secara konsep,
pendanaan seluruh kegiatan desa siaga aktif idealnya dilakukan secara
mandiri oleh pengurus desa siaga aktif dan masyarakat dengan cara
menggaet sektor dunia usaha. Selain itu, peneliti melihat adanya potensi
dana desa tidak dikelola dengan baik yaitu dari sisi pemanfaatan
anggaran. Selama ini pemanfaatan anggaran dana desa lebih berfokus
terhadap peningkatan sarana fisik dan tidak dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat.
Dari sisi SDM, pada tatanan pelaksanaan dirasa sudah cukup. Akan
tetapi masih ada persoalan internal yang mengakibatkan kinerja dari
pelaksana kebijakan ini tidak dilakukan secara maksimal. Selain itu,
dilihat dari sisi kewenangan, pemerintah daerah seharusnya berwenang
dalam mengatur dan mengelola kebijakan desa siaga aktif, akan tetapi
dilapangan masih belum terlihat kewenangan tersebut secara maksimal
salah satunya belum adanya upaya strategis menempatkan desa siaga
aktif sebagai prioritas kesehatan yang bersumber daya masyarakat.
3) Persepsi dari pelaksana kebijakan menghambat pelaksanaan desa siaga
aktif, terutama persepsi tentang dikotomi urusan masing-masing
instansi pemerintahan yang sebetulnya telah diamanatkan dalam
mengurus dan mengelola kebijakan desa siaga aktif di tingkat provinsi
maupun tingkat kabupaten.
4) Aspek struktur birokrasi yang didalamnya terdapat unsur koordinasi
lintas sektor, peneliti melihat dilapangan sudah ada banyak program
yang sebetulnya dapat dirangkum dalam satu kegiatan akan tetapi pada
pelaksanaanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Dalam koordinasi
lintas sektor ini masih ada dikotomi tanggung jawab urusan masing-
masing sektor terutama sektor kesehatan dan non-kesehatan. Walaupun
demikian, sebagian besar program tetap dapat terlaksana di beberapa
daerah karena memanfaatkan pendekatan persuasif dan personal

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


terhadap para pengampu kebijakan ataupun orang yang berperan dalam
sektor-sektor tertentu.
5) Pengaruh sosial ekonomi dan perpolitikan yang ada di masyarakat tidak
terlalu berpengaruh secara langsung terhadap aktifitas program desa
siaga aktif. Sebagai bentuk strategi maka pertemuan atau forum
pertemuan tingkat desa, kecamatan biasanya dilakukan sore sampai
malam hari, mengingat sebagian besar mata pencaharian penduduk di
Kabupaten Sumedang adalah petani dan PNS. Akan tetapi
hambatannya lebih kepada bagaimana masyarakat ataupun pejabat
melihat program ini secara utuh.
6) Implementasi kebijakan desa siaga aktif ini secara umum masih belum
dilaksanakan secara efektif. Masih adanya kendala dari berbagai aspek
yaitu dari transmisi kebijakan yang belum dilakukan secara efektif,
persepsi yang beragam terhadap kebijakan ini, alokasi anggaran yang
masih terbatas, belum maksimalnya dukungan kepala daerah,
koordinasi lintas sektor yang belum dilaksanakan secara efektif, dan
adanya dikotomi kewenangan dan tanggung jawab pada instansi
pemerintahan.
7.2 Saran
Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan peneliti terkait dengan
kebijakan desa siaga aktif ini untuk beberapa institusi, antara lain,
A. Untuk Kementerian Kesehatan
1) Menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan.
2) Melakukan koordinasi dengan lintas sektor terutama Kementerian
Dalam Negeri dalam pembagian ataupun kerjasama peningkatan
efektifitas program desa siaga aktif terutama dalam hal alokasi
anggaran.
B. Untuk Dinas Kesehatan Provinsi
1) Menindaklanjuti hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan.
2) Membuat kebijakan daerah agar desa siaga aktif dapat dilakukan secara
maksimal dan menyeluruh.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


3) Melakukan koordinasi lintas sektor dalam rangka meningkatkan
efektifitas kebijakan desa siaga aktif.
C. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten
1) Meningkatkan kerjasama swasta untuk meningkatkan sumber
pendanaan desa siaga aktif.
2) Menghimbau kepada seluruh puskesmas dan desa agar merevitalisasi
desa siaga menjadi desa siaga aktif.
D. Untuk Pemerintahan Kabupaten Sumedang
Membentuk kebijakan daerah untuk revitalisasi desa siaga aktif, seperti
misalnya mengalokasikan anggaran daerah secara khusus untuk desa siaga
aktif dengan mekanisme hibah bersyarat kepada desa yang terpilih.
E. Untuk Pemerintahan Desa
Mendukung kebijakan desa siaga aktif dengan cara meningkatkan alokasi
dana desa dan pagu indikatif kewilayahan terhadap kebijakan tersebut.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., 2005. Desentralisasi: konsep, teori dan perdebatannya. Jurnal


desentralisasi (Tersedia Online), 6(4), p. 60.
BPPD Kab. Sumedang, 2013. Profil daerah Kabupaten Sumedang. Sumedang: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sumedang.
Brown, P. & Fiester, L., 2007. Hard lessons about philanthropy and community change
from the neighborhood improvement initiative. [Online]
Available at:
http://hewlett_prod.acesfconsuting.com/uploads/files/HewlettNIIReport.pdf
[Accessed 17 January 2015].
Carman, J. G. & Hefner, R. A., 2012. Using civic engagement and collaboration to create
community change: Lessons from Charlotte, N.C. The foundation review, 4(2), pp.
30-42.
Cheema, G. S. & Rodinelli, D. A., 2007. Decentralization governance: emerging
concepts and practice. Washington DC: Brooking Insititution Press.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2014. Visualisasi data: Cakupan pelayanan
kesehatan provinsi Jawa Barat 2014. Diskesprov Jabar.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2014. Kebijakan peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS). Bandung: Diskesprov Jabar.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang. 2014. Profil desa siaga aktif tahun 2013.
Sumedang: Dinkes Kabupaten Sumedang.
Dubois, B. & Miley, K. K., 2006. Social work: An empowering profession. Boston: Allyn
and Bacon.
Dwidjowijoto, R. N., 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Dwiyanto, A., 2005. Mewujudkan good governance melalui pelayanan publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Evans, B. A., Snooks, H., Howson, H. & Davies, M., 2013. How hard can it be to include
research evidence and evaluation in local health policy implementation? Result
from a mixed methods study. Implementation science, 8(17), pp. 1-9.
Hardinata, 2010. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah. Jurnal
Ilmiah Dinamika, 3(6), pp. 38-44.
Hill, M. & Hupe, P., 2002. Implementing public policy: Governance in theory and in
practice. 1st ed. London: Sage Publication.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Hoessein, B., 2002. Perspektif jangka panjang desentralisasi dan otonomi daerah.
Makalah disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi
Daerah Jangka Panjang. Jakarta: Bappenas.
Hoessein, B., 2009. Perubahan model, pola, dan bentuk pemerintahan daerah: dari era
orde baru ke era reformasi. Depok: DIA FISIP UI.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Pedoman umum pengembangan dan kelurahan siaga
aktif. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Keuangan RI, 2014. Rincian Dana Desa per Kabupaten/Kota 2015.
[Online]
Available at: http://binanguncilacap.desa.id/wp-content/uploads/2014/10/Rincian-
Dana-Desa-per-Kabupaten-Kota-2015.pdf
[Accessed 17 January 2015].
Kenyon, L. & Gordon, F., 2009. Community engagement: from a professional to a public
perspective. Community practitioner, 2(82), pp. 22-25.
Kenyon, L. & Gordon, F., 2009. Community engagement: from a professional to a public
prespective. Community practitioner, 82(2), pp. 22-25.
Lasker, R. D., Weiss, E. S. & Miller, R., 2001. Partnership synergy: A practical
framework for studying and strengthening the collaborative advantage. Milbank
Quarterly, 2(79), pp. 179-205.
Longest, B. B., 2001. Contemporary health policy. Chicago: Health Administration Press.
National Institute for Health and Clinical Excellence, 2008. Community enggagement to
improve health. [Online]
Available at: www.nice.org.uk/guidance/ph9/guidance/pdf/english
[Accessed 17 Januari 2015].
Nugraha, S., 2007. Hkum Administrasi Negara. Jakarta: CLGS-FH UI.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2014. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
(LKPJ) Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2013. Bandung: Pemprov
Jabar.
Pokjanal Desa dan Kelurahan Siaga Aktif Tingkat Pusat, 2013. Data dan informasi
pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif, Jakarta: s.n.
Smith, B. L., 2003. Public Policy and Public Participation Engaging Citizens and
Community in the Development of Public Policy. Canada: Population and Public
Health Branch Atlantic Regional Office.
Soemantri, G. R., 2005. Memahami metode kualitatif. Makara, Sosial Humaniora Vol. 9
No.2, pp. 57-65.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Sopiandi, A., 2010. Strategi pemberdayaan masyarakat: Studi kasus strategi dan
kebijakan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bekasi. Jurnal Kybernan, 1(1),
pp. 40-56.
Suharto, E., 2005. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat: Kajian strategis
pembangunan kesejahteraan sosial & pekerjaan sosial. Bandung: PT Refika
Aditama.
Walt, G., Buse, K. & Mays, N., 2005. Making health policy: Understanding public health.
Berkshire: Open University Press.
Winarno, B., 2012. Kebijakan publik: Teori, proses dan studi kasus. Yogyakarta: CAPS.
Yankey, J. A. & Willen, C. K., 2010. Strategic alliances. In: The Josey-Basess handbook
of nonprofit leadership and management. San Fransisco: Jossey-Bass.
Yin, R. K., 2009. Case study research: Design and methods. 4th ed. California: SAGE.
Yuniarsih, I., 2005. Analisis kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
daerah (Tinjauan program pendukung pemberdayaan masyarakat dan pemerintah
daerah - P2MPD di kecamatan Seputih Mataram - Kabupaten Lampung Tengah).
[Tesis]., Depok: Universitas Indonesia.

PERATURAN
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 tahun 2007 tentang Pelimpahan Urusan
Pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Kelurahan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan
dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat bidang Kesehatan.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal bidang Kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006 direvisi menjadi
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/1508/SJ Tahun 2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pembentukan Kelompok Kerja Operasional dan
Forum Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di Daerah.
Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Kesehatan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-
2025.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pedoman Wawancara Mendalam: Tingkat Provinsi
P1
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN:
STUDI KASUS DESA SIAGA AKTIF DI PROVINSI JAWA BARAT
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama :
Umur : Waktu, Tempat Wawancara:

Pendidikan Terakhir : Hari/Tgl :_______________


Jabatan : Jam :_______________
Lama menjabat Mengelola Tempat :_______________
Program
Institusi :
No. Telp/Hp :
Alamat

II. PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu
Dalam rangka penyusunan tugas akhir (Tesis) Pascasarjana Strata Dua (S2) FKM
UI, saya selaku mahasiswa pascasarjana akan melaksanakan wawancara mendalam
dengan para pemangku kepentingan dan kebijakan terkait implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya program desa siaga aktif.
Saya bermaksud meminta pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan program
tersebut.
Wawancara mendalam akan dilaksanakan sekitar 1-1,5 jam. Selama wawancara
mendalam berlangsung prosesnya akan direkam dengan alat perekam suara.
Informasi yang didapat dari penelitian ini hanya akan digunakan untuk keperluan
tesis saya selaku mahasiswa dan tidak mempengaruhi kedudukan atau jabatan
Bapak/Ibu. Adapun identitas Bapak/Ibu akan kami samarkan untuk menjaga
kerahasiaan informasi ini dan hasil rekaman akan dimusnahkan setelah proses
penelitian Tesis ini berakhir. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu
dapat memberikan penjelasan sebenarnya sesuai dengan pengetahuan/pengalaman
yang Bapak/Ibu miliki.
Bila Bapak/Ibu telah memahami penjelasan di atas, dan menyetujui untuk
berpartisipasi, silakan untuk membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia di
bawah ini.
Informan, Pewawancara,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


III. Pedoman Pertanyaan
A. Komunikasi
1. Bagaimana sosialisasi kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
program Desa Siaga Aktif ini ke tatanan pelaksana yang berada di bawah?
2. Apa sajakah yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut?
3. Bagaimana konsistensinya antara regulasi dan juklak/juknis?
4. Bagaimana hambatannya selama ini dalam proses komunikasi dalam
penyampaian kebijakan tersebut?
B. Sumber Daya
1. Mohon dijelaskan instrument kebijakan apa saja yang terkait dengan
program desa siaga aktif?
2. Adakah yang perlu dikembangkan dari regulasi tersebut?
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah alokasi anggaran yang ada sudah mencukupi
untuk implementasi kebijakan tersebut? Mohon dijelaskan.
4. Berapakah besaran anggaran tersebut?
5. Bagaimanakah ketersediaan SDM di sektor kesehatan maupun lintas sektor
terkait kebijakan tersebut? (Jumlah, kompetensi dan sebaran)
6. Apa saja yang harus dimiliki oleh setiap SDM yang berperan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut?
7. Bagaimana kendala di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut bila dikaitkan
dengan Sumberdaya?
8. Bagaimana selama ini evaluasinya terhadap kebijakan tersebut jika dilihat
dari aspek sumberdaya?
9. Apakah fasilitas yang dijadikan sebagai penunjang/ ataupun hal yang vital
dirasakan cukup? Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu
C. Kecenderungan/Sikap dan Persepsi Pelaksana Kebijakan
1. Bagaimana tingkat pengawasan secara hirarkis terhadap
keputusan/kebijakan terhadap badan pelaksana dalam implementasi
kebijakan ini?
2. Apakah ada yang setuju/tidak setuju terhadap kebijakan/keputusan tersebut?
3. Bagaimana dukungan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan tersebut?
D. Struktur Birokrasi
1. Bagaimana kendala selama ini dalam mensosialiasikan kebijakan ini kepada
level/tingkatan yang berada di bawah?

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


2. Apakah Bapak/Ibu yakin bahwa seluruh daerah akan menerapkan
kebijakan/program ini? Bagaimana tanggapannya?
3. Bagaimanakah langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi kendala
tersebut?
4. Bagaimana koordinasinya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut jika
dikaitkan dengan lintas kementerian?
5. Adakah pelibatan dari unsur masyarakat lain? Contohnya swasta? Mohon
dijelaskan.
E. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
1. Bagaimanakah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik terhadap
pembuatan kebijakan ini?
2. Bagaimana upaya dalam mengatasi pengaruh tersebut?

Wawancara selesai, bila dikemudian hari saya membutuhkan informasi tambahan mohon
perkenannya. Saya ucapkan terimakasih atas kesempatan dan informasi yang diberikan oleh
Bapak/Ibu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pedoman Wawancara Mendalam: Tingkat Kabupaten
P2
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN:
STUDI KASUS DESA SIAGA AKTIF DI PROVINSI JAWA BARAT
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama :
Umur : Waktu, Tempat Wawancara:

Pendidikan Terakhir : Hari/Tgl :_______________


Jabatan : Jam :_______________
Lama menjabat Mengelola Tempat :_______________
Program
Institusi :
No. Telp/Hp :
Alamat

II. PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu
Dalam rangka penyusunan tugas akhir (Tesis) Pascasarjana Strata Dua (S2) FKM
UI, saya selaku mahasiswa pascasarjana akan melaksanakan wawancara mendalam
dengan para pemangku kepentingan dan kebijakan terkait implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya program desa siaga aktif.
Saya bermaksud meminta pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan program
tersebut.
Wawancara mendalam akan dilaksanakan sekitar 1-1,5 jam. Selama wawancara
mendalam berlangsung prosesnya akan direkam dengan alat perekam suara.
Informasi yang didapat dari penelitian ini hanya akan digunakan untuk keperluan
tesis saya selaku mahasiswa dan tidak mempengaruhi kedudukan atau jabatan
Bapak/Ibu. Adapun identitas Bapak/Ibu akan kami samarkan untuk menjaga
kerahasiaan informasi ini dan hasil rekaman akan dimusnahkan setelah proses
penelitian Tesis ini berakhir. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu
dapat memberikan penjelasan sebenarnya sesuai dengan pengetahuan/pengalaman
yang Bapak/Ibu miliki.
Bila Bapak/Ibu telah memahami penjelasan di atas, dan menyetujui untuk
berpartisipasi, silakan untuk membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia di
bawah ini.
Informan, Pewawancara,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


III. Pedoman Pertanyaan
A. Komunikasi
1. Bagaimana sosialisasi kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
program Desa Siaga Aktif ini ke tatanan pelaksana yang berada di bawah?
2. Apa sajakah yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut?
3. Bagaimana konsistensinya antara regulasi dan juklak/juknis?
4. Bagaimana hambatannya selama ini dalam proses komunikasi dalam
penyampaian kebijakan tersebut?
5. Apakah dalam penyampaian kebijakan ini, semua komponen dari
puskesmas hadir?
B. Sumber Daya
1. Mohon dijelaskan instrument kebijakan apa saja yang terkait dengan
program desa siaga aktif?
2. Adakah yang perlu dikembangkan dari regulasi tersebut?
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah alokasi anggaran yang ada sudah mencukupi
untuk implementasi kebijakan tersebut? Mohon dijelaskan.
4. Berapakah besaran anggaran tersebut?
5. Bagaimanakah ketersediaan SDM di sektor kesehatan maupun lintas sektor
terkait kebijakan tersebut? (Jumlah, kompetensi dan sebaran)
6. Apa saja yang harus dimiliki oleh setiap SDM yang berperan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut?
7. Bagaimana kendala di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut bila dikaitkan
dengan Sumberdaya?
8. Bagaimana selama ini evaluasinya terhadap kebijakan tersebut jika dilihat
dari aspek sumberdaya?
9. Apakah fasilitas yang dijadikan sebagai penunjang/ ataupun hal yang vital
dirasakan cukup? Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu
C. Kecenderungan/Sikap dan Persepsi Pelaksana Kebijakan
1. Bagaimana tingkat pengawasan secara hirarkis terhadap
keputusan/kebijakan terhadap badan pelaksana dalam implementasi
kebijakan ini?
2. Apakah ada yang setuju/tidak setuju terhadap kebijakan/keputusan tersebut?
3. Bagaimana dukungan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan tersebut?
D. Struktur Birokrasi

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


1. Bagaimana kendala selama ini dalam mensosialiasikan kebijakan ini kepada
level/tingkatan yang berada di bawah?
2. Apakah Bapak/Ibu yakin bahwa seluruh daerah akan menerapkan
kebijakan/program ini? Bagaimana tanggapannya?
3. Bagaimanakah langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi kendala
tersebut?
4. Bagaimana koordinasinya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut jika
dikaitkan dengan lintas kementerian?
5. Adakah pelibatan dari unsur masyarakat lain? Contohnya swasta? Mohon
dijelaskan.
E. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
1. Bagaimanakah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik terhadap
pembuatan kebijakan ini?
2. Bagaimana upaya dalam mengatasi pengaruh tersebut?

Wawancara selesai, bila dikemudian hari saya membutuhkan informasi tambahan mohon
perkenannya. Saya ucapkan terimakasih atas kesempatan dan informasi yang diberikan oleh
Bapak/Ibu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pedoman Wawancara Mendalam: Tingkat Desa
P3
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN:
STUDI KASUS DESA SIAGA AKTIF DI PROVINSI JAWA BARAT
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama :
Umur : Waktu, Tempat Wawancara:

Pendidikan Terakhir : Hari/Tgl :_______________


Jabatan : Jam :_______________
Lama menjabat Mengelola Tempat :_______________
Program
Institusi :
No. Telp/Hp :
Alamat

II. PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu
Dalam rangka penyusunan tugas akhir (Tesis) Pascasarjana Strata Dua (S2) FKM
UI, saya selaku mahasiswa pascasarjana akan melaksanakan wawancara mendalam
dengan para pemangku kepentingan dan kebijakan terkait implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya program desa siaga aktif.
Saya bermaksud meminta pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan program
tersebut.
Wawancara mendalam akan dilaksanakan sekitar 1-1,5 jam. Selama wawancara
mendalam berlangsung prosesnya akan direkam dengan alat perekam suara.
Informasi yang didapat dari penelitian ini hanya akan digunakan untuk keperluan
tesis saya selaku mahasiswa dan tidak mempengaruhi kedudukan atau jabatan
Bapak/Ibu. Adapun identitas Bapak/Ibu akan kami samarkan untuk menjaga
kerahasiaan informasi ini dan hasil rekaman akan dimusnahkan setelah proses
penelitian Tesis ini berakhir. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu
dapat memberikan penjelasan sebenarnya sesuai dengan pengetahuan/pengalaman
yang Bapak/Ibu miliki.
Bila Bapak/Ibu telah memahami penjelasan di atas, dan menyetujui untuk
berpartisipasi, silakan untuk membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia di
bawah ini.
Informan, Pewawancara,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


III. Pedoman Pertanyaan
A. Komunikasi
1. Bagaimana sosialisasi kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
program Desa Siaga Aktif ini dari puskesmas atau pemerintah?
2. Apa sajakah yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut?
3. Bagaimana konsistensinya antara regulasi dan juklak/juknis?
4. Bagaimanakah komunikasi dari aparat Desa ke masyarakat dalam
pelaksanaan program ini?
5. Bagaimana respon dari masyarakat terhadap program ini?
6. Bagaimana hambatannya selama ini dalam proses komunikasi dalam
penyampaian kebijakan tersebut?
B. Sumber Daya
1. Mohon dijelaskan instrument kebijakan apa saja yang terkait dengan
program desa siaga aktif pada tingkat daerah?
2. Adakah yang perlu dikembangkan dari regulasi tersebut? Mohon dijelaskan.
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah alokasi anggaran yang ada sudah mencukupi
untuk implementasi kebijakan tersebut? Mohon dijelaskan.
4. Berapakah besaran anggaran tersebut?
5. Adakah anggaran dalam pelaksanaan program ini berasal dari sumber daya
masyarakat (swadana)? Berapakah porsinya secara keseleruhan?
6. Bagaimanakah ketersediaan SDM di sektor kesehatan maupun lintas sektor
terkait kebijakan tersebut? (Jumlah, kompetensi dan sebaran)
7. Bagaimanakah keterlibatan dari masyarakat dalam program ini?
8. Bagaimanakah peran dari pemerintah (puskesmas, dinas kesehatan, ataupun
dari pemda) terhadap pelatihan dari masyarakat yang ingin berkontribusi?
9. Apa saja yang harus dimiliki oleh setiap SDM yang berperan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut?
10. Bagaimana kendala di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut bila dikaitkan
dengan Sumberdaya?
11. Bagaimana selama ini evaluasinya terhadap kebijakan tersebut jika dilihat
dari aspek sumberdaya?
12. Apakah fasilitas yang dijadikan sebagai penunjang/ ataupun hal yang vital
dirasakan cukup? Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu?

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


C. Kecenderungan/Sikap dan Persepsi Pelaksana Kebijakan
1. Bagaimana tingkat pengawasan secara hirarkis terhadap
keputusan/kebijakan terhadap badan pelaksana dalam implementasi
kebijakan ini?
2. Apakah ada yang setuju/tidak setuju terhadap kebijakan/keputusan tersebut?
3. Secara keseleruhan, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap program
ini?
4. Bagaimana dukungan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan tersebut?
D. Struktur Birokrasi
1. Bagaimana kendala selama ini dalam mensosialiasikan kebijakan ini kepada
masyarakat?
2. Selama ini, bagaimanakah proses birokrasi jika seandainya dalam
pelaksanaan program membutuhkan dana tambahan?
3. Bagaimanakah langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi kendala
tersebut?
4. Adakah pelibatan dari unsur masyarakat lain? Contohnya swasta? Mohon
dijelaskan.
E. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
1. Bagaimanakah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik terhadap
implementasi program ini?
2. Bagaimana upaya dalam mengatasi pengaruh tersebut?

Wawancara selesai, bila dikemudian hari saya membutuhkan informasi tambahan mohon
perkenannya. Saya ucapkan terimakasih atas kesempatan dan informasi yang diberikan oleh
Bapak/Ibu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pedoman Wawancara Mendalam: Tingkat Puskesmas
P4
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN:
STUDI KASUS DESA SIAGA AKTIF DI PROVINSI JAWA BARAT
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama :
Umur : Waktu, Tempat Wawancara:

Pendidikan Terakhir : Hari/Tgl :_______________


Jabatan : Jam :_______________
Lama menjabat Mengelola Tempat :_______________
Program
Institusi :
No. Telp/Hp :
Alamat

II. PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu
Dalam rangka penyusunan tugas akhir (Tesis) Pascasarjana Strata Dua (S2) FKM
UI, saya selaku mahasiswa pascasarjana akan melaksanakan wawancara mendalam
dengan para pemangku kepentingan dan kebijakan terkait implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya program desa siaga aktif.
Saya bermaksud meminta pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan program
tersebut.
Wawancara mendalam akan dilaksanakan sekitar 1-1,5 jam. Selama wawancara
mendalam berlangsung prosesnya akan direkam dengan alat perekam suara.
Informasi yang didapat dari penelitian ini hanya akan digunakan untuk keperluan
tesis saya selaku mahasiswa dan tidak mempengaruhi kedudukan atau jabatan
Bapak/Ibu. Adapun identitas Bapak/Ibu akan kami samarkan untuk menjaga
kerahasiaan informasi ini dan hasil rekaman akan dimusnahkan setelah proses
penelitian Tesis ini berakhir. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu
dapat memberikan penjelasan sebenarnya sesuai dengan pengetahuan/pengalaman
yang Bapak/Ibu miliki.
Bila Bapak/Ibu telah memahami penjelasan di atas, dan menyetujui untuk
berpartisipasi, silakan untuk membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia di
bawah ini.
Informan, Pewawancara,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


III. Pedoman Pertanyaan
A. Komunikasi
1. Bagaimana sosialisasi kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
program Desa Siaga Aktif ini dari puskesmas atau pemerintah?
2. Apa sajakah yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut?
3. Bagaimana konsistensinya antara regulasi dan juklak/juknis?
4. Bagaimanakah komunikasi dari aparat Desa ke masyarakat dalam
pelaksanaan program ini?
5. Bagaimana respon dari masyarakat terhadap program ini?
6. Bagaimana hambatannya selama ini dalam proses komunikasi dalam
penyampaian kebijakan tersebut?
B. Sumber Daya
1. Mohon dijelaskan instrument kebijakan apa saja yang terkait dengan
program desa siaga aktif pada tingkat daerah?
2. Adakah yang perlu dikembangkan dari regulasi tersebut? Mohon dijelaskan.
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah alokasi anggaran yang ada sudah mencukupi
untuk implementasi kebijakan tersebut? Mohon dijelaskan.
4. Berapakah besaran anggaran tersebut?
5. Adakah anggaran dalam pelaksanaan program ini berasal dari sumber daya
masyarakat (swadana)? Berapakah porsinya secara keseleruhan?
6. Bagaimanakah ketersediaan SDM di sektor kesehatan maupun lintas sektor
terkait kebijakan tersebut? (Jumlah, kompetensi dan sebaran)
7. Bagaimanakah keterlibatan dari masyarakat dalam program ini?
8. Bagaimanakah peran dari pemerintah (puskesmas, dinas kesehatan, ataupun
dari pemda) terhadap pelatihan dari masyarakat yang ingin berkontribusi?
9. Apa saja yang harus dimiliki oleh setiap SDM yang berperan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut?
10. Bagaimana kendala di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut bila dikaitkan
dengan Sumberdaya?
11. Bagaimana selama ini evaluasinya terhadap kebijakan tersebut jika dilihat
dari aspek sumberdaya?
12. Apakah fasilitas yang dijadikan sebagai penunjang/ ataupun hal yang vital
dirasakan cukup? Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu?

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


C. Kecenderungan/Sikap dan Persepsi Pelaksana Kebijakan
1. Bagaimana tingkat pengawasan secara hirarkis terhadap
keputusan/kebijakan terhadap badan pelaksana dalam implementasi
kebijakan ini?
2. Apakah ada yang setuju/tidak setuju terhadap kebijakan/keputusan tersebut?
3. Secara keseleruhan, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap program
ini?
4. Bagaimana dukungan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan tersebut?
D. Struktur Birokrasi
1. Bagaimana kendala selama ini dalam mensosialiasikan kebijakan ini kepada
masyarakat?
2. Selama ini, bagaimanakah proses birokrasi jika seandainya dalam
pelaksanaan program membutuhkan dana tambahan?
3. Bagaimanakah langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi kendala
tersebut?
4. Adakah pelibatan dari unsur masyarakat lain? Contohnya swasta? Mohon
dijelaskan.
E. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
1. Bagaimanakah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik terhadap
implementasi program ini?
2. Bagaimana upaya dalam mengatasi pengaruh tersebut?

Wawancara selesai, bila dikemudian hari saya membutuhkan informasi tambahan mohon
perkenannya. Saya ucapkan terimakasih atas kesempatan dan informasi yang diberikan oleh
Bapak/Ibu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Pedoman Wawancara Mendalam (Trianguasi): Tingkat Pusat
P5
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN:
STUDI KASUS DESA SIAGA AKTIF DI PROVINSI JAWA BARAT
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama :
Umur : Waktu, Tempat Wawancara:

Pendidikan Terakhir : Hari/Tgl :_______________


Jabatan : Jam :_______________
Lama menjabat Mengelola Tempat :_______________
Program
Institusi :
No. Telp/Hp :
Alamat

II. PENGANTAR
Yth. Bapak/Ibu
Dalam rangka penyusunan tugas akhir (Tesis) Pascasarjana Strata Dua (S2) FKM
UI, saya selaku mahasiswa pascasarjana akan melaksanakan wawancara mendalam
dengan para pemangku kepentingan dan kebijakan terkait implementasi kebijakan
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan khususnya program desa siaga aktif.
Saya bermaksud meminta pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan program
tersebut.
Wawancara mendalam akan dilaksanakan sekitar 1-1,5 jam. Selama wawancara
mendalam berlangsung prosesnya akan direkam dengan alat perekam suara.
Informasi yang didapat dari penelitian ini hanya akan digunakan untuk keperluan
tesis saya selaku mahasiswa dan tidak mempengaruhi kedudukan atau jabatan
Bapak/Ibu. Adapun identitas Bapak/Ibu akan kami samarkan untuk menjaga
kerahasiaan informasi ini dan hasil rekaman akan dimusnahkan setelah proses
penelitian Tesis ini berakhir. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan Bapak/Ibu
dapat memberikan penjelasan sebenarnya sesuai dengan pengetahuan/pengalaman
yang Bapak/Ibu miliki.
Bila Bapak/Ibu telah memahami penjelasan di atas, dan menyetujui untuk
berpartisipasi, silakan untuk membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia di
bawah ini.
Informan, Pewawancara,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


III. Pedoman Pertanyaan
A. Komunikasi
1. Bagaimana sosialisasi kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
program Desa Siaga Aktif ini ke tatanan pelaksana/struktural yang berada
di bawah (Dinkes Provinsi/Kabupaten)?
2. Apa yang disampaikan dalam sosialisasi kebijakan atau dalam hal ini adalah
pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan?
3. Seberapa sering koordinasi dilakukan ke tiap-tiap daerah ataupun secara
lintas sektor terutama dengan pokjanal pusat/provinsi?
4. Adakah konsistensi dalam melakukan pertemuan-pertemuan koordinasi?
5. Apa saja yang dilakukan dalam koordinasi tersebut?
6. Bagaimana hambatannya selama ini dalam proses komunikasi dalam
penyampaian kebijakan tersebut?
B. Sumber Daya
1. Mohon dijelaskan instrument kebijakan apa saja yang terkait dengan
program desa siaga aktif?
2. Adakah yang perlu dikembangkan dari regulasi tersebut?
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah alokasi anggaran yang ada sudah mencukupi
untuk implementasi kebijakan tersebut? Mohon dijelaskan.
4. Berapakah besaran anggaran tersebut?
5. Bagaimanakah ketersediaan SDM di sektor kesehatan maupun lintas sektor
terkait kebijakan tersebut? (Jumlah, kompetensi dan sebaran)
6. Apa saja yang harus dimiliki oleh setiap SDM yang berperan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut?
7. Bagaimana kendala di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut bila dikaitkan
dengan sumberdaya?
8. Bagaimana selama ini evaluasinya terhadap kebijakan tersebut jika dilihat
dari aspek sumberdaya?
9. Apakah fasilitas yang dijadikan sebagai penunjang/ ataupun hal yang vital
dirasakan cukup? Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu?
10. Jika terdapat daerah yang memiliki kesulitan dalam implementasi program
desa siaga aktif atau kebijakan pemberdayaan kesehatan pada umumnya,
apa yang dilakukan oleh Bapak/Ibu untuk menindaklanjutinya?

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


C. Kecenderungan/Sikap dan Persepsi Pelaksana Kebijakan
1. Bagaimana tingkat pengawasan secara hirarkis terhadap
keputusan/kebijakan terhadap badan pelaksana dalam implementasi
kebijakan ini?
2. Mohon dijelaskan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut?
3. Apakah ada yang setuju/tidak setuju terhadap kebijakan/keputusan tersebut?
4. Bagaimana dukungan dari pemerintah pusat terhadap kebijakan tersebut?
5. Ketika melakukan koordinasi lintas sector, apakah ada pihak yang merasa
keberatan atau dalam hal ini kurang komitmen dalam melaksnakan
kebijakan ini?
D. Struktur Birokrasi
1. Bagaimana kendala selama ini dalam mensosialiasikan kebijakan ini kepada
level/tingkatan pelaksana yang berada di bawah (Dinkes Prov/Kab)?
2. Apakah Bapak/Ibu yakin bahwa seluruh daerah akan menerapkan
kebijakan/program ini dengan target nasional pada tahun 2015 80%?
Bagaimana tanggapannya?
3. Bagaimanakah langkah strategis yang digunakan dalam mengatasi kendala
tersebut?
4. Bagaimana koordinasinya dalam pelaksanaan kebijakan tersebut jika
dikaitkan dengan lintas kementerian?
5. Apakah ada sanksi dari pemerintah pusat jika ada daerah yang tidak
melaksanakan kebijakan tersebut?
6. Adakah pelibatan dari unsur masyarakat lain? Contohnya swasta? Mohon
dijelaskan.
E. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
1. Setiap daerah memiliki keterbatasan, terutama finansial dikaitkan dengan
anggaran daerah yang terbatas. Adakah upaya dukungan dari Kementerian
Kesehatan untuk menindaklanjuti hal ini?
2. Pemberdayaan masyarakat erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat.
Selama ini apakah dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat khususnya
desa siaga aktif ini menjadi salah satu indicator vital dalam penilaian
cakupan desa siaga aktif?
3. Pemilihan kepala daerah maupun pemangku kebijakan secara structural di
Kementerian Kesehatan terkadang mengalami pergantian. Bagaimana usaha

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


dari Kementerian Kesehatan dalam mengusahakan program desa siaga aktif
ini dapat berkelanjutan?
F. Elaborasi Pertanyaan
1. Berdasarkan hasil penelitian saya, ternyata daerah mengeluhkan kurangnya
dukungan dari pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian kesehatan dan
sector terkait dalam hal pendanaan program tersebut. Bagaimana tanggapan
Ibu?
2. Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam
mengatur kondisi masing-masing daerah. Apakah ini menjadi sebuah
hambatan bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan intervensi
terhadap pemerintah daerah dalam upaya kesehatan? Mohon penjelasannya.
3. Puskesmas, sebagai garda terdepan dalam implementasi program,
mengeluhkan bahwa tidak semua indikator desa siaga aktif dapat dilakukan.
Sehingga stratanya tidak dapat naik satu tingkat. Bagaimana tanggapan Ibu
terkait hal ini?

Wawancara selesai, bila dikemudian hari saya membutuhkan informasi tambahan mohon
perkenannya. Saya ucapkan terimakasih atas kesempatan dan informasi yang diberikan oleh
Bapak/Ibu.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


MATRIKS HASIL WAWANCARA
NO ASPEK INFORMAN 1 (DP) INFORMAN 2 (DK) INFORMAN 3 (P1) INFORMAN 4 (P2) INFORMAN 5 (KD1) INFORMAN 6 (KD2)
1 KOMUNIKASI
Proses Dilakukan secara Kegiatan sosialisasi Diadakan melalui Dilakukan secara Dilakukan lewat Pemerintah desa
penyampaian bertahap, mulai dari dilakukan secara pertemuan secara langsung oleh Tim pertemuan di desa mensosialisasikan
kebijakan pembinaan, sampai berjenang. Setiap berjenjang dan Promosi Kesehatan dan secara langsung. kebijakan program
pembentukan tim minggu ada kegiatan bertahap. Puskesmas. “Tapi kita harus door desa siaga dan
Pembina tingkat sosialisasi dari tingkat “berjenjang saja dari “Kalau itu sih gak ada. to door kepada..baik kebijakan desa terkait
provinsi, kemudian kabupaten. Biasanya provinsi ke Tapi yang sosialisasi itu ke RT..RW..dan iuran/pendanaan
instruksi ke jenjang berupa forum desa kabupaten. Nah, kita ke lapangan” mengumpulkan pada forum-forum
bawah. siaga, baik tingkat untuk sosialisasi, masyarakat banyak.” minggonan.
“Kemudian kita juga kecamatan maupun biasanya kami dari “Nah, setelah paying
sudah desa. petugas promkes ada Ada forum sebagai hukumnya ada dalam
menginstruksikan “Untuk dalam pertemuan khusus wadah dalam bentuk perdes, nah
agar kabupaten/kota kegiatan sosialisasi, sosialisasi program tinggal kita sosialiasi
gitu, nah
juga melakukan hal kita itu kan…hamper atau kegiatan desa kepada masyarakat
sosialisasinya
yang sama secara setiap minggu itu ada. siaga. dan pada akhirnya
berjenjang sampai ke Untuk desa siaganya biasanya di tingkat masyarakat
bawah.” ada, posyandunya kabupaten seperti itu, Kebijakan dari kepada mengerti.”
juga ada, posyandu dari dinas biasanya, desa yang lama, akan
kan ukbm yah..untuk untuk lebih disampaikan ke
phbs juga ada” menjangkau”. kepala desa yang
“sebelum ke bawah baru.
kita sosialisasikan “Itu pak,
dulu di tingkat kalau…kepala desa
puskesmas..karena berhenti ya pak ya.. ya
kan kita di puskesmas mungkin itu
tim..lah.. jadi bukan ditibankan kepada
masing-masing saya kepala desa yang
petugas promkes itu baru..serah terimakan
keuangan dan
tugas saya”
sebagainya”
“Trus sasaran yang
paling inih, biasanya
ke bidan desa. Karena
kan bidan desa ada di
desa setempat.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Setelah itu biasanya
bidan desa sosialisasi
lewat pertemuan. Dan
kebetulan di wilayah
rancakalong ada
paguyuban kader
sedesa, nah kader
dititipkan sosialisasi
untuk ke masyarakat”
Materi Berupa instruksi dan Materi kebijakan yang 1. Materi sosialisasi Kebijakan pusat dan Kebiijakan juga Materi yang
kebijakan instrument yang menjadi sosialisasi berupa peraturan provinsi, terkait disertai dengan disampaikan terkait
disusun oleh provinsi. adalah materi umum atau kebijakan indicator juga. adanya keputusan program desa siaga,
“kita juga sudah dari pusat dan perda dari tingkat lebih “Kita kan sosialisasi ke dalam iuran sebagai besaran iuran, dan
menginstruksikan yang menjadi atas masyarakat pendanaan kegiatan dilakukan secara
agar kabupaten/kota peraturan pendukung “Tentang peraturan kebijakannya seperti desa siaga aktif. interaktif.
juga melakukan hal disertai dengan target menteri kesehatan ini, indikatornya Kebijakan ini berupa “Makanya kami
yang sama secara daerah untuk perubahan dari desa seperti ini” perdes. dengan pengurus
berjenjang sampai ke pencapaian desa siaga siaga sebelumnya desa siaga, langsung
bawah.” aktif. penguatan ke desa Juknis dari terjun ke lapangan
siaga aktif” pemerintah provinsi melakukan
2. Tidak adanya belum sampai ke sosialisasi.”
juklak/juknis pemerintahan
tambahan kabupaten.
“Secara umum sih “. Belum ada juknis,
lebih mengacu eh bukan belum ada
ke…permenkes itu sih. juknis, belum
Yang khusus seperti diturunkan ke
itu tidak ada.” sumedang,
kabupaten.”
“Iyah, belum dapat
juknis untuk desa
siaga aktif, yang baru
sekarang. Kita cuman
memakai yang 2010.
Desa siaga aktif kan
cuman ditambahkan”

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Respon dari Banyak yang tidak Responnya baik, Tidak dirasakan Pejabat desa - Ada pro dan kontra. Hal ini
penyampaian paham dengan karena sudah mulai kesulitan dalam merasakan dikarenakan pemahaman
kebijakan baru. menyadari pentingnya penyampaian kebijakan sedikit repot masyarakat terkait
“..kan kepala program tersebut. ke masyarakat daripada program ini terutama
desanya berganti- “. Kita udah mulai..apa “karena tadinya sudah kebijakan iuran bulanan masih
ganti terus yah..mungkin udah desa siaga kan….tidak sebelumnya. kurang.
ya..mereka itu mulai ngerti, udah terlalu apa yaa…bisa “Kok katanya “…kadang-kadang ada
banyak tidak mulai ngeh.” dikatakan tidak terlalu enakan desa masyarakat yang kontra.
paham untuk wah.” siaga, Tapi kebanyakan yang
sosialisasi ke camat, dibandingkan pro. Tapi mungkin karena
ke desa itu harus dengan desa ketidaktahuannya.”
rutin dan terus.” siaga aktif”
“..Mereka
merasa
keberatan..”

Sedangkan untuk
respon dari
masyarakat
beragam, dan
belum ada
laporan/keluhan
yang diterima
oleh petugas
promkes.
“Nah, saya belum
ada konfirmasi
dari seperti itu.
Soalnya kan saya
biarkan dia bahas
dari minggon
desa.”
Hambatan Dana menjadi Waktu menjadi Belum ada juknis Hambatan pasti saja Tidak selamanya program
dalam hamabatan dan hambatan dan masih ada, namun yang itu berjalan mulus.
komunikasi pemahaman para “…terkendala kadang- adanya respon terpenting itu adalah Terutama dari respon
atau sosialisasi kepala daerah kadang ini..terkendala dari pejabat desa terkait fasilitas. masyarakat.
“Tetapi karena waktu sih” yang merasakan “Memang ieu teh “Salah satunya mungkin,
sosialisasinya bahwa kebijakan hambatannya pak yang tadi saya sebutkan,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


kurang, anggaran baru ini sedikit karena ini mungkin ketika desa siaga menjadi
kitanya juga merepotkan dan banyak ya pak, program..ada kendala di
kurang, desa itu kan lebih banyak terutami dina faktor masyarakat.”
banyak ya, kita indicator yang ya..fasilitas..”
Cuma kan dikasih harus dicapai.
dari pusat itu
anggarannya untuk Masyarakat
ngumpulin orang- masih
orang itu di tingkat mempertanyaka
kabupatennya.” n kenapa harus
iuran lagi,
padahal sudah
ada jaminan
kesehatan.
“Ya mungkin
secara umum ya.
Tapi tidak
mencapai 100%.
Kebanyakan yang
jadi kendala kan,
missal anggaran
untuk iuran. Saya
punya
jamkesmas,
kenapa ikut
iuran.”
2 SUMBER DAYA
Kecukupan Dari informasi Masih dirasakan Sumber daya paling Dirasakan masih Adanya keterbatasan Secara kuantitas dan
sumber daya didapatkan bahwa kurang dan adanya banyak adalah kader kurang, dan dalam kemampuan kemampuan sementara ini
SDM yang memiliki kesenjangan/disparitas dan mereka yang kader yang ada para kader. masih dibilang cukup, tapi
kewenangan dan status pegawai memiliki tugas dalam pun merangkap. “Karena memang untuk kedepannya harus
informasi lebih promosi kesehatan dan program tersebut. “Jelas..karena terbatas lah ada pembinaan secara
terkait kebijakan ini bidan desa. “Paling dari kecamatan, Cuma kader kemampuannya intensif dari kabupaten.
terbatas. “Untuk SDM itu dari PKK.. yang selama posyandu” untuk pkk, perangkat “Saya rasa…karena jaman
emang…salah satu ini banyak turun ke “75% lah kader desa. sudah semakin gimana
indicator penyebab lapangan” posyandu lah gitu ya…apalagi untuk
kurang pesatnya desa pelaksana. Jadi kedepannya…saya rasa
siaga. Misalkan dari 32 itu memang dengan SDM yang saat ini

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


puskesmas kita miliki, salah satu memang boleh dikatakan
32 petugas promkes, masalah sih cukup”
itu belum PNS semua.” sebenarnya”

Dengan kondisi SDM


demikian, banyak
orang yang merangkap
tugas dan pekerjaan.

Secara kualitas,
dirasakan sudah cukup
karena sudah
berpendidikan tinggi
walaupun statusnya
masih ada yang belum
PNS.
“masalahnya kita
memiliki
petugas…promosi
kesehatan hamper di
semua puskesmas,
walaupun belum
semua PNS.”
Pembinaan Pembinaan Pembinaan terus Pembinaan secara Pembinaan Pembinaan Dirasakan cukup untuk
sumber daya dilakukan pada awal dilakukan oleh dinas berjenjang. dilakukan dalam dilakukan oleh sekarang, tapi ke
desa siaga kesehatan kabupaten, “Sebenarnya setiap bulanpuskesmas melalui depannya perlu
terbentuk, namun terutama kepada pembinaan itu sekali, karenakader dan perangkat ditingkatkan lagi kapasitas
karena adanya petugas promkes di kan…sudah ada banyaknya desa. kadernya.
keterbatasan dana, wilayah kab. pokjanal yah di tingkat posyandu yang “Itu mah kalau “Memang selama ini
jadi kuranag. Sumedang. kecamatan..jadi kita itu ada di daerah pembinaan dari desa cukuplah…tapi kalau
“Kami secara…apa “Adapun sampai sebenarnya tim, jadi cakupan yah, ya cukup ku melihat untuk
namanya…maratho sekarang, kita masih bagi-bagi tugas dari puskesmas. perangkat desa apa…kedepannya itu
n langsung terus pembinaan”. unsur kecamatan trus dengan PKK. Tapi jelas..harus terus ada
membentuk desa puskesmas…trus yang Tidak ada untuk memberikan pembinaan, peningkatan”
siaga ini keseluruh dari puskesmas sudah pembinaan pengetahuan yang
desa di jawa barat dibekali rata-rata” langsung dari lainnya, karena
karena memang “Kalau untuk kader Dinas Kesehatan masih awam, itu
juga diberikan dana sih…karena di tiap..kan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


untuk ada pertemuan akhir Provinsi maupun harus dari fungsi
pelatihan..ada bulan itu,,biasanya kita Kabupaten tugasnya.”
stimulant pelatihan menyampaikan materi “Ya paling cuman
pada saat itu.” tentang itu. Karena pembinaan di Pembinaan dari
kalau harus kabupaten saja. puskesmas juga tidak
mengumpulkan satu Orang dinas sih dilakukan secara
kecamatan, kadang- tidak ada kontinyu.
kadang kader kan pembinaan “Ya itu puskesmas
susah. Biasanya langsung, jarang. mungkin…satu bulan
triwulanan juga ada, Kecuali kalau ada kadang-
setiap tiga bulan sekali.” lomba.” kadang…kadang-
kadang tiga bulan
gitu.. jadi teu
kontinyu, kadang-
kadang jika
diperlukan dari
sana..kalau ada
surat dari tingkat
baru ada kegiatan
lagi.”

Pembinaan dari
dinas kesehatan
kabupaten ada, tapi
pembinaan yang
bersifat kegiatan
pendukung desa
siaga.
“Dinas kesehatan
hanya sewaktu-
waktu mah ada,
hanya
keterkaitannya
dengan yang
lainnya.”
Kemandirian Kemandirian Penemuan kasus masih Masyarakat - Kesadaran masyarakat
masyarakat masyarakat tergantung mengandalkan adanya diajak dalam dinilai cukup bagus.
bagaimana kepala pengembangan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


daerahnya membawa keaktifan kader dalam toga, tanaman “Dalam hal ini kesadaran
dan memberikan survailans penyakit. obat keluarga tanjung mekar, melihat
kebijakan. “Nah…untuk contoh yang merupakan cukup bagus. Cuman
pemberdayaan seperti program akibat dari tidak mengerti
itu…karena dulu kan di pertanian juga. itu…kurang pemahaman
indicator desa siaga ada Minimalnya ada tentang desa siaga”
surveilans penyakit oleh tanaman yang
masyarakat, ya dapat dijadikan
pelacakan kasus seperti sebagai obat.
itu biasanya oleh kader”

Masyarakat lebih
proaktif dalam
menyampaikan kasus.
“Seperti di posyandu
ada laporan ke petugas
survailans.. misalkan
kasus diare, kan laporan
mingguan..ada. atau
kadang-kadang via sms
kan, cepat seperti itu
sih.. yang berjalan
selama ini.”
Pendanaan Pada awal Tidak ada alokasi Berasal dari masyarakat Pendanaan Pendanaan itu hanya Dilakukan secara mandiri
pendanaan ada dari khusus untuk program dan tidak ada dari pos- operasional dari masyarakat. dari masyarakat dan
Pusat maupun dari desa siaga aktif ini. pos lain. Kalaupun ada kegiatan desa “Nah ini, tidak ada donator, serta alokasi dari
Daerah. Akan Sehingga yang ada itu pun sedikit. siaga aktif desa siaga itu. PIK.
tetapi, ketika pusat hanyalah pembinaan “…karena desa siaga itu sepenuhnya dari Mandiri pak, sumber “Tiap tahun itu selalu ada
memberhentikan untuk petugas dulunya..bersumber masyarakat dan daya masyarakat. dialokasikan untuk
kucuran dana untuk promkesnya saja. Hal daya dari masyarakat donator tetap Gimana mau maju peningkatan kapasitas
desa siaga, ini terjadi setelah pusat ya..untuk awal masyarakat. kalau tidak ada pengurus desa siaga. Dan
pendanaan menjadi menghentikan anggaran itu biasanya Sedangkan untuk dana. Dana kan dari peningkatan pagu
kurang. dananya. kan ada kesepakatan fasilitas itu dari indikatif kewilayahan.”
sumber daya.
“Di awal-awal itu “Tapi untuk ditahun- iuran dari masyarakat..” PIK, “..insyaAllah kemarin
memang…cukup tahun sekarang itu “Dulu pernah ada, kalau “Mandiri. Itu juga udah dikumpulkan semua
bagus tidak salah…hibah dana mengandalkan Dana tidak ada PNS yang ada di desa ini,
belum ada. Kita masih
yah..responnya. gitu buat desa siaga. dari iuran tambahan dari pihak dikumpulkan oleh
sebatas pertemuan, manapun, semuanya pengurus desa siaga.
sehingga kami Tahun berapa ya..lupa.. masyarakat”
penuh mandiri.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


sendiri bisa masih sebatas itu harus dibuat rencana “Dan kebetulan Tolonglah untuk menjadi
menganggarkan di sosialisasi..” usulan dulu, tanjung mekar donor tetap setiap
APBD provinsi untuk kegiatannya apa, kapan punya donator tahunnya.”
lomba pelaksanaannya, khusus dan tetap.
penyelenggara desa penanggung jawabnya PNS”
siaga.” siapa, trus butuh “cuman
anggarannya berapa” mengandalkan
kalo desa siaga
dari PIK”

Fasilitas, - Masih ada yang kurang Kadang baik dan kadang Masih kurang, Fasilitas ada, sudah Fasilitas cukup, da nada
sarana karena keterbatasan kurang, dan terus karena berupa ruang khusus rencana untuk membeli
penunjang dana. diadakan evaluasi. berbenturan di balai desa. Namun ambulan desa. Anggaran
“Nah itu yang jadi “misalkan di dengan untuk sarana didapatkan dari PIK
masaalahnya. Jadi kan, poskesdes..kan itu salah pendanaan yang penunjang lain masih “misalkan kemarin…kita
soalnya kan, satu bentuk bagian dari selama ini berasal belum banyak dan mendapatkan dana dari
diinstrumen yang baru desa siaga ya..misalkan dari masyarakat cukup. dana PIK, berupa
ada dukungan dana tempat tidur atau dan sebagian dari “fasilitas memang peralatan desa
dari pemerintah desa, tempat periksa PIK (Pagu agak kekurangan. siaga…seperti meubeler,
ada dukungan dari pasien..kondisinya kan Indikatif Pertama mungkin, buku aktifasi, papan-
dunia usaha, dan ada kadang-kadang sudah Kewilayahan) untuk fasilitas papan data…”
dukungan dana dari parah..” “Mungkin kegiatan-kegiatan
masyarakat.” yah..itu juga kan kader, terus atau
mandiri. Pasti mungkin yang…ya
kan sarana masih contohnya fasilitas
kurang, cuman lah pak”
mengandalkan
kalo desa siaga
dari PIK”
Upaya dalam - Upaya advokasi tetap Pernah dilakukan, akan Upaya dilakukan Tidak mengetahui -
pengajuan dilakukan, baik ke tetapi bergantung kepada pos-pos proposal harus
fasilitas tingkat kabupaten kepada keputusan desa, pendanaan lain. ditujukan kemana.
tambahan maupun desa. karena tidak ada “Pernah masukan “Tapi kalau saya
“Advokasi kita terus anggaran khusus untuk proposal yah. butuh dana ke
dilakukan…tapi desa siaga. Dinas juga kan kabupaten, saya
masalahnya kalau “Ya…pasti kalau tidak ada membutuhkan..untk
berhubungan dengan dilapangan pasti lah anggaran, jadi pengembangannya..
uang, yaitu….” seperti itu” bidiknya kata tapi kan saya awam,

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


“…apalagi terkait dinas ke harus kemana saya
sarana…kan kadang- khususnya ke minta dana, atau
kadang….ya tidak bisa kami ke petugas, proposal kemana
pengadaan sendiri kan tolong bidik satu ditujukan”
itu..karena PIK, dua ADB,
ya….anggaran untuk ketiga PNPM”
desa siaganya minim”
“Biasanya puskesmas
sih, suka konsul di acara
musrenbang di desa..
musyawarah
perencanaan
pembangunan…biasany
a puskesmas
mendorong ke kader
untuk pengajuan
penyediaan fasilitas di
poskesdes.”
Kerjasama - Dinas kesehatan telah Pernah, tapi dulu. Belum ada Kerjasama dilakukan Banyak kerja lintas sektor
dengan pihak melakukan kerjasama Sekarang tidak ada lagi. sampai saat ini dengan BPD dan terutama bidang
lain lintas program dan Kalaupun ada tidak upaya dalam sektor lain dalam kesehatan.
lintas sektor yang begitu banyak menggaet sektor rangka mendukung “Ya…Alhamdulillah..untuk
tertuang dalam kontribusi. swasta. program desa siaga. tahun-tahun kemarin
berbagai kegiatan. “Kebetulan untuk dulu, “Belum sih yang Seperti pelatihan memang banyak-banyak
‘Terus lintas program, desa siaga seperti seperti itu mah.” pembuatan produk kegiatan dari lintas sektor
lintas sektor, kita juga ini…desa siaga hokum desa siaga. yang memang khususnya
sudah melakukan nagarawangi..desa “dengan dibantu dari dinas kesehatan”
bermacam kegiatan.” siaga sauyunan..dulu mitra bekerja, “Tapi selama ini
pernah bekerjasama dengan BPD..badan Alhamdulillah sangat
dengan perusahaan pemberdayaan dirasakan lah dari setiap
kopi singa” masyarakat desa.” dinas yang ada kaitannya
“Kayak kegiatan- dengan program desa
kegiatan..paling ya siaga.”
gitu..kerjasama dengan
misalkan…produk-
produk cussons, dulu
kan pernah..”

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


Strategi dalam - Menyisipkan dan Belum adanya strategi Belum ada, tapi - -
menjalin menggaet lintas sektor dari pengurus desa kedepan akan
kerjasama ini untuk terlibat dalam siaga sendiri, karena dicoba untuk
rapat/musyawarah harus dari tingkat atas menjalin
dan program secara terlebih dahulu. perusahaan
langsung. “Untuk saat ini belum daerah.
“..kita ada kegiatan ada gerakan seperti itu. “..yang kedua
untuk lintas sektor kita Harusnya memang dari memanfaatkan
harus melibatkan yang tingkat kabupaten juga kelompok
kompeten, yang kan seperti potensial untuk
berhubungan dengan itu…meningkatkan desa diajak
kegiatan tersebut. Itu siaga untuk bisa kerjasama.”
pasti, di tingkat kerjasama dengan
kabupaten, sama pihak swasta”
halnya di tingkat
kecamatan.”
3 SIKAP/PERSEP
SI PELAKSANA
ATAU
MASYARAKAT
Pihak yang - Lebih ke bukan Ada. Ada Mungkin ada, karena -
kurang menerima, tapi masih “Ya mungkin secara ini kurang paham saja
menerima memilah-milah ranah pasti ada lah…ada yang terhadap program
kesehatan dan non pro dan kontra.” desa siaga ini.
kesehatan. Sehingga
dirasakan kegiatan
lintas sektor atau
program tidak dapat
berjalan secara
optimal.
Sikap - Tidak mengalami Masih ada yang Masyarakat masih -
masyarakat kendala yang seperti mempertanyaka belum memiliki
sebelumnya. n uang iuran. kesadaran hokum,
“Sebenarnya..untuk keikhlasan dan rasa
saat ini karena mungkin memiliki untuk
karena program desa membangun
siaga itu sudah berjalan bersama desanya.
beberapa tahun jadi

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


tidak terlalu seperti “Memang pertama
dulu. Cuma kalau harus diterapkan
kegiatan tetap kesadaran..
berjalan…” kesadaran
hukumnnya
gitu…keikhlasannya,
rasa memilikinya
untuk membangun,”
Dukungan dari - Belum adanya Berupa anggaran, tapi Anggaran dari Tidak ada. Control Tidak ada. Semuanya
pemerintah dukungan langsung tidak kontinyu dan provinsi tidak pun bisa 3 tahun, 2 mandiri.
dari pemerintah pusat. sedikit. ada. tahun.
“Untuk kegiatan desa “Jadi “Tidak ada..gak “Tidak ada.. kadang-
siaga, kalau kalau…mungkin…ada ada.. malahan kadang 3 tahun..2
pembinaan secara anggaran-anggaran sih iyah tadi juga, tahun.”
langsung…belum ada sedikit-sedikit. Tapi tolong bidik..
yah. Belum ada yang jelas kalau yang itu malah
membina secara mah, rata-rata di dianjurkan, PIK
langsung.” tingkat kabupatennya ADB PNPM.”
Selama ini baru sendiri yah yang
sebatas kegiatan kebijakan seperti itu”
pembinaan saja.
“Tapi untuk kegiatan
peningkatan desa
siaga aktif itu ada.
Semacam pertemuan,
mungkin itu salah satu
pembinaan, mungkin
strategi..”

Adanya juklak/juknis
dari provinsi sebagai
pedoman dalam
menjalankan program
desa siaga aktif.
4 BIROKRASI
Pengawasan Pengawasan dan Evaluasi terus Pusat tidak melakukan Pengawasan Tidak adanya Tidak adanya pengawasan
dari tingkat evaluasi dilakukan dilakukan di tingkat intervensi langsung, dan tidak dilakukan pengawasan dari dari jenjang yang lebih
lebih lanjut dalam bentuk kabupaten, dan untuk pengawasan dilakukan secara langsung, pemerintah

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


(pusat atau laporan tertulis, tingkat provinsi dalam dengan mengirim akan tetapi kabupaten maupun tinggi. Dulu ada sebelum
daerah) tidak dalam bentuk bentuk laporan. laporan. dengan secara langsung. siaga aktif.
supervise langsung. “Jadi dalam satu tahun Adapun bimbingan mekanisme “Saya kira memang, “Dari mereka itu….tidak
Apabila terdapat itu kita ada…pasti ada tetap dilakukan oleh pelaporan saja. tidak ada pak.. ada. Cuman
daerah yang tidak pertemuan petugas kabupaten. “Ada.. Kami kadang-kadang ketika..momen misalkan
menjalankan atau promkes. Dari mulai “Kalau pengawasan kan melaporkan. Jadi diperlukan kemarin ada kegiatan
kurang maksimal awal tahun kita biasanya kita…kirim lapor.. jadi..kita tenaganya itu juga lomba desa, mereka turun
dalam perencanaan, dari laporan sih yang sewaktu- langsung ke lapangan.”
pelaksanaannya, mulai pertengahan yah…perkembangan dilapangan yah,
waktu..kadang 6
pusat tidak dapat tahun desa siaga biasanya khsusnya petugas
bulan, setahun
memberikan kita…pembinaan. setiap bulan, triwulan promkes
malahan, baru ada
punishment. Evaluasi itu pasti.” ataupun tahunan, evaluasi”
gimana sih control dari situ.”
perkembangannya. Nah
setelah itu biasanya Diperlukan
suka ada bimtek, khusus pengawasan dari
untuk promkes.” pihak luar, karena
terkait pengelolaan
keuangan
masyarakat.
“Memang itu tidak
cukup dari desa ya.
Kalau ada unsur
keuangan ya, itu
kadang-kadang rada
canggung dari desa
ya pak.”
Adanya Peraturan Adanya peraturan Pengaturan lebih Pengaturan Evaluasi dilakukan
peraturan berbentuk KMK dan pendukung dalam berkaitan dengan berbentuk sewaktu-waktu.
dalam Kepmendagri. program desa siaga ini besaran iuran. perdes yang “Nah itu, kadang-
pelaksanaan Adapun Permenkes “Tetapi kita juga dalam “Dan iuran itu pun mengatur kadang 6 bulan
program terbaru tentang rangka mendukung sebenarnya sudah besarnya iuran sekali, tiga bulan
pemberdayaan desa siaga ada perda dibuat peraturan dari masyarakat. sekali. Bagaimana
masyarakat belum Kibla nomor 3 tahun desa, jadi disepakati “Ada. Nanti kan forum bila ada forum
maksimal 2008, tentang ditandatangani oleh disosialisasikan. rapat sewaktu-
dilakukan. pelayanan ibu kepala desa, Cuma Pertama,
waktu.”
bersalin” untuk saat ini…tidak lagi minggon desa.
seperti dulu Nah nanti kan
berjalan…sekarang disosialisasikan

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


mungkin hanya ke aparat desa,
beberapa RT saja” nanti mereka
yang ke
masyarakat”
Koordinasi - Kerjasama dilakukan, da Sudah mulai Ada, contohnya di
lintas sektor nada koordinasi. dilakukan secara bidang pertanian
“Sementara sih, kalau bertahap dengan dalam rangka
koordinasi sektor-sektor mendukung
mungkin..khusus untuk lain. stabilitas ekonomi
bidang desa sendiri “, tinggal kitanya masyarakat desa.
biasanya suka bisa sekarang
koordinasi juga sih.” dengan lintas
sektor bisa
dengan
pertanian,
perikanan, udah
mulai”
“. Misalnya kan
tanjung mekar
kan, pertanian
dan perikanan.
Jadi mereka
mengambilnya
itu.”
Hambatan - Penerapan desa siaga Kurangnya komunikasi Masih sedikitnya Maish kurang
aktif itu di daerah dan masih memegang kelompok- pahamnya prosedur
Kabupaten Sumedang ego masing-masing kelompok tata birokrasi dalam
baru saja mau institusi. potensial yang pengajuan dana.
dilaksanakan dengan “Nah….yang jelas ini dapat menunjang
sepenuhnya. Selama mungkin untuk lintas program desa
ini dijalankan dengan sektor dari segi siaga aktif.
menggunakan mungkin…komunikasi Kemudian
indicator lama, dan yah.. kadang-kadang dilakukan
untuk mengadopsi terhambat. Karena koordinasi lintas
kebijakan yang baru itu gini..kayak kegiatan program
butuh proses. posyandu itu rata-rata kesehatan di
“tetapi secara jujur kan selama ini yang ada puskesmas.
untuk kabupaten dipikiran itu.,..posyandu

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


sumedang, kita baru itu bidang “Jadi upaya
mau kesehatan…jadi strategisnya
melaksanakan…1529. kadang-kadang yaitu, pasar
Kenapa sih kabupaten mereka,..ah udah ada sanitasi yang
baru mau yang ituin dari kedua
melaksanakan? Yang puskesmas..” memanfaatkan
awalnya juga, yang kelompok
546..kita juga masih potensial untuk
terbata-bata. Masih diajak
kita memproses 8 kerjasama.”
indikator..”
Strategi - Revitalisasi Dilaksanakan pada -
kepengurusan desa rapat mingguan dan
siaga bulanan lintas sektor di
“Jadi kemarin juga kan desa mauapun
ada kegiatan dalam kecamatan.
rangka revitalisasi “Karena minggon
kepengurusan desa kecamatan, kan
siaga aktif di biasanya hadir dari
kabupaten sumedang” lintas sektor lain, seperti
kepala desa, UPTD, atau
UPTB..kan biasanya
disampaikan seperti itu,
biasanya ada
penekanan sih dari
kepala puskesmas
minta bantuan ke
kecamatan, ke pak
camat, ke sekda..”
5 KONDISI
SOSIAL
EKONOMI
POLITIK
Dikaitkan Didapatkan Secara politik, jika ada Tidak mengalami Berkaitan dengan Sebagian besar, -
dengan kondisi informasi melalui pergantian kepala kendala yang berarti, kondisi mata pencaharian
sosial dan diskusi non-formal derah atau kepala desa hanya harus perekonomian masyarakatnya
ekonomi bahwa kebijakan dilaksanakan bimbingan masyarakat, ada adalah petani.

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015


desa siaga aktif tidak akan terus-menerus karena sebagian “Rata-rata,
sudah tidak lagi mengganggu program. faktor pengetahuan dari masyarakat yang mayoritas, karena
menjadi prioritas, “Untuk desa siaga masyarakat yang iuran dengan daerah
sehingga dukungan kayaknya nggak. beragam beras atau gabah pertanian..petani..
dalam bentuk dana Masalahnya “mungkin karena yang setara mayoritas itu.
dan pembinaan ngadukung teu program desa siaga itu nilainya dengan Berikut kader-kader
serta pengawasan pemerntah desana.” sudah berjalan peraturan yang ge petani.”
menjadi kurang beberapa tahun jadi berlaku.
tidak terlalu seperti Dan dengan Tingkat
dulu. Cuma kalau sebagian besar kesejahteraan
kegiatan tetap mata masyarakat sekitar
berjalan…kalau dulu pencaharian masih kurang.
kan..karena program masyarakat yang “Kedua, ini harus
desa siaga baru jadi berasal dari dibantu
terus sosialisasi aja pertanian dan kesejahteraannya
terus.” perikanan, maka pak”
“masyarakat kan kegiatan lebih
cenderung banyak
pengetahuan kalau koordinasi
tidak didampingin bisa- dengan lintas
bisa oh salah..makanya kedua sektor
harus tetap ada tersebut.
pendampingan.”
Terjadinya - Adanya kesadaran Semangat masyarakat Lebih ke persepsi -
perubahan masyarakat yang masih dalam menjalankan masyarakat.
paradigm mengutamakan program berkurang Namun itu tidak
masyarakat pengobatan daripada dikarenakan program menjadi kendala
pencegahan. ini tidak ada gebrakan utama dalam
“Untuk kegiatan yang masih lagi. pelaksanaan
kesehatan mereka itu “Karena mungkin itu program desa
menunggu ketika siaga aktif.
tadi…gebyar mungkin
sakit.”
berbeda lagi. Kalau dulu
karena programnya
baru, kadang-kadang
semangat. Sekarang
juga.., udahlah yang
penting jalan.”

Analisis implementasi..., Heidy Herdiana, FKM UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai