Anda di halaman 1dari 41

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah DBD disertai dengan renjatan/shock 2. Dengue adalah
athropod-borne viral (arboviral) yang paling sering menyerang manusia. Secara
global, 2,5-3 miliar jiwa yang tinggal di 112 negara tropis dan subtropis memiliki
risiko untuk terserang demam dengue dan demam berdarah dengue. Setiap tahun
sekitar 50-100 juta jiwa terinfeksi virus ini 4.
Virus dengue ditransmisikan melalui nyamuk betina yang kebanyakan
dengan spesies Aedes aegypti, maupun Aedes albopictus walaupun lebih jarang.
Penyakit ini menyebar di seluruh wilayah tropis, yang dipengaruhi dengan
keadaan cuaca lokal seperti curah hujan, suhu, dan juga tingkat populasi yang
tidak terjaga jumlahnya. Penyakit demam berdarah dengue dikenal pertama kali
pada tahun 1950-an, dimana pada saat itu menjadi epidemi di Filipina dan
Thailand. Saat ini dengue sudah menyebar hampir keseluruh negara-negara Asian
dan Amerika latin dan menjadi salah satu penyebab tersering rawat inap dan
kematian pada anak-anak di negara-negara tersebut6.
Insidensi penyakit ini meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam
dekade terakhir ini, dari laporan WHO, pada tahun 2010 terjadi hampir 2,4 juta
kasus demam berdarah dengue yang dilaporkan. Meskipun pelaporan ini tidak
tercatat dengan baik, tetapi angka ini menunjukkan peningkatan jumlah kasus
DBD yang tajam dibandingkan dengan jumlah laporan kasus pada tahun – tahun
sebelumnya6.
Indonesia sendiri adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun
1968-2007 diperoleh kecendrungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004,
Indonesia merupakan negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue
terbanyak. Peningkatan ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4%
(1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2

2007, prevalensi DBD tersebar di Indonesia dengan nilai 0,6%. Prevalensi


tertinggi diperoleh pada kelompok umur dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak
0,7% dan terendah pada bayi (0,2%) 2.
Semakin tingginya angka kejadian penyakit demam berdarah dengue ini di
Indonesia bahkan di dunia, menjadikan latar belakang penulis mengangkat
penyakit ini untuk dibahas dalam laporan kasus ini.

1.2. Definisi
Demam Dengue dikenal juga dengan “break bone fever” ditandai dengan
demam onset akut 3-14 hari setelah terinfeksi nyamuk3. Demam Dengue (DD)
dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah DBD disertai
dengan renjatan/shock 2.

1.3. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk kedalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus yang memiliki diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x10^6 1.
Terdapat 4 serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabakan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 yang terbanyak.
Terdapat reaksi silang antar serotipe dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever,
Japanese encephalitis, dan West NiLe Virus 1.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar, dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibodi dengue pada kuda, sapi, dan babi. Penelitian
pada arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus
Aedes (Stegomyia) dan Toxorhyncites 1.
3

1.4. Epidemiologi
Setiap tahun, diperikirakan 50-100 juta kasus demam dengue dan 500.000
kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia, dengan kematian
mencapai 20.000 kasus setiap tahunnya (kebanyakan pada anak-anak).
Diperkirakan 2,5-3 miliar jiwa (tepatnya 40% dari seluruh populasi dunia) yang
terdapat pada 112 negara tropis dan subtropis memiliki risiko untuk terjadinya
infeksi virus dengue. Benua yang tidak ada sejarah infeksi virus dengue hanya
Eropa dan Antartika4.
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
Indonesia. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1998-1995), dan pernah meningkat tajam menjadi kejadian luar biasa sampai 35
per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung
menurun 2% pada tahun 1999 1.
Indonesia adalah salah satu daerah endemis DBD. Dari data tahun 1968-
2007 diperoleh kecendrungan peningkatan insidens DBD. Sejak tahun 2004,
Indonesia merupakan negara dengan laporan kasus infeksi virus dengue
terbanyak. Peningkatan ini diiringi dengan penurunan mortalitas DBD dari 3,4%
(1985) menjadi 1% (2006). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2007, prevalensi DBD tersebar di Indonesia dengan nilai 0,6%. Prevalensi
tertinggi diperoleh pada kelompok umur dewasa muda (25-34 tahun) sebanyak
0,7% dan terendah pada bayi (0,2%) 2.

Gambar 1. Peta sebaran nyamuk Aedes sp. Yang merupakan


vektor virus dengue di dunia.
4

Penularan infeksi dengue terjadi dengan vektor nyamuk gemus Aedes


(terutama A.aegypti dan A.Albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat peindukan
nyamuk betina yaitu bejana dengan air yang jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan
tempat penampungan air lainnya)1. Biasanya nyamuk Aedes menggigit pada
2.
siang hari Beberapa faktor diketahui berkaitan erat dengan peningkatan
transmisi virus dengue yaitu :
1. Vektor : perkembangan biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat
lain.
2. Penjamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

1.5. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Virus dengue diinjeksikan oleh nyamuk Aedes ke aliran darah.
Virus ini secara tidak langsung mengenai sel epidemis dan dermis sehingga
menyebabkan sel Langerhans dan keratinosit terinfeksi. Sel-sel yang terinfeksi
bermigrasi ke nodus limfe, dimana makrofag dan monosit menjadi target
selanjutnya. Selanjutnya akan terjadi amplifikasi infkesi dan virus tersebar
keseluruh tubuh (viremia primer). Viremia primer ini menginfeksi makrofag dan
jaringan beberapa organ seperti limpa, sel hati, sel stromal, sel endotel dan
sumsum tulang. Infeksi makrofag hepatosit, dan sel endotel mempengaruhi
hemostasis dan respon imun sel penjamu terhadap virus dengue. Sel – sel yang
terinfeksi kebanyakan mati melalui apoptosis dan hanya sedikit yang melalui
nekrosis. Nekrosis mengaktivasi sistem fibrinolitik dan koagulasi. Bergantung
berapa luasnya infeksi pada sumsum tulang dan kadar IL-6,IL-8, IL-10 dan IL-18,
hemopoiesis ditekan sehingga menyebabkan penurunan trombogenitas darah.
Produk toksik juga menyebabkan peningkatan koagulasi dan konsumsi trombosit
sehingga terjadi trombositopenia2. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti
5

yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam


berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Repson imun yang diketahui
berperan dalam patogenesis DBD adalah1 :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalm mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan meproduksi inteferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi IL-4,IL-5 dan IL-6 dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan pertambahan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologues


infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe lain yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yanb
tinggi1.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain; menyatakan bahwa infkesi virus dengue dapat menyebabkan aktivasi
makrofag yang mem-fasgositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi
sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh
virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Inteferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehngga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, dan PAF
(Plasma Activating Factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya
6

disfungsi sel endotel dan terjadinya kebocoran plasma. Peningkatan Ca3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatka
terjadinya kebocoran plasma 1.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1).
Supresi sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infkesi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan frgamen C3g, terdapatnya antiboi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Trombosit memiliki interaksi yang dekat dengan sel endotel. Sejumlah trombosit
fungsional diperlukan untuk mempertahankan stabilitas vaskular2. Gangguan
fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 (trombosit factor 4) yang
merupakan pertanda degranulasi trombosit1.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur instrinsik juga berperan melalui aktivasi fakto Xia
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalirein CI-inhibitor complex). Bersamaan
dengan tingginya kadar virus dalam darah, trombositopenia, serta disfungsi
trombosit, keempat faktor tersebut menyebabkan petekie, memar, dan perdarahan
mukosa saluran cerna 2.
7

1.6. Manifestasi Klinis

Pasien dengue akan memiliki riwayat tinggal atau bepergian ke daerah


yang endemik dengan virus dengue. Masa inkubasi 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari).
Gejala yang muncul lebih dari 2 minggu setelah pasien kembali dari daerah
endemik kemungkinan bukan disebabkan virus dengue 4.

Kebanyakan pasien mengalami gejala prodromal seperti mengiggil, bintik-


bintik merah pada kulit, dan wajah yang kemerahan (flush). Gejala prodromal ini
biasa bertahan selama 2-3 hari. Anak-anak berusia dibawah 15 tahun biasanya
memiliki riwayat demam yang tidak spesifik, yang bisa disertai dengan
maculopapular rash. Gejala klasik demam dengue dimulai dari demam onset tiba-
tiba, menggigil dan nyeri hebat pada sendi-sendi tubuh, nyeri pada kepala,
punggung, dan ekstremitas, dan juga gejala lainnya. Demam dapat berlangsung
selama 2-7 hari dan dapat mencapai 41oC, demam turun dalam satu hari dan tinggi
kembali, demam seperti ini disebut demam tapal kuda (saddleback fever). Demam
yang berlangsung lebih lama dari 10 hari biasanya bukan merupakan manifestasi
dengue. Manifestasi lainnya dapat berupa4 :

 Sakit kepala.
 Nyeri retro-orbital.
 Nyeri pada seluruh tubuh (arthalgia, myalgia) General body pain (arthralgias,
myalgias)
8

 Mual dan muntah (diare jarang terjadi)


 Bercak kemerahan
 Lemah dan lemas
 Perubahan rasa pengecapan
 Anorexia
 Sore Throat
 Manifestasi perdarahan ringan ( peteki, gusi berdarah, epistaksis, menoragia, dan
hematuria)
 Limfadenopati.

Terdapat 3 fase pada penyakit demam berdarah dengue, yaitu :


a. Fase febril pada DBD ditandai dengan naiknya suhu tubuh hingga
≥40oC, hal ini dikarenakan terjadinya viremia. Pada fase ini DBD
dapat bermanifestasi seperti demam dengue. Manifestasi perdarahan
yang terjadi berupa perdarahan ringan seperti pada demam dengue.
Viremia dengue ini puncaknya pada 3-4 hari pertama setelah onset
demam, tetapi kemudian viremia menghilang sehingga tidak terdeteksi
setelah beberaa hari. Tingkat viremia dan demam biasanya saling
berbanding lurus, dan nilai IgM antibodi dengue meningkat setelah
demam menghilang5.
b. Fase kritis, pada fase demam turun merupakan fase kritis dimana
terjadinya kebocoran plasma dari pembuluh darah ke intersisial
sehingga dapat memunculkan efusi pleura dan asites pada kavitas
abdomen, pada pasien yang sudah terjadi kebocoran plasma, maka
harus di monitor secara ketat untuk menilai keadaan hemodinamik
pasien, karena pada fase ini bisa terjadi syok seperti takikardi, nadi
yang teraba lemah, ekstremitas terasa dingin, dan menyempitnya
selisih antara sistol dan diastol (<20mmHg), memanjangnya waktu
pengisian kapiler (>2 detik) dan menurunnya urin output (oliguria) 5.
Warning sign termasuk nyeri pada abdomen, muntah persisten, dan
perubahan suhu tubuh yang nyata (dari demam ke hipotermia),
9

manifestasi perdarahan, atau perubahan status mental (Iritabilitas,


kelemahan dan obtundasi). Pasien juga dapat mengalami tanda-tanda
syok, seperti kulit teraba dingin, nadi teraba lemah, dan penyempitan
sistolik dan diastolik. Pasien dengan gejala-gejala tersebut harus segera
dibawa ke rumah sakit3.

c. Fase konvalesen terjadi dengan komplit tetapi lambat,dengan gejala


fatigue dan kelelahan dapat terus ada hingga demam benar-benar
hilang. Fase konvalesen dapat berlangsung selama 2 minggu4, pada
fase ini ditandai dengan berhentinya kebocoran plasma dan mulai
reansorbsi cairan kedalam intravaskular, tanda bahwa pasien sudah
memasuki masa konvalesen adalah kembalinya nafsu makan pasien,
vital sign yang mulai stabil 5.

Gambar 2. Fase perjalanan penyakit demam berdarah dengue


10

Grade keparahan demam berdarah dengue :


Grade I : demam diikuti dengan gejala – gejala prodromal, manifestasi
perdarahan yang terjadi hanya tourniquet positif dan/atau mudah
memar.
Grade II : Grade I dengan perdarah spontan, biasnya perdarahan pada kulit
ataupun perdarahan lainnya.
Grade III : ditandai dengan kegagalan sirkulasi darah, seperti nadi yang cepat
dan lemah, penyempitan tekanan darah sistol dengan diastol
ataupun hipotensi, teraba kulit basah dan dingin dan penurunan
kesadaran.
Grade IV : Profound shock dengan nadi dan tekanan darah yang tidak
terukur.

1.7. Diagnosis
1.7.1 Diagnosis Berdasarkan Gejala Klinis7,8
Beberapa pasien dengan demam berdarah akan mengembangkan menjadi
demam berdarah dengue (DBD). Apabila demam mulai mereda (biasanya 3-7 hari
setelah gejala onset), pasien dapat mendapatkan gejala warning sign. Tanda-tanda
warning sign adalah sakit perut, muntah terus-menerus, ditandai perubahan suhu
(demam hipotermia), manifestasi perdarahan, atau perubahan mental status
(mudah marah, bingung). Pasien juga mungkin memiliki tanda-tanda awal syok,
termasuk gelisah, berkeringat dingin, denyut nadi lemah dan cepat, dan tekanan
darah menjadi rendah. Pasien dengan demam berdarah harus kembali ke rumah
sakit jika mendapat tanda-tanda berikut.
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

-Uji bendung positif.


- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
11

- Hematemesis atau melena.


 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut :
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.

Perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya
kebocoran plasma.

1.7.2 Diagnosis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium7,9


Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
 Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
 Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
12

 Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan


hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
 Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
 Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
 SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
 Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
 Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
 Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
 Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
 Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

1.7.3 Diagnosis Berdasarkan Pemeriksaan Radiologis7


Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
13

1.8. Diagnosis Banding7


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

1.9. Penatalaksanaan7
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi supportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi
secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)
bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi
dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Indonesia telah menyusun
protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang
dibuat sesuai dengan indikasi.
 Praktis dalam penatalaksanaannya
 Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa
tanpa syok
Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka
DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB,
14

Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit<100.000 dianjurkan untuk dirawat.
• Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk
dirawat.

 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD Dewasa di


Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid sesuai
dengan rumus : 1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan
untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x (55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian
cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb,
Ht, Trombosit dilakukan tiap 12 jam
 Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan HT > 20 %.

 Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami


defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian
cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7
ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.
Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
15

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3


ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah
pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesusi dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi pemberian cairan awal.

 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD


Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok
lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis
serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian heparin diberikan
apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi
intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
16

sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor


pembekuan (PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb
kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD
dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit.

 Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan
oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD Universitas Sumatera Utara
mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan
kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan,
penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan –
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatini. Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur
sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan
telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus
dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami
17

ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan


infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi). Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan
berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama setelah
terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20 % saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit
dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan
penyakit. Universitas Sumatera Utara Bila setelah fase awal pemberian
cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid
dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi
setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan
nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn
(internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan kristaloid
diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tesebut.
Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan
kateter vena sentral, dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah
maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18
cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
18

sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.

1.10. Kriteria Merujuk / Referral8


Pasien mendapatkan rawat inap jika syarat-syarat berikut terpenuhi:
 Pasien syok dengan atau tanpa komplikasi
 Pasien hypoglikemia
 Pasien dengan warning sign (Abdominal pain or tenderness, persistent
vomiting, clinical fluid accumulation, mucosal bleed, lethargy, liver
enlargement >2cm, increase in HCT concurrent with rapid decrease in
platelet count).

1.11. Edukasi9
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada pengobatan
spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat pencegahan adalah
langkah terpenting, dan pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita
tinggal di atau bepergian ke area endemik. Jalan terbaik untuk mengurangi
nyamuk adalah menghilangkan tempat nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah
yang dapat menampung air. Nyamuk dewasa menggigit pada siang hari dan
malam hari saat penerangan menyala. Untuk menghindarinya, dapat
menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan pakaian lengan pajang/celana
panjang dan mengamankan jalan masuk nyamuk ke ruangan. Penggunaan
insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan malathion. Cara
penggunaan malathion adalah dengan pengasapan (thermal fogging) atau
pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat menggunakan
golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid.

1.12. Pencegahan11,12
Pencegahan DBD dapat dibagikan menjadi tiga tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkatan
19

pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat tetap
menjadi sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

Pencegahan Primer
1. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan
distribusi kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan
waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat
atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes
aegypti adalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan
atau pupa.

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑹𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒆𝒓𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝑱𝒆𝒏𝒕𝒊𝒌 𝒙 𝟏𝟎𝟎%


HI =
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒊𝒌𝒔𝒂

b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit


larva atau pupa.
𝑪𝑰 = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑪𝒐𝒏𝒕𝒂𝒊𝒏𝒆𝒓 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒆𝒓𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝑱𝒆𝒏𝒕𝒊𝒌 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒄𝒐𝒏𝒕𝒂𝒊𝒏𝒆𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒊𝒌𝒔𝒂
20

c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100


rumah yang diperiksa.
𝑩𝑰 = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑪𝒐𝒏𝒕𝒂𝒊𝒏𝒆𝒓 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒆𝒓𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝑱𝒆𝒏𝒕𝒊𝒌 𝒙 𝟏𝟎𝟎 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑹𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑫𝒊𝒑𝒆𝒓𝒊𝒌𝒔𝒂

Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik


(ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah
yang diperiksa.
𝑨𝑩𝑱 = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑹𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝑫𝒊𝒕𝒆𝒎𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑱𝒆𝒏𝒕𝒊𝒌 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑹𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒀𝒂𝒏𝒈 𝑫𝒊𝒑𝒆𝒓𝒊𝒌𝒔𝒂

Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil


kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan
endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random
sampling).
Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

I. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara
pengendalian vektor yaitu :

a. Pengendalian Cara Kimiawi


Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan
pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah
dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid.
Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan
(spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat
digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor
(Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat
perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
21

b. Pengendalian Hayati / Biologik


Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis
dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian
hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa
jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis)
adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis
golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva
nyamuk.

c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain
dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat
kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah.
Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di
tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

II. Surveilans Kasus

Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif


maupun pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans
pasif. Meskipun system surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki
spesifisitas yang rendah, namun system ini berguna untuk memantau
kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif
setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, balai
pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkansetiap
penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam.
Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue
di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana
22

berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk


mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan
laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat
memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap
penyebaran epidemi penyakit DBD.

III. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk

Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh


masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai
pemantaua hasilhasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan
penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan
lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan
keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD
dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu :
1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan
peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga
tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang
semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya
nyamuk Aedes aegypti.

Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita

1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,


berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan
23

berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta
segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan penemuan
penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian
pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan
epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah
disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.

b. Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian
penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang
dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-
tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya
dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas
selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan
seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan
epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan
dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi tersebut. Bila pada hasil
PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa
sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M
plus, larvasida, fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan
rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang
dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan
2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan
kasus lain maka dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M.
24

Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini
dapat dilakukan dengan :

a. Transfusi Darah Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan


seperti hematemesis dan malena diindikasikan untuk mendapatkan
transfusi darah secepatnya.

b. Stratifikasi Daerah Rawan DBD Adapun jenis kegiatan yang


dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:
i. Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada
kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim
Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat.
ii. Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus
DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB),
PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap
dilakukan.
iii. Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada
kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi
dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%.
Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
iv. Bebas Yaitu Kecamatan
Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan
air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan
yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
25

1.13. Prognosis13
Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi
dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan. Angka
kematian secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif.
Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok
berkepanjangan atau perdarahan intracranial
26

BAB 2
STATUS ORANG SAKIT

No. Reg. RS : 00.55.93.08 (P)


Nama Lengkap : Herlina Ketaren
Umur : Jenis Kelamin :
Tanggal Lahir : 11-12-1965
80 tahun Perempuan
Alamat : Jl. Jamin Ginting KM 18,7 No.
No./Telepon : -
75
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status: -
Pendidikan : - Suku : Karo Agama : Kristen

Dokter Muda :
Dokter : dr. Fransiscus Ginting, SpPD
Tanggal Masuk : 28 Mei 2015

ANAMNESIS

Autoanamnese Alloanamnese

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Keluhan Utama : Demam
Deskripsi :
 Hal ini sudah dialami os sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam pada awalnya muncul tiba-tiba dengan suhu
sangat tinggi, demam naik turun tidak tentu waktunya. Demam
menurun dengan obat penurun panas, tetapi naik kembali. Os
juga mengeluh menggigil pada malam hari. Pada hari kedua
muncul bintik-bintik merah pada kedua lengan dan tungkai
bawah.
 Riwayat perdarahan spontan seperti mimisan, gusi berdarah,
BAK merah dan BAB hitam disangkal. Mual (-) dan muntah (-).
27

Os mngeluh kan nyeri kepala dan nyeri di seluruh sendi badan.


BAK (+) normal dengan volume 1500cc/hari dengan warna
kuning jernih. Riwayat BAK merah (-), nyeri saat BAK (-),
BAK berpasir (-). BAB (+) normal, namun terkadang os
mengeluhkan kesulitan BAB. Dilaporkan tetangga os menderita
demam berdarah 2 minggu yang lalu.

RPT : Kelainan katup jantung (kateterisasi)


RPO :-

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Kulit: Alat kelamin:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Umum : Abdomen :
Keadaan umum sedang Tidak ada keluhan
Kepala dan leher: Ginjal dan saluran kencing :
Tidak teraba benjolan Tidak ada keluhan
Mata: Hematologi:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Telinga: Endokrin/metabolik:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Hidung: Muskuloskeletal :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Mulut dan Tenggorokan: Sistem saraf:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Pernapasan : Emosi :
Tidak ada keluhan Terkontrol
Jantung : Vaskuler :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
28

DESKRIPSI UMUM
Kesan Sakit Ringan Sedang Berat
Gizi  BB = 160 kg
TB = 169 cm
IMT = 27,34 Kesan = Obese class I

TANDA VITAL
Deskripsi:
Kesadaran CM
Komunikasi Baik
Nadi Frekuensi 100x/i Reguler, t/v: cukup
Tekanan darah Berbaring: 140/90 mmHg -
Temperatur Aksila : 38 oC Rektal : tdp
Pernafasan Frekuensi: 24 x/menit Deskripsi: Torako abdominal

Penilaian Nyeri :

Intensitas Nyeri : -
Lokasi Nyeri :-

KEPALA :
 MATA : Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil
isokor, ki=ka Ø 3mm, refleks cahaya direk (+), indirek (+), kesan normal.
 TELINGA : Dalam batas normal
 HIDUNG : Dalam batas normal
 MULUT DAN TENGGOROKAN : Dalam batas normal
29

LEHER : Struma tidak membesar, pembesaran KGB (-), Trakea medial, TVJ R-2
cm H2O

THORAX :
Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis Simetris fusiformis
Palpasi Sf ka=ki, teraba di ICR V 1cm Sf ka=ki
medial LMCS
Perkusi Batas paru hati R: ICR V LMCD. Sonor
A: ICR VI LMCD.
Peranjakan: 1cm
Batas atas jantung: ICR III LMCS
Batas kiri jantung: ICR V 1cm
lateral LMCS
Batas kanan jantung: ICR I linea
parasternal dextra
Auskultasi SP: vesikuler SP: vesikuler
ST: (-) ST: (-)

JANTUNG :
Batas Jantung Relatif: Atas : ICS III LMCS
Kanan : ICS IV 1 cm latral LMCS
Kiri : ICR IV linea parasternal dextra
HR: 100 x/menit, reguler, M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (+),
tingkat : 3/6, desah diatolis (-).

ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Normoperistaltik
30

PINGGANG :
Tapping pain (-), ballotement (-)

INGUINAL :
Tidak dilakukan pemeriksaan

EKSTREMITAS :
Superior : edema (-), pucat (-)
Inferior : edema (-)

GENITALIA :
Dalam batas normal

NEUROLOGI :
Refleks fisiologis (+) Normal
Refleks Patologis (-)

BICARA :
Komunikasi baik

HASIL LAB
Darah : Hb 13.60 gr%, Eritrosit 4,40 x106/mm3,
Leukosit 5.44 x103/mm3, Trombosit 91
x103/mm3, Ht 38,50 %, Eosinofil 2.90%,
Basofil 0.01%, Neutrofil 76,90%, Limfosit
11.90%, Monosit 8.30%.
Kemih : Warna kuning pekat, P/R/B/U : +2/+2/-/+
Sedimen: Eritrosit 2-3/lpb, Leukosit 2-3/lpb,
Silinder : -/lpb, Epitel >100/lpb
Tinja Tidak dilakukan pemeriksaan
31

RESUME DATA DASAR

(Diisi dengan hal positif)


Keluhan Utama : Demam
Anamnesis : Hal ini sudah dialami os sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam muncul tiba-tiba dengan suhu sangat tinggi. Os juga mengeluh menggigil
pada malam hari. Pada hari kedua muncul bintik-bintik merah pada kedua lengan
dan tungkai bawah. Tetangga os menderita demam berdarah 2 minggu yang lalu.
Pemeriksaan Fisik
Kepala :
 Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor,
ki=ka Ø 3mm, refleks cahaya direk (+), indirek (+), kesan normal
 Telinga : Dalam batas normal
 Mulut : Dalam batas normal
Thorax :
 Palpasi : Sf ka=ki
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : SP : vesikuler , ST : (-)
Anggota Gerak Bawah : Ptekie (+/+)
Anggota Gerak Atas : Ptekie di lengan
Laboratorium Rutin
Darah
 Hb/Eri/Leu/Trom : 13.60 / 4.49 jt / 5.44 / 91.000
 Diftel : 0.1 / 0.4 / 92.2 / 3.9 / 3.4
Urin Rutin
 Warna kuning pekat
 P/R/B/U : +2/+2/-/+
Sedimen: Eritrosit 2-3/lpb, Leukosit 2-3/lpb, Silinder : -/lpb, Epitel
>100/lpb
32

BAB 3
FOLLOW UP HARIAN DI RUANGAN

Tanggal S O A P
Terapi Diagnostik
28/05/2015 Demam (-), Sens : CM - DHF grade II - Tirah Baring - DR serial /
– Sakit kepala TD : 110/70 mmHg - CHF fc I ec - Diet MM 24 jam
29/05/2015 (+), HR : 100 x/i MR mild + rendah garam - Konsul
Nyeri RR : 28 x/i
AS severe + - IVFD NaCl Kardiologi
seluruh Temp : 37,1 oC
sendi-sendi AR mild- 0,9% 20 gtt/i
tubuh (+) PD : moderate + - Inj. Ranitidine
Mata: anemis (-/-) TR mild 50 mg/12jam
ikterus (-/-) - Paracetamol 3
H/T/M : t.a.k x 500 mg
Leher : TVJ R- - Concor 1 x 5
2cmH2O, pem
mg
KGB (-)
Thorax : SP : - Furosemide 1
vesikuler ST: (-) x 40 mg
Jantung : - Spironolakton
auskultasi : desah 1 x 25 mg
sistolik (+) Katup - Ramipril 1 x
Aorta, Trikuspid 2.5
Abdomen:
simetris, soepel,
H/L/R ttb, timpani,
peristaltik (+) N
Eks :
sup : ptechie (+/+),
oedem (-/-)
inf : ptechie (+/+),
oedem (-/-)
Lab :
Hb : 13.10
g%
Eritrosit : 4.34 x
106/mm3
Leukosit : 2.88 x
103/mm3
Trombosit : 51 x
103/mm3
Ht : 37.40 %
Kesan :
Leukopenia +
33

Trombositopenia
KGD sewaktu :
244 mg/dL
Imunoserologi :
Anti DHF IgM : -
Anti DHF IgG : -

29/05/2015 Sesak napas Sens : CM - CHF fc I ec - Terapi sesuai


(jawaban (+) TD : 110/70 mmHg Valvular TS
konsul HR : 100x/i Heart
kardiologi) Temp : 37,1 oC
Disease
PD :
Mata : anemis (-/-)
ikterus (-/-)
Leher : TVJ R-
2cmH2O
Thorax : SP :
vesikuler ST : (-)
Desah sistolik (+)

29/05/2015 - Diberikan diet


(Ahli Gizi) DJ III MB
E : 1650 kal
P : 60 gr
L : 45 gr
KH : 275 gr
30/05/2015 Demam (-) Sens : CM lemah - DHF grade II - Tirah Baring - Cek
Sakit kepala TD : 120/70 mmHg - CHF fc I ec - Diet MB DR/hari
(+) RR : 25x/i MR mild, AS rendah garam - Cek IgG –
Nyeri Temp : afebris
severe, AR - IVFD NaCl IgM anti
seluruh
tubuh (+) mild, TR 0,9% 20 gtt/i Dengue
mild - Inj Ranitidine
1 amp/12 jam
- PCT 3 x 100
mg
- Concor 1 x 2.5
mg
- Furosemide 1
x 40 mg
- Spironolakton
1 x 25 mg
34

31/05/2015 Sesak Sens CM - DHF grade - Teruskan T/V


Napas (+) Lab : II O2 2 – 4 liter
Hb : 13.10 - CHF fc I ec
g%
MR mild
Eritrosit : 4.38 x
106/mm3
Leukosit : 9.67 x
103/mm3
Trombosit : 51 x
103/mm3
Ht : 37.70
%
Kesan :
Trombositopenia

01/06/2015 Demam (+) Sens : CM - DHF grade II - Tirah baring - Cek DR


– TD : 120/80 mmHg - CHF fc I ec - Diet jantung serial/24
02/06/2015 RR : 40x/i VHD III jam
HR : 76x/i
- DM type 2 - IVFD NaCl - Menungg
Temp : 38,1 oC
- Pneumonia 0.9% 20 gtt/i u hasil
PD : (HAD) - Inj Ranitidine KDD N/2
Mata: anemis (-/-) 50 mg / 12 jam jam PP/
ikterus (-/-) - Paracetamol 3 HbA1C
H/T/M : t.a.k x 500 mg - Konsul
Leher : TVJ R- - Concor 1 x 2.5 endokrin
2cmH2O, pem
mg - Konsul
KGB (-)
Thorax : SP : - Furosemide 1 PAI
bronchial di x 40 mg
lap.paru kanan atas - Spironolakton
ST : ronchi basah 1 x 25 mg
lap.paru kanan atas - Ramipril 1 x
Jantung : 2.5 mg
auskultasi : desah
- Metformin 3 x
sistolik (+) Katup
Aorta, Trikuspid 500 mg
Abdomen: - Inj
simetris, soepel, Ceftriaxone I
H/L/R ttb, timpani, gr/12 jam
peristaltik (+) N - Glucodex 1-1-
Eks :
0
sup : ptechie (+/+),
oedem (-/-)
inf : ptechie (-/-),
oedem (-/-)
35

Lab :
Hb : 12.40
g%
Eritrosit : 3.92 x
106/mm3
Leukosit : 8.25 x
103/mm3
Trombosit : 98 x
103/mm3
Ht : 37.40
%
Kesan :
Trombositopenia
KGD puasa : 172
mg/dL
KGD 2 jam PP :
217 mg/dL
HbA1c : 8.2 %
Elektrolit :
Na : 130 mEq/L
K : 3.4 mEq/L
Cl : 102 mEq/L

01/06/2015 Riw. DM KGD N : 172 DM tipe 2 - Diet DM 1700 - Fundusko


– tidak jelas HbA1C : 8,2 kkal pi
02/06/2015 - Metformin 3 x
(jawaban
500 mg
konsul
endokrin) - Glucodex 1-1-
0
36

BAB 4
DISKUSI

NO TEORI KASUS
1.  Epidemiologi
Terdapatnya penderita dilingkungan OS tinggal di daerah Pancur Batu
keluarga, serta mobilisasi sebagai faktor merupakan salah satu daerah endemis
penjamu. demam berdarah. Anak OS, dan
beberapa tetangga OS juga
mengeluhkan hal yang sama seperti OS.

2  Manisfestasi Klinis
Demam atau riwayat demam akut, Demam sudah 5 hari berlangsung, naik
antara 2-7 hari, yang diikuti oleh fase secara tiba-tiba.
kritis selama 2-3 hari.
Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia,
antralgia.

3  Diagnosis
a. Terdapat satu dari manifestasi Terdapat bercak-bercak kemerahan pada
perdarahan berikut: kedua lengan OS
- Uji bendung positif Tidak ada riwayat gusi berdarah,
- Petekie, ekimosis, atau purpura epistaksis
- Perdarahan mukosa (tersering Berdasarkan hasil pemeriksaan
epistaksis atau perdarahan gusi), Radiologi ditemukan efusi Pleura
atau perdarahan dari tempat lain Bilateral
b. Tanda kebocoran plasma lainnya Hematokrit 37,7%
seperti: efusi pleura, asites, atau Ditemukan jumlah Trombosit
hiponatremia. 91x103/mm3
c. Trombosit: umumnya terdapat
trombositopenia pada hari ke 3-8
d. Hematokrit: kebocoran plasma
dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan Hematokrit ≥ 20% dari
hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.

4.  Pemeriksaan Penunjang
Imonoserologi dilakukan pemeriksaan Imunoserologi virus: IgM anti DHF
IgM, dan IgG terhadap dengue dan NS1 negative (-), IgG anti DHF negative (-)
37

5  Terapi
Penatalaksanaan yaitu berupa pemberian Terapi yang diberikan pada OS yaitu
caiaran isotinik seperti NaCl 0,9%, IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i makro
ringer lactate, sesuai rumus 1500 + {20
x (BB dalam kg -20}
38

BAB 5
KESIMPULAN

Pasien perempuan 80 tahun menderita DHF (Dengue Hemorrhagic Fever).


39

BAB 6
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro,2006. Demam Berdarah Dengue, Dalam: A.W. Sudoyo, et al.,


eds. 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-3 Jilid III, Jakarta :
Interna Publishing Hal. 1709-1713 Bab 387.
2. Tanto,Chris,2014. Demam Berdarah Dengue, Dalam: Tanto,Chris,et.al.,eds
2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV jilid II, Jakarta : Media
Aesculapius
3. U.S Department Healt and Human Services,2009.Dengue and Dengue
Hemoragic Fever, Available in :
http://www.cdc.gov/Dengue/resources/Dengue&DHF%20Information%20f
or%20Health%20Care%20Practitioners_2009.pdf [Accessed 02 June 2015]
4. Sheperd, Suzan Moore,2014.Dengue. Available in :
http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#a0101 [acceses 02
june 2015]
5. Center for Disease Control and Prevention,2015, Dengue. Available in :
http://www.cdc.gov/Dengue/clinicalLab/index.html [accesed 02 june 2015]
6. World Health Organization,2015, Dengue and Severe Dengue, Available in
:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [accesed 02 june
2015]
7. Dahlan, Zul. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V jilid III.
Jakarta : Interna Publishing.
8. Kumar & Clark’s. 2012. Clinical Medicine. Edisi ke-8. Spain: SAUNDERS
ELSEVIER Publishing. Halaman: 106-107. Bab 4.
9. Nicki, Brian, et al., 2010. Davidson’s Principle and Practice of Medicine.
Edisi ke-21. Edinburgh: CHURCHILL LIVINGSTONE Publishing.
Halaman: 318-321. Bab 13.
10. Depkes RI. (2007). Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah
Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Jakarta:
40

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal


Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
11. Depkes RI. (2003). Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
12. WHO, 2009. Dengue Guideline For Diagnosis, Treatment, Prevention And
Control. Geneva, Switzerland: WHO Geneva Publication. Available online
at: http://wholibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf.
13. CDC, 2008. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Canada Street; San
Juan, Puerto Rico. Available online at:
http://www.cdc.gov/Dengue/resources/Dengue&DHF%20Information%20f
or%20Health%20Care%20Practitioners_2009.pdf

Anda mungkin juga menyukai