Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian yang Relevan

Berbagai penelitian mengenai pengaruh penambahan berbagai jenis tepung

dalam pembuatan biskuit telah banyak dilakukan antara lain:

Penelitian yang dilakukan Qoniah (2014) yang berjudul Uji Organoleptik

Biskuit dengan Ratio Tepung Terigu dan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera)

yang Ditambahkan Sari Buah Nanas. Pada pembuatan biskuit, proporsi komposisi

tepung terigu dan tepung daun kelor yaitu: (100%:0%), (90%:10%), (80%:20%),

(70%:30%) dan konsentrasi sari buah nanas (25ml, 37,5ml dan 50ml). Hasil

penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi tepung terigu, tepung

daun kelor dan penambahan sari buah nanas dengan kadar yang berbeda

berpengaruh terhadap uji organoleptik dan daya terima biskuit. Biskuit dengan

perlakuan tanpa daun kelor, tepung terigu 100% dan sari buah nanas 37,5 ml

merupakan biskuit yang dapat diterima oleh masyarakat.

Penelitian yang dilakukan Azizah (2015) yang berjudul Tingkat

Kerapuhan dan Daya Terima Biskuit yang disubtitusi Tepung Daun Kelor

(Moringa oleifera). Pada penelitian ini pembuatan biskuit menggunakan

penambahan tepung daun kelor dengan empat perlakuan yaitu 0%, 5%, 10% dan

15%. Masing-masing perlakuan dilakukan uji daya terima kepada panelis

sebanyak 10 orang. Perlakuan terbaik berdasarkan uji organoleptik adalah biskuit

dengan tingkat substitusi tepung daun kelor 5%.

6
7

Penelitian yang dilakukan Dewi (2016) yang berjudul Pembuatan Cookies

dengan Penambahan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) pada berbagai Suhu

Pemanggangan. Pada penelitian ini pembuatan biskuit menggunakan penambahan

tepung daun kelor dengan tiga perlakuan yaitu t1= 3%, t2= 5% dan t3= 7. Ketiga

perlakuan ini kemudian di panggang pada suhu pemanggangan dengan tiga

perlakuan suhu yaitu s1 = 140 oC, s2 = 150 oC dan s3 = 160 oC. Perlakuan terbaik

berdasarkan uji organoleptik adalah biskuit dengan perlakuan t1s1 (penambahan

tepung daun kelor 3% dengan suhu pemanggangan 140 oC) dengan kadar protein

13,47%, kadar air 3,48%, kadar vitamin C 300 mg/ml dan kadar kalsium 300 mg.

Penelitian yang dilakukan Ana (2017) yang berjudul Optimalisasi Zat Gizi

serta Uji Organoleptik pada Produk Biskuit Moringa oleifera dengan Subtitusi

Serbuk Daun Kelor. Prosedur pembuatan biskuit pada penelitian ini yaitu dengan

mencampur bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung daun kelor dengan rasio

1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, garam, tepung maizena, baking powder, mentega, gula pasir

dan susu bubuk sesuai komposisi menggunakan alat mixer kemudian menambah

air dan kuning telur hingga terbentuk adonan dan dibiarkan selama 3 menit (tahap

fermentasi), dicetak kemudian diletakkan dalam loyang yang telah dioleskan

dengan mentega dan dikeringkan kedalam oven dengan suhu 130, 135, 140, 145,

150 oC selama 25 menit. Biskuit terbaik yang dihasilkan adalah pada suhu 130 0C

dan substitusi serbuk daun kelor 1:5 dari tepung terigu.

Penelitian yang dilakukan Alkham (2014) yang berjudul Uji Kadar Protein

dan Organoleptik Biskuit Tepung Terigu dan Tepung Daun Kelor (Moringa

oleifera) dengan Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). Metode yang


8

digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua

faktorial. Faktor tersebut yaitu komposisi tepung terigu dan tepung daun kelor

(100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30%) dan penambahan jamur tiram (0

gram, 50 gram, 100 gram, 150 gram) dengan 16 taraf perlakuan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penambahan jamur tiram berpengaruh pada kadar protein

biskuit. Hasil kadar protein terendah pada perlakuan T0J0 yaitu 4,07 gram,

sedangkan kadar protein tertinggi pada perlakuan T3J3 yaitu 5,69 gram. Biskuit

dengan perlakuan komposisi tepung terigu 100% dan tepung daun kelor 0% serta

tanpa penambahan jamur merupakan biskuit yang dapat diterima oleh masyarakat.

Adapun yang menjadi persamaan antara penelitian relevan yang telah

dijabarkan di atas dengan penelitian ini ialah sama-sama melakukan penambahan

tepung daun kelor dalam pembuatan biskuit dan juga melakukan pengujian

organoleptik pada produk biskuit guna mengukur tingkat penerimaan masyarakat

(konsumen) terhadap produk biskuit daun kelor yang dihasilkan. Sedangkan yang

menjadi perbedaan antara penelitian relevan dengan penelitian ini ialah berada

pada jumlah takaran rasio penambahan tepung daun kelornya.

2.2. Kajian Pustaka

2.2.1 Tanaman Kelor (Moringa oleifera)

Tanaman Kelor (Moringa oleifera) tumbuh di dataran rendah maupun

dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor banyak ditanam sebagai

tapal batas atau pagar di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat dipanen

setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter yang biasanya memakan waktu 3
9

sampai 6 bulan. Namun dalam budidaya intensif yang bertujuan untuk produksi

daunnya, kelor dipelihara dengan ketinggian tidak lebih dari 1 meter. Pemanenan

dilakukan dengan cara memetik batang daun dari cabang atau dengan memotong

cabangnya dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah (Kurniasih, 2014).

Daun kelor di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran dengan rasa yang

khas, yang memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan ternak karena

dapat meningkatkan perkembangbiakan ternak khususnya unggas. Selain

dikonsumsi, daun kelor juga dijadikan obat-obatan dan penjernih air. Adapun

bentuk pohon kelor dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Menurut Krisnadi (2015), klasifikasi tanaman kelor adalah sebagai

berikut:

Regnum Plantae

Divisio Magnoliophyta

Classis Magnoliopsida

Ordo Capparales

Familia Moringaceae

Genus Moringa
Gambar 2.1. Pohon Kelor (Moringa oleifera)
Species Moringa oleifera Sumber : Dokumentasi Pribadi

1) Manfaat Tanaman Kelor

Tanaman kelor di daerah pedesaan biasanya digunakan sebagai tapal batas

rumah atau ladang. Akar kelor dapat dimanfaatkan sebagai antilithic (pencegah

terbentuknya batu urin), rubefacient (obat kulit merah), vesicant (menghilangkan


10

kutil), antifertilitas dan antiinflamasi (peradangan). Batang kelor dimanfaatkan

sebagai rubefacient, vesicant, menyembuhkan penyakit mata, untuk pengobatan

pasien mengigau, mencegah pembesaran limpa dan untuk menyembuhkan bisul.

Getah kelor dicampur dengan minyak wijen digunakan untuk meredakan sakit

kepala, demam, keluhan usus, disentri dan asma. Bunga kelor dapat digunakan

untuk menyembuhkan radang, penyakit otot, histeria, tumor dan pembesaran

limpa dan menurunkan kolesterol. Daun kelor secara tradisional telah banyak

dimanfaatkan untuk sayur hingga saat ini dikembangkan menjadi produk pangan

modern seperti tepung kelor, kerupuk kelor, kue kelor, permen kelor dan teh daun

kelor. Selain itu ekstrak daun kelor dapat berfungsi sebagai antimikroba dan biji

kelor digunakan untuk menjernihkan air (Krisnadi, 2015).

2) Kandungan Gizi Daun Kelor

Hasil analisa menunjukkan bahwa daun kelor memiliki kandungan gizi

yang sangat penting untuk mencegah berbagai macam penyakit. Di samping itu,

juga mengandung semua unsur asam amino (esensial) yang sangat penting, ini

merupakan suatu sumber yang luar biasa dari daun kelor (Krisnadi, 2015).

Kecuali vitamin C, semua kandungan gizi yang terdapat dalam daun kelor

segar akan mengalami peningkatan (konsentrasinya) apabila dikonsumsi setelah

dikeringkan dan dihaluskan dalam bentuk serbuk (tepung). Perbandingan vitamin-

vitamin yang terdapat pada daun kelor segar dengan daun kelor yang telah

dikeringkan dan dihaluskan dalam bentuk serbuk (tepung) dalam satuan berat

yang sama tertera pada Tabel 2.1 berikut.


11

Tabel 2.1. Perbandingan Gizi pada Daun Segar dan Tepung Daun Kelor.

Daun Kelor Segar Tepung Daun Kelor

Gambar 2.2. Daun Kelor Segar Gambar 2.3. Tepung Daun Kelor
Sumber : http://Google.co.id/ Sumber : http://Google.co.id/

Setara dengan 7 (tujuh) kali vitamin C Setara dengan ½ (setengah) kali


yang terdapat pada jeruk segar vitamin C yang terdapat pada jeruk
segar
Setara dengan 4 (empat) kali vitamin A Setara dengan 10 (sepuluh) kali vitamin
yang terdapat pada wortel A yang terdapat dalam wortel
Setara dengan 4 (empat) kali kalsium Setara dengan 17 (tujuh belas) kali
yang terdapat pada Susu kalsium yang terdapat pada Susu
Setara dengan 3 (tiga) kali pottasium Setara dengan 15 (lima belas) kali
yang terdapat pada pisang pottasium yang terdapat pada pisang
Setara dengan 2 (dua) kali protein yang Setara dengan 9 (sembilan) kali protein
terdapat pada yoghurt yang terdapat pada yoghurt
Setara dengan ¾ (tiga per-empat) kali Setara dengan 25 (dua puluh lima) kali
zat besi yang terdapat pada bayam. zat besi yang terdapat pada bayam.
Sumber: Krisnadi, 2015.

Berdasarkan Tabel 2.1, selain perbandingan vitamin yang dimiliki daun

kelor segar dan daun kelor kering (serbuk), beberapa studi menunjukkan bahwa

kandungan kalsium, pottasium, protein dan zat besi pada daun kelor yang telah

dikeringkan (serbuk) memiliki nilai yang tinggi apabila dibandingkan dengan

daun kelor segar.


12

Pada Tabel 2.2 mengenai kandungan asam amino pada daun kelor,

menunjukkan bahwa pada daun kelor kering (serbuk) memiliki nilai kandungan

asam amino yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun kelor segar tiap 100 gr

daun, hasil ini di kemukakan dari penemuan Gopalan, dalam setiap gr nitrogen

yang telah dilakukan di National Institute of Nutrition in Hyberabad, India.

Berikut dibawah ini keterangan Tabel 2.2 Kandungan Asam Amino Daun Kelor

(tiap 100 g Daun).

Tabel 2.2. Perbandingan Asam Amino pada Daun Segar dan Daun Kering per 100
gr Daun.
Unsur Daun Segar (mg) Daun Kering (mg)
Argine 406,6 1.325
Histidine 149,8 613
Isoleucine 299,6 825
Leusine 492,2 1.950
Lysine 342,4 1.325
Methionine 117,7 350
Phenylalinine 310,3 1.388
Threonine 117,7 1.188
Tryptophan 107 425
Valine 374,5 1.063
Sumber: Krisnadi, 2015.

Informasi mengenai kandungan gizi daun kelor secara lengkap tertera pada

Tabel 2.3 yang merupakan hasil analisa Fuglie yang didukung oleh Church World

Service and The Department of Engineering the University of Leicester and

perfomed by Campden & Chorleywood Food Research Association in

Gloucesteshire, Inggris.
13

Tabel 2.3. Perbandingan Kandungan Gizi pada Daun Segar dan Daun Kering per
100 gr Daun
Unsur Daun Segar Daun Kering
Protein 6,80 g 27,1 g
Lemak 1,70 g 2,3 g
Beta Cerotene 6,78 mg 18,9 mg
Thiamin (B1) 0.06 mg 2,64 mg
Riboflavin (B2) 0,05 mg 20,5 mg
Niacin (B3) 0,8 mg 8,2 mg
Vitamin C 220 mg 17,3 mg
Kalsium 440 mg 2,003 mg
Kalori 92 kal 205 kal
Karbohidrat 12,5 g 38,2 g
Tembaga 0,07 mg 0,57 mg
Serat 0,90 g 19,2 g
Zat Besi 0,85 mg 28,2 mg
Magnesium 42 mg 368 mg
Fosfor 70 mg 204 mg
Sumber: Krisnadi, 2015.

2.2.2 Biskuit

Biskuit merupakan makanan kecil (snack) yang biasanya dibuat dari bahan

dasar tepung terigu atau tepung jenis lainnya. Biasanya, dalam proses pembuatan

biskuit, ditambahkan lemak atau minyak yang berfungsi untuk melembutkan atau

membuat renyah, sehingga menjadi lebih lezat. Menurut SNI 01-2973-1992

biskuit adalah produk yang diperoleh dengan memanggang adonan dari tepung

terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan dengan atau tanpa

penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan (Sinaga, 2010), selanjutnya

biskuit merupakan salah satu makanan ringan atau snack yang banyak dikonsumsi

oleh seluruh kalangan usia, baik bayi hingga dewasa dengan komposisi biskuit

yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Biskuit mempunyai daya simpan lebih

lama dan praktis dibawa sebagai bekal makanan yang sehat dan bergizi (Sinaga,

2010).
14

Secara umum bahan pembuatan biskuit adalah tepung terigu biasanya

biskuit hanya mengandung zat gizi makro seperti karbohidrat, protein lemak dan

sedikit mengandung zat gizi lainnya seperti zat fosfor, kalsium dan zat besi.

Namun saat ini, pengembangan produk biskuit semakin bervariasi yaitu dengan

menambahkan tepung terigu dengan tepung lainnya yang memilki nilai gizi tinggi

dan mudah didapat dalam produksinya untuk meningkatkan nilai gizi biskuit.

Produksi biskuit juga dikembangkan dengan memanfaatkan sumber daya alam

yang menjadi potensi daerah lokal (Sinaga, 2010).

1) Klasifikasi Biskuit

Menurut Departemen Perindustrian RI (1990), biskuit diklasifikasikan

menjadi biskuit keras, kraker, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit

manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang

potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah.

Kraker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses

fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan

relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis.

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak

tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur

kurang padat. Sedangkan wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair,

berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya

berongga-rongga.
15

2) Mutu Biskuit

Biskuit yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang telah

ditetapkan agar aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu biskuit yang berlaku secara

umum di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (Badan

Standarisasi Nasional SNI 01-2973-1992), seperti pada Tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.4. Syarat Mutu Biskuit menurut SNI 01-2973-1992.


No Kriteria Uji Klasifikasi
1 Air Maksimum 5%
2 Protein Minimum 9%
3 Lemak Minimum 9,5%
4 Karbohidrat Minimum 70%
5 Abu Maksimum 1,6%
6 Logam berbahaya Negatif
7 Serat Kasar Maksimum 0,5%
8 Kalori Minimum 400
9 Bau dan Rasa Normal
10 Warna Normal
Sumber: Standar Nasional Indonesia (1992)

2.2.3 Penilaian Organoleptik

Penilaian dengan indera yang juga disebut penilaian organoleptik atau

penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian

dengan indera sebenarnya cara penilaian kuno, tetapi sangat umum digunakan.

Penilaian ini banyak digunakan untuk menilai mutu hasil pertanian dan makanan.

Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan

langsung. Kadang-kadang penelitian ini dapat memberi hasil penelitian yang

sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi

ketelitian alat yang paling sensitif (Soekarto, 1985).


16

Suatu penelitian organoleptik diperlukan panel. Dalam penilaian mutu atau

analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak sebagai instrumen atau

alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang disebut panel yang

bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan subjektif. Orang yang

menjadi anggota panel disebut panelis. Dalam penelitian organoleptik dikenal 6

macam panel, yaitu panel pencicip perorangan (individual expert), panel pencicip

terbatas (small expert panel), panel terlatih (trained panel), panel tak terlatih

(untrained panel), panel agak terlatih (semi-trained panel) dan panel konsumen

(consumer panel). Penggunaan panel-panel ini dapat berbeda tergantung dari

tujuan. Untuk panel konsumen biasanya mempunyai anggota yang besar

jumlahnya dari 30 sampai 100 orang (Soekarto, 1985).

Pada uji organoleptik, panelis mengemukakan tanggapan pribadi yaitu

kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya

terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai. Tujuan uji ini adalah untuk

mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh

masyarakat (Soekarto,1985).

Uji organoleptik terhadap suatu produk pangan (makanan) digunakan

tingkat kesukaan yang disebut skala hedonik. Panelis dimintakan tanggapan

pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, juga tingkat

kesukaannya. Skala hedonik “suka” misalnya: Amat sangat suka, sangat suka,

suka dan agak suka. Sebaliknya skala hedonik “tidak suka” misalnya: amat sangat

tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka dan agak tidak suka. Diantara agak tidak
17

suka dan agak suka adakalanya ditambah tanggapan “netral”, yaitu bukan suka

tetapi juga bukan tidak suka (neither like nit dislike) (Soekarto, 1985).

Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentang skala

yang dikehendaki. Dalam penganalisaan skala hedonik ditransformasikan menjadi

skala numerik dengan angka menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini

dapat dilakukan analisis statistik. Contoh skala hedonik dengan skala numeriknya

dapat dilihat pada Tabel 2.5 (Soekarto, 1985).

Tabel 2.5. Macam-macam Skala Hedonik dengan Skala Numeriknya.


6 Skala Hedonik 7 Skala Hedonik
Skala Hedonik Skala Numerik Skala Hedonik Skala Numerik
Amat sangat suka 6 Amat sangat suka 7
Sangat suka 5 Sangat suka 6
Suka 4 suka 5
Agak suka 3 Agak suka 4
Netral 2 Agak tidak suka 3
Tidak suka 1 Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1
Sumber: Soekarto, 1985

2.2.4 Media Pembelajaran

Secara harfiah kata media memiliki arti “perantara” atau “pengantar”.

Association for Education and Communication Technology (AECT)

mendefinisikan media yaitu segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses

penyaluran informasi. Sedangkan National Education Association (NEA)

mendefinisikan sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar,

dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik dalam

kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektivitas program instruksional.

Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian media


18

merupakan sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran,

perasaan dan kemauan audien (peserta didik) sehingga dapat mendorong

terjadinya proses belajar pada dirinya (Usman dan Asnawir, 2002).

Ibrahim (2001) mengatakan bahwa kata media merupakan bentuk jamak

dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar

terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima. Selanjutnya Arsyad

(2005) mengatakan bahwa apabila media itu membawa pesan-pesan atau

informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud

pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran.

Proses pembelajaran, media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi

dari sumber (guru) menuju penerima (siswa). Sedangkan metode adalah prosedur

untuk membantu siswa dalam menerima dan mengolah informasi guna mencapai

tujuan pembelajaran. Dalam kegiatan interaksi antara siswa dengan lingkungan,

fungsi media dapat diketahui berdasarkan adanya kelebihan media dan hambatan

yang mungkin timbul dalam proses pembelajaran. Tiga kelebihan kemampuan

media menurut Ibrahim (2001) adalah sebagai berikut:

1) Kemampuan fiksatif, artinya dapat menangkap, menyimpan dan

menampilkan kembali suatu obyek atau kejadian. Dengan kemampuan ini,

obyek atau kejadian dapat digambar, dipotret, direkam, difilmkan, kemudian

dapat disimpan dan pada saat diperlukan dapat ditunjukkan dan diamati

kembali seperti kejadian aslinya.

2) Kemampuan manipulatif, artinya media dapat menampilkan kembali obyek

atau kejadian dengan berbagai macam perubahan (manipulasi) sesuai


19

keperluan, misalnya diubah ukurannya, kecepatannya, warnanya, serta dapat

pula diulang-ulang penyajiannya.

3) Kemampuan distributif, artinya media mampu menjangkau audien yang besar

jumlahnya dalam satu kali penyajian secara serempak, misalnya siaran TV

atau Radio

2.2.5 Landasan Penggunaan Media

Arsyad (2005) menyatakan bahwa perbandingan perolehan hasil belajar

melalui indera pandangan dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya.

Kurang lebih 90% hasil belajar diperoleh melalui indera pandangan, dan hanya

sekitar 5% melalui indera dengar dan 5% lagi dengan indera lainnya.

Santyasa (2007) mengelompokkan ada beberapa tinjauan tentang landasan

penggunaan media pembelajaran, antara lain landasan filosofis, psikologis,

teknologis dan empiris.

1) Landasan Filosofis

Landasan filosofis adalah suatu pandangan, bahwa dengan digunakannya

berbagai jenis media hasil teknologi baru di dalam kelas, akan berakibat proses

pembelajaran yang kurang manusiawi. Dengan kata lain, penerapan teknologi

dalam pembelajaran akan terjadi dehumanisasi.

2) Landasan Psikologis

Dengan memperhatikan kompleks dan uniknya proses belajar, maka

ketepatan pemilihan media dan metode pembelajaran akan sangat berpengaruh

terhadap hasil belaar siswa. Persepsi siswa juga sangat mempengaruhi hasil

belajar. Dalam pemilihan media, kompleksitas dan keunikan proses belajar,


20

memahami makna persepsi serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

penjelasan persepsi hendaknya diupayakan secara optimal agar proses

pembelajaran dapat berlangsung secara efektif.

3) Landasan Teknologis

Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan,

pengembangan, penerapan, pengelolaan dan penilaian proses dan sumber belajar.

Jadi, teknologi pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang

melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis

masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola

pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu

mempunyai tujuan dan terkontrol.

2.3 Kerangka Pemikiran

Daun kelor memiliki kandungan gizi yang melimpah, terdiri dari protein,

karbohidrat, lemak, vitamin, zat besi dan mineral sehingga mampu memenuhi

hampir seluruh kebutuhan gizi. Tanaman kelor dapat diperoleh diseluruh daerah

Sulawesi Tengah, namun pemanfaatannya belum optimal, masih sebatas menjadi

olahan sayur (uta kelo) yang merupakan salah satu kuliner khas suku terbesar

yang mendiami kawasan Sulawesi Tengah yaitu suku Kaili, sedangkan tidak

semua kalangan masyarakat menyukai sayur kelor terutama kalangan anak-anak.

Oleh karena itu, perlu dilakukan inovasi dalam mengembangan varian-varian

produk dari tanaman kelor. Dalam hal ini, peneliti memanfaatkan daun kelor

untuk dijadikan tepung sebagai bahan penambahan pembuatan biskuit sebagai


21

salah satu upaya menciptakan inovasi produk cemilan bergizi, mengingat daun

kelor mempunyai kandungan gizi yang sangat baik untuk perbaikan gizi bagi

masyarakat. Cemilan biskuit sangat digemari segala kalangan usia, baik dewasa

maupun anak-anak. Peneliti kemudian melakukan pengujian organoleptik untuk

mengukur tingkat penerimaan masyarakat (konsumen) terhadap produk biskuit

daun kelor yang dihasilkan dan kemudian mengemas hasil penelitian menjadi

media pembelajaran berupa buku referensi.

Berdasarkan penjabaran kerangka pemikiran di atas maka berikut ini

secara singkat kerangka pemikiran penelitian akan disajikan dalam bentuk bagan

alir sebagaimana Gambar 2.4.


22

Daun kelor memiliki kandungan gizi yang melimpah


sehingga mampu memenuhi hampir seluruh kebutuhan gizi.

Tanaman kelor dapat dijumpai diseluruh daerah Sulawesi Tengah,


namun pemanfaatannya belum optimal, masih sebatas menjadi
olahan sayur (uta kelo).

Tidak semua kalangan masyarakat yang menyukai sayur kelor,


khususnya kalangan anak-anak. Oleh karena itu, perlu dilakukan
inovasi dalam mengembangkan varian-varian produk dari tanaman
kelor.

Studi pembuatan biskuit dengan menggunakan penambahan tepung


daun kelor.

Melakukan uji organoleptik untuk mengukur tingkat penerimaan


masyarakat terhadap produk biskuit daun kelor yang dihasilkan.

Mengemas hasil penelitian sebagai media pembelajaran berupa buku


referensi mengenai pemanfaatan daun kelor sebagai biskuit kaya gizi.

Gambar 2.4. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

Anda mungkin juga menyukai