Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 23 thn
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Teluk Ampel, Batu Jaya, Kabupaten Karawang
No. MR : 499476
Masuk RS : 17 Juni 2013

IDENTITAS SUAMI

Nama : Tn. A
Umur : 26 tahun
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Pekerjaan : Wira swasta

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan di ruang VK, tanggal 17 Juni 2013 pukul 10.00 pagi

A. Keluhan Utama
Keluar air – air dari jalan lahir sejak 15 jam SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


G1P0A0 mengaku hamil 9 bulan datang dengan keluhan keluar air-air sejak 15 jam
SMRS. Air-air yang dirasakan keluar dari jalan lahir yang tidak tertahankan berwarna bening,
berbau amis dan banyak. Selain itu, pasien mengeluh adanya mules-mules sejak 6 jam SMRS.
Mules dirasakan hilang timbul. Pasien menyangkal adanya keluar lendir dan darah dari jalan
lahir. Menurut pengakuan pasien merasakan keluar air-air dari jalan lahir secara tiba-tiba
sewaktu pasien tidur. Pasien langsung berobat ke bidan terdekat dan dikatakan oleh bidan
1
ketuban pasien sudah pecah. Pasien masih merasakan gerakan janin. Pasien langsung di rujuk
ke RSUD Karawang.
Riwayat HDK disangkal pasien. Riwayat keputihan (+) sejak sebelum hamil. Keputihan
yang keluar jumlahnya banyak, warna putih kekuningan, berbau amis dan terasa gatal.

C. Riwayat Haid
Menarche 13 tahun, siklus haid teratur 28 hari,selama 6/7 hari. Menghabiskan pembalut 3x
sehari.
HPHT: 8 Oktober 2012  TP : 15 Juli 2013. UK : 36 minggu
ANC: Bidan teratur
TT: 2 kali

D. Status Pernikahan
Status menikah, pernikahan 1x, menikah pada usia 18 tahun, suami usia 26 tahun.

E. Riwayat KB
KB suntik

F. Riwayat Penyakit Sistemik


Hipertensi, DM, asma, jantung disangkal

G. Riwayat operasi atau kuret


Tidak pernah

H. Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi, DM, asma, jantung disangkal

I. Riwayat Kebiasaan dan Psikososial


Tidak merokok, minum alkohol, narkotika, maupun minum jamu

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x /menit, regular, equal
Suhu : 36,50 C
Pernafasan : 20 x /menit, tipe thoraco-abdominal

Kepala : Normocephali, rambut hitam, ikal, panjang, distribusi merata.


Mata : Pupil bulat isokor, CA -/-, SI -/-
Hidung : Normosepta, tidak ada nafas cuping hidung, sekret -/-
Mulut : Tidak kering, tidak sianosis.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid (-)
Thoraks :
Mammae : Simetris, hiperpigmentasi pada kedua areola, retraksi puting -/-
Cor : Bunyi jantung I-II regular, murmur -, gallop –
Pulmo : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

B. Status Obstetrik
Abdomen :
 Inspeksi : Buncit, striae gravidarum (-)
 Palpasi :
- Leopold I : TFU 29 cm, teraba 1 bagian besar, bulat, lunak, tidak
melenting.
- Leopold II : Kanan : Teraba 1 bagian besar, keras seperti papan.
Kiri : Teraba bagian-bagian kecil.
- Leopold III : Teraba 1 bagian besar, bulat keras, melenting.
3
- Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP, 4/5
- TBJ : (29 -12) x 155 = 2635 gr
- His :-
 Auskultasi : DJJ 146 dpm, teratur
 Anogenital :
- I : v/u tenang, perdarahan (-), varices (-), oedem (-).
- Io : portio livid, licin, ostium terbuka, tampak air ketuban sedikit mengalir, warna bening,
fl (+), flx (-), valsava (-).
- VT : portio tebal -kenyal, posterior, pembukaan 1 cm, selaput ketuban (-), presentasi
kepala setinggi Hodge I-II.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Darah rutin, tanggal 17 Juni 2013
Hb : 12,4 g/dl
Ht : 37 %
Trombosit : 213000 /mm3
Leukosit : 16.140 /mm3
HbS Ag : (-)
GDS : 77 mg/dL
Masa perdarahan/pembekuan : 2’/12’
Hasil Kardiotokografi : Reassuring
Hasil USG : Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup
TBJ : 2850 gram
UK : 37 minggu
Ketuban : Oligohidramnion

V. RESUME

4
Pasien wanita, 23 tahun, G1P0A0, datang dengan keluhan ketuban pecah sejak 15 jam
SMRS. Air yang dirasakan keluar dari jalan lahir yang tidak tertahankan berwarna bening,
berbau amis dan banyak. Pasien merasakan keluar cairan dari jalan lahir secara tiba-tiba
sewaktu pasien tidur. Pasien berobat ke bidan dan dikatakan ketuban sudah pecah. Maka
pasien dirujuk ke RSUD Karawang. Pasien masih merasakan gerakan janin. HPHT : 8
Oktober 2012, TP : 15 Juli 2013, UK : 36 minggu.
A. Status generalis : Dalam batas normal
B. Status Obstetrik
Abdomen :
 Inspeksi : Buncit, striae gravidarum (-)
 Palpasi :
- Leopold I : TFU 29 cm, teraba 1 bagian besar, bulat, lunak, tidak
melenting.
- Leopold II : Kanan : Teraba 1 bagian besar, keras seperti papan.
Kiri : Teraba bagian-bagian kecil.
- Leopold III : Teraba 1 bagian besar, bulat keras, melenting.
- Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP 4/5.
- TBJ : (29-12) x 155 = 2635 gr
- His :-
 Auskultasi : DJJ 146 dpm, teratur
 Anogenital :
- I : v/u tenang, perdarahan (-), varices (-), oedem (-).
- Io : portio livid, licin, ostium terbuka, tampak air ketuban sedikit mengalir, warna bening,
fl (+), flx (-), valsava (-).
- VT : portio tebal – kenyal, posterior, pembukaan 1 cm, selaput ketuban (-), presentasi
kepala setinggi Hodge I-II.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan leukositosis (16.140/mm3), hasil
USG JPKTH, sesuai usia kehamilan 37 minggu, air ketuban berkurang. Hasil CTG
reassuring.

VI. DIAGNOSA KERJA


G1P0A0 hamil 36 minggu, serviks belum matang, belum inpartu, JPKTH, ketuban pecah
dini 15 jam.
5
VII. PENATALAKSANAAN
- Rawat inap
- Observasi tanda - tanda vital, HIS, DJJ dan kemajuan persalinan.
- Observasi tanda - tanda infeksi intrauterin, infeksi intrapartum, maupun tanda- tanda
gawat janin.
- Terapi :
1. IVFD RL 20 tpm
2. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV bolus
3. Misoprostol 1 x 25 mcg/6 jam perfornix posterior (pemberian misoprostol pertama
jam 15.00)

VIII. PROGNOSIS
Ibu : Dubia ad bonam
Janin : Dubia ad bonam

FOLLOW UP RUANGAN VK

Tanggal 17 Juni 2013, Jam 21.00


S :Pasien merasa mules (+), bertambah sering. Keluar air-air (+), lendir darah (+)
O : KU/KS : Baik/CM
TD : 110/70 mmHg RR : 20 x/menit
N : 90 x /menit S : 36,20 C
Status Generalis : Dalam batas normal.
Status Obstetrik :

6
TFU 29cm, His 1x/10’/20’’, DJJ 150 dpm
Pemeriksaan dalam: I: v/u tenang. VT : portio tebal- kenyal, tebal 2cm, arah posterior,
pembukaan 2 cm, ketuban (-), presentasi kepala setinggi Hodge I-II.
A : G1P0A0 Hamil 36 minggu PK I Fase Laten + KPD 26 Jam.

P : Bedrest
Observasi tanda – tanda vital, HIS, DJJ dan kemajuan persalinan.
Terapi :
1. IVFD RL 20 tpm
2. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV bolus
3. Misoprostol 1 x 25mcg/4 jam

Tanggal 18 Juni 2013 Jam 00.30


S : Mules (+) terasa bertambah hebat, pasien ingin mengedan. Gerak janin aktif.
O : KU/KS : Baik/CM
TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
N : 92 x /menit S : 36,40 C
Status Generalis : Dalam batas normal.
Status Obstetrik :
TFU 29cm, His 5x/10’/40’’, DJJ 154 dpm
Pemeriksaan dalam: I: vulva/ vagina terbuka, perineum menonjol, anus menonjol. VT :
portio tidak teraba, pembukaan lengkap, selaput ketuban (-), presentasi kepala setinggi
Hodge III.
A : PK II pada G1P0A0 Hamil 36 minggu, KPD 29 jam.

P : Pasien dipimpin mengedan.

Tanggal 18 Juni 2013, Jam 00.50

 Lahir spontan bayi perempuan, A/S 6/7, BB 2500 gram, PB 46 cm, cacat (-), anus (+),
mekonium (-), ketuban jumlah sedikit, warna hijau.

 Plasenta lahir lengkap.

7
BAB II
ANALISA KASUS

Analisis Kasus Diagnosis:

Diagnosis KPD ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis:

Berdasarkan teori,


Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung,
ketuban pecah dini di sebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau

8
meningkatnya tekanan intra uteri atau kedua faktor tersebut, berkurangnya kekuatan
membran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina serviks.1

Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia
kehamilan sebelum persalinan dimulai.2

Pada pasien ini ada riwayat keluar air-air dari jalan lahir. Adanya mules-mules yang tidak
teratur dan belum ada lendir campur darah yang keluar menunjukkan bahwa pada pasien ini
serviksnya belum matang, belum in partu. Dikatakan inpartu apabila terdapatnya his yang
adekuat dan adanya pembukaan/ penipisan dari serviks yang ditandai dengan keluar lendir
campur darah (bloody show).

2. Pemeriksaan fisik:

Berdasarkan teori, pada pemeriksaan fisik KPD didapatkan;

1. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih
jelas.
2. Pemeriksaan dengan spekulum.
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan,
penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuver valsava, atau bagian terendah
digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik.
3. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme
tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan
kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan
dibatasi sedikit mungkin.

9
Pada pasien ini dari inspeksi tidak tampak keluar carian dari vagina, menunjukkan bahwa
kemungkinan jumlah air ketuban tidak banyak. Namun pada inspekulo terlihat air ketuban yang
keluar dari OUE, dan manuver valsava (-). Pada pemeriksaan VT pasien ini didapatkan kesan
serviks belum matang dan pasien belum in partu.

3.Pemeriksaaan Penunjang

Dalam teori dilakukan Pemeriksaan Penunjang;

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah, yakni leukosit untuk mendeteksi adanya tanda infeksi, leukositosis
pada pemeriksaan darah tepi (>15000-20000/mm3). Cairan yang keluar dari vagina juga
perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini
kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-
5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
b. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu.
c. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
d. Pemeriksaan ultrasonografi (USG), pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah
cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang
sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion.

Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dengan hasil didapatkan
adanya leukositosis dan pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya jumlah air ketuban yang
berkurang. Namun tidak dilakukan pemeriksaan tes lakmus ataupun tes pakis yang dapat
menunjang bahwa cairan yang keluar benar air ketuban.

Analisis Kasus Etiologi:

Berdasarkan teori Ketuban Pecah Dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya
kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.

10
Selain itu ketuban pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah
sebagai berikut :2,3
1. Serviks inkompeten (leher rahim yang lemah), kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh
karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage).
2. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati
sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya
hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya
KPD karena biasanya disertai infeksi.
3. Kelainan letak, misalnya letak lintang, sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
4. Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo pelvic
disproporsi).
5. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah. (Amnionitis/ Korioamnionitis).
6. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik).
7. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten
a. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi
b. Makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin.

Pada pasien ini kemungkinan penyebab KPD berdasarkan anamnesa yaitu pasien
mengaku ada keputihan yang keluar jumlah banyak, berbau amis, warna putih kekuningan dan
terasa gatal sejak sebelum lahir dan dibuktikan dari pemeriksaan fisik dimana didapatkan flour
albus (+) dan dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis (16.140/mm3)
menunjang etiologi kearah infeksi.

Analisis Kasus Penatalaksanaan:

Pada hakikatnya selaput ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan
sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah
kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah selaput ketuban pecah belum ada tanda-tanda
persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.2,4

11
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik
tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap korioamninitis lebih
penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan.
Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan
dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi,
proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.4
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau
ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya.
Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan
trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.4
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan
janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang
kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat)
atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat).
Kehamilan > 37 minggu induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesaria. Dapat pula
diberikan misoprostol 25µg- 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali, bila ada tanda-tanda
infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri. Induksi dilakukan dengan
mempehatikan Bishop Score. Jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan
pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.1,2

Pada pasien ini KPD sudah terjadi 15 jam SMRS, namun saat pasien datang belum
didapatkan tanda-tanda persalinan, Bishop Score <5, sehingga pasien diberikan misoprostol
untuk pematangan serviks dan induksi. Setelah diobservasi, didapatkan tanda-tanda kemajuan
persalinan dan pasien dapat melahirkan secara spontan pervaginam.

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila
ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut ketuban pecah dini
pada kehamilan prematur (Prawirohardjo, 2008).
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum terdapat atau dimulainya tanda inpartu
dan setelah ditunggu satu jam belum ada tanda inpartu (Manuaba, 2010).
Ketuban Pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum awitan persalinan (Morgan, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini

Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa
laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor
mana yang lebih berperan sulit diketahui (Nugroho, 2011).
13
Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:

1. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion dan
cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling
serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008).
Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu
oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah
disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme
yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan
ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator
inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan
dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007). Jika terdiagnosis
korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin sebaiknya
pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis
ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang
menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Anonim, 2007).

2. Riwayat ketuban pecah dini

Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini
kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya
penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban
pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi (Nugroho,
2010). Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang
persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah
dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang
tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang
menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya (Anonim, 2007).

3. Tekanan intra uterin


14
Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi
pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban
pecah dini (Nugroho, 2010).

Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir
kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan
perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan
kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan
pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil).
Kelainan kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung
neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21,
18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin,
ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada
ibu (Prawirohardjo, 2008).

4. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya
ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks
sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis.
Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan
atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008).

Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan membuka tanpa
disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan. Umumnya,
wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan
pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami
pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan
berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi,
diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya

15
terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
awitan persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009).

Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia kehamilan 14
minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau
melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang
memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif
pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar
jaringan serviks (Morgan, 2009).

5. Paritas

Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (Saifuddin,
2006). Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang
wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali. Multiparitas
adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5 kali
atau lebih) (Varney, 2007).

6. Kehamilan dengan janin kembar

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah
janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah
janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk
memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu
ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm
harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).

Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini juga
preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi
hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam
mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah
(Varney, 2007).

7. Usia ibu yang ≤ 20 tahun


16
Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang
kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini.
Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan
khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini
(Nugroho, 2010).

Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada
kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan
rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan
kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO
untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20
hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah
karena kondisi fisik belum 100% siap (Agil, 2007).

Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah
kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara
mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan
kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker
leher rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun
ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani
kehamilan dan persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima.
Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk
kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat
dan menjaga kehamilannya secara hati-hati (Agil, 2007).

Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan
pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang
bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau tidak
suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ
wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang
menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi
semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada
kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya
17
penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin
mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban
pecah dini (Agil, 2007).

Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena selaput ketuban rapuh.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester tiga selaput ketuban mudah
pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi
rahim, dan gerakan janin. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008).

Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan membran
terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta dapat diikuti pecah spontan.
Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang. Melemahnya daya tahan
ketuban dipercepat dengan infeksi yang mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase.
Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang
fase laten, semakin tinggi kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, makin sulit pula
pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi ketuban pecah
dini semakin meningkat (Varney, 2007).

18
Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah keluarnya
cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau
amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, disertai dengan demam atau
menggigil, bercak vagina yang banyak, denyut jantung janin bertambah cepat, juga nyeri pada
perut, keadaan seperti ini dicurigai mengalami infeksi. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering
karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang
sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara (Nugroho, 2011).

Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu timbul pada ketuban pecah dini seperti
ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam
satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat serta
perdarahan pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus ketuban pecah dini.
Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin
(Varney, 2007).

Komplikasi

Menurut Varney (2007) komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia
kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya :

 Persalinan premature

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur
kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada
kehamilan antara 28 – 34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26
minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.

 Infeksi

Resiko infeksi pada ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi
konrioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia. Umumnya terjadi
19
korioamnianitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering
dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat
sebanding dengan lamanya periode laten.

 Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion yang menekan tali pusathingga terdaji
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban , janin semakin gawat.

 Sindrom Deformitas Janin

Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin (Prawirohardjo, 2008).

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom
distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada
kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan
terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau
keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat
pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm.
Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 23 minggu (Nugroho, 2011).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan
kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4-4,7
sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah
apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk melihat jumlah air
ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit. Namun
sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion (Nugroho, 2011).
20
Terapi

Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Risiko kelahiran
bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah dini.
Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia
kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan
langkah yang akan diambil. Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah
apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin dini ketuban pecah terjadi maka semakin
lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum
tiba, dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin (perangsang
kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk
tanggal persalinan dokter tak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena
menunda induksi bisa meningkatkan resiko infeksi (Anonim, 2011).

Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan kontroversi dalam
KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak adanya risiko peningkatan terjadinya
infeksi pada ibu dan janin. Steroid berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi risiko
sindrom distress pernapasan pada janin, serta perdarahan pada otak. Penggunaan antibiotik pada
kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama adalah penggunaan antibiotic untuk mencegah
infeksi setelah kejadian KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD
dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm dapat menyebabkan infeksi.
Keuntungan didapatkan pada wanita hamil dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu,
proses kelahiran diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta sepsis
neonatal (infeksi pada bayi baru lahir) (Saifuddin, 2006).

Penatalaksanaan

Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam
mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu
maupun bayinya. Kasus KPD yang cukup bulan, jika segera diakhiri akan meningkatkan insiden

21
bedah secar an jika menunggu persalinan spontan akan menaikan insiden
khorioamnionitis. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Jika umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin
kurang bulan adalah RDS(Respirtory distress sindrome) dibandingkan dengan sepsis. Oleh
karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu
optimal untuk persalinan (Nugroho, 2011).

Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif
atau aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin, fasilitas
perawatan intensif, kondisi, waktu, dan tempat perawatan, fasilitas atau kemampuan monitoring,
kondisi atau status imunologi ibu, dan kemapuan finansial keluarga (Fadlun, 2011).

Adapun penatalaksanaannya :

1. Penatalaksanaan Konservatif (mempertahankan kehamilan)

Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24 – 72 jam setelah ketuban pecah. Kemungkinan infeksi
berkurang bjika tidak ada alat yang dimasukkan ke vagina, kecuali spekulum steril dan jang
melakukan pemeriksaan dalam (Morgan, 2009).

Beri antibiotika bila ketuban pecah > 6 jam berupa Ampisillin 4 x 500 mg atau Gentamycin 1 x
80 mg. Umur kehamilan < 32 – 34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai
air ketuban tidak keluar lagi serta berikan steroid selama untuk memacu kematangan paru-paru
janin (Nugroho, 2011).

2. Penatalaksanaan Aktif

Kehamilan > 35 minggu dilakukan induksi oksitosin, jika gagal dilakukan seksio sesaria. Cara
induksi yaitu 1 ampul syntocinon dalam Dektrose 5%, dimulai 4 tetes/ menit, tiap ¼ jam
dinaikan 4 tetes sampai maksimum 40 tetes/ menit. Pada keadaan CPD, letak lintang harus
dilakukan seksio sesaria. Bila ada tanda-tanda infeksi beri antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri (Nugroho, 2011).

22
Pada hakikatnya selaput ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan
sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah
kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah selaput ketuban pecah belum ada tanda-tanda
persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik
tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap korioamninitis lebih
penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan.
Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan
dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi,
proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau
ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya.
Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan
trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan
janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang
kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat)
atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat).
Kehamilan > 37 minggu induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesaria. Dapat pula
diberikan misoprostol 25µg- 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali, bila ada tanda-tanda
infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri. Induksi dilakukan dengan
mempehatikan Bishop Score. Jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan
pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.

FAKTOR SKOR

0 1 2 3

Pembukaan (cm) Tertutup 1-2 3-4 >5

Pendataran serviks (cm) >4 3-4 1-2 <1

konsistensi kenyal Mulai lunak lunak -

posisi posterior axial anterior -

Turunnya kepala -3 -2 -1 +1, +2

23
4/5 3/5 2/5 1/5

BAB IV

KESIMPULAN

KPD adalah pecahnya ketuban sebelum adanya tanda-tanda persalinan, dapat terjadi pada
kehamilan aterm maupun preterm. Penyebab terjadinya KPD karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Dasar diagnosa
KPD dapat ditegakkan dari anamnesa, Pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
mendukung bahwa cairan yang keluar benar adalah air ketuban. Penatalaksanaan KPD sebaiknya
cepat ditangani dengan memperpendek periode laten segera menginduksi persalinan bila dalam
24 jam setelah ketuban pecah tanda persalinan belum muncul. Dan juga perlu diberikan
antibiotik untuk menangani infeksi penyebab ketuban pecah, maupun sebagai profilaksis
komplikasi infeksi yang dapat terjadi. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi pada ibu
dan janin, antara lain pada ibu dapat terjadi infeksi intra partum apabila sering dilakukan
pemeriksaan dalam. Selain itu dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis dan
septikemia. Hal ini akan meningkatkan angka kematian dan morbiditas pada ibu. Sedangkan
pada janin dapat pula terjadi infeksi intra uterin yang juga dapat meningkatkan angka mortalitas
dan morbiditas pada janin.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka sarwono Prawiroharjo. 2008


2. Cunningham FG, Gant F.G, et all, William Manual of Obstetrics, 21st Edition Boston,
McGraw Hill, 2003.
3. Mochtar, Rustam, Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, Jakarta, EGC, 2004.
4. Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Ilmu Kebidanan, edisi 4, Cetakan Kedua, Jakarta, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009

25

Anda mungkin juga menyukai