Anda di halaman 1dari 7

DI BALIK MIMBAR ROSULULLAH SAW

(http://wisatahaji.com/di-balik-mimbar-rosulullah-saw/)
Posted by admin On April - 4 - 2012 3 Comments

Mimbar merupakan salah satu tempat yang dipergunakan untuk berceramah (khutbah) di jaman
Nabi Saw, sahabat, tabiin, hingga sekarang ini. Di era modern, dimana kecanggihan tehnologi
informasi begitu pesat, memudahkan setiap orang untuk melihat kebenaran informasi yang
pernah di dengarkan dan diberitakan. Dalam tradisi masyarakat muslim Indonesia, telah dikenal
dua Masjid. Masjid yang pertama, yaitu digunakan sebagian besar warga nahdiyin (NU),
sedangkan masjid lain, digunakan oleh warga Muhammadiyah.

Ciri khas masjid NU (Nahdatul Ulama) yaitu keberadaan mimbar di samping tempat imam.
Sedangkan masjid Muhammadiyah tidak ada mimbar, tetapi podium. Ada juga yang
menggunakan kedua-keduanya, yaitu mimbar dan podium sekaligus, agar supaya terkesan
mengikuti Muhammadiyah dan NU, dengan istilah lain ‘’MuhammadiNU’’. Dan ternyata,
realitas dilapangan, khususnya di wilayah nusantara, banyak ditemukan masjid-masjid besar
yang menggunakan mimbar, sementara didepannya berbentuk podium untuk meng-akomodir
lapisan masyarakat yang berbeda oragnisasi dan ideology.
Di dalam istilah hadis, banyak sekali hadis yang menceritakan seputar ‘’mimbar’’, dan sampai
saat ini, mimbar yang ada di masjid Nabi Muhammad Saw masih terlihat jelas, sekaligus
jawaban bahwa Nabi Saw tidak pernah menggunakan podium. Ketika jamaah haji dan umrah
melihat realitas mimbar Rosulullah Saw di Masjid Nabawi, sebagian orang yang biasa sholat di
Masjid Muhammadiyah dengan identitas podium bertanya-tanya dalam hati. ‘’ Kenapa masjidku
menggunakan Podium? Padahal Nabi Saw menggunakan mimbar, dan sampai sekarang-pun
mimbarnya masih ada dan menjadi bukti’’. Kebetulan, ketika di Makkah, sang khotib (Syeh
Ibrahim Suraim) ketika khutbah juga menggunakan mimbar. Ketika menyaksikan mimbar dan
Makkah dan Madinah, semakin yakin bahwa yang di sunnahkan Nabi Saw berarti ‘’Mimbar’’
bukan podium.

Asal usul mimbar berasal dari bahasa ‘’(?????????) berasal dari kata ungkapan ?????? ????????
yang artinya mengangkat atau meninggikan sesuatu. Oleh karena itu, posisi mimbar lebih tinggi,
dengan tiga tangga. Ketika awal-awal, Nabi Saw berkhutbah dengan bersandar kepada batang
pohon kurma. Di dalam kitab-kitab hadis, seperti bukhori, ketika ada mimbar, Nabi Saw tidak
lagi menggunakan mimbar tersebut dan meninggalkan pohon kurma. Tiba-tiba, terdengarlah
suara tangisan dari batang pohon tesebut, sampai Nabi Saw meletakkan tangan mulianya diatas
pohor kurma itu. Sejak itulah, pohon kurma itu tidak mengangis lagi, karena telah mendapat
sentuhan lembut tangan Nabi Muhammad Saw.

Mimbar tersebut dibuat oleh seorang budak milik salah seorang shahabiyyat, dari kayu jenis
thorfa dari daerah Ghabat (pinggiran Madinah) atas perintah dan keinginan Nabi Muhammad
Saw. Sebagaimana keterangan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hazim bin Dinar
yang artinya:’’Beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, setelah sebelumnya mereka
berdebat tentang mimbar, dari kayu apa ia dibuat. Mereka datang menanyakan kepadanya
tentang hal itu. Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, aku tahu benar dari kayu apa ia dibuat. Dan
aku melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama kali Rasulullah Saw duduk diatasnya.
Rasulullah Saw mengutus seseorang kepada seorang wanita -dari kalangan Anshar yang telah
disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- : “Suruhlah budakmu yang ahli pertukangan untuk
membuatkan kayu untukku agar aku duduk diatasnya ketika berbicara kepada orang-orang”. Lalu
wanita itu menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa dari Ghabat
(pinggiran Madinah), lalu ia membawanya. Kemudian wanita itu mengirimnya (mimbar tesebut)
kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw menyuruh meletakkan di sini.

Jelas sudah, bahwa Nabi Muhammad Saw tidak menggunakan PODIUM, karena podium bukan
produk dan gagasan Nabi Muhammad Saw. Melestarikan gagasan Nabi Saw, termasuk sunnah.
Sedangkan, menggunakan podium, merupakan bagian dari bid’ah (mengad-ngada) karena asal
usulnya bukan dari Nabi Muhammad Saw, dan juga bukan dari gagasan beliau Saw. Sedangkan
minbar yang saat itu terdapat di Masjid Nabi itu, dan senantiasa dipergunakan untuk pembacaan
khutbah, adalah minbar yang dibuat pada masa Sultan Murad, dari Dinasti Utsmani tahun 998
Masehi. Jika mau jujur, pola yang digunakan Nahdiyah (NU), masih menggunakan pola Nabi
(mimbar), sedangkan pola yang digunakan oleh masjid Muhammadiyah, tidak menggunakan
mimbar, tidak sesuai dengan relalitas di Makkah dan Madinah, serta gagasan Nabi Muhammad
Saw. Terlepas dari semuanya, perbedaan adalah rahmat, dan perpecahan adalah adzab (petaka).
Wallahu
Mimbar Rasulullah SAW
Jumat, 26 Juni 2015 13:53

‫ع ْب ِد هللاِ ْب ِن‬ َ ‫الر ْح َم ِن ْب ِن ُم َح َّم ِد ْب ِن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ب ْب ُن‬ ُ ‫س ِع ْي ٍد قَا َل َح َّدثَنا َ يَ ْعقُ ْو‬ َ ‫َح َدثَنا َ قُت َ ْيـَبةُ ْب ُن‬
‫أن ِر َجاالً أت َ ْوا‬ َّ ‫َار ِن ُّي قَا َل َحدَّثنَا َ أبُ ْو َح ِاز ِم ْب ِن ِد ْينَ ٍار‬ َ ‫س َك ْند‬ ِ ْ ِ ‫شي‬
ْ ‫اْل‬ ِ ‫ي ا ْلقُ َر‬ ُّ ‫ـار‬ ِ َ‫ع ْب ِد ا ْلق‬ َ
ِ‫سـألُ ْوهُ ع َْن ذَ ِلكَ َوهللا‬ َ َ‫لم ْنبَ ِر ِم َّم ع ُْو ُدهُ ف‬ ِ ْ‫امت َ َر ْوا فِى ا‬ ْ ‫ِي َوقَ ْد‬ ُّ ‫سا ِعد‬ َّ ‫س ْع ٍد ال‬ َ ‫س ْه َل ْب َن‬ َ
ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫علَ ْي ِه َر‬ َ ‫س‬ َ َ‫أو َل يَ ْو ٍم َجل‬ َّ ‫أو َل يَ ْو ٍم ًو ِض َع َو‬ َّ ُ‫ف ِم َّما ُه َو َولَقَ ْد َرأ ْيتُه‬ ُ ‫إنِي ََلع ِْر‬
‫ام َرأ ٍة‬ْ َ‫سلَّ َم إلَى فُ ََلنَة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ ‫لى هللا‬ َّ ‫ص‬َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫س َل َر‬ َ ‫سلَّ َم أ َ ْر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ ‫لى هللا‬ َّ ‫ص‬ َ
‫س‬ُ ‫أج ِل‬ ْ ‫أن يَ ْع َم َل ِلي أع َْوادًا‬ ْ ‫ار‬ َ ‫غَلَ َم ِك النَّ َّج‬ُ ‫س ْه ٌل ُم ِر ْي‬ َ ‫س َّما َها‬ َ ‫ص ِار قَ ْد‬ َ ‫ِم َن اَْل ْن‬
ْ‫سلَت‬ َ ‫أر‬ ْ َ‫اء ا ْلغَابَ ِة ث ُ َّم َجا َء ِب َها ف‬ ِ َ‫اس فَأ َم َرتْهُ فَ َع ِملَ َها ِم ْن َط ْرف‬ َ َّ‫علَ ْي ِه َّن إذَا َكلَّ ْمتُ الن‬ َ
ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ض َعتْ َها ُهنَا ث ُ َّم َرأيْتُ َر‬ َ ‫سلَّ َم فَأ َم َر بِ َها فَ َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫لى هللا‬ َّ ‫ص‬ َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫إلَى َر‬
‫علَ ْي َها ث ُ َّم نَ َز َل‬ َ ‫علَ ْي َها ث ُ َّم َر َك َع َو ُه َو‬ َ ‫علَ ْي َها َو َكبَّ َر َو ُه َو‬ َ ‫لى‬ َّ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ ‫لى هللا‬ َّ ‫ص‬ َ
ُ َّ‫اس فَقَا َل أَيُّ َها الن‬
‫اس‬ َ ‫غ أ َ ْقبَ َل ع‬
ِ َّ‫َلى الن‬ َ ‫ص ِل اْ ِلم ْنبَ ِر ث ُ َّم عَا َد فَلَ َّما فَ َر‬ ْ ‫س َج َد فِى أ‬ َ َ‫اْلقَ ْهقَ َرى ف‬
‫صَلَتِي — رواه البخاري‬ َ ‫صنَ ْعتُ َهذَا ِلـتَأْت َم ُّواْ َو ِلتُعَلَّ ُم ْوا‬ َ ‫[ إنَّ َما‬1
Mufradat

‫ْامت ََر ْوا‬ : Ragu-ragu, berselisih, berbeda pendapat

‫أع َْوادًا‬ : Potongan kayu-kayu

‫اْلقَ ْهقَ َرى‬ : Kembali ke belakang, mundur

Terjemah Hadis

Dari Qutaibah ibn Sa’id, ia berkata, dari Yakub ibn Abdurrahman ibn Muhammad ibn
Abdullah ibn Abdul Qari Al Qurasiy Al Iskandaraniy, ia berkata, dari Abu Hazim ibn Dinar
sesunguhnya orang-orang mendatangi Sahal ibn Sa’d As Sa’idiy dan mereka berbeda pendapat
tentang kebiasaannya (berdakwah) di mimbar. Mereka menanyakan hal itu kepadanya. Demi
Allah sesungguhnya saya mengetahui hal itu. Saya mengetahui pertama kali hal itu ditetapkan
dan pertama kali Rasulullah saw. duduk di atasnya. Rasulullah saw. mengirim surat kepada
seorang perempuan Anshar bernama Sahal (yang berisi), “Perintahkanlah pelayanmu (dari) Bani
An Najjar supaya ia membuatkan untukku kayu-kayu (mimbar) yang saya duduki ketika saya
berbicara di depan manusia.” Maka ia (Sahal) menyuruh ghulam-nya dan ia mengerjakannya dari
kayu-kayu hutan. Kemudian ia datang membawanya dan mengirimkannya kepada Rasulullah
saw. Rasul menyuruh (untuk meletakkan) nya, maka diletakkanlah (mimbar itu) di sini. Lalu
saya melihat Rasulullah shalat di atasnya seraya bertakbir sedang beliau di atasnya. Kemudian
ruku’ dan beliau berada di atasnya. Kemudian beliau turun menuju ke belakang dan sujud di
pangkal mimbar lalu kembali (ke mimbar). Ketika selesai, beliau menghadap manusia dan
berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya saya melakukan ini agar kalian menyempurnakan dan
mempelajari sholatku.” (HR. Bukhari).

Penjelasan Hadis

Matan hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bukunya Shahih Bukhari pada kitab
Al Jum’ah bab Al Khutbah ‘alal minbar. Di dalam syarah-nya disebutkan bahwa sanad dan
matan madis tersebut sangat baik (jayyid) dan hadis ttersebut bersambung langsung (marfu’)
kepada Rasulullah.[2] Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasa’i, Abu
Daud, Ibn Majah, Ahmad ibn Hanbal dan Ad Darimi.[3]

Pada masa Rasulullah saw. media pengajaran telah menjadi salah satu aspek pendidikan yang
menjadi perhatianRasul, yakni dengan dibuatnya panggung (mimbar) untuk praktek shalat yang
diajarkan langsung oleh Rasulullah agar semua yang ikut dalam proses belajar dapat melihat
dengan jelas gerakan-gerakan shalat yang diperagakan Rasulullah di atas panggung. Hal ini
menegaskan betapa pentingnya suatu media pengajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
dengan mudah dan cepat.

Para ahli berbeda pendapat tentang pengklasifikasian media pembelajaran/pengajaran. Gagne


mengelompokkannya menjadi tujuh macam, yaitu benda untuk didemonstrasikan (contohnya:
mimbar/panggung dalam hadis di atas), komunikasi lisan, gambar cetak, gambar diam, gambar
gerak, film bersuara dan mesin belajar.

[1] Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Al Fikr, 1994), Juz 1, hal 273.

[2] Ibn Hajar Al Asqalani, Fathul Bari.

[3] A. W. Wensick, Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfadzi Al Hadis Al Nabawi (Leiden: Maktabah


Baril, 1936).

MIMBAR adalah satu peralatan penting yang terdapat di setiap masjid. Hal ini didasarkan pada
praktek Rasulullah bahwa beliau menyampaikan khutbah menggunakan mimbar. Beliau mulai
memakai mimbar pada tahun ke tujuh atau setelah masjid Nabawi direnovasi. Ada juga yang
menyatakan penggunaan mimbar pada tahun ke delapan hijriah setelah dikuasainya Khaibar.
Mimbar ini terutama digunakan Rasulullah untuk khutbah Jumat. Sedangkan untuk khutbah ‘Id,
informasi sebagian hadis menjelaskan Nabi tidak menggunakannya. Nabi berkhutbah di atas
kenderaan beliau.

Secara umum terdapat dua bentuk mimbar pada banyak masjid. Pertama, mimbar dengan model
anak tangga di depan. Model ini terlihat dalam beberapa bentuk: terdiri dari tiga tangga atau
lebih, memakai atap dan tanpa atap, serta menggunakan pintu atau tanpa pintu. Kedua, mimbar
dengan anak tangga terdapat di belakang, sementara pada bagian depan tertutup hingga separoh
atau sepertiga badan khatib atau penceramah. Kedua bentuk mimbar tersebut terkadang dihiasi
pula dengan berbagai ukiran.

Sebagian orang membedakan mimbar dengan podium. Model pertama ini mereka sebut mimbar,
sedangkan model kedua disebut podium. Namun, bila dilihat bahwa mimbar yang terambil dari
kata nabara yang bermakna mengangkat atau meninggikan sesuatu, tidak ada beda mimbar
dengan podium. Semua tempat yang tiggi untuk berpidato atau khutbah dapat dikatan mimbar.

Usulan sahabat
Beberapa hadis menjelaskan bahwa Nabi awalnya berkhutbah di atas pangkal pohon kurma, lalu
sahabat mengusulkan agar dibuatkan untuk beliau mimbar supaya jamaah dapat melihat dan
mendengar khutbah. Dalam riwayat Imam Bukhari yang disampaikan oleh Jabir usulan tersebut
datang dari seorang wanita Anshar yang dalam riwayat lain disebutkan wanita tersebut memiliki
anak seorang tukang kayu. Wanita tersebut menyatakan kepada Nabi: Bolehkah kami membuat
mimbar untukmu? Kemudian Nabi mempersilahkannya.

Dalam riwayat Imam Abu Daud, usulan tersebut datang dari sahabat yang bernama Tamim al-
Dari yang dalam riwayat lain ditambahkan ia yang pernah melihat mimbar di Syam, lalu Nabi
menerima usulan itu. Ada yang menjelaskan bahwa usulan tersebut datang dari seorang sahabat
yang tidak disebutkan namanya, yang menawarkan kepada Nabi membuat mimbar, Nabi
kemudian menerima tawaran tersebut.

Hadis lain yang disampaikan oleh Sahal yang terdapat dalam beberapa kitab hadis menjelaskan
bahwa Nabi memerintahkan kepada wanita Anshar yang memiliki anak tukang kayu tersebut
untuk memerintahkan anaknya membuat mimbar. Tetapi perintah Nabi ini dipahami oleh ulama
hadis sebagai perintah untuk mempercepat pembuatan mimbar atau perintah yang menunjukkan
bahwa tawaran wanita tersebut dipastikan diterima oleh Nabi, bukan sebagai perintah yang
menggagas pembuatan mimbar. Gagasan pembuatan mimbar dipahami dimunculkan oleh wanita
sahabat Nabi tersebut. Hal ini didasarkan atas banyak dan kuatnya hadis yang menginformasikan
mimbar sebagai usulan sahabat kepada Nabi

Usulan sahabat tersebut dapat dipahami bahwa mereka kesulitan melihat dan mendengar beliau
berkhutbah. Hal ini disebabkan jamaah kaum muslimin semakin hari semakin banyak. Pada
tahun ke-7 atau ke-8 Hijriah, masyarakat muslim tidak hanya terdiri semenanjung Arab, tetapi
juga telah meluas sampai ke Irak. Sebagian dari warga muslim dari daerah lain berdatangan ke
Madinah untuk mendapatkan pelajaran dari Rasulullah. Itu sebabnya muncul ide dari salah
seorang mereka membuat mimbar untuk Nabi supaya mereka dapat melihat Nabi dengan leluasa
dan mendengarkan pengajaran-pengajaran dari beliau.

Mengenai bentuk atau model mimbar, tidak ditemukan petunjuk Nabi seperti tangga dari arah
depan atau dari arah lainnya atau begitu juga jumlah anak tangga yang hanya tiga tingkat. Ketika
Sahabat mengusulkan membuat mimbar Hanya menjawab “silakan kalau kamu mau” (in
syi’tum) atau “ya” (na’am/bala). Bagian yang paling jelas yang dinformasikan kitab-kitab hadis
seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah dan Musnad
Ahmad adalah mimbar dibuatkan oleh tukang kayu. Hal ini terlihat dari redaksi beberapa hadis.
Meskipun dengan redaksi yang berbeda antara satu hadis dengan hadis lainnya, tetapi
maksudnya adalah sama, seperti “dibuatlah untuk beliau tiga tingkat anak tangga” (fashuni’a
lahu tsalatsu darajat), “maka dia (tukang kayu) membuat (mimbar) dengan tiga anak tangga”
(fashana’a tslatsa darajat), “dia (tukang kayu) membuat mimbar Nabi tiga anak tangga” (fa’amila
al-mimbar tsalatsa darajat) “lalu mereka membuatnya bagi Nabi (mimbar) tiga anak tangga”
(fashana’u lahu tsalatsa darajat).

Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa kemunculan mimbar Rasulullah dan modelnya bukanlah
berdasarkan wahyu atau ijtihad Nabi, tetapi adalah murni ide sahabat dan kreasi tukang kayu.
Sebagai kreasi tukang kayu, hal ini dapat berasal dari daya imajinasinya sendiri dipadu dengan
budaya masyarakatnya dan pengalaman. Atau juga adopsi dari bentuk mimbar di negeri lain
seperti mimbar yang diusulkan oleh Tamim al-Dari di mana ia pernah melihat mimbar di Syam.
Artinya, model mimbar tersebut dapat saja mencontoh mimbar yang ada di Syam.

Bentuk mimbar
Menyimak sababul wurud penggunaan mimbar dan bentuknya yang muncul dari gagasan
manusiawi, dapat dipahami bahwa penggunaan mimbar apalagi bentuk mimbar Nabi bukanlah
sesuatu yang mengikat kaum muslimin. Artinya, kaum muslimin boleh menggunakan mimbar
dan model seperti Nabi saw sebagai kreasi manusiawi yang muncul pada 14 abad yang lalu atau
boleh juga menggunakan model mimbar yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Oleh ahli-ahli
ilmu ushul fiqh, persoalan seperti ini disebut dengan istilah la hukma lahu ashlan (tidak
mengandung hukum sama sekali), la imtimsaka bihi (tidak untuk menjadi pegangan), laisa fihi
sunnah (bukan untuk diteladani), la bihi iqtida’ (tidak untuk diikuti), laisat bi qurbah (tidak untuk
mendekatkan diri kepada Allah). Atau dalam istilah baru yang dipoperkan oleh ulama-ulama
kontemporer seperti Muhammad Syaltut dan Yusuf al-Qaradhawi sebagai sunnah ghair
tasyri’iyah, sunnah yang tidak dimaksudkan sebagai ketetapan hukum untuk diikuti dan
diamalkan.

Itu sebabnya dalam kitab-kitab fiqih, tidak didapati menggunakan mimbar sebagai persyaratan
sahnya khutbah Jumat, apalagi menggunakan mimbar yang sama bentuknya dengan mimbar
yang digunakan Nabi. Dalam kitab-kitab fiqih, penggunaan mimbar hanyalah sebagai salah satu
sunnah khutbah Jumat. Tanpa menggunakan mimbar pun khutbah Jumat masih dipandang sah.
Hal ini menyiratkan bahwa penggunaan mimbar dalam pandangan para ahli hukum bukanlah hal
yang substansial yang ketika tidak digunakan akan merusak sahnya ibadah Jumat.

Mimbar hanyalah media yang digunakan agar khatib dan jamaah dapat berinteraksi dengan kebih
baik. Dalam redaksi beberapa hadis disebutkan “agar orang-orang dapat melihat Rasulullah dan
mendengar khutbah beliau”. Melihat Rasulullah dalam berkhutbah tentu memberi nuansa
tersendiri dalam menangkap isi khutbah dibanding tidak melihat Rasulullah. Apalagi Rasulullah
menjadi idola bagi para sahabat yang betul-betul beriman kepada Allah dan Rasul. Dengan tatap
muka ini jamaah yang mendengar apa yang disampaikan oleh Rasulullah akan lebih efektif
menangkap pesan beliau.

Pada masa Nabi belum ada alat pengeras suara seperti sekarang ini, sehingga para jamaah
mendengar pembicaraan Nabi secara alamiah. Ketika jamaah semakin banyak, cara mendengar
seperti ini tidak lagi begitu efektif. Salah satu cara sederhana agar apa yang disampaikan Nabi
lebih efektif didengar adalah dengan meninggikan tempat Nabi berkhutbah. Wallahu a’lam bi al-
shawab.

Anda mungkin juga menyukai