Anda di halaman 1dari 28

BENCANA KEKERINGAN

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesehatan dan Penanggulangan Bencana
Yang dibina oleh Ibu Vita Ria Mustikasari, S.Pd., M.Pd
dan Ibu Novida Pratiwi, S.Si., M.Sc

Oleh
Kelompok 8 :
1. Mira Mardiana (160351606441)
2. Moneyta Kurnia P (160351606467)
3. Rendi Satriawan S (160351606434)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Oktober 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini
telah kami susun dengan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Vita Ria Mustikasari, S.Pd., M.Pd dan Ibu Novida
Pratiwi, S.Si., M.Sc, sebagai dosen mata kuliah Kesehatan dan Penanggulangan
Bencana. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang
senantiasa membantu kami baik secara moral maupun materi dan juga kepada
teman-teman kami yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi
berbagai kesulitan sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan cetak dalam penulisan. Kami juga berharap
pembaca memberikan kritik dan sarannya pada hasil karya kami ini. Semoga
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Malang, 27 Oktober 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Kekeringan 3
B. Jenis-Jenis Kekeringan 3
C. Gejala Kekeringan 5
D. Penanggulangan Bencana Kekeringan 6
E. Tindakan Kesehatan Bencana Kekeringan 8
F. Studi Kasus Bencana Kekeringan di Indonesia 18
BAB III PENUTUP 21
A. Kesimpulan 21
DAFTAR RUJUKAN 24

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia Sebagai daerah yang beriklim muson tropis memiliki dua
musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan yang datang bergantian
secara alamiah. Keadaan keduanya sangat ditentukan oleh kondisi
meteorologis. Kondisi meteorologis yang tidak seimbang telah
menyebabkan berbagai bencana berupa banjir besar yang ditandai dengan
meningkatnya curah hujan yang sangat ekstrim dan biasanya dikenal
sebagai badai La-Nina. Kekeringan yang berkepanjangan dengan suhu
yang cukup tinggi disebabkan oleh rendahnya suhu udara di Samudera
Pasifik dan suhu udara atmosfer bagian bawah disebut sebagai badai El-
Nino. Keduanya merupakan bencana yang sering terjadi terutama El-Nino
yang telah beberapa kali melanda Indonesia.
Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena terkait iklim
akibat defisitnya ketersediaan air yang kerap terjadi di wilayah Indonesia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan
suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada
pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Berkurangnya ketersediaan
air dalam tanah yang dibutuhkan dalam berbagai kegiatan menjadi
penyebab utama kekeringan menjadi suatu ancaman. Dampak ekonomi
dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan
kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian,
suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan
kerusakan yang signifikan.
Di Indonesia, khususnya daerah Jawa Tengah rentan terhadap
bencana kekeringan, maka dari itu dalam makalah ini akan diulas bencana
kekeringan secara umum, bencana kekeringan di Jawa Tengah,
penanggulangan bencananya, dan tindakan kesehatan yang dapat
dilakukan.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kekeringan?
2. Apa saja jenis-jenis dari kekeringan?
3. Bagaimana gejala kekeringan?
4. Bagaimana penanggulangan bencana kekeringan pada pra, saat dan
pasca bencana?
5. Bagaimana tindakan kesehatan bencana kekeringan pada pra, saat dan
pasca bencana?
6. Bagaimana contoh kasus bencana kekeringan yang pernah terjadi di
Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian dari kekeringan.
2. Memahami jenis-jenis dari kekeringan.
3. Memahami gejala kekeringan.
4. Memahami cara penanggulangan bencana kekeringan pada pra, saat
dan pasca bencana.
5. Memahami tindakan kesehatan bencana kekeringan pada pra, saat dan
pasca bencana.
6. Mengetahui contoh kasus bencana kekeringan yang pernah terjadi di
Indonesiadan cara penanggulangannya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekeringan
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul
ketika musim kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami
masalah kekurangan air atau defisit air atau kekeringan. Dari perspektif
kebencanaan kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan
dalam periode waktu tertentu (umum-nya dalam satu musim atau lebih)
yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kebutuhan. Kekurangan
air tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu
DAS. Pada umumnya bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya,
namun dapat dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air yang ada sudah
tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Kerusakan lahan dan
dampak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kekeringan sangat luas
dan nilai ekonomi kerugian cukup besar (UN-ISDR, 2009).
Menurut International Glossary of Hidrology, pengertian kekeringan
adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di
bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan
hidrologi terganggu secara serius (Pramudia, 2002).

B. Jenis-Jenis Kekeringan
Kekeringan dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori, yaitu:
1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya
presipitasi hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu.
Biasanya hal ini digambarkan sebagai penyebab utama terjadinya
kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis
sebagai berikut:
a. Kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal
(curah hujan di bawah normal)
b. Sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi
normal (curah hujan jauh di bawah normal)

6
c. Amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari
kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).
2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya
ketersediaan air di permukaan maupun di dalam tanah. Kekeringan
hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah.
Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya
ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan
hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai
berikut:
a. Kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di
bawah periode 5 tahunan
b. Sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
c. Amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode
ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan
3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), kekeringan ini
berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas
tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi
tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi
setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas
kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
a. Kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena
ringan s/d sedang)
b. Sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian
ujung daun (terkena berat)
c. Amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan
kaitan kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap
barang-barang bernilai ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah
terjadi kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Intensitas

7
kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum
atau air bersih sebagai berikut:

5. Kekeringan Antropogenik, kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan


pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan
yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap
pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan
air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas
kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah
20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana
tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman
khususnya tanaman pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi
kekeringan ini yaitu tanaman, tanah dan air (Wilhite,1985).

C. Gejala Kekeringan
Gejala terjadinya kekeringan adalah sebagai berikut:
1. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah
hujan dibawah normal dalam satu musim. Pengukuran
kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya
bencana kekeringan.
2. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan
pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur

8
berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air
tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan indikasi
awal adanya kekeringan.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan
lengas tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode
waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan
tanaman menjadi kering dan m engering (Nalbantis, 2008).

D. Penanggulangan Bencana Kekeringan


1. Pra bencana kekeringan
a. Menanam banyak pohon untuk menyimpan air didalam tanah.
Suatu saat air yang terdapat dalam tanah akan dapat digunakan
pada saat musim kemarau tiba. Daerah yang mempunyai banyak
pepohonan akan mempunyai banyak sumber air karena
pepohonan akan menyimpan air di sekitar akarnya.
b. Membuat bendungan sangat diperlukan untuk menyimpan air
sungai. Air sungai yang tersimpan dapat digunakan untuk
kekurangan air pada saat musim kemarau tiba. Bendungan juga
dapt digunakan untuk perairan sawah.
c. Menggunakan air sewajarnya dapat dilakukan untuk mengurangi
jumlah air yang digunakan dengan tujuan agar air yang tersimpan
cukup untuk waktu yang lama. Jangan menggunakan air untuk
bermain jika daerah tersebut pada musim kemarau mengalami
kekeringan.
d. Dapat memperbanyak tanah resapan air untuk menyimpan air
dalam tanah.
e. Memberikan pengamanan dan perlindungan pada sumber-sumber
air bersih.

2. Pada saat bencana kekeringan

9
a. Pembangunan sumur tradisional (jika memungkinkan, maka dapat
dilakukan pembangunan sumur bor). Pembangunan sumur
tradisional dapat mengatasi kekeringan dengan mengambil air
sungai bawah tanah. Tetapi sumur tradisional hanya mengambil
iair dari sungai bawah tanah. pembangunan sumur bor dapat
dilakukan ketika sumur tradisional kering. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan air dibawah lapisan tanah dalam. Sumur tradisional
hanya menjangkau sungai bawah tanah sehingga ketika musim
kemarau tiba, sumur tradisional akan menjadi kering.
b. Pengangkutan air dari bantuan pemerintah merupakan upaya yang
sudah sering dilakukan untuk mengatasi kekeringan. Tetapi upaya
ini membutuhkan peralatan angkutan air yang rumit, belum lagi
untuk menjangkau daerah yang sedang mengalami bencana
kekeringan. Beberapa daerah yang mengalami kekeringan
merupakan daerah yang terpencil yang jangkauannya sangat sulit.
c. Saat kekeringan terjadi, penghamatan air perlu dilakukan.
Gunakan air seperlunya untuk menghindari kehabisan air.
d. Melakukan pembagian air untuk pengairan sawah. Melakukan
pembagian aliran sungai untuk sawah dilakukan agar pengairan
setiap sawah menjadi rata. Jadi meskipun sedang terjadi
kekeringan, sawah para petani tidak akan gagal panen.
3. Pasca bencana kekeringan
a. Dinas terkait memeriksa korban dan kerusakan daerah yang
terkena bencana kekeringan. Daerah kekeringan biasanya mudah
terjangkit virus dan bakteri sehingga penduduknya dapat
mengalami berbagai serangan penyakit. Karena kekurangan air
bersih, daerah bencana kekeringan biasanya hanya mempunyai air
yang keruh yang mengandung bibit penyakit.
b. Tetap hemat menggunakan air seperlunya hingga air normal
kembali seperti semula. Meskipun bencana kekeringan sudah
berakhir, tetap gunakan air seperlunya saja.
E. Tindakan Kesehatan Bencana Kekeringan

10
Bencana alam merupakan kejadian luar biasa yang disebabkan oleh
peristiwa/faktor alam atau perilaku manusia yang menyebabkan kerugian besar
bagi manusia dan lingkungan dimana hal itu berada diluar kemampuan manusia
untuk dapat mengendalikannya. Mengingat bencana alam yang cukup beragam
dan semakin tinggi intensitasnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-
Undang (UU) No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan
lahimya UU tersebut, terjadi perubahan paradigma penanganan bencana di
Indonesia, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap
darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan manajemen penanggulangan
bencana mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat sampai dengan
rehabilitasi. (Widayatun, 2013)

Berdasarkan UU No 24 tersebut, tahapan penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi:

1. Prabencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan


bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).

2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan


dan sumber daya, penentuan status keadaan darurat, penyelamatan dan evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan psikososial dan kesehatan.

3. Paskabencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan


daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial,
psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana, termasuk fungsi
pelayanan kesehatan). (Widayatun, 2013)

Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera


diberikan baik saat terjadi dan paskabencana disertai pengungsian. Upaya
penanggulangan bencana perlu dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat, antara lain hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan

11
dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No 24 tahun 2007,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
pada kondisi bencana, di samping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya seperti air
bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan psikososial serta penampungan
dan tempat hunian. Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana
ditujukan untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban
akibat bencana dan pengungsi sesuai dengan standar minimal. (Widayatun, 2013)

Secara khusus, upaya penanggulangan kesehatan ini ditujukan untuk


memastikan terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi korban bencana dan
pengungsi sesuai standar minimal, terpenuhinya pemberantasan dan pencegahan
penyakit menular bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar minimal,
terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi korban bencana dan pengungsi
sesuai standar minimal, terpenuhinya kesehatan lingkungan bagi korban bencana
dan pengungsi sesuai standar minimal, serta terpenuhinya kebutuhan papan dan
sandang bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar minimal. Dalam
upaya memaksimalkan peran jajaran kesehatan pada penanggulangan bencana,
termasuk didalarnnya Puskesmas, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan
Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No. 145/Menkes/SK/112007 tentang
Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. (Widayatun, 2013)

Dokumen tersebut mengatur berbagai hal, termasuk kebijakan,


pengorganisasian dan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masing-
masing jajaran kesehatan. Dalam Kepmenkes tersebut juga disebutkan bahwa
pada prinsipnya dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan tidak ada
kebijakan untuk membentuk sarana prasarana secara khusus. Upaya lebih
difokuskan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah ada, hanya saja
intensitas kerjanya ditingkatkan dengan memberdayakan semua surnber daya
pemerintah, masyarakat dan unsur swasta terkait (Departemen Kesehatan, 2007).

Pengorganisasian sektor kesehatan dilakukan berjenjang mulai dari tingkat


pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai dengan lokasi kejadian. Di lokasi kejadian

12
misalnya, penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana
adalah Kepala Dinas Kabupaten/Kota, sedangkan yang bertindak sebagai
pelaksana tugas adalah Kepala Puskesmas di lokasi kejadian. Selanjutnya,
pelaksanaan kegiatan dikelompokkan pada fase Prabencana, Saat bencana dan
Paskabencana. Pada masing-masing fase tersebut, telah dikelompokkan kegiatan-
kegiatan yang perlu dilaksanakan oleh Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan Kecamatan.

Dalam penanggulangan bencana, peran Puskesmas mengacu pada tugas


dan fungsi pokoknya, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan kesehatan
masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Sebagai pusat penggerak pembangunan kesehatan masyarakat, Puskesmas
melakukan fungsi penanggulangan bencana melalui kegiatan surveilans,
penyuluhan dan kerjasama lintas sektor. Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat,
Puskesmas dituntut mampu melibatkan peran aktif masyarakat, baik peroangan
maupun kelompok, dalam upaya penanggulangan bencana. Sedangkan sebagai
pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama, Puskesmas melakukan berbagai
kegiatan seperti: pelayanan gawat darurat 24 jam, pendirian pos kesehatan 24 jam
di sekitar lokasi bencana, upaya gizi, KIA dan sanitasi pengungsian, upaya
kesehatan jiwa serta upaya kesehatan rujukan. Initial rapid health assessment
merupakan kegiatan penting yang perlu dilaksanakan petugas kesehatan di lokasi
bencana.

Selain berdasarkan SK Menkes 145/2007, peran dan tugas Puskesmas


dalam penanggulangan bencana juga mengacu pada SK Menkes Nomor
1357/Menkes/SK/XII/200 1 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah
Kesehatan akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Dalam dokumen tersebut,
standar minimal yang harus dipenuhi meliputi berbagai aspek:

1. Pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat,


kesehatan reprodukse dan kesehatan jiwa. Terkait dengan sarana
pelayanan kesehatan, satu Pusat Kesehatan pengungsi idealnya digunakan
untuk melayani 20.000 orang, sedangkan satu Rumah Sakit untuk 200.000
sasaran. Penyediaan pelayanan kesehatan juga dapat memanfaatkan

13
partisipasi Rumah Sakit Swasta, Balai Pengobatan Swasta, LSM lokal
maupun intemasional yang terkait dengan bidang kesehatan.
2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, seperti vaksinasi,
penanganan masalah umum kesehatan di pengungsian, manajemen kasus,
surveilans dan ketenagaan. Berkaitan dengan sumber daya manusia
(SDM), Kementerian Kesehatan telah menetapkan jumlah kebutuhan
tenaga kesehatan untuk penanganan 10.000-20.000 pengungsi, terdiri dari:
pekerja kesehatan lingkungan (10-20 orang), bidan (5-10 orang), dokter ( 1
orang), paramedis ( 4-5 orang), asisten apoteker ( 1 orang), teknisi
laboratorium ( 1 orang), pembantu umum (5-1 0 orang), pengawas sanitasi
(2-4 orang), asisten pengawas sanitasi (10- 20 orang).
3. Gizi dan pangan, termasuk penanggulangan masalah gizi di pengungsian,
surveilans gizi, kualitas dan keamanan pangan. Identifikasi perlu
dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui sasaran pelayanan, seperti
jumlah pengungsi, jenis kelamin, umur dan kelompok rentan (balita, ibu
hamil, ibu menyusui, lanjut usia). Data tersebut penting diperoleh,
misalnya untuk mengetahui kebutuhan bahan makanan pada tahap
penyelamatan dan merencanakan tahapan surveilans berikutnya. Selain itu,
pengelolaan bantuan pangan perlu melibatkan wakil masyarakat korban
bencana, termasuk kaum perempuan, untuk memastikan
kebutuhankebutuhan dasar korban bencana terpenuhi.
4. Lingkungan, meliputi pengadaan air, kualitas air, pembuangan kotoran
manusia, pengelolaan limbah padat dan limbah cair dan promosi
kesehatan. Beberapa tolok ukur kunci yang perlu diperhatikan adalah:
persediaan air harus cukup minimal 15 liter per orang per hari, jarak
pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter, satu kran
air untuk 80-100 orang, satu jamban digunakan maksimal 20 orang, dapat
diatur menurut rumah tangga atau menurut jenis kelamin, jamban berjarak
tidak lebih dari 50 meter dari pemukian atau tempat pengungsian, bak atau
lubang sampah keluarga berjarak tidak lebih dari 15 meter dan lubang
sampah umum berjarak tidak lebih dari 100 meter dari pemukiman atau
tempat pengungsian, bak/lubang sampah memiliki kapasitas 100 liter per

14
10 keluarga, serta tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir
di sekitar pemukiman atau tempat pengungsian.
5. Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar kesehatan, seperti
penampungan keluarga, sandang dan kebutuhan rumah tangga. Ruang
tertutup yang tersedia, misalnya, setidaknya tersedia per orang rata-rata
berukuran 3,5-4,5 𝑚2 .Kebutuhan sandang juga perlu memperhatikan
kelompok sasaran tertentu, seperti pakaian untuk balita dan anak-anak
serta pembalut untuk perempuan remaja dan dewasa. Selain piranti-piranti
legal di atas, Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 juga mengatur
pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan tempat
penampungan hunian sementara, pangan, nonpangan, sandang air bersih
dan sanitasi serta pelayanan kesehatan. Dalam peraturan tersebut,
disebutkan bahwa bantuan pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk:
1). pelayanan kesehatan umum, meliputi pelayanan kesehatan dasar dan
klinis; 2). pengendalian penyakit menular, meliputi pencegahan umum,
campak, diagnosis dan pengelolaan kasus, kesiapsiagaan kejadian luar
biasa (KLB), deteksi K.LB, penyelidikan dan tanggap serta HIV/AIDS;
serta 3). pengendalian penyakit tidak menular, meliputi cedera, kesehatan
reproduksi, aspek kejiwaan dan sosial.

Prinsip-prinsip perlindungan minimal meliputi empat aspek, yakni: 1). Air


bersih, sanitasi dan promosi terkait higienitas, 2). Keamanan pangan dan gizi, 3).
Tempat penampungan atau hunian sementara dan kebutuhan non-pangan, serta 4).
Pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan esensial yang perlu diperhatikan
meliputi pengendalian penyakit menular, kesehatan anak, kesehatan seksual dan
reproduksi, cedera, kesehatan mental dan penyakit tidak menular.

Peran puskesmas dalam penanggulangan kesehatan bencana adalah sebagai


berikut:

15
Prabencana Saat Bencana Pascabencana

 Membuat peta Puskesmas di lokasi  Menyelenggarakan


geomedik bencana: pelayanan kesehatan
daerah rawan dasar di tempat
 Menuju lokasi
bencana. penampungan (Pos
bencana dengan
 Membuat jalur Kesehatan Lapangan).
membawa
evakuasi.  Memeriksa kualitas
peralatan yang
 Mengadakan air bersih dan sanitasi
diperlukan untuk
pelatihan. lingkungan.
melaksanakan
 Inventarisasi  Melaksanakan
triase dan
sumber daya surveilans penyakit
memberikan
sesuai dengan menular dan gizi
pertolongan
potensi bahaya buruk yang mungkin
pertama.
yang mungkin timbul.
 Melaporkan
terjadi.  Segera melapor ke
kejadian
 Menerima dan bencana kepada
Dinkes
menindaklanjuti Kabupaten/Kota bila
Kepala Dinas
informasi terjadi KLB penyakit
Kesehatan
peringatan dini menular dan gizi
(Kadinkes)
(early warning buruk.
Kabupaten/Kota.
system) untuk  Memfasilitasi
 Melakukan
kesiapsiagaan relawan, kader, dan
penilaian cepat
bidang petugas pemerintah
masalah
kesehatan. tingkat kecamatan
kesehatan awal
 Membentuk tim (initial rapid
dalam memberikan
kesehatan komunikasi,
health
lapangan yang informasi dan edukasi
assesment).
tergabung (KIE) kepada
 Menyerahkan
dalam Satgas. masyarakat luas,
tanggung jawab
 Mengadakan kepada
bimbingan pada

16
koordinasi Kadinkes kelompok serta
lintas sektor. Kabupaten /Kota konseling pada
bila telah tiba di individu yang
lokasi. berpotensi mengalami
gangguan stres
paskatrauma.
Puskesmas di sekitar
 Merujuk penderita
lokasi bencana:
yang tidak dapat
 Mengirimkan ditangani dengan
tenaga dan konseling awal dan
perbekalan membutuhkan
kesehatan serta konseling lanjut,
ambulans/ psikoterapi atau
transportasi lain penanggulangan lebih
ke lokasi spesifik.
bencana dan
tempat
penampungan
pengungsi.
 Membantu
perawatan dan
evakuasi korban
serta pelayanan
kesehatan
pengungsi.
(Widayatun, 2013)

Kekeringan akan menimbulkan beberapa penyakit, dianranya adalah diare,


campak, pneumonia, serta iritasi mata dan penyakit kulit (Pratiwi,2011). Para ahli
menyebutkan bahwa terjadinya perubahan sistem iklim global telah menimbulkan
ancaman bagi manusia melalui peningkatan kesakitan maupun kematian sebagai
akibat suhu ekstrim (sangat panas/dingin), kekeringan atau banjir, perubahan

17
kualitas udara dan air, dan berubahnya ekologi penyakit menular (Gregory et
al.2009).

a) Diare
Salah satu penyakit berbasis lingkungan yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah diare. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa meningkatnya suhu udara, berubahnya
pola curah hujan, dan bertambahnya kelembaban dapat berpengaruh
terhadap penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan (diare) yang
menyebabkan 1,8 juta kematian per tahun di dunia. Tingginya kejadian
diare kemungkinan disebabkan oleh penyediaan dan kualitas dan
penyediaan air serta sanitasi yang merupakan faktor risiko diare sesuai
dengan pendapat Finnigan yang menyebutkan bahwa faktor risiko diare,
sangat dipengaruhi oleh perubahan pola curah hujan, meningkatnya suhu
udara, dan lebih seringnya terjadinya peristiwa cuaca ekstrim (Finnigan,
2012).
Banjir dan kemarau berhubungan dengan peningkatan risiko
kejadian diare (walaupun pada umumnya bersifat temporal); karena curah
hujan yang tinggi menyebabkan banjir dan memungkinkan adanya
kontaminasi dalam penyediaan air; sedangkan curah hujan sangat rendah
(kemarau), berakibat pada sulitnya penyediaan air bersih yang pada
akhirnya dapat menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan higiene
sanitasi (diare, cholera) akan meningkat (Patz et al., 2003). Curah hujan
yang tinggi dapat mengakibatkan kontaminasi air yang menyebabkan
peningkatan tempat perindukan untuk bakteri, virus, dan parasit. Demikian
juga kekeringan juga dapat membuat berkurangnya jumlah air bersih
sehingga menyebabkan peningkatan kontak antara manusia dengan air
terkontaminasi (Keller, 2013).
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare
adalah masalah kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi
ini bila tidak segera diatasi dapat membawa bahaya terutama bagi balita
dan anak-anak. Bagi penderita diare ringan diberikan oralit, tetapi bila
dehidrasi berat maka perlu dibantu dengan cairan intravena atau infus. Hal

18
yang tidak kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan tubuh
adalah pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare
pemasukan makanan akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu
makan dan kehilangan makanan secara langsung melalui tinja atau muntah
dan peningkatan metabolisme selama sakit. (Sitorus, 2008).

b) Campak
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang
disebabkan oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau
measles. Penyakit ini ditularkan melalui droplet ataupun kontak dengan
penderita. Penyakit ini memiliki masa inkubasi 8-13 hari. Campak ditandai
dengan gejala awal demam, batuk, pilek, dan konjungtivitis yang
kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit (rash). Dampak
penyakit campak di kemudian hari adalah kurang gizi sebagai akibat diare
berulang dan berkepanjangan pasca campak, sindrom radang otak pada
anak diatas 10 tahun, dan tuberkulosis paru menjadi lebih parah setelah
sakit campak berat (Stevana, 2013). Menurut Bonnie (2006), kasus
campak akan meningkat pada musim kemarau, ketika suhu udara tinggi
dan curah hujan rendah. Campak biasanya terjadi di bulan dengan suhu
tidak terlampau tinggi pada musim panas atau ketika awal musim panas.
Sehingga saat terjadi bencana kekeringan, maka wabah campak akan
mudah sekali menyebar.
Penyakit Campak adalah yang sangat potensial untuk
menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia
20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang
mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa diharapkan
jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan
kelompok (herd immunity).Penderita Campak tanpa komplikasi dapat
berobat jalan. Tidak ada obat yang secara langsung dapat bekerja pada
virus Campak.Pasien memerlukan istirahat di tempat tidur, kompres
dengan air hangat bila demam tinggi. Pasien harus diberi cukup cairan dan

19
kalori, sedangkan pasien perlu diperhatikan dengan memperbaiki
kebutuhan cairan, diet disesuaikan dengan kebutuhan penderita (Stevana,
2013).

c) Pneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan
bawah akut (ISNBA) dengan batuk dan disertai dengan sesak nafas yang
disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi),
dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang disertai
eksudasi dan konsolidasi (Nurarif, 2013).Cuaca panas dan kering disertai
embusan angin menyebabkan debu beterbangan yang diikuti oleh agen
penyebab pneumonia dan mudah terisap dan masuk ke dalam saluran
pernafasan. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan
awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris (PDPI, 2003).

d) Iritasi mata dan penyakit kulit.


Saat terjadi kekeringan, udara sekitar juga akan sangat kering.
Udara yang kering ini juga akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
memicu iritasi. Selain itu, saat udara kering, maka debu akan dengan
mudah bertebaran. Bila debu ini mengenai mata, maka debu ini akan
menginveksi mata dan menyebabkan iritasi pada mata. Pada debu ini
biasanya juga terdapat debu dan bakteri yang menyebabkan infeksi pada
mata. Mata yang teriritasi merupakan kondisi ketika Anda merasakan
perih pada mata, bisa kering, bisa juga berair dan kemerahan pada daerah
konjungtiva (daerah putih pada mata). Atau, tanda yang paling memalukan
adalah “belekan” (mengeluarkan kotoran mata lebih sering dari biasanya)
(Indiasari, 2009).
Selain itu, pada musim kemarau atau pada saat terjadi kekeringan,
tubuh akan mengeluarkan keringat berlebih untuk menjaga keseimbangan
temperatur tubuh. Kondisi ini memicu kelenjar minyak atau kelenjar

20
sebasea untuk memproduksi minyak berlebih. Minyak yang berlebih,
kotoran, polusi dan bakteri dapat menyumbat pori-pori dan rentan terjadi
jerawat (Adityan, 2009).

F. Studi Kasus Bencana Kekeringan di Indonesia

Kasus bencana kekeringan baru-baru ini terjadi di Indoneisa, tepatnya


di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kekeringan di
Kabupaten Gunungkidul hingga saat ini tercatat menyebabkan kerugian
sebanyak 122.104 jiwa di 14 kecamatan mengalami kesulitan air bersih
lantaran musim kemarau yang berkepanjangan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Gunungkidul Edy Basuki mengatakan, sebelumnya kekeringan melanda
11 kecamatan dengan 96.523 jiwa korban terdampak. Namun kini meluas
hingga 14 kecamatan dengan jumlah jiwa terdampak 122.104 jiwa.
"Upaya droping terus kami lakukan. Namun karena cakupan lebih luas,
maka kita akan koordinasi selanjutnya. Ini terkait dengan tanggap darurat
dan tidaknya," katanya.
Upaya melakukan droping terus dilakukan tapi seringkali terjadi
kendala. Di antaranya akses jalan yang masih belum memadai sehingga
pendistribusian air sedikit terlambat. "Sumber pengambilan air jauh, jalan
kebanyakan hanya bisa dilalui dengan satu unit mobil jadi tidak bisa

21
berpapasan. Ada juga trouble kendaraan baik mesin ataupun pendukung
lainnya," ujar Edy.
Dari data BPBD, sedikitnya 4.930 rit air bersih telah diberikan bagi
warga yang mengalami kekeringan. Jumlah tersebut merupakan total dari
droping yang bersumber dari APBD yang dikelola BPBD Gunungkidul,
Kecamatan dan sejumlah donatur.
Saat ini, beberapa area yang terdampak kekeringan di antaranya
Kecamatan Girisubo meliputi Desa Balong, Jepitu, Karangawen, Nglindur,
Songbanyu, Jerukwudel, Pucung, Tileng; Kecamatan Nglipar meliputi
Desa Kedungkeris, Nglipar, Pengkol, Kedungpoh, Katongan, Pilangrejo;
Kecamatan Paliyan meliputi Desa Karangduwet, Giring, Karangasem,
Mulusan, Pampang, Grogol; Kecamatan Panggang yaitu di Desa Girikarto,
Girisuko, Girisekar, Girimulyo, Giriwungu, Giriharjo; Kecamatan
Purwosari meliputi Desa Giripurwo, Giricahyo.
Di Kecamatan Rongkop, bencana kekeringan terjadi di Desa
Karangwuni, Petir, Pucanganom, Semugih, Melikan, Pringombo, Bohol;
Kecamatan Tanjungsari terjadi di Desa Hargosari dan Ngestirejo;
Kecamatan Tepus meliputi Desa Sidoharjo, Giripanggung, Tepus,
Purwodadi, Sumberwungu; Kecamatan Ngawen di Desa Sambirejo,
Jurangjero, Tancep, Watusigar, Kampung.
Untuk Kecamatan Ponjong yaitu di Desa Kenteng, Tambakromo,
Karangasem, Sawahan, Umbulrejo; di Kecamatan Gedangsari terjadi di
Desa Mertelu; Kecamatan Saptosari meliputi Desa Krambilsawit;
Kecamatan Semin terjadi di Desa Rejosari, Karangsari, Candirejo; dan di
Kecamatan Semanu terjadi di Desa Dadapayu.
Kepala Desa Nglindur, Supriono mengatakan akibat kekeringan,
masyarakat desa terpaksa membeli air bersih dengan harga rata-rata
Rp120.000 setiap tangki dengan kapasitas 5.000 liter. Sumber mata air di
wilayahnya berupa telaga yang menjadi andalan warga di musim kemarau
sudah lama mengering. "Ada telaga tapi sudah mengering. Jadi beli air
dari tangki swasta," katanya (sindonews.com)

22
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode


waktu tertentu (umum-nya dalam satu musim atau lebih) yang menyebabkan
kekurangan air untuk berbagai kebutuhan.
2. Kekeringan dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori, yaitu:
a. Kekeringan meteorologis (meteorological drought).
b. Kekeringan hidrologis (hydrological drought).
c. Kekeringan pertanian (agricultural drought).
d. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought).
e. Kekeringan Antropogenik.
3. Gejala terjadinya kekeringan adalah sebagai berikut:
a. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal
dalam satu musim.
b. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah.
c. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas
tanah (kandungan air di dalam tanah).
4. Penanggulangan Bencana Kekeringan
1. Pra bencana kekeringan
a. Menanam banyak pohon untuk menyimpan air didalam tanah.
b. Membuat bendungan sangat diperlukan untuk menyimpan air sungai.
c. Menggunakan air sewajarnya dapat dilakukan untuk mengurangi
jumlah air yang digunakan dengan tujuan agar air yang tersimpan
cukup untuk waktu yang lama.
d. Dapat memperbanyak tanah resapan air untuk menyimpan air dalam
tanah.
e. Memberikan pengamanan dan perlindungan pada sumber-sumber air
bersih.

24
2. Pada saat bencana kekeringan
a. Pembangunan sumur tradisional (jika memungkinkan, maka dapat
dilakukan pembangunan sumur bor)
b. Pengangkutan air dari bantuan pemerintah merupakan upaya yang
sudah sering dilakukan untuk mengatasi kekeringan
c. Saat kekeringan terjadi, penghamatan air perlu dilakukan
d. Melakukan pembagian air untuk pengairan sawah
3. Pasca bencana kekeringan
a. Dinas terkait memeriksa korban dan kerusakan daerah yang terkena
bencana kekeringan.
b. Tetap hemat menggunakan air seperlunya hingga air normal kembali
seperti semula.
5. Penanggulanagan Kesehatan Bencana Kekeringan
1. Pra bencana kekeringan
a. Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.
b. Membuat jalur evakuasi.
c. Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.
d. Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (early
warning system) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan.
2. Saat bencana kekeringan
a. Menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan
untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama.
b. Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.
c. Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta
ambulans/transportasi lain ke lokasi bencana dan tempat
penampungan pengungsi.
d. Membantu perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan kesehatan
pengungsi
e. Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (early
warning system) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan

25
3. Pasca Bencana Kekeringan
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di tempat
penampungan (Pos Kesehatan Lapangan).
b. Memeriksa kualitas air bersih dan sanitasi lingkungan
c. Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang
mungkin timbul.
6. Kekeringan akan menimbulkan beberapa penyakit, dianranya adalah diare,
campak, pneumonia, serta iritasi mata dan penyakit kulit

26
DAFTAR RUJUKAN
Adityan, B; Kumari, R; Thappa, D.M., 2009. Scoring System in Acne
Vulgaris.Indian J Dermatol Venereol Leprol;71:323-6

Bonnie, Robbert. 2006. Nutrition Troughout the Life Cycle. Singapore: Mc Graw
Hill Book Company.

Depkes. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 145/Menkes/SK/I/2007


tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan.
Jakarta:Depkes

Finnigan, G. et al, 2012. Part I: The Vulnerability Of Children, in: Climate


Change Threats To Health. Australia: World Vision

Gregory, P.J., Johnson, S.N., Newton, A.C., Ingram, J.S.I., 2009. Integrating pests
and pathogens into the climate change/food security debate. J. Exp. Bot.
60, 2827–2838. doi:10.1093/jxb/erp080

Indriasari, D. 2009. A-Z Deteksi, Obati, dan Cegah Penyakit. Pustaka Grahatama,
Yogyakarta. Hlm 48- 51.

Keller, M., 2013. Climate Risk Management. New York: The Free Press.

Nalbantis, I, and Tsakiris, G. 2008. Assessment of Hydrological Drought


Revisited. Water Resources Management 23: 881-897.

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) NIC-NOC. Bogor:Mediaction Publishing.

Patz, J.A., Githeko, A.K., McCarty, J.P., Hussein, S., Confalonieri, U., De Wet,
N., 2003. Climate change and infectious diseases. Climate change and
human health: risks and responses. World Heal. 103–37.
doi:10.2307/2137486

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia. Jakarta: PDPI Press.

27
Pramudia, A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di
Pantai Utara Jawa Barat Terhadap Kekeringan dan El Nino. Bogor: IPB

Pratiwi, Henny . 2011. Kondisi Dan Konsep Penanggulangan Bencana


Kekeringan Di Jawa Tengah. Artikel disajikan dalam Seminar Nasional
Mitigasi dan Ketahanan Bencana, UNISSULA, Semarang, 26 Juli 2011.

Sitorus, Ronald. 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak. Bandung : Yama


Widya.

Stevana, D.E. 2013. Campak. (Online)


http://eprints.undip.ac.id/43741/3/Bong_Stevana_DE_G2A009108_BAB
II_KTI_(3).pdf, diakses tanggal 28 Oktober 2018

Suharjono. 2018. 122.104 Warga Gunungkidul Terdampak Kekeringan. (Online)


https://daerah.sindonews.com/read/1347577/189/122104-warga
gunungkidul-terdampak-kekeringan-1539946509, diakses pada 27
Oktober 2018

UN-ISDR. 2009. Drought Risk Reduction Framework and Practices. United


Nations International Strategy for Disaster Reduction.

Widayatun dan Zainal, Fatoni. 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi


Bencana; Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 8(1), 43-46

Wilhite, D. A., dan Glantz, M. H. 1985. Understanding the drought phenomenon:


The role of definition. Water International, 10, 111-120.

28

Anda mungkin juga menyukai