Anda di halaman 1dari 165

KUMPULAN KASUS PEDIATRI

dr. Alfan Syahputra Nasution, Sp.BS

Koass angkatan 4

Koass angkatan 5

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

2018
DAFTAR ISI

Halaman
ASMA........................................................................................................................ 4
BRONKIOLITIS AKUT............................................................................................ 16
BRONKOPNEUMONIA........................................................................................... 19
COMMON COLD..................................................................................................... 22
DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK ............................ 25
DENGUE................................................................................................................... 36
DIARE........................................................................................................................ 51
DIARE EPIDEMIK ................................................................................................. 60
DIFTERI.................................................................................................................... 62
ENSEFALITIS........................................................................................................... 67
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCKA STREPTOKOKUS............................. 76
GULAIN BARR SINDROME................................................................................... 79
INFEKSI PADA NEONATUS................................................................................... 83
INFEKSI SALURAH KEMIH.................................................................................. 86
KEJANG DEMAM.................................................................................................... 89
INTOKSIKASI BOTULISME................................................................................... 100
KERACUNAN INSTEKSIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT.......................... 103
KERACUNAN INSTEKSIDA GOLONGAN ORGANOKLORIN......................... 106
KERACUNAN JENGKOL...................................................................................... 108
KERACUNAN KLORPROMAZIN.......................................................................... 110
KERACUANAN MINYAK TANAH........................................................................ 112
KERACUNAN SINGKONG..................................................................................... 115
MALARIA................................................................................................................. 117
MENINGITIS PURULENTA.................................................................................... 140
MENINGITIS TUBERCULOSA.............................................................................. 145
MORBILI................................................................................................................... 150
PAROTITIS EPIDEMIKA ........................................................................................ 154
2
SIFILIS KONGENITAL............................................................................................ 157
SINDROMA NEFROTIK.......................................................................................... 163
TETANUS ANAK ................................................................................................... 167
TETAUS NEONATORUM........................................................................................ 175

ASMA

3
Masalah Kesehatan1
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut:
timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas
fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens
total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).

Hasil Anamnesis (Subjective)1


Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat
mengenai gejala sulit bernapas, mengi atau dada terasa berat yang bersifat episodik dan berkaitan
dengan musim serta terdapat riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Walaupun
informasi akurat mengenai hal-hal tersebut tidak mudah didapat, beberapa pertanyaan berikut ini
sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma :
1. Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?
2. Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
3. Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
4. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah terpajan alergen
atau polutan?
5. Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
6. Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti-asma?

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)1


Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami
serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi di
luar serangan. Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah
usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisis dan respons terhadap pengobatan). Pada kelompok usia ini, tes fungsi paru
atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin

4
dilakukan dalam praktek sehari-hari. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang hanya
menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan
mengi, sesak, dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari yang
rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Beberapa anak menunjukkan
gejala setelah berolahraga.

Pemeriksaan Penunjang
Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Metode yang dianggap merupakan
cara mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan
hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai APE pagi hari terendah dengan
nilai APE malam hari tertinggi. Jika didapatkan variabilitas APE diurnal > 20% (petanda adanya
perburukan asma) maka diagnosis asma perlu dipertimbangkan.

Penegakan Diagnosis (Assessment)2

5
6
7
Asma Stabil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat asma baik,
pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat asma tidak baik,
sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih dulu apakah dosis sudah
adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek
tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis bukan asma perlu dipikirkan.
Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA

Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara
progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau
berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala
lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena memberatnya gejala
biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan
sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari.
Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi

8
virus atau allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan yang
bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.

9
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)2
Asma Stabil
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda terkadang juga disebut sebagai obat pelega atau obat
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang
sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan gejala sudah menghilang, obat ini tidak
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang sering disebut sebagai obat
pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu

10
inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam jangka
waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat penyakit asma dan responsnya terhadap
pengobatan.

Asma Eksaserbasi
Global initiative for asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua
yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau
orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah
menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan
pengobatan di rumah, disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis kerja cepat
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari
pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.

11
12
1. Asma episodik jarang
Cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator - agonis hirupan kerja pendek
(Short Acting B2-Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat hanya apabila perlu saja,
yaitu jika ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana jangka panjang, terlihat bahwa jika
tatalaksana asma episodik jarang sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 4- 6
minggu, tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.

2. Asma episodik sering


Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan
pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
merupakan indikasi penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali. Obat steroid hirupan yang
sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah
steroid hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200
g/hari atau setara dengan flutikason 50-100 g, belum pernah dilaporkan adanya efek samping
jangka panjang. Jika setelah pengobatan selama 8-12 minggu dengan steroid dosis rendah tidak
timbul respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas seharihari),
pengobatan dilanjutkan dengan tahap kedua , yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai
dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana suatu derajat
penyakit asma sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 8-12 minggu, derajat
tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya, jika asma terkendali dalam
8-12 minggu, derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step down). Jika memungkinkan, steroid
hirupan dihentikan penggunaannya. Sebelum melakukan step-up, harus dilakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan penghindaran pencetus, penggunaan obat, serta faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rinitis dan sinusitis.

3. Asma persisten
Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya, mulai dari dosis
rendah sampai dosis tinggi hingga gejala dapat dikendalikan. Pada keadaan tertentu, khususnya

13
pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai
steroid oral jangka pendek (3-5 hari).

Kriteria Rujukan2
1. Asma eksaserbasi sedang-berat
2. Asma tidak terkontrol
3. Asma mengancam jiwa
4. Asma Persisten

Pencegahan3
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran
makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan
bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alergi makanan dan khususnya dermatitis
atopik pada bayi.

Komplikasi3
1. Pneumotoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Gagal napas
5. Bronkitis
6. Fraktur iga

Peralatan3
1. Alat tiup APE
2. Pemeriksaan darah rutin
3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
4. Oksigen

Prognosis3
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan.

14
Referensi
1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2013.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Indonesia IDAI. 2013. Global Initiative for Asthma.
3. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National Institute of Health.
www.ginasthma.com/download.asp?intId=214 . 2014.

15
BRONKIOLITIS AKUT

Defenisi
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang disebabkan oleh
virus. Penyakit ini merupakan suatu sindroma obstruksi bronkiolus yang sering diderita oleh bayi
dan anak kecil yang berumun <2 tahun. Paling banyak ditemukan pada usia 2-24bulan,
puncaknya pada usia 2-8 bulan. Virus yang umum menyebabkan bronkiolitis akut pada anak
meliputi respiratory syncytial virus (RSV), human metapneumovirus, adenovirus, (para)-
influenza virus, rhinovirus dan coronavirus. Penyebab lainnya antara lain denovirus, virus
influenza, virus paraifnluenzrhinovirus dan mikoplasma.1,2

Gambaran Klinis
-
Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas disertai dengan wheezy cough
yang bersifat kering dan pilek untuk beberapa hari.
-
Biasanya tanpa disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris tapi bisa tinggi
-
Anak mulai mengalami sesak napas yang semakin lama semakin hebat.
-
Mengi (yang tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat)
-
Pernapasan dangkal dan cepat (takipnea yang ringan hingga terjadi gagal napas) disertai
dengan serangan batuk.
-
Pernapasan cuping hidung disertai retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal.
-
Anak gelisah, merintih dan sianotik juga sulit makan, menyusu atau minum.
-
Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi supersonor, auskultasi dapat ditemukan suara napas
normal atau ekspirasi memanjang disertai dengan wheezing dan crackles.
-
Ronki nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir ekspirasi atau pada permulaan
ekspirasi.
-
Pada keadaan yang sesak sekali, suara pernapasan hampir tidak terdengar karena
kemungkinan obstruksi hampir total.1,2

Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran khusus yang khas seperti tersebut di atas.
Keadaan ini harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda.
Anak dengan asma akan memberatkan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator
sedangkan bronkiolitis tidak.

16
Pengobatan dan Penatalaksanaan
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limitingsehingga pengobatan biasanya hanya suportif.1
1. Anak ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang tinggi sebaiknya dengan
uap dingin untuk mencairkan sekret bronkus yang liat dapat juga diberi pengobatan inhalasi.
2. Oksigen meskipun belum terdapat keadaan sianosis. Metode yang direkomendasikan adalah
dengan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 –
40%.1
3. Koreksi kebutuhan cairan dan elektrolit. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan
rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung
dapat menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru
oleh lambung yang terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena
perlu pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.1
4. Antibiotika spektrum luas→ bila dicurigai terdapat infeksi bakterial
bila dicurigai Mycoplasma pneumonia→ eritromisin
5. Antivirus. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita
bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin
biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam
per hari selama 3-7 hari.
6. Sedativa→ tidak diperkenankan karena dapat menimbulkan depresi pernapasan.
7. Bronkodiltor→ kontraindikasi oleh karena dapat memperberat keadaan anak.
8. Bila dianggap perlu dapat diberikan kloral hidrat (short term sedative/ hipnotik).
Dosis: neonatus: 25 mg/kgBB/dosis
Bayi dan anak-anak: 25-100 mg/kgBB/dosis.
Dosis dapat diulang setiap 6-8 jam.
9. Jika anak demam (≥ 39º C) yang tampak menyebabkan distres, berikan parasetamol.

Referensi
1. Junawanto, Irwan; Goutama, Ivon Lestari ; Sylvani. Diagnosis dan Penanganan Terkini
Bronkiolitis pada Anak. Jurnal CDK-241 vol. 43 no.6 hal 472-430th. 2016
2. Nadhifanny, N. Dearasi Deby; Perdani, Roro Rukmi Windi. Nebulisasi NaCl 3% Lebih
Efektif daripada NaCl 0,9% pada Bronkiolitis Akut. Jurnal Majority Volume 6 Nomor 3
Hal 136-141. Juli 2017

17
BRONKOPNEUMONIA

Bronkopneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstitial. Terdapat sumbatan oleh eksudat mukopurulen, yang membentuk bercak
konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder yang biasanya menyertai
penyakit ISPA (Infeksi Salurann Pernapasan Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang
melemahkan daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak
dan orang tua. Berdasarkan klasifikasi anatomisnya, bronkopneumonia disebut juga dengan
pneumonia lobaris.1,2
Penyebab tersering pneumonia bakterial adalah S. pneumonia. Virus lebih sering
ditemukan pada anak <5 tahun dan respiratory syncytial virus (RSV) merupakan penyebab
tersering pada anak <3 tahun. Virus lain penyebab pneumonia meliputi adenovirus, parainfluenza
virus, dan influenza virus. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia lebih sering
ditemukan pada anak >10 tahun. Sementara itu, bakteri yang paling banyak ditemukan pada apus

18
tenggorok pasien usia 2-59 bulan adalah Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, dan
Hemophilus influenza.3

Kriteria Diagnosis
-
Selalu didahului gejala infeksi saluran pernapasan atas dalam beberapa hari seperti batuk dan
pilek.
-
Suhu meninggi (bila tiba-tiba menjadi 39°С– 40°С).
-
Sesak napas (cepat dan dangkal).
-
Anak menjadi sangat gelisah.
-
Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
Pada Pemeriksaan Fisik
-
Pernapasan cuping hidung
-
Sianosis sekitar hidung dan mulut
-
Retraksi sela iga
-
Ronki basah gelembung kecil/ sedang (crackles)

Pemeriksaan Laboratorium
-
Lekositosis, pergeseran ke kiri (shift to the left)
-
LED meningkat
-
Gangguan elektrolit

Terapi
1. Beri oksigen
2. Atasi dehidrasi, koreksi cairan, kalori dan elektrolit serta asidosis metabolik.
3. Antibiotika polifragmasi selama 7-10 hari.
a. Penisilin 50.000 Iu/kgBB/hari atau
b. Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis ditambah dengan
c. Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis atau
d. Gentamisin dosis 5-7 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Catatan
-
Terapi bronkopneumoni merupakan kombinasi antibiotik untuk gram(+) dengan yang poten
terhadap gram(-).
Contoh: - Ampicillin + kloramfenikol
- Ampicillin + Gentamisin
-
Untuk anak usia <3 bulan maka untuk gram(-) digunakan gentamisin.
-
Jika setelah 3 hari tidak ada respons yang baik maka diganti dengan golongan sefalosporin.
Misal sefalosporin generasi III yang sangat aktif terhadap bakteri gram(+) dan gram (-).
a. Injeksi Cefotaxime
Dosis: 150 mg/kgBB/hari IM atau IV dibagi dalam 3-4 dosis

19
Neonatus ≤7 hari: 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Neonatus >7 hari bila *BB <1,2 kg: 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
*BB >12 kg: 150 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
b. Injeksi Ceftriaxon IM atau IV
Dosis neonatus: 50-75 mg/kgBB single dose
Anak-anak: 50-75 mg/kgBB single dose
Diet: bila sesak maka puasa, setelah sesak menurun→ NGT.

Referensi
1. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan
Terapi.Surabaya.
2. Departemen Kesehatan RI. 2002.Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.4. Jilid I. Jakarta:
Penerbit Media Aesculapius; 2014.

COMMON COLD

20
Influenza disebut Common Cold atau Selesma bila gejala lebih menonjol, sementara
influenza dimaksudkan untuk kelainan yang disertai Faringitis dengan tanda demam dan lesu
yang lebih nyata

Gejala Klinis
1. Gejala Subjective:
a. Demam
b. Sakit kepala
c. Sakit otot dan sakit sendi
d. Batuk dan pilek (Hidung tersumbat, bersin dan ingus encer)
e. Anoreksia
f. Sakit menelan dan suara serak
2. Gejala objective
a. Tenggorokan hiperemis
b. Konka sembab dan hiperemis
c. Sekret yang dapat bersifat serous, seromucus, atau mukopurulen bila ada infeksi
sekunder.

Penatalaksanaan
a. Terapi Non-farmakologi
Terapi tanpa obat yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan gejala awal
Common Cold yaitu dengan cara(3) :
• Minum banyak air putih
• Mengkonsumsi makanan kuah sup ayam
• Perbanyak istirahat
• Atur suhu dan kelembapan udara di ruangan
• Berkumur dan minum air garam
• Menggunakan saline nasal drop yang dijual bebas di apotek
• Jika dirasa gejala yang muncul sangat mengganggu aktivitas maka, penggunaan
obat Overthe-Counter (OTC) atau obat yang bisa dibeli bebas di apotek dapat
menjadi alternatif kedua, konsultasikan tanda dan gejala penyakit awal anda
kepada Apoteker di apotek untuk pemilihan obatOTC yang tepatdan rasional.1
b. Medikamentosa
1. Simtomatik
1. Antipiretik
 Paracetamol dosis 3x500 mg
 Asetosal dosis 3x500 mg
2. Nasal dekongestan dan untuk Rhinorhoe
 Efedrin dosis 3x10 mg
 Pseudoefedrin dosis 3x30 mg
 Fenilpropanolamin dosis 3x15-25 mg

21
3. Untuk batuk kering yang mengganggu –> antitusive
 Dextrometorphan HBr dosis 3x10-15 mg
 Codein HCl dosis 3x8 mg
2. Antibiotika –> bila infeksi sekunder (+)
Drug of choice
1. Amoksisilin dosis 3x500 mg perhari
2. Eritromisin dosis 4x500 mg perhari

Komplikasi

Pneumonia bacterial oleh S. Pneumonia atau H. Influenza dan Staph. Aureus dengan gejala
klinis

a. Batuk-batuk kering berubah menjadi batuk yang productive yang terkadang dapat
mengandung bercak-bercak merah atau coklat
b. Demam dan sakit dada (sesak napas)
c. Diare
d. Hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi
Infeksi sekunder yang berat sekali dikenal sebagai pneumonia stafilokok fulminans.
Pengobatan dengan memberikan antibiotika tahan β laktamase dan corticosteroid
dosis tinggi.
Misal: Co amoxiclav (amoxicillin+clavulanic acid) dosis 3x500 mg

OBAT-OBAT BATUK

Prinsip pengobatan

1. Infeksi saluran pernapasan akut


a. Pada bayi dan anak-anak sering oleh karena virus sehingga tidak memerlukan
antibiotik
–>Beri antibiotika bila batuk menetap >10 hari dan sputum purulen
b. Batuk oleh karena post nasal drip atau Rhinitos alergika
–>Beri antihistamin dan dekongestan
c. Pada hipersekresi mucus–> jangan beri antitusive
2. Batuk oleh karena merokok –> stop rokok dan beri antitusive
3. Batuk rejan (pertusis) –> Beri antitusive
Antitusive
Indikasi:

1. Batuk nonproductive dan iritative

22
2. Mengganggu pekerjaan atau tidur
3. Batuk hebat dan berbahaya misalnya pada Hemoptoe
Kontraindikasi:

1. Penyakit paru supurative


2. Hipersekresi lender
a. Antitusive golongan narkotika
Codein dosis 3-4 x 10-20 mg hari (max 60 mg perhari)
b. Antitusive golongan non narkotika
1. Dextrometorphan HBr
Dosis 3-4x10-30 mg perhari (max 60 mg perhari)
2. Difenhidramin
Dosis 3-4x12,5 mg perhari (max 75 mg perhari)
3. Benzonatate (Benadryl)
Dosis 3x25-50 mg (max 150 mg perhari)
c. Ekspektoran–>merangsang batuk
Indikasi :
1. Batuk productive
2. Sputum yang kental dan tebal
 Gliceril Guaiacolat (Guaifenesin)
Dosis 4-6x50-100 mg (max 600 mg perhari)
 Pelembab, contoh : OBH dan OBP
d. Mukolitik
Indikasi :
1. Bronkitis kronis
2. Asma bronchiale
 Bromhexin (Bisolvon, Mucosolvan)
Dosis 3x8 mg perhari
 Ambroxol
Dosis 3x30 mg perhari
 N. Acetylsistein (Fluimucyl)
Dosis 2x200-600 mg perhari (1 bungkus : 100 mg)

Referensi

1. Terapi Herbal dan Alternatif pada Flu Ringan atau ISPA non-spesifik. Majalah
Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran,Sumedang, Jawa Barat, Indonesia
vol.1 No.2, 2016

DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK

23
Defenisi
Demam rematik adalah sindroma klinis yang menyertai faringitis akibat infeksi β
Sterptococcus hemolitikus grup A, dengan satu tau lebih gejala mayor yaitu Paliartritus migrans
akut, kanditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit jantung reumatik
adalah gejala sisa berupa cacat pada katup akibat demam reumatik sebelumnya.

Gambaran Klinis
Perjalanan klinis penyakit demam rematik/ penyakit jantung rematik dapat dibagi dalam
4 stadium.

Stadium I
Berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman β Streptococcus hemolyticus grup A.
Keluhannya berupa:
a. Demam
b. Batuk
c. Rasa sakit waktu menelan
d. Tidak jarang disertai muntah dan pada anak kecil dapat terjadi diare
e. Pada pemeriksaan fisik:
 Sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya
 Kelenjar getah bening submandibular sering sekali membesar
→ biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (biasanya ISPA
terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam rematik/ penyakir jantung rematik).

Stadium II (periode laten)


Ialah: Masa antara infeksi Streptococcus β hemolyticus dengan permulaan gejala rematik
baiasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea dapat timbuk 6 minggu atau
bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium III

24
Ialah: Fase akut demam rematik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam rematik/
PJR. Manifestai klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan
manifestasi spesifik demam rematik/ PJR.
a) Gejala Peradangan Umum (gejala minor)
1. Demam tidak tinggi tanpa pola tertentu
2. Lesu, anoreksia, lekas tersinggung dan BB tampak menurun
3. Anaka terlihat pucat karena anemia akibat tertekannya eritropoesis, bertambahnya
volume plasma dan memendeknya umur eritrosit
4. Dapat terjadi epitaksis
5. Astralgia (rasa sakit sekitar sendi) selama beberapa hari atau minggu→ meningkat bila
beraktivitas
6. Sakit perut yan hebat yang bisa menyerupai apendisitis akut→ respon cepat dengan
salisilat

Pemeriksaan Laboratorium
1. Leukositosis, LED meningkat, C-reactive protein (+)
2. Titer ASTO meningkat (80% kasus)
3. EKG→ pemanjangan interval P-R (blok AV derajat I)anpa

Manifestasi Spesifik (gejala mayor)


1. Artritis (poliartritis migrans akut)
Biasanya mengenai sandi-sendi besar (lutut, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan)
dapat timbul bersamaan tetapi lebih sering bergantian/ berpindah-pindah. Yang mencolok
adalah rasa nyerinya, yang kelihatan tidak proporsional dengan kelainan obyektif yang
ada dimana rasa nyeri dapat sedemikian hebat sehingga terkena selimutpun penderita
tidak tahan. ↓
Kelinan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari-
1 minggu. Dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu tanpa gejala
sisa apapun.

2. Karditis
Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang dapat mengenai endokardium,
miokardium atau perikardium. Karditis merupakan gejala mayor terpenting, karena hanya
karditislah yang dapat meninggalkan gejala sisa, terutama kerusakan katup jantung.
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% kasus. Seorang

25
penderita demam reumatik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu atau lebih
tanda-tanda berikut
Bunyi jantung melemah dengan irama depa diastolik.
Gejala-gejala dini karditis ialah:
 Rasa lelah
 Pucat
 Tidak bergairah
 Anak tampak sakit yang bisa sampai beberapa minggu meskipun belum ada gejala-
gejala spesifik
Seorang penderita demam rematik dikatakan menderita karditis bila ditemukan satu
atau lebih tanda-tanda berikut:
a) Bunyi jantung melemah dengan irama derap diastolik.
b) Terdengar bising yang semula tidak ada yaitu berupa bising apikal, bising middiastolik
apikal atau bising diastolik basal atau terdapat perubahan intensitas bising yang semula
sudah ada atau bertambahnya bising yang bermakna pada penderita yang tadinya sudah
pernah menderita demam reumatik/ PJR.
c) Kardiomegali, terdapat gambaran pembesaran ventrikel kiri pada rontgen foto dada pada
penderita tanpa demam reumatik sebelumnya atau bertambahnya pembesaran jantung
yang nyata pada penderita yang pernah mengalami PJR sebelumnya.
d) Perikarditis
o Biasanya diawali dengan rasa nyeri di sekitar umbilicus akibat penjalaran nyeri
bagian tengah diafragma.
o Friction rub, efusi perikardial dan kelainan pada EKG.
e) Gagal jantung kongestive pada anak-anak atau dewasa muda tanpa sebab lain.

3. Korea Sydenham
Ialah: gerakan cepat, bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan, seringkali disertai
kelemahan otot tanpa disertai manifestasi neurologis lain.
4. Eritema Marginatum
Berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya
berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang tanpa indurasi dan tidak gatal. Bila
ditekan lesi akan menjadi puca. Tempatnya dapat berpindah-pindah, dikulit dada dan
bagian dalam lengan atas atau paha tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka.
5. Nodul Subkutan

26
Nodul ini terletak di bawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran
antara 3-10 mm. Biasanya terdapat dibagian ekstensi persendian terutama sendi siku,
lutut, pergelangan tangan dan kaki, daerah oksipital dan di atas prosessus spinosus
vertebra torakalis dan lumbalis. ↓
- Timbul beberapa minggu setelah serangan akut demam rematik
sehingga arti diagnostik tidak berapa penting.
- Sering dianggap sebagai prognosis yang buruk sebab seringkali
disertai karditis yang berat.

Stadium IV (stadium inaktive)


Pada stadium ini penderita demam rematik tanpa kelainan jantung atau penderita PJR tanpa
gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa→ sewaktu-waktu dapat mengalami
reaktivasi penyakitnya.

Diagnosis
Kriteria Jones untuk Diagnosis
Demam Reumatik Akut
Manifestasi Mayor Manifestasi Minor

Karditis Klinis:

Poliartritis a.) Demam


b.) Artralgia
Korea c.) Pernah menderita demam rematik
Laboratorium:
Eritema marginatum
 Reaksi fase akut
o LED meningkat

27
Nodul subkutan o C-reaktive protein (+)
o Leukositosis
 Interval RR memanjang

(EKG : PR interval memanjang)


Ditambah
Bukti terdapat infeksi streptococcus sebelumnya (ASTO atau antibakteri lain meningkat,
biakan usap tenggorokan menunjukkan terdapatnya Streptococcus β hemolyticus grup A,
atau Scarlet Fever yang baru saja terjadi).

Terdapatnya 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor


menunjukkan kemungkinan besar suatu demam rematik. Terdapatnya bukti infeksi streptococcus
sebelumnya sangat menyokong diagnostik. Bila bukti ini tidak ada, diagnosis diragukan kecuali
bila terdapat korea minor atau karditis yang menahun.

Perawatan dan Pengobatan


1. Eradikasi Kuman Streptococcus β hemolyticus grup A
Jenis Cara Dosis Frekuensi/ Lama Pemberian
Pemberian

a.) Benzathin IM 1,2 juta IU 1 kali


Penisilin G
b.) Prokain
Penisillin
c.) Penisilin V
IM 600.000 IU 1-2 kali sehari selama 10 hari
d.) Eritromisin

Oral 250.000 IU 3 kali sehari selama 10 hari

Oral 12-250 mg 4 kali sehari selama 10 hari

→Tetrasiklin dan Sulfa tidak dipergunakan untuk eradikasi kuman Streptococcus.


2. Obat Anti Inflamasi
Yang dipakai secara luas adalah Salisilat dan Steroid. Keduanya efektif untuk mengurangi gejala
demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Kedua obat ini tidak mengubah lamanya serangan
demam rematik maupun akibat selanjutnya.

28
1-2 minggu
1 minggu
2 minggu
Bila hasil Lab normal

2 minggu
Arthritis Karditis Ringan tanpa Karditis Berat,
2 minggu Kardiomegali Kardiomegali, Gagal
Jantung

Salisilat 100 mg/kgBB/hari Salisilat 100 mg/kgBB//hari Prednison 2 mg/kgBB/hari


(rata-rata 4x10 mg/hari)
↓ ↓

75 mg/kgBB/hari 75 mg/kgBB/hari teruskan
sampai 6-8 minggu (terapi 3x10 mg/hari

total selama 12 minggu.

50 mg/kgBB/hari diteruskan
minimal selama 6 minggu. 4x5 mg/hari

3x5 mg/hari

dan mulai diberikan Salisilat


dengan dosis 75-50
mg/kgBB/hari dan
dilanjutkan beberapa minggu
setelah steroid dihentikan
(sampai 6-12 minggu). Dosis
Prednison tetap diturunkan
setiap minggu.

Catatan:
 Pada pemberian Salisilat jangan diberikan antasida untuk mengurangi rangsangan terhadap
lambung, karena akan mengurangi absorbsi Salisilat sehingga kadar terapeutik tidak
tercapai→ lebih baik dipakai tablet bersalut dan diminum setelah makan.
 Bila terdapat tanda intoksikasi Salisilat (nausea, muntah, takipneu, tinnitus) hentikan obat
selama 1-2 hari kemudian mulai diberikan lagi dengan dosis lebih kecil.

29
 Pada pemberian Steroid, seringkali terjadi Fenomena Rebound setelah obat dihentikan yang
bermanifestasi sebagai timbulnya kembali gejala-gejala perdangan akut: untuk mencegah hal
ini dilanjutkan beberapa minggu setelah steroid dihentikan (6-12 minggu).

3. Diet
Cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Dapt ditambahkan vitamin dan
bila terdapat gagal jantung→ diet gagal jantung.
4. Istirahat dan Mobilisasi
Artritis Karditis Karditis Karditis
Minimal tanpa dengan
Kardiomegali Kardiomegali

Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan

Mobilisasi bertahap di 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan


ruangan

Mobilisasi bertahap di luar


3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau
ruangan
lebih

Semua kegiatan
Bervariasi
Sesudah 6-8 Sesudah 10 Sesudah 6
minggu minggu bulan

Penderita kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan
olahraga yang bersifat kompetisi fisis.
5. Obat-Obat Lain
Sesuai kebutuhan misalkan pengobatan terhadap gagal jantung bila terdapat gagal jantung.
Pencegahan Reaktivasi
1. Profilaksis Primer

30
Ialah: Pengobatan yang adekuat terhadap semua penderita ISPA akibat Streptococcus β
hemolyticus grup A (terutama yang berusia 5-15 tahun). Jenis obat, cara pemberian dan
dosisnya sama dengan untuk eradikasi kuman pada pengobatan demam rematik akut.
2. Profilaksis Sekunder
Mulai diberikan pada hari ke 11 perawatan yaitu setelah program eradikasi terhadap kuman
Streptococcus β hemolyticus grup A selama 10 hari selesai.
Lama pemberian bervariasi: umumnya minimal 5 tahun setelahh serangan pertama. Ahli yang
lain menganjurkan sampai umur 15 tahun bila tanpa kelainan jantung dapat juga diberikan
seumur hidup.
Jenis Obat yang Diberikan
a.) Penisilin Benzathin-G
Dosis: 1,2 juta satuan sekali sebulan diberikan secara intramuscular.
b.) Penisilin Oral
Penisilin V dengan dosis: 2x 1 tablet (@ 200.000 satuan) perhari.
c.) Sulfadiazin 2x 500 mg perhari
d.) Eritromisin 2x 250 mg perhari untuk penderita yang alergi terhadap Penisilin dan Sulfa.

Pencegahan terhadap Endokarditis Bakterialis


Setiap penderita PJR tenang dengan gejala sisa kelainan jantung harus dicegah terjadinya
endocarditis bacterialis dimana bakterimia dapat terjadi segera setelah tindakan beda seperti:
1. Ekstraksi gigi/ bedah mulut
2. Tonsiloadenoidektomi
3. Bronkoskopi
4. Operasi saluran pencernaan bagian bawah dsb.
Dalam tindakan-tindakan tersebut diberrikan antibiotika profilaksis sebagai berikut
a) Penisilin prokain 600.000 unit, intramuscular diberikan 1-2 jam sebelum tindakan dan 2
hari berturut-turut sesudah tindakan.
b) Penisilin oral (Penisilin V)
Cara: 1 tablet sebelum tindakan kemudian dilanjutkan 4x 1 tablet perhari sampai 2 hari
sesudah tindakan.
c) Bila sensitive terhadap PNC dapat diberikan eritromisin
d) Pada tindakan terhadap saluran kemih, saluran pencernaan bagian bawah dan persalinan
dikuatirkan bakterimia oleh bakteri gram negative ↓
Tambahkan Streptomisin 50 mg/kgBB/hari
(maksimum 1 gram) sampai 2 hari pasca tindakan.
Dan bila sensitive dapat diganti dengan Gentamisin

31
dengan dosis 6-7 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis.

Tambahan : dari buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, WHO

32
DENGUE

Definisi
Suatu infeksi arbovirus (antropod-borne virus) akut, ditularkan oleh nyamuk spesies aedes.

Gejala klinis
Demam Dengue
Masa tunas berkisar 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari, permulaan penyakit biasanya mendadak.
Gejala Piodormal meliputi:
1. Demam tinggi mendadak terus menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
2. Nyeri kepala
3. Nyeri berbagai bagian tubuh (dibelakang bola mata, punggung, sendi, otot)
4. Anoreksia
5. Menggigil
6. Malaise
Pada umumnya ditemukan Sindrom Trias :

33
1. Demam tinggi
2. Nyeri pada anggota badan
3. Timbulnya ruam yang biasa timbul 5-12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali yaitu pada
hari ke-3 sampai ke-5 dan biasanya berlangsung 3-4 hari.
Ciri-ciri Ruam
1. Bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan.
2. Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan menyebar ke anggota gerak dan
muka.

Gejala penyerta lain


1. Kurva demam seperti pelana kuda (bifasik) (tidak patognomonik)
2. Anoreksi
3. Abstipasi
4. Perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek (sering
terjadi)
5. Perubahaan dalam indera pengecap
6. Fotopobia
7. Keringat yang bercucuran
8. Suara serak
9. Batuk
10. Epistkasis
11. Disuria
12. Castelani Sign : Pembesaran kelenjar getah bening, servikal (merupakan tanda patognomik)
13. Manifestasi perdarahan tidak sering terjadi.
Bentuk perdarahan yang lain yang dilaporkan :
1. Menoragi
2. Menstruansi dini
3. Abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah pada wanita hamil yang menderita.

Komplikasi Virus Dengue

Demam Dengue

 Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
Demam Berdarah Dengue


Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

34

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.

Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
cairan pada masa perembesan plasma

Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat (DIC,
kegagalan organ multipel)

Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan
dan terapi cairan yang tidak sesuai. 2,3

Kriteria klinis

o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus


selama 2-7 hari Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
o Pembesaran hati
o Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
o Trombositopenia (<100.000/mm³) biasanya ditemukan pada hari ke 2 atau 3,
terendah pada hari ke 4-6, sampa i hari ke 7-10 sakit.
o Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%)
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu

1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi


2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma dengan
derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
3. Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti
disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.
Fase demam

Anamnesis Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam.
Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Fase kritis

35
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,

o Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar


o Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
o Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /
o Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang
(>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
o Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera
diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus
bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. . 1,2-3

Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011. 3

36
Sumber : World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO, 2011

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht),


jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1

Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada
akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel
limfosit secara relatif meningkat.4

Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya trombosit terjadi


sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit
<100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.1,4

37
Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu
dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Nilai hematokrit juga
dipengaruhi oleh penggantian cairan dan perdarahan.1,4

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.1

Pemeriksaan Radiologi

Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi pleura,
terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.5

Gambar Gambaran Radiologi Efusi pleura

Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan
isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uj i etiologi,
yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan
tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif
mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.5

38
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer
dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.

Kriteria dengue berat :


o Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan
distress pernafasan.
o Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinis
o Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan
jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun
banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini
sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.2

Penatalaksanaan

Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DF dapat berobat jalan
sedangkan pasien DHF dirawat diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DHF dengan
komplikasi diperlukan perawatn intensif. Fase kritis umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi banyak minum, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh
dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, beri cairan
rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan
bila perlu surface cooling dengan kompres es. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi
demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.7

39
Pemberian cairan intravena pada pasien DHF tanpa renjatan dilakukan bila pasien terus-
menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau didapatkan nilai
hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%). Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam
1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan
diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan
NaCl 0.9% + glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat). 8Terapi cairan intravena terdiri dari
cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah
larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa,
sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa.
Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan mengisi intravaskular, sedangkan
cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan ekstraselular
(interstisial)Koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai
berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Seperti disebutkan sebelumnya,
koloid adalah molekul besar yang tidak melintasi hambatan diffusional secara mudah seperti
kristaloid. Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, yang tidak
mengandung molekul besar. Dalam waktu yang singkat, kristaloid sebagian besar akan keluar
dari intravaskular . 6

40
Bagan Penanganan pada Tersangka DBD

Sumber : Departemen kesehatan Republik Indonesia dikrtorat jendral pemberantasan


penyakit menular dan kesehatan lingkungan 2004

Prinsip terapi DHF/DSS


Pengobatan bersifat suportif, mengatasi peningkatan permeabilitas kapiler dan
perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DHF terletak keberhasilan mendeteksi dini fase kritis yaitu
pada fase defervescence (biasanya pada hari sakit 3-5 di mana terjadi perembesan plasma). Pada
DD saat ini merupakan tanda penyembuhan sementara pada DHF merupakan saat kritis karena
dapat merupakan awal fase syok. Penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid isotonik.

41
Bagan 2. Penanganan Pada DBD derajat I dan II

Sumber : Departemen kesehatan Republik Indonesia dikrtorat jendral pemberantasan


penyakit menular dan kesehatan lingkungan 2004

DBD Derajat I dan II :

1. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaCl 0,9%
atau Dekstrosa 5% dalam RL/NaCl 0,9% 6-7ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital, kadar Ht
dan trombosit tiap 6 jam.

42
2. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, tekanan darah dan nadi stabil,
diuresis cukup, Ht cendrung menurun minimal dalam 2X pemeriksaan berturut-turut
maka tetesan dukurangi mejadi 5ml/KgBB/jam. Bila dalam observasi selanjutnya tetap
stabil kurangi tetesan menjadi 3ml/KgBB/jam, kemudian evaluasi 12-24 jam bila stabil
dalam 24-48 jam cairan dihentikan.

3. Sepertiga kasus jatuh dalam keadaan syok, bila keadaan klinis tidak ada perbaikan,
gelisah, nafas dan nadi cepat, diuresis kurang dan Ht meningkat maka naikkan tetes
menjadi 10ml/kgBB/jam. Bila dalam 12 jam belum ada perbaikan klinis naikkan menjadi
15ml/KgBB/jam dan evaluasi 12jam lagi. Apabila nafas lebih cepat, Ht naik dan tekanan
nadi < 20 mmHg maka berikan cairan koloin 20-30 ml/KgBB/jam, namu bila Ht
menurun, berikan transfusi darah segar 10ml/KgBB/jam, Bla keadaan membaik berikan
cairan6

43
Bagan 3. Penanganan pada DBD derajat III dan derajat IV (Sindrom Syok
Dengue/SSD)

Sumber : Departemen kesehatan Republik Indonesia dikrtorat jendral pemberantasan


penyakit menular dan kesehatan lingkungan 2004

44
DBD Derajat III dan IV atau kasus Sindrom Syok Dengue (SSD) :

1. Segera infus kristaloid (Ringer Laktat,Ringer Asetat, atau NaCl 0,5%) 20ml/KgBB dalam
waktu 30 menit (Bolus) dan Oksige 2 liter/menit. Untuk SSD berat (Derajat IV) berikan
RL dan 20 ml/KgBB/jam dan kolod. Observasi tensidan nadi tiap 15 menit, Ht dan
trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Setelah 30 menit syok belum teratasi, lanjutkan Rl 20ml/KgBB dan tambah plasma (fresh
Frozen plasma) atau koloid (Dekstran 40) sebanyak 10-20ml/KgBB, maksimal
30ml/KgBB. Observasi keadaan umum dan tanda vital tiap 15 menit dan periksa Ht,
trombosit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.

3. Bila syok teratasi serta Hb/Ht turun, tek nadi >20mmHg, nadi kuat, kurangi tetesan jadi
10ml/KgBB/jam. Pertahankan sampai 24 jam atau klinis membaik dan Ht turun <40%.
Lalu turunkan cairan 7ml/KgBB hingga klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap
turunkan 5ml hingga 3ml/KgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak lebih 48 jam
setelah syok teratasi. Obsrvasi klinis, tanda vital, tiap jam, usahakan urin
>1ml/KgBB/jam dan pemeriksaan Ht dan trombosit 4-6 jam sampai keadaan membaik.

4. Bila syok belum teratasi dan Ht belum turun (Ht>40%), berikan darah dalam volume
kecil 10ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20ml/KgBB
dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/KgBB/jam.

Terapinya bersifat simtomatik dan suportif sesuai bagan di atas dengan urutan sbb:

1.Pemantauan

- Tanda-tanda vital dicatat tiap 15-30 ‘ atau lebih sering sampai syok dapat teratasi

- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan pasien stabil

-Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,jumlahdan


tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah cukup

- Jumlah dan frekuensi diuresis harus dicatat. Kadar elektrolit harus dipantau.6

45
Indikasi Pulang Pasien DBD

Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut:


Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari. 3

Pencegahan

Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara yang paling
memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor :

1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah adalah malathion
untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan temephos (abate) untuk membunuh
jentik (larvasida).

2. Tanpa insektisida
 Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal sekali
seminggu.
 Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda lain yang
memungkinkan nyamuk bersarang.
 Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.

46
Diagnosa Banding
Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti
demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam cikungunya , leptospirosis, dan malaria.
Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi membedakan DHF dari penyakit
lain. Diagnosis banding lain adalah sepsis, meningitis meningokok, Idiophatic Trombositopenic
Purpura (ITP), leukemia, dan anemia aplastik.
Demam cikungunya (DC) sangat menular dan biasanya selruh keluarga terkena dengan
gejala demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tingi, hampir selalu diikuti
dengan ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi
uji bendung positif, petekie, epistaksis hampir sama dengan DHF. Pada DC tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
Pada hari-hari pertama, ITP dibedakan dengan DHF dengan demam yang cepat
menghilang dan tidak dijumpai hemokonsentrasi, sedangkan pada fase penyembuhan jumlah
trombosit pada DHF lebih cepat kembali.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia dan anemia aplastik. Pada leukemia, demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pada anemia aplastik anak
sangat anemis dan demam timbul karena infeksi sekunder.7
Prognosis`
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat
secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien
dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1%
kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif.
Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau
perdarahan intrakranial .7

47
Referensi

1. Sudjana P. Buletin jendela epidemiologi demam berdarah dengue. Vol 2. Jakarta : Pusat
Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010.h.21-8.
2. World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. France : WHO, 2009.p. 25-106.

3. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of


dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO,
2011.h. 17-56.
4. Kliegman RM, Stanton BMD, et all. Nelson textbook of pediatrics. 19 th edition. Canada :
Elsevier Saunders,2011.p.1092-4.
5. Soedarmo SSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.h.155-81.
6. Dapertemen kesehatan Republik Indonesia dikrtorat jendral pemberantasan penyakit
menular dan kesehatan lingkungan 2004
7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2004). Demam Berdarah Dengue, Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
Tatalaksana Kasus DBD, FKUI, Jakarta.

DIARE

Definisi1
1.Defekasi encer dengan frekuensi ≥ 3x/hari dengan atau tanpa darah/lendir.
2.Buang air besar dengan feses tidak berbentuk.

48
3. Diare < 2 minggu = diare akut
4. Diare > 4 minggu = diare kronik

Etiologi1
1. Virus : Beberapa jenis virus penyebab diare akut antara lain Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9
pada manusia, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small bowel structured
virus, Cytomegalovirus
2. Bakteri : Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC),
Enteroaggregative E. coli (EAggEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enterohemorrhagic E.
coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni (Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae 01,
dan V. choleare 0139, Salmonella (non-thypoid).
3. Protozoa : Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Microsporidium spp.,
Isospora belli, Cyclospora cayatanensis
4. Helminths : Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria philippinensis, Trichuris
trichuria.
5. Infeksi : Diare oleh karena infeksi yang disebut gastroenteritis.
6. Non Infeksi : Hormonal, alergi, kelainan anatomi dan sebagainya.

Klasifikasi dan Patofisiologi1


Diare infeksi akut diklasifi kasikan secara klinis dan patofi siologis menjadi diare non inflamasi
dan diare infl amasi. Diare infl amasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan
manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala klinis berupa mulas
sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.
Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan atau darah, mikroskopis didapati
sel leukosit polimorfonuklear.

Diagnosis1
Pendekatan umum diare akut infeksi bakteri:
 Pemeriksaan sitematik dan cermat, tanyakan riwayat penyakit, latar belakang dan
lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat perjalanan,
pemeriksaan fi sik, dan pemeriksaan penunjang.
 Riwayat pasien meliputi onset, durasi, frekuensi, progresivitas, volume diare, adanya
buang air besar (BAB) disertai darah, dan muntah. Selain itu, perlu diketahui riwayat

49
penggunaan obat, riwayat penyakit dahulu, penyakit komorbid, dan petunjuk
epidemiologis
 Pemeriksaan fi sik meliputi berat badan, suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi napas,
tekanan darah, dan pemeriksaan fisik lengkap.
 Pendekatan umum diare akut infeksi bakteri, baik diagnosis maupun terapeutik, dapat
dilihat pada gambar

50
51
Tanda Gejala yang Memerlukan Evaluasi Lanjutan1

Temuan riwayat dan pemeriksaan fisik:

• Demam > 38° C


• Nyeri abdomen berat, terutama pada pasien usia di atas 50 tahun
• Riwayat perawatan rumah sakit
• Berada di panti jompo
• Riwayat penggunaan antibiotik
• Disentri (darah dan mukus di tinja)
• > 6 kali buang air besar dalam waktu 24 jam
• Gejala memburuk setelah 48 jam
• Gejala dehidrasi berat (using, haus berat, penurunan jumlah urin)
Penggantian cairan dan elektrolit

Aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit
selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, yang harus dilakukan pada semua
pasien, kecuali jika tidak dapat minum atau diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan
hidrasi intavena. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5
gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air.
Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan,
dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi
oral sesegera mungkin. Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar
Penilaian Dehidrasi
Penilaian Tanpa Dehidrasi Ringan Sedang Dehidrasi Berat

Lihat

Keadaan Umum Baik, Sadar Gelisah, Rewel Lesu lunglai atau tidak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung dan kering

Air Mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut dan Lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum biasa (tidak Haus Tidak mau minum


haus)

52
Periksa turgor Kembali cepat Kembali Kembali sangat lambat
lambat

Tanda kunci penilaian dehidrasi


1. Penilaian dilakukan dari kanan ke kiri.
2. Penderita didiagnosa dehidrasi berat, ringan-sedang atau tanpa dehidrasi bila ada dua atau
lebih tanda dimana salah satu tanda tersebut adalah tanda kunci yang terdiri dari :
a. Keadaan umum
b. Rasa haus dan
c. Turgor kulit

Derajat dehidrasi (kriteria WHO)


1. Tanpa dehidrasi.
2. Dehidrasi ringan-sedang : kehilangan cairan 5-10 %BB (±7,5 % yaitu 75 CC/KgBB).
3. Dehidrasi berat : kehilangan cairan > 10% BB yaitu 100 CC/KgBB.

Pengobatan
1.) Pemberian cairan dan elektrolit terdiri dari :
a. Fase Rehidrasi (awal) untuk memberantas dehidrasi.
Dehidrasi Ringan-Sedang
 Oralit sebanyak 75 CC/KgBB diberi dalam masa 4 jam.
 Bila P.O tidak bisa maka dapat diberi secara IV misalkan Ringer Laktat.

Dehidrasi Berat
 Diberikan cairan Ringer Laktat IV sebanyak
 100 CC/KgBB dalam masa 3-6 jam
 Usia < 1 tahun : 30 CC/KgBB/ 1 Jam dilanjutkan 70 CC/KgBB/5 jam.
 Usia > 1 tahun : 30 CC/KgBB/ 30 menit dilanjutkan 70 CC/KgBB/ 2 ½ jam.

b. Fase Pemeliharaan
Untuk mencegah anak yang sudah Rehidrasi atau tidak mengalami dehidrasi jangan jatuh
ke dalam dehidrasi.

53
- Jumlah cairan yang diberikan pada fase pemeliharaan merupakan : cairan yang
diberikan normal sehari + jumlah cairan yang hilang akibat diare yang masih
berlangsung.
- Untuk kebutuhan normal sehari-hari dapat dihitung dengan Rumus Holliday Segar
Berat Badan (BB) Kebutuhan Cairan

10 Kg 100 CC/KgBB

10-20 Kg 1000 CC+500 CC/KgBB Per Kenaikan >10 Kg

>20 Kg 1500 CC+20 CC/KgBB Per Kenaikan >20 Kg

Cairan yang hilang selama diare masih berlangsung dapat diberi oralit sebanyak :
a. <2 tahun : 50 CC – 100 CC per kali mencret atau 500 CC/hari.
b. 2-10 tahun : 100 CC – 200 CC per kali mencret atau 1000 CC/hari.
c. >10 tahun : 2000 CC/hari.

Bila secara P.O gagal maka bisa secara IV


a. Larutan Darrow yang diencerkan 0,5 atau KaErMg3 yaitu untuk diare non kolera.
b. Larutan Ringer Laktat atau Darrow untuk diare kolera.

2.) Pemberian makanan dilakukan segera setelah Rehidrasi tercapai


a. Bayi usia ,4 bulan (belum mendapat makanan padat)
- ASI
- Bila ASI tidak ada diganti dengan susu formula pengganti ASI yang sesuai.
b. Bayi usia >4 bulan (sudah mendapat makanan padat)
- ASI
- Bubur nasi
- Pisang
- Ikan
- Tahu
- Tempe dan sebagainya.
3.) Pemberian obat-obatan
a. Kausal
b. Pengobatan penyakit penyerta.
c. Simtomatik, obat-obat antidiare dan antibakterial tidak bermanfaat. WHO menganjurkan
pemberian anti infeksi pada Kolera, Shigella, Amobiasis dan Giandiasis.

Pengobatan komplikasi diare setelah Rehidrasi tercapai

54
a. Hiponatremia (koreksi dengan cairan NaCl 3%). Jumlah yang diberi : (135mEg-Kadar Na
sekarang (mEg))x0,6xBB (Kg)
b. Hipokalemi (dibuktitkan dengan EKG). Kalium : 3 mEg/KgBB/Har, koreksi dilakukan dalam 2-
3 hari.
c. Asidosis metabolik. Darurat diberi Na Bikarbonat : 1-2 mEg/KgBB/Bolus secaraperlahan-lahan
(Meylor : Na Bikarbonat 8,4% setelah diencerkan dengan Dextrose 5%. Untuk koreksi : (kadar
Bikarbonat serum yang diinginkan (mEg) – Kadar Bikarbonat sekarang (mEg))x0,3xBB (Kg)

Drug Of Choice untuk bermacam-macam penyebab diare yang direkomendasikan oleh WHO
untuk diberikan antibiotika.
a.) Diare oleh Vibrio cholerae
1. Tetrasiklin. Dosis : 12,5 mg/KgBB/dosis diberikan 4x sehari selama 3 hari atau
2. Kortimoxazole : Trimetoprin 5 mg/KgBB + Sulfametoxazole 25 mg/KgBB per Dosis
diberikan 2x per hari selama 3 hari.
b.) Diare oleh Shigella disentri
1. Cotrimoxazole : Trimetoprin 5 mg/KgBB + Sulfometoxazole 25 mg/KgBB per dosis
diberikan 4x per hari selama 5 hari atau
2. Asam Nalidiksik. Dosis : 15 mg/KgBB/dosis diberikan 2x perhari selama 5 hari atau
3. Ampicilin. Dosis : 25 mg/KgBB/dosis diberikan 4x perhari selama 5 hari.
c.) Amubiasis
1. Metronidazole. Dosis : 10 mg/KgBB/dosis diberikan 3x perhari selama 5 hari atau pada
kasus berat.
2. Dihidrometin HCl. Dosis : 1-1,5 mg/KgBB/hari selama 1 Minggu.
d.) Giardiasis
1. Metronidazole. Dosis : 5 mg/KgBB/dosis diberikan 3x perhari selama 5 hari atau
2. Kuirakrin. Dosis : 2,5 mg/KgBB/dosis diberikan 3x perhari selama 5 hari.

Catatan :
Khusus untuk pasien Neurologi dan Pulmonologi maka cairan yang diberikan 75% dari
kebutuhan.
Cara membuat Larutan Gula-Garam
¼ sendok teh Garam Dapur + 1 sendok teh Gula pasir dilarutkan dalam 1 gelas air hangat hangat
kuku (± 250 CC) .

Pemberian Cairan Pada Gastroenteritis

55
Gastroenteritis Pada Anak
1. Resusitasi Cairan
2. Antibiotika
a. Cotrimoxazole
b. Colistin (Polimiksin BSO4)
3. Parasetamol
4. Diazepam
5. Antidiare Contoh Lacbon
Dosis Dewasa : 3x2-4 tablet, Anak : 3x1-2 tablet dan Bayi : 3x1 tablet.

Referensi
1. http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_230CME-Tatalaksana%20Diare%20Akut.pdf

56
DIARE EPIDEMIK PADA NEONATUS

Gastroenteritis pada neonatus sering kali menyebabkan letusan dengan mortalitas tinggi.
Penyebab utamanya adalah :
a. Salmonella Spp.
b. Enteropatogenic Escherichia coli (EPEC)
c. Virus

Ciri-ciri diare oleh Salmonella


1. Diare sangat cepat menjadi septikemia dan diakhiri dengan meningitis dan kematian.
2. Dapat disertai dengan gejala tidak khas misal : diare, panas, ikterus dan kesulitan minum.

Ciri-ciri diare oleh Vibrio Cholerae1 :


1. Diare berupa air cucian beras yang sering, banyak dan cepat menimbulkan dehidrasi berat
2. Diare dengan dehidrasi berat selama terjadi KLB kolera,
3. Diare dengan hasil kultur tinja positif untuk V.Cholerae

Gejala klinis diare oleh E. Coli (EPEC)


1. Gejala awal dimulai dengan letargi, anoreksia, Berat badan menurun kemudian terdapat diare
dan muntah.
2. Tinja biasanya banyak, cair, berwarna hijau atau kuning.

57
3. Bau tinja seperti bau sperma.
4. lama kelamaan dapat terjadi dehidrasi, asidosis dan renjatan yang dapat terjadi dalam
beberapa jam.

Mekanisme Pengobatan EPEC


1. Antibiotika tidak selalu efektif pada pengobatan diare oleh EPEC karena sensitivitas pada
setiap serotype bervariasi.
2. larutan glukosa dan elektrolit dapat diberikan secara oral untuk mengobati dehidrasi yang
ringan, karean tidak terdapat gangguan dalam absorbsi glukosa.
3. Restriksi diet tidak perlu untuk semua elemen makanan tetapi cukup untuk laktosa sehingga
pada reelimentasi harus dipakai susu rendah laktosa.

Pengobatan
1. Koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
a. bila belum terdapat dehidrasi maka beri minum susu rendah laktosa dengan jumlah cairan
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan + Jumlah kehilangan cairan yang masih
berlangsung.
b. Bila terdapat dehidrasi maka koreksi dan bila perlu berikan intravena.
2. Antibiotika
a. Untuk diare oleh Salmonella maka pilihan antibiotiknya :
- gentamisin 4 mg/KgBB/hari atau Amikasin 15 mg/KgBB/hari masing-masing dibagi
dalam 2 dosis dan diberikan selama >7 hari.
- Kloramfenikol 25 mg/KgBB/hari secara IV atau Kloramfenikol 50 mg/KgBB/hari
selama P.O dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 7 hari.
b. Untuk diare bila diduga akibat EPEC. Colistin 50.000 Unit/KgBB/hari salam 4 dosis.

Bila biakan dan uji resistensi (+) maka berikan antibiotika yang sesuai.

Referensi
1. Soemarsono H. Kolera: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1996.

58
DIFTERI

Definisi
Suatu infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Carynebactreium diphteriae.
Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas
terbentuknya Pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang menimbulkan gejala umum
dan lokal.

Klasifikasi
Pembagian berdasarkan berat-ringannya penyakit
1. Infeksi ringan. Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau faring dengam gejala
hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang. Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat. Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat yang hanya dapat diatasi
dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis atau nefrtitis dapat
menyertainya.

Gejala klinis
Masa tunas 2-7 hari. Selanjutnyan gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan
gejala lokal serta gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum terdiri dari :
1. Demam tidak terlalu tinggi.
2. Lesu
3. Pucat
4. Nyeri kepala
5. Anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali.
Gejala lokal terdiri dari :
A. Difteria hidung (hanya 2%)
1. Mula mula pasien hanya tampak pilek.
2. Tetapi kemudian sekret yang keluar bercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran.

59
B. Difteria faring dan tonsil (difteria fausial) (±75%)
1. Gejala mungkin ringan berupa pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran
sehingga dapat sembuh sendiri dan memberi imunitas pada pasien.
2. Pada penyakit yang lebih berat
 Gejala radang akut tenggorokan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi.
 Pseudomembran yang mulanya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang dapat
cepat meluas ke nasofaring atau laring.
 Nafas berbau.
 Timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi
(Bull neck)
 Dapat terjadi sulit menelan, suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi
sumbatan laring sehingga paresis pektum mole.
C. Difteria Laring dan trakea. Lebih sering berasal dari penjalaran difteria fausial (3x lebih
banyak) dari pada primer mengenai laring.
1. Gejala gangguan jalan nafas teraba suara serak dan stridor inspirasi jelas.
2. Bila lebih berat maka dapat timbul : sesak nafas hebat, sianosis dan tampak retraksi
suprarenal serta epigastrium.
3. Pembesaran kelenjar limfe regional atau bull neck.
4. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan
ditutupi oleh pseudomembran.
5. Bila anak terlibat sesak dan payah sekali dilakukan trakeostomi.
D. Difteria kutaneus (jarang sekali). Dapat pula timbul di daerah konjunctiva, vagina dan
umbilikus.

Pengobatan
1. Pengobatan umum
a. Istirahat mutlak di tempat tidur.
b. Isolasi penderita.
c. Pengawasan yang ketat kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan
EKG setiap minggu.
2. Pengobatan spesifik
1) Pemberian antidiphteria serum (ADS) secara IM cara pemberian
 ADS sebanyak 20.000 IU/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya
dilakukan uji kulit dan mata.
 ADS 40.000 IU dalam NaCl Fisiologi 200 mL perinfus, dihabiskan dalam waktu 30-
45 menit sehingga ±300 tetes/menit mikro selama 40 menit.

60
Bila penderita peka terhadap serum tersebut maka dilakukan desentitisasi dengan cara
Besnedka :

Cara Uji Kulit dan Mata

Kemungkinan Hasil test


1) Pada test mata (Bandingkan mata kiri dan kanan)
a. Positive (+) apabila terjadi hiperemis conjunctiva.
b. Negative (-) apabila konjunctiva tetap putih.
c. Ragu-ragu (±) apabila tidak dapat dipastikan
2) Test kulit
a. Postive (+) apabila terjadi hiperemis dan edema pada tempat injeksi.
b. Negative (-) apabila tanpa kelainan.
c. Ragu-ragu (±) apabila tidak dapat dipastikan.

61
Bila test mata dan kulit negative keduanya maka berikan secara IM.
Bila hasil (++) atau (±) dan (±) maka desentisasi cara bernedka.

a. Pemberian
1.) Prokain penisilin
Dosis : 50.000 IU/KgBB/hari sampai 3 hari bebas demam atau selama 7 hari secara IM
(PP:50.000 IU/KgBB/12 jam) di test dulu. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi.
Ditambahkan khloramphenikol : 75-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
2) Eritromisin : 40 mg/KgBB/hari selama 7-19 hari.
b. Kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
Diberikan Prednison : 2 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian
diturunkan 1 mg/KgBB/hari setiap 1-2 minggu atau Dexamethasone : 1-2 mg/KgBB/hari
dengan cara yang sama.
c. Bila terdapat komplikasi paralisis/parase otak maka dapat diberikan :
- Striknin ¼ tablet (1/4 mg) dan
- Vitamin B1 100 mg
Setiap hari selama 10 hari berturut-turut
Catatan : eritromisin diberikan bila penderita sensitive terhadap procain penisilin.
Penanganan kontak Difteria
1.) Immunized barrier diberikan pada anak yang diberikan pada anak yang telah mendapat
imunisasi dasar setelah 5-6 tahun.
a. Injeksi ulangan DT (Diphteria Tetanus). Dosis : 0,5 mL secara SC atau IM (1x suntikan)
b. Pemberian PNC.
 Prokain penisilin 600.000 IU/hari selama 4 hari.
 Atau Benzathin Penisilin 600.000 IU secara IM dosis tunggal.
c. Bila sensitive dengan PNC dapat diberi eritromisin. Dosis : 40 mg/KgBB/hari selama 7-
10 hari.
2.) Non Immunized Asymptomatik Carrier
a. Pemberian DT sebanyak 2x pemberian dengan interval 1 bulan.
b. Pemberian PNC.
c. Pemeriksaan setiap hari bila bisa oleh dokter dan jika tidak bisa dilakukan dengan ADS
10.000 IU/IM.
d. Bila gejala (+) dengan pengobatan seperti penderita Diphteria.

Pencegahan

62
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian
intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster
siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun)

Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis
ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi
digunakan DT atau Td.

ENSEFALITIS

Definisi
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan oleh
virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan masalah pada
fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi neurologis anak
1
termasuk konfusi mental dan kejang. Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer
(acute viral ensefalitis) disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan
ensefalitis sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus
saat itu. 2

63
Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menyebabkan encephalitis seperti
1. Bakteri
2. Protozoa
3. Cacing
4. Jamur
5. Spirocaeta dan
6. virus (penyebab yang terpenting)
Berbagai macam encephalitis virus
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : poliomyelitis, virus coxsaecie dan virus ECHO.
b. Golongan Virus ARBO :
 Western eguine encepahilitis
 St. Louis encephalitis
 Eastern eguine encephalitis
 Japanese B encephalitis (di Indonesia)
 Russian spring summer encephalitis
 Murray valley encephalitis
2. Infeksi virus yang bersifat spirodik : rabies, herpes simplex, herpez zoster,
lymphogranuloma, mumps dan sebagainya.
3. Encephalitis pasca infeksi
a. Paska morbili
b. Paska varicella
c. Paska rubella
d. Paska vaksinia
e. Paska mononukleus infeksiosa

Gejala klinis
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran menurun.3 Meskipun
penyebabnya berbeda-beda tetapi gejala klinis lebih kurang sama :
1. Suhu yang secara mendadak naik, sering hiperpireksia.
2. Kesadaran dengan cepat menurun.
3. Pada anak besar sebelum kesadaran menurun sering kali mengeluh sakit kepala.
4. Muntah sering ditemukan.
5. kejang dapat bersifat umum, fokal atau hanya twitching saja dan dapat berlangsung berjam-
jam.
6. Bersifat neurologis dapat timbul sendiri atau bersama-sama misal parase atau paralisis, afasia
dan sebagainya.
7. Pada encephalitis paska infeksi maka gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis.

64
Pada anak, manifestasi klinik dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia,sedangkan pada bayi
dapat berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri kepala palingsering pada frontal atau menyeluruh,
remaja sering menderita nyeri retrobulbar. 3
Pemeriksaan LCS
 LCS sering dalam batas normal.
 Diff tell pada awal PMN > MN sehingga MN > PMN
 Kadang-kadang ditemukan sedikit peninggian sel, kadar protein atau glukosa.
Pada pemeriksaan neurologis
 Refleks patologis (+)
 Rangsangan meningeal (-)

Ciri-ciri encephalitis virus


a. Encephalitis virus herpes simpleks
Penderita memperlihatkan:
1. Panas yang mulai secara akut.
2. Kesadaran yang menurun dengan disorientasi dan halusinasi olfaktorik dan gastatorik.
3. Perubahan tingkah laku, karena adanya radang pada lobus limbik.
4. Defisit neurologis seperti misalnya :
 Hemiparesis
 Hemianestesia
 Afasia
 Epilepsi jackson
5. Penderita memperlihatkan adanya herpes febrilis bibir
6. Liquor cerebro spinalis
 Pielositosis tetapi <500/mm3 terutama sel-sel limfosit.
 Total protein yang sedikit meningkat.
 Kadar glukosa yang normal.
b. Encephalitis Japanase B
Penderita memperlihatkan
1. Panas mendadak.
2. Nyeri kepala.
3. Kasadaran yang menurun.
4. Bangkitan epilepsi grandmal.
5. Hemiparesis.
6. Krisis okulogenik.
7. Hipertoni dengan bebinski dan klonus postive.
8. Rigiditas deserebri
9. LCS memperlihatkan :

65
 Pleositosis (<500/mm3 kebanyakan limfosit)
 Glucosa 50 mg% (normal)
 Total protein 80 mg%
 Kultur dari likuor dan darah : negatif
c. Ensephalitis virus coxsackie memperlihatkan
1. Panas
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk
4. Herpangina
5. Epidemic pleurodyri
Prognosis : kematian 35-50%
Sesuatu terdiri dari
1. Kelumpuhan
2. Gangguan extrapiramidal
3. Gangguan penglihatan
4. Retardasi mental
5. Epilepsi

Epidemiologi
Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia(virus yang ditularkan
4
oleh nyamuk pengisap darah atau kutu). Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4
tahun dengan kejadian tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan. 1

Patogenesis
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virusdapat melalui
kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk kedalam tubuh virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atauorgan tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudianmenyebar ke organ dan
berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertamakali masuk
(permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan menyebar
melalui sistem saraf. 3

Pemeriksaan penunjang
Pencitraan/ radiologi

66
CT dan MRI sekarang merupakan pilihan tepat untuk menyelidiki suspek lesi pada otak. 5
CT scan kepala dapat menunjukkan : 6
1. CT bisa menunjukkan hipodens pada pre kontras-hyperdensity pada post kontras salah satu
atau kedua lobus temporal, edema / massa dan kadang-kadang peningkatan kontras.
2. Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola homogendan menyangat
dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer (grey-white junction).
3. Bisa ditemukan edema cerebri.
4. Ladang disertai tanda-tanda perdarahan.

Gambar 1. CT Scan otak pada seorang gadis dengan Rasmussen's encephalitis7

Gambaran ensefalitis pada MRI di dapatkan : 8


1. Perubahan patologis yang biasanya bilateral pada bagian medial lobustemporalis dan bagian
inferior lobus frontalis ( adanya lesi ).
2. Lesi isointens atau hipointens berbentuk bulat cincin, noduler atau polahomogen dan
menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer (grey-white junction), pada T1WI.
3. Hiperintens lesi pada T2WI dan pada flair tampak hiperintens .

67
Gambar 2. MRI: Herpes encephalitis. 9
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap, ditemukan jumlah leukosit meningkat.
- Pemeriksaan cairan serobrospinal :cairan jemih, jumlah sel diatas normal, hitung
jenisdidominasi oleh limfosit, protein dan glukosa normal atau meningkat
Pemeriksaan lainnya :
- EEG didapatkan gambaran penurunan aktivitas atau perlambatan.

Komplikasi
Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara,kehilangan memori,
atau berkurangnya kontrol otot.10

Prognosis
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, danumur anak. Jika
penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkimmaka prognosisnya jelek dengan
kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik, penglihatan atau
pendengaran. Sekuele berat juga harusdipikirkan pada infeksi yang disebabkan oleh virus
Herpes simpleks. 11
Pengobatan

68
1. Bila penderita kejang mengggunakan antikonvulsi
a. Diazepam
 <10 KgBB : 0,5-0,75 mg/KgBB/IV minimal 2,5 Kg.
 10-20 KgBB : 0,5 mg/KgBB/IV minimal 7,5 Kg
 >20 KgBB : 0,5 mg/KgBB/IV
b. Phenobarbital
 Neonatus : 30 mg/X/IM
 1 bulan – 1 tahun : 50 mg/X/IM
 >1 tahun : 75 mg/X/IM
2. Hiperpireksia
a. Surface coaling dengan menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai
pembuluh darah misal :
 Pada kiri dan kanan leher.
 Ketiak
 Selangkangan
 Daerah proksimal betis dan diatas kepala.
b. Hibernasi dapat diberikan Largaktil 2 mg/KgBB/hari dan Pherergar 4 mg/KgBB/hari
secara IV atau IM dibagi dalam 3 dosis.
c. Antipirektikum bila memungkinkan pemberian PO
 Paracetamol dosis : 10-15 mg/KgBB/dosis
 Asetosal dosis : 65 mg/KgBB/hari (Max : 3,6 gr/hari)
3. Edema otak
a. Injeksi dexametason 0,5 mg/KgBB/hari/IV dibagi dalam 3 dosis atau
b. Mannitol 20% : 1-2 mg/KgBB/Dosis dihabiskan dalam 30-60 detik dapat diulangi dalam
8-12 jam kemudian
c. Prednison dosis : 0,1 – 2 mg/KgBB/hari/IV dibagi 1-4 dosis.
4. Gangguan cairan dan elektrolit
Dextrose 10% + NaCl 0,9% (perbandingan 3:1)
5. Untuk kemungkinan infeksi sekunder maka diberikan kombinasi antibiotika polifragmasi
 Cefotaxime + ampisilin
 Ampisilin + Khloramphenikol
 Dosis :
 Cefotaxime : 200 mg/KgBB/hari/IV dalam 3-4 dosis
 Ampisilin : 200-400 mg/KgBB/hari/IV dalam 4-6 dosis
 Khloramphenicol :100 mg/KgBB/hari/IV dibagi 4 dosis
6. Obat penunjang misalkan Neutrophyl (piracetam)
Dosis : 30-50 mg/KgBB/hari/Oral/IV (sediaan 400 mg/Cap, 500 mg/tab, 1 gr/amp/5 cc
7. Antivirus : untuk Herpes simplex, Herpes zoster, Varicella, Variola
Acyclovir dosis : 1200 mg/hari dibagi 3-4 dosis atau 30 mg/KgBB/hari/IV dibagi 3 dosis
selama 10 hari.

69
Referensi
1. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.Cetakan ke-2.
Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000;hal 373-5.
2. Sevigny, Jeffrey MD. Frontera, Jennifer MD. Acute Viral Encephalitis. Brust,John C.M. In:
Current Diagnosis & Treatment In Neurology. InternationalEdition. New York. Mc Graw Hill.
2007;p449-54.
3. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:WahabSA.EGC
Jakarta.2000;hal 1141-53.
4. Markam,S. Ensefalitis dalam Kapita Selekta Neurologi Ed ke-2,Editor :Harsono.,Gadjah
Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.
5. Sutton D, Stevens J, Mizklel K. Intracranial lesions. In : Sutton D, editor. Text book of
radiology and imaging 7th ed. London : Churchill Livingstone ; 2003. p. 1726.
6. Zamponi N, Rossi B, Polonara G, Salvolini U. Neuropaediatric emergencies. In :Scarabino T,
Salvolini U, Jinkins JR, editors. Emergency neuroradiology. New York :Springer ; 2006. p.
371,390-1.
7. Anonymous. Rasmussen’s encephalitis. [ Online ] Accessed Desember, 29 2017 .Available
from : URL ;http://en.wikipedia.org/wiki/Rasmussen%27s_encephalitis
8. Moritani T, Ekhlom S, Westesson PL. Pediatrics. In : Diffusion-weighted MR imaging of the
brain. New York : Springer ; 2005. p. 191.
9. Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] Accessed Desember, 29 2017. Available from : URL
;www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/html
10. Soldatos, Ariane MD. Encephalitis. Accessed Desember, 29 2017 Available from
http://www.childrenshospital.org/az/Site832/mainpageS832P0.html.
11. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Workup. Richard G,Bachur,MD.
Updated on April 19th, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/802760-
workup. Accessed Desember, 29 2017.

70
GLOMERULONEPHRITIS AKUT PASCA STREPTOCOCCUS

Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu yang dikarakterisasi oleh cedera glomerular dengan onset mendadak. GNAPS adalah
suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi &
Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A ß-hemolytic streptococci (GABHS) dan
ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara
akut1

Kriteria Diagnostik
Sindroma nefrotik yang ditandai dengan timbulnya :
1. hematuria mendadak
2. edema kelopak mata
3. hipertensi
4. oliguri
Penyebabnya adalah streptococcus beta hemolitkus group A (GABHS)

71
Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria,
azotemia (abnormalitas level senyawa yang mengandung nitrogen seperti urea, kreatinin,
senyawa hasil metabolisme tubuh dan senyawa kaya nitrogen pada darah), red blood cast,
oliguria & hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.

Gejala Klinik
Pada anamnesis :
 Di dahului infeksi GABHS melalui infeksisaluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit
(piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu padapioderma.
 Hematuria. Kencing merah atau berwarna seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna
seperti cola
 Edema sekitar mata /periorbital (edema palpebra)kemudian menjalar ke daerah tungkai. Jika
terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia
eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik
 kencing berkurang atau tidak kencing sama sekalit tidak ada, produksi urin kurang dari 350
ml/mLPB/hari.
 sakit kepala atau sesak nafas
 Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia.
Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat
hematuria makroskopik yang berlangsung lama.
Pada pemeriksaan fisik :
 Tekanan darah meningkat (mulai dari ringan sampai krisis hipertensi)
 Edema pada palpebra atau pada tungkai
 ada infeksi kulit/parut/bekas infeksi kulit
Pada pemeriksaan laboratorium :
 Urine : (hematuria nyata, eritrocyte catst +, oliguria, proteinuria)
 Darah : (laju endap darah meningkat, BUN dan eretinine meningkat, komplemen C3
menurun, ASTO meningkat, GFR menurun)
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin (hematuria
mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.

Menagemen
 Istirahat sampai edema dan hipertensi membaik
 Diet rendah protein dan rendah garam

72
 Antibiotika untuk GABHS
 Peniciline prociane (penicilin G), dosis 50000 iu/kgBB/hari single dose
 Ampicilin, dosis 100 mg/kgBB/hari
Dibagi 4 dosis
 Amoksisilin, 50 mg/kgbb
dibagi dalam 3 dosis
 Erutromycine, dosis : 30 mg/kgBB/hari
Dibagi 3-4 dosis
Pemberian antibiotika diberikan selama 10 hari
 Diuretik bila perlu :
Mis : Furosemide 1-3 mg/kgBB/X/IV atau 2-5 mg/kgBB/Xpo
 Antihipertensi bila perlu mis, catopril dgn pengawasan
Dosis : 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis, diberi 2-4x/perhari
 Bila ada GGA maka dilakukan tatalaksana GGA

Referensi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus.
2012 UKK Nefrologi

73
GUILAIN-BARR SINDROME
(POLINEUROPATI INFEKSIOUS AKUT, POLIRADIKULONEURITIS)
LANDRY’S PARALYSIS

Definisi
Guillain-Barré syndrome (GBS) dapat digambarkan sebagai kumpulan sindrom klinis
yang bermanifestasi sebagai polyradiculoneuropathy inflamasi akut dengan resultan kelemahan
dan refleks berkurang. Deskripsi klasik GBS adalah demyelinating neuropathy dengan ascending
weakness.polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi
spontan atau sesudah suatu infeksi.

Tanda dan Gejala:


1. Dapat terjadi pada semua umur dan terbanyak ditemukan pada usia 4-10 tahun.
2. Biasanya didahului oleh demam atau penyakit saluran pernafasan atas dangastroenteritis 1-3
minggu sebelumnya
3. Berlangsung secara akut atau subakut
4. Berbeda dengan polineuropati lain seperti akibat beri-beri, toksik dsb, pada penyakit ini
kelemahan otot proksimal sama beratnya dengan otot distal.
5. Kadang-kadang kelumpuhan seolah-olah menjalar ke atas dari otot kaki, tungkai, abdomen,
toraks, lengan dan muka : paralisis ascending landry.
6. Otot-otot yang terkena bersifat simetris.

74
7. Kelumpuhan jenis flaksia dengan refleks tendon yang menurun akan tetapi tidak terdapat
atrofi: kelumpuhan tipe LMN.
8. Gangguan sensibilitas dapat berat, ringan dan tidak terdapat sama sekali.
9. Kelumpuhan dapat dimulai atau didahului oleh hipestesia, anestesia dengan rasa nyeri atau
parestesia.
Biasanya pasien dengan GBS mengalami acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP), muncul dalam 2-4 minggu setelah penyakit pernapasan atau
saluran cerna yang relatif ringan dengan keluhan jari dysesthesias dan kelemahan otot proksimal
dari ekstremitas bawah. Kelemahan dapat berlanjut selama berjam-jam sampai berhari-hari untuk
ikut terjadinya kelemahan pada lengan, truncal otot, saraf kranial, dan otot pernapasan.

Keluhan umum yang terkait dengan keterlibatan saraf kranial dalam GBS meliputi:
• Facial droop (may mimic Bell palsy)
• Diplopias
• Dysarthria
• Dysphagia
• Ophthalmoplegia
• Pupillary disturbances
Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa atau perubahan sensorik yang serupa.
Parestesia biasanya dimulai di ujung jari sampai ke atas tapi umumnya tidak meluas melampaui
pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Rasa sakit yang terkait dengan GBS paling parah pada bahu, punggung, bokong serta
paha dan dapat terjadi hanya dengan sedikit gerakan. Rasa sakit sering digambarkan sebagai
sakit atau berdenyut-denyut.
Perubahan otonom dalam GBS dapat mencakup berikut:
• Tachycardia
• Bradycardia
• Facial flushing
• Paroxysmal hypertension
• Orthostatic hypotension
• Anhidrosis and/or diaphoresis
• Urinary retention

75
Perubahan otonom GBS dapat mencakup berikut:
• Dyspnea on exertion
• Shortness of breath
• Difficulty swallowing
• Slurred speech
Kegagalan ventilasi dengan diperlukannya dukungan pernafasan terjadi di hingga
sepertiga dari pasien pada beberapa waktu.

Pengobatan
1. Istirahat. Bila otot-otot penafasan terkena seharusnya penderita dirawat di ICU karena ia
memerlukan bantuan rentilasi mekanik.
2. Bila otot-otot Bulbar terkena sehingga terjadi kelumpuhan otot terngkorak (trakeostomi)
3. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan elema yang terjadi pada syaraf (anti
inflamasi)
a. Corticotropin (ACTH)→ anti inflamasi a immuno suppresan
Dosis pada anak: IV, IM SC (asrenus).
1,6 units/ KgBB/hari a 50 unit/m2
Dibagi dalam 3-4 dosis
b. Dexametsason dosis: PO,IM a IV 0,08-0,3 mg
Dibagi dalam 2-4 dosis
c. Prednison dosis: 0,1-2 mg / KgBB / hari secara PoaIV
Dibagi dalam 1-4 dosis

Prognosis
- Biasanya perbaikan terlihat dalam waktu 7-10 hari dan penyembuhan sempurna tanpa gejala
sisa. Tetapi terkadang dapat berminggu-minggu a berbulan-bulan.
- Kematian disebabkan kelumpusat otot pernafasan

Pemeriksaan Lab
- Kadar protein CSF me ( dapat mencapai 200-300 dg per 100 ml)→ CSF berwarna
Xantokrom (kental).
- Peningkatan protein tidak di sertai peningkatan jumlah sel→ Cytologigul albumino
dissocuatim.

76
- EMG→ Tanda Lesi LMN di saraf penfez.
- KH5 ( Kec. hantar saraf) Normal atau menurun.

Referensi
Andary MT et all. Guillain-Barré syndrome. Medscape; 2017
https://emedicine.medscape.com/article/315632-overview

77
INFEKSI PADA NEONATUS

A. Infeksi traktus losinarius


Neonatus biasanya menunjukkan gejala:
- Demam
- Tidak mau minum
- muntah
- pucat dan BB menurun
Diagnosa di tegakkan berdasarkan pemerikasaan lesin (hasil biakan lesin). Lekosit dalam
lesin pada neonatus menjadi bersatu bila lebih dari 15/mm3.
Pengobatan
Ampisillin 100mg/kgBB/hari dibagi dalan 4 dosis dikombinasikan dengan bentamisin 3-5 mg/
kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Sambil menunggu hasil biakan lesin dan leji resistensi.

B. Osteitis akut
Biasanya diakibatkan metastase dari fokis infeksi staphylococcus ditempat lain (oleh
Staphylococcus aureus).
Gejala klinis Osteitis akut:
- Suhu tubuh meninggi
- Bayi tampak sakit berat
- Lokal terdapat pembengkakan dan bayi menangis apabila bagian yang terkena digerakkan.
Keadaan itu ditemukan pada beberapa tempat dan prediksinya ialah pada maksila dan peluis
Pengobatan Osteitits akut
1. Lokal : asporasi pus
2. Sistematik: Pemberian antibiotika yaitu kloksasilin dengan dosis 50 mg/ kgBB /hari secara
pasentesal dibagi dalam 4 dosis

C. Impetigo vesikobulosa pada bayi


Impetigo vesikobulosa adalah penyakit infeksi piogenik akut kulit yang mengenai
epidermis superfisial, bersifat sangat menular. Impetigo sering menyerang anakanak terutama
di tempat beriklim panas dan lembap. Ditandai oleh lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan
dengan dinding tegang, terkadang tampak hipopion.

78
Gambaran klinis
Pada bayi, impetigo vesikobulosa sering ditemukan di daerah selangkangan, ekstremitas,
dada, punggung, dan daerah yang tidak tertutup pakaian. Kelainan kulit diawali dengan makula
eritematosa yang dengan cepat akan menjadi vesikel, bula dan bula hipopion. Impetigo bulosa
berisi cairan jernih kekuningan berisi bakteri S.aureus dengan halo eritematosa. Bula bersifat
superfisial di lapisan epidermis, mudah pecah karena letaknya subkorneal, meninggalkan skuama
anular dengan bagian tengah eritema (koleret), dan cepat mengering. Lesi dapat melebar
membentuk gambaran polisiklik. Sering kali bula sudah pecah saat berobat, sehingga yang
tampak ialah lesi koleret dengan dasar eritematosa. Pasien berusia di bawah 1 tahun atau bayi,
akan tampak rewel karena rasa nyeri di kulit membuat pasien merasa tidak nyaman. Keadaan
umum biasanya baik.
Pengobatan
Non-medikamentosa:
1. Menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh
2. Menghindari faktor predisposisi
3. Memperkuat daya tahan tubuh
Medikamentosa:1-4
1. Topikal: mupirocin krim 2%, asam fusidat krim 2%, atau tetrasiklin krim atau salep, kompres
NaCl 0,9%
2. Oral: eritromisin 2 x 500 mg pada dewasa, pada anak 40 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis; atau
amoksisilin-klavulanat 3 x 500 mg pada dewasa, pada anak 25 mg/KgBB/hari dibagi 3
dosis; atau cephalexin 2 x 500 mg pada dewasa, pada anak 25 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis

D. Pemfigus neonatrium
Staphylococcus dan biasanya bersifat sebagai impetiso Bulosa.
Gambaran klinis
- Mula-mula timbul sebagai vesikel yang jernih kemudian menjadi pasulen yang dikelilingi
daerah yang kemerahan
- Injeksi dapat meluas dan dapat menyebabkan gejala sistematik yang berat.
- Kadang kadang kulit mngelupas dan menjadi desmatitis ekstoliatir (penyakit Reffer)
Pengobatan
1. Penderita di isolasi dan dirawat secara asepsis
2. Lokal: di cuci dengan larutan kalikus Permarganas

79
3. Bila diinsisi dan lesi kulit yang ringan cukup diberi pengobatan lokal dengan selep Neomosin
dan Basitrasin
Antibiotika: Kloksasolin 50-200mg/kgBB/hari Dibagi dosis dalam 4 dosis.

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) PADA ANAK

Definisi

80
keadaan dimana ada pertumbuhan dan perkembangan bakteri dalam saluran kemih dalam jumlah
yang bermakna yaitu bila lesine segar, pagi bangun tidur yang dikumpulkan dengan cara porsi
tengah dikultur, tumbuh jumlah koloni atau terdapat ˃ 100.000 bakteri/ml urin.
Kriteria bakteriuria bermakna
a. Ditemukan 100.000 koloni/ ml urin pada 2 kali biakan berturut.
b. Ditemukan 100.000 koloni/ ml urin disertai leukosit urin > 10/ mm 3 (poliuria) dari urin
tanpa sentrifugasi
c. 100.000 koloni/ ml urin disertai gejala ISK
d. 10.000 koloni/ ml urin dari urin yang berasal dari air.
e. Adanya bakteri (berapapun) dari biakan urin yang berasal dari aspirasi suprapubic.

Gejala Klinis
Pada masa neonatus
-
Panas atau hipotermi
-
Menolak minum
-
Muntah
-
Berat badan tidak naik dengan baik
-
Hematuria
-
Tanda – tanda sepsis dll
Pada masa bayi
-
Panas yang tidak dapat diungkapkan sebabnya
-
Tidak ada nafsu makan
-
Haus
-
Urin bau busuk
-
Diaper rush yang menetap
-
Bisa teraba tumor abdomen
-
Gelisah
-
Rewel
-
Kejang
-
Unexpleined jaundice
-
Failure to thrire
-
Hematuria dsb
Pada masa anak prasekolah
-
Panas
-
Muntah dan diare
-
Nyeri pada perut
-
Gangguan miksi (disuria, day time enuresis, nokturnal, enuresis, kencing tidak bisa ditahan).
-
Urin bau busuk
-
Anoreksia
-
Tidak bergairah
-
Cepat lelah

81
Pada masa anak sekolah
-
Panas tinggi dan menggigil
-
Costovertebral pain
-
Flank pain (sakit daerah sudut antara iga dan tulang-tulang belakang)
-
Gangguan miksi
-
Malaise
-
Hipertensi
-
Edema pada mata
-
Anemia
-
Hematuria
-
Kejang
-
Failure to thrine dsb

Terapi
1. Antibiotika untuk infeksi saluran kemih tanpa penyulit tdd
a. Ampicilin dosis 50-100 mg/kgBB/hari/IV/PO dibagi dalam 4 dosis (diberikan selama 7-
10 hari)
b. Amoxicilin dosis: 30-50 mg/kgBB/hari/IV/PO dibagi dalam 3 dosis.
c. Trimethroprim. Sulfametsoxazole
Dosis Trimethroprim: 6-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis (8mg/kgBB/hari)
Sulfametroxazole: 30 mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis
Sediaan cotrimoxazole:
Tablet: 400 mg sulfametroxazole + 80 mg TMP
Tablet forte: 800 mg SMZ + 160 mg TMP
Suspensimpen 5 ml (cth): 200 mg SMZ + 40 mg TMP
2. Infeksi yang berat atau infeksi yang berulang
a. Cotrimoxazole (SMZ+ TMP)
b. Nitrofurantoin ( sediaan 50 mg/ kapsul)
Dosis : 5-7 mg/kgBB/hari/ oral dibagi dalam 4 dosis ( dosis maksimum : 400mg/hari)
Kontraindikasi pada
 Bayi umur 1 bulan
 Anuria, oligouria
 G6PD defisiensi
 Gangguan ginjal berlarut
c. Hexamin
d. Antibiotika yang berspektrum luas misalnya
 Gentamycine
Dosis: 2,5 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis atau 5-7,5 mg/kgBB/hari/IV singledose.
 Erythromycine
Dosis: 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
 Nalidixic acid
Dosis: 25-50 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis
Dosis ( kontraindikasi infant (3bulan))

82
Lama pengobatan 5-15 hari. Pengobatan jangka panjang hanya bersifat pencegahan.

KEJANG DEMAM

Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Merupakan kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada anak terutama pada golongan umur 6 bln- 4 tahun.

Manifestasi klinis
1. Bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar SSP misalnya tonsilitis, otitis
media akuta, bronkitis, furunkulosis dsb.
2. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam.
3. Kejang berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik, fokal atau akinetik.
4. Umumnya kejang berhenti sendiri dan begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan
sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.

Kriteria livingston untuk kejang demam sedehana


1. Umur naka ketika kejang antara 6 bulan- 4 tahun
2. Kejang hanya berlangsung sebentar saja tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan
kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang didalam satu tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi
livingston diatas  digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam dimanapun epilepsi yang

83
diprovokasi oleh demam mempunyai suatu dasar yang menyebabkan timbul nya kejang,
sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
Resiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung
dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam didalam keluarga
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
3. Kejang yang berlangsung lama tau fokal.
Apabila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor diatas maka dikemudian hari akan mengalami
serangan kejang tanpa demam sekitar 13 %, dibandingkan bila hanya terdapat 1 atau tidak ada
sama sekali faktor tersebut diatas , serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.

Penanggulangan
Ada 4 faktor yang perlu dikerjakan untuk penanggulangan kejang demam yaitu:
1. Memberantas kejang secepat mungkin
2. Pengobatan penunjang
3. Memberikan pengobatan rumatan
4. Mencari dan mengobati penyebab

1. Memberantas kejang secepat mungkin


a. Skema pemberantasan kejang dengan diazepam intravena
Penderita datang dengan kejang

84

Diazepam (kecepatan pemberian 1 mL/per menit dan mg per menit  pada bayi )
Dosis BB L 10 kg : 0,5-0,75 mg/kg BB
(minimal 2,5 mg dalam semprit)
BB 10-20 kg: 0,5-0,75 mg/ KgBB (minimal 7,5 mg dalam sempit)
Berat badan > 20 kg : 0,5 mg/ kgBB
Dosis rata-rata yang terpakai : 0,2 mg/KgBB/ kali
Dengan maksimum 5 mg  usia kurang dari 5 tahun
maksimum 10 mg usia > 5 tahun

kejang (-)
15 menit kejang (+)
- Neonatus: 30 mg IM 1 bulan Diazepam senIV
-1 tahun: 50mg IM dosis sama
Dosis awal Fenobarbital : - >1 tahun 75 mg IM 15 menit kejang (+)

Dosis rumatan 4 jam kemudian Diazepam ser IM


Dosis: hari I dan II : 8-10 mg? Kg BB / hari dibagi dosis dosis sama
Hari berikutnya: 4-5 mg/ kg BB / hari dibagi dalam 2 dosis kejang (+)
Pherobarbital a
Paraldehide 4% ser
IV

Catatan: penekanan pada pusat penafasan dan hipotensi pada pemakaian sizepam terutama
terjadi bila sebelumnya telah medapatkan fenobarbital.

b. Skema Pemberantasan Kejang dengan Diazepam Perektal

Pendeita datang dengan kejang



Diazepam Perrektal
(sediaan 5 mg dan 10 mg dalam rektiol)
Dosis BB<10 kg: 5 mg
BB> 10 kg : 10 mg
Rata-rata pemakaian : 0,4-0,6 mg/ kgBB

85
↓15 menit kejang (+)
Diazepam perrektal
Dengan dosis yang sama
↓15 menit kejang (+)
Diazepam secara iv
Dengan dosis : 0.3 mg / kg BB

Cara pemberian
-
Anak/ bayi dalam posisi menungging / miring
-
Dengan rektiol yang ujungnya di olesi veseline, dimasukkanlah pipa salwan keluar rektiol ke
rektum sedalam 3-5 cm
-
Rektiol dipijat sehingga kosong betul
-
Selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara menempatkan kedua
musculus Glutius
Catatan: cara pemberiam diazepam melalui rektum merupakan cara yang mudah, sedehana dan
efektif serta dapat dilakukan oleh orang tua pasien dan tenaga lain yang mengetahui dosisnya
dibandingkan dengan pemberian secara IV, cara ini lebih baik oleh karena pemberian diazepam
secara IV pada anak yang kejang seingkali menyekitkan.
Dosis paraldehide sebagai antikonvulsan
Pada anak: 0,15 mg/ Kg BB / dosis secara Po, IV dapat diulang sekali lagi setelah 4 -6 jam
Pada dewasa: 5-10 mL perdosis
Sediaan paraldehide: cairan: 1 gram/mL

c. Skema pemberantasan kejang

Dengan Ferobarbital
Penderita datang dengan kejang

Pherobarbital IM
Dosis awal : Neonatus: 30 mg
1 bulan-1 tahun : 50mg
>1 tahun : 75 mg

86
↓ 15 menit kejang (+)
Pherobarbital IM
Dosis Neonatus : 15 mg
1 bulan-1 tahun: 30 mg
>1 tahun : 50 mg

Hasil yang terbaik ppembeantasan kejang dengan Ferobarbital adalah apabila terdapat / tersedia
Ferobarbital yang dapat diberikan secara intravena.
Dosis: 5 mg/kgBB pada kecepatan 30 mg/ menit

d. Skema pemberantasan kejang dengan difenilhidantoin

Kejang

Difenilhidantoin dosis 18 mg/kgBB dalam infus dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg / menit
(kecepatan 1 mg/kgBB/ menit)
Efek difenilhidantoin menggangu frekuensi / irama jantung tetapi tidak mengganggu
kesadaran dan tidak menekan pusat pernafasan.

*Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan obat-obat tesebut diatas  ICU untuk diberikan
anestesi umum dengan tiopental oleh seorang ahli anestesi.
2. Pengobatan penunjang:
- Semua pakaian yang ketat dibuka dan posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah
aspirasi isi lambung.
- Perhatikan vital sign
- Cairan IV sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk kelainan metabolik dan
elektrolit.
- Bila terdapat tanda peningkatan TIK jangan diberikan cairan dengan kadar Na yang
terlalu tinggi
- Bila suhu meninggi (hiperpieksia)
 Kompres es atau alkohol 70%
 Obat hibernasi:
a. Klorpromazin 2-4 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (IM/IV)
b. Prometazin 4-6 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis secara suntikan (IM/IV)
- Untuk mencegah terjadinya edema otak
Contoh: dexametason 0,5 – 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.

87
Atau cara lain: secara Po,IM atau IV
Dosis awal: 1-2 mg/kg BB
Dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/ hari dibagi 4-6 dosis (setiap 4-6 jam) sampai
keadaan membaik.

3. Pengobatan Rumat
Setelah kejang berhenti dengan diazepam

Fenobarbital secara IM dosis awal untuk
Neonatus: 30 mg
1 bulan- 1 tahun:50 mg
 1 tahun: 75 mg
↓4 jam kemudian
Dosis rumatan
8-10 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 2 hari

4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

Catatan:
-
Selama keadaan belum memungkinkan maka antikonvulsan diberikan secara suntikan dan
bila telah membaik di tuliskan secara peroral
-
Lanjutan pengobatan rumat tergantung dari pada keadaan penderita

Pengobatan rumatan ini dibagi atas 2 bagian


1. Profilaksis intermiten
2. Pofilaksis jangka panjang

1. Profilaksis intermiten
 membeikan campuran obat antikonvulsan dan antipietik yang harus diberikan kepada anak
bila menderita demam lagi.

Obat-obat yang digunakan adalah


-
Fenobarbital
Dosis: 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis

88
 Merupakan obat antikonvulsan yang mempunyai akibat samping paling sedikit
-
Aspirin
Dosis: 60 mg/tahun/kali  3 kali sehari
Untuk bayi usia < 6 bulan  10 mg/bulan/kali  3X sehari
Obat yang kini lebih ampuh dan banyak digunakan untuk mencegah terulangnya kejang
demam sederhana adalah: diazepam, baik diberikan secara ektal maupun p.o pada waktu
anak mulai teasa panas.
Dosis: 0,2- 1 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Atau secara perrektal dosis: < 10 kg: 5 mg; > 10kg: 10 mg
Sediaan: 2 mg; 5 mg/tab; 2mg/cth; 10 mg/amp; 5 mg dan 10 mg perrektal
Contoh: valium, stesolid, dan valisande.
Pengobatan profilaksis intermiten sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sederhana sangat kecil sekitar umur 4 tahun

2. Profilaksis jangka panjang


 untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah
penderita untuk mencegah terulangnya kejang dikemudian hari.
Diberikan pada keadaan:
a. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
b. Pada semua kejang demam yang mempunyai ciri:
- Terdapatnya gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi, retardasi
perkembangan dan mikrosefali.
- Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit , bersifat fokal atau diikuti kelainan saraf
yang sementara atau menetap
- Bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang besifat genetik pada orang tua atau
saudara kandung.
- Pada kasus tertentu yang dianggap perlu yaitu bila kadang-kadang terdapat kejang
berulang atau kejang demam pada bayi berumur < 12 bulan.

Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang


1. Fenobarbital dosis: 4 – 5 mg /KgBB/ hari
Efek samping pemakaian jangka panjang
- Anak menjadi hiperaktif
- Perubahan siklus tidur (suka tidur)
- Kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur
2. Sodium valproat/asam valproat (epilin, depakena)
Dosis: 20- 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
 Hasil lebih baik dari fenobarbital harga jauh lebih mahal dari fenobarbital
Gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis

89
3. Fenitoin (dilantin)
 Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukan gangguan sifat hiperaktif
(sebagai pengganti fenobarbital)  hasil tidak atau kurang memuaskan.
Dosis. Neonatus: 5 mg/kgBB/hari seara P.O atau IV 1-2 X/hari
0,5-6 tahun: 8-10mg/kgBB/hari
7-9 tahun: 6-8 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis
10-16 tahun: 6-7 mg/ kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis
Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun. Menghentikan pemberian antikonvulsan harus perlahan- lahan
dengan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
4. Mencari dan mengobati penyebab
- Penyebab dari kejang demam biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis
media akut  pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
- Secara akademis, anak yang datang pertama kali dengan kejang demam, perlu di pungsi
lumbal  untuk menyingkirkan faktor injeksi didalam otak: meningitis.
- Pada penderita dengan kejang lama perlu dilakukan pemeriksaan:
a. Pungsi lumbal
b. Darah lengkap misalnya KGD, kalium, magnesium, Ca, Na, Nitrogen, dan Faal hati

Pemeriksaan khusus
- X foto tengkorak
- Elektroensefalografi
- Ekoensefalografi
- Brain scan
- Pneumoensefalografi
- Arteriografi

Obat antikejang yang lain


1. Panaldehid: 0,1-0,3 mg/kgBB/ IV/IM/rectal
2. Asam valproat : 20-40 mg/kgBB/supp/syrp NGT
3. Lidokain: 2-3 mg/kgBB/IV

Edukasi pada orang tua1


90
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat kejang,
sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus
dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang2.

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau
lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan bila
kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.

8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh lebih
dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah
kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

Referensi

91
1. American Academy of Pediatrics, Subcommitee on Febrile Seizure. Pediatr. 2011;127:389-
94.
2. Fukuyama Y. Brain Dev. 1996;18:479-84. Recommendations for the management of febrile
seizures: Ad Hoc Task Force of LICE Guidelines. Epilepsia.2009;50(1):2-6.

INTOKSIKASI BOTULISME

92
Definisi
Suatu bentuk keracunan akibat memakan makanan yang mengandung toksin botulin
(neurotoksin) yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum (jenis A, B, E, dan kemungkinan kecil
F). Tiga macam tipe bakteri botulisme yang sering mengenai manusia yaitu:
1. Tipe A: terdapat dalam makanan kaleng, sayur dan buah buahan, daging, dan ikan.
2. Tipe B: terdapat dalam daging terutama daging babi
3. Tipe E: terdapat pada daging ikan yang tidak dimasak (mentah).

Gejala Klinis
-
Dimulai setelah 12-36 jam termakan toksin (rata-rata antara 4 jam-8 hari) bisa berkembang
cepat.
-
Makin cepat makin berat
-
Mual muntah, lemah, vertigo
-
Rasa kering dimulut dan tenggorokan, sakit menelan
-
Mata kabur, diplopia (double visim)
-
Otot pernafasan lemah
-
Lemah/paralisis otot-otot lain
-
Mata sayu,
-
kesulitan menelan dan berbicara
-
tidak ada demam ataupun hilang kesadaran1

Pemeriksaan Fisik
-
Kesadaran normal sampai somnolen
-
Midriasis, efleks pupil melemah
-
Ptosis (kelumpuhan otot kelopak mata)
-
Nyeri sendi
-
Mucosa mulut dan lidah kering
-
Distensi abdomen/ peristaltik lemahh atau hilang, konstipasi
-
Retensi urin
-
Obstruksi jalan nafas/ infeksi sekunder di paru
-
Refleks normal kecuali bila paralisis

Prognosis
Angka kematian tinggi
Strain A: 60-70%
Strain B: 10-30%
Strain E: 30-50%

Pengobatan

93
Ketika botulisme berkembang setelah infeksi luka, terapi antibiotik dan debridemen luka
yang sangat teliti sangat penting
1. Perbaiki jalan nafas dan bila terdapat obstruksi jalan nafas  bila perlu trakeostomi/ espiator
mekanik
2. Lakukan bilas lambung
3. Berikan antitoksin: trivalen (ABE) antitoksin botulin terhadap tipe A dan B masing-masing
100.000 unit, tipe E: 10.000 unit  diberikan secara IV (ditest dahulu)
4. Bila terdapat infeksi sekunder atau sebagai profilaksis  berikan antibiotik golongan
penisilin.
5. Antitoksin diindikasikan untuk botulisme noninfant alami. Antitoksin yang berasal dari
equine yang menghasilkan antibodi pasif (yaitu imunitas langsung) terhadap toksin
Clostridium botulinum A, B, C, D, E, F, dan G. Setiap botol 20 mL mengandung antibodi
derivat equine ke 7 jenis toksin botulinum yang diketahui (A sampai G) dengan nilai potensi
nominal berikut: 7500 U anti-A, 5500 U anti-B, 5000 U anti-C, 1000 U anti -D, 8500 U anti-
E, 5000 U anti-F, dan 1000 U anti-G

Pencegahan
Berdasarkan anjuran WHO adalah Five Keys yaitu :

keep clean

separate raw and cooked

cook thoroughly

keep food at safe temperatures

use safe water and raw materials.2

Referensi

1. Chan-Tack, Kirk M. Botulism. Medscape. May 23, 2017 Available at


https://emedicine.medscape.com/article/213311-overview

2. Botulism. October 2017 available at http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs270/en/

94
KERACUNAN INSEKTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT

Termasuk dalam golongan ini adalah:


1. TEPP menghambat enzim kolinesterase
2. Paraoxon
3. Dimefox
4. Sehradon
5. Parafsion
6. Systox
7. Potosan
8. EPN
9. Malatsim
10. Sumitsion
11. Diazinon
12. Caboryl
13. Baygon golongan ini termasuk dalam karbamat dimana cara kejanya
serupa dengan organophospat
95
14. carbamult

Gejala Keracunan
1. Gejala Muskarinik
a. hipersekresi kelenjar keringat, air mata, air liur, saluan pernafasan dan saluran
pencernaan.
b. Dapat ditemukan gejala nausea, muntah
c. Nyeri perut
d. Diare
e. Inkontinensia alvi dan lenin
f. Bronkokonstriksi
g. Miosis tidak selau ditemukan
h. Bradikardi
i. Hipotensi pada keracunan berat paratsion hipertensi  gejala sejak diatas terjadi
sebagai akibat inhibisi kolinesterase yang didalam susunan saraf berfungsi menghentikan
asetilkolin dimana asetilkolin ini berfungsi sebagai pengantar rasangan saraf.

2. Gejala Nikotinik
a. Troitahing dan fasikulasi otot lurik serta kelemahan otot
b. Dapat pula ditemukan gejala sentral seperti:
- Ketakutan
- Gelisah
- Gangguan pernafasan
- Gangguan sirkulasi (kolaps vaskular)
- Tremor dan kejang
Kemungkina keracunan organophosphat harus dipikikan bila kita berhadapan dengan
penyakit akut tanpa demam dengan gejala nyeri perut, muntah, kejang, hipeaktivitas susunan
saraf, kolaps vaskular dengan gejala yang tidak jelas dan apabila ditemukan gejala muskarinik
dan nikotinik
 Gejala biasanya timbul setelah 1-6 jam kepada insektisida penyebab.

Pengobatan
1. Pelarut golongan organophosphat yang terminum atau diminumkan

Air Minyak tanah


(dipertanian) (+_ 98%)

Dilakukan tindakan cuci


Tindakan untuk memuntahkan
lambung atau membuat
atau cuci lambung sebaiknya
penderita muntah
96 dihindari utnuk mencegah
timbulnya pneumonia aspirasi
2. Pernafasan buatan bila terjadi depresi pernafasan dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan
3. Bila racun mengenai kulit atau mucosa mata bersihkan dengan air
4. Pengobatan dengan atropin
Berikan atropin smapai timbul tanda tanda atopinisasi

Cara pemberian:
Atropin
Dosis: 0,015-0,05 /kgBB secara IV
Dapat diulang setiap 5-10 menit
Gejala atropinisasi
a. Muka merah
b. Mulut keirng
c. Takikardia
d. Midriasis
Kemudian diberikan dosis rumatan untuk mempertahankan atropinisasi ringan
selama 24 jam. Protopan dapat diberikan pada anak dengan dosis 0,25 g
secara IV sangat perlahan-lahan untuk melaui IVFD.
5. Pegobatan simtomatik dan suportif.

97
KERACUNAN INSEKTISIDA GOLONGAN ORGANOKLORIN1

Termasuk dalam golongan ini:


1. DTT
2. Dieldin
3. Endrin
4. Chlordane
5. Aldin dsb
Kelimanya umumnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam kerosen, minyak tumbuh tumbuhan,
alkohol dan benzena  bekerja pada SSP yaitu terutama dibatang otak, serebelum dan korteks
serebri.

Gejala klinis
1. Bertambahnya aktivitas vitasi dan peninggian sensitivitas.
2. Agresif disusul oleh kelemahan dan kelumpuhan otot dan dapat timbul kejang pada hewan
percobaan.
Pada manusia tanda keracunan akut ialah:
1. Mual
2. Muntah
3. Gelisah
4. Nyeri perut disertai diare yang terjadi sesudah 1-2 jam
5. Parastesia dari bibir, lidah dan muka
6. Rasa geli atau menusuk pada kulit
7. Malaise
8. Nyeri kepala
9. Sakit tenggorokan
10. Hilangnya koordinasi
11. Tremor ataksia
12. Kejang tonik dan klonik yang dapat disertai koma pada keadaan keracunan yang berat
 merupakan gejala utama
13. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi fibrilasi ventrikel dan kematian mendadak
 kematian akibat terhentinya pernafasan karena kelumpuhan medula oblongata.
Gejala intoksikasi kronis  pada pekerjaan yang bekerja dengan organoklorin
1. Neuropati perifer
2. Parastesia

98
3. Hipotonia dan kelemahan otot
4. Anemia aplastik
 Kematian oleh karena nekrosis hati

Pengobatan
Tidak ada antidot langsung untuk mengatasi keracunan. Obat yang diberikan hanya
mengurangi gejala seperti antikonvulsi dan pernafasan buatan.
1. Tindakan cuci lambung dengan NaCl fisiologis atau membuat penderita muntah bila
pelarut oganoklorin bukan minyak tanah tetapi air.
2. Bebaskan jalan nafas terhadap sekret, mukus saluran nafas atau air ludah. Pernafasan buatan
bila terjadi depresi pernafasan.
3. Bila terjadi kejang  diazepam
4. Pengobatan simtomatik dan suportif:
Misal makanan tinggi karbohidrat dan vitamin B kompleks.

KERACUNAN JENGKOL2

Gejala klinis
Disebabkan hablur (kristal) asam jengkol yang menyumbat saluran kemih. Keluhan
timbul 5-12 jam setelah makan jengkol. Tercepat 2 jam dan terlambat 36 jam.
Gejala kejengkolan:
1. Rasa nyeri (kolik) didaerah pinggang/ daerah pusat, kadang-kadang disertai kejang. Kadang
pula disertai muntah.
2. Perasaan nyeri sewaktu berkemih, kencing sedikit-sedikit (oliguria) sampai terjadi anuria.
Kadang-kadang hematuria (+). Gejala tersebut timbul sebagai akibat sumbatan saluran kemih
oleh kristal asam jengkol.
3. Nafas dan urin bau jengkol.
Gejala pada keracunan berat:
1. Nyeri didaerah ginjal (kolik)
2. Kencing sakit kadang berbangkit-bangkit
3. Kembung, mual, muntah, flatus dan defekasi (-).

99
4. Anuria
Pada anak gejala yang sering didapat adalah infiltrat urin pada penis, skrotum yang dapat
meluas sampai didaerah suprapubik dan regio inguinal.

Pengobatan
Penatalaksanaan ditujukan untuk mencegah terbentuknya kristal dengan memberikan natrium
bikarbonat. Bila terjadi gagal ginjal akut maka penatalaksanaan sesuai dengan gagal ginjal akut.
Tidak ada antidotum spesifik.
a. Gejala ringan seperti muntah, sakit perut/pinggang
1. tidak perlu dirawat
2. banyak minum
3. berikan Na Bikarbonat (4 tablet) atau 0,5-2 gram, 4 kali pemberian perhari secara oral.
b. Gejala berat, oliguri, hematuri, anuria, tidak dapat minum
1. penderita dirawat
2. IVFD Dextrose 5 %+ Na Bikarbonat
Dosis Na. Bikarbonat untuk dewasa dan anak  2-5 mEg/kgBB diberikan secara infus
selama 4-8 jam.
3. Bila terdapat infeksi sekunder  antibiotika.

100
KERACUNAN KLORPROMAZIN2,3

Klorpromazin merupakan obat yang termasuk golongan antipsikotik fenotiazina yang


bekerja dengan menstabilkan senyawa alami otak. Klorpromazin dapat digunakan untuk
menangani ganguan mental seperti skizofrenia, gangguan psikosis, perilaku agresif, serta autisme
pada anak-anak.
Klorpromazin mempunyai efek:
1. Antimietik
2. Simpatolitik
3. Hipotensi
4. Hipometabolik dan hipotermik ringan
Dosis obat yang menyebabkan kematian yang pernah dilaporkan:
a. Kematian bayi umur 16 bulan menelan 750 mg
b. Anak umur 4 tahun  menelan 350 mg
c. Anak umur 3 tahun  menelan 800 mg
d. Oang dewasa berumur 40 tahun  menelan 2 gram

Gejala keracunan
1. Depresi susunan saraf pusat dari mengantuk sampai koma dan anekefsia
2. Hipotensi, takikadi, hipotermi dan miosis
3. Tremor, spasme otot, kaku otot dan kejang, gejala ekstrapiramidal
4. Hipotonia otot, sukar menelan atau bernafas dan sianosis
5. Kegagalan pernafasan dan atau kolaps vasomotor

Pengobatan
1. Melakukan cuci lambung, dapat dilakukan walaupun sudah lebih dari 4 jam menelan obat
karena motilitas lambung berkurang.
2. Pada renjatan berat dapat diberikan fenilefrin  jangan diberi adrenalin karena dapat
menimbulkan efek vasodepresan.

101
Dosis pada anak: 5-20 mg/kgBB perdosis secara IV setiap 10-15 menit. Dapat diberikan
melalui IVFD 0,1-0,5 mg/kgBB/menit, dosis dapat ditingkatkan sesuai dengan efek yang
diinginkan (misalnya: berdasarkan tekanan darah).
Dosis pada dewasa: 0,1-0,5 mg/dosis setiap 10-15 menit dilanjutkan dengan IVFD 100-180
mg/menit dititrasi sesuai dengan efek yang diinginkan.
3. Berikan cairan dan elektrolit bila perlu.
4. Oksigen dan pernafasan buatan bila perlu.
5. Penderita diselimuti dan ruangan dipanaskan dengan lampu.
6. Pada kasus berat  pertimbangkan transfusi tukar  tindakan hemodialisa tidak berguna
karena terdapat ikatan yang kuat dengan protein plasma.

Referensi
1. Mariana R. Toksikologi Pestisida Dan Penanganan Akibat Keracunan Pestisida. Media
Litbang Kesehatan Vol. 17 No. 3. Jakarta: 2017 [Available from: URL:
ejournal.litbang.depkes.go.id ]
2. Hospital Care For Children. Triase dan Kondisi Gawat Darurat, Pediatri Gawat Darurat:
Keracunan. Pocket Book of Hospital Care For Children. WHO : 2016. [Available from:
URL www.ichrc.org/155-keracunan-makanan]
3. Kementrian Kesehatan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan
Anak Di Rumah Sakit. WHO. Jakarta : 2017. [Available from: URL: www.searo.who.int]

KERACUNAN MINYAK TANAH

102
Pengertian Minyak tanah masuk ke dalam tubuh secara tidak disengaja, terminum oleh
anak, lalu menimbulkan iritasi pada selaput lendir saluran pencernaan. Dari
saluran pencernaan racun ini dapat mencapai organ tubuh yang lain melalui
saluran darah dan mencapai paru-paru karena aspirasi. Gejala klinis sudah
dapat terjadi jika anak menelan 10 mL minyak tanah, dosis lethal adalah 84
mL/kgBB

Anamnesis Riwayat menelan minyak tanah


Pemeriksaan 1. Gejala saluran pencernaan sebagai akibat iritasi, berupa mual-mual,
Fisik muntah, diare berdarah dan nek.
2. Gejala sistemik berupa batuk, batuk darah, sesak napas, sianosis,
udem paru, pneumonia dan atelektasis.
3. Takhikardia terjadi karena terbentuknya metHb dan kardiomiopatia.

Kriteria Berdasarkan anamnesis, diperkuat dengan bau minyak dari mulut anak dan
Diagnosis gejala klinis yang didapatkan pada pemeriksaan

Diagnosis Keracunan organofosfat, nitrat, insektisida


Banding
Pemeriksaan Rontgen Thorak
Penunjang
Konsultasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ERIA)
Perawatan Rawat inap
Rumah Sakit
Terapi/ tindakan 1. Merangsang muntah merupakan kontraindikasi oleh karena dapat
menimbulkan aspirasi.
(ICD 9 CM)
2. Antidote tidak ada.
3. Sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit untuk menentukan adanya
komplikasi
4. Pengobatan bersifat simptomatis :
a. O2 bila sesak,
b. Kompres dingin atau antipiretika bila panas,
c. Transfusi darah bila terbentuk metHb (99.04)
d. Infus bila koma,
e. Antibiotika bila ada infeksi (99.21)
Tempat Triage anak, ruang rawat anak (bangsal), ruang rawat intensif bila ada

103
Pelayanan indikasi
Penyulit Pneumotoraks, pneumatokel, pleuritis, emfisema dan empiema
Informed Lisan dan tertulis
Consent
Tenaga Standar 1. Dokter spesialis anak
2. Dokter Spesialis Anak Konsultan ERIA
3. Residen madya dan senior
Lama Perawatan 5 hari

Masa Pemulihan 3 hari

Hasil Kegawatan teratasi

Patologi Diperlukan
Otopsi Diperlukan
Prognosis Dubius
Tindak Lanjut Monitoring
Indikator Medis Keracunan teratasi
Edukasi Perburukan kondisi

Referensi 1. Osterhoudt KC, Ewald MB, Shannon M, Henretig FM. Toxicologic


emergencies. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of
pediatric emergency medicine. Lippincott Williams& Wilkins;
2016.h.1171-223.
2. Baer A, Kirk MA, Holstege C. Organophosphates, carbamates,
pesticides, and herbisides. Dalam: Erickson TB, penyunting. Pediatric
toxicology: diagnosis dan management of the poisoned child. McGraw-
Hill Professional; 2014.h.352-8.
3. Leikin JB. Arsenic. Dalam: Strange GR, Ahrens WR, Lelyveld S,
Schafermeyer RW, penyunting. Pediatric emergency medicine. McGraw-
Hill; 2013.h.586-8.

104
KERACUNAN SINGKONG

Toksikologi Singkong1
Penyebab keracunan singkong ialah asam sianida yang terkandung di dalamnya. Asam
sianida (HCN) ialah suatu racun kuat yang menyebabkan asfiksia. Asam ini akan mengganggu
oksidasi (pengangkutan O2) ke jaringan dengan jalan mengikat enzim sitokrom oksidase.
Akibatnya oksigen tidak dapat dipergunakan oleh jaringan dan tetap tinggal dalam pembuluh
darah vena yang berwarna merah cerah oleh adanya oksihemoglobin. Ikatan antara sitokrom
oksidase dengan HCN bersifat reversibel. HCN dalam bentuk cair dapat diserap oleh kulit dan
mukosa, tetapi garam sianida hanya berbahaya bila termakan. Dosis letal daripada HCN ialah 60-
90 mg.

Gejala Keracunan Singkong1


Biasanya pada keracunan singkong gejala akan timbul beberapa jam setelah seseorang
makan singkong.
1. Gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah dan diare.
2. Sesak nafas dan sianosis.
3. Perasaan pusing, lemah, kesadaran menurun dan apatis sampai koma.
4. Renjatan atau shock

Diagnosis Keracunan Singkong1

105
Diagnosis keracunan singkong umumnya mudah ditegakkan. Biasanya orang tua atau
orang yang didekatnya menceritakan timbulnya gejala seperti telah disebut di atas setelah
penderita makan singkong.

Pengobatan Keracunan Singkong2


Pengobatan harus dilakukan secepatnya. Bila makanan diperkirakan masih ada di dalam
lambung (kurang dari 4 jam setelah makan singkong), dilakukan pencucian lambung atau
membuat penderita muntah. Diberikan natrium tiosulfat 30% (sebagai antidotum keracunan
singkong) sebanyak 10-30 ml secara intravena perlahan. Bila sukar menemukan pembuluh darah
vena dapat dilakukan venoklisis atau pemberian dapat dilakukan secara intramuskular. Sebelum
pemberian natrium tiosulfat (selama mempersiapkan obat tersebut), pada penderita dapat
diberikan amil nitrit secara inhalasi. Cara pemberian natrium tiosulfat ialah mula-mula dengan
menyuntikkan obat tersebut sebanyak 10 ml intra vena, kemudian penderita dicubit untuk
mengetahui apakah kesadaran sudah pulih. Bila penderita belum sadar dapat diberikan lagi 10 ml
natrium tiosulfat. Bila timbul sianosis, dapat diberikan O2.

Prognosis Keracunan Singkong2


Bila pengobatan cepat dilakukan, penderita akan sembuh.

Pencegahan Keracunan Singkong2


Untuk mencegah agar tidak keracunan singkong, janganlah memakan singkong beracun
atau rendamlah singkong terlebih dahulu dalam waktu lama (satu malam sebelum dimasak).

Referensi
1. Olson, K.R. Poisoning & Drug Overdose. California. 2014
2. Sentra Informasi Keracunan, Badan POM. Pedoman Penatalaksanaan Keracunan untuk
Rumah Sakit. Jakarta. 2013.

106
MALARIA

Definisi
Penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh protozoa kronis
yang disebabkan oleh protozoa genus plasmodium dan ditandai dengan panas, anemia dan
splenomegali.

Etiologi1
1. Plasmodium falciparum
2. Plasmodium vivax
3. Plasmodium ovale Tertiana
4. Plasmodium Malariae (kuartana)
5. Plasmodium Knowlesi

Jenis-Jenis malaria1,2
1. Malaria Falsiparum Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam timbul
intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang
menyebabkan kematian.
2. Malaria Vivaks Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang dengan
interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang disebabkan
oleh Plasmodium vivax.

107
3. Malaria Ovale Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis biasanya bersifat
ringan. Pola demam seperti pada malaria vivaks.
4. Malaria Malariae Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala demam berulang dengan
interval bebas demam 3 hari.
2. Malaria Knowlesi Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam menyerupai
malaria falsiparum.

Gejala Klinis1
Masa inkubasi dari ke-4 spesies berbeda beda :
1. Plasmodium falciparum : 9-14 hari
2. Plasmodium vivax : 12-17 hari
3. Plasmodium malariae : 30-40 hari
4. Plasmodium ovale : 12-17 hari
5. Plasmodium Knowlesi : 11-14 hari
Secara umum gejala pada serangan malaria berupa :
1. Stadium dingin (cold stage)
 Dimulai dengan menggigil dan rasa kedinginan
 Gigi menggeletuk
 Bibir dan jari2 tersebut sianotik
 Kulit terlihat kering dan pucat
 Bisa terjadi muntah dan kejang.
2. Stadium Panas (Hot stage)
Terjadi setelah stadium dingin berlalu.
 Muka merah
 Kulit kering dan terasa terbakar
 Sakit kepala meningkat
 Mual dan muntah sering terjadi
 Perasaan haus yang amat sangat
 Temp bisa mencapai 410C >
Berakhir dalam 2-6 jam
3. Stadium berkeringat (ke sweating stage)
 Penderita mengeluarkan keringat yang banyak.
 Suhu menurun bisa mencapai dibawah normal
 Biasanya penderita jatuh tertidur dan setelah bangun terasa lemas.
Berlangsung 2-4 jam

108
Serangan ini akan berulang yang jaraknya tergantung pada spesies dari plasmodium. Pada saat
permulaan jarak serangan ini masih belum teratur tetapi biasanya periode serangan ini akan
mulai sinkron setelah 5-7 hari.
Pada bayi dan anak yang tidak imun yang mendapat serangan pertama biasanya gejala klinik
bervariasi :
 Mula mula anak terlihat lemas dan lemah
 Menolak untuk makan
 Mengeluh sakit kepala dan mual
 Bisa dijumpai kulit menjadi pucat dan pada kasus berat kuku terlihat pucat dan sianose bisa
dijumpai.
 Pada saat temp naik, perasaan haus terlihat anak yang dalam masa menyusui biasanya akan
sering sering menghisap puting susu ibu, tapi segera dilepas kembali., mungkin oleh karena
perasaan mual.
 Batas antara stadium dingin dan menggigil tidak jelas
 Muntah biasa terjadi pemberian obat sulit, kemudian cairan ataupun makanan bisa
menderita dehidrasi berat.
 Temp bervariasi, bisa moderate tetapi umumnya tinggi- 400C, kontinue dan ireguler dan bisa
dijumpai adanya kejang.
 Dijumpai adanya anemia
 Hepatosplenomegali.

Bahaya Malaria
1. Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian
2. Malaria dapat menyebabkan anemia yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya
manusia.
3. Malaria pada wanita hamil jika tidak diobati dapat menyebabkan keguguran, lahir kurang
bulan (prematur) dan berat badan lahir rendah (BBLR) serta lahir mati. 1,2

Pencegahan Malaria
Upaya pencegahan malaria adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko malaria,
mencegah gigitan nyamuk, pengendalian vektor dan kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan
nyamuk dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kawat kasa
nyamuk dan lainlain. Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah doksisiklin dengan
dosis 100mg/hari. Obat ini diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah

109
tersebut sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak
dibawah umur 8 tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.1,2

Pengobatan 2
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI

1) Malaria falsiparum dan Malaria vivaks


Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT ditambah
primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin
untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25
mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB.
Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan malaria falsiparum
dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini:

Dihidroartemisinin-Piperakuin(DHP) + Primakuin

110
Catatan :

Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat badan
tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.

a. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel pengobatan), maka dosis
yang dipakai adalah berdasarkan berat badan. 2

b. Apabila pasien P.falciparum dengan BB >80 kg datang kembali dalam waktu 2 bulan setelah
pemberian obat dan pemeriksaan Sediaan Darah masih positif P.falciparum, maka diberikan DHP
dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3 hari.

2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh)
diberikan dengan regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan malaria ovale Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu
DHP ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan
untuk malaria vivaks.
4) Pengobatan malaria malariae Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari
selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin

111
5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale Pada penderita dengan
infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25
mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Catatan :

a. Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat badan
tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.

b. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel pengobatan), maka dosis
yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.

c. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal.

d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

PENGOBATAN MALARIA BERAT

A. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik non Perawatan


Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap, pasien malaria berat harus
langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum dirujuk berikan artesunat
intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb)
B. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik Perawatan atau Rumah Sakit Artesunat
intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat diberikan kina drip.
Kemasan dan cara pemberian artesunat Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang
berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium

112
bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat.
Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml sehingga
didapat konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan secara bolus perlahan-lahan.
Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12,
24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita
mampu minum obat.

Contoh perhitungan dosis : Penderita dengan BB = 50 kg. Dosis yang diperlukan : 2,4 mg
x 50 = 120 mg Penderita tersebut membutuhkan 2 vial artesunat perkali pemberian.

Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
DHP atau ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai dengan jenis plasmodiumnya).

Kemasan dan cara pemberian kina drip Kina drip bukan merupakan obat pilihan
utama untuk malaria berat. Obat ini diberikan pada daerah yang tidak tersedia artesunat
intramuskular/intravena. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%.
Satu ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian kina pada dewasa :
1. loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml (hati-
hati overload cairan) dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan
selama 4 jam pertama.
2. 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
3. 4 jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgbb
dalam larutan 500 ml (hati-hati overload cairan) dekstrose 5 % atau
NaCl.
4. 4 jam selanjutnya, hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl
0,9%.
5. Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai
penderita dapat minum kina per-oral.
6. Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan
kina tablet per-oral dengan dosis 10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8
jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada
orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina
selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang
pertama.

113
Pemberian kina pada anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan :
6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 cc/kgbb
diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat. 2

Catatan :

1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat
menimbulkan kematian.

2) Dosis kina maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.

PEMANTAUAN PENGOBATAN

A. Rawat Jalan Pada penderita


rawat jalan evaluasi pengobatan dilakukan pada hari ke 3, 7, 14, 21 dan 28 dengan
pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara mikroskopis. Apabila terdapat perburukan
gejala klinis selama masa pengobatan dan evaluasi, penderita segera dianjurkan datang
kembali tanpa menunggu jadwal tersebut di atas.
B. Rawat Inap Pada penderita rawat inap evaluasi pengobatan dilakukan setiap hari dengan
pemeriksaan klinis dan darah malaria hingga klinis membaik dan hasil mikroskopis
negatif. Evaluasi pengobatan dilanjutkan pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan
pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara mikroskopis.

114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
Pemberian obat anti-malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa.
Pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit yang lebih cepat dan mampu bertahan
lama di darah untuk segera menurunkan derajat parasitemia. Oleh karena itu, dipilih pemakaian
obat secara parenteral (intravena, per-infus/ intramuskuler) yang berefek cepat dan kurang
menyebabkanterjadinya resistensi.1,3

Beberapa OAM yang digunakan pada pengobatan spesifik malaria berat antara lain:4,5

a. Artesunate
Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam
artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Untuk
membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan
larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5%

125
sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per iv,
sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24
jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan
secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang sama. Apabila penderita sudah dapat
minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-
piperakuin (DHP) atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin. Pada pemakaian
artesunate tidak memerlukan penyesuaian dosis bila gagal organ berlanjut.
b. Artemeter
Artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB
intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah dapat minum
obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin- piperakuin
(DHP) atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin.
c. Kina hidroklorida
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah
yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester
pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu ampul
berisi 500 mg/2 ml. Pemberian Kina hidroklorida pada malaria berat secara
intramuskuler untuk pra rujukan. Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa
termasuk untuk ibu hamil, loading dose 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml
dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis maintenance 10 mg/kgBB dalam
larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya
diberikan lagi cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi dosis
maintenance seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per-oral.
Apabila sudah sadar/dapat minum, obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet
per-oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian 3 kali sehari (dengan total dosis 7
hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).4,5
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian. Pada penderita dengan gagal

ginjal, dosis maintenance kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya. Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgBB.

Dosis kina maksimum dewasa 2.000 mg/hari. Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya

dalam Dextrose 5%.6,7 Pada kasus ini pasien diberikan terapi Artemeter 1,6 mg/kgbb i.m pada jam 0 dan jam 12 (hari 1), kemudian dilanjutkan IM

126
Artemeter 1,6 mg/kgbb/hari pada hari ke 2 sampai 5. Setelah terapi Artemeter selesai lalu dilanjutkan dengan terapi oral primakuin 1 x 3 tablet

single dosis, DHP 1x3 tab selama 3 hari.2,4,5

Nama Obat Sediaan Dosis Dewasa Dosis Anak Efek Samping

DHP Fixed dose DHA 2-4mg/ DHA 2-4mg/ NA


combination/FDC kgBB/hr PPQ kgBB/hr PPQ
(DHA 40mg dan 16-32mg/ 16-32mg/
PPQ 320mg) kgBB/hr kgBB/hr (dosis
Diberikan anak tidak
selama 3 hari boleh melebihi
dosis dewasa)
Diberikan
selama 3 hari

Kombinasi Co-blister Artesunat Artesunat Artesunat : NA


Artesunat- 4mg/kgBB/ hr 4mg/kgBB/ hr Amodiakuin: mual
Amodiakuin Amodiakuin Amodiakuin muntah, diare, sakit
basa 10mg/ basa perut, hepa-
kgBB/hr 10mg/kgBB/ hr totoksik, bradikardi
Diberikan (dosis anak
selama 3 hari tidak boleh
melebihi dosis
dewasa)
Diberikan
selama 3 hari

Kina a.Tablet 200 mg 30 mg/ kgBB/ 30 mg/ kgBB/ Tinnitus, renal


hari dibagi hari dibagi failure, ventrikular
b.Injeksi
dalam 3 dosis. dalam 3 dosis takikardi, hepato-
1ampul=2cc Kina
Diberikan Diberikan toksik, hipoglikemi,
HCl 25% 500mg

127
selama 7 hari selama 7 hari hipotensi berat,
Loading dose 10mg/kgBB, trombositopeni
20mg/ kgBB umur
Maintenance
dose 10 mg/
kgBB

Doksisiklin Kapsul 100 mg 3.5mg/ 2.2 mg/ Anorexia, depresi


kgBB/hari kgBB/hari sumsum tulang,
Diberikan Diberikan nefrotoksik
2xperhari 2.2 2xperhari
mg/ kgBB/hari
Diberikan
2xperhari

Tetrasiklin Kapsul dan 4mg/kgBB/ 4mg/kgBB/ Anorexia,perubahan


Tablet 250 mg kali Diberikan kali Diberikan warna gigi
4xperhari 4xperhari

Klindamisin Kapsul 10mg/ 10mg/kgBB/ Diare, mual,


75mg,150mg, kgBB/hari hari Diberikan nyeri perut, muntah
dan 300mg Diberikan selama 7 hari
selama 7 har

Artemeter + Tablet FDC >35 kg 2x4 tab 5-14 kg : 2x1 Sakit kepala, Letih,
Lumefantrin (20mg Diberikan tab (3 hari) 15- Asthenia, Pruritus,
artemeter+120mg selama 3 hari 24 kg : 2x2 tab rash, Vomitus,
lumefantrin) (3 hari) 25-34 nausea
kg ; 2x3 tab(3
hari)

Artesunat Vial (1cc=60mg) 2.4 mg/ kgBB 2.4 mg/ kgBB NA

Artemeter Ampul 1.6mg/ kgBB 1.6mg/kgBB NA

128
(1cc=80mg)

Referensi

1. World Health Organization (WHO) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDAI). Buku Saku
Penatalaksanaan Malaria. Jakarta. 2012
2. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006: 1732-44.
3. White NJ, Breman JG. Malaria Introduction. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Jameson JL, Lozcalzo L, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol I 17th ed.
New York: McGraw-Hill Companies. 2009: 1280-93.
4. Pedoman Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. 2008
5. Harijanto PN. Tatalaksana Malaria untuk Indonesia dalam Epidemiologi Malaria di
Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI.
2011
MENINGITIS PURULENTA (PADA ANAK)

Definisi
Radang selaput otak (arakhnoidea dan Piameter) yang menimbulkan eksudasi berupa pus
disebabkan oleh kuman non spesifik dan non virus.

Gejala Klinis
1. Gejala infeksi akut
 Anak menjadi lesu
 Panas
 Muntah
 Anoreksia
 Pada anak yang lebih besar sakit kepala.
Pada infeksi yang disebabkan oleh meningococcus terdapat ptekie dan herpes labialus.
2. Gejala Tekanan Intrakranial yang meninggi
 Muntah
 Nyeri kepala ( pada anak besar)

129
 Moaning cry (pada neonatus) yaitu tangis yang merintih.
 Kesadaran bayi /anak menurun dari apatus-coma
 Kejang yang terjadi dapat bersifat umum, fokal dan twitching.
 Ubun2 besar dan menonjol serta tegang
 Terdapat gejala kelainan cerebral lainnya seperti parese dan paralisis, strasbismus,
pernafasan cheyne stokes.
3. Gejala Rangsangan Meningeal
 Kaku kuduk
 Kernig sign
 Brudinzky I dan II
 Pada anak besar sblum gejala di atas sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan
punggung.

Bila Terdapat Gejala diatas 1. Penderita dngn kejang dan twitchingbaik dari anamnesa
dan infeksi.
2. Adanya paresis dan paralisis (termasuk strasbismus dan
parese N. VI)
3. Koma
4. Ubun-ubun besar menonjol
5. Kaku kuduk dngn kesadaran menurun
6. Tuberkulosis Miliaris
7. Leukemia
Lumbal fungsi indikasi 8. Spondilitis TBC

Hasil pemeriksaan LCS pada Meningitis Purulenta


a. Warna keruh
b. Tekanan meningkat
c. Kumlah sel meningkat sampai ribuan (1000-10.000/mm3)
d. Diff. Telling PMN>MN
e. Glucosa menurun

Lakukan kultur LCS dan Uji Resistensi

Indikasi lumbal fungsi yang lain.


 Demam > 2 minggu tanpa diketahui sebabnya dan telah diterapi dngn terapi
adekuat.
 Mastoiditis kronos dan sepsis (neonatal meningitis).

130
Pengobatan
1. Berikan cairan IV dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa.
2. Bila anak masuk dalam status konvulsif

Diazepam 0,5 mg/kgBB1x/IV


Kejang (+) setalah 15mnt
Diazepam 0,5mg/kgBB1x/IV
Kejang (+) setalah 15mnt
Diazepam 0,5mg/kgBB1x/IM

Tidak teratasi Teratasi

Fenobarbital (IM) dosis awal


 Neonatus : 30mg
 <1 tahun : 50mg
 >1 tahun : 75mg

4 jam kemudian

Dosis Rumatan
Fenobarbital 8-10mg/kgBB/hari di bagi 2 dosis
selama 2 hari.

Fenobarbital 4-5mg /kgBB/hari dibagi selama 2


dosis
Bila diazepam tidak tersedia dapat diganti dngn Fenobarbitaldosis awal kemudian dosis
rumatan.
3. Pemberian Antibiotik ( pada bayi dan anak)
Oleh karena etiologi tersering adalah H. Influenza dan pneumococcus.

Kombinasi Secara IV
a. Ampisilin 400mg/kgBB /hari dibagi dalam 6 dosis dengan
b. Cloramfenikol 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
LCS Normal
LCS Abnormal
Pada hari ke 10 pengobatan dilakukan fungsi lumbal ulang dilanjutkan 2 hari lagi dngn
 Pengobatan
 Pengobatan dilanjutkan dngn obat dan cara
resimen yg sama.
yg sama
 Pengobatan sesuai hasil biakan dan uji
resusitasi kuman. 131
Pada Neonatus Penyebab tersering adalah dari staphylococus (40% kasus pada neonatus
dan bayi muda salmonella sp).

Dru of choice
a. Cefotaxime/Cefritiaxin (cepalosporin generasi III) dosis 200mg/kgBB/hari scra IV dibgi
dalam 2 dosis.
+
Amukasin dngn dosis awal 10mg/kgBB/hari scra IV dilanjutkan dosis 15mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.
Atau: Cefotaxime (cepalosporin generasi III)
+
Gentamisin dosis 6mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

b. Ampisilin 300-400mg/kgBB/hari scra IV dibagi dalam 6 dosis..............................


+
Kloramfenikol 50mg/kgBb/hari scra IV dibagi dalam 4dosis (pada neonatus kurang bulan dosis
kloramfenikol tidak boleh >30mg/kgBB/hari dapat trjadi grey baby.

c. Kotrimazol 10mg TMP/kgBB/hari scra IV dibagi dlm 2dosis selama 3 hari dilanjutkan dngn
dosis 6 mg TMP/kgBB/hari scra IV dibagi dalam 2 dosis.
Contoh :pada Neonatus
 Pengobatan selama 21 hari dan ulangi fungsi lumbal pada hari ke 21 pengobatan.
 Sefalosporin dan Kotrimazol tidak diberikan pada bayi berusia <1 minggu.

Pemberian antibiotik pada M. Purulenta.


 Diberikan sampai 5 hari bebas demam dan selama 14 hari
 Digunakan pemberian scra IV

132
Untuk Penyebab tertentu dianjurkan memilih obat sbb:
a. Haemophylus influenza : Ampisilin + Kloramfenikol
b. Pneumococcus : Ampisilin
c. Staphylococcus non Penielinase : Ampisilin+Linkomusin dosis: 50-100mg/kgBB/hari.
d. Staphylococcus penielinase : Ampisilin+Oklasilin dan 50-100mg/kgBB/hari dan
Metislin 100-300/kgBB/hari.
e. Streptococcus : Ampisilin + Linkomisin
f. Colifarm : Ampisilin + Amuksin dan Gentamisin
g. Meningococcus : Ampislin + Kotrimoxazole
h. Salmonela :  Sefalosporin +amuksin
:  Ampisilin + Kloramfenikol
:  Cotrimoxazol

Bila terjadi penyimpangan perjalanan penyakit diatas misalnya:


 Terdapat panas terus menerus yg tidak dapat ditenangkan
 Ubun ubun besar tetap menonjol
 Kejang timbul lagi dan timbul gejala neurologis lain Kemungkinan efusi subdural 
Transluminasi.
Golongan Sephalosporin generasi III untuk Meningitis pada anak.
a. Cefotaxime sodium dosis : 200mg/kgBB/hari scra IV dibagi 3-4 dosis.
b. Cefotriaxime Soidum  dosis : 75mg/kgBB/dosis awal dilanjutkan 80-100mg/kgBB/hari
diabgi 1-2dosis.
c. Cefaroxime dosis : 200-250mg/kgBB/hari secara IM dan IV dibagi dalam 3 dosis.

MENINGITIS TUBERCULOSA

133
Definisi
Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang mengenai selaput
otak dan selaput medulla spinallis yang disebut juga sebagai meningens. Meningitis TB
tergolong kedalam meningitis yang disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosa.
Bakteri tersebut menyebar ke otak dari bagian tubuh yang lain.1
Radang selaput otak akibat komplikasi Tuberculosa primer.

Gambaran Klinis
 Terkadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Hal
ini terdapat pada TBC miliers sehingga pada penyebaran milier sebaiknya dilakukan fungsi
lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
 Biasanya mulai perlahan2 terdapat tanda panas dan hanya terdapt kenaikan suhu yang ringan,
jarang terjadi aku dngn panas yg tinggi.
 Sering dijumpai anak mudah terangsang dan anak menjadi apatis dan tidurnya sering
terganggu.
 Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala
 Sering ditemukan anoreksia, abstupasi dan muntah.

Stadium Prodromal
 Stadium prodromal selanjutnya beralih ke stadium dengan :
a. Kejang
b. Gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kaku kuduk hingga bisa terjadi opistotonus.
c. Refleks tendon meningkat
d. Ubun ubun menonjol.
e. Umumnya terjadi strabismus dan nistasmus otak kelumpuhan sarafsaraf mata (N.VI)
f. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
 Stadium terminus
a. Kelumpuhan kelumpuhan
b. Koma menjadi lebih dalam
c. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
d. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur terkadang pernafasan cheyne-stokes
e. Hiperporeksia timbul dan anak tanpa kesadaran pulih kembali.

Pemeriksaan Lumbal Fungsi



Warna LCS jernih, opalesen dan kekuningan (xantokrom)

Tekanan meninggi

Jumlah sel meningkat namun umumnya jarang melebihi 1500ml/mm3

Diff telling MN>PMN terutama limfosit

134

Kada protein meningkat

Kadar glucosa menurun (20-40%) dan ehlers menurun

Bila LCS didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel) tempat yang sering ditemukan
basil TBC.

Diagnosis 1
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara
1. Anamnese : ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan penderita TB
2. Lumbal pungsi
Gambaran LCS pada meningitis TB:
a. Warna jernih / xantokrom
b. Jumlah sel meningkat MN > PMN
c. Limfositer
d. Protein meningkat
e. Glukosa menurun < 50% kadar glukosa darah
Pemeriksaan tambahan lainnya :
- Tes tuberkulin
- Ziehl-neelsen (ZN)
- PCR (Polymerase Chain Reaction)
3. Rontgen thorax
- TB apex paru
- TB milier
4. CT scan otak
- Penyengatan kontras (enhancement) di sisterna basalis
- Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
- Komplikasi : hidrosefalus
5. MRI

Pengobatan
1. Kombinasi obat anti tuberkulosis
Umumnya kombinasi : Streptomycin –PAS-dan INH
 Streptomycin dosis 30-50mg/kgBB/hari secara IM selama 3 bulan dan apabila perlu
dapat diteruskan 2x/minggu selama 2-3 bulan lagi.
 INH dosis 10-20mg/kgBB/hari secara oral selama minimal 2 tahun disertai pemberian
pisidoksin (vit B6) : 15-50mg/hari.
 Pas (para aminosalisilat) dosis : 200-300 mg/kgBB/ hari secara PO dibagi dalam 2-3
dosis.
2. Kortikosteroid

135
Prednison dosis: 2-3 mg/kgBB/hari/PO dibagi dalam 3 dosis (dosis minimum 20mg/hari)
selam 2-4 minggu kemudian diturunkan 1mg/kgBB/hari setiap hari.  mencegah rebound
pheromemon pemberian seluruhnya selama 3 bulan.
3. Bila kejang  lakukan prosedur pemberantasan kejang.
4. Koneksi dihidrasi akibat masukan makanan yang kurang dan muntah2
5. Fisioterapi.
Bila terdapat resistensi terhadap obat TB yang biasa digunakan  ganti dngn second line
drug.
1. Ethionamide (250mg/tablet)
Dosis : 15-20 mg/kgBB/hari scra PO dibagi dalam 2-3 dosis (max 1000mg/hari) harus
disertai pemberian vit B6
2. Cyelosenin (250 mg/kapsul)
Dosis : 10-20mg/kgBB/hari/PO dibagi 2 dosis.
3. Pirazinamide (500mg/tablet)
Dosis : 30-35 mg/kgBB/ hari PO dibagi dalam 2 dosis.

Kejang teratasi
Diagram pemberantasan kejang pada
meningitis purulenta, serosa dan simple
febrileconvalsion

Kejang

Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB 1x/IV

Kejang (+) setelah 15 menit

Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB 1x/IM

Kejang tidak teratasi

Fenobarbital IM dosis awal:


ICU
 Neonatus : 30mg
 < 1 tahun : 50mg
 > 1tahun : 75mg

Selanjutnya dosis rumatan diberikan 4 jam


Dosis
136 kemudian.
Rumatan
(Dosis 4 jam dari dosis awal)
Fenobarbital
Fenobarbital dosis
dosis 8-10mg/kgBB
Selama dibagi
4-5 mg/kgBB/hari
2 hari dalam

dibagi 2 setelah pemberian
dimulai
dalam
dosis.
2 dosis awal
Catatan :
 Bila tidak tersedia diazepam dapat diganti dengan fenobarbital dimulai dngn dosis awal dan
selanjutnya dosis rumatan
 Selain secara IV, diazepam dapat pula diberikan melalui rectum dengn dosis.
BB< 10 kg : 5mg rektial
10kg : 10mg rektial

Prognosis1

Prognosis meningitis TB lebih baik sekiranya didiagnosa dan diterapi seawal mungkin. Secara
umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau mental
atau meninggal tergantung :

- Umur penderita
- Jenis kuman penyebab
- Berat ringan infeksi
- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
- Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
- Adanya dan penanganan penyakit.

Referensi
1. http://www.tbindonesia.or.id/2014/04/21/meningitis-tuberkulosa/

137
MORBILI (CAMPAK, MEASILIS, RUBELA)

Masalah Kesehatan1
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain dari
penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang sangat infeksius dan
menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili
dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis.
Salah satu strategi menekan mortalitas dan morbiditas penyakit morbili adalah dengan
vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007,
ternyata cakupan imunisasi campak pada anak-anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia masih
relatif lebih rendah (72,8%) dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara yang sudah
mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara dengan tingkat insiden tertinggi
ketiga di Asia Tenggara. World Health Organization melaporkan sebanyak 6300 kasus
terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang tahun 2013. Dengan demikian, hingga kini, morbili
masih menjadi masalah kesehatan yang krusial di Indonesia. Peran dokter di pelayanan
kesehatan primer sangat penting dalam mencegah, mendiagnosis, menatalaksana, dan menekan
mortalitas morbili.

Hasil Anamnesis (Subjective)1


1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem, yang dimulai
pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara
sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)1

138
1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati general.
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala pada daerah
perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal dan ke bawah
hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai urutan muncul,
dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi ringan. Eksantem hilang dalam 4-6
hari.

Pemeriksaan Penunjang2
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia berinti
banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM anti-
Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Penegakan Diagnosis (Assessment)2


1. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Diagnosis banding:
a. Erupsi obat
b. Eksantem virus yang lain (rubella, eksantem subitum),
c. Scarlet fever
d. Mononukleosis infeksiosa
e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae

Komplikasi2
Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)3


Penatalaksanaan

139
1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang hilang dari
diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika terjadi infeksi
bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan dosis
ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian.

Konseling dan Edukasi3


Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. Namun
demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat
suportif. Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis. Untuk
anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human
immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita. Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi usia 6
bulan - 1 tahun, bayi usia kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan
wanita hamil.

Kriteria Rujukan3
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri,
pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis).

Prognosis3
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan penyakit selflimiting
disease.

140
Referensi
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2014. (Djuanda, et al., 2014)
2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology.
11th Ed. Saunders Elsevier. Canada. 2013. (James, et al., 2013)
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2016.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2016)

PAROTITIS EPIDEMIKA (GONDONG, MUMPS)

Definisi
Penyakit akut yang menular dengan gejala khas pembesaran kelenjar ludah

141
terutama kelenjar parotis. Parotitis epidemika sering juga disebut penyakit gondongan atau
mumps, yang timbul secara endemik atau epidemik. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia
tetapi 85% kasus terjadi pada masa anak berusia kurang dari 15 tahun dengan proporsi tertinggi
pada usia 5-9 tahun.1

Etiologi
Virus dari grup paramyxovirus

Gejala Klinik
- Masa Inkubasi : 12-24 hari dan terbanyak 17-18 hari.
- Gejala prodromal selama 1-2 hari
a. Demam yang biasanya naik sampai 38,50C – 39,50C
b. Anoreksia
c. Sakit kepala dan malaise
d. Sakit otot terutama di daerah leher.
e. Nyeri tekan2
- Gejala yang khas : Pembengkakan kelenjar parotis yang mula-mula unilateral
tetapi kemudian dapat menjadi bilateral.
- Karakteristik dari pembesaran :
1. Kelenjar parotis membesar pada daerah antra batas mandibular dan mastoid, kemudian
membesar keatas dan kebawah dimana proses pembesaran berlangsung cepat (dalam
beberapa jam).
2. Pembengkakan tsb tersa nyeri baik spontan maupun pada perabaa, terlebih-lebih apabila
penderita makan atau minum yang asam
 gejala khas Parotitis Epidemica.
3. Di daerah parotis kulit tampak berwarna merah kecoklatan, nyeri pada tekanan, bagian
bawah daun telinga terangkat keatas.
4. Kadang jading disentral trismus dan disfagia.
5. Pembengkakan kelenjar berlangsung 3 hari dan kemudian mengempis.
6. Kadang kelenjar submandibular dan sublingualis juga dapat terkena.

Komplikasi
1. Meningoencephalitis (10%).
2. Orchitis, Epididymitis  sering pada orang dewasa (14-35%).
3. Pancreatitis, mastitis, thyroiditis (jarang).
4. Miokarditis, nephritis, tuli, komplikasi pada mata.
5. Arthritis.
6. Thrombocytopenia Purpura.

142
Diagnosa
Beberapa fakta dapat merupakan pegangan dalam mendiagnosa mumps:
a. Riwayat pernah kontak dengn penderita mumps 2-3 minggu sebelum gejala timbul dimana
penularan bisa kontak langsung, droplet, muntah yang terkontaminasi dan mungkin melalui
urine.
b. Gejala klinis dari parotitis atau kelenjar lain yang terlibat.
c. Tanda dari aseptie meningitis.

Pengobatan
Simptomatik dan supportive oleh karena merupakan self limited desease.
1. Rasa takut yang disebabkan oleh pembengkakan kelenjar.
a. Aspirin, dosis pada anak : 10-15 mg/kgBB/dosis diberikan 3-6 kali sehari
(4-6 x perhari).
dosis pada dewasa : 4-6x (650-1000)ml (max: 48/hari).
b. Codeine
dosis pada anak : 0,5-1 mg/kgBB/dosis diberikan 4-6 x perhari
(max: 60 mg/hari).
dosis pada dewasa : 4-6 x (15-60)mg k/p.
2. Dapat diberikan kompres panas atau dingin.
3. Diet makanan cair atau lunak.
4. Untuk mencegah terjadinya orkhitis.
a) Kortikosteroid selama 2-4 hari dan
cth prednisone : dosis : 0,1-2 mg/kgBB/hai secara po dibagi dalam 1-4
dosis (biasanya 3 dosis).
b) Globulin Gama.
5. Istirahat ditempat tidur selama masa panas dan pembengkakan kelenjar parotis.

Referensi

1. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. dalam: Buku ajar: Ilmu penyakitdalam. Jakarta. Interna
Publishing; 2009
2. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Buku kuliah: Ilmu kesehatan anak 2. Jakarta: FK
UI

143
SIFILIS KONGENITAL

Definisi
Penyakit menular yang disebabkan oleh Treponemapallidum dan ditularkan oleh ibu
kepada fetus yang dikandungnya.

144
Gambar.1 Gambaran mikroskop elektron T.pallidum1

Gambar.2 Gambaran histopatologis T.pallidum1

Tanda dan gejala


Gejala silifis dini (biasanya 2-6 mps setelah bayi dilahirkan)
1. Rinitis yang khas dengan sekret mukopuruken, kadang-kadang berdarah, bibir atas terkupas.
Kadang-kadang terdapat ulserasi pada tulang rawan hidung sehingga akhirnya hidung
menjadi pesek  Sadle Nose
2. Kelainan kulit dan mukosa

145
a. Makulopapula yang bundar tidak gatal, sedikit meninggi, mula-mula berwarna merah
muda kemudian menjadi merah tua, tengguli, berbekas bila sembuh  tersebar diseluruh
badan di daerah gluteus, punggung, muka, dahi.
b. Pemfigus berupa bula yang terdapat dimana-mana tetapi khas pada telapak kaki dan
tangan, kemudian menjadi infeksi sekunder.
c. Deskuamasi kulit pada telapak kaki, tangan dan sekitar kuku. Sebelum atau sesudah
pengelupasan, tampak kulit telapak kaki dan tangan mengkilat dan berwarna merah.
d. Ragaden yaitu sudut mulut dan kulit sekitar hidung pecah-pecah.
e. Kondilomata yang terutawa terdapat disekitar anus, vulva dan kadang-kadang sekitar
mulut
3. Hepatosplenomegali dan sering disertai ikterus
4. Tulang dan persendian
a. Periostitis biasanya simetris dan tidak nyeri
b. Osteokondritis yang difus dan simetris terutama pada ujung tulang panjang dan dapat
menyebabkan fraktur serta pemindahan (displacement) epifisis yang menyebabkan
pembengkakan dan pergerakan terbatas Pseudoparalisis parrot
c. Tanda Weinberger daerah dengan batas tidak teratur dibagian ujung atas dan medial
tibia
5. Susunan saraf pusat biasanya terkena juga dapat berupa kejang, hidrosefalus, buta dan tuli
6. Biasanya terdapat Limfadenopati dan Edema

Gambar.3 Ulkus sifilis primer di anorektal1

146
Gambar.4 Ulkus sifilis primer di labium mayora1

Gambar.5 Ulkus sifilis primer di penis1

Gambar.6 Bercak Kemerahan di telapak kaki, sifilis sekunder1

147
Gambar.7 Bercak kemerahan di telapak tangan, sifilis sekunder1

Gambar.8 Bercak kemerahan di punggung, sifilis sekunder1

Gambar.9 Bercak kemerahan di vagina, sifilis sekunder1

148
Gambar.10 Patchy alopecia1

Gejala Sifilis Lanjut


1. Panjang dan berat badan kurang dari biasa
2. Keratitis Interstitialis dijumpai pada umur 5-15 tahun, biasanya bilateral dan resisten
terhadap pengobatan
3. Kelainan Meningovaskulus dengan kemunduran mental, kejang, paralisis, atrofi N Optikus,
hemiplegi, hidrosefalus, meningitis
4. Periotitis
5. Trias Hutchinsonyaitu
a. Tuli
b. Kelainan pada bagian incisivus tetap
c. Keratitis
6. Ragaden disekitar (disudut) mulut, kulit kering, alopesia dan terkadang terdapat ulkus
7. Penebalan diafisis Sabre tibia
8. Hepatosplenomegali yang terdapat lebih jarang dibandingkan bentuk ini
9. Nefritis sifilitika dengan gejala hematuria dan ditemukannya silinder dalam urin

Pengobatan
1. Kurang dari usia 2 tahun
a. Penisilin Prokain: 15.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari
b. Benzatin Penisilin: 50.000 IU/kgBB/minggu selama 3 minggu
2. Usia lebih dari 2 tahun:
a. Prokain Penisilin: 20.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari
b. Benzatin Penisilin: 100.000 IU/kgBB/minggu selama 3 minggu
Apabila alergi terhadap penisilin maka dapat diberikan:
a. Tetrasiklin HCLdosis 60 mg/kgBB/hari selama 12-15 hari
b. Eritromisin dosis 15 mg/kgBB/hari selama 12-15 hari

149
Refensi
1. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di Layanan Kesehatan Dasar.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

SINDROMA NEFROTIK

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7
kasus baru per 100.000 anak per tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak.1

DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala: 2
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
1.1 trombosit, hematokrit, LED) Albumin dan kolesterol serum
1.2 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau

150
1.3 dengan rumus Schwartz Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
1.4 pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

TATA LAKSANA UMUM


1. Rawat inap
2. Evaluasi diit
3. Penanggulangan edem
4. memulai pengobatan steroid,
5. edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit
d. sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan.
e. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
f. INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Diitetik
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema. 2
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti
furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), bia- sanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤
1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb se- lama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2

151
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mence- gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. 2

Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid.

152
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan
ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan
lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi
2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal
Golongan 2. ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal. 2

153
Referensi
1. Vogt AB, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia;
WB Saunders; 2007. h. 2190-5.
2. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Kerja Koordinasi
Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta:Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

TETANUS ANAK

Definisi

154
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnyatonus otot dan
spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Manifestasi klinis terjadi sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction, serta saraf otonom.1

Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang
dengan sifat :

Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul
genderang

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagela

Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan dan desinfektan. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian.2

Gejala klinis
Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada
infeksi ringan bila terjadi modifikasi penyakit anti serum. Penyakit ini biasanya terjadi secara
mendadak dengan ketegangan otot yang semakin bertambah terutama pada rahang dan leher.

Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi
masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada
daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian pada anak laki-
laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke
manusia.1

Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh
bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara

155
mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun diduga melalui:
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.2
C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus
disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di ke empat sistem
saraf:(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa
kasus, pada sistem saraf simpatis.3
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai oporto tonus (karena ketegangan otot-otot erektor Trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut  abdominal rigidity
4. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas), sudut mulut tertarik keluar
dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi
5. Kejang tonik yang spontan atau bila dirangsang dengan kesadaran yang baik setelah kejang
(oleh karena toksin yang terdapat pada kornu anterior)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini
7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan oporto tonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan anak mengepal kuat tangannya
8. Kesadaran baik
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
10. Terdapat porte de entre

Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 2 stadium


1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang
2. Trismus (3 cm lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan

Gejala klinis
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 2
1.Generalized tetanus (Tetanus umum)
- Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.

156
- Pola yang desendens.
- Tanda pertama berupa trismus/ lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen.
- Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.
- Spasme dapat berlangsung hingga 3-4minggu.
- Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2.Localized tetanus (Tetanus lokal)
- Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki
prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan
derajat yang lebih ringan.
- Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
- Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga
tengah.
- Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik(seringkali pada saraf fasialis).
- Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanusumum.
- Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari.
- Prognosis biasanya buruk.
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

Pemeriksaan penunjang

157
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun
demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus,
dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.

Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan
bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.

Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.4

Diagnosis banding
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :4
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai
trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor
serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis mediasupuratif kronis
(OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

Prognosis
Dipengaruhi oleh :
1. Masa tunas
Bila masa tunas pendek (<7 hari)  prognosis baik
2. Usia
Prognosis buruk pada neonatus (sangat muda) dan usia lanjut
3. Frekuensi kejang
4. Kenaikan suhu tubuh
5. Kecepatan pengobatan
6. Period of onset (jarak antara trismus dan timbulnya kejang)

158
7. Adanya komplikasi, mis: spasme otot pernafasan dan obstruksi saluran pernafasan

Pengobatan
1. Pengobatan spesifik dengan ATS
a. ATS 20.000 IU/hari selama 2 hari berturut-turut secara intramuskular
b. ATS 20.000 IU dalam 20 ml Nacl Fisiologis IV harus dalam waktu 30-45 menit
 ATS 20.000 IU/IM pada paha kanan (paha luar)
Sebelum ATS diberi  test mata dan kulit

Bila (+) ragu-ragu

Desentisisasi cara Besredka

2. Anti konvulsan
a. Skema pemberian Diazepam pada tetanus anak
Penderita datang dengan kejang

Diazepam 10-20 mg secara IV

Kejang (-) Kejang (+)

Dimulai dosis maintanance Diazepam 10-20 mg


3-4 mg/kgBB/hari dibagi 8 dosis secara IV
(max : 25 mg/kgBB/hari)
Kejang(-) Bila kejang (+)

Kejang (-) Kejang (-) Diazepam 10-20 mg


selama 48-72 jam secara IM
Berantas sampai
Turunkan dosis tuntas Kejang (+)  ICCU
10-15 %

159
Evaluasi dosis dimana dosis
dinaikkan dan buat daftar dosis baru

Bila kejang (+) sebelum 2-3 jam


dengan dosis baru, berantas kejang.
Evaluasi dosis (naikkan) dan interval
pemberian diperpendek menjadi per 2 jam.
b. Fenobarbitol
Dosis awal untuk usia <1 tahun : 50 mg
1 tahun lebih : 75 mg
Dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 6 dosis
c. Bila kejang sulit diatasi dapat diberikan kloralhydrat 5% dosis : 50 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis  per rektal
3. Antibiotika
a. Prokain penisilin 50.000 IU/kgBB/12 jam/IM
Selama 7-10 hari (3 hari bebas panas/panas turun) atau bila alergi
b. Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis selama 7-14 hari
c. Tetrasiklin 30-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (max: 2 gr/hari)
d. Penisilin G : 200.000 IU/kgBB/hari dalam 6 dosis  6 hari
4. Diet
- Cukup kalori dan protein
- Konsistensi tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan
- Bila terdapat trismus  NGT
- k/p  nutrisi parenteral
5. Isolasi untuk menghindari rangsangan (suasana, tindakan terhadap penderita). Ruangan
perawatan harus tenang.
Perawatan di ICU dianjurkan pada keadaan
1. Kejang-kejang yang sukar diatasi dengan obat-obatan anti konvulsan yang biasa
2. Spasme laring  trakeostomi k/p untuk menghindari obstruksi jalan nafas
3. Komplikasi yang memerlukan perawatan intensive seperti sumbatan jalan nafas, gagal nafas,
hipertermi dsb.

Pencegahan
1. Perawatan luka yang adekuat
2. Bila terjadi luka berat pada anak yang telah mendapat Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) 4 tahun
yang lalu maka wajib dilaksanakan pencegahan dengan cara

160
a. Pemberian Anti Tetanus Serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka dengan dosis
1500 IU 0,5 ml secara IM disertai  ATS di tes terlebih dahulu
b. Pemberian Tetanus Toxoid (TT) dosis 0,5 ml secara IM pada kedua ekstremitas
(berlainan tempat suntikan)

Pada anak yang belum pernah mendapatkan Imunisasi aktif, Tetanus Toxoid diberikan pada
minggu berikutnya setelah pemberian ATS, kemudian diulangi lagi dengan jarak waktu 1
bulan (2x berturut-turut)  bisa IM
3. Pemberian Antibiotika
a. Prokain penisilin 50.000 IU/kgBB/12 jam selama 2-3 hari
(max : 4,8 juta IU/dosis)
Bila sensitive
b. Eritromisin 40 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis selama 2-3 hari
c. Tetrasiklin 30-40 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis (max: 2 gr/dl)

Referensi
1. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus.
StandarPelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal 99-108.
2. CDC. Tetanus.
3. Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of Pediatric Infections Diseases, 5th ed.,
Vol.2.Sauders. 2004;1766-76.
4. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan penyakit
Tropis :Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008

161
TETANUS NEONATORUM

Etiologi
Masuknya spora Clostridium tetani melalui luka tali pusat karena perawatan/tindakan yang
tidak memenuhi syarat kebersihan misalnya :
a. Pertolongan persalinan yang tidak steril misalnya pemotongan tali pusat dengan
bambu/gunting yang tidak steril yang telah terkontaminasi dengan spora C.tetani maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang juga telah terkontaminasi
b. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,
mis setelah tali pusat dipotoong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dsb.

Gejala klinik
1. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau atau tidak dapat menetek lagi (trismus) dimana
sebelumnya bayi menetek biasa
2. Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpermond)
3. Mudah sekali dan sering kejang disertai sianosis, kuduk kaku sampai oporto tonus
4. Bila bayi menangis, suara tangisan tidak jelas, terdengar seperti mendesis

Pengobatan
1. Diberikan cairan intravena (IVFD) dengan larutan 4;1 (Dextrose 5% dengan Nacl 0,225%)
selama 48-72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk
memasukkan obat
Bila setelah 72 jam belum mungkin diberikan minum per oral, maka melalui cairan infus
perlu diberikan tambahan protein dan kalium
2. Atasi kejang dengan Diazepam
Diazepam dosis awal 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 hari

Dosis rumatan 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD


(Diazepam dimasukkan dalam cairan IV dan diganti tiap 6 jam)

162
Bila kejang masih sering terjadi maka dapat diberikan Diazepam tambahan 2,5 mg secara IV
perlahan-lahan dan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan Diazepam 5 mg/kgBB/hari 
dosis Diazepam keseluruhan 15 mg/kgBB/hari
Setelah keadaan klinik membaik  Diazepam secara po dan diturunkan perlahan.
3. Pemerian Anti toxin
a. ATS 10.000 IU/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut
b. Atau Tetatus Immuno Globulin 500 unit secara IM dosis tunggal
4. Pemberian Antibiotika
a. Crystalin penisilin 100.000 IU/kgBB/hari/IV dibagi 4 dosis
b. atau Prokain penisilin 100.000/kgBB/hari IM serta dapat ditambah Broad spektum
antibiotika bila ada komplikasi pada kasus yang berat
c. Ampicillin 100 mg/kgBB/hari dibagi dosis secara IV selama 10 hari
Bila terdapat gejala sepsis hendaknya penderita diobati seperti penderita sepsis pada
umumnya dan apabila pungsi lumbal tidak bisa dilakukan, maka penderita diobati sebagai
penderita meningitis bakterial/
5. Perawatan tali pusat (bila masih ada) dengan
a. Hidrogen peroksida
b. Alkohol 70%
c. Betadine (Povidone Iodine)

Perawatan
1. Tempatkan bayi dalam inkubator untuk menghindari rangsangan
2. Usahakan agar tempat/ruangan mempunyai temperatur yang tetap
3. Kurangi sekecil mungkin rangsangan pada kegiatan observasi
4. Catat vital sign, temperatur inkubator dan muscular spasm
5. Bersihkan mulut, nasofaring dari sekresi cairan yang menumpuk
6. Catat pengeluaran kencing dan tinja. Lakukan pengosongan tinja dengan Saline enema
7. Buat daftar cairan yang masuk dan keluar
8. Ubah posisi setiap 2 jam
9. Fisioterapi pada daerah dada setiap 4 jam
10. Gerakkan tangan dan kaki secara hati-hati
11. Beri zat antibiotika pada mata

Pemberian makanan
- 48 jam pertama kebutuhan cairan dan elektrolit secara IV untuk menghindari aspirasi
- Pemberian ASI/susu buatan diberikan setelah pemasangan NGT (NGT dipasang
setelah kejang teratasi). Bila tidak dapat dilakukan pikirkan pemberian patrial IV
hiperlimitation yang mengandung Dextrose 10%, amino acid, Intra lipid dan vitamin.

163
Kontrol kejang
Dosis Diazepam saat dimulai pengobatan 20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 8 dosis kemudian
dilakukan evaluasi kejang. Bila kejang masih ada, dapat dinaikkan sampai 40 mg/kgBB/hari.
Skema pemberian Diazepam pada Tetanus Neonatorum
Penderita datang dengan kejang

Diazepam 2-10 mg IV
(2,5 mg)

Kejang (+) kejang (-)

Diazepam 2-10 mg
(2,5 mg) secara IV
Maintanance
20 mg/kgBB/hari dibagi 8 dosis
(setiap 3 jam) Kejang (-) Kejang (+)
(Dosis max: 40 mg/kgBB/hari)
Diazepam 2-10 mg
(2,5 mg) secara IM
Kejang (+) Kejang (-) Berantas sampai
tuntas Kejang (+)
(48-72 jam) Evaluasi dosis
ICCU
Turunkan dosis Dosis naikkan dan buat
10-15 % daftar dosis baru

Bila kejang (+) sebelum 2-3 jam,


berantas kejang, evaluasi dosis (naikkan)
dan interval pemberian di perpendek

164
menjadi per 2 jam

165

Anda mungkin juga menyukai