Anda di halaman 1dari 15

CISPLATIN DAN HIPOMAGNESEMIA

H. Lajer dan G. Daugaard


CANCER TREATMENT REVIEWS 1999; 25: 47-58 Article No. ctrv.
1999.0097, tersedia online di http://www.idealibrary.com

ABSTRAK

Hipomagnesemia adalah efek samping yang umum dijumpai pada pasien


kemoterapi yang mengandung cisplatin. Cisplatin memicu
hipomagnesemia melalui toksisitas renal berupa gangguan langusng pada
mekanisme reabsorbsi magesium pada pars ascendens lengkung Henle
serta tubulus distalis. Mengingat proses reabsorbsi magnesium masih
belum dipahami seutuhnya, efek cisplatin pada proses tersebut masih
belum pasti. Hipomagnesemia merupakan komplikasi yang sering terjadi
pada kemoterapi cisplatin dan dialami hingga 90% pasien jika tidak
dilakukan koreksi sejak dini. Signifikansi klinis hipomagnesemia juga
masih belum pasti. Gejala klinisnya dapat sulit dibedakan dari gejala yang
berhubungan dengan penyakit yang mendasari atau dengan gejala efek
samping kemoterapi. Penelitian yang ada saat ini mengenai bagaimana
cara mensuplementasi magnesium selama terapi cisplatin kebanyakan
berfokus pada efeknya terhadap nilai serum magnesium dan konsetrasi
magnesium eritrosit, tetapi kedua parameter tersebut merupakan indikator
yang buruk terhadap depo magnesium tubuh. Oleh karena itu, selama
hubungan antara hipomagnesemia dan kemungkinan komplikasinya
masih belum dipahami dengan baik, cukup logis untuk mengambil langkah
aman dengan mencoba menghindari hipomagnesemia. Hasil terbaik
selama ini didapatkan melalui penambahan magnesium pada cairan pre-
dan post- hidrasi.

Kata Kunci: Cisplatin; kemoterapi; nefrotoksisitas; komplikasi;


magnesium; hipomagnesemia; asesmen; gejala; suplementasi
PENDAHULUAN
Hipomagnesemia merupakan efek samping yang umum dialami oleh
pasien yang mendapatkan regimen kemoterapi yang mengandung
cisplatin. Meskipun berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah
maupun menangani efek samping ini, sebenarnya signifikansi klinis
seputar hipomagnesemia yang dipicu oleh cisplatin masih belum banyak
diketahui. Oleh sebab itu, penatalaksanaan hipomagnesemia masih
kontroversial. Berdasarkan literatur yang ada, terdapat dua kubu yang
berlawanan dalam menyikapi masalah tersebut; kubu preventif yang
mencegah hipomagnesemia dengan memberikan magnesium pada basis
pra-terapi serta kubu kuratif yang melakukan koresi magnesium setelah
terjadi hipomagnesemia. Meskipun kedua pendekalan ini dapat dikata
berhasil mengkoreksi hipomagnesemia sebagaimana ditunjukkan oleh
serum magnesium, masih sedikit yang diketahui mengenai status depo
magnesium total pasien pada pasien kemoterapi cisplatin.

Tujuan artikel ini adalah memberikan ulasan komprehensif mengenai


pengetahuan terkini seputar masalah hipomagnesemia yang dipicu
cisplatin, dengan fokus khusus pada interpretasi hipomagnesemia selama
kemoterapi cisplatin. Informasi yang lebih mendetail mengenai fisiologi
renal magnesium serta peran magnesium dapat dirujuk dari sumber lain.

MAGNESIUM
Masih sedikit yang diketahui mengenai signifikansi fisiologis dan
patofisiologis magnesium dibandingkan dengan natrium, kalium, dan
kalsium. Meskpun magnesium merupakan kation kedua terbanyak
intraseluler (setelah kalium), kurangnya metode yang dapat mengukur
status magnesium secara akurat di berbagai kompartemen tubuh yang
berbeda menyulitkan dilaksanakannya penelitian. Hanya selama beberapa
tahun terakhir ini mulai terdapat peningkatan ketersediaan dan kemajuan
teknik seperti nuclear magnetic resonance spectroscopy sehingga
penelitian dalam skala besar mungkin untuk dilakukan. Penelitian-
penelitian tersebut memperjelas bahwa magnesium berperan aktif dalam
berbagai proses seluler, di mana magnesium dikaitkan sebagai kofaktor
untuk sekitar 300 enzim seluler, turut andil dalam reaksi metabolisme
energi seluler yang melibatkan ATP, aktivitas pompa Na-K, aktivitas kanal
kalsium, stabilisasi struktur membran, translasi mRNA, hingga transkripsi
dan replikasi DNA. Magnesium ekstraseluler turut andil dalam regulasi
tonus otot polos dan konduksi nervus. Meskipun demikian, peran
magnesium dalam infark myokard dan penyakit jantung iskemia masih
diragukan.

Dalam usus halus, 30-40% dari rerata kebutuhan harian magnesium yang
besarnya 300-360 mg diserap dari makanan. Tubuh manusia
mengandung rata-rata 1,2 mol (25 gram) magnesium. Rentang normal
konsentrasi serum magnesium yang diajukan bervariasi antara 0,7 hingga
1,1 mmol/l (1,7-2,7 mg/dl atau 1,4-2,2 meq/l). Angka tersebut meliputi
sekitar 0,3% kadar total magnesium tubuh. Hanya sekitar 1% magnesium
tubuh berada pada ekstraseluler. Sisanya terbagi hampir setara antara
tulang dan jaringan lunak. Di jaringan lunak, otot lurik mengandung paling
banyak magnesium, yaitu sebesar 28% total depo tubuh.

Dalam serum, magnesium terbagi dalam tiga golongan yang meliputi


magnesium terionisasi (61 %), magnesium terikat protein (33 %) dan
kompleks magnesium (6 %). Ligand yang paling penting bagi magnesium
terikat protein dalam serum adalah albumin yang mengikat 25 % serum
magnesium total. Karena magnesium terikat protein tidak mudah melewati
membran glomerulus, magnesium bebas merupakan bagian terbesar dari
magnesium yang terbuang melalui ultrafiltrasi. Meskipun membutuhkan
klarifikasi lebih lanjut, sebagian besar peneliti setuju bahwa magnesium
bebas merupakan bentuk aktif dari magnesium. Dalam lingkungan
intraseluler, hanya 1-2 % dari total magnesium selular tersedia dalam
bentuk bebas.
Homeostasis magnesium diatur secara ketat oleh ginjal dengan 2/3 dari
total serum magnesium difiltrasi oleh glomerulus sebagai bagian dari
proses filtrasi - reabsorpsi. Dalam kondisi normal, sebagian besar
reabsorpsi (secara kuantitatif) terjadi pada pars ascendens lengkung
Henle (70 %) melalui proses pasif yang bergantung pada beda voltase
transepitelial (Gambar 1). Hanya 15 % dari magnesium yang difitrasi
direabsorbsi kembali di tubulus proximalis melalui proses transelular aktif.
Sepuluh persen magnesium direabsorbsi dalam tubulus distalis, tetapi
mengingat segmen ini menyerap 70-80 % dari apa yang melewatinya,
segmen ini mungkin memainkan peran penting dalam penentuan akhir
ekskresi magnesium urin. Pengaturan reabsorpsi tersebut tampaknya
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang memastikan bahwa dalam kondisi
normal, hipomagnesemia akan meningkatkan konservasi magnesium
ginjal. Sejumlah hormon telah terbkti merangsang reabsorpsi magnesium
ginjal, seperti hormon steroid, glukagon, kalsitonin, vasopressin dan
hormon paratiroid. Yang lebih penting, bukti terbaru mengungkapkan
bahwa sel ginjal pada pars ascendens lengkung Henle serta tubulus
distalis sepertinya telah beradaptasi dengan availabilitas magnesium
melalui mekanisme yang mungkin melibatkan reseptor yang dapat
mendeteksi Ca2+/Mg2+ serta perubahan dalam jalur magnesium
paraseluler.

CISPLATIN DAN NEFROTOKSISITAS


Sejak diperkenalkan secara klinis pada tahun 1971, cisplatin telah terbukti
sangat penting berperan sebagai agen sitostatik yang efektif terhadap
berbagai tumor padat. Cisplatin merupakan bagian penting rejimen
kemoterapi yang digunakan dalam penatalaksanaan kanker paru, kanker
ovarium, berbagai kanker sel germinal, kanker regio kepala dan leher,
serta kanker kandung kemih. Meskipun demikian, cisplatin memiliki
banyak efek samping yang sebagian besar umum dijumpai, seperti
nefrotoksisitas, neurotoksisitas, ototoksisitas, myelosupresi, mual dan
muntah. Di antaranya efek samping di atas, nefrotoksisitas menjadi
perhatian paling banyak sebagai faktor yang membatasi besar dosis.

Ketika diekskresikan oleh ginjal, pemberian cisplatin mengakibatkan


kerusakan langsung pada tubulus-tubulus ginjal. Penelitian morfologi pada
tikus jantan secara konsisten melaporkan adanya nekrosis bergerombol
yang terbatas pada sel-sel S3 segmen tubulus proximalis di batas luar
medulla renalis. Hal ini didukung oleh penelitian fungsional yang
menunjukkan bahwa nefrotoksisitas yang berawal sebagai gangguan
tubulus proximalis. Pada manusia, nekrosis tubular terfokus serupa juga
diamati, meskipun mayoritas perubahan morfologi didapati justru pada
tubulus contortus distalis dan saluran pengumpul dan tubulus collectivus.
Fibrosis interstisial merupakan perubahan morfologi tunggal pada pasien
dengan gagal ginjal akut pasca pemberian berulang cisplatin secara
serial. Adanya perbedaan yang jelas antar-spesies menyebabkan
beberapa peneliti meragukan penerapan ekstrapolasi penelitian pada
hewan untuk manusia. Menariknya, temuan morfologi pasca injeksi
cisplatin berulang pada anjing tampak lebih konsisten dengan temuan
pada manusia. Pada kedua spesies, penurunan tingkat reabsorpsi absolut
proksimal terhadap natrium dan air secara bertahap dapat diamati dan
disertai dengan peningkatan penanda yang menunjukkan kerusakan
tubulus proximalis pada manusia ( beta-2-mikroglobulin dan N-asetil-beta-
D-glucosaminidase). Hal ini disertai dengan gangguan tubulus distalis
yang diukur dengan tingkat reabsorpsi natrium absolut maupun fraksional.

Ketika cisplatin menyebabkan cedera ginjal, penurunan nilai serum


magnesium dapat menjadi salah satu tanda-tanda yang paling awal dan
dapat ditemukan meskipun fungsi tubular masih dinyatakan normal. Hal ini
serupa dengan hilangnya magnesium pasca pemberian gentamisin yang
dideskripsikan sebagai manifestasi independen toksisitas ginjal.
Peningkatan serum kreatinin dapat dijadikan indikator akhir cedera ginjal
selama kemoterapi cisplatin karena gagal ginjal dapat terjadi tanpa
disertai peningkatan serum kreatinin. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa klirens 51Cr-EDTA ginjal hampir setara dengan klirens
inulin. Meskipun demikian, pada pasien yang diterapi cisplatin, terdapat
51
korelasi yang buruk antara klirens Cr-EDTA dan serum kreatinin atau
klirens kreatinin. Oleh karena itu, 51Cr-EDTA harus digunakan untuk tujuan
ilmiah atau penelitian klinis di mana pengukuran glomerulus filtration rate
(GFR) penting untuk dilakukan.

Dalam dua kelompok pasien kanker sel germinal yang diterapi dengan
cisplatin, ditemukan adanya penurunan signifikan GFR sebagaimana
51
ditunjukkan dengan pengukuran klirens Cr-EDTA. Pada kelompok dosis
rendah (20 mg cisplatin/m2 per hari selama 5 hari) diamati penurunan
signifikan sebesar 11,7 % setelah 4 seri. Pada kelompok dosis tinggi (40
mg cisplatin/m2 per hari selama 5 hari) diamati penurunan yang signifikan
sebesar 15,8 % setelah seri pertama yang memburuk menjadi 35,7 %
setelah 3 seri. Telah diusulkan bahwa penurunan GFR mungkin
dikarenakan vasokonstriksi arteriol aferen, penurunan koefisien ultrafiltrasi
atau keduanya.

CISPLATIN DAN HIPOMAGNESEMIA


Setiap obat yang menyebabkan nekrosis tubular di situs reabsorpsi
magnesium pada tubulus terbukti akan mempengaruhi homeostasis
magnesium. Mekanisme pasti bagaimana cisplatin menyebabkan
hipomagnesemia masih tidak jelas, tetapi tampaknya lebih bergantung
pada dosis kumulatif cisplatin yang diterapkan daripada jumlah dosis yang
diberikan. Ariceta et al. menemukan bahwa dosis kumulatif cisplatin
minimal yang diperlukan untuk menginduksi hipomagnesemia adalah 300
mg/m2. Meskipun angka ini didasarkan pada pasien pediatri, hasil yang
sama juga ditemukan pada orang dewasa. Dengan demikian, persentase
pasien yang mengalami hipomagnesemia di sepanjang terapi bervariasi
antar tiap pengamat, tergantung pada rejimen yang digunakan. Schilsky et
al. menganalisis serum elektrolit secara retrospektif pada 44 pasien yang
mendapatkan kemoterapi cisplatin dan menemukan bahwa 52 % (23/44)
pasien mengalami hipomagnesemia (<1.4meq/l) selama terapi dengan
dosis 70 mg/m2 tiap tiga minggu dengan median empat seri kemoterapi.
Buckley et al mengikuti 50 pasien yang mendapatkan cisplatin dengan
dosis 50 mg/m2 tiap empat minggu dan menemukan bahwa kejadian
hipomagnesemia meningkat selama terapi dari 41 % setelah satu seri
kemoterapi menjadi 100 % pada pasien yang menerima enam seri
kemoterapi. Bell et al mengevaluasi 50 pasien secara prospektif selama
pemberian berbagai rejimen cisplatin yang berbeda dan menemukan
bahwa semua pasien mengalami hipomagnesemia (<0,69 mmol/l) setelah
4 seri kemoterapi, terlepas dari dosis yang diterapkan (50-100 mg/m 2).
Sementara itu, Stewart et al mengevaluasi prospektif 17 pasien yang
diterapi cisplatin dalam dosis 50 mg/m 2 tiap 4 minggu selama rata-rata 13
seri. Dalam setting demikian, hipomagnesemia (<1,8 mg/dl) dialami oleh
88 % pasien di pada suatu titik di sepanjang terapi dan diklasifikasikan
sebagai sedang/berat (<1,4 mg/dl ) pada 53 % kasus.

Pasca injeksi cisplatin, sejumlah besar magnesium diekskresikan dalam


urin secara patologis, bahkan pada pasien yang sudah mengalami
hipomagnesemia berat. Mavichak et al menemukan bahwa pemberian
akut infus MgCl2 pada tikus diberi perlakuan cisplatin menyebabkan
ekskresi magnesium urin yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan tikus kontrol. Hal ini juga telah dibuktikan pada manusia. Dalam
penelitian acak antara berbagai rejimen suplementasi magnesium yang
berbeda, Martin et al menemukan bahwa kelompok yang menerima
suplementasi magnesium mengekskresikan magnesium melalui urin
dalam jumlah yang sama dengan jumlah yang diberikan sebagai
suplementasi.

Hilangnya magnesium secara monosimptomatik pasca pemberian


cisplatin menarik karena mungkin dapat dijadikan dasar untuk hipotesis
bahwa sebagian dari proses reabsorpsi magnesium sangat sensitif
terhadap kinerja cisplatin. Hal ini lagi-lagi menarik mengingat bahwa salah
satu efek nefrotoksisitas cisplatin jangka panjang adalah hipomagnesemia
persisten dengan fungsi ginjal normal, layaknya yang didapati pada
cedera selektif. Masih ada kasus hipomagnesemia yang dilaporkan lebih
dari 6 tahun pasca penghentian terapi. Efek cisplatin pada proses ini
hanya sebatas spekulasi karena sebenarnya hingga kini proses
reabsorpsi magnesium masih belum sepenuhnya dipahami. Dari data
yang ada saat ini, hipomagnesemia yang disebabkan oleh kemoterapi
cisplatin diduga memiliki dua tahap yang berbeda. Tahap pertama meliputi
kerusakan dini yang mempengaruhi salah satu langkah penting dari
reabsorpsi magnesium. Tahap ini mungkin dapat dijelaskan oleh adanya
pengaruh selektif terhadap permeabilitas jalur paraseluler serta reseptor
peka Ca2+/Mg2+.

Adanya kerusakan langsung pada proses selektif yang terjadi di pars


ascendens lengkung Henle serta dalam tubulus contortus distalis tersebut
dapat menjelaskan adanya abnormalitas ekskresi magnesium meskipun
fungsi ginjal dinyatakan normal. Lebih lanjut, kerusakan pada reseptor
peka Ca2+/Mg2+ juga dapat menjelaskan adanya korelasi signifikan yang
ditemukan antara hipomagnesemia dan hipokalsemia selama terapi
cisplatin. Tahap kedua cedera ginjal bersifat lebih umum, di mana terjadi
kerusakan yang lebih difus sesuai dengan perubahan morfologi yang
dapat diamati dalam bentuk nekrosis bergerombol pada sel-sel tubulus.

HIPOMAGNESEMIA
Penilaian status magnesium dalam konteks klinis menimbulkan berbagai
masalah. Hal tersebut disebabkan oleh fakta bahwa tidak tersedia metode
pengujian sederhana yang dapat dimanfaatkan dokter untuk menentukan
status magnesium pasien secara cepat dan akurat. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, sebagian besar magnesium adalah kation
intraseluler yang kemungkinan hanya aktif dalam bentuk bebas. Cara
pengukuran magnesium yang tersedia dapat dilihat pada Tabel 1. Dari
Tabel 1 dapat diketahui bahwa beberapa metode tersebut belum memiliki
signifikansi klinis, sementara sisanya merupakan prosedur yang sangat
rumit. Beberapa dari metode tersebut akan dibahas lebih mendetail
karena merupakan dasar dari penelitian yang diulas di sini.

Karena kadar serum magnesium sangat mudah diukur, pemanfaatannya


dalam penelitian tentang defisiensi magnesium sangat menggoda.
Sayangnya, hipomagnesemia bukanlah merupakan indikasi defisiensi
magnesium, karena konsentrasi serum magnesium berkorelasi buruk
dengan depo total magnesium tubuh. Artinya, nilai serum magnesium
yang normal dapat ditemukan pada defisiensi berat magnesium
intraseluler. Stendig-Lindberg et al. menunjukkan kadar magnesium otot
yang rendah secara signifikan pada pasien yang telah diberi suplemen
magnesium peroral hingga kadar magnesium serumnya pulih ke nilai
normal. Sebaliknya, Sartori et al . menunjukkan nilai magnesium
intraseluler yang normal pada pengukuran dalam eritrosit ketika nilai
serum magnesium rendah selama terapi cisplatin. Dengan demikian,
setidaknya secara teori, penurunan nilai magnesium serum mungkin
hanya mencerminkan sedikit penurunan magnesium tubuh dalam satu
waktu, padahal depo intraseluler yang cukup dapat ditemukan dalam
tulang dan otot.

Hipomagnesemia mungkin terjadi akibat berbagai alasan. Hashizume et al


mengevaluasi kadar magnesium serum pada 6252 pasien dengan
berbagai penyakit secara retrospektif. 11,9 % pasien terbukti mengalami
penurunan magnesium serum ( <1.8 mg/dl ) dan 2,6 % (165) pasien
mengalami hipomagnesemia ( <1,5 mg/dl ). Hipomagnesemia paling
banyak ditemukan pada pasien tumor ganas (36,7%) . Hal tersebut tidak
mengherankan karena banyak dari pasien tersebut menerima kemoterapi.
Meskipun demikian, tidak ada data spesifik tentang jumlah pasien yang
menjalani terapi cisplatin. Pada penelitian lain Elisaf et al mempelajari
penyebab hipomagnesemia berat yang dialami 35 pasien pada saat
masuk rumah sakit. Lagi-lagi, obat sitotoksik terutama cisplatin terbukti
menjadi penyebab utama hipomagnesemia pada 11/35 pasien. Jumlah ini
hanya dilampaui oleh alkoholisme yang dicurigai menjadi penyebab
hipomagnesemia pada 12/35 pasien. Whang et al menemukan insiden
hipomagnesemia sebesar 6,9 % saat melakukan tes serum magnesium
rutin pada 2300 pasien. Tidak ditemukan adanya perubahan atau
penurunan marjinal dalam nilai rata-rata serum magnesium pada pasien
yang menerima terapi diuretik untuk hipertensi atau gagal jantung
kongestif. Sebaliknya, 55 % pasien terbukti mengalami pengurangan
kadar magnesium otot sebesar rata-rata 18 %.

Kandungan magnesium eritrosit berkorelasi buruk dengan konsentrasi


magnesium dalam jaringan lain layaknya dengan kadar magnesium
plasma. Oleh karena itu, angka tersebut harus diperlakukan dengan
sangat hati-hati. Tidak ditemukan adanya korelasi antara konsentrasi
magnesium dalam eritrosit dan konsentrasi magnesium dalam serum dan
sel MN. Sjogren et al juga tidak menemukan korelasi antara konsentrasi
magnesium pada sampel biopsi otot dan eritrosit.

Gangguan Elektrolit yang Menyertai


Telah dilaporkan bahwa pada pasien hipomagnesemia, didapati
peningkatan prevalensi hipokalemia sebesar enam kali lipat. Setelah
pemberian cisplatin pada anjing, diamati pula adanya peningkatan klirens
kalium yang mungkin terjadi akibat cedera tubulus proximalis yang dipicu
cisplatin sehingga ada peningkatan pengiriman natrium, kalium dan air ke
nefron distal yang menghasilkan sekresi kalium dependen beban natrium.
Hipomagnesemia kemungkinan juga menyebabkan gangguan Na,K-
ATPase dependen Mg yang mengakibatkan peningkatan kehilangan
kalium seluler , yang dikombinasikan dengan penurunan konservasi
kalium oleh ginjal sehingga mengarah ke hipokalemia, yang semakin
diperparah oleh hiperhidrasi yang diberlakukan selama kemoterapi
cisplatin. Apapun mekanisme pemicunya, apakah akibat mekanisme
pertama, kedua, atau kombinasi dari keduanya, upaya
harus dilakukan untuk mengkoreksi hal tersebut, karena
hipokalemia yang kemungkinan berbasis Na,K-ATPase dependen Mg,
bisa jadi gagal dikoreksi apabila tidak disertai pemberian magnesium
secara simultan.

Hipokalsemia sering dialami pasien yang mendapatkan cisplatin dan


frekuensi kejadian sebenarnya kemungkinan tergantung pada dosis
pemberian. Stewart et al melaporkan bahwa dalam penelitian prospektif
pada pasien yang menerima cisplatin dalam dosis 50 mg/m 2, frekuensi
hipokalsemia adalah sebesar 5,8 % (1/17). Dalam sebuah penelitian oleh
departemen penulis, 90 % pasien yang menerima cisplatin dalam dosis 40
mg/m2 per hari selama 5 hari mengembangkan hipokalsemia signifikan
yang berkorelasi dengan hipomagnesemia. Kasus hipokalsemia-
hipomagnesemia tampaknya berelasi sebagai akibat menurunnya sekresi
PTH serta meningkatnya resistensi terhadap kinerja PTH di tulang
maupun ginjal, yang keduanya disebabkan oleh hipomagnesemia melalui
suatu mekanisme yang kompleks serta masih belum dapat dipahami
seutuhnya.

Hipomagnesemia dan Respon Tumor


Telah diusulkan bahwa hipomagnesemia dalam kasus tumor solid
harusnya justru dapat menghambat proses karsinogenesis. Dengan
demikian, besarnya respons terapi pada pasien yang mengalami
hipomagnesemia selama terapi dengan cisplatin diharapkan justru lebih
besar. Meskipun demikian, perubahan tingkat respons tersebut belum
dapat dibuktikan karena beberapa penelitian kecil yang dilakukan untuk
mencari korelasi spekulatif tersebut tidak mampu menunjukkan adanya
perubahan yang signifikan.

PEMBAHASAN
Hipomagnesemia merupakan komplikasi umum terapi cisplatin. Terdapat
dugaan bahwa penurunan magnesium plasma tersebut kemungkinan
disebabkan oleh hiperhidrasi yang diterapkan selama pemberian cisplatin.
Pemberian infus normal saline dapat menurunkan reabsorpsi
magnesium proksimal, sementara pemberian manitol diduga dapat
meningkatkan ekskresi magnesium sebesar 40-50 % dari jumlah total
yang difiltrasi. Peningkatan ekskresi magnesium secara persisten
dalam kondisi hipomagnesemia berat menunjukkan bahwa
hipomagnesemia dipicu oleh gangguan reabsorpsi magnesium ginjal.
Meskipun demikian, letak terjadinya gangguan ginjal tersebut masih belum
dapat dipastikan.

Besarnya masalah tersebut menekankan pentingnya untuk dilakukan


penelitian lebih lanjut dalam bidang ini. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya,
hipomagnesemia dialami oleh sekitar 40-90 % pasien yang mendapatkan
terapi cisplatin. Angka 40% mewakili angka perkiraan yang dilaporkan
ketika magnesium intravena disertakan dengan cairan hidrasi, sementara
angka 90% merupakan angka yang dilaporkan ketika tiga seri kemoterapi
diberikan tanpa disertai suplementasi. Sementara itu, di departemen
penulis sendiri, sebuah analisis retrospektif pada 107 pasien yang diterapi
cisplatin tanpa suplementasi magnesium rutin mengungkapkan bahwa
64% mengalami hipomagnesemia (<0,67 mmol/l), sementara 44%
pasien terbukti memiliki kadar Mg plasma di bawah 0,55 mmol/l pada
suatu titik selama pemberian kemoterapinya hingga membutuhkan infus
magnesium (data tidak dipublikasikan). Analisis tersebut lebih lanjut
mengungkapkan bahwa frekuensi hipomagnesemia ternyata lebih tinggi
pada kelompok pasien yang menerima terapi kombinasi cisplatin dengan
paclitaxel. Temuan ini adalah didukung oleh sebuah penelitian terbaru oleh
Merouani et al yang melaporkan adanya peningkatan frekuensi
nefrotoksisitas pada pasien yang diterapi dengan paclitaxel dan cisplatin
dibandingkan dengan cisplatin sebagai agen terapi tunggal. Tidak ada
data yang menyebutkan frekuensi hipomagnesemia pada pasien
yang diterapi dengan carboplatin dan paclitaxel.
Seluruh penelitian yang diulas di sini melibatkan sejumlah kecil pasien,
sementara parameter yang digunakan untuk menilai status magnesium
dianggap memiliki keterbatasan dalam memberikan perkiraan yang akurat
tentang defisiensi magnesium tubuh, karena angkanya didapatkan dari
serum atau eritrosit. Hal tersebut kemungkinan lebih relevan ketika
hipomagnesemia berkembang dalam rentang waktu yang singkat selama
pemberian terapi cisplatin. Dengan demikian, secara teoritis dapat
dikatakan bahwa depo magnesium tubuh tetap relatif utuh akibat adanya
mekanisme konservasi aktif di dua tempat penyimpanan utama
magnesium, yaitu tulang dan otot. Meskipun demikian, bukti akan teori
tersebut harus disediakan oleh penelitian yang mengevaluasi konsentrasi
magnesium intrasel otot dan/atau tulang selama terapi cisplatin.

Hingga kini masih belum ada penelitian yang dapat memberikan bukti
adanya hubungan linear antara beratnya hipomagnesemia dengan
peningkatan keseriusan komplikasi. Dengan demikian, baik faktor-faktor
yang diketahui maupun faktor-faktor yang tidak diketahui mungkin dapat
membuat pasien tertentu lebih rentan terhadap komplikasi yang serius,
meskipun pada level hipomagnesemia yang relatif rendah. Koreksi
defisiensi P-Mg didasarkan pada asumsi bahwa pasien dengan
hipomagnesemia pada akhirnya dapat menghadapi risiko kematian
mendadak akibat tetani atau serangan jantung jika suplementasi
magnesium tidak diberikan. Bukti yang tersedia menunjukkan adanya
risiko peningkatan aritmia jantung pada pasien hipomagnesemia serta
beberapa faktor yang harus sangat diperhatikan pada pasien
hipomagnesemia dengan riwayat penyakit jantung sebelumnya, terutama
jika mereka diterapi dengan digoxin atau diuretik. Laporan kasus hanya
sedikit tersedia tetapi kesemuanya menggambarkan bahwa kejadian
serius karena hipomagnesemia dipersulit oleh hambatan dalam
mengisolasi gejala hipomagnesemia dari gejala elektrolit yang terjadi
secara bersamaan serta gangguan akibat kanker berat yang sudah
menyebar luas. Sehubungan dengan gejala yang tidak mengancam jiwa
seperti rasa lelah, mual dan muntah, juga merupakan gejala umum
pada pasien yang dikemoterapi sehingga karenanya sangat sulit untuk
mendiagnosis apakah keluhan tersebut terkait dengan hipomagnesemia.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa belum ada penelitian yang
sudah mampu secara obyektif menentukan ambang suplementasi pada
penderita hipomagnesemia.

Selama hubungan antara hipomagnesemia dengan kemungkinan


komplikasinya tetap belum diketahui, cukup masuk akal untuk mencoba
menghindari hipomagnesemia. Hasil terbaik tampaknya didapat dengan
penambahan magnesium pada cairan pra- dan pasca- hidrasi.
Lofts et al menghitung bahwa biaya terapi tersebut adalah sebesar sekitar
£ 20 per seri pada tahun 1995. Pendekatan ini juga memiliki keuntungan
tambahan, yaitu mengatasi komplikasi lain yang sering dihadapi yaitu
parahnya efek samping gastrointestinal akibat pemberian suplementasi
magnesium peroral sehingga pasien banyak yang tidak patuh. Meskipun
demikian, terdapat berbagai penelitian dengan beraneka rejimen
suplementasi sehingga tiap penelitian dapat memberikan rekomendasi
yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menentukan rejimen
suplementasi yang ideal berdasarkan pengetahuan yang ada saat ini. Hal
ini didukung oleh fakta bahwa tidak ada rejimen yang benar-benar telah
terbukti dapat memberikan proteksi terhadap hipomagnesemia yang
disebabkan oleh cisplatin.

KESIMPULAN
Cisplatin menginduksi hipomagnesemia melalui nefrotoksisitas akibat
cedera langsung pada mekanisme reabsorpsi magnesium di pars
ascendens lengkung Henle serta tubulus contortus distalis.
Hipomagnesemia merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada
kemoterapi cisplatin dan diderita hingga 90 % pasien jika tidak ada
langkah-langkah yang diambil untuk mengkoreksinya. Kepentingan klinis
hipomagnesemia masih kontroversial. Gejala hipomagnesemia sulit
dibedakan dari gejala yang berhubungan dengan penyakit yang
mendasari atau dengan efek samping kemoterapi itu sendiri. Penelitian
yang ada saat ini tentang suplementasi magnesium selama terapi cisplatin
lebih berfokus pada efeknya terhadap kadar magnesium di serum
dan konsentrasi magnesium di eritrosit. Kedua parameter tersebut
merupakan indikator yang buruk untuk mengetahu depo magnesium
tubuh. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan
efek hipomagnesemia akibat cisplatin pada depo intraselular magnesium
serta berbagai risiko sehubungan dengan hipomagnesemia.

Anda mungkin juga menyukai