Anda di halaman 1dari 31

OPTIMALISASI PERAN MUI DALAM PENETAPAN STANDAR HALAL KOSMETIK GUNA

MENDORONG HALAL INDUSTRY DI INDONESIA

DISUSUN OLEH:

TRYAS SUKMANING SAKTI (041611433089)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Populasi muslim di dunia mencapai 1.6 miliar atau setara (25%) dari total populasi sebanyak 7
miliar jiwa (State of Global Islamic Economy Report, 2017). Populasi muslim ini menyebar di 56 negara
mayoritas, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Jumlah penduduknya mencapai sebesar (87,17%) atau sekitar 207.176.162 dari total
penduduk Indonesia yang berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS, 2010). Jumlah penduduk muslim ini
memiliki potensi besar dalam menerapkan halal lifestyle yang ada di Indonesia. Dengan menerapkan
halal lifestyle di Indonesia, hal ini akan mendorong pertumbuhan halal industry di Indonesia.

Menurut data dari Global Islamic Index bahwa industri halal global diperkirakan akan menjadi
salah satu segmen konsumen yang paling cepat tumbuh di dunia. Perkiraan akan tumbuh senilai USD2.3
triliun dan dengan rata-rata tahunan sebesar 20%. Global Halal Market tidak hanya terbatas pada
makanan dan produk terkait makanan. Halal industri kini telah berkembang di luar sektor pangan
termasuk obat-obatan, kosmetik, produk kesehatan, perlengkapan mandi dan peralatan medis serta
sektor jasa komponen seperti logistik, pemasaran, cetak dan media elektronik, pengemasan, pencitraan
merek, dan financing.

Tabel 1 Potensi Pertumbuhan Sektor Halal Dunia

Nilai Potensial untuk Halal Market (USD)


Sektor
(Berdasarkan 5% Global Halal Trade)

Kosmetik dan Perawatan Pribadi 177 miliar

Pertanian 41,5 miliar

Farmasi 30,3 miliar

Keuangan Islam 25, 0 miliar

Logistik 0,17 miliar

Industri travel 0,13 miliar

Total untuk Pertumbuhan Sektor Industri Halal 274,1 miliar

Sumber: Global Financial Islamic Report Tahun 2017


Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa beberapa sektor telah menunjukkan pertumbuhannya
dan dengan didukungnya populasi muslim yang banyak maka halal industry akan menjadi salah satu
pasar potensial di dunia. Pertumbuhan industri halal tidak hanya di sektor makanan. Hampir 40% dari
segmen pasar halal didominasi oleh produk farmasi dan kosmetik, 61% pada segmen makanan dan 2%
lainnya.

Figure 1 Segmen Industri Halal Dunia

Halal Market
2%
11%

26%

61%

Food Pharmaceuticals Cosmetic Other

Sumber: Global Islamic Economy Report 2017

Umat muslim memiliki kecenderungan memilih produk - produk halal berdasarkan Al- Qurán dan
Sunnah. Islam menekankan pentingnya halal dalam setiap aspek kehidupan oleh karena itu prespektif
halal – haram sangat fundamental bagi umat muslim. Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim
berpotensi besar dalam pengembangan halal market. Data dari Global Islamic Economic Report pada
tahun 2014 -2015 menyatakan bahwa pertumbuhan pada beberapa sektor telah memberikan dampak
positif pada market share di Indonesia. Jumlah pengeluaran oleh muslim Indonesia pada sektor Halal
Lifestyle mencapai 270,38 miliar.
Tabel 2 Pengeluaran Muslim Indonesia dan Muslim Dunia untuk Halal Lifestyle

Muslim Global Muslim Indonesia


Sektor Halal Lifestyle Market Share
(dalam US$) (dalam US$)

Makanan 1,292 miliar 190,4 miliar 14,7%

Keuangan 1,214 miliar 36,0 miliar 3%

Travel (Selain Haji dan 140 miliar


7,5 miliar 0,6%
Umrah)

Fashion 266 miliar 18,8 miliar 7%

Media & Rekreasi 185 miliar 9,37 miliar 5%

Farmasi 72 miliar 4,88 miliar 6,7%

Kosmetik 46 miliar 3,44 miliar 7,4%

Sumber: Global Islamic Economy Report 2017

Berdasarkan data diatas, menunjukkan bahwa sektor kosmetik memiliki market share sebesar
7,4% dengan total pengeluaran 3,44 miliar oleh muslim Indonesia dan 46 miliar oleh muslim global.
Pertumbuhan di pasar kosmetik halal dicerminkan oleh pertumbuhan dalam pengetahuan konsumen dan
kesadaran tentang bahan-bahan yang digunakan. Industri kosmetik halal global diperkirakan mencapai
USD13 miliar dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 12%. Saat ini pasar kosmetik halal
mencapai 11% dari total industri halal global. Berdasarkan 2013 estimated, negara-negara teratas
dengan konsumen kosmetik muslim adalah Uni Emirat Arab (US$4,9 miliar), Turki (4,4 miliar dolar AS),
India (3,5 miliar dolar AS), dan Rusia (3,4 miliar dolar AS) (Rasid dalam Aisyah, 2017). Studi lain pada
tahun 2015, yang dilakukan oleh Institute of Personal Care Science of Australia, dihitung bahwa industri
kosmetik global bernilai sekitar US$ 334 miliar, dengan kosmetik halal menyumbang US$13 miliar dari
jumlah ini setahun (Ramli dalam Aisyah, 2017).

Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia merupakan
pasar potensial dalam produk kosmetik halal dan perawatan pribadi. Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh MarkPlus Insight Women Survey pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa Wardah,
salah satu brand kosmetik halal, dinobatkan sebagai merek kosmetik paling populer untuk wanita. Survei
dilakukanpada pertengahan 2015 termasuk 1.183 responden perempuan di 18 kota di Indonesia, berusia
antara 15 dan 59 tahun. Menurut hasilnya, 37,8% responden mengaku Wardah menjadi merek kosmetik
favorit mereka, diikuti oleh Pixy (10.1) dan Sari Ayu (8,7%). Ponds dan VIVA berada di posisi keempat
dan kelima, dengan margin yang dapat diabaikan. Selain Wardah, Sari Ayu juga bersertifikat halal
(MarkPlus, 2016). Berdasarkan survei tersebut terlihat bahwa produk kosmetik halal di Indonesia sangat
diminati oleh para wanita Indonesia. Dengan meningkatnya permintaan terhadap produk – produk
kosmetik halal, maka diperlukan beberapa standar, seperti bebas dari alkohol atau bebas dari bahan
binatang dan bahan-bahan yang membahayakan yang dilarang dalam Islam, untuk menetapkan standar
kosmetik halal yang memasuki pasar halal di Indonesia.

Penetapan standar atau sertifikasi halal untuk produk khususnya kosmetik sangat diperlukan. Hal ini
dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari segi kesehatan dan kelayakan produk
yang akan digunakan oleh konsumen. Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produksi
dan distribusi barang barang halal. Hal ini tidak terlepas dari jumlah umat muslim terbesar di dunia. Survei
yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LP POM MUI) pada 2010 lalu menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap produk
halal meningkat. Tahun 2009 adalah sebesar 70 persen, lalu meningkat menjadi 92,2 persen di tahun
2010 (Puji dalam Afroniyati, 2014). Maka, sertifikasi halal di Indonesia tampak sebagai suatu kewajiban
yang harus dipenuhi dan sebagai simboluntuk memenuhi kepentingan mayoritas umat Muslim. Di
Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal,
maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI. Majelis Ulama Indonesia mulai menerbitkan
sertifikasi halal sejak tahun 1989. Kehadiran sertifikasi halal diterima dengan tangan terbuka oleh
masyarakat. MUI sendiri dianggap sebagai institusi keagamaan yang sah dan kredibel dalam mewakili
kepentingan umat Islam. Pengawasan dilakukan oleh MUI meliputi produk-produk makanan (dan
minuman), obat-obatan, dan kosmetika, melalui LP POM. Dalam perkembangannya, sertifikasi halal
berbentuk selembar kertas berisi pengakuan dari MUI, diteruskan dengan pencantuman tulisan Arab
(‫( حالل‬dalam kemasan produk yang disebut dengan “label halal”. Sementara, “sertifikasi halal” adalah
fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam (Afroniyati,
2014). Namun dalam penerapannya, banyak masalah yang dihadapi oleh MUI dalam penerbitan sertifikat
halal, mulai dari pemalsuan label halal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, standar halal
yang belum jelas, kemudian isu terkait sertifikat halal yang dapat dibeli dengan mudah tanpa melewati
beberapa tahapan seleksi dari LPPOM MUI, yang menyebabkan kekhawatiran masyarakat terhadap
produk – produk berlabel halal khususnya dalam produk kosmetik.
Oleh karena itu, dalam paper ini bertujuan untuk menemukan model optimalisasi peran Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam hal penetapan standar untuk produk halal kosmetik guna mendukung
industri halal di Indonesia.

1.2 Landasan Teori

1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi
kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395
Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia. MUI berdiri sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di
Indonesia. Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan
masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung
tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian — dalam arti tidak
tergantung dan terpengaruh — kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan
pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan
organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak
bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah
tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia, sesuai
niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai
kelompok di kalangan umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta;
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal
balik.

2. Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM)

Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah negara agar Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988.
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi
halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun
1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen
Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan
Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai
lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan
sertifikat halal.
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan kerjasama dengan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah
perguruan Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim Semarang, serta
Universitas Muslimin Indonesia Makasar. Sedangkan kerjsama dengan lembaga telah terjalin
dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia,
dan Research in Motion (Blackberry). Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan
persyaratan dalam pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di Indonesia.
LPPOM MUI menjadi Lembaga Sertifikasi Halal Pertama dan Terpercaya di Indonesia serta
semakin menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal yang kredibel, baik di tingkat
nasional maupun internasional. Pada Tahun 2017 dan 2018 LPPOM MUI memperoleh Sertifikat
Akreditasi SNI ISO / IEC 17025: 2008 untuk Laboratorium Halal dan SNI ISO / IEC 17065: 2012 dan
DPLS 21 untuk Lembaga Sertifikasi Halal dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sistem sertifikasi
dan sistem jaminan halal yang dirancang serta diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui
bahkan juga diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini mencapai 42
lembaga dari 25 negara.

3. Standar Halal

Agama adalah nilai penting dalam struktur kognitif individu yang mampu memengaruhi sikap dan
perilaku konsumen. Khraim (2010) menyimpulkan bahwa agama memainkan peran penting dalam
memahami konsumen karena secara signifikan mempengaruhi konsumsi karena terkait tabu dan aturan.
Halal adalah konsep religius yang membentuk perasaan dan sikap dalam diri seorang konsumen muslim
(Hanzaee dan Ramezani, 2011), sambil menambahkan nilai pada produk dan konsumen yang kayaniat
(Borzooei dan Asgari, 2014). Ada berbagai definisi halal dari berbagai ahli. Namun, definisi umum halal
oleh Che Man, Bojei, Sazili, dan Abdullah dalam Annabi (2017) adalah, produk tersebut tidak boleh
dilarang oleh Allah. Sumber daya / bahan mentah diperoleh melalui sumber halal dan tidak boleh
berbahaya bagi manusia.

Wilson dan Liu (2010) menegaskan bahwa konsep Halal adalah area di mana keputusan kognitif
pembuatan dipengaruhi oleh upaya sadar untuk meminimalkan risiko berdasarkan lensa budaya
konsumen dan Islam. Kata ‘Halal’ berasal dari kata kerja ‘halla’ yang berarti sah, sah, sah, sah atau
diizinkan (untuk Muslim) dan itu adalah kebutuhan yang penting dan spiritual dari konsumen Muslim yang
menandakan mereka untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang diizinkan (Borzooei dan Asgari,
2014). Antonim dari Halal adalah ‘haram’ yang berarti dilarang dan itu termasuk segala sesuatu yang
dilarang di bawah hukum Islam (Husain et al., dalam Annabi, 2017). Tujuan Standar Halal yang
diciptakan (keberadaan) dan tersedia dalam badan sertifikasi halal atau Halal Certification Body (HCB)
adalah untuk meletakkan dasar yang kuat dari doktrin tertulis individu dan prinsip-prinsip penilaian dalam
menangani operasi halal sehari-hari. Standar Halal ini, sesuai dengan prinsip Syariah Islam berdasarkan
keempat Madhab dan sebagaimana didefinisikan oleh para ulama Islam secara kolektif (Fatwa / Ijma)
akan menjadi titik acuan utama bagi badan sertifikai halal untuk membuat hampir semua keputusannya
untuk hari hari operasi.

Individu atau organisasi yang berencana untuk mendapatkan sertifikasi halal dan merek dagang
halal pada produk mereka harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan konsep halal sebelum
mengajukan permohonan ke lembaga sertifikasi yang relevan. Menurut Bon dan Hussain dalam Annabi
(2017), ada lebih dari 60 negara di seluruh dunia pusat-pusat Islam dan organisasi, bersama dengan
lembaga pemerintah yang bertanggung jawab menyediakan berbagai jenis sertifikasi halal. Ada
beberapa negara yang memiliki lebih dari satu badan sertifikasi, seperti Perancis, China, Jepang dan
Inggris (Bon & Hussain, dalam Annabi 2017). Variasi dalam sertifikasi ini telah menyebabkan salah
persepsi pada beberapa masalah. Misalnya, di Jepang, masih sulit menerapkan sepenuhnya halal,
karena kebingungan pada beberapa masalah seperti proses penyembelihan dan logistik (Adidaya dalam
Annabi, 2017). Indonesia telah mengembangkan standar halalnya sendiri, salah satu tujuan dari
standardisasi adalah untuk memastikan setiap orang mematuhi prosedur yang sama atau spesifikasi
produk yang meningkatkan tingkat kualitas produk. Di Indonesia, lembaga yang mengeluarkan sertifikasi
dan standar halal adalah Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis
Ulama Indonesia. Selain itu, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang
dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI.

Gambar 1 Sertifikat Halal MUI

Sumber: Halalmui.org

Sesuai ketentuan MUI, masa berlaku Sertifikat Halal adalah dua tahun. Selama masa tersebut,
perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen Muslim bahwa perusahaan
senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu, LPPOM MUI mewajibkan
perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi
sebagai Manual SJH. Manual ini disusun oleh produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya.

Sebelum mengajukan sertifikasi halal, perusahaan harus melihat persyaratan memiliki halal
sertifikasi seperti yang disebutkan dalam HAS 23000. Ini adalah dokumen yang mengandung
persyaratan halal sertifikasi LPPOM MUI. HAS 23000 terdiri dari dua bab. Bab (I) mengatur Syarat-syarat
Sertifikasi Halal yang mengandung Kriteria Sistem Jaminan Halal, dan Bab (II) menetapkan Persyaratan
Sertifikasi Halal yang berisi Kebijakan dan Prosedur. Untuk menjamin bahwa produk mereka halal, setiap
perusahaan dengan sertifikasi halal harus menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) sebagai Standar
HAS 23000 dari LPPOM MUI. SJH ini berada di bawah tim manajemen internal halal yang fungsi
utamanya adalah mempertahankan status halal berdasarkan divisi masing-masing perusahaan. Tim ini
terdiri dari beberapa divisi terlibat dalam kegiatan kritis dan mereka memiliki kompetensi untuk menjaga
status halal pada bahan-bahan proses produksi, dan fasilitas yang digunakan. Beberapa tahap
pengusulan sertifikasi halal adalah sebagai berikut:

a. Menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk sertifikasi halal.


b. Memiliki registrasi untuk sertifikasi halal
c. Pra-audit
d. Membayar biaya sertifikasi halal.
e. Penjadwalan audit
f. Pelaksanaan audit
g. Analisis laboratorium
h. Rapat Auditor dan Komite Fatwa MUI
i. Pembentukan Sertifikat Halal

Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI berdasarkan proses audit yang
dilakukan oleh LPPOM MUI. Sedangkan Sertifikat SJH adalah pernyataan tertulis dari LPPOM MUI
bahwa perusahaan pemegang sertifikat halal MUI telah mengimplementasikan SJH sesuai dengan
ketentuan LPPOM MUI. Sertifikat tersebut dapat dikeluarkan setelah melalui panduan umum sistem
jaminan halal proses audit SJH sebanyak dua kali dengan status SJH dinyatakan Baik (Nilai A). Audit
adalah suatu pemeriksaan independen, sistematis dan fungsional untuk menentukan apakah aktivitas
dan luarannya sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Banyak jenis audit yang ada, beberapa
diantaranya yang dilakukan oleh MUI adalah Audit SJH. Audit SJH adalah audit yang dilakukan terhadap
implementasi SJH pada perusahaan pemegang sertifikat halal. Kemudian, Audit Memorandum adalah
surat atau alat komunikasi antara LPPOM MUI dan pihak yang diaudit tentang hasil audit yang
membutuhkan tindak lanjut untuk adanya hasil evaluasi audit. SJH merupakan bagian tak terpisahkan
dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram Alir Sertifikasi Halal LPPOM MUI

Sumber: Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI

Pada diagram alir (Gambar 2) pengertian Dokumen SJH adalah sebagai berikut:

1. Untuk perusahaan baru yang belum memiliki SH MUI, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah:
a. Dokumen SJH1) berupa surat pernyataan di atas materai bahwa perusahaan bersedia
menyerahkan Manual SJH Standard paling lambat 6 bulan setelah terbitnya SH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH minimum yang terdiri dari klausul kebijakan halal,
struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
2. Untuk perusahaan yang telah memiliki SH MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan,
Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah:
a. Dokumen SJH berupa Manual SJH Minimum terdiri dari: klausul kebijakan halal, struktur
manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH.
b. Dokumen SJH berupa Manual SJH Standar terdiri dari :
i. Informasi Dasar Perusahaan
ii. Kendali Dokumen
iii. Tujuan Penerapan
iv. Ruang Lingkup Penerapan
v. Kebijakan Halal
vi. Panduan Halal
vii. Struktur Manajemen Halal
viii. Standard Operating Procedures (SOP)
ix. Acuan Teknis
x. Sistem Administrasi
xi. Sistem Dokumentasi
xii. Sosialisasi
xiii. Pelatihan
xiv. Komunikasi Internal dan Eksternal
xv. Audit Internal
xvi. Tindakan Perbaikan
xvii. Kaji Ulang Manajemen
3. Untuk perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan
memperpanjang masa berlaku SH-nya, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah:
a. Dokumen SJH panduan umum sistem jaminan halal berupa laporan berkala terkini dan
Revisi Manual SJH (jika ada) atau copy status SJH minimal B atau Sertifikat SJH.
b. Dokumen SJH tidak diperlukan.

SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk
memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan
mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal. Kerangka SJH dapat
digambarkan dalam bentuk siklus operasi yang ditampilkan pada Gambar 3:
Gambar 3 Siklus Operasi SJH

Sumber: Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI

Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang panduan umum sistem jaminan halal
komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten, mencakup konsistensi dalam
penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam
proses produksi halal.

Pernyataan kebijakan halal adalah langkah awal dan menjadi dasar (jantung) dalam:

1. Menyusun Manual SJH (Planning)


2. Melaksanakan SJH (Implementation)
3. Memantau dan Mengevaluasi Pelaksanaan SJH (Monitoring and Evaluation)
4. Tindakan Perbaikan terhadap pelaksanaan SJH (Corrective Action)

a) Perencanaan (Planning)
Perusahaan menyusun manual SJH standar seperti urutan yang telah dituliskan pada
keterangan Gambar 1, butir 2b.
b) Pelaksanaan (Implementation)
Perusahaan melaksanakan semua yang telah direncanakan seperti tertulis dalam Manual
SJH. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
c) Pemantauan dan Evaluasi (Monitoring and Evaluation)
Perusahaan memantau dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat
memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.
d) Tindakan Perbaikan (Corrective Action)
Perusahaan memperbaiki kesalahan dan belajar dari kesalahan serta memperbaiki
perencanaannya untuk mencapai hasil yang lebih baik.

4. Produk Halal
Majelis Ulama Indonesia memberikan jaminan bahwa produk halal dikonsumsi dengan baik untuk
orang-orang, khususnya umat Islam, MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat kebijakan dengan
Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika; LPPOM. Ini berfungsi untuk mengontrol dan
memeriksa suatu produk makanan, obat-obatan, dan kosmetik sebelum mengusulkan saran kepada
Komite Fatwa membuat Sertifikat Halal terhadap produk yang memenuhi kriteria halal. Namun, LPPOM
MUI pasif karena hanya menyelidiki produk karena permintaan dari produsen ingin membuat produk
mereka sangat halal. Itu terjadi karena UU No. 33 tahun 2014 belum diimplementasikan.

Secara sederhana, sertifikat halal yang diberikan oleh LPPOM MUI didasarkan pada aplikasi
produsen, dan kemudian audit pada dokumen, bahan, lokasi, dan proses produksi akan dilakukan.
Berdasarkan laporan audit, komite fatwa MUI dapat mendefinisikan status halal dari suatu produk. Masa
berlaku sertifikat halal ini adalah dua tahun.

Prinsip dasar untuk produk halal adalah: (Malboobi dan Malboobi 2012)

1. Menjadi produk Halal atau Haram adalah fungsi dari menjadi halal atau melanggar hukum
berkenaan dengan perintah Ilahi.
2. Menetapkan Halal atau Haram tergantung menguntungkan atau berbahaya, masing-masing.
3. Dalam konteks konsep di atas, perintah yang ditetapkan dalam Syariah adalah baik aturan tetap
maupun variabel berdasarkan keadaan subjek pada spesifik waktu dan tempat.
4. Perintah dalam Syariah dinilai berdasarkan tingkat manfaatnya atau berbahaya sementara
pilihan terbaik lebih disukai kapan pun diperlukan.
5. Beberapa kontrol dan mengatur peraturan seperti "La zirar" (tidak ada salahnya kepada
manusia), Haraj (keberadaan ancaman dan / atau kendala serius), dan aturan urgensi kadang-
kadang tidak menyetujui pesanan.

Berdasarkan prinsip dasar yang telah dikemukan oleh Malboobi dan Malboobi, maka dapat
disimpulkan bahwa produk halal adalah produk yang tidak membahayakan serta terdapat dalam perintah
syariat dalam hal mengonsumsi produk tersebut. Produk halal adalah produk yang telah memiliki
sertifikasi halal yang telah dikeluarkan LPPOM MUI dan telah melewati prosedur yang telah ditetapkan
oleh lembaga yang bersangkutan. Di Indonesia, produk halal telah banyak ditemukan di berbagai toko
serta pasar modern. Produk halal tersebut bisa diketahui dengan melihat tanda atau label halal pada
produk yang dijual atau dapat dicek dengan mengunjungi website www.halalmui.org dengan kategori
pencarian produk halal.

Tabel 3 Data Sertifikasi Halal LPPOM MUI

Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Sertifikasi Halal

2005 414 969

2006 443 1123

2007 448 1013

2008 548 921

2009 353 470

2010 692 750

2011 623 650

2012 552 600

2013 897 9721

2014 4523 10762

Total 8636 26979

Sumber: Data Produk Tersetifikasi Halal LPPOM MUI

Tabel diatas menunjukkan pertumbuhan data produk tersertifikasi halal dari tahun ke tahun, pada
tahun 2013 jumlah perusahaan dengan produk yang tersertifikasi halal berjumlah 897 dan meningkat
sejumlah 4523 pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran akan pentingnya produk
halal naik seiring dengan pertumbuhan perusahaan dengan produk tersertifikasi halal yang naik.

5. Kosmetik Halal
Definisi kosmetik bervariasi, tetapi dalam istilah umum kosmetik berarti “setiap artikel
dimaksudkan untuk menjadi digunakan dengan cara menggosok, menaburkan atau dengan aplikasi
serupa ke tubuh manusia untuk membersihkan, mempercantik, mempromosikan daya tarik, mengubah
penampilan tubuh manusia, dan untuk menjaga kesehatan kulit dan rambut, asalkan tindakan artikel di
atas tubuh manusia ringan” (Mitsui dalam Ali, 2016). Dalam penggunaan saat ini, kosmetik adalah
"persiapan apapun, yang diterapkan pada kulit, mata, mulut, rambut atau kuku untuk tujuan pembersihan,
meningkatkan penampilan, memberikan bau yang menyenangkan atau memberi perlindungan” (de Groot
& White dalam Ali, 2016). The Federal Food, Drug, dan Cosmetic Act (Undang-Undang FD&C)
mendefinisikan kosmetik dengan yang dimaksudkan gunakan, seperti "artikel yang dimaksudkan untuk
digosok, dituangkan, ditaburi, atau disemprotkan, dimasukkan ke dalam, ataujika tidak diterapkan pada
tubuh manusia untuk membersihkan, mempercantik, mempromosikan daya tarik, atau mengubah
penampilan.

Perusahaan kosmetik memproduksi dan menyediakan berbagai produk kosmetik sesuai


kebutuhan pelanggan. Produk apapun yang digunakan pelanggan untuk perawatan kesehatan, wajah,
dan perawatan kulitnya untuk penampilan luar, atau untuk menjaga kesehatannya dengan
membersihkan dan bahkan pemanfaatan bahan alami dan anorganik untuk mencegah kerusakan dari
lingkungan yang melingkupi sama sekali di bawah kosmetik. Kosmetik diklasifikasikan ke dalam kategori
berikut:

1. Perawatan kulit
2. Kosmetik Perawatan Tubuh & Oral
3. Make Up
4. Perawatan rambut
5. Parfum

Wilson dalam Annabi (2014) menyatakan bahwa halal market berkembang dengan cepat dan
istilah 'Halal' semakin dikaitkan dengan beragam produk dan layanan di sejumlah sektor industri, seperti
bidang perawatan pribadi dan kosmetik. Pertumbuhan pasar untuk kosmetik halal sedang meningkat
dengan proyeksi pertumbuhan masa depan (Hashim dan Musa dalam Annabi, 2014), khususnya di
antara konsumen Muslim yang lebih makmur. Ruang lingkup kosmetik halal mencakup semua aspek
rantai pasokan; termasuk sumber dan produksi menggunakan bahan-bahan halal, prosedur pembuatan,
penyimpanan, pengemasan dan logistik. Oleh karena itu produsen kosmetik halal dihadapkan dengan
masalah penting dalam mengendalikan rantai pasokan halal untuk memastikan bahwa rantai
sepenuhnya selaras dengan janji Halal kepada pelanggan akhir. Untuk menjaga integritas Halal di
sepanjang rantai pasokan kosmetik, bahwa kosmetik halal harus diproduksi di bawah kondisi higienis
yang ketat, praktik manufaktur yang baik dan peraturan kesehatan masyarakat. Selain itu, etos produksi
halal mensyaratkan bahwa fasilitas produksi harus terbatas pada pengolahan halal untuk menghindari
perlunya pembersihan ritual wajib. Demikian juga peralatan dan tempat kerja untuk pengolahan dan
pembuatan produk harus Halal (Annabi, 2014). Untuk bahan bahan yang digunakan dalam kosmetik
halal harus memperhatikan standar yang telah ditetapkan. Dalam tabel 1 dijelaskan bahan bahan yang
dapat digunakan dalam kosmetik halal.

Tabel 4 Bahan Kosmetik Halal dan Haram

Halal Ingredients Source Haram Ingredients Source

Carmines / carmine Halal Minds (2014) Produk sampingan dari Jaafar et al., (2011,
dye, garam natrium etil- darah, minuman keras, p.847)
phydroxybenzoate, hewan air, tanaman
propyl-p- beracun kecuali
hydroxybenzoate, racunnya dibuang
asam borat, asam terlebih dahulu
thiodipropionic dan
kacang gabus belalang
Alkohol / etanol industri Hashim and Hashim Bagian tubuh manusia, Husain et al. (2012)
(ini jelas dinyatakan (2013) organisme hasil
sebagai dilarang dalam rekayasa genetika
karya Jaafar et al., (GMO), bahan / produk
(2011) dan Hunter yang terkontaminasi
(2012) dari bahan / produk
haram
Albumen, kolesterol, Hunter (2012)
etanol, lemak, gliserin,
lanolin, lesitin, keratin,
vitamin A, asam laktat
Sistein, lemak babi atau Hashim and Hashim
produk berasal dari (2013)
babi
Sumber: Halal Certification Organizations in the United Kingdom

Sedangkan di Indonesia sendiri, halal kosmetik telah diatur oleh Majelis Ulama Indonesia dengan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Penggunaan Plasenta Hewan Halal untuk
Kosmetika dan Obat Luar. Dalam fatwa tersebut dijelaskan:

1. Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk membersihkan, menjaga,
meningkatkan penampilan, merubah penampilan, digunakan dengan cara mengoles, menempel,
memercik, atau menyemprot.
2. Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang berfungsi sekedar
pelengkap, ada yang masuk kategori haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat.
3. Penggunaan kosmetika untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat:
a. bahan yang digunakan adalah halal dan suci;
b. ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan
c. tidak membahayakan.
4. Penggunaan kosmetika dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan
bahan yang najis atau haram hukumnya haram. 3. Penggunaan kosmetika luar (tidak masuk ke
dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan
syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
5. Produk kosmetika yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil
rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
6. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan
tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara
penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media
pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang
kehalalan dan kesucian bahannya.
8. Pemerintah mengatur dan menjamin ketersediaan kosmetika halal dan suci dengan menjadikan
fatwa ini sebagai pedoman
9. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan
bahan haram dan najis, baik untuk kosmetika dalam maupun luar.
10. LPPOM MUI tidak melakukan sertifikasi halal terhadap produk kosmetika yang menggunakan
bahan yang tidak jelas kehalalan dan kesuciannya, sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan
kesucian bahannya.

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Optimalisasi Peran MUI dalam Penetapan Standar Halal Kosmetik guna mendorong
Halal Industry di Indonesia?
BAB 2

ANALISIS

2.1 Optimalisasi Peran MUI dalam Penetapan Standar Halal Kosmetik guna mendorong Halal Industry
di Indonesia

Dalam jurnal yang berjudul Consumers Demand on Halal Cosmetics and Personal Care Products
in Indonesia menyatakan bahwa Bidang halal dapat diperluas ke semua bahan habis pakai seperti
farmasi, kosmetik, produk perawatan pribadi, perlengkapan mandi, dll. Label atau sertifikat halal tidak
hanya menjamin apa yang dikonsumsi oleh konsumen muslim atau gunakan sesuai dengan hukum
Islam, tetapi juga mendorong produsen untuk menemukan standar halal. Dalam lingkup kosmetik halal
dan produk perawatan pribadi, konsep ini mencakup aspek-aspek penting dari produksi seperti bahan-
bahan halal dan penggunaan zat yang diperbolehkan yang harus diproduksi, disimpan, dikemas dan
dikirim sesuai dengan persyaratan Syariah (Elasrag, 2016) Dengan demikian, pelabelan dan sertifikasi
halal dapat memainkan peran penting untuk meyakinkan konsumen Muslim bahwa produk yang mereka
beli memenuhi persyaratan dan kondisi agama yang diperlukan. Saat ini, ada banyak makanan, farmasi,
kosmetik dan produk perawatan pribadi yang tersedia dengan pelabelan nonspesifik. Oleh karena itu,
verifikasi halal dan otentikasi produk ini sangat dibutuhkan (Mursyidi, 2013).

Untuk melindungi hak-hak konsumen Muslim dan upaya mereka untuk mengikuti perintah
mereka dalam mengkonsumsi hanya produk halal, lembaga sertifikasi halal telah muncul di beberapa
negara untuk memberikan sertifikasi untuk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan produk
perawatan pribadi yang halal atau tidak mengandung komponen haram (dilarang) (Salehudin dan Luthfi,
2011).

Industri kosmetik halal akan menjadi pusat perhatian bagi banyak perusahaan kosmetik, karena
dikonfirmasi dengan beberapa alasan, seperti meningkatnya jumlah orang Muslim di dunia, mencari
produk alami dan aman oleh konsumen, meningkatkan permintaan untuk Produk komponen halal oleh
konsumen yang lebih berpengetahuan dan terdidik dan akhirnya berkembang dari segmen pasar global
dengan peningkatan pendapatan perempuan, yang semuanya bersama-sama menciptakan peluang
bisnis besar untuk lebih banyak investasi di industri kosmetik. Selain itu, sebuah penelitian oleh
Sekretariat Forum Halal Dunia, menunjukkan jumlah USD 2,3 triliun (tidak termasuk perbankan) untuk
produk halal global yang secara rinci telah mencapai 1,4 triliun dolar AS, 506 miliar dan 230 miliar milik
sektor makanan, obat-obatan dan kosmetik masing-masing.
Menurut laporan Thomson Reuters, pengeluaran Muslim global kosmetik meningkat satu persen
menjadi US $ 46 miliar secara global pada tahun 2013. Belanja ini 6,78 persen dari pengeluaran sektor
global dan diperkirakan akan mencapai US $ 73 miliar pada 2019. Berdasarkan perkiraan tahun 2013,
negara-negara teratas dengan kosmetik Muslim konsumen adalah Uni Emirat Arab (US $ 4,9 miliar),
Turki (4,4 miliar dolar AS), India (3,5 miliar dolar AS), dan Rusia (3,4 miliar dolar AS). Studi lain, pada
tahun 2015, yang dilakukan oleh Institut Ilmu Pengetahuan Perawatan Pribadi Australia, dihitung bahwa
industri kosmetik global bernilai sekitar US $ 334 miliar, dengan kosmetika halal menyumbang US $ 13
miliar dari jumlah ini setahun (Ramli dalam Aisyah, 2017). Menurut Malaysia Halal Industry Development
Corp (HDC), Muslim telah mulai mencari kosmetik halal dan produk perawatan pribadi. Konsumen
muslim, dengan populasi global hampir dua miliar, semakin menyadari bahwa beberapa kosmetika
mengandung bahan-bahan yang berasal dari asal-usul hewan dan dengan demikian memprihatinkan
tentang status halal (Rasid dalam Aisyah, 2017). Meningkatnya kesadaran di kalangan Muslim
konsumen mengenai kosmetik halal dan produk perawatan pribadi telah menarik perhatian perhatian
pengecer kosmetik (Abd Jabar et.al, dalam Aisyah 2017).

Malaysia telah mengambil tindakan serius untuk mengembangkan produk halal sejak 2009
karena menyadari bahwa pertimbangan halal adalah daya tarik baru untuk pelanggan Muslim di
negaranya. Untuk perusahaan kosmetik yang beroperasi di pasar kompetitif, mencapai kepuasan bagi
pelanggan mereka sangat penting jika mereka mau bertahan di pasar tersebut. Pelanggan yang puas
akan mengulangi pembelian mereka dan mereka akan melakukannya lebih setia kepada perusahaan.
Pengembangan Perdagangan Eksternal Malaysia Corporation Halal Unit menginformasikan bahwa
kosmetik halal dan produk perawatan pribadi serta makanan dan minuman halal adalah satu-satunya
segmen yang melaporkan peningkatan dalam ekspor selama di paruh pertama 2015 sementara bahan
halal lainnya, minyak sawit derivatif dan bahan kimia industri mencatat adanya penurunan (Rasid dalam
Aisyah, 2017).

Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia
merupakan pasar potensial dalam produk kosmetik halal dan perawatan pribadi. Berdasarkan hasil survei
yang dilakukan oleh MarkPlus Insight Women Survey pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa
Wardah, salah satu brand kosmetik halal, dinobatkan sebagai merek kosmetik paling popular untuk
wanita. Survei dilakukanpada pertengahan 2015 termasuk 1.183 responden perempuan di 18 kota di
Indonesia, berusia antara 15 dan 59 tahun. Menurut hasilnya, 37,8% responden mengaku Wardah
menjadi merek kosmetik favorit mereka, diikuti oleh Pixy (10.1) dan Sari Ayu (8,7%). Ponds dan VIVA
berada di posisi keempat dan kelima, dengan margin yang dapat diabaikan. Selain Wardah, Sari Ayu
juga bersertifikat halal (MarkPlus, 2016). Berdasarkan survei tersebut terlihat bahwa produk kosmetik
halal di Indonesia sangat diminati oleh para wanita Indonesia. Dengan meningkatnya permintaan
terhadap produk – produk kosmetik halal, maka diperlukan beberapa standar, seperti bebas dari alkohol
atau bebas dari bahan binatang dan bahan-bahan yang membahayakan yang dilarang dalam Islam,
untuk menetapkan standar kosmetik halal yang memasuki industri halal di Indonesia.

Beberapa negara muslim yang tersebar di dunia telah memiliki standar masing – masing akan
produk halal dan dikhususkan pada kosmetik dan perawatan diri. Indonesia telah mengembangkan
standar halalnya sendiri, salah satu tujuan dari standardisasi adalah untuk memastikan setiap orang
mematuhi prosedur yang sama atau spesifikasi produk yang meningkatkan tingkat kualitas produk. Di
Indonesia, lembaga yang mengeluarkan sertifikasi dan standar halal adalah Lembaga Pengkajian
Pangan Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Selain itu, untuk memberikan
keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu
memiliki Sertifikat Halal MUI.

Tabel 5 Presentase Produk yang Beredar dan Produk yang Bersertifikat Halal

Jumlah Produk yang Jumlah Produk


Tahun Presentase
Beredar Bersertifikat Halal

2011 163752 26413 16,13%

2012 33060 17249 52,17%

2013 35039 9721 27,74%

2014 155000 13000 8,39%

Total 231851 53383 26,11%

Sumber: LPPOM MUI

Berdasarkan table diatas, terjadi peningkatan presentase pada tahun 2011 ke tahun 2012 untuk
produk dengan sertfikat halal sebesar 36,04%. Namun, terjadi penururan pada tahun 2013 dan 2014.
Hal tersebut dapat menjadi evaluasi untuk pemerintah khususnya MUI dalam menaikkan produk dengan
sertifikasi halal di Indonesia, karena seiring dengan perkembangan zaman, permintaan akan produk halal
semakin naik dari tahun ke tahun.
Sertifikasi halal disediakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Sertifikasi halal MUI diakui
secara internasional (Salehudin dan Luthfi, 2011). Menurut MUI, peningkatan perkembangan teknologi
memungkinkan penggunaan substansi yang melanggar hukum sebagai bahan baku, bahan tambahan
atau bahan pembantu dalam berbagai produk olahan. Akibatnya, kehalalan produk menjadi tidak jelas
atau diragukan. Itulah mengapa Komisi Fatwa MUI menyimpulkan bahwa semua produk olahan pada
dasarnya diragukan dan perlu dipelajari atau dieksplorasi lebih lanjut sebelum menetapkan status halal
yang tidak sah, untuk memberikan kepastian dan meyakinkan konsumen Muslim untuk mempraktekkan
ajaran agama mereka. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Produk Halal Indonesia, hanya
produk yang memiliki sertifikat halal yang diizinkan untuk memberi label halal pada kemasannya. Oleh
karena itu, untuk menembus pasar Indonesia, penting bagi perusahaan lokal dan luar negeri untuk
memberi label dan sertifikasi produk kosmetik dan produk perawatan pribadi mereka sesuai dengan label
halal dan sertifikasi MUI.

Saat ini, standar halal untuk kosmetik di Indonesia mengikuti fatwa MUI nomor 30 Tahun 2011
tentang Penggunaan Plasenta Hewan Halal untuk Kosmetika dan Obat Luar. Dalam fatwa ini diterangkan
tentang definisi kosmetika, penggunaan kosmetik sesuai syariah, dan bahan – bahan yang terlarang
dalam kandungan kosmetika. Kemudian untuk mengetahui bahwa produk kosmetik itu halal atau dapat
dilihat dari label halal yang terdapat pada kemasan. Karena hal tersebut bertanda bahwa produk tersebut
diproduksi dan dikeluarkan oleh perusahaan yang telah memiliki sertifikasi halal MUI dari Lembaga
Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika (LPPOM).

Tabel 6 Data Produk Pangan, Obat obatan, Kosmetika yang memperoleh Izin edar di Indonesia

Jumlah Produk Jumlah Produk Jumlah Produk


Tahun Total
Pangan Kosmetika Obat Obatan

2011 51519 70821 41412 163752

2012 9363 17192 6505 33060

2013 10115 20552 4372 35039

Total 70997 108565 52289 231851

Sumber: LPPOM MUI


Peran Majelis Ulama Indonesia dengan pengawasan dan seleksi yang ketat dari LPPOM menjadi
hal yang penting dalam penerapan standar halal kosmetik di Indonesia. Hingga tahun 2013, data dari
BPOM RI mencatat bahwa terdapat 108.565 ribu jumlah produk kosmetika yang sudah memiliki izin edar.
Hal tersebut belum menjamin bahwa produk kosmetika tersebut halal dan harus mendapatkan sertifikasi
halal terlebih dahulu untuk memastikan bahwa produk tersebut benar – benar halal. Belakangan ini,
masyarakat Muslim banyak membicarakan isu untuk memastikan bahwa produk halal terjamin
khususnya produk kosmetik dari proses produksi sampai ke tangan konsumen adalah dengan penerapan
konsep Halal Cosmetics Supply Chain.

Di bidang Halal Cosmetics Supply Chain, studi tentang ini jumlahnya terbatas terutama di arena
Halal. Persyaratan dasar untuk Produk kosmetika halal, berdasarkan Syariah Islam, harus dipenuhi oleh
industri kosmetik halal selama semua tahapan rantai pasokan kosmetik termasuk menerima,
menyiapkan, memproses, menyimpan, dan mengemas, memberi label, mengendalikan, menangani,
mengangkut dan mendistribusikan. Dari sudut pandang Muslim, produk harus bersih dan higienis yang
memiliki rantai pasokan terpadu. Disisi lain, konsep manajemen efektif yang ada dalam memproduksi
produk kosmetika halal menuntut tiga kegiatan yang sukses termasuk perencanaan mutu; kualitas
jaminan dan kontrol peningkatan kualitas. Pengembangan integritas Halal lengkap di seluruh sistem
rantai pasok terintegrasi dengan daftar bahan halal yang positif, pengadaan, pembuatan bersertifikasi
prosedur dan sistem pelacakan rantai pasokan yang disebut HALQ, konvergen GMP, HACCP, Halal,
dan Toyyibaan menjadi satu set prosedur yang ditangani.

Dalam penelitian Consumers Demand on Halal Cosmetics and Personal Care Products in
Indonesia, konsumen kosmetik halal, merupakan pemain dalam rantai pasokan cenderung menerima
produk kualitas tinggi, pemeliharaan kualitas halal oleh semua yang terlibat di semua tahapan menjadi
masalah penting yang dapat diberikan oleh pelacakan kebijakan halal rantai pasokan di Indonesia.
Sebagai sistem penelusuran saat ini digunakan untuk mengintegrasikan makanan seperti daging halal
dapat diterapkan juga dalam kosmetik halal.

Husain et al. dalam Annabi (2017) menekankan bahwa jaminan kualitas kosmetik halal
dicontohkan oleh konsumen dan organisasi yang membutuhkan pemasok untuk memperoleh sertifikasi
halal. Karena itu perlu bahwa sifat sertifikasi produk halal harus mencakup baik sertifikasi kualitas produk
dan juga kegiatan operasional organisasi.

Berdasarkan paparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan produk kosmetik
halal diperlukan Halal Cosmetics Supply Chain with Traceability System yang merupakan rantai pasokan
yang memastikan menerima, menyiapkan, memproses, menyimpan, dan mengemas, memberi label,
mengendalikan, menangani, mengangkut dan mendistribusikan produk kosmetik dengan halal dan
dengan sistem pelacakan. Sistem backend sederhana yang memberikan identitas produk dan jaminan
kualitas di seluruh rantai pasokan Pelacakan berarti kemampuan untuk mengikuti suatu item dari awal
rantai pasokan sampai akhir dan penelusuran adalah kemampuan untuk mengenali asal barang. Hal ini
dapat diterapkan dengan pengawasan dari LPPOM MUI. Di Indonesia sendiri rantai pasokan kosmetik
halal belum sepenuhnya dilakukan, sehingga terkadang ditemukan proses yang belum islami sehingga
tidak menjamin kehalalan produk tersebut. Untuk itu harus ada kebijakan yang dibuat oleh lembaga
regulator yang mengatur rantai pasokan kosmetik halal ini agar setiap prosesnya dari bahan mentah
hingga ke konsumen dapat terjamin kehalalannya. Selain itu, dengan adanya traceability system
memudahkan konsumen untuk memastikan kehalalan produk tersebut. Hal ini yang diperlukan oleh
konsumen muslim sebagai salah satu pemain dalam rantai pasokan halal ini. Penjelasan tersebut dapat
dilihat dalam figure 2.

Figure 2 Halal Cosmetics Supply Chain Controlled By LPPOM MUI

Storage Distribution

Production/Packaging/ Retailer
Labelling

Halal Cosmetics
Raw Supply Chain
Consumers
materials with Traceability
System

HALAL COSMETICS POLICY BY LPPOM MUI

Sumber: Ilustrasi Penulis


Penelitian terdahulu oleh Tieman menyatakan bahwa Pelacakan dan penelusuran (Traceability
System) untuk menentukan sumber bahan halal bisa dilakukan secara manual tanpa mekanisme
pemetaan yang kompleks atau canggih dan hanya perlu mencakup 1 pemasok. Namun sebaliknya,
Hunter menyatakan bahwa semua produk dan bahan yang digunakan masuk Produk kosmetik halal
harus dapat dilacak dari sumbernya; menyiratkan bahwa semua tingkatan pasokan di rantai hulu harus
diverifikasi. Selanjutnya penilaian keamanan, termasuk mikrobiologi dan toksisitas tes harus dilakukan
pada bahan dan produk untuk memastikan kebugaran produk yang digunakan.

Ruang lingkup kosmetik halal mencakup semua aspek rantai pasokan; termasuk sumber dan
produksi menggunakan bahan-bahan halal, prosedur pembuatan, penyimpanan, pengemasan dan
logistic. Oleh karena itu produsen kosmetik halal dihadapi dengan masalah penting dalam
mengendalikan rantai pasokan halal untuk memastikan bahwa rantai sepenuhnya sejalan dengan janji
halal kepada pelanggan akhir. Di Indonesia, kita dapat mengetahui atau melacak kehalalan produk
termasuk kosmetik dalam pencarian produk halal di website www.halalmui.org. Namun, hal tersebut
hanya memberikan informasi sebatas produk tersebut halal atau tidak, bukan keselurahan seperti yang
dimaksud oleh system traceability sehingga disini kurang memberikan informasi yang lengkap mengenai
kehalalan suatu produk dari awal hingga akhir proses produksi.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jumlah


penduduknya mencapai sebesar (87,17%) atau sekitar 207.176.162 dari total penduduk Indonesia yang
berjumlah 237.556.363 jiwa. Jumlah penduduk Muslim ini memiliki potensi besar dalam menerapkan
halal lifestyle yang ada di Indonesia. Dengan menerapkan halal lifestyle di Indonesia, hal ini akan
mendorong pertumbuhan halal industry di Indonesia. Bidang halal dapat diperluas ke semua bahan habis
pakai seperti farmasi, kosmetik, produk perawatan pribadi, perlengkapan mandi, dll. Label atau sertifikat
halal tidak hanya menjamin apa yang dikonsumsi oleh konsumen muslim atau gunakan sesuai dengan
hukum Islam, tetapi juga mendorong produsen untuk menemukan standar halal. Dalam lingkup kosmetik
halal dan produk perawatan pribadi, konsep ini mencakup aspek-aspek penting dari produksi seperti
bahan-bahan halal dan penggunaan zat yang diperbolehkan yang harus diproduksi, disimpan, dikemas
dan dikirim sesuai dengan persyaratan Syariah. Dengan demikian, pelabelan dan sertifikasi halal dapat
memainkan peran penting untuk meyakinkan konsumen Muslim bahwa produk yang mereka beli
memenuhi persyaratan dan kondisi agama yang diperlukan. Sertifikasi halal disediakan oleh MUI (Majelis
Ulama Indonesia). Sertifikasi halal MUI diakui secara internasional. Berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Produk Halal Indonesia, hanya produk yang memiliki sertifikat halal yang diizinkan untuk
memberi label halal pada kemasannya. Oleh karena itu, untuk menembus pasar Indonesia, penting bagi
perusahaan lokal dan luar negeri untuk memberi label dan sertifikasi produk kosmetik dan produk
perawatan pribadi mereka sesuai dengan label halal dan sertifikasi MUI. Standar halal untuk kosmetik di
Indonesia mengikuti fatwa MUI nomor 30 Tahun 2011 tentang Penggunaan Plasenta Hewan Halal untuk
Kosmetika dan Obat Luar. Dalam fatwa ini diterangkan tentang definisi kosmetika, penggunaan kosmetik
sesuai syariah, dan bahan – bahan yang terlarang dalam kandungan kosmetika. Kemudian untuk
mengetahui bahwa produk kosmetik itu halal atau dapat dilihat dari label halal yang terdapat pada
kemasan. Untuk mendapatkan produk kosmetik halal diperlukan Halal Cosmetics Supply Chain with
Traceability System yang merupakan rantai pasokan yang memastikan menerima, menyiapkan,
memproses, menyimpan, dan mengemas, memberi label, mengendalikan, menangani, mengangkut dan
mendistribusikan produk kosmetik dengan halal dan dengan sistem pelacakan. Sistem backend
sederhana yang memberikan identitas produk dan jaminan kualitas di seluruh rantai pasokan Pelacakan
berarti kemampuan untuk mengikuti suatu item dari awal rantai pasokan sampai akhir dan penelusuran
adalah kemampuan untuk mengenali asal barang. Hal ini dapat diterapkan dengan pengawasan dari
LPPOM MUI.
3.2 Temuan

Di bidang Halal Cosmetics Supply Chain, persyaratan dasar untuk Produk kosmetika halal,
berdasarkan Syariah Islam, harus dipenuhi oleh industri kosmetik halal selama semua tahapan rantai
pasokan kosmetik termasuk menerima, menyiapkan, memproses, menyimpan, dan mengemas, memberi
label, mengendalikan, menangani, mengangkut dan mendistribusikan. Dari sudut pandang Muslim,
produk harus bersih dan higienis yang memiliki rantai pasokan terpadu. Untuk mendapatkan produk
kosmetik halal diperlukan Halal Cosmetics Supply Chain with Traceability System yang merupakan rantai
pasokan yang memastikan menerima, menyiapkan, memproses, menyimpan, dan mengemas, memberi
label, mengendalikan, menangani, mengangkut dan mendistribusikan produk kosmetik dengan halal dan
dengan sistem pelacakan. Sistem backend sederhana yang memberikan identitas produk dan jaminan
kualitas di seluruh rantai pasokan Pelacakan berarti kemampuan untuk mengikuti suatu item dari awal
rantai pasokan sampai akhir dan penelusuran adalah kemampuan untuk mengenali asal barang. Hal ini
dapat diterapkan dengan pengawasan dari LPPOM MUI. Di Indonesia sendiri rantai pasokan kosmetik
halal belum sepenuhnya dilakukan, sehingga terkadang ditemukan proses yang belum islami sehingga
tidak menjamin kehalalan produk tersebut. Untuk itu harus ada kebijakan yang dibuat oleh lembaga
regulator yang mengatur rantai pasokan kosmetik halal ini agar setiap prosesnya dari bahan mentah
hingga ke konsumen dapat terjamin kehalalannya. Selain itu, dengan adanya traceability system
memudahkan konsumen untuk memastikan kehalalan produk tersebut. Hal ini yang diperlukan oleh
konsumen muslim sebagai salah satu pemain dalam rantai pasokan halal ini. Penjelasan tersebut dapat
dilihat dalam figure 2.
3.3 Rekomendasi

Rekomendasi dalam hal ini agar terdapat keberlanjutan dan perbaikan dalam kepenulisan
selanjutnya atau implementasi kebijakan. Adapun rekomendasi dari penulis adalah:

Bagi penulis lanjut yang ingin melanjutkan kepenulisan tentang peran Majelis Ulama Indonesia dalam
penetapan standar kosmetik halal di Indonesia diharapkan lebih memerhatikan komponen-
komponen yang belum dimasukkan dalam karya tulis ini. Melalui karya tulis ini, diharapkan
pemerintah dan stakeholders seperti LPPOM MUI, konsumen muslim dan produsen kosmetik halal
dapat bekerjasama dalam peran meningkatkan standar kosmetik halal guna mendorong Halal
Industry di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Afroniyati, L. (2014). Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal. Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik,
37-52.

Aisyah, M. (2017). CONSUMERS DEMAND ON HALAL COSMETICS AND PERSONAL CARE


PRODUCTS IN INDONESIAN. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of Islamic
Economics), 125-142.

Ali, S., Halim, F., & Ahmad, N. B. (2016). Beauty Premium and Halal Cosmetics Industry . Journal of
Marketing Management and Consumer Behavior, 52-63.

Anis Najiha Ahmad, U. F. (2018, Februari 23). Overview of the halal food control system in Malaysia.
Food Control, pp. 352-363.

Annabi, C. A., & Ibidapo-Obe, O. O. (2017). Halal Certification Organizations in the United Kingdom.
Journal of Islamic Marketing, 107-126.

Anwar, M. K., Fahrullah, A., & Ridlwan, A. A. (2018). THE PROBLEMS OF HALAL CERTIFICATION
FOR FOOD INDUSTRY IN INDONESIA . International Journal of Civil Engineering and
Technology, 1625-1632.

Aoun, I., & Tuornoris, L. (2015). Building holistic brands: an exploratory study of Halal Cosmetics. Journal
of Islamic Marketing, 109-123.

Borzooei, M., & Asgari, M. (2013). The Halal brand personality and its effect on purchase intention.
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 481-491.

BPS. (2015). "Sensus Penduduk Indonesia 2010". Diakses tanggal 15 Oktober 2018 www.bps.go.id.

Elasrag, H. (2016). Halal Industry : Key Challenges and Opportunities. Munich Personal RePEc Archive.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 26 Tahun 2013 Tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan
Penggunaannya.

F, M., & B, H. (2015). Halal Cosmetics Supply Chain - A Conceptual Model. International Journal of
Supply Chain Management , 33-43.

Halal Industry The New Potential Market. (2016, November 29).


Halal MUI. www.halalmui.org

Hanzaee, K., & Ramezani, M. (2011). Intention to Halal products in the world markets. Interdisciplinary
Journal of Research in Business, 1-7.

ISWA INTEGRATED HALAL STANDARD . (2017, November 22).

Khraim, H. (2010). Measuring religiosity in consumer research from Islamic perspective. International
Journal of Marketing Studies, 166-179.

LPPOM-MUI. (2008). PANDUAN UMUM SISTEM JAMINAN HALAL LPPOM MUI. Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia.

Malboobi, M. T., & Malboobi, M. A. (2012). Halal concept and products derived from modern
biotechnology. International workshop for Islamic scholars on agribiotechnology: Shariah
compliance.

MarkPlus. (2016). Halal and Herbal – The Two Emerging Buzzwords in Indonesia’s Cosmetics Market.
MarkPlus Inc.: Knowledge, Insight, Solution.

Mukhtar, A., & Butt, M. M. (2012). Intention to choose Halal products: the role of religiosity. Journal of
Islamic Marketing, 108-120.

Mursyidi, A. (2013). Chemical Analysis Authentication Role in Halal and Food Pharmaceutical Products.
Journal of Food and Pharmaceutical Science, Vol.1: 1-4.

Nirwandar, S. (2015, November 16). Halal Lifesyle In Indonesia. Indonesia.

Nusran, M., Gunawan, Numba, S., Wekke, I. S., & Razak, M. (2018). Halal Awareness on the
Socialization of Halal Certification . IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. IOP
Publishing.

Rosa E. Rios, H. E. (2012). Do halal certification country of origin and brand name familiarity matter?
Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, 665-686.

Salehudin, I. &. (2011). Marketing Impact of Halal Labeling towards Indonesia Consumer’s Behavioral
Intention . Asean Marketing Journal, 35-43.

Sayogo, D. S. (2018). Online traceability for halal product information: perceptions of Muslim consumers
in Indonesia. Journal of Islamic Marketing, 99-116.
(2017). State of The Global Economy Report 2016/17. Thomson Reuters.

Talib, M. S., Sawari, S. S., Hamid, A. B., & Chin, T. A. (2016). Emerging Halal food market: an Institutional
Theory of Halal certificate implementation. Management Research Review, 987-997.

The Global Halal Industry: An Overview. (2012). Nasdaq OMZ.

Tieman, M. (2015). halal clusters. Journal of Islamic Marketing, 2-21.

Wilson, & Liu, J. (2010). Shaping the halal into a Brand? Journal of Islamic Marketing, 107-123.

Yeo, B. L., Mohamed, R. H., & Muda, M. (2016). A Study of Malaysian Customers Purchase Motivation
of Halal Cosmetics Retail. Procedia Economics and Finance, 176-128.

Anda mungkin juga menyukai