Oleh :
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Oleh :
Putra Marenda
iv
APLIKASI METODE MIKROSEISMIK (HVSR) UNTUK
MEMETAKAN KERENTANAN TANAH AREA GEDONG
SONGO, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH
INTISARI
v
MICROSEISMIC (HVSR) METHOD APPLICATION FOR
MAPPING SOIL VULNERABILITY IN GEDONGSONGO AREA,
KABUPATEN SEMARANG, CENTRAL JAVA
ABSTRACT
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….ii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………...…iii
KATA PENGANTAR………………………………………………....……iv
INTISARI………………………………………………………….....……...v
ABSTRACT …………………………………………………… ……….…..vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………….…vii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...viii
DAFTAR TABEL………………………………………………....………..ix
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ..................................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah.......................................................................................... 2
1.5 Lokasi & Waktu .......................................................................................... 3
vii
3.8 Mikroseismik ........................................................................................... 16
3.9 Definisi HVSR ......................................................................................... 17
3.10 Teori HVSR ........................................................................................... 17
3.11 Asumsi HVSR ........................................................................................ 19
3.12 Teknis HVSR Pada Daerah Vulkanik .................................................... 20
3.13 Amplifikasi............................................................................................. 22
3.14 Frekuensi Natural ................................................................................... 24
3.15 Kerentanan Tanah (Kg) .......................................................................... 25
3.16 Hubungan A0, f0, Kg .............................................................................. 25
3.17 Kondisi Geologi Akibat Efek Perambatan Gelombang Gempa ............. 26
viii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR GAMBAR
x
Gambar 5.13 Koherensi dan Profil Kecepatan Fase A-A’ ............................. 49
Gambar 5.14 Koherensi dan Profil Kecepatan Fase B-B’ ............................. 51
xi
DAFTAR TABEL
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagaimana sebaran frekuensi natural tanah, nilai amplifikasi, dan
ketebalan sedimen di Desa Sumowono, Candi dan Jubelan?
2. Bagaimana sebaran indeks kerentanan tanah di Desa Sumowono, Candi
dan Jubelan?
3. Bagaimana kriteria penentuan daerah rentan berdasarkan respon HVSR?
2
1.5 Lokasi & Waktu Penelitian
Gambar 1.1 adalah lokasi penelitian pemetaan kerentanan tanah
menggunakan metode HVSR. Penelitian ini dilakukan di Daerah Gedong Songo
Ungaran, meliputi Desa Candi, Desa Jubelan dan Desa Sumowono. Pengambilan
data dilakukan pada tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan 1 Agustus 2017
sebanyak 42 titik, namun setelah diolah maka yang digunakan hanya 33 titik saja.
Hal ini dikarenakan pada area penelitian terjadi hujan saat pengukuran HVSR.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 Geologi Lokal Gedong Songo
Gambar 2.1. Peta Geologi Daerah Penelitian (dimodifikasi dari Thanden dkk., 1996)
Gambar 2.1 adalah peta geologi daerah penelitian hasil modifikasi dari
Thanden dkk., 1996. yang terdapat jenis jenis litologi, diantaranya
1. Intrusi andesit digambarkan warna merah
2. Batuan Gunung api Gajah Mungkur (dominasi breksi vulkanik) digambarkan
warna jingga
3. Batuan Gunung api Kaligesik digambarkan warna coklat
4. Formasi Kaligetas (litologi batupasir dengan sisipan breksi) digambarkan warna
kuning
5. Formasi Penyatan (litologi batulempung) digambarkan warna hijau
6. Lava Sumbing digambarkan warna pink
Pada peta geologi tersebut menunjukan beberapa gejala geologi seperti sesar
yang memotong dibagian arah utara selatan. Manifestasi panas bumi juga
tergambarkan dipeta geologi pada Lava Sumbing, Batuan Gunung api Gajah
Mungkur, dan Formasi Kaligetas.
5
2.3 Penelitian Terdahulu
Diperoleh penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan metode
mikroseismik HVSR yang dijadikan referensi dalam pengerjaan penelitian kali
ini, adapun penelitian terdahulunya ialah :
Tabel 2.1 Klasifikasi Efek Tapak Lokal dengan metode C – A Fraktal (Adib et
al., 2015)
Deskripsi Frekuensi Amplifikasi Kerentanan
Lokasi (Hz) (A0) Tanah (𝐾𝑔)
6
2. Penelitian berjudul Site Effect Classification in East Central of Iran oleh Panah
et al., (2002) di Iran. Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasikan efek tapak
lokal sesuai dengan frekuensi natural dan kecepatan sekunder (Vs) 30 m/s dengan
hasil klasifikasi seperti tabel berikut :
Perselingan material
halus dan kasar, daerah 350 - 2,5 – 5 Tanah Sedang
alluvium dengan 550
sementasi yang lemah
7
3. Penelian oleh Nogoshi dan Igarashi tentang klasifikasi efek tapak lokal
berdasarkan nilai frekuensi natural oleh Nogoshi dan Igarashi (1970) dalam Adib
et al., (2015). Klasifikasi dilakukan berdasarkan nilai frekuensi natural, adapun isi
tabelnya :
Tabel 2.3 Klasifikasi Tanah (Nogoshi dan Igarashi,1970) dalam Adib et al.,
(2015)
Deskripsi Frekuensi(Hz) Tipe
8
4. Penelitian oleh Sungkono dan B. J. Santosa (2011) tentang Karakterisasi Kurva
Horizontal-To-Vertical Spectral Ratio: Kajian Literatur Dan Permodelan. Pada
penelitian tersebut ditulis klasifikasi ketebalan sedimen, densitas, kecepatan
gelombang P dan S. Adapun hasilnya seperti digambarkan tabel 2.4 dibawah
ini.
5. Penelitiaan oleh Windu dkk tentang Aplikasi Metode HVSR pada Perhitungan
Faktor Amplifikasi Tanah di Kota Semarang (2013). Klasifikasi dilakukan
berdasarkan hubungan faktor amplifikasi dan kelas situs tanah di Kota
Semarang, adapun hasilnya :
Tabel 2.5 Klasifikasi Hubungan Faktor Amplifikasi & Kelas Situs Tanah Di Kota
Semarang (Windu dkk, 2013)
Stasiun Frekuensi Amplifikasi
M12 0,68 3,66
M22 2,40 4,48
M32 2,83 3,36
M42 2,84 2,75
M52 5,02 2,00
M62 3,37 2,04
M72 9,98 1,22
M82 1,53 5,49
M16 0,71 6,70
M26 1,48 5,74
M36 4,82 3,16
M46 6,60 1,82
9
Stasiun Frekuensi Amplifikasi
M56 4,66 2,92
M66 4,33 1,99
M76 5,73 1,07
M86 9,38 1,37
Tabel 2.6 Hasil pembagian situs dan amplifikasi Di Kota Semarang (Windu dkk,
2013)
10
BAB III
DASAR TEORI
11
𝜇
𝑉𝑠 = √𝜌 (3.2)
dengan
𝜆 : Konstanta Lame (𝑚/𝑠)
𝜇 ∶ Rigiditas (𝑁/𝑚2 )
𝜌 : Densitas (𝐾𝑔/𝑚3 )
12
3.3 Gelombang Primer (P)
Gelombang P yang ditunjukan pada gambar 3.1 merupakan ilustrasi
pergerakan gelombang P dengan sifat longitudinal. Partikel yang merambat pada
gelombang S ialah bergerak secara bolak-balik. Gelombang S terbentuk karena
adanya sebuah tekanan. Tekanan ini yang membuat gelombang S memiliki
kecepatan yang tinggi, sehingga gelombang S memiliki waktu tiba lebih cepat
dibanding gelombang S. (Hidayati, 2010) Di udara gelombang P merupakan
gelombang bunyi. Gambar ilustrasi gelombang P adalah sebagai berikut ini:
13
Gambar 3.2 Ilustrasi Gerak Gelombang S (Elnashai dan Sarno, 2008)
Gambar 3.3 Ilustrasi Gerak Gelombang Love (Elnashai dan Sarno, 2008)
14
3.6 Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh (gambar 3.4) adalah salah satu tipe gelombang
permukaan. Sumber yang lebih dekat ke permukaan akan menimbulkan
gelombang Rayleigh yang lebih kuat dibandingkan sumber yang terletak di dalam
bumi (Lay & Wallace, 1995). Gelombang Rayleigh merupakan jenis gelombang
permukaan dengan memiliki kecepatan (VR) adalah + 2,0 – 4,2 km/s di dalam
bumi. Arah rambatnya gelombang ini ialah bergerak tegak lurus terhadap arah
rambat memutar secara elliptical. (Gadallah and Fisher, 2009) Gambar 3.4 adalah
ilustrasi gelombang reyleigh adalah sebagai berikut ini:
Gambar 3.4 Ilustrasi Gerak Gelombang Rayleigh (Elnashai dan Sarno, 2008)
15
Fast Fourier Transform (FFT) dapat diaplikasikan dalam beragam bidang
dari pengolahan sinyal digital, seperti pada pengolahan Horizontal Vertical
Spectral Ratio (HVSR). Dengan dapat merubah hasil data lapangan berupa
domain waktu menjadi frekuensi, membuat spektrum horizontal dan vertikal dapat
dibandingan sehingga dapat menghasilkan output berupa spektrum yang
diinterpretasikan sebagai amplifikasi dan frekuensi natural. Berikut ilustrasi
penggambaram perubahan domain waktu ke domain frekuensi pada HVSR.
3.8 Mikroseismik
Mikroseismik merupakan metode geofisika dengan memanfaatkan getaran
alami dengan amplitudo rendah. Amplitudo rendah dari tanah tersebut timbul
karena peristiwa alam (angin, gelombang laut) ataupun karena perbuatan manusia
(kendaraan atau orang berjalan), yang dapat menggambarkan kondisi geologi
dekat permukaan area penelituian. Hasil pengukuran dari metode mikroseismik
bisa menunjukkan sifat getaran dalam berbagai jenis lapisan tanah. Paramater
yang digunakan ialah frekuensi natural dan amplifikasi. Dengan dua parameter
tersebut bisa terdeteksi daerah yang rentan terhadap goncangan.
16
Menurut (Mirzaoglu et al., 2003), Mikroseismik adalah getaran tanah
dengan amplitudo pergeseran sekitar 0,1-1 μm dan amplitudo kecepatan 0,001
cm/s sampai 0,01 cm/s. Mikroseismik dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yakni berdasarkan rentang periodenya. Jenis pertama adalah mikroseismik periode
pendek dengan periode kurang dari 1 detik. Jenis kedua adalah mikroseismik
periode panjang dengan periode lebih dari 1 detik. Penentuan panjang periode
juga terpengaruhi dengan targetnya, semakin dalam target maka periode yang
digunakan ialah lebih dari 1 detik.
17
perbandingan 2 komponen. Dengan cara melakukan penggabungan kedua data
horizontal (barat timur dan utara selatan). Penggabungan 2 komponen ini biasanya
dilakukan berdasarkan kaidah Phytagoras dalam fungsi frekuensi. Lalu
penggabungan komponen horizontal dibagi dengan komponen vertikal, seperti
ditunjukan pada persamaan matematis sebagai berikut:
√𝐻𝐸𝑊 2 +𝐻𝑁𝑆 2
𝑅= (3.4)
𝑉
dengan :
R : spektrum rasio HVSR
HEW : spektrum komponen horisontal barat-timur
HNS : adalah spektrum komponen horisontal utara-selatan
V : adalah spektrum komponen vertikal.
Dengan persamaan matemaris 3.5 maka akan diperoleh spektrum rasio
HVSR. Spektrum itu memiliki panjang rekaman sesuai dengan hasil data
lapangannya. Panjang rekaman akan memuat berbagai informasi spektrum dari
berbagai sinyal yang didapat. Sehingga harus dilakukan pemisahan sinyal. Sinyal
yang dipakai hanya direntang 0,5 Hz hingga 20 Hz. Lebih dari 20 Hz maka
dianggap sebagai noise. Setelah diperoleh sinyal alami bawah permukaan, maka
akan dilakukan perhitungan H/V yang hasilnya adalah frekuensi natural dan
amplifikasi, Nilai frekuensi natural diperoleh dari puncakan pertama pada kurva
H/V. Sementara nilai amplifikasi diperoleh dari perhitungan H/V rata-rata panjang
spektrumnya. Dengan demikian maka frekuensi natural disebut sebagai komponen
vertikal dan amplifikasi disebut komponen horizontal.
Kemampuan metode HVSR yang dapat memberikan informasi
karakteristik tanah ini dapat digunakan untuk identifikasi efek tapak lokal pada
penelitian tentang kerentanan tanah. Adapun tanah rentan dicirikan memiliki nilai
amplifikasi yang tinggi (batuan telah alami deformasi sehingga penguatan sinyal
tinggi) dan frekuensi natural rendah (ketebalan sedimen tebal sehingga batuannya
tidak kompak), sehingga informasi ini akan sangat berguna pada daerah yang
diteliti. (Farsi, 2001). Selain karena HVSR adalah metode yang sederhana dan
bisa dilakukan kapan dan dimana saja, HVSR juga dianggap mampu lakukan
estimasi frekuensi natural secara langsung tanpa harus mengetahui struktur
18
kecepatan gelombang geser dan kondisi geologi bawah permukaan lebih dulu, hal
ini tentu sangat membantu.
Penggunaan HVSR telah banyak dilakukan untuk analisis pengaruh
resonansi frekuensi dasar pada bangunan dan struktur tanah di bawahnya. Hal ini
akan sangat memberikan info agar pembangunan bangunan bisa tahu tempat mana
saja yang tidak memiliki sedimen yang tebal dan penguatan sinyalnya tidak tinggi.
HVSR yang terukur pada tanah bertujuan untuk karakterisasi geologi setempat,
frekuensi natural dan amplifikasi yang berkaitan dengan parameter fisik bawah
permukaan (Herak, 2008). Metode HVSR ialah metode yang bisa dibilang
sederhana dengan analisis tiga komponen saja. HVSR bisa diterapkan untuk
memantau perubahan aktivitas vulkanik pada daerah gunung berapi. Hal ini akan
menjadikan informasi penting terkait keaktifan gunung api. Apabila terjadi
perubahan atau gangguan pada Gunungapi akibat aktivitas vulkanik pada
Gunungapi, maka HVSR mendeteksi perubahan tersebut melaui kurva frekuensi
HVSR (Syahbana, 2013).
19
maksimum rasio spektrum komponen horizontal terhadap vertikal, nilai
menunjukan mendekati 1. Sedangkan pada stasiun yang berada pada batuan lunak,
rasio nilai maksimumnya mengalami perbesaran (amplifikasi), yaitu lebih besar
dari 1. Dengan hasil pengamatan tersebut lalu Nakamura menyimpulan bahwa
pada batuan keras, gerak partikel pada komponen horizontal dan vertikal
mendekati nilai yang sama, sedangkan pada batuan lunak komponen
horizontalnya mengalami perbesaran, hal ini disebabkan oleh batuan tersebut telah
alami deformasi.
Berdasarkan kondisi tersebut maka, Nakamura merumuskan sebuah fungsi
transfer HVSR (horizontal to vertikal spektrum ratio) mikroseismik dengan
mengasumsikan hal-hal berikut :
1. Lapisan permukaan yang berupa batuan lunak / soil tersebut merupakan
lapisan horizontal semi tak hingga.
2. Mikroseismik tersusun atas berbagai jenis gelombang.
3. Pada batuan dasar komponen horizontal dan vertikal gerak partikel adalah
sama.
4. Tidak ada penguatan komponen vertikal pada batuan lunak / soil.
20
sedimen yakni sifat ketebalan (ℎ) dan kecepatan gelombang S (𝑉𝑠) (Cipta dan
Athanasius, 2009).
Gambar 3.6 Konsep dasar amplifikasi gelombang Seismik (Cipta dan Athanasius,
2009)
Metode HVSR ini diacu oleh pengolahan rekaman mikroseismik dimana hasil
intrepretasi kurva HVSR tersebut dapat memberikan informasi terkait dengan nilai
frekuensi natural dan amplifikasi, dimana keduanya akan berpengaruh pada nilai
kerentanan tanah. Pada perumusannya, frekuensi natural bisa dituliskan sebagai
berikut:
f0 = 𝑉𝑆 / 4𝐻 (3.5)
dengan :
Vs : Kecepatan gelombang geser (m/s)
H : Ketebalan sedimenP (m)
Pada daerah vulkanik akan menghasilkan perubahan informasi yakni secara ruang
dengan menganggap nilai kecepatan gesernya (Vs) bernilai konstan. Digunakan
Vs karena gelombang permukaan menjalar pada gelombang S horizontal
Sementara pada variasi waktu, akan dianggap nilai H nya bernilai konstan. Setelah
diketahui penulisan matematis frekuensi natural, maka komponen lain yakni
amplifikasi juga berpengaruh. Amplifikasi sebagai hasil dari perbandingan
21
impedansi basement dan sedimen, akan sangat berpengaruh dalam perhitungan
nilai indek kerentanan tanah. Adapun rumus indeks kerentanan tanah :
𝐴0 2
𝐾𝑔 = (3.6)
𝑓0
dengan :
A0 : amplifikasi yang didapatkan dari kurva H/V
f0 : frekuensi natural yang didapatkan dari proses Fast Fourier Transform (FFT)
dari fungsi waktu dengan satuan Hz.
Sehingga dengan rumus matematis diatas akan didapatkan nilai 𝐾𝑔 yang berarti
kerentanan tanah dikarenakan oleh dua faktor yakni faktor amplifikasi dan
frekuensi natural. Semakin besar nilai Kg maka akan semakin rentan tanahnya
terhadap suatu getaran atau goncangan (gempa bumi). Kg yang besar harus
diberikan pengawasan lebih untuk upaya mitigasi bencana alam.
3.13 Amplifikasi
Amplifikasi memiliki arti penguatan sinyal. Penguatan sinyal erat
kaitannya dengan perbesaran gelombang seismik. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan yang signifikan antar lapisan. Apabila menemui lapisan yang lunak,
maka penguatan sinyal akan terjadi. Pada gambar 3.7 ialah menjelaskan arti A0
dan f0 pada kurva HVSR, dimana f0 memiliki arti merambat secara horizontal
tergantung penguatan gelombang pada tanah yang dilewatinya.
22
Nakamura (2000) menyatakan bahwa nilai faktor penguatan (amplifikasi)
tanah berkaitan dengan perbandingan kontras impedansi lapisan permukaan
dengan lapisan di bawahnya. Bila perbandingan kontras impedansi kedua lapisan
tersebut tinggi maka nilai yang semakin jauh, maka faktor penguatan juga tinggi.
Menurut Marjiyono (2010), niali amplifikasi berbanding lurus dengan nilai
perbandingan spektral horizontal dan vertikalnya (H/V). Nilai amplifikasi dapat
berubah menjadi besar, jika batuan telah mengalami deformasi (pelapukan,
pelipatan atau pesesaran) yang mengubah sifat fisik batuan. Pada batuan yang
sama, nilai amplifikasi dapat bervariasi sesuai dengan tingkat deformasi dan
pelapukan pada tubuh batuan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
amplifikasi dapat dituliskan pada persamaan sebagai suatu fungsi perbandingan
nilai kontras impedansi, yaitu
Menurut Towhata (2008) ada 4 penguatan sinyal (amplifikasi) bisa besar karena
suatu daerah :
1. Memiliki lapisan lapuk yang terlalu tebal di atas lapisan keras
2. Memiliki nilai frekuensi natural tanah rendah
3. Frekuensi natural gempa dengan geologi setempat sama atau hampir sama
4. Adanya gelombang gempa terjebak di dalam lapisan lunak dalam waktu yang
lama.
23
3.14 Frekuensi Natural
Gambar 3.8 adalah ilustrasi peristiwa resonansi pada lapisan sedimen.
Nilai frekuensi natural dari pengolahan HVSR menyatakan frekuensi alami yang
terdapat di daerah tersebut. Hal ini menyatakan bahwa apabila terjadi gempa atau
gangguan berupa getaran yang memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi
natural, maka akan terjadi resonansi yang mengakibatkan amplifikasi gelombang
seismik di area tersebut.
Batasan pengamatan frekuensi untuk mikroseismik secara umum antara
0.5-20 Hz, melebihi 20 Hz maka dianggap noise. Nilai frekuensi natural suatu
daerah dipengaruhi oleh ketebalan lapisan lapuk dan kecepatan gelombang S.
Gambar 3.8 Ilustrasi peristiwa resonansi pada lapisan sedimen (Aji, 2015)
24
3.15 Kerentanan Tanah (𝑲𝒈)
Pengukuran dalam HVSR dilakukan untuk mikrozonasi suatu daerah
dalam upaya mitigasi bencana. Dengan hasil akhir, berupa informasi kerentanan
tanahnya. Kerentanan tanah dipengaruhi oleh dua factor yakni factor amplifikasi
dan frekuensi natural. Amplifikasi adalah respon lapisan batuan saat dilewati
gelombang seismik. Amplifikasi menggambarkan besarnya penguatan sinyal pada
saat melalui medium lunak, semakin lunak amplifikasi semakin besar. Indeks
Kerentanan Seismik (𝐾𝑔) menurut Nakamura (1998) dan Huang and Tseng
(2002) bahwa Indeks Kerentanan Tanah (𝐾𝑔) mengindentifikasikan tingkat
kerentanan suatu lapisan tanah yang mengalami deformasi akibat gempa bumi
dengan persamaan sudah dijelaskan pada persamaan 3.6.
A0 dan f0 adalah faktor amplifikasi dan frekuensi natural. Nilai 𝐾𝑔 yang
tinggi umumnya ditemukan pada tanah ketebalan sedimen yang tinggi dan
kekompakan batuan yang buruk. Nilai yang tinggi ini menjelaskan bahwa daerah
tersebut rentan terhadap goncangan. Sebaliknya, nilai 𝐾𝑔 yang kecil umumnya
ditemukan pada tanah keras dengan sedimen tipis diatas batuan keras, dan
kekompakan batuannya sangat bagus. sehingga saat terjadi goncangan tidak
mengalami banyak kerusakan.
25
Menurut penelitian terdahulu (Adib et al., 2015) mendeskripsikan lokasi
dengan frekuensi naturalnya 6,2 – 8 Hz, amplifikasinya <2.7 dan kerentanan tanah
bernilai <1,2 maka daerah tersebut diinterpretasikan memiliki karakteristik tanah
keras. Apabila nilai frekuensi natural 4,9 - 6,2 Hz, amplifikasi <5,4 dan
kerentanan tanah menunjukan nilai >4,2 disebut tanah kaku. Jika frekuensinya 2,4
– 4,9 Hz, amplifikasi <10 dan nilai kerentanan tanahnya lebih dari 40, maka
tanahnya sedang. Sementara tanah lunak itu memiliki frekuensi natural 0 - 2,4 Hz,
amplifikasinya <10 serta kerentanan tanahnya lebih dari 40. Dengan dasar
demikian, maka bisa ditarik hasil bahwa amplifikasi berbanding terbalik dengan
frekuensi natural akan menghasilkan nilai kerentanan tanah yang tinggi.
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
Mulai
Persiapan Alat
Penentuan Titik
Pengukuran
Pengambilan Data
27
1
Pengaturan Alat
Data Mikroseismik
(Format WIN)
Selesai
28
Gambar 4.2 ialah foto peralatan akuisisi data pada penelitian kali ini, terdiri dari :
1. Seismometer Mark L4-C3D
2. Kompas Geologi
3. Global Positioning System (GPS)
4. Konektor Seismometer
5. Accumulator
6. Data Logger LS-7000
7. Kabel Wireless
8. Laptop
29
Gambar 4.3 merupakan Desain survei penelitian. Penelitian yang dilakukan
didaerah Gedongsongo, Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah. Dengan luas
penelitian mencakup 2x2 km dengan jarak spasi antar titik 400 m. Penelitian ini
dilakukan sebanyak 42 titik, namun berdasarkan kondisi dan keadaan, yang
digunakan hanya 32 titik karena dianggap layak. Kondisi dan keadaan yang
dimaksud ialah terjadi hujan yang membuat 10 titik tidak dipakai, karena nilainya
sangat tidak mencerminkan daerah tersebut.
30
Mulai
Set Parameter
HVSR
Windowing Sinyal
Perhitungan H/V
0, 𝐻,
A0, ff0,
A0, H,𝐾𝑔
Kg
31
1
Analisa dan
Pembahasan
Peta Kerentanan
Tanah
Selesai
32
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 5.1 adalah hasil raw seismogram dari data akuisisi mikroseismik
HVSR. Dari data tersebut akan didapatkan data lapangan berupa 3 komonen
sumbu yakni utara – selatan (N), barat – timur (E) dan komponen vertikal (Z). 3
Komponen tersebut masih dalam domain waktu. Pada sumbu x dihasilkan nilai
berupa waktu dan amplitudo, sementara pada sumbu y adalah yang menunjukan
gambaran bawah permukaan dari respon gelombang yang terekam. Tata cara
perekaman ialah merekam seluruh aktifitas dilapangan, baik saat ada aktifitas
berjalan kaki, keberadaan motor ataupun aktifitas lainnya (namun diusahakan
pada kondisi sesuai desain survei dan pada kondisi tidak terlalu banyak aktifitas).
Tapi apabila memang tidak memungkinkan untuk akusisi ditempat sepi, maka
seluruh aktifitas yang menimbulkan amplitudo besar akan terlihat jelas pada
rekaman, kemudian dianggap noise dan itu akan dihilangkan. Namun dalam
33
menghilang noise perlu kehati-hatian, karena baik noise ataupun sinyal semuanya
tergabung dalam satu rekaman, bisa saja saat melakukan pemisahan noise dan
sinyal terjadi kesalahan. Sehingga untuk meminimalkan kesalahan haruslah
dilakukan pembatasan frekuensi tiap komponen.
Gambar 5.3 Hasil windowing manual pemisahan antara sinyal dan noise di titik 2
34
Gambar 5.3 adalah hasil proses dari windowing manual pada menu H/V.
Dilakukan windowing manual karena bisa memilah mana bagian yang disebut
sinyal dan noise. Dimana dianggap sinyal bila pada rekaman memiliki frekuensi
yang cenderung rendah pada tiga komponen dengan batas 20 Hz. Dan bila ada
sinyal yang memiliki frekuensi tinggi dibanding sekitarnya dan muncul di 3
kompenen maka pada windowing tidak dipilih. Apabila sudah melakukan
windowing manual selanjutnya akan didapatkan kurva H/V seperti digambarkan
pada gambar 5.3.
Gambar 5.4 diatas adalah kurva H/V dengan tipikal multiple peak. Pada
kurva H/V memiliki 3 tipe, yakni clear peak, multiple peak dan no peak. Ketiga
tipe ini memiliki arti yang berbeda-beda. Clear peak adalah tipe kurva H/V yang
hanya memiliki satu puncak. Clear peak diartikan bahwa pada titik di daerah
penelitian hanya memiliki satu puncakan dimana frekuensi lebih besar dibanding
sekitarnya. Satu puncakan tersebut akan berpengaruh di frekuensi natural yang
nilainya akan tinggi. Sementara multiple peak ialah terdapat dua puncakan, namun
yang digunakan ialah puncakan pertama. Multiple peak memiliki arti pada titik
tersebut memiliki dua nilai frekuensi yang tinggi dibanding sekitarnya. Efeknya
nilai frekuensi naturalnya sedang tidak setinggi clear peak. Sementara no peak
ialah pada kurva H/V hasilnya cenderung datar, hal ini disebabkan karena nilai
frekuensi natural pada titik tersebut kecil. Frekuensi natural yang kecil biasanya
berbanding lurus dengan miliki ketebalan sedimen yang tebal. Hal itu dibuktikan
berdasarkan rumus yang tertera di persamaan 2.4 pada halaman 15.
35
5.2 Peta Elevasi
Pada penelitian yang dilakukan di wilayah Gedong Songo yakni Desa Jubelan,
Candi dan Sumowono menghasilkan peta elevasi dimana peta ini mewakili
bentukan dari ketinggian topografi daerah telitian.
Gambar 5.5 adalah peta Elevasi yang menggambar ketinggian dari lokasi
penelitian. Dimana pada peta elevasi ini memiliki ketinggian yang bervariasi.
Adapun ketinggian maksimum daerah penelitian ialah 1700 meter diatas
permukaan laut, dan ketinggian minimumnya ialah 960 meter diatas permukaan
laut. Peta elevasi sangat penting bagi penelitian ini, karena dengan adanya peta
elevasi bisa membantu interpretasi. Karena pada ketebalan sedimen memiliki
asumsi semakin tinggi daerah maka sedimennya semakin tipis. Apabila didaerah
ketinggian sedimennya tebal, maka bisa diinterpretasi bahwa didaerah tersebut
terpengaruh faktor vegetasi yang mempu menahan proses transportasi sedimen
untuk turun ke bawah. Jadi peta elevasi ini akan menunjang penelitian, baik
keterkaitan dengan peta geologi, sesar mayor yang ada pada lokasi penelitian,
ketebalan sedimen hingga kerentanan tanah pada daerah penelitian
36
5.3 Faktor Amplifikasi
Hasil pengolahan HVSR diperoleh peta Amplifikasi A0. Peta ini mencakup
wilayah Gedong Songo yakni Desa Jubelan, Candi dan Sumowono, adapun hasil
petanya ialah sebagai berikut :
Gambar 5.6 adalah hasil berupa peta amplifikasi pada daerah telitian.
Amplifikasi artinya penguatan atau pembesaran gelombang seismik yang
merambat dibawah permukaan. Penguatan ini akan berpengaruh pada medium
yang lunak ke medium keras. Artinya daerah yang memiliki amplifikasi tinggi
terpengaruh oleh adanya pergerakan gelombang yang menyebab pada daerah
amplifikasi tinggi pernah alami perubahan bentuk atau sering disebut deformasi.
Daerah yang mengalami deformasi tersebut akan memiliki nilai amplifikasi yang
tinggi.
Pada daerah telitian yang terdiri dari 3 Desa yakni Desa Candi disisi timur,
lalu Sumowono disisi barat dan Desa Jubelan disisi tengah. Dari peta amplifikasi,
daerah Gedong Songo miliki nilai amplifikasi bervariasi dimulai 1,5 hingga 10.
37
Adapun di sisi timur yakni Desa Candi, nilai amplifikasi yang tinggi berada
daerah timur laut dengan nilai amplifikasi berkisar sampai 5 – 8,5. Nilai tersebut
tergolong cukup tinggi, yang disebabkan oleh perubahan dari Lava Sumbing ke
batuan Gunung api Gajah Mungkur. Diperkirakan Lava Sumbing miliki pengaruh
yang kuat dalam perubahan bentuk terlapukan menjadi batuan Gunungapi Gajah
Mungkur. Batuan Gunung api Gajah Mungkur banyak didominasi breksi
sementara lava sumbing ialah dominasi andesit. Sehingga nilai amplifikasi ditimur
laut cenderung tinggi yang berkaitan erat juga dengan faktor kerentanan tanah.
Faktor kerentanan tanah berbanding lurus dengan amplifikasi, artinya bila
gelombang yang menjalar dititik tersebut makin kuat (amplifikasi tinggi) maka
daerah tersebut diindikasikan miliki potensi kerentanan, akibat adanya perubahan
bentuk seperti karena pelapukan. Ditambah lagi dikaitkan dengan referensi Windu
dkk (2013) tentang klasifikasi tanah di kota Semarang, maka nilai amplifikasi
Desa Candi tergolong tanah yang lunak.
Kemudian disisi barat yakni Desa Sumowono memiliki nilai ampifikasi
dari berkisar 1,5 – 10. Nilai tersebut tergolong sedang sampai tinggi karena daerah
barat daya memiliki nilai amplifikasi sedang sehingga gelombang seismik yang
merambat disana apabila ada gempa bumi tidak terlalu alami peningkatan
penjalaran dari batuan lunak ke batuan keras. Berbeda dengan dibagian barat yang
terlihat berwarna merah. Warna merah ini memiliki arti amplifikasi tinggi yang
diperkirakan alami penguatan gelombang yang besar bila terjadi gempa. Menurut
Windu dkk (2013), dibagian barat yakni Desa Sumowono ialah tanah lunak
sementara daerah barat daya ialah tanah sedang dan dibarat laut ialah tanah keras
yang merupakan dari Formasi Lava Sumbing dominasi batuan beku Andesit.
Sementara Desa Jubelan yang berada ditengah peta miliki rentang nilai 1,5
-8 dengan bagian warna kuning ada dibagain tengah hampir ke atas. Area tersebut
sedikit diberi perhatian meski hanya tunjukan nilai amplifikasi sedang, karena
pada titik tersebut diindikasikan terkontrol oleh sesar mayor, sementara yang sisi
barat kemungkinan disebabkan oleh perubahan bentuk karena pelapukan. Area
tengah ini menurut Windu dkk (2013) dianggap sebagai tanah sedang yang bagian
atasnya ialah tanah keras karena dominasi batuan beku, serta daerah tengah bawah
ialah tanah lunak dan sedang karena dominasi breksi di Formasi batuan
38
Gajahmungkur. Sementara daerah yang harus diperhatikan yakni daerah tengah
yang berwarna kuning ialah daerah transisi, perubahan dari batuan beku ke
sedimen, yang miliki amplifikasi sedang. Di zona perubahan batuan ini dianggap
harus diperhatikan karena diperkirakan banyak material lepas tertumpuk disana
dan batuan terlapukan banyak dizona transisi tersebut.
Gambar 5.7 adalah peta frekuensi natural daerah telitian. Frekensi natural
artinya frekuensi alami yang dihasilkan oleh keadaan bawah permukaan.
Frekuensi natural ini dapat menunjukan karakteristik suatu batuan, hal ini karena
39
disebabkan oleh frekuensi yang erat hubungannya dengan kedalaman bidang
pantul. Kedalaman bidang pantul tersebut dapat memperlihatkan batas dari batuan
lunak dan batuan keras. Dimana batuan lunak diinterpretasikan sebagai batuan
sedimen sementara batuan keras diinterpretasikan sebagai basement / batuan
dasar. Frekuensi natural sangat erat kaitannya dengan ketebalan sedimen.
Hubungan frekuensi natural dan ketebalan sedimen ialah berbanding terbalik. Bila
pada kurva H/V menunjukan frekuensi natural yang kecil maka akan didapatkan
ketebalan sedimen yang tebal. Begitupula sebaliknya, bila frekuensi natural
memiliki nilai yang besar maka bisa diinterpretasikan ketebalan sedimen tipis
diatas batuan dasar.
Pada daerah telitian didapatkan range nilai frekuensi natural ialah 0,5 Hz
sampai dengan 14 Hz. Dimana interpetasi peta berdasarkan skala warna.
Frekuensi natural yang rendah berwarna ungu hingga biru, lalu sedang hijau, dan
tinggi ialah kuning sampai merah. Daerah telitian terdiri dari 3 Desa yakni
Jubelan, Candi dan Sumowono. Desa Candi berada disisi timur, lalu Sumowono
berada disisi barat dan Desa Jubelan ditengah peta frekuensi natural. Desa Candi
didominasi dengan nilai frekuensi natural yang tinggi berkisar 0,5 – 14 Hz dengan
daerah paling tinggi terpengaruh frekuensi natural ialah daerah timur laut.
Sehingga timur laut dianggap aman dan memiliki ketebalan sedimen yang tipis.
Selain itu pada sisi tenggara miliki nilai frekuensi natural yang rendah, sehingga
ketebalan sedimen menjadi tebal. Hal ini patut diwaspadai mengingat sedimen
yang tebal bisa membuat getaran gempa bumi leluasa untuk merusak tanah yang
memiliki sedimen yang tebal. Bila dihubungkan dengan patokan Panah et al
(2002) maka frekuensi natural 0,5 – 10 Hz di Desa Candi ialah tanah lunak hingga
keras. Dimana tanah keras berada pada Desa Candi dibagian timur laut
dikarenakan tanah yang kompak dengan sementasi yang tinggi. Hal ini sesuai
dengan peta geologinya karena ditimur laut ialah dominasi andesit dari Formasi
Lava Sumbing. Sementara dibagian timur nilai frekuensi naturalnya sedang dan
apabila menurut Panah et al (2002), maka daerah timur ialah tanah sedang dengan
perselingan material halus dan kasar dengan sementasi lemah. Hal ini juga sesuai
dengan peta geologi dimana daerah timur ialah daerah transisi perubahan Formasi
dari batuan natural andesit ke batuan natural breksi. Sementara pada tenggara
40
ialah nilai frekuensi naturalnya kecil yang artinya menurut Panah et al (2002)
ialah dominasi tanah lunak. Pada tanah lunak ini didominasi batuan breksi namun
terdapat juga lempung lunak tebal atau lempung pasiran.
Pada Desa Sumowono yang berada dibarat pada peta frekuensi natural,
ialah daerah dengan range nilai frekuensi natural yang rendah hingga sedang.
Nilai frekuensi naturalnya berkisar antara 1,5 – 9 Hz. Berdasarkan Panah et al
(2002) maka didaerah Sumowono didominasi material halus dan kasar yang saling
berselingan. Hal ini juga dipengaruh oleh material lepas diatas sedimen yang turut
membuat pengaruh apabila terjadi gempa bumi. Lalu pada Desa Jubelan yang
berada diwilayah tengah pada peta diinterpretasikan sebagai daerah yang memiliki
rentang nilai frekuensi natural rendah sampai sedang. Frekuensi natural rendah
sampai sedang berkisar antara 0,5 hingga 2 Hz. Nilai terendah terdapat di bagian
tengah hampir keatas. Nilai rendah ini patut diwaspadai karena miliki potensi
tanah dengan ketebalan sedimen yang tebal sehingga miliki juga nilai kerentanan
yang patut untuk diwaspadai oleh masyarakat sekitar. Menurut klasifikasi tanah
dari Panah et al (2002) maka kondisi geologi daerah yang miliki nilai frekuensi
natural yang rendah ialah daerah yang didominasi lempung lunak tebal atau
lempung pasiran sebagian besar endapan alluvial. Hal ini juga disebabkan oleh
zona transisi dari Formasi Lava Sumbing yang natural andesit ke Formasi
Gajahmungkur natural breksi.
41
5.5 Faktor Ketebalan Sedimen
Dari pengolahan HVSR diperoleh nilai sebaran frekuensi natural (𝑓0) lalu
dilakukan perhitungan hingga mendapatkan nilai ketebalan sedimen. Peta ini
mencakup wilayah Gedong Songo yakni Desa Jubelan, Candi dan Sumowono,
adapun hasil petanya ialah sebagai berikut :
42
topografi. Secara logika, topografi semakin tinggi maka ketebalan sedimen akan
semakin tipis karena proses transportasi sedimen ialah dari bagian tinggi menuju
bagian rendah dan apabila terdapat sedimen didaerah dengan topografi yang tinggi
berarti ada sedimen yang tertahan karena terakumulasi menjadi satu, hal tersebut
bisa terjadi karena ada penahan atau bentuk lahan seperti terasering ataupun
keberadaan vegetasi yang menghambat proses transportasi sedimen. Faktor laim
yang menjadi pengaruh sedimen makin tebal ialah frekuensi natural, dimana bila
frekuensi natural rendah maka akan semakin tebal sedimennya. Hal tersebut bisa
disebabkan oleh frekuensi natural yang erat kaitannya dengan beradaan bidang
pantul yang bisa untuk interpretasi karakteristik batuan lunak/keras.
Untuk interpretasi peta di Desa Candi yang berada disisi timur,
diinterpretasikan memiliki ketebalan sedimen yang dikategorikan rendah sampai
tinggi. Untuk yang tinggi berada di paling timur daerah telitian, dengan range
nilai 25 – 70 meter ketebalan sedimen diatas batuan dasar. Sementara yang berada
disisi tengah yakni Desa Jubelan miliki nilai ketebalan sedimen yang rendah
namun ada pula yang tinggi. Dengan daerah tengah hampir ke atas bernilai
ketebalan sedimen tinggi harus diwaspadai karena berpotensi miliki kerentanan
tanah yang tinggi juga. Bahkan ketebalan sedimen diarea tengah ini miliki
ketebalan hingga 60 meter. Sedimen tersebut cukup tebal dikarenakan juga miliki
frekuensi natural yang rendah dan patut diwaspadai bila nanti terjadi gempa bumi.
Ketebalan sedimen ini juga diindikasikan adanya material lepas yang tidak
kompak berada diatas basement. Untuk Desa Sumowono yang berada dibarat daya
peta ketebalan sedimen, memiliki nilai ketebalan sedimen yang sedang berkisar 25
- 40 m. Ketebalan sedimen yang tebal hampir sama dengan daerah tengah karena
memang batuan yang berada diarea ini ialah batuan dominasi sedimen di Formasi
Gajah Mungkur, namun masih tebal dibagian atasnya karena termasuk zona
transisi perubahan batuan, untuk nilai ketebalan sedimen dibagian tengah yakni
Desa Jubelan ialah 5 – 60 m. Ketebalan hingga 60 m tentu sangat perlu
diwaspadai, karena gelombang akan bisa menjalar dibatuan sedimen yang tebal,
dan bisa menyebabkan kerusakan bila gempa bumi terjadi.
43
Gambar 5.9 Penampang ketebalan X – X’
44
5.6 Faktor Kerentanan Tanah
Dari pengolahan HVSR diperoleh nilai sebaran frekuensi natural dan
amplifikasi, lalu dilakukan perhitungan hingga didapatkan nilai kerentanan tanah.
Peta ini mencakup wilayah Gedong Songo yakni Desa Jubelan, Candi dan
Sumowono, adapun hasil petanya ialah sebagai berikut :
45
Peta tersebut menggambarkan kerentanan tanah berdasarkan skala warna. Warna
merah merupakan tanda bahwa daerah tersebut memiliki tanah yang rentan.
Warna hijau memiliki nilai kerentanan tanah yang sedang dan warna biru hingga
ungu merupakan tanah yang kuat dalam arti tidak rentan dan cocok untuk pondasi
suatu bangunan karena akan tahan terhadap guncangan. Adapun dari penelitian ini
didapat nilai kerentanan tanah tiap Desa : Desa Candi : 1 sampai dengan 40, dan
Desa Jubelan : 1 sampai 56, Desa Sumowono : 1 sampai 24. Desa dengan
memiliki nilai kerentanan tanah yang besar berarti Desa tersebut rawan apabila
terjadi gempa bumi didaerah tersebut.
Untuk daerah telitian ini yang memiliki nilai kerentanan tanah terbesar
ialah daerah Jubelan yang berada disisi tengah peta. Pada daerah tersebut miliki
nilai kerentanan tanah 56. Nilai tergolong sangat tinggi. Dimana bila terjadi
gempa pada daerah tersebut akan alami kerusakan terparah dibanding degan
daerah lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena terpengaruh oleh faktor
amplifikasi dan frekensi natural. Amplifikasi yang tinggi dan tidak diimbangi juga
frekuensi natural yang tinggi, maka akan menghasilkan nilai kerentanan tanah
yang besar. Hal ini bisa disebabkan oleh keadaan geologi dizona transisi. Berada
diantara 2 Formasi yang berbeda yakni Lava Sumbing yang terdiri batuan beku
andesit dan batuan Gajahmungkur yang dominasi sedimen breksi. Pada daerah
tersebut juga miliki ketebalan yang tinggi, sangat cocok dan terkorelasi. Namun
didaerah bawah tengah daerah rentan ternyata tidak memiliki kerentanan tanah
yang tinggi padahal sedimen tebal. Hal ini bisa terjadi karena memang batuan
pada daerah bawah yang rentan ialah batuan sedimen yang diatasnya sangat
minim adanya material lepas, serta pengaruh batuan beku yang bila terjadi gempa
kuat akan timbulkan kerusakan yang parah dan akan menimpa dibagian zona
transisi, sementara pada bagian bawah tidak tertimpa oleh batuan lepas yang urai
dari Formasi Lava Sumbing. Sehingga meski sedimen tebal, namun material lepas
tipis akan membuat daerah tersebut tidak rentan.
46
5.7 Analisa Dengan Data Pendukung
Didapatkan masalah pada peta kerentanan tanah yang memiliki pola
berbeda dengan ketebalan sedimen seperti terlihat pada gambar 5.11. Padahal
apabila sedimennya tebal maka akan rentan juga daerah tersebut. Adapun
perbandingan peta ketebalan sedimen dan kerentanan tanah dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Untuk mengatasi masalah yang muncul pada peta ketebalan sedimen yang
tebal namun pada peta kerentanan tidak rentan maka dilakukanlah analisis
menggunakan bantuan peta ABL dan Gravity Curvature. Peta ABL gravitasi ini
digunakan agar bisa membuktikan bahwa pada satu Formasi yang memiliki
ketebalan sedimen yang sama-sama tebal namun kerentanannya berbeda, sehingga
diharapkan peta ABL ini dapat menunjukan perbedaan yang terjadi pada satu
Formasi mengapa kerentanan tanah bisa berbeda.
47
`
Dan pada peta ABL ternyata terjawab semua masalah tersebut, karena peta
ABL menunjukan pada Formasi yang sama ternyata nilai kecepatan gravitasinya
berbeda. Kecepatan gravitasi berbanding lurus dengan densitas batuan. Densitas
batuan berbanding lurus juga pada kekompakan batuan, kekompakan batuan ini
erat kaitannya dengan kompaksi dan sementasi. Pada ABL tersebut pada Formasi
yang sama, nilai kecepatan gravitasinya berbeda. Hal ini bila dikaitkan dengan
peta geologi disebabkan oleh dua batuan yang berbeda didua Formasi. Formasi
bagian atas ialah Lava Sumbing dengan dominasi andesit, lalu bagian bawahnya
ialah Formasi Gajah Mungkur dominasi sedimen breksi.
Peta ABL sangat sesuai dengan peta geologi, dimana pada daerah batuan
beku diatas daerah rentan, miliki kecepatan gravitasi yang rendah, artinya
densitasnya juga rendah. Densitas rendah berarti daerah tersebut didominasi
batuan dengan kompaksi dan sementasi yang buruk, dan itu merupakan ciri batuan
beku yang telah mengalah defromasi. Pengaruh batuan beku, membuat zona yang
disebut zona transisi, tidak langsung alami perubahan Formasi, namun secara
pelan-pelan batuan beku juga berada diatas batuan sedimen Formasi
48
Gajahmungkur melalui bentuk yang sudah tidak solid atau bisa disebut material
lepas. Material lepas inilah yang menyebabkan kerentanan tanah yang tinggi.
Apalagi didukung faktor lain seperti didaerah kerentanan tanah yang tinggi, miliki
nilai ketebalan sedimen tebal, nilai frekuensi natural rendah yang berarti tanah
lunak, serta faktor amplikasi yang tinggi didaerah tersebut yang membuat daerah
tersebut disebut rentan. Zona transisi menjadi kunci mengapa daerah tersebut
rentan, dengan material lepas dari batuan beku yang terlapukan menjadi pengaruh
sangat kuat yang menyebabkan daerah tersebut bila terjadi gempa akan rasakan
kerusakan terparah. Ditampilkan juga peta Gravity Curvature yang memiliki
maksud menempatkan posisi anomali ke titik sebenarnya. Hasilnya peta Gravity
Curvature dan ABL tidak jauh berbeda, sehingga pada peta ABL bisa dikatakan
pengaruh kelengkungan bumi tidak terlalu berpengaruh dan perbedaan topografi
area penelitian tidak terlalu signifikan.
49
Gambar 5.13 ialah koherensi dan profil kecepatan fase, adapun bagian
yang dianalisis berupa sayatan A–A’. Sayatan ini difungsikan untuk menganalisis
koherensi faktor amplifikasi dan frekuensi natural. Apabila nilai frekuensi natural
sama tingginya dengan amplifikasi maka akan terbaca koherensinya tinggi, namun
apabila frekuensi natural dan amplifikasi saling berbanding terbalik, maka
koherensinya rendah. Pada daerah rentan miliki nilai frekuensi natural rendah dan
amplifikasi tinggi, artinya koherensinya menunjukan nilai yang rendah karena
berbanding terbalik. Pada koherensi didaerah rentan tersebut miliki nilai rendah
dikarenakan tanahnya lunak dan memiliki karakterisik batuan yang tidak kompak.
Serta didukung oleh penguatan sinyal yang tinggi pada daerah rentan tersebut.
Lalu pada koherensi yang rendah tersebut, nilai profil kecepatan fasenya ternyata
menunjukan tinggi. Hal ini sesuai, karena pada daerah rentan, tentu akan miliki
kecepatan fase yang tinggi, dimana gelombang akan merusak daerah yang
tanahnya lunak serta miliki ketebalan sedimen yang tebal juga. Sehingga bisa
dipastikan daerah yang rentan tersebut, patut diswaspadai sebagai bentuk
antisipasi kalau terjadi gempa bumi pada daerah tersebut.
Bila dikaitkan dengan geologi, maka bisa diinterpretasikan daerah yang
memiliki kecepatan fase yang tinggi adalah daerah terpengaruh batuan beku
terlapukan. Batuan beku terlapukan berubah menjadi material lepas dan urai
sehingga mengumpul didaerah berkecepatan fase tinggi. Tidak dipungkiri faktor
sesar juga bisa menjadi sangat berpengaruh pada kecepatan fase. Hal ini
ditunjukan pada daerah sayatan melewati sesar juga memiliki kecepatan fase yang
tinggi. Artinya struktur geologi ataupun fenomena deformasi akan sangat
berpengaruh pada kecepatan fase. Kecepatan fase tinggi artinya frekuensi besat
juga. Frekuensi besar artinya banyak gelombang yang terjebak disana sehingga
apabila terjadi gempa akan sangat terasa efek goncangannya. Batuan tidak
kompak menjadi alasan mengapa daerah tersebut memiliki kecepatan fase yang
tinggi. Semakin batuan terlapukan, serta sementasi dan kompaksi buruk maka
sudah asti kecepatan fase akan tinggi.
50
Gambar 5.14 Koherensi Dan Profil Kecepatan Fase Sayatan B-B’
51
5.9 Klasifikasi Tanah Area Penelitian
Dari penelitian di Desa Sumowono, Candi dan Jubelan dengan parameter
frekuensi natural, amplifikasi, ketebalan sedimen dan kerentanan tanah, maka bisa
dibuat tabel klasifikasi tanah area penelitian sebagai berikut :
Tabel 5.1 adalah klasifikasi tanah di area penelitian. Dimana tanah dibagi
menjadi 3 yakni tanah lunak, tanah sedang dan tanah keras. Dimana penentuan
klasifikasi tanah berdasarkan frekuensi natural, amplifikasi, ketebalan sedimen
dan kerentanan tanah. Tanah yang rentan di interpretasikan tanah lunak yang telah
alami perubahan sifat fisik batuan dan dianggap rawan bila terjadi gempa. Harus
ada perhatian khusus dalam menangani daerah yang rawan (perbatasan Desa
Candi dan Jubelan) apabila terjadi gempa bumi.
52
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan tentang pemetaan kerentanan tanah
menggunakan metode mikrseismik HVSR di daerah telitian area Gedongsongo
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Didapatkan nilai amplifikasi di daerah telitian dengan rentang nilai amplifikasi
diantara 0,5 – 10 . Kemudian didapatkan juga nilai frekuensi natural daerah
telitian yang memiliki rentang nilai frekuensi antara 0,5 – 14,5 Hz. Lalu
diperoleh nilai ketebalan sedimen daerah telitian berkisar 5 – 70 m. Dengan
nilai ketebalan sedimen terbesar dan harus diwaspadai ialah terletak di tengah
perbatasan antara Jubelan dan Candi.
2. Didapatkan nilai kerentanan tanah daerah telitian yang memiliki rentang nilai
antara 5 – 56. Dimana nilai tertinggi kerentanan tanahnya berada ditengah
perbatasan antara Candi dan Jubelan. Daerah tersebut sangat rentang terhadap
goncangan gempabumi, jadi masyarakarat perlu mewaspadai daerah tersebut.
3. Didapatkan sebuah penjelasan tentang tanah tersebut rentan dengan
menggunakan data tambahan yakni dengan metode gravitasi, bahwa yang
menyebabkan daerah rentan ialah zona transisi yang terdapat banyak material
lepas dari batuan beku terlapukan yang berada di atas batuan sedimen yang
tebal pada Desa Jubelan. Hal ini juga dikuatkan oleh analisa koherensi dan
kecepatan fase dengan nilai tinggi, sehingga daerah di Desa Jubelan tersebut
menjadi rentan serta perlu diwaspadai.
6.2 Saran
Diperlukan data borehole dan data seismik dari stasiun gempabumi agar
lebih detail lagi dalam melakukan interpretasi data mikroseismik HVSR. Data
borehole dapat berguna untuk melakukan inversi sehingga bisa diketahui variasi
kecepatan tiap kedalaman, sementara data gempa dari stasiun dapat berguna untuk
penentuan letak hiposenter dan mempermudah untuk proses studi lebih dalam
tentang struktur geologinya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adib, A., Afzal, P., Heydarzadeh, K., 2015, Site Effect Classification Based On
Microtremor Data Analysis Using A Concentration–Area Fractal Model,
Nonlin. Processes. Geophys., 22, 53–63.
Afnimar. 2009. Seismologi. Bandung: ITB.
Aji, Prastowo. 2015. Klasifikasi Tapak Lokal Berdasarkan Data Mikroseismik
Menggunakan Metode Horizontal To Vertikal Spectral Ratio (Hvsr) Di
Daerah Epitermal Borobudur Kabupaten Magelang. Universitas Gadjah
Mada, Ilmu Geofisika.
Arif Gunawan dan Parfi Khadiyanto. 2012. Kajian Aspek Bentuk Lahan dan
Geologi Berdasarkan Mikrotremor dalam Perencanaan Ruang Kawasan
Rawan Gempa di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi
Kasus: Kecamatan Bantul, Jetis, Imogiri, dan Kretek). Semarang. Biro
Penerbit Planologi Undip. Volume 8 (2): 178‐190 Juni 2012
Atha Fitrah, Rizki Rahmadi, Juan Pandu. Perhitungan Indeks Kerentanan Tanah
Berdasarkan Analisa Hvsr Di Kawasan Situs Candi Pari Dan Candi Sumur,
Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia. Yogyakarta. Proceeding, Seminar Nasional
Kebumian Ke-10.
Bemmelen, Van. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff, The Haque:
Nederland.
Cipta, dan Athanasius, 2009. Laporan Penelitian: Penyelidikan Amplifikasi
Wilayah Selirit, Provinsi Bali. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. Bandung.
Elnashai, S.A. dan Sarno, D.L., 2008, Fundamental of Earthquake Engineering.
Wiley. Hongkong.
Farsi. 2001. Evaluation of the Quality of Repairing and Strengthening of Buildings,
National Centre of Earthquake Engineering (CGS). Algiers. Algeria.
Gadallah, R.M and Fisher, R. 2009. Exploration Geophysics. Springer. Berlin.
Hamilton, W.., 1979. Tectonick of the Indonesian Region ; Geological Survey
Professional Paper, 1078; United States Goverment Printing Office,
Washington
Herak, M. 2008. ModelHVSR: a Matlab tool to model horizontal-to-vertikal
spectral ratio of ambient noise. Computers and Geosciences 34, 1514–1526.
Hidayati,S. 2010. Mekanisme Fokus dan Parameter Sumber Gempa Vulkano-
Tektonik di Gunung Guntur Jawa Barat.- Jurnal geologi Indonesia. Badan
Geologi . Bandung.
Huang, H. C. and Tseng, Y.S. 2002. “Characteristics of Soil Liquefaction Using
H/V Microtrmorsin Yuan-Lin Area, Taiwan”. TAO, Vol 13 No 3. Pp 325-
338.
Konno, K. and T. Ohmachi, 1998. “Ground-Motion Characteristics Estimated from
Spectral Ratio Between Horizontal and Vertikal Components of
Microtremor”. Bull. Seism. Soc. Am. 88, 228-241.
Lay, Thorne and Terry C. Wallace. (1995). Modern Global Sesmology. California:
Academic Press
Marjiyono, Satria Subkhi, Bagus Sapto, Roby Setianegara . 2014. Penentuan Zona
Rawan Guncangan Bencana Gempa Bumi Berdasarkan Analisis Nilai
Amplifikasi Hvsr Mikroseismik Dan Analisis Periode Natural Daerah Liwa
Dan Sekitarnya. Jurnal Geofisika Eksplorasi. Vol 2/No.1
Mirzaoglu, M. and Dykmen, U. 2003. Application of Microtremor to Seismik
Microzoning Procedure. Journal of The Balkan Geophysical Society. Vol.6
No.3.
Nakamura, Y. 1989. “A Method for Dynamic Characteristics Estimation of
Subsurface Using Microtremor on the Ground Surface”. Quarterly Report of
Railway Technical Research Inst. (RTRI) 30, 25-33.
Nogoshi, M. and Igarashi, T. 1970. On the propagation characteristics of
microtremors. J. Seism. Soc. Japan
Panah, A.K., Hafezi Moghaddas, N., Ghayanghamlan, M.R., Motosaka, M., Jafari,
M.K., Uromieh, A., 2002, Site Effect Classification in East-Central of Iran,
JSEE: Spring, 4.
Sherif, R.E. dan Geldart, L.P., 1995. Exploration Seismology Second Edition.
Cambridge University Press, New York USA.
Sungkono dan B.J. Santosa. 2011. Karakterisasi Kurva Horizontal-To-Vertical
Spectral Ratio: Kajian Literatur Dan Permodelan. Jurnal Neutrino. Vol.4,
No.1.
Telford, W.M., Geldart, L.P. and Keys, D.A. 1976. Applied Geophysics. Cambridge
University Press, Cambridge, 860 p.
Thanden R.E., 1996, Sumadirdja H., Richards P.W., Sutisna K., Amin T.C.. 1996.
Peta geologi lembar Magelang dan Semarang, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung.
Tohari, A., Syahbana, A. J., Satriyo, N. A., dan Soebowo, E., 2013, Karakteristik
Likuifaksi Tanah Pasiran di Kota Padang Berdasarkan Metode Microtremor,
Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit Geoteknologi, LIPI.
Towhata, I., 2008. Geotechnical Earthquake Engineering. Springer-Verlag, Berlin
Heidelberg,xx
Windu Partono, Masyhur Irsyam, Sri Prabandiyani. 2013. Aplikasi Metode HVSR
pada Perhitungan Faktor Amplifikasi Tanah di Kota Semarang. Jurnal MKTS
LAMPIRAN 1
TABEL PENGOLAHAN
Titik Koordinat
A0 F0 KG H
Pengukuran X Y Z
MK1 426007 9203269 1152 2.63 5.11 1.353600783 11.44814
MK2 425991 9202870 1141 1.53 4.22 0.55471564 13.86256
MK3 425996 9202500 1709 9.73 8.61 10.99569106 6.794425
MK4 425975 9202118 1039 9.74 8.62 11.00552204 6.786543
MK5 425946 9201656 1014 2.6 6.01 1.124792013 9.733777
MK6 426035 9201342 1020 5.3 1.28 21.9453125 45.70313
MK7 426423 9203288 1155 3.77 9.07 1.567023153 6.449835
MK8 426432 9202893 1154 2.11 9.66 0.460879917 6.055901
MK10 426419 9202486 1111 2.23 1.26 3.946746032 46.42857
MK13 426800 9203273 1277 2.64 3.85 1.810285714 15.19481
MK14 426795 9202937 1169 4.66 3.52 6.169204545 16.61932
MK15 426854 9202479 1132 7.21 0.91 57.12538462 64.28571
MK16 426806 9202073 1088 2.11 9.46 0.470623679 6.183932
MK17 426796 9201663 1012 2.83 1.05 7.62752381 55.71429
MK18 426878 9201278 998 6.04 6.14 5.941628664 9.527687
MK19 427200 9203237 998 5.82 4.43 7.646139955 13.20542
MK20 427200 9202837 998 5.05 2.05 12.4402439 28.53659
MK21 427203 9202436 998 2.11 3.43 1.297988338 17.05539
MK22 427148 9202096 998 2.96 4.68 1.872136752 12.5
MK23 427152 9201667 998 2.99 5.1 1.752960784 11.47059
MK24 427175 9201253 998 7.85 4.15 14.84879518 14.09639
MK25 427522 9203242 1328 4.92 7.82 3.09544757 7.480818
MK26 427598 9202873 1259 9.71 14.47 6.515832757 4.042847
MK27 427588 9202462 1157 3.51 9.92 1.241945565 5.897177
MK28 427590 9202086 1111 7.59 10.71 5.378907563 5.462185
MK29 427572 9201667 1056 3.7 4.39 3.118451025 13.32574
MK30 427575 9201298 1015 4.57 5.02 4.160338645 11.65339
MK31 428047 9203274 1306 1.51 1.31 1.740534351 44.65649
MK32 428005 9202896 1318 6.6 11.95 3.645188285 4.895397
MK33 428005 9202496 1313 4.56 1.14 18.24 51.31579
MK34 428038 9202090 1053 1.67 1 2.7889 58.5
MK35 427985 9201678 1056 2.51 0.88 7.159204545 66.47727
MK36 427987 9201314 1010 3.18 3.65 2.770520548 16.0274
LAMPIRAN 2
KURVA H/V