Anda di halaman 1dari 23

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Infeksi

1. Pengertian

Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu

menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Infeksi adalah peristiwa masuk

dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penjamu (Linda Tietjen,

2004).

Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh

yang di sertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik (Utama, 1999).

Infeksi adalah masuknya organisme ke dalam jaringan tubuh dan

berkembangbiak. Mikroorganisme seperti itu disebut agen yang menular. Jika

mikroorganisme tidak memproduksi bukti-bukti klinis infeksinya disebut

asymptomatic atau subclinical (Harry, 2007, http://www.indomedia.com).

Dari beberapa pengertian tentang infeksi diatas peneliti menyimpulkan

bahwa infeksi adalah peristiwa masuknya mikroorganisme kedalam tubuh

penjamu yang dapat menyebabkan sakit, patogen mengganggu fungsi

normal tubuh dan dapat berakibat luka kronik, gangren, kehilangan organ

tubuh, dan bahkan kematian.


2

B. Definisi istilah-istilah yang berkaitan dengan pencegahan infeksi

1. Asepsis atau teknik aseptik adalah istilah umum yang digunakan dalam

pelayanan kesehatan untuk mengambarkan semua usaha yang dilakukan

untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang

kemungkinan besar mengakibatkan infeksi. Tujuan utama dari asepsis

adalah untuk mengurangi atau menghilangkan jumlah mikroorganisme

baik yang terdapat pada permukaan benda hidup (kulit, jaringan) maupun

benda mati (alat kesehatan) hingga mencapai tingkat yang aman.

2. Antiseptik adalah pencegahan infeksi dengan membunuh atau

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh

lainnya.

3. Dekontaminasi adalah proses / tindakan yang dilakukan agar benda-benda

mati (peralatan kesehatan) dapat ditangani dan disentuh oleh petugas

secara aman, terutama oleh petugas pembersih alat medis. Sasaran yang

dimaksud yaitu meja pemeriksaan, meja operasi, alat-alat medis, sarung

tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh sebelum dan

sesudah melakukan tidakan medis.

4. Pencucian adalah proses secara fisik yang menghilangkan darah, cairan

tubuh, atau benda asing lainnya seperti debu atau kotoran dari kulit atau

permukaan.

5. Desinfekstan adalah menggambarkan proses yang memusnahkan banyak

atau semua mikroorganisme dengan pengecualian spora bakteri dari objek

yang mati (Rutala, 1995). Biasanya dengan menggunakan desinfekstan


3

kimia. Contoh desinfekstan adalah alkohol, klorin, glurateraldehid, dan

fenol.

6. Sterilisasi adalah penghancuran atau pemusnahan seluruh mikrooganisme

termasuk spora. Penguapan dengan tekanan, gas eliten oksida (ETO), dan

bahan kimia merupakan agens sterilisasi yang paling umum (Perry &

Potter, 2005).

C. Infeksi Nosokomial

1. Pengertian

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang

tersebut dirawat di rumah sakit (Utama, 1999). Infeksi nosokomial adalah

infeksi yang didapat seseorang dalam waktu 3 x 24 jam sejak mereka masuk

rumah sakit (Depkes RI, 2003).

Infeksi nosokomial diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dalam

fasilitas perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan satu tempat yang

paling mungkin mendapat infeksi karena mengandung populasi

mikroorganisme yang tinggi dengan jenis virulen yang mungkin resisten

terhadap antibiotik (Perry & Potter, 2005).

Kriteria infeksi nosokomial menurut (Depkes RI, 2003) antara lain:

a. Waktu mulai di rawat tidak di dapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak

sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut.

b. Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3 x 24 jam (72 jam) sejak pasien mulai

di rawat.
4

c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama dari

waktu inkubasi infeksi tersebut.

d. Infeksi terjadi pada neonatus yang di peroleh dari ibunya pada saat

persalinan atau selama di rawat di rumah sakit.

e. Bila di rawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti

infeksi tersebut di dapat penderita ketika di rawat di rumah sakit yang

sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah di laporkan sebagai infeksi

nosokomial.

D. Penyebab Infeksi Nosokomial

Penularan kuman penyebab infeksi nosokomial dapat terjadi melalui:

1. Infeksi sendiri (self infection): yaitu infeksi nosokomial berasal dari

penderita sendiri (flora endogen) yang berpindah ke tempat atau bagian

tubuh lain, seperti kuman escherichia coli dan staphylococus aureus,

kuman tersebut dapat berpindah melalui benda yang dipakai, seperti linen

atau gesekan tangan sendiri (Achmad, 2002).

2. Infeksi silang (cross infection): yaitu infeksi nosokomial terjadi akibat

penularan dari penderita / orang lain di rumah sakit.

3. Infeksi lingkungan (enviromental infection): yaitu infeksi yang disebabkan

kuman yang didapat dari bahan / benda di lingkungan rumah sakit.


5

E. Epidemiologi Infeksi Nosokomial

Epidemiologi ialah penjelasan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya penyebaran penyakit pada sekelompok orang.

Penyebab infeksi pada umumnya mempunyai mata rantai, begitu juga

infeksi nosokomial. Mula-mula kuman keluar dari sumber infeksi melalui

tempat keluar (Port of exit) dengan media tertentu. Setelah itu berpindah

atau menular secara langsung atau tidak langsung kepada inang perantara

melalui tempat masuk (Port of entry) mencapai hospes baru yang rentan.

Jadi ada tiga faktor determinan yang menyebabkan suatu infeksi (termasuk

infeksi yang diperoleh di rumah sakit) yaitu: sumber infeksi, rute

penyebaran mikroorganisme, dan host yang rentan terhadap infeksi.

F. Sumber Infeksi

Sumber penyebab infeksi nosokomial yaitu manusia, benda, aliran

udara, makanan, dan hewan. Sumber mikroorganisme patogen yang paling

banyak adalah manusia. (Paker, 1978) menyatakan kuman penyebab infeksi

nosokomial secara umum dibedakan menjadi tiga tipe umum yaitu:

1. Mikrooganisme yang konvensional, kuman penyebab penyakit pada

orang sehat yang tidak memiliki kekebalan khusus seperti: virus

influenza.

2. Mikrooganisme kondisional, kuman ini dapat menyebabkan terjadinya

infeksi secara klinis pada bagian tubuh tertentu apabila terdapat faktor-

faktor predisposisi seperti: pseudomonas sp, proteus sp.


6

3. Mikrooganisme oppurtunistik, kuman yang menyebabkan penyakit

menyeluruh pada orang yang sakit seperti: mycobacterium sp, nocardia.

G. Rute Penularan

Kuman patogen keluar dari sumbernya mempunyai cara bagi pemindah

sebarannya dan mempunyai pintu masuk ke dalam host yang rentan. Jalur

infeksi yang dilalui kuman menuju host memerlukan beberapa mata rantai:

Skema 2.1

Rantai Infeksi

Agens
Infeksius

Penjamu Reservoir

Portal Portal
Masuk Keluar

Cara Menular

Sumber: (Perry & Potter, 2005)


7

1. Reservoir Agen

Reservoir adalah tempat patogen mampu bertahan hidup tetapi dapat

atau tidak dapat berkembang biak; pseudomonas bertahan hidup dan

berkembang biak dalam reservoir nebuliser yang digunakan dalam

perawatan klien dengan gangguan pernafasan. Resevoir yang paling umum

adalah tubuh manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit dan

rongga tubuh, cairan dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu

menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier (penular) adalah manusia

atau binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi ada patogen

dalam tubuh mereka yang dapat ditularkan ke orang lain. Misalnya,

seseorang dapat menjadi carrier virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala

infeksi. Binatang, makanan, air, insekta, dan benda mati dapat juga menjadi

reservoir bagi mikroorganisme infeksius. Untuk berkembang dengan cepat,

organisme memerlukan lingkungan yang sesuai, termasuk makanan,

oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan cahaya.

2. Portal keluar (Port of exit)

Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan

berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka

masuk ke penjamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk

kuman dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit, kelamin, dan

plasenta.
8

3. Cara penularan (mode of transmision)

Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara langsung

misalnya: darah / cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan secara tidak

langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati, dan udara.

4. Portal masuk (Port of entry)

Sebelum infeksi, kuman harus memasuki tubuh. Kulit adalah bagian

rentang terhadap infeksi, namun adanya luka pada kulit merupakan tempat

masuk kuman. Kuman dapat masuk melalui rute yang sama untuk

keluarnya kuman.

5. Kepekaan dari host (host susceptibility)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agens

infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan individu terhadap

patogen. Makin virulen suatu mikroorganisme makin besar kemungkinan

kerentanan seseorang. Resistensi seseorang terhadap agens infeksius

ditingkatkan dengan vaksin.


9

H. Host Yang Rentan

Kepekaan host sangat di pengaruhi oleh hal-hal berikut ini misal: faktor

usia, status gizi, dan kekebalan. Disamping hal diatas ada beberapa faktor

yang mempengaruhi kerentanan penderita terhadap infeksi nosokomial yaitu:

1. Pemakaian antibiotika yang mengundang resisten kuman

2. Pemakaian obat imunosupresif, kortokosteroid dan sistotatika yang

menyebabkan daya tahan tubuh penderita menjadi menurun. Hal itu

mudah menyebabkan infeksi nosokomial.

3. Tindakan invasif intravaskuler dan instrumentasi seperti: pemasangan

infus, tranfusi darah, fungsi lumbal, venaseksi, biopsi, penghisapan lendir,

pemberian oksigen dan sonde. Pengobatan penderita dapat menyebabkan

daya tahan anatomis kulit menurun.

4. Beratnya penyakit yang diderita, makin parah penyakit penderita makin

besar kemungkinan mendapat infeksi nosokomial.

I. Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial

Ada 2 (dua) faktor yang memegang peranan penting terjadinya infeksi

nosokomial yaitu: faktor endogen, yaitu faktor yang ada pada penderita sendiri

seperti usia dan penyakit penyerta. Faktor eksogen, yaitu faktor yang dari luar

penderita seperti lingkungan, dan tindakan medis (Hasbullah, 1993). Namun

terdapat karakteristik yang melekat pada perawat itu sendiri yang tentunya

dapat mempengaruhi tingkat pencegahan infeksi nosokomial.


10

Berikut adalah karakteristik perawat yang dikutip dari berbagai sumber:

1. Usia

Usia adalah sepanjang jangka hidup, Usia berkaitan dengan tingkat

kedewasaan atau maturitas dalam arti semakin meningkatnya usia

seseorang maka akan meningkat pula kedewasaan secara teknis dan

psikologis serta semakin mampu melaksanakan tugasnya (Siagian, 1999).

Pernyataan tersebut berbeda dengan pendapat (Robbin,1996) bahwa

kemampuan seseorang akan merosot dengan meningkatnya usia sehingga

usia muda merupakan usia yang paling optimal untuk mengembangkan

kemampuan. Selain itu usia produktif menurut (Harlock, 1996) adalah

umur 18 tahun sampai dengan usia 60 tahun.

Sedangkan (As’ad, 2000) mengatakan bahwa pekerja usia 20-30

tahun mempunyai motivasi kerja relatif tinggi dibandingkan pekerja usia

tua. Menurut (Simanjuntak, 1985) prestasi kerja meningkat bersamaan

dengan meningkatnya usia.

2. Tingkat pendidikan

Menurut (Green, 1980) tingkat pendidikan merupakan faktor

predisposisi seseorang untuk berperilaku, sehingga latar belakang

pendidikan merupakan faktor yang mendasar dan memotivasi terhadap

perilaku atau memberikan referensi pribadi dalam pengalaman belajar.

Tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang dalam

pengembangan nalar dan analisa (Pusdinakes, 1997) baik dokter maupun

perawat dalam melaksanakan tindakan harus berdasarkan data dan di


11

prioritaskan masalah, serta bisa antisipasi masalah yang akan timbul,

tingkat pendidikan akan mempengaruhi daya nalar seseorang, sehingga

dengan daya nalar yang baik akan memudahkan untuk meningkatkan

pengetahuan.

Pendapat (Alfafro- LeFevre, 1998) dan (Jackson, 2000) bahwa tingkat

pendidikan sangat mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan, semakin

tinggi tingkat pendidikan perawat maka semakin tinggi kemampuan dalam

melaksanakan asuhan keperawatan karena dengan pendidikan yang tinggi

akan meningkatkan kemampuan intelektual, interpersonal, dan tekhnikal

yang dibutuhkan oleh seorang perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan.

Sedangkan (Siagian, 1995) mengemukakan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan yang dicapai seseorang maka semakin besar keinginan

untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya.

3. Masa kerja / Pengalaman kerja

Menurut teori dari Max Weber (Ritzer, 1983) seseorang individu

akan melakukan suatu tindakan berdasarkan pengalamannya. Perawat

yang berpengalaman akan melakukan tindakan sesuai ketentuan yang telah

mereka kenal dan tidak merasa canggung dengan tindakannya.

Kalau teori (Roger, 1971) pertugas kesehatan yang lama bekerja

terjadi perubahan kepatuhan, mereka sebetulnya telah menerima dan

mengenal ide baru tentang pencegahan infeksi nosokomial, hanya karena


12

kurang motivasi, mereka kembali pada kebiasaan semula, karena

lingkungan yang lebih berperan.

Sedangkan (Siagian, 1987) mengatakan kualitas dan kemampuan

kerja seseorang bertambah dan berkembang melalui dua jalur yaitu

pengalaman kerja yang dapat mendewasakan seseorang serta dari

pelatihan dan pendidikan.

4. Pengetahuan petugas kesehatan

Menurut (Aje, 1980) pemberian pelatihan atau penambahan

pengetahuan terhadap petugas kesehatan tentang infeksi nosokomial dan

penanggulangannya merupakan suatu model aksi tidak langsung (Indirect

action) dalam rangka peningkatan program pengendalian infeksi

nosokomial.

Cara lain untuk menambah pengetahuan bisa dengan cara diskusi

antar petugas tentang infeksi nosokomial, diskusi merupakan salah satu

cara yang baik dalam rangka memberikan informasi dan pesan kesehatan

(Notoatmodjo, 1993).

Menurut penelitian (Roger, 1971), terbukti bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan juga merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang.

Mengingat pengendalian infeksi nosokomial merupakan kegiatan

yang terus menerus dan berkesinambungan, maka diperlukan juga

penambahan pengetahuan yang terus menerus melalui pelatihan tentang


13

infeksi nosokomial, dengan tujuan utamanya adalah perubahan perilaku

karyawan rumah sakit, sehingga mereka akan menyadari dan mengerti

akan pentingnya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

Sasaran yang ikut serta dalam pelatihan / pendidikan prioritas utama

adalah perawat, hal ini berkaitan dengan tugas perawat yang harus berada

24 jam dengan pasien dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan

merupakan kelompok yang mempunyai resiko terbesar tertular dan

menularkan penyakit kepada pasien.

Menurut laporan pusat kedokteran dan kesehatan Polri angka insiden

nosokomial di Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto sebesar

11.08% (Tahun 2007). Sedangkan data infeksi nosokomial yang di peroleh

dari hasil surveilans rutin bulan Januari sampai Desember 2007 adalah

sebagai berikut:

1. Tri Mester I

Angka Decubitus : 4.14%

Angka ILI (Infeksi Luka Infus) : 0,84%

Angka ILO (Infeksi Luka Operasi) : 0%

2. Tri Mester II

Angka Decubitus : 0%

Angka ILI (Infeksi Luka Infus) : 1,40%

Angka ILO (Infeksi Luka Operasi) : 0%


14

3. Tri Mester III

Angka Decubitus : 0%

Angka ILI (Infeksi Luka Infus) : 0,54%

Angka ILO (Infeksi Luka Operasi) : 0%

4. Tri Mester IV

Angka Decubitus : 0,43%

Angka ILI (Infeksi Luka Infus) : 3,73%

Angka ILO (Infeksi Luka Operasi) : 0%

J. Jenis-Jenis Infeksi Nosokomial

a. Bakteriemia

Bakteriemia adalah keadaan pasien dengan menunjukan demam tinggi

setelah 3 x 24 jam di rawat di rumah sakit, dengan suhu mencapai 38,50 C.

Dikatakan Bakteriemia nosokomial apabila terjadi tindakan invasif di

rumah sakit seperti: pemasangan infus, lumbal pungsi dan kateterisasi.

b. Infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kemih terjadi setelah dilakukan tindakan kateterisasi buli-

buli, dan tindakan invasif pada sistem reproduksi.

c. Infeksi luka operasi

Infeksi luka operasi dikatakan infeksi nosokomial bila keadaan pra bedah

dan selama pembedahan terjadi infeksi pada luka operasi.


15

d. Infeksi hepatitis akut

Timbul setelah dua minggu di rawat inap atau 6 bulan setelah keluar dari

rumah sakit. Dengan tanda-tanda klinik yang khas yaitu kenaikan SGOT,

SGPT, dan billirubi.

e. Infeksi saluran cerna

Infeksi saluran cerna yang terjadi di ruang rawat inap dengan tanda gejala

seperti mencret dengan atau tanpa muntah, nyeri perut, dan diserta demam.

f. Infeksi saluran nafas bagian bawah

Infeksi ini terjadi setelah 3 x 24 jam sejak mulai di rawat dengan gejala

demam 38,50 C, lekositosis, batuk dengan dahak, dan ditemukan ronki

basah.

K. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial bertujuan untuk menekan dan

memindahkan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat di

rumah sakit ataupun mengurangi angka infeksi yang terjadi di rumah sakit.

Sebagian infeksi nosokomial ini dapat dicegah dengan strategi yang telah

tersedia secara relatif murah (Linda Tietjen, 2004) yaitu:

1. Menaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan

dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan.

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat

untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,

diikuti dengan sterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi.


16

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area berisiko tinggi

lainnya di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan

pada agen penyebab infeksi sering terjadi.

Dalam suatu rumah sakit juga terdapat prosedur pencegahan infeksi yang

telah ditetapkan. Tugas perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

(Depkes RI, 2003) yaitu:

1. Kepala Bidang Keperawatan

Kepala bidang keperawatan di suatu rumah sakit harus berperan sebagai:

a. Anggota dalam program pencegahan dan pemberantasan infeksi

nosokomial khususnya yang berkaitan dengan aspek keperawatan.

b. Bertanggung jawab mengembangkan program orientasi mengenai

pencegahan dan pemberantasan infeksi nosokomial pada perawat /

staf yang baru.

c. Membantu program orientasi dan pendidikan serta latihan bagi tim

kesehatan lain yang terlibat dalam asuhan pasien secara berkala.

d. Mengevaluasi prosedur dan cara pelaksanaan yang telah ditetapkan

agar program dapat dilakukan secara efektif.

2. Kepala Ruangan

Kepala ruangan beperan sebagai berikut:

a. Memberi penilaian terhadap perawat bawahan dalam melaksanakan

prosedur pencegahan infeksi nosokomial yang sudah di tetapkan.

b. Melaporkan setiap indikasi adanya infeksi nosokomial kepada pihak

yang berwenang untuk tindak lanjut masalah infeksi.


17

c. Memberikan arahan dan bimbingan teknis pelayanan perawatan serta

menekankan bahwa pentingnya peranan perawat dalam menentukan

program pencegahan dan pemberantasan infeksi nosokomial.

3. Pelaksana Perawat

a Melaksanakan semua prosedur pencegahan infeksi yang telah

ditetapkan.

b Melakukan tindakan perawatan secara benar.

c Waspada terhadap tanda / gejala infeksi yang di curigai dan

melaporkan kepada kepala ruangan.

d Bekerjasama dengan ICN (Infection Control Nurse) dalam rencana

berkala tentang informasi spesifik yang secara langsung berkaitan

dengan ruangan tersebut untuk di diskusikan.

4. Infection Control Nurse (ICN)

a. Penemuan kasus surveilans termasuk pencatatan, pelaporan, analisis,

dan interpretasi data.

b. Menyelidiki Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah.

c. Melakukan pengawasan, pencegahan dan pemberantasan infeksi.

d. Merencanakan pendidikan.

e. Memberikan rekomendasi program pemberantasan.


18

L. Konsep Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan Domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Karena dari

pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Penelitian Rogers tahun 1974 mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang

berurutan yaitu:

a. Awerenes (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest ( tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.


19

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkat yaitu: Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya termasuk dalam pengetahuan. Tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang telah telah diterima. Memahami (Comprehension), Memahami

diartikan sebagai suatu menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar. Aplikasi

(Application), Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi

yang telah dipelajari pada kondisi riil. Analisis (analysis), Analisis adalah

suatu kemampuan untuk menjabarkan materi kedalam komponen-

komponen. Tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut, dan ada

kaitannya satu sama lain Sintesis (Synthesis), Sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Evaluasi

(Evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian tehadap suatu materi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

peneliti atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui

atau kita ukur dapat kita seusaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.
20

M. Penelitian Terkait

Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan mengenai pencegahan

infeksi nosokomial di rumah sakit antara lain:

1. Penelitian Rukmini Norman (2000)

Judul penelitian: Hubungan pengetahuan, sikap, dan perilaku perawat

terhadap infeksi nosokomial di departemen perawatan intensif Rumah

Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto tahun 2000.

Hasil penelitiannya: Untuk karakteristik proporsi responden banyak

terdapat pada kelompok umur 26-30 tahun (22,22%) dan usia 31-35 tahun

(28,89%). Kelompok umur ini biasanya adalah kelompok umur yang

mempunyai semangat yang tinggi dan produktifitas, sedangkan umur 41

tahun terdapat (13,42%) kelompok umur ini mempunyai kematangan

pribadi, namun agak sulit menerima gagasan baru.

Pendidikan responden yang terbanyak dari lulusan sekolah perawat

kesehatan (SPK) dan pengatur rawat (82,2%), hanya 17,8% responden

yang berpendidikan akademi keperawatan (DIII), bila di lihat dari masa

kerja maka proporsi yang terbesar terdapat pada kelompok responden yang

mempunyai masa kerja 6-10 tahun (35%), dan masa kerja yang paling

lama (21-25 tahun) sebesar 11,11%.

Pengetahuan responden: Banyak diantara responden yang menjawab

salah tentang terjadinya infeksi nosokomial (84,44%). Demikian pun

responden banyak yang kurang mengetahui tentang gejala klinik dari

infeksi aliran darah (80%). Selanjutnya 66,67% yang kurang mengetahui


21

tentang cara efektif untuk memutus rantai infeki nosokomial. Dari hasil

penelitian ditemui 53,33% responden perlu penyegaran pengetahuan

tentang infeksi nosokomial sedangkan yang mempunyai pengetahuan

tinggi 46,67%.

2. Penelitian Yuliarna Sari Dewi

Judul penelitian: kejadian infeksi nosokomial akibat pemasangan

jarum infus di departemen perawatan anak RSPAD Gatot Soebroto tahun

2003.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kejadian infeksi nosokomial

jarum infus (plebitis) di departemen perawatan anak RSPAD Gatot

Soebroto tahun 2003 sebesar 21,3%. Faktor resiko yang berhubungan

dengan kejadian phlebitis (P value < 0,05) adalah : jenis kelamin, lama

hari perawatan, jenis ruang perawatan, lama terpasang infus, lokasi

pemasangan, jenis cairan infus, obat injeksi dan jenis obat yang diberikan

melalui infus. Dan terbukti tidak bermakna secara statistik adalah umur,

jenis profesi pemasangan dan ukuran jarum infus.

3. Penelitian Budi Ernawati

Judul penelitian: Survey pengetahuan petugas paramedik tentang

tindakan pencegahan infeksi nosokomial di puskesmas kecamatan wilayah

Jakarta Pusat tahun 2004.

Hasil penelitian: bahwa pengetahuan mengenai tehnik mencuci

tangan yang benar, pengolahan limbah dan sampah, kebersihan lingungan

pada petugas sebagian besar sudah baik. Sedangkan pengetahuan tentang


22

penggunaan alat pelindung diri, pengolahan jarum suntik bekas pakai,

pengetahuan tehnik dekontaminasi, dan sterilisasi sebagian besar masih

kurang. Secara umum pengetahuan mengenai tindakan pencegahan

penularan infeksius pada petugas paramedik puskesmas kecamatan Jakarta

pusat masih rendah hanya sebesar 61% yang sudah baik.

N. Kerangka Teori

Dari teori dan konsep dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan yaitu

terjadinya infeksi nosokomial merupakan dampak yang dapat disebabkan

karena perilaku perawat yang tidak memperhatikan prinsip pencegahan

infeksi, selain disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor pasien sendiri.

Sedangkan pencegahan infeksi nosokomial dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu

faktor predisposisi (pengetahuan, usia, pendidikan, dan masa kerja), faktor

pemungkin (sarana dan prasarana, pedoman kerja, dan pelatihan), dan faktor

penguat (lingkungan kerja).

Perawat akan melaksanakan pencegahan infeksi nosokomial bila tersedia

sarana dan prasarannya, serta akan bekerja sesuai dengan prosedur yang telah

ditetapkan. Sedangkan lingkungan kerja yang kondusif akan mempertahankan

ketaatan dalam bekerja karena mendapat dukungan baik dari atasan maupun

teman.
23

Skema 2.2

Kerangka Teori

Faktor
Faktor Predisposisi: Lingkungan
Pengetahuan, Usia, Masa
Kerja, Pendidikan

Faktor Pemungkin: Infeksi


Sarana dan Prasarana Pencegahan
Infeksi nosokomial Nosokomial
Pedoman kerja
Pelatihan

Faktor Penguat:
Lingkungan Kerja
Faktor Dari
Pasien
Sendiri

Sumber: (Green, 1980), dimodifikasi

Anda mungkin juga menyukai