Anda di halaman 1dari 24

PATOLOGI SISTEMIK VETERINER : SISTEM SYARAF

Materi Kuliah Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana


Oleh: Drh IB Windia Adnyana, PhD

I. Pendahuluan
Patologi adalah disiplin yang mengombinasikan antara seni dan sains. There is both an art and a science of
veterinary pathology kata para ahli. Sistem syaraf adalah sistem organ yg tersusun dari jejaring sel-sel khusus yg
disebut neuron, yang berfungsi untuk mengoordinasikan semua aktivitas satu individu hewan maupun manusia.
Sistem syaraf saling berhubungan satu dengan lainnya melalui jalur neural kompleks.

Neuropatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jejas yang terjadi pada sistem syaraf. Ini adalah salah satu
topik penting dalam disiplin patologi, karena banyaknya penyakit zoonosis bersifat fatal yang menyerang sistem
ini. Contohnya adalah rabies dan transmissible spongiform encephalopathy (TSE). Selain itu, kejadian penyakit
pada sistem syaraf pusat relatif sering terjadi pada hewan, terutama pada ternak besar.

II. Struktur dan Fungsi


Sistem syaraf terdiri atas sistem syaraf pusat dan sistem syaraf tepi. Sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan
korda spinalis. Sistem syaraf tepi terdiri dari neuron sensori, kumpulan neuron yang disebut ganglia, serta syaraf
penghubung antar syaraf tepi maupun dengan sistem syaraf pusat. Sistem syaraf otonom dikategorikan ke dalam
sistem syaraf tepi. Demikian pula halnya dengan sistem syaraf enterik yang memiliki kapasitas berfungsi mandiri
untuk mengontrol sistem gastro-intestinal.

Gambar 1. Skema umum sistem syaraf pada kuda. Otak dan korda spinalis dikategorikan sebagai sistem syaraf
pusat, sedangkan nervus dibagian tubuh lainnya dikategorikan sebagai sistem syaraf tepi.

Sistem syaraf adalah sistem yang sangat kompleks. Otak, misalnya, tersusun dari banyak bagian dengan fungsi
yang berbeda. Setiap bagian dari otak tersusun dari jenis sel yang sama, namun berbeda dalam
pengoorganisasian dan fungsinya. Otak terdiri dari tiga bagian yaitu otak depan, otak belakang atau batang otak
yang berisi medula oblongata, serta otak kecil atau serebelum. Serebrum (otak besar) pada reptil, unggas dan
1
mamalia berfungsi untuk koordinasi data sensori dan fungsi motorik, mengatur kecerdasan atau inteligensia,
logika, pembelajaran dan ingatan. Secara kasat mata, otak besar terlihat sebagai dua belahan simetris (hemisfer)
kiri dan kanan. Pada orang, hemisfer kiri diketahui berhubungan dengan kemampuan/daya ingatan berdurasi
singkat, serta memiliki cara kerja yang bersifat lebih analitis dan rasional. Hemisfer kanan berhubungan dengan
daya ingatan berdurasi lama, serta memiliki daya kognitif yang lebih bersifat holistik dan intuitif. Hemisfer kiri
berhubungan dengan kemampuan berfikir, berbicara, dan menulis, sedangkan hemisfer kanan berhubungan
dengan kemampuan spasial dan pengenalan pola.

Selain serebrum, otak depan juga meliputi talamus, hipotalamus dan kelenjar pituitari. Talamus berperanan
sebagai titik pusat hantaran atau relay point untuk keluar – masuknya pesan dari serebrum ke- dan dari batang
otak. Hipotalamus berperanan dalam pengaturan homeostasis (sensasi rasa haus dan lapar, serta pengaturan
temperatur, keseimbangan air, dan tekanan darah) serta menghubungkan sistem syaraf dengan sistem
endokrin.Kelenjar pituitari bertanggung - jawab dalam produksi hormon pertumbuhan, mengatur sistem endokrin,
memproduksi hormon yang mempengaruhi fungsi otot dan ginjal dan yang mengontrol kelenjar endokrin lain, serta
berperan sebagai lokaso penyimpanan hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus.

Serebelum adalah bagian otak terbesar kedua setelah cerebrum. Fungsinya untuk koordinasi otot, memelihara
tonus normal otot dan postur, serta koordinasi keseimbangan. Medulla oblongata adalah bagian otak yang paling
dekat dengan korda spinalis. Jaringan ini terlibat dalam regulasi detak jantung, pernafasan, mengatur tekanan
darah melalui vasokonstriksi, pusat refleks muntah, batuk, bersin, menelan dan cegukan (hiccupping).

Korda spinalis ada disepanjang bagian dorsal tubuh hewan dan menghubungkan otak dengan bagian tubuh
lainnya. Jaringan ini terbungkus dalam serial vertebrae bertulang yang menyusun kolumna vertebralis. Substansi
kelabu (substansia grisea) dari korda spinalis terdiri dari sel-sel bodi dan dendrit. Substansia putih (substansia
alba) tersusun atas bundel-bundel akson inter-neuron atau jalur (tracts). Jalur ke atas (track ascending) membawa
pesan ke otak, dan jalur ke bawah (track descending) membawa pesan dari otak. Jaringan ini terlibat dalam
refleks yang tidak segera melibatkan otak.

2
Gambar 2. Bagian-bagian otak dilihat dari atas dan samping (dua di atas), serta potongan sagital (bawah).

Potongan melintang otak akan memperlihatkan adanya dua area yang disebut dengan substansi kelabu dan
substansi putih. Substansi kelabu adalah kumpulan sel tubuh neuron (neuronal cell bodies). Sedangkan substansi
putih adalah akson yg tersusun sebagai jalur atau tracts. Diagnosis morfologik yang diawali dengan kata polio
merujuk pada substansia kelabu, sedangkan yang diawali dengan kata leuko merujuk pada substansia putih. Kata
ensefalo merujuk pada otak, sedangkan myelo merujuk pada korda spinalis.

Gambar 3. Potongan melintang dari otak. Substansi kelabu tersusun dari neuron, sedangkan substansi putih
adalah akson dari neuron. Pada permukaan otak terdapat cekungan dan tonjolan. Bagian yang cekung disebut
sulkus (tunggal) dan sulki (plural). Bagian yang menonjol disebut gyrus (tunggal) atau gyri (plural).

Anatomi dan fungsi korda spinalis relatif lebih sederhana dibandingkan dengan dengan anatomi dan fungsi otak.
Setiap bagian dari korda spinalis pada dasarnya sama. Jaringan ini terdiri dari area sentral dan perifer. Area
sentralnya tersusun atas neuron, serta area perifernya tersusun atas akson. Syaraf spinalis muncul dari setiap
segmen korda spinalis, menjangkau bagian-bagian tubuh lainnya untuk mengirim impuls dan menerima input.

3
Gambar 4. Potongan melintang dari korda spinalis.

Otak dibungkus oleh selaput yang disebut dengan meningen. Selaput ini terdiri dari tiga lapisan yaitu dura mater
(tough mother, kapsul terluar tersusun atas jaringan fibrosa), araknoid mater (lapisan tengah berpenampakan
jejaring, berisi cairan serebrospinal), serta pia mater (lapisan terdalam yang tipis, menempel pada permukaan otak
dan korda). Sebutan untuk merujuk pada lapisan araknoid mater dan pia mater adalah leptomeningen.

Ada satu komponen yang disebut dengan celah atau ruang epidural. Pada otak, ruang epidural ini hanya berupa
“potensi rongga”, karena dura mater dan periosteum menyatu. Sebaliknya pada korda spinalis, celah ini benar-
benar ada, terisi lemak dan jaringan ikat longgar, sehingga bisa menerima injeksi epidural.

Otak dan korda spinalis dilubrikasi atau dibasahi oleh cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid atau CSF). Cairan
ini diproduksi oleh pleksus koroid di ventrikel serebralis, keluar dari ventrikel ke-empat melalui apertura lateral di
bagian belakang batang otak. Cairan ini masuk kembali ke darah melalui sinus venosus (katupnya
berpenampakan seperti jaring-jaring villi) yang ada dipermukaan otak. Hidrosefalus terjadi akibat dilatasi ventrikel
serebralis oleh CSF. Kejadiannya bisa kongenital atau dapatan, dan harus dibedakan dengan hidranensefali pada
pedet yang disebabkan oleh infeksi virus Akabane.

Komponen utama sistem syaraf pusat yang menjadi titik fokus dalam setiap pemeriksaan mikroskopis adalah
neuron, sel-sel glia (astroglia, oligodendroglia, dan mikroglia), serta pembuluh darah. Kecuali pembuluh darah,
komponen seluler yang disebut pertama membentuk suatu jaringan komplek yang disebut dengan istilah neurofil.

Neuron
Neuron terdiri dari sel tubuh neuron dengan dendrit yang menerima sensasi rangsangan (excitatory) dan penekan
(inhibitory), serta axon panjang yang biasanya terbungkus myelin untuk menghantarkan impuls keluar. Viabilitas
suatu axon tergantung dari keutuhan sel tubuh.

4
Gambar 4. Skema neuron dan bagian-bagiannya

Ukuran dan bentuk neuron bervariasi. Neuron kecil seperti granul limfosit ditemukan di korteks cerebellar.
Sedangkan neuron besar umumnya ada di nukleus vestibular lateral dan pada bagian ventral substansia grisea
korda spinalis. Inti neuron cenderung vesikular hingga spheris dan lokasinya sentral. Pada neuron besar, acapkali
nukleolusnya terlihat jelas. Ada substansi Nissl yang memproduksi protein untuk komponen sitoskeletal yang
terlibat dalam trasport axoplasmik (aliran axoplasma disepanjang axon) dan regenerasi syaraf tepi.

Gambar 5. Gambaran mikroskopik neuron pada korteks serebralis (HE 400X). Nukleus dan nukleolus jelas,serta
sitoplasmanya basofilik. Perhatikan adanya sel-sel bundar yang menyertai sel neuron. Itu disebut sel satelit yang
sebenarnya adalah oligodendroglia di substansia grisea

Sel-sel Glial
Sel-sel glial berfungsi untuk menyokong neuron. Glia berarti glue (lem). Kelompok sel ini terdiri dari astroglial,
oligodendroglia, dan mikroglia. Sel-sel ini sulit dibedakan satu sama lain pada histologi normal.

Sel-sel astroglial (astrosit) adalah sel glial berbentuk bintang, dan merupakan jenis terbanyak ada di sistem syaraf
pusat. Aksinya kurang lebih sama dengan fibroblast pada jaringan lain; menyokong parenkim dan berproliferasi
(menjadi reaktif) menjadi dinding/lapisan pembatas suatu area yang mengalami cedera. Perlu diingat, bahwa

5
astroglial tidak memproduksi kollagen, karena tak ada fibroblast di parenkim sistem syaraf pusat. Sebagai
gantinya, terbentuk parut glial (glial scar) yang tersusun dari astrosit reaktif. Fungsi lain dari astroglial adalah
regulasi lingkungan ionik pada celah intersel, mengambil dan/atau memecah beberapa pemancar syaraf (neuro-
transmitter) dan berperan substansial dalam formasi sawar darah otak (blood-brain-barrier), serta memberikan
signal pada otak (mengatur fungsi neuron).

Astrosit reaktif bisa dilihat pada banyak kondisi seperti infark, multiple sclerosis dan infeksi. Adanya astrosit reaktif
acapkali disebut dengan istilah astrogliosis atau gliosis. Ketika pada suatu preparat otak dilihat adanya
astrogliosis (misalnya di tepi suatu infark), maka ini disebut glial scar (parut glial). Dengan pewarnaan rutin
(Haematoxylin – Eosin, HE), astrosit reaktif dikenali dengan penampakan sitoplasmanya yang sangat eosinofilik.
Kadang-kadang sel-sel berpenampakan seperti ini disebut dengan nama gemistosit; suatu kata latin yang telah
diadopsi menjadi bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti plump (bundar dan lembut).

Gambar xx. Skema yang menunjukkan hubungan antara astrosit dengan neuron dan pembuluh darah.

6
Gambar xx. Gambar kiri adalah area substansia alba dengan pengecatan HE (400X) menunjukkan banyak
oligodendroglia dan beberapa astrosit. Membedakan sel oligodendroglia dan astrosit dengan pewarnaan HE
hanya dengan melihat bentuk intinya. Gambar kanan juga area substansia alba dengan astrositosis reaktif yang
ditandai dengan sitoplasma besar eosinofilik (HE, 400X).

Sel-sel oligodendroglia (oligodendrosit) memproduksi dan memelihara myelin sistem syaraf pusat (seperti sel-sel
Schwann di sistem syaraf tepi). Jika sel ini cedera maka terjadi demyelinasi. Secara mikroskopis, oligodendroglia
dikenali dari karakteristik intinya yang bundar dikelilingi oleh ruang kosong. Pada hakekatnya, ruang kosong
tersebut adalah artifact akibat proses fiksasi yang agak lambat/tidak sempurna, namun ternyata sangat berguna
untuk identifikasi jenis sel ini.

Gambar xx. Skema yang menunjukkan hubungan antara oligodendroglia, mikroglia dan neuron.

7
Gambar xx. Oligodendroglia di substansia alba sistem syaraf pusat. Perhatikan karakteristik intinya yang bundar
dikelilingi oleh ruang kosong. Di sistem syaraf pusat, badan-badan ini adalah pembentuk myelin (HE, 400X).

Sel-sel mikroglia adalah sel-sel fagosit (seperti makrofag) yang berfungsi untuk membersihkan kotoran (debris).
Selnya memiliki cabang-cabang spindel yang keluar dari pusat tubuh sel. Dengan pewarnaan HE, sel ini terlihat
dalam bentuk nukleus kecil berbentuk batang atau seperti makrofag. Nodul mikroglia adalah temuan penting
dalam beberapa kasus penyakit, misalnya AIDS ensefalopati. Temuan mikroglia dalam jumlah signifikan juga
menjadi karakteristik dari penyakit Creuztfeldt-Jakob (CJD) dan plak amyloid pada penyakit Alzheimer.

III. Gambaran Spesifik Sistem Syaraf Pusat


Dalam konteks patologi, ada dua hal spesifik yang terjadi pada sistem syaraf pusat. Kedua hal tersebut adalah
lokalisasi fungsi dan proses fisiologi yang kompleks.

1) Lokalisasi fungsi
Fungsi tiap-tiap bagian sistem syaraf pusat berbeda-beda. Karena itu, tanda klinis lebih tergantung dari lokasi
jejas dibanding penyebab. Penyebab jejas tetap penting dalam konteks melakukan pengobatan dan
prognosis. Lokalisasi fungsi berarti jejas kecil di area kritis, misalnya korda spinalis atau batang otak, akan
menyebabkan tanda klinis yang jauh lebih nyata dibanding jejas besar, misalnya di kortex serebralis. Oleh
karena itu, dalam melakukan nekropsi, sangat penting untuk membedakan lokasi tiap jejas dengan temuan
klinis saat pemeriksaan ante-mortem.

2) Proses fisiologi yang kompleks


Agar dapat berfungsi normal, neuron membutuhkan asupan oksigen dan gula yang sangat tinggi untuk
menjalankan metabolismenya. Oleh karena itu, sel-sel ini akan sangat peka terhadap hipoksia dan
hipoglikemia. Selain itu, gangguan dengan manifestasi klinis hebat dapat terjadi dari terganggunya proses
8
farmakologik tertentu akibat rumitnya fungsi neuron. Beberapa dari gangguan ini bahkan tidak menunjukkan
jejas yang berarti. Fenomena ini bisa ditemukan pada kasus-kasus epilepsi, gangguan pada fungsi neuro-
muscular junction (kasus tick paralisis, botulismus dan keracunan organo-fosfat), gangguan pada proses
penghambatan umpan balik berulang pada neuron motorik bagian bawah (kasus keracunan striknin, dan
tetanus), serta gangguan-gangguan yang bersifat bawaan seperti defisiensi reseptor glisin herediter yang
menyebabkan myoklonus (inherited congenital myoclonus) pada pedet jenis Poll Hereford.

IV. Patologi sistem syaraf


Seperti halnya sistem di bagian tubuh yang lain, respon sistem syaraf terhadap stimulus juga bervariasi. Respon
dimaksud meliputi proses degenerasi dan nekrosis, gangguan sirkulasi, radang, gangguan pertumbuhan
(malformasi dan trauma), serta neoplasia.

A. Degenerasi
Ada empat proses degeneratif penting yang bisa diobservasi pada jaringan syaraf. Pertama adalah malasia
(malacia) atau nekrosis pada sistem syaraf pusat. Kedua adalah degenerasi Wallerian (degenerasi axon dan
myelin). Ketiga adalah demyelinasi atau degenerasi myelin saja. Keempat adalah perubahan spons (spongy
change) atau vakuolasi di substansia alba/grisea. Dua proses yang disebut pertama relatif non-spesifik dan
umumnya terjadi akibat penyebab yang bervariasi. Keempatnya adalah indikator atau kerusakan akibat toksik.

1) Malasia
Ini adalah nekrosis pada sistem syaraf pusat. Secara literal, malasia berarti perlunakan. Acapkali ada awalan
yang ditambahkan untuk menyatakan lokasi kejadian. Polio-ensefalo-malasia, misalnya, menerangkan terjadi
nekrosis atau perlunakan yang terjadi pada substansia grisea serebrum. Kecuali defisiensi tiamin, penyebab
malasia sama dengan penyebab nekrosis di jaringan lain (misalnya trauma, hipoksia, dan toksin). Defisiensi
tiamin adalah penyebab nekrosis yang spesifik untuk sistem syaraf pusat. Kejadian malasia pada sistem
syaraf pusat mengikuti urut-urutan yang sama dengan kejadian nekrosis di jaringan lain. Prosesnya diawali
dengan terbentuknya udem dan perdarahan. Debris akibat udem dan perdarahan ini, kemudian, akan
mengalami otolisis dan difagositosis. Selanjutnya, ketika debris sudah dibersihkan, maka terbentuklah kiste
berisi cairan (fluid-filled cyst) yang dibatasi oleh astroglia.

9
Gambar XX. Otak anjing yang mengalami polio-ensefalomalasia multifokal (koalisi), kronis, berat, serebrum
kanan. Perhatikan asimetris dari kedua belahan otak, sulki yang dalam, serta warna kekuningan fokal yang
mengindikasikan adanya hancuran myelin.

Seperti disebutkan sebelumnya, penyebab malasia bervariasi. Pertama adalah trauma. Malasia akibat trauma
korda spinalis, misalnya protrusi piringan tulang pembungkus syaraf (disc protrusion), sering dilaporkan pada
hewan. Kedua adalah malasia akibat defisiensi tiamin. Kondisi ini sangat berbahaya jika tidak segera diobati.
Polio-ensefalomalasia pada ruminansia adalah contohnya. Jejasnya berupa udem dan nekrosis serebralis.
Patogenesisnya hanya dipahami secara parsial, namun bisa jadi akibat diberikan pakan yang banyak
mengandung enzim tiaminase seperti yang terdapat pada beberapa jenis tumbuhan pakis/paku. Difisiensi
tiamin juga terjadi pada kucing dan bangsa cerpelai (mink) yang selalu diberi makan ikan dengan kandungan
tiaminase tinggi, atau pakan yang kandungan vitaminnya habis akibat dimasak terlalu lama. Jejas malasia
terbentuk di area periventrikular substansia kelabu. Toksin adalah penyebab malasia yang ketiga. Contohnya
adalah kejadian ensefalomalasia simetris fokal atau focal symmetrical encephalomalacia (FSE) pada induk
dan anak domba akibat toksin epsilon yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium perfringens type D. Penyebab
malasia selanjutnya adalah iskemia atau hipoksia. Kasusnya lebih banyak terjadi pada orang dibandingkan
dengan pada hewan. Pada orang, kejadian ini biasanya terjadi pasca obstruksi vaskuler (stroke). Satu contoh
pada hewan yang menunjukan terjadinya malasia akibat iskemia/hipoksia adalah embolisme fibro-kartilagenus
yang kadang-kadang ditemukan pada korda spinalis anjing dan babi.

10
Gambar XX. Kasus fraktur vertebral pada seekor anjing. Korda spinalis tergencet oleh kolumna spinalis. Jika
lokasi jejas adalah area servikal dari korda spinalis, maka hewan akan tidak bisa berjalan (tidak bisa
menggerakkan semua kaki). Jika terjadi pada area thoraco‐lumbar, maka anjing ini masih bisa menggunakan
kaki-kaki depannya, namun tidak kaki-kaki belakang.

Gambar XXX. Serebrum Sapi yang mengalami nekrosis laminar kortikal (polioensefalomalasia) akibat
defisiensi thiamin. Dibeberapa area substansia grisea tampak sangat tipis, terfragmentasi, mengalami
perlunakan dan agak kuning keabuan. Ada formasi cleft (multifokal) di perbatasan substansia grisea dan alba,
dimana substansia grisea tampak terpisah dari substansia alba dibawahnya. Dengan teknik pencahayaan
ultraviolet pada otak segar, tampak area dengan autofluorescence jelas.

2) Degenerasi Wallerian
Terminologi ini merujuk pada hilangnya axon dan lapisan myelinnya. Ini adalah suatu proes yang terjadi ketika
suatu serabut syaraf terpotong atau tergencet, dimana bagian dari axon terpisah dari sel-sel bodi neuron
sehingga mengalami degenerasi dibagian distal dari titik yang mengalami cedera. Degenerasi Wallerian bisa
terjadi pada syaraf pusat maupun syaraf tepi. Degenerasi yang terjadi di bagian distalis dari lokasi cedera
suatu axon ini biasanya terjadi dalam waktu antara 24–36 jam dari saat cedera. Sebelum mengalami
degenerasi, axon distalis umumnya masih tetap mengalami rangsangan elektrik. Namun pasca cedera,
skeletal axonal mengalami disintegrasi dan membrannya robek. Degenerasi ini disebut juga dengan istilah
degenerasi anterograde atau orthograde. Ada proses serupa yang disebut dengan “degenerasi menyerupai
Wallerian” pada banyak penyakit neuro-degeneratif, terutama pada neuron dengan gangguan transport
axonal. Kejadiannya dianggap sebagai suatu proses yang non-spesifik untuk membersihkan jaringan axonal
yang mati. Kondisi ini bisa diamati pada trauma dan beberapa kondisi toksik atau viral.

Degenerasi Wallerian diawali dengan pembengkakan axon dan myelin. Axon akan terlihat seperti spheroid,
sedangkan myelin terlihat seperti ellipsoid berisi myelinoclast. Axon dan myelin ini kemudian akan hancur dan
debrisnya akan dimakan oleh sel – sel gitter (fagosit). Jika sel bodi masih utuh, maka kesembuhan bisa terjadi
dengan terbentuknya bibit axon baru yang mengalami remyelinasi. Serabut syaraf neurolemma tidak ikut
mengalami degenerasi dan tetap sebagai “tabung panjang” atau a hollow tube. Pada orang, dalam waktu

11
empat hari dari saat cedera, serabut syaraf yang ada dibagian proximal dari yang mengalami degenerasi akan
mengalami germinasi, memproduksi bibit atau sprouts yang akan ditarik kearah tabung oleh faktor penumbuh
(growth factors) yang dihasilkan oleh sel-sel Schwann yang ada di dalam tabung. Sprouts tumbuh dan
berkembang di dalam tabung dengan kecepatan 1 mm per hari, sampai akhirnya menginervasi jaringan
target. Jika sprouts tak dapat mencapai tabung, misalnya akibat gap yang terlalu lebar atau sudah terbentuk
jaringan parut, maka pembedahan perlu dilakukan untuk membantu sprouts mencapai tabung. Regenerasi
jenis ini jauh lebih lambat pada korda spinalis dibanding syaraf tepi. Perbedaan krusialnya, pada syaraf pusat,
termasuk korda spinalis, selaput myelin diproduksi oleh oligodendrosit; bukan oleh sel-sel Schwann.

Pada korda spinalis, degenerasi Wallerian terjadi dibagian distal dari jejas, seperti pada kasus – kasus
penyakit cakram intervertebralis (intervertebral disc disease) pada anjing, sindroma Wobbler pada kuda,
abses spinal dan axonopathy Friesian pada sapi. Spheroids akibat pembekakan axonal bisa juga terjadi tanpa
degenerasi Wallerian. Ini terlihat pada penyakit-penyakit yang hanya meliputi axon (hanya menyisakan lapisan
myelin saja). Kondisi axonopathi ini meliputi distrofi neuro-axonal bawaan (inherited neuroaxonal dystrophies)
dan axonopathy segmental yang sering ditemukan pada domba merino.

3) Demyelinasi
Dalam kasus ini, hanya lapisan myelin yang rusak/hilang. Axonnya masih utuh. Pada kejadian ini, axon
terserang umumnya bisa bertahan beberapa saat, namun velositas konduksinya berkurang hebat. Pada
beberapa kejadian, remyelinasi bisa terjadi. Kejadian demyelinasi lebih jarang dibandingkan dengan
degenerasi Wallerian. Demyelinasi bisa terjadi akibat toksik, infeksi virus atau reaksi otoimun. Pedet yang
penderita arthrogryposis bisa nampak mengalami demyelinasi pada korda spinalis ventral tract motorik.
Namun, pengamatan lebih seksama menunjukkan adanya kehilangan neuron-neuron motorik yang disertai
dengan dismyelinasi.

4) Perubahan Spons (Spongy change)

Implikasi vakuolasi pada sistem syaraf pusat akan berbeda berdasarkan lokasi kejadiannya (apakah di
substansia alba atau substansia grisea?). Perubahan spons di substansia alba terjadi akibat udem pada
selaput myelin, seperti terlihat pada intoksikasi oligodendrosit. Beberapa contohnya adalah penyakit bawaan
yang disebut dengan maple syrup urine disease pada pedet, overdosis pemberian rafoxanide (seperti pada
aplikasi closantel untuk cacing barbers pole dan fluke pada domba dan kambing), ensefalopati hepatik, serta
beberapa keracunan tumbuhan (misalnya yang mengandung pyrrolizidine alkaloid, heliotrope, pattersons
curse dan fireweed). Kebutaan acapkali merupakan tanda utama udem dan kompresi syaraf optik di foramen
optik.
12
Perubahan spons di substansia grisea terlihat pada kelompok penyakit yang disebut spongiform
encephalopathies. Ini adalah penyakit-penyakit yang berkembang lambat, fatal, menular dengan masa
inkubasi sangat lama. Agen yang bertanggung jawab sangat unik, berukuran non-antigenik dan subviral,
namun mampu melakukan replikasi.

Diagnosis bergantung pada histopatologi. Ensefalopati spongiform pada hewan adalah penyakit eksotik,
namun Scrapie (bentuk ovine) tersebar luas di banyak negara. Di Inggris, bovine spongiform encephalopathy
(BSE) memiliki signifikansi ekonomi sejak kemunculannya pada tahun 1986, dan terbukti zoonosis 10 tahun
kemudian. Program surveilans transmissible spongyform encephalopathy membutuhkan pemusnahan domba
dengan klinis pruritis dan ternak dengan penyakit neurologis sentral. Ini adalah satu-satunya cara agar suatu
negeri bebas dari penyakit ini.

B. Radang

1. Udem (Busung)
Seperti halnya pada jaringan lain, udem umumnya mengawali terjadinya proses radang pada sistem syaraf
pusat. Kejadian ini umumnya terlihat pasca trauma, infeksi akut,dan pada beberapa kasus intoksikasi.
Udem signifikan bagi sistem syaraf pusat karena dua alasan. Pertama, sistem syaraf pusat (otak dan korda
spinalis) terbungkus tulang, sehingga fleksibilitasnya (misalnya untuk membesar) sangat terbatas. Kedua,
pada sistem syaraf pusat tidak ada pembuluh limfatik, sehingga pengaliran cairan udem menjadi sangat
lambat.

Udem pada sistem syaraf pusat merupakan ancaman hebat bagi hidup seekor hewan, akibat kompresi dan
nekrosis iskemik jaringan terserang. Mengurangi tingkat kompresi adalah hal mendasar yang harus dilakukan
oleh seorang dokter hewan ketika mengobati penyakit sistem syaraf pusat akut.

Contoh udem lokal bisa dilihat pada korda spinalis yang cedera akibat trauma. Jaringan terserang akan
mengalami nekrosis iskemik. Klinis yang muncul umumnya berupa paralisis. Pada kasus ini, trauma tidak
secara langsung menyebabkan cedera pada korda, tetapi, kejadian pasca trauma (udem) yang menyebabkan
paralisis.

Kejadian udem difusa sering terjadi pada otak. Penyebabnya adalah intoksikasi dan hipoksia hebat.
Dampaknya bisa berupa nekrosis pada seluruh kortek cerebral. Pada kasus yang sangat berat, bisa diikuti
dengan herniasi (protrusi) cerebellum melalui foramen magnum. Tanda klinis yang muncul bisa berupa

13
pingsan (stupor), kebutaan kortikal, kepala selalu tertunduk (head pressing), dan papillodema (pembekakan
cakram optik mata).

2. Pola-pola radang pada sistem syaraf pusat


Seperti halnya banyak kejadian penyakit pada sistem syaraf pusat, jejas makro tidak selalu nyata pada kasus
radang. Oleh karena itu, diagnosis radang pada sistem ini mesti dikukuhkan dengan pemeriksaan
mikroskopik. Proses radang yang paling umum ditemukan pada sistem syaraf bisa dikategorikan menjadi tiga.
Pertama adalah radang supuratif yang biasanya disebabkan oleh agen bakteri. Kedua adalah radang non-
supuratif, biasanya disebabkan oleh agen viral, serta radang granuloma, biasanya disebabkan oleh protozoa,
jamur, parasit, serta idiopatik.

Radang supuratif
Radang supuratif adalah radang dengan karakteristik adanya nanah atau pus. Pada sistem syaraf pusat,
radang jenis ini biasanya ditemukan dalam bentuk meningitis atau abses. Deteksi radang jenis ini secara
makro membutuhkan ketelitian ekstra. Nanah mungkin terdapat pada lokasi yang relatif dalam (pada sulci),
atau bahkan telah mengalami gravitasi sehingga ada di area basal otak. Ventrikel dan pleksus koroid bisa
juga radang bersamaan dengan meningen.

Kecuali jika abses berkontak dengan meningen, maka jaringan ikat fibrosa tidak berperan dalam membatasi
(sebagai dinding) abses dimaksud (perlu diingat bahwa hanya dura mater yang terdiri dari jaringan ikat
fibrosa). Hal ini disebabkan karena sel-sel astroglia tidak membentuk kolagen. Tugas sebagai dinding abses
sepenuhnya dilakukan oleh proliferasi astroglia yang ada disekitar lokasi. Ini adalah proses yang sangat
lambat, dan cenderung disertai “kebocoran” yang akan memperberat udem lokal yang terjadi sebelumnya.

Kejadian infeksi bakteri pada sistem syaraf pusat (meningitis atau abses) cukup sering pada hewan muda dan
biasanya terjadi melalui aliran darah (hematogen). Sumber infeksi bervariasi, misalnya mengikuti infeksi
umbilikus, pneumonia, serta dampak dari proses penandaan (tagging/marking). Patogen spesifik penyebab
meningitis atau abses juga ada, misalnya Streptococcus suis yang umumnya menyerang babi-babi muda.
Dalam konteks ini, meningitis umumnya bersamaan dengan terjadinya gangguan pada sinovial persendian
dan/atau permukaan serosa visceral (poliserositis). Kadang-kadang, bakteri menginvasi sistem syaraf pusat
melalui ekstensi langsung dari luka didekatnya. Ini sering terjadi, misalnya, pasca aduan domba, dimana
infeksi masuk ke sinus frontalis.

Radang supuratif pada sistem syaraf pusat acapkali bersifat fatal. Penyelamatan hanya bisa terjadi jika hewan
mendapatkan pengobatan dini dan infeksi masih bersifat lokal. Komplikasi sering terjadi, baik berupa

14
penyebaran infeksi melalui cairan cerebrospinal atau pembendungan (blockage) aliran keluar cairan
cerebrospinal oleh eksudat yang berujung pada hidrocephalus.

Pola unik radang supuratif terjadi pada ruminansia akibat infeksi Listeria monocytogenes. Organisme ini
memproduksi mikroabses di parenkim batang otak (bacterial encephalitis) dengan manifestasi klinis penyakit
vestibular sentral.

Radang non-supuratif
Radang ini didominasi oleh infiltrasi limfosit yang biasanya menjadi indikasi infeksi virus. Radang non-supuratif
biasanya berlokasi di parenkim. Jadi gambaran encephalitis atau encephalomyelitis akan lebih dominan
dibanding meningitis. Perubahan makroskopis umumnya tak jelas, namun secara mikroskopis, akan ada dua
temuan penting yaitu perivascular cuffing dan badan-badan inklusi. Perivascular cuffing adalah akumulasi
limfosit disekitar pembuluh darah, yang juga mengindikasikan adanya respons imun spesifik. Badan-badan
inklusi bisa bisa ditemukan di neuron atau sel-sel glia, yang mengindikasikan adanya infeksi virus tertentu
seperti canine distemper dan rabies (badan Negri intra-sitoplasmik), serta pseudorabies atau penyakit
Audjeskys (badan inklusi intra-nuklear akibat virus Herpes..

Temuan lain bisa berupa kehilangan myelin akibat cederanya oligodendroglia atau kerusakan axon akibat
cederanya sel body. Pada canine distemper dan caprine arthritis-encephalitis, kehilangan myelin terjadi
sangat berat dan kemungkinan melibatkan serangan imunologik, gliosis (proliferasi sel-sel glia membentuk
parut glia atau glial scar) serta kemunculan sel-sel fagositik untuk memakan neuron yang telah mati oleh virus.

Radang granuloma
Radang granuloma yang terjadi di sistem syaraf pusat pada hakekatnya tidak berbeda dengan radang sejenis
di jaringan lain. Jejas pada parenkim akan didominasi oleh makrofag. Jamur adalah penyebab paling sering.
Salah satu contohnya adalah encephalitis granulomatosa akibat infeksi jamur Cryptococcus neoformans pada
kucing. Pada anjing ada satu kondisi patologik pada sistem syaraf pusat yang relatif sering terjadi. Kondisi
tersebut dikenal dengan nama granulomatous meningo-encephalo-myelitis (GME). Etiologinya belum
diketahui, dan acapkali tanpa perubahan makroskopik yang nyata.

Protozoa seperti Toxoplasma atau Neospora dapat menginfeksi sistem syaraf pusat, menimbulkan jejas kecil
seperti granuloma. Pemeriksaan cairan cerebrospinal akan sangat membantu dalam peneguhan diagnosis
penyakit sistem syaraf pusat, dengan mengamati jenis-jenis sel yang ada dan kemungkinan terlihatnya
organisme penyebab.

15
Neuritis kadang-kadang ditemukan sebagai jejas primer. Ini terlihat, misalnya, pada kasus cauda equina
neuritis pada kuda dan poliradiculoneuritis pada anjing. Infiltratnya biasanya berupa sel-sel mononuklear yang
disertai dengan degenerasi Wallerian.

C. Malformasi
Seperti halnya organ lainnya, malformasi sistem syaraf pusat bisa terjadi secara genetik atau akibat terpapar
faktor teratogenik pada fase embrio. Contoh beberapa faktor teratogenik dimaksud adalah obat-obatan, toksin
tanaman, virus, hipoksia, hyperthermia dll. Struktur tubuh yang berkembang cepat biasanya lebih peka terhadap
kerusakan yang terjadi saat in utero. Dengan kata lain, keparahan malformasi tergantung dari struktur apa yang
berkembang di saat embrio terpapar pada suatu faktor teratogenik. Ilustrasi tentang hal ini bisa diamati pada
sekelompok sapi non-imun pada berbagai stadium kebuntingan yang terpapar virus akabane. Kelahiran pedet
yang terjadi pada bulan-bulan selanjutnya akan menunjukkan malformasi dengan berbagai tingkat keparahan.
Sapi yang terpapar di saat periode akhir masa kebuntingan akan melahirkan pedet dengan ensefalitis ringan. Sapi
yang terpapar di pertengahan periode kebuntingan (120-160 hari) akan melahirkan pedet dengan jejas
arthrogryposis (akibat kehilangan neuron motoris di korda spinalis). Pedet seperti ini kebanyakan membutuhkan
bantuan saat dilahirkan. Pedet yang terlahir dari induk yang terpapar pada akhir trimester pertama (80-105 hari)
akan mengalami porencephaly atau hydranencepahly.

Beberapa bentuk malformasi yang sering diamati pada hewan adalah hipoplasia, hydrocephalus, defek tabung
syaraf, defek myelinasi, dan defek biokimia.
1. Hypoplasia:
Kerusakan sel-sel germinal (germ) dapat menyebabkan terbentuknya struktur berukuran lebih kecil dari
normal (hipoplastik). Contohnya adalah penyakit pada otak dengan jejas displasia cerebellar akibat infeksi
parvovirus pada kucing dan pestivirus pada sapi. Tingkat keparahan jejas akan bervariasi dari aplasia hingga
hypoplasia.

2. Hydrocephalus:
Kondisi ini bisa bersifat kongenital atau dapatan. Hydrocephalus kongenital terjadi ketika ada kerusakan pada
sel-sel germinal dinding ventrikel cerebralis (sel-sel sub-ependymal). Pertumbuhan jaringan gagal terjadi dan
ventrikel melebar karena cairan cerebrospinal. Hydrocephalus kongenital yang ekstrem sulit dibedakan
dengan hydranencephaly (otak diganti oleh kantung-kantung berisi cairan). Hewan dengan hydrocephalus
kongenital umumnya memiliki kepala depan (dahi) yang menonjol (domed forehead), seperti pada anjing
Chihuhua. Pedet penderita hydranencephaly tidak menunjukkan penampakan domed forehead kecuali jejas
dimaksud disertai dengan hydrocephalus akibat tersumbatnya aliran keluar cairan cerebrospinal.

16
Hydrocephalus dapatan menunjukkan adanya sumbatan pada aliran keluar CSF; choroid plexus terus
menghasilkan CSF namun kegagalan cairan mengalir keluar menyebabkan peningkatan tekanan di ventrikel
secara gradual, hingga akhirnya berujung pada terjadinya nekrosis tekanan (pressure nekrosis) pada jaringan
sekitar serta ekspansi/pembesaran ventrikel.

3. Defek tabung syaraf (neural tube):


Ini meliputi abnormalitas fusi midline dorsal dan acapkali berkomponen penyebab genetik. Akibatnya adalah
terjadi celah memanjang (longitudinal gap) pada bagian dorsal meningen, dan tergantung keparahannya,
struktur di atasnya seperti tulang, otot dan/atau kulit juga gagal berfusi. Kejadiannya paling sering pada tulang
belakang bagian bawah (misalnya spina bifida). Defek tulang occipital juga pernah dilaporkan. Pada kasus
berat, seperti terpaparnya spinal cord dengan eksternalitas, atau bahkan melewati meningen, maka kejadian
ini disebut dengan meningocoeles. Pada kasus yang lebih ringan mungkin hanya menyebabkan abnormalitas
direksi pertumbuhan rambut/bulu di area midline dorsal, seperti terlihat pada kasus malformasi yang
membentuk “punggung bukit” (ridge) pada Rhodesian Ridgebacks. Spina bifida juga dilaporkan pada banyak
kucing dan British bulldogs yang mengalami caudal vertebral hypoplasia.

4. Defectif myelinasi:
Defek ini biasanya terjadi ketika substansia alba sudah berkembang/terbentuk.Kejadiannya berhubungan
dengan defisiensi copper pada induk domba dan anaknya (swayback/enzootic ataxia), serta infeksi viral. Klinis
meliputi tremor dan ataxia, atau, pada kasus yang lebih berat, arthrogryposis, suatu kondisi dimana atrophy
otot yang tidak memperoleh inervasi syaraf menyebabkan sendi menjadi fixed in hyperflexion.

5. Defek Biokimia:
Contoh terbaik terjadinya defek biokimia pada hewan adalah penyakit-penyakit penyimpanan lisosom atau
lysosomal storage diseases (LSD). Secara alamiah, pada semua sel berinti, enzim-enzim hidrolitik yang ada
di lisosom dalam jumlah besar akan memecah makromolekul sebagai bagian normal dari siklus hidupnya. Jika
aktivitas dari salah satu enzim ini berkurang secara signifikan, maka substrat akan terakumulasi di dalam
lisosom, dan secara bertahap akan mempengaruhi sel-sel lainnya. Semua sel bisa terkena dampak, namun
yang paling peka adalah neuron. Hal ini disebabkan karena neuron umumnya berumur panjang dan tak bisa
diganti jika rusak/mati. Defisiensi enzim pada kasus LSD umumnya bersifat genetik, dan kebanyakan
melibatkan metabolisme polisakarida. Beberapa contoh defisiensi metabolisme polisakaida ini antara lain
alpha mannosidosis (pada sapi Angus, Murray Grey dan Galloway), beta mannodisosis pada kucing, sapi
Saler dan kambing Anglo Nubian, glycogenosis pada sapi Brahman dan Shorthorn, fucosidosis pada anjing
Springer, dll. Penyakit-penyakit ini umumnya merusak fungsi neurologik pada hewan umur muda. Kasus
stillborn pada pedet Galloway juga pernah dilaporkan sebagai akibat dari kondisi ini. Secara mikroskopis,
pada sitoplasma neuron terserang ada granul-granul dari storage material serta vakuola-vakuola. Gambaran
17
ini acapkali juga terdapat pada makrofag jaringan di organ-organ tubuh lainnya. Selain karena faktor genetik,
LSD juga bisa diakibatkan oleh keracunan tanaman tertentu. Contohnya adalah kasus toksisitas swainsonia
yang menyerupai mannosidosis herediter. Bentuk lain “penyimpanan” terjadi pada NCL’s atau neurovisceral
lipofuscinoses dimana material yang tersimpan (storage material) dikira materi proteinaceous dan acapkali
berpendar (fluorescent). NCLs pernah dideskripsikan pada sapi Devon dan domba Merino, namun belum
pernah pada spesies lain.

D. Trauma
Udem adalah bagian dari tanggap vaskuler akut terhadap trauma, dan pencegahan atau penanganan efek
kompresif dari udem adalah fokus utama dalam setiap manajemen kejadian trauma.

1. Otak
Cedera ringan biasanya hanya akan menyebabkan konkusi tanpa disertai dengan jejas morfologik. Konkusi
adalah kehilangan kesadaran (sementara) dan kehilangan aktivitas reflek. Cedera yang lebih berat akan
menyebabkan kontusi (perdarahan) atau bahkan laserasi yang dalam dan resiko infeksi. Formasi
haematoma bisa menyebabkan kompresi fokal yang serius. Trauma akan menyebabkan terbentuknya debris,
yang segera akan difagositosis oleh sel-sel mikroglial. Area yang terliputi biasanya akan segera dipenuhi oleh
formasi jaringan parut astroglia (astroglial scar). Pada jejas yang lebih besar akan ada area yang mengalami
malacia. Sel-sel yang mati akan di fagositosis secara gradual/lambat hingga berujung pada terbentuknya kiste
berisi cairan kekuningan (terwarnai hemosiderin).

2. Korda Spinalis
Udem lokal (dengan segala implikasinya), perdarahan, malacia dan degenerasi Wallerian juga bisa terjadi
pada kasus trauma korda spinalis. Trauma korda akut relatif sering pada hewan jenis kecil akibat tertabrak
kendaraan. Pada ternak umur muda, jejas trauma biasanya terjadi akibat fraktur tulang vertebralis, mengikuti
lokalisasi infeksi-infeksi septikemik (misalnya, E. coli, Salmonella).

Sindroma Wobbler terjadi pada kuda muda jenis thoroughbred dan anjing ras jenis besar. Jejasnya meliputi
malformasi tulang dan/ayau joint laxity pada vertebrae cervicalis. Akibat dari trauma kronis ini adalah
terjadinya deteriorasi progresif pada korda yang secara mikroskopis terlihat sebagai degenerasi Wallerian.

Penyakit intevertebral disc meliputi kalsifikasi dan meningkatnya fragilitas dari disc, yang kemudian akan
menjadi rentan ruptur. Jika ruptur terjadi secara dorsalis, material disc dapat menyebabkan kompresi ringan
atau berat pada korda. Proses ini, dalam bahasa umum disebut dengan istilah ‘slipped disc.’

18
E. Neoplasia
Tumor pada neuron dewasa tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, tumor primer pada otak atau korda spinalis
terdiri dari meningioma, oligodendroglioma, astrocytoma dan tumor yang muncul di ventrikel (papilloma choroid
plexus dan ependymoma). Pada hewan muda, walaupun kasusnya sangat jarang, ada juga tumor yang muncul
dari jaringan embrionik. Sepuluh hingga 20% tumor sistem syaraf pusat tidak terdifferensiasi dengan baik,
sehingga sangat sulit untuk diklasifikasikan. Tumor yang ditemukan pada otak atau korda spinalis bisa juga akibat
metastasis tumor di jaringan tubuh lainnya. Pada lebih-kurang 20% kuda umur tua, lipid granuloma idiopatik bisa
ditemukan pada ventrikel lateral. Jejas ini mirip pertumbuhan tumor, dan tidak menunjukkan tanda klinis berarti.

Neoplasma sistem syaraf pusat acapkali tumbuh dengan lambat, sehingga adanya kompensasi akan
memperlambat munculnya tanda klinis. Tanda klinis yang muncul secara tiba-tiba dan dramatis biasanya terjadi
pada tumor yang menyebabkan atau disertai dengan perdarahan. Tanda – tanda klinis yang paling umum muncul
dari neoplasi intra-kranial adalah kejang-kejang (seizuring) dan manifestasi udem otak. Klinis lokal juga bisa terjadi
(misalnya defisit nervus kranialis) . Paralisis yang terjadi secara bertahap (gradual) umumnya muncul dari
neoplasia yang terjadi pada korda.

Pada syaraf tepi, tumor bisa muncul dari elemen-elemen perineural dan umumnya dikelompokkan sebagai
schwannoma atau neurofibroma. Lokasinya tersering pada plexux brachialis (pada anjing), area sub-kutan peri-
okuler kuda, serta plexus brachialis dan vescera sapi (bovine schwannoma atau neurofibroma).

19
SCRAPIE IN SHEEP & GOATS

Introduction

Scrapie is widespread throughout the world. Scrapie is a degenerative and eventually fatal disease affecting the
central nervous system of sheep & goats. It is a member of a class of diseases called transmissible spongiform
encephalopathies (TSE‘s) and has been present in sheep flocks for well over 200 years.

Control & Incubation


Its control is complicated because the disease has an extremely long incubation period without clinical signs of the
disease. The incubation period is typically between two and five years for animals exposed at or near birth but is
typically longer than five years and may exceed nine years in animals exposed post weaning.
 91% of animals exposed at birth will die before 54 months of age
 100% of animals exposed at birth will die by 67 months
 If an ewe shows no abnormalities by the time she is 4.5 years old, she is less likely to be infected, provided that
the ewe‘s exposure occurred at or near birth.
 Animals that are incubating the disease (and may be shedding the agent) are rarely identified until the onset of
clinical signs.
 The only tissue/fluid that leaves the body of a live animal that has been shown to contain infectious material is the
placenta and birth fluids.

Rams are believed to be of low risk for spreading scrapie because:


1. They do not lamb;
2. Infectious material has not been found in the male reproductive organs or semen
3. Under normal management, rams do not come in contact with young lambs.

Signs
 Weight loss despite retention of appetite (unique to sheep; not goats)
 Behavioral abnormalities ― Itching
 Biting at legs or sides ― Wool pulling
 Motor abnormalities (in coordination) ― Lip smacking
 High-stepping gate (front legs) ― Blindness
 Increased sensitivity to noise/sudden movements―Tremor
 Swaying of back end―Head pressing
 Recumbence (later stages)
 The clinical course of scrapie is usually of significant duration (one to six months).

Treatment: None

20
BOVINE SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY (BSE)

Introduction
BSE is a relatively new disease of cattle. It was first recognised and defined in the United Kingdom in November 1986.
Over the next few years the epidemic grew considerably and affected all parts of the country but to different degrees. It
reached its peak in 1992, when 36,680 cases were confirmed, and since then has shown a steady decline. BSE
occurs in adult animals in both sexes, typically in animals aged five years and more. It is a neurological disease in
which affected animals show signs that include; changes in mental state, abnormalities of posture and movement and
of sensation. The clinical disease usually lasts for several weeks and it is invariably progressive and fatal.

Control & Incubation


Because it appeared that the incubation period of BSE was, on average, 5 years, the infection must have been
introduced in the late 1970s or early 1980s and many cattle had been infected before the epidemic was recognized

The ruminant feed ban


Once the likely cause of the BSE epidemic had been identified, controls were put in place in 1988 to ban the feeding of
ruminant protein to ruminants. Ruminant-derived meat-and-bone-meal (MBM) was still permitted to be fed to pigs and
poultry as these animals were not thought to be susceptible to infection with the BSE agent. This feed ban had a major
effect on the epidemic. The effect was not immediately apparent because of the long incubation period, exposure
generally occurring in young dairy calves but the disease only being manifested, on average, 5 years later. However
by 1992, the measures had impacted on BSE cases and subsequent to that year the numbers of cases have fallen by
about 40% a year on average (see Figure below).

Signs
 Weight loss and condition
 Abnormal behaviour (Nervousness, aggression, teeth grinding, tremor)
 Reduction in milk yield
 Apprehension
 Abnormal gait (ataxia, stiffness, difficulty in rising)

Treatment: None

21
SPONGIFORM ENCEPHALOPATHY IN ZOO RUMINANTS, CATS, AND NON HUMAN PRIMATES

Parallel to the BSE epidemic in cattle beginning in the 1980s, 15 additional species have contracted a spongiform
encephalopathy, virtually tripling the number of animal species known world-wide to develop a TSE naturally. Seven
bovid, 4 felid, and 4 primate species were afflicted with a TSE, primarily in zoological collections in Great Britain but
also in France. At the time of their diagnoses, the geographic and temporal association with BSE suggested possible
links to the epidemic, and further epidemiological and experimental evidence has bolstered this premise. Affected
animals had either consumed cattle-derived protein supplements or were in contact with prion-infected individuals.
Additionally, mice inoculated with brain homogenates from TSE infected kudu, nyala, or domestic cats developed a
spongiform encephalopathy with profiles of histological lesions and incubation periods virtually identical to those seen
with BSE in mice. Moreover, the similar biochemical profiles of the protease-resistant prion protein, PrPSc, in
experimental murine BSE, FSE, and experimental BSE in a macaque supported the hypothesis that these apparently
novel TSEs had the same origin.

The exotic zoo ruminants that died of TSE include greater kudu, eland, nyala, gemsbok, Arabian oryx, a scimitar-
horned oryx, and a bison; all are members of the family Bovidae. Most affected animals had consumed diets that
included ruminant-derived meat and bone meal. The possible exception was greater kudu. Epidemiological studies
initially suggested that kudu developed TSE from exposure to food-borne BSE, but then maintained the infection by
horizontal spread among animals in a manner similar to scrapie and CWD; however, the apparently prolonged
epidemic may have been the product of sustained exposure to BSE-contaminated feed.

Feline spongiform encephalopathy


The prion diseases of non-domestic cats were likely due to ingestion of BSE-infected cattle carcasses. Feline
spongiform encephalopathy has been described in a captive cheetah, puma, an ocelot, and a tiger from zoological
collections in Great Britain.

In addition to the non-domestic felids, 87 domestic cats in Great Britain and sporadic cases in Norway, Northern
Ireland and Liechtenstein have been diagnosed with FSE. All cats were > 2 years old. Clinically, affected cats initially
demonstrated behaviour changes (more timid or aggressive), with subsequent ataxia, hypermetria, and hyperesthesia
to sound and touch.

Histopathology revealed spongiform degeneration in the neuropil of the brain and spinal cord with the most severe
lesions localized to the medial geniculate nucleus of the thalamus and the basal nuclei. A ban on bovine spleen and
CNS tissue in pet foods was initiated in 1990, and all but one of the FSE cases to date occurred in cats born prior to
the ban.

Spongiform encephalopathy in non-human primates


Lemurs and a rhesus macaque from a zoo and three primate facilitiesin France naturally developed TSE in the 1990s.
Primate diets had included meat-meal supplements that were likely contaminated by British beef. Indeed, lemurs
experimentally infected with BSE developed brain lesions that were similar to those seen in naturally infected lemurs.
Additionally, the immunohistochemicalstaining patterns in natural and experimental cases were similar and revealed
PrPSc in tonsil, Peyer's patches, lymph nodes and spleen.

Transmission and epidemiology


Chronic wasting disease (CWD) is the only prion disease known to affect free-ranging wild-life. First recognized as a
clinicalsyndrome of captive mule deer (Odocoileus hemionus) in Colorado in the 1960s, CWD was not diagnosed as a
TSE until 1978, and was diagnosed in captive research deer and captive Rocky Mountain elk (Cervus elaphus nelsoni)
22
in southeastern Wyoming soon thereafter. Beginning in 1981, cases of CWD were diagnosed in free-ranging mule
deer, whitetailed deer (O. virginanus) and Rocky Mountain elk (cervids) on the eastern slope of the Rocky Mountains
and extending out on the plains following river valleys within Colorado and Wyoming.

The origin of CWD in captive or free-ranging deer remains enigmatic. CWD was first diagnosed in Canada's farmed elk
industry in 1996, and in the US elk industry in 1997. More recently, CWD-infected ranched elk have been discovered in
several other states and in Canada and South Korea; these discoveries have heightened international awareness and
concern regarding CWD and other animal TSEs. Prior to 2000, CWD in free-ranging deer was believed to be limited to
a focal geographic region of the US. Unfortunately, in the last two years, CWD has been detected in free-ranging deer
in Wisconsin, Nebraska, South Dakota, New Mexico, and western Colorado, and in Saskatchewan, Canada; the
origins of these recent outbreaks remain under investigation, but in most cases spill-over from infected game farms
seems the most plausible explanation. The appearance of CWD in wild deer presents significant challenges to disease
control or eradication due to the extensive geographic range of North American deer and elk, lack of ante-mortem
diagnostic tests, as well as an inability to rid the environment of potential prion-contaminated excreta.

CWD is naturally transmitted with remarkable efficiency. Estimates of CWD-infected deer revealed a prevalence of 1–
15% within a defined endemic region in northeastern Colorado and southeastern Wyoming. The efficiency of CWD
transmission was also evident in a captive mule deer herd, wherein 90% of animals (n = 60) resident for 2 years or
longer developed CWD between 1970 and 1981. The original source of infection was not determined, but these
animals had not been fed meat and bone meal. The mechanism of CWD agent shedding and natural transmission
among free-ranging herbivores is unknown. Epidemiological studies of natural disease suggest horizontal spread
potentially via the ingestion of forage or water contaminated by infectious secretions, excretions, or other tissue
source (e.g. placenta or decomposed carcasses), although vertical transmission has not been excluded. The abundant
presence of the pathogenic prion protein, PrPCWD, in alimentary mucosal-associated lymphoid tissues may favour
prion shedding into the environment via faeces or saliva.

Deer with clinical CWD; signs are emaciation, depression, weakness, drooping ears, and vacant stare (a). Brain
histopathology (b) is characterized by neuronal vacuoles and spongiform degeneration of the neuropil.

Transmissible mink encephalopathy


Transmissible mink encephalopathy (TME), initially recognized in Wisconsin and Minnesota in 1947, has sporadically
appeared in farmed mink in several countries where farmed mink are raised, including the US, Canada, Finland,
Russia, and East Germany. Nonetheless, TME outbreaks are rare; the most recent occurrence in the US was in 1985.
Epidemiological studies of outbreaks indicate that the disease is causally linked to the ingestion of prion-contaminated
meat, potentially scrapie sheep. However, in the 1985 TME outbreak in Stetsonville, Wisconsin, the mink rancher
stated with certainty that sheep were not fed to mink. Instead, downer (ill) cattle were the primary source of mink food
– a discovery which has led to much speculation on a potentially unrecognized BSE-like disease of American cattle.
Despite such speculation, the ultimate origins of TME epidemicsremain uncertain. To further investigate potential food-
borne sources of TME, mink were intracerebrally (IC) exposed to UK- and North American-derived sheep scrapie brain
23
homogenates. Mink were highly susceptible to the Suffolk sheep scrapie from the US, but only after IC inoculation.
Mink did not develop disease from ingesting scrapie brain. These studies suggested, at minimum, that mink are
susceptible to scrapie. However, further experiments demonstrated that TME could pass into cattle and, moreover,
that brain from these cattle could transmit the TME agent efficiently to mink by either the IC or the oral route, with an
incubation period of only 4 and 7 months, respectively. This indicates that TSEs can be transmitted efficiently between
cattle and mink, although the epidemiological significance of these findings are less clear. Extensive studies of TME
performed at the University of Wisconsin, Madison have demonstrated experimental transmission to sheep, goats,
striped skunk, squirrel monkey, stump-tailed and rhesusmonkey, and hamster. TME in hamsters presents as two
different clinical pictures with unique incubation periods, histological lesions, and biochemical profiles. The two strains
are referred to as ‘hyper’ and ‘drowsy’, and reflect the manifestations of clinical disease.

Clinical signs
The incubation period of natural TME has been estimated at 7–12 months, based on observations following epizootics.
Initially, infected mink display behavioural changes including increased aggressiveness and hyperesthesia which
progresses to ataxia, occasionally tremors or circling, and compulsive biting of self or objects. Clinical signs usually
progress over weeks but can range from 1 week to several months prior to death.

24

Anda mungkin juga menyukai