Defisiensi Vitamin A
1. Definisi
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit kronik yang ditandai oleh xeroftalmia dan
xerosis kutis. Istilah "xerophthalmia" mengacu pada gangguan atau manifestasi okular karena
kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata yaitu gangguan epitel
konjungtiva dan kornea serta gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan.
2. Patologi
Berdasarkan klasifikasi WHO, tanda kekurangan vitamin A pada mata yaitu buta
senja (XN), xerosis konjuntiva (XIA), bercak Bitot dengan xerosis konjungtiva (XIB),
xerosis kornea ( X2), ulkus kornea/keratomalasia <1/3 permukaan kornea (X3A), ulkus
kornea/keratomalasia ≥ 1/3 permukaan kornea (X3B), fundus xeroftalmia (XF), dan parut
(scar) xeroftalmia (XS).11 XN, X1A, dan X1B biasanya dapat sembuh kembali normal
dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang
harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa berubah menjadi keratomalasia.
X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan
dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).
Pada bayi dan anak, kekurangan vitamin A menyebabkan kulit terlihat kering. Pada
orang dewasa selain kekeringan kulit atau xerosis kutis terlihat penonjolan keratin pada
pangkal rambut. Penonjolan keratin pada folikel rambut ini berupa papu kering, padat,
dan kehitaman, disebut juga “keratotic plug”, atau sumbat keratin. Jika papula ini
dipencet keralan hilang dan meninggalkan loban atau "pit”. Pada muka, erupsi demikian
menyerupai akne, kulitnya kering.
Erupsi berupa papula biasanya mula pada anterolateral paha dan posterola lengan
atas, kemudian meluas ke permukaan ekstensor anggota gerak atas dan bawah, bahu,
abdomen, punggung, bokong, dan akhirnya mengenai muka dan bagian posterior leher.
Tangan dan kaki tidak dikenai dan jarang lesi terdapat pada bagian median tubuh, daerah
aksila, atau anogenital.
Erupsi folikuler tersebut disebut, juga secara klinik, hiperkeratosis folikularis. Pada
mata gejala permulaan adalah rabun senja atau penglihatan kabur dan akhirnya
xeroftalmia dan keratomalasia, yang merupakan gejala patognomonik. Pada pemeriksaan
mata, gejala terdini adalah adaptasi yang lebih lama terhadap gelap. Kadang-kadang
terdapat xerosis yang terbatas pada konjungtiva, later kornea, dan kadang-kadang terdapat
bintik putih (Bitot’s spot). Pada kulit, dapat terjadi kulit seperti kulit katak, "road skin".
(3) Diagnosis
Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah) Keratomalasia dan tukak
kornea dapat berakhir dengan peforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan
membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang
cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus
melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.
Pada defisiensi vitamin A, terjadi pembesaran folikel dan terjadi sumbatan. Pada
mata terjadi pengeringan konjungtiva, karena ada proses keratini- sasi yang disebut
xeroftalmia. Pada kornea terjadi robekan, karena proses keratinisasi yang berakibat
keluarnya cairan "aqueous humor", disebut keratomalasia.
Jadi vitamin A dalam hal ini bekerja sebagai penjaga keutuhan epitel, baik epitel
konjungtiva, kornea maupun kulit.
5. Terapi Obat
Karena vitamin A bersumber dari protein hewani, seperti susu, keju, telur, dan
juga berasal dari provitamin A (alfa dan beta aroten) yang berasal dari sayur-sayuran dan
buah-buahan, pasien dianjurkan me- n makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-
tumbuhan tersebut. Penderita diberi vitamin A dosis tinggi 500.000 IU sehari. Untuk obat
lokal, dapat diberikan salep yang bersifat kera- tolitik. Dengan mengetahui peranan vita-
min A pada proses keratinisasi, orang sering memberikan vitamin A pada penyakit-
penyakit kulit seperti penyakit Darier, pitiriasis rubra pilaris, dan ikhtiosis, meskipun
penyakit ini bukan disebabkan defisiensi vitamin A.
6. Terapi Diet
Pengobatan untuk KVA subklinis meliputi konsumsi makanan kaya vitamin A,
seperti hati, daging sapi, ayam, telur, susu yang diperkaya, wortel, mangga, ubi jalar, dan
sayuran berdaun hijau. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran per hari dianjurkan
untuk menyediakan distribusi komprehensif karotenoid. Berbagai makanan, seperti
sereal, kue, roti, biskut, dan bar sereal gandum, sering diperkaya dengan 10-15% dari
RDA vitamin A.
B. Vitamin E
1. Definisi
Defisiensi atau kekurangan vitamin E dapat menimbulkan anemia pada bayi yang baru
lahir. Kebutuhan akan vitamin E meningkat bersamaan dengan semakin besarnya masukan lemak
tak- jenuh ganda. Asupan minyak mineral, keterpaparan terhadap oksigen (seperti dalam tenda
oksigen ) atau berbagai penyakit yang menyebabkan tidak efisiennya penyerapan lemak akan
menimbulkan defisiensi vitamin E yang menimbulkan gejala neurology.
2. Patologi
a). Etiologi
Bayi baru lahir mempunyai cadangan vitamin E yang relative rendah karena hanya
sejumlah kecil vitamin E yang dapat melalui plasenta. Dengan demikian bayi yang baru
lahir, terutama bayi premature beresiko tinggi untuk mengalami kekurangan vitamin E.
Namun, dengan berjalannya usia, resiko tersebut menurun karena bayi biasanya
mendapatkan cukup vitamin E dari air susu ibu atau susu formula.
b). Patogenesis
Asupan vitamin E kurang pada tubuh maka sel darah merah mudah rusak kemudian
terbelah. Pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sistem otot dan syaraf. Menimbulkan
kesulitan dalam berjalan serta nyeri otot betis. Jika berlanjut memicu kanker dalam tubuh
yang menyerang paru-paru, saluran pencernaan dan payudara.
3. Faktor Penyebab/Resiko
Penyebab kekurangan vitamin E pada manusia jarang terjadi, karena vitamin E terdapat
luas di dalam bahan makanan. Kekurangan biasanya terjadi karena adanya gangguan absorpsi
lemak seperti pada cystic fibrosis dan gangguan transpor lipida seperti pada beta
lioproteinemia. (Sediaoetama, 1997)
Kekurangan vitamin E pada manusia menyebabkan hemolisis eritrosit, yang dapat
diperbaiki dengan pemberian tambahan vitamin E. Akibat lain adalah sindroma neurologik
sehingga terjadi fungsi tidak normal pada sumsum tulang belakang dan retina. Tanda-
tandanya adalah kehilangan koordinasi dan refleks otot, serta gangguan penglihatan dan
berbicara. Vitamin E dapat memperbaiki kelainan ini. (Almatsier, 2006)
Akhir-akhir ini ada kepercayaan berlebihan di masyarakat tentang kemampuan vitamin E,
sehingga vitamin ini banyak digunakan sebagai suplemen. Padahal banyak yang belum
terbukti secara ilmiah tentang penggunaan vitamin E dosis tinggi. Keampuhan vitamin E
sebagai vitamin anti sterilitas atau mencegah keguguran ternyata tidak tebukti pada manusia.
Vitamin E juga ternyata tidak dapat meningkatkan potensi dan kemampuan seksual serta
mencegah penyakit jantung. Vitamin E berupa kapsul juga banyak diiklankan sebagai vitamin
yang mampu mencegah proses penuaan. Seuplementasi di luar jumlah kebutuhan tubuh
ternyata tidak dapt mencegah proses penuaan tersebut. (Almatsier, 2006)
4. Jenis/Macam Hiperbilirubinemia
Ikterus neonatarum atau hiperbilirubinemia pada neonatus sering ditemukan pada
minggu pertama setelah lahir terutama pada bayi kecil (< 2500 gram) dan kurang
bulan (< 37 minggu). Ikterus atau jaundice terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam
darah sehingga kulit, mukosa dan atau sklera bayi tampak kekuningan.
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan
tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dl.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan yang umum terjadi baik pada bayi preterm
maupun aterm. Peningkatan kadar bilirubin >2 mg/dL sering ditemukan pada hari-
hari pertama setelah lahir 60 % dari bayi baru lahir mengalami ikterik (kadar bilirubin
>5 mg/dL). Pada umumnya, peningkatan kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Namun pada beberapa kasus dapat berhubungan dengan
beberapa penyakit, seperti penyakit hemolitik, kelainan metabolik dan endokrin,
kelainan hati, dan infeksi.
Hiperbilirubinemia dapat mengakibatkan kerusakan otak pada neonatus yang
mampu bertahan hidup yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup anak.
Kadar bilirubin bayi baru lahir dipengaruhi oleh usia kehamilan, berat lahir dan
asupan ASI, serta apabila terdapat inkompatibilitas golongan darah, abnormalitas
struktur eritrosit, dan defisiensi enzim G6PD. Hiperbilirubinemia sebagian besar
merupakan bilirubin fisiologis umumnya meningkat sampai melebihi 2 mg/dL pada
hari-hari pertama kehidupan, mencapai puncak rata-rata pada kadar 5-6 mg/dL pada
hari ke 3-4 dan kemudian menurun setelah usia satu minggu pada bayi cukup bulan.
5. Terapi Obat
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen penatalaksanaan bayi dengan
hiperbilirubinemia diarahkan unto mencegah anemia dan membatasi efek dari
hiperbilirubinemia pengobatannya mempunyai tujuan, menghilangkan anemia,
menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitasi, meningkatkan badan serum
albumin dan menurunkan serum bilirubin. Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi,
fototerapi, transfuse pengganti, infuse albumin dan terapi obat.
Fototerapi bekerja memaparkan neonates pada cahaya dengan intensitas tinggi (a bound
of fluorescent light bulbs or bulbs in te blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam
kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi bilirubin tak
terkonjugasi.
6. Terapi Diet
B. VITAMIN K
Defisiensi Vitamin K
1. Definisi
Penyakit perdarahan pada kulit yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K. Defisiensi
vitamin K masih merupakan ancaman kematian dan kesakitan ada bayi-bayi yang tidak
disusui oleh ibunya.
2. Patologi
a. Manifestasi Klinik
b. Diagnosis
Pada Dewasa :
- Gangguan penyerapan karena adanya penyumbatan pada saluran empedu
- Gangguan sintesa dalam usus disebabkan oleh diare
Pada bayi:
- Persediaan vitamin K pada waktu dilahirkan relaif rendah
- Kekurangan bakteri flora dalam usus
- Rendahnya kadar vitamin k dalam colestrum
4. Etiologi
Vitamin K diperlukan pada sintesis protrombin dan faktor pembekuan darah yaitu faktor
II, VII, IX dan X dan kemungkinan juga faktor V di hepar. Jika terdapat defisiensi vitamin
K, akan terjadi perdarahan dimana-mana, termasuk pada kulit.
Defiensi vitamin K dapat terjadi pada kelainan absorpsi lemak di usus, apakah asalnya
hepatik, pankreatik, gastrik atau primer pada usus. Pemberian antibiotik jangka panjang
dapat merusak bakteri usus, dengan akibat defisiensi vitamin K.
5. Terapi Obat
Defisiensi vitamin K dapat diobati dengan pemberian vitamin K oral 3x10 mg sehar
atau per injeksi 10 mg intramukuler. Dan penyakit yang mendasari kekurangan vitamin
K, seperti malabsorpsi, penyaki hati, dan lain-lainnya, harus diatasi.
6. Terapi Diet