Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Perkembangan Fintech dan Fintech Syariah di Indonesia”.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi dan Sejarah Fintech...................................................................... 3
B. Peraturan dan Ketentuan dalam Industri Fintech...................................... 5
C. Peluang dan Ancaman Fintech.................................................................. 6
D. Peran Fintech fi Indonesia......................................................................... 8
E. Risiko di Industri Fintech.......................................................................... 8
F. Alasan Fintech Dapat Berkembang Dengan Pesat di Indonesia............... 8
G. Cakupan Bisnis Fintech di Indonesia........................................................ 9
H. Fintech Syariah........................................................................................ 13
I. Perbedaan Fintech dan Perbankan........................................................... 18
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.............................................................................................. 20
B. Saran........................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi keuangan atau financial technology (fintech), melahirkan berbagai moda baru yang
lebih praktis bagi konsumen dalam mengakses produk dan layanan keuangan. Keberadaan fintech
pun menggugah status quo dan merevolusi cara kerja institusi keuangan tradisional. Jumlah
pengguna internet di Indonesia 132 juta orang, pengguna telpon genggam 371 juta pelanggan,
pengguna aktif media sosial 106 juta orang, dan rata-rata mengakses internet hampir 9 jam
merupakan daya tarik yang sangat besar bagi perkembangan fintech di Indonesia. Sampai dengan
Januari 2017 jumlah masyarakat Indonesia yang berbelanja di e-commerce mencapai 25 juta orang
yaitu 9% dari total populasi. Nilai transaksi mencapai 5,6 milyar dolar AS, padahal rata-rata
pendapatan pengguna e-commerce hanya 228 dolar AS. Bayangkan besaarnya pasar fintech di
tahun 2030 ketika Indonesia menjadi negara terbesar kelima perekonomiannya.
Bisnis startup di Indonesia terus berkembang, salah satu yang kini merajai merupakan sebuah
industri baru financial technology atau biasa disebut Fintech. Fintech bertujuan untuk memudahkan
masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Adapun perusahaan-perusahaan Fintech di Indonesia didominasi
oleh perusahaan-perusahaan startup dengan potensi besar.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah pemain, layanan yang ditawarkan oleh fintech juga
semakin beragam, mulai dari pembayaran, pembiayaan/pinjaman, investasi di pasar modal hingga
asuransi dikemas lebih menarik dengan sentuhan fintech. Pengetahuan, tuntutan, tingkat
kenyamanan dan inklusi keuangan publik pun semakin meningkat. Namun demikian, sebagai
konsekuensi logis dari akses yang lebih terbuka dan opsi yang lebih banyak ini adalah meningkatnya
resiko keamanan dalam bertransaksi.
Innovate Finance & Red Money dalam riset mereka “The Islamic Fintech Landscape 2017”
memperkuat prediksi ini. Setidaknya ada 103 fintech syariah yang tersebar di 24 negara. Dari jumlah
itu, 18 berkantor pusat di Malaysia, 16 di Inggris, 15 di Indonesia, 12 di Uni Emirat Arab, 11 di Amerika
Serikat.
Perkembangan fintech di Indonesia agak berbeda dengan di luar negeri. Fintech syariah di
luar negeri didominasi oleh crowd-funding, yaitu 35%,. Di Indonesia ada 156 fintech konvensional
dan syariah, yang didominasi 56% nya oleh payment, clearing & settlement. Satu fintech syariah di
bidang payment mengembalikan sertifikat syariah nya ke DSN-MUI setelah diakuisisi asing, satu
fintech syariah di bidang yang sama sedang dalam proses perijinan BI. Satu fintech di bidang Peer
to Peer Financing yang telah mendapat ijin OJK dalam proses rekomendasi syariah DSN, dan satu
fintech di bidang yang sama dalam proses perijinan OJK dan rekomendasi DSN.
Tidak dapat dipungkiri lagi jika teknologi digital di sektor finansial atau Fintech memberikan
kenyamanan bagi pengguna dalam bertransaksi. Dengan demikian, bisnis ini terus berkembang tanpa
henti. Munculnya Asosiasi Fintech Indonesia (AFI) pada September 2015 menarik perhatian para
pebisnis. Dengan tujuan menyediakan partner bisnis yang terpercaya dan dapat diandalkan untuk
membangun ekosistem Fintech di Indonesia yang berasal dari perusahaan-perusahaan Indonesia dan
untuk Indonesia sendiri, perusahaan ini sudah menghimpun kurang lebih 30% dari seluruh pengguna
Fintech di Indonesia. Perkembangan pengguna Fintech ini juga terus berkembang, dari awalnya 7%
pada tahun 2006-2007 menjadi 78% pada tahun 2017 ini. Jumlah pengguna tercatat per 2017 adalah
sebanyak 135-140 perusahaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja peluang dan ancaman fintech?
2. Apa saja ketentuan dan peraturan dalam industri fintech?
3. Bagaimana fintech dapat berkembang dengan pesat di Indonesia?
4. Bagaimana fintech syariah di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui peluang dan ancaman fintech.
2. Untuk mengetahui ketentuan dan peraturan dalam industi fintech.
3. Untuk mengetahui alasan fintech dapat berkembang dengan pesat di Indonesia.
4. Untuk mengetahui fintech syariah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul sebuah peluang untuk membuat perusahaan
berbasis online. Misalnya, saja dalam bidang keuangan. Karena ada peluang inilah, perusahaan
Fintech terus bermunculan dengan misi memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan aktivitas
keuangan secara online.
Beberapa perusahaan startup yang sukses layaknya dongeng menjadi kenyataan. Seseorang bisa
sukses hanya dalam waktu yang singkat, serta berkembang menjadi perusahaan multinasional. Hal
ini menjadi salah satu pendorong para generasi muda untuk juga meraih impiannya melalui industri
Fintech. Mengapa Fintech? Karena Fintech masih tergolong baru, sehingga masih ada peluang tinggi
dalam memasukinya dan menjadi sukses di dalamnya.
Karena baru sedikit peraturan yang melingkupinya, industry Fintech kerap dianggap fleksibel dan
tidak kaku dibandingkan dengan bisnis konvensional. Oleh karena itu, industri ini menjadi lahan yang
tepat bagi para pebisnis muda yang ingin menyalurkan kreativitasnya dalam berbisnis.
Usaha Fintech menggunakan teknologi, software dan big data. Selain itu, Fintech juga menggunakan
data dari media sosial. Data-data tersebut dapat dijadikan bagian dari analisis risiko.
H. Fintech Syariah
Tahun lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi FinTech yaitu
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka
melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem
elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Meskipun belum ada peraturan khusus untuk FinTech syariah, namun beberapa startup
sudah mulai bermunculan. Kira-kira peraturan untuk FinTech syariah berbunyi seperti ini:
“Layanan Jual Beli/Kemitraan/Pembiayaan/Sewa Menyewa Syariah” Berbasis Teknologi
Informasi. Layanan penyelenggaraan layanan jasa keuangan syariah ini untuk mempertemukan
penjual/mitra/pemilik modal/pemilik aset dengan pembeli/mitra/pekerja/penyewa dalam rangka
melakukan jual beli/kemitraan/pembiayaan/sewa menyewa secara syariah dalam mata uang rupiah
secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan peraturan PBI 18/40/PBI/2016 tanggal 14
November 2016 tentang penyelanggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Hingga saat ini
belum juga ada definisi secara syariah, namun peraturan ini kira–kira berbunyi: peraturan
penyelanggaraan pemrosesan transaksi pembayaran yang mengikuti prinsip syariah.
Startup/instansi yang menawarkan jasa FinTech baik itu yang bergerak di “lending”
maupun “sistem pembayaran” terlebih dahulu membuat badan hukum sebagai payung usahanya
yang kemudian mendaftarkannya ke OJK atau BI. Badan hukum bisa berbentuk Perseroan
Terbatas atau Koperasi.
Startup merupakan sebuah legal entity yang harus menyusun laporan keuangan sebagai
bentuk pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan. Startup juga harus memiliki tata
kelola yang baik untuk menjamin keberlangsungan usahanya di masa depan. Audit juga
merupakan keniscayaan bagi lembaga yang memiliki badan hukum dimana layanan transaksi
berbasis elektronik rentan terhadap kecurangan dan penyimpangan dalam penggunaan data.
Dewan Standar Akuntansi Syariah – Ikatan Akuntan Indonesia selalu merujuk ke fatwa
Dewan Syariah Nasional –Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebelum mengeluarkan standar –
standar akuntansi. Dari tahun 2000 hingga saat ini sudah dikeluarkan 109 fatwa keuangan syariah
dan dengan kehadiran bisnis FinTech berbasis syariah, ada fatwa – fatwa baru yang akan
bermunculan, misalnya fatwa e-Money. Seterusnya perlakuan dan ruang lingkup akuntansi perlu
disesuaikan, namun hingga saat ini belum ada pembahasan terkait akuntansi untuk startup.
Skema FinTech syariah ada beberapa macam, yang cukup dikenal adalah yang memiliki
platform Peer to Peer (P2P) dan crowdfunding. Perlakuan akuntansi untuk startup syariah
tergantung kepada skema dan akad yang digunakan.
Berikut adalah contoh usulan perlakuan akuntansi untuk Mudharabah Fintech di tahap awal
transaksi. Investor (Shahibul Maal) menyetujui dan memberikan investasi modal pembiayaan
Mudharabah kepada Pengelola (Mudharib) melalui kampanye startup dengan perkiraan nisbah
bagi hasil yang sudah ditampilkan. Akad antara investor dengan startup menggunakan wakalah bil
ujroh. Pada saat Investor menyepakati pemberian modal maka dana ditransfer melalui rekening
titipan/escrow/virtual account, dan investor mengakuinya sebagai Dana Investasi Mudharabah.
Jurnal yang dicatat oleh investor adalah: Dana Investasi Mudharabah pada Kas dan dari sisi startup
dana diakui sebagai titipan dengan jurnal Kas pada Dana Titipan. Begitu juga di sisi Mudharib,
ketika menerima dana dari investor melalui startup, maka jurnalnya adalah Dana Syirkah
Temporer pada sisi kredit.
Adapun salah satu usulan perlakuan akuntansi untuk Waqaf FinTech adalah sebagai
berikut. Waqif (orang yang berwaqaf) menyetujui untuk menyalurkan dana waqaf kepada Nadzir
melalui startup, maka akad antara Waqif dengan startup adalah wakalah bil ujroh. Ketika Waqif
menyalurkan dana wakaf melalui rekening titipan/escrow/virtual account, Waqif mengakui
adanya penyaluran dana waqaf. Di sisi startup mengakui sebagai Titipan Dana Waqaf sampai dana
ditransfer ke Nadzir. Di sisi Nadzir, ketika menerima dana waqaf maka diakui sebagai Kas pada
Penerimaan Dana Waqaf, yang mana Penerimaan Dana Waqaf dilaporkan pada laporan terpisah
khusus Laporan Penerimaan dan Penyaluran Dana Waqaf.
Audit. Dalam hal audit, peranan audit elektronik (Electronic Data Process - EDP) akan
makin penting ketika digitalisasi dalam proses bisnis makin dominan. OJK mewajibkan
penyelenggaraan FinTech untuk menyediakan rekam jejak audit (audit trail) terhadap seluruh
kegiatannya di dalam sistem elektronik berbasis teknologi informasi. Rekam jejak audit berguna
untuk pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian dan
pemeriksaan lainnya.
Dari sisi tata kelola, startup harus memperhatikan hal ini. Selain wajib diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah, sebuah startup syariah wajib menyusun system tata kelola yang baik salah
satunya mempunyai lima prinsip yaitu: Transparency, Accountability, Responsibility,
Independence dan Fairness (disingkat TARIF).
Pertama, transparansi. Informasi yang disediakan oleh startup harus memenuhi
karakteristik informasi yang baik yaitu akurat, relevan, memadai, real time, jelas dan mudah
diakses oleh pemangku kepentingan. Namun startup harus tetap memperhatikan kerahasiaan data
yang bersifat pribadi, data transaksi dan data keuangan.
Kedua, akuntabilitas. Startup harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan adil kepada pemangku kepentingan. Bentuk pertanggungjawaban berupa laporan
secara berkala kepada OJK atau BI dalam bentuk laporan keuangan dan laporan penyelenggaraan
layanan berbasis elektronik.
Ketiga, responsibilitas. Startup juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan memenuhi ketentuan bisnis syariah, juga bertanggung jawab terhadap lingkungan dan
masyarakat. Untuk mewujudkan tanggung jawab terhadap pemangku kepentingan, startup juga
harus memiliki tim yang ahli di bidang teknologi informasi, akuntansi syariah, serta administrasi
dan manajemen syariah.
Keempat, independen. Startup harus bebas dari kepentingan pihak tertentu sehingga
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara objektif. Benturan kepentingan juga dapat
mengancam prinsip dasar etika bisnis syariah.
Kelima, kewajaran dan kesetaraan. Setiap individu yang berminat untuk bertransaksi
dengan startup memiliki kesamaan dalam hak, perlakuan dan kesempatan. Startup harus
bersifat tawazun(seimbang/adil) dalam memberikan layanan, tidak mengurang hak pemangku
kepentingan.
Etika melalui sistem elektronik harus tetap ditaati yaitu diantaranya adalah jujur, adil,
amanah, dan ihsan. Jujur karena startup harus mampu menjaga kerahasiaan data pemangku
kepentingan. Adil diperlukan karena startup harus memperhatikan semua pemangku kepentingan,
dan amanah karena startup harus mengedepankan tanggung jawab, tidak ada konflik kepentingan
ketika menjalankan tugas. Terakhir, ihsan karena startup juga harus mengedepankan konsep
berbagi bukan berlomba – lomba hanya untuk mencari keuntungan.
Terakhir, untuk memastikan tujuan startup syariah bukan hanya untuk komersial semata
tetapi juga untuk tujuan sosial, maka dari itu, para startup harus menyisihkan sebagian keuntungan
untuk kegiatan sosial. Bahkan sebaiknya startup syariah diwajibkan untuk membuat crowdfunding
zakat, infaq, shadaqah, waqaf sebagai baktinya kepada lingkungan sekitar.
Diharapkan semakin banyaknya startup syariah dapat menjangkau masyarakat Indonesia
lebih banyak lagi yang diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam praktik bisnis syariah,
bersinergi membangun ekonomi Indonesia.
Thomas Philippon, peneliti National Bureau for Economic Research, dalam risetnya “The
Fintech Opportunity” mengingatkan otoritas moneter, otoritas jasa keuangan, dan tentunya DSN-
MUI sebagai otoritas fatwa juga dapat mengambil pelajaran untuk antisipasi perkembangan
fintech, bahwa regulasi yang ada harus segera disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
Salah satu contoh yang sempat ramai di Indonesia adalah pengaturan biaya maksimal
transaksi top up uang elektronik. Rapat Pleno DSN-MUI baru saja menyetujui Fatwa Uang
Elektronik Syariah yang salah satunya mengatur hal tersebut.
Perbedaan penting yang menjadi keunikan Uang Elektronik Syariah ini adalah nilai uang
tidak boleh hilang walaupun kartunya hilang. Implikasi dari ketentuan fatwa ini ada dua. Pertama,
Uang Elektronik Syariah harus teregistrasi sehingga prinsip Know Your Customer terpenuhi
sekaligus mengurangi risiko penyalah-gunaan. Kedua, data pemegang kartu dan nilai uangnya
tersimpan di server sehingga nilainya terjaga.
Perbedaan lain yang sifatnya minor adalah biaya transaksi top-up dan tarik tunai “on us”
yaitu di perangkat milik penerbit tidak dikenakan biaya. Sedangkan “off us” yaitu di perangkat
bukan milik penerbit dapat dikenakan biaya.
Uang elektronik syariah menggunakan akad wadiah yang sifatnya titipan sehingga tidak
boleh digunakan oleh penerbit kecuali dengan ijin pemilik dana. Jumlah dana float yaitu dana
titipan yang belum digunakan oleh pemilik dana dibatasi jumlah maksimalnya. Bila dana ini
dengan ijin pemiliknya digunakan oleh penerbit, maka diberlakukan akad qard.
Yang menarik dalam prakteknya ternyata ada tiga pihak yang terlibat. Pertama, penerbit
Uang Elektronik sebagai pihak yang menerima wadiah atau qard. Kedua, pemegang kartu sebagai
pemilik dana yang memberikan wadiah atau qard. Ketiga, merchant yaitu penjual barang dan jasa
yang menerima pembayaraan dari pemegang kartu. Jadi, penerbit bukanlah pihak yang sama
dengan penjual barang dan jasa. Dalam prakteknya merchant inilah yang memberikan diskon atau
promosi kepada pemegang kartu, bukan penerbit yang memberikan diskon, promosi atau manfaat
lainnya.
Dengan perubahan jaman, DSN-MUI sebagai otoritas fatwa melakukan antisipasi dengan
ketentuan syariah yang tepat dan benar dengan mengkaji mendalam praktek yang terjadi. Tanpa
memahami benar prakteknya, dapat saja fatwa nya tidak tepat meskipun dalil nya benar.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Fintech adalah salah satu bentuk penerapan teknologi informasi di bidang keuangan.
Fintech syariah sendiri peraturannya tertuang dalam OJK dan DSN-MUI yang memperbolehkan
transaksi bemuamalah dengan sistem fintech syariah tersebut.
Fintech di Indonesia berkembang dengan sangat pesat namun belum banyaknya orang yang
mengetahui tentang fintech itu sendiri. Begitu pula dengan fintech syariahnya. Kurangnya
pemahaman terhadap masyarakat mengenai fintech membuat industri ini kurang dapat menguasai
pasar. Pemahaman masyarakat yang berpikir bahwa fintech sama seperti perbankan membuat
masyarakat itu sendiri lebih memilih tetap berada di perbankan dari pada mencoba layanan yang
baru di industri fintech.
B. Saran
Sebaiknya industri fintech melakukan promosi yang lebih kepada masyarakat baik itu
fintech atau pun fintech syariah agar mereka memahami apa itu fintech dan apa saja yang dapat
dilakukan dengan fintech sehingga secara merata masyarakat dapat menggunakan fintech dengan
baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.finansialku.com/apa-itu-industri-financial-technology-fintech-indonesia/
http://nofieiman.com/wp-content/images/financial-technology-lembaga-keuangan.pdf
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/17/10/28/oyhmnw396-di-balik-
fintech- syariah
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/15/131816426/fintech-syariah-dan-keuangan-
keluarga-kita