Anda di halaman 1dari 145

PENELITIAN SKRIPSI

PERAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA ( WALHI )


DALAM UPAYA PENCETUSAN KEBIJAKAN MORATORIUM
LOGGING TERHADAP HUTAN INDONESIA

( Studi Pada LSM WALHI-Sumatera Utara )

D
I
S
U
S
U
N
OLEH

ANDRI IRFANI
040906052

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS


ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Rasanya, tiada untaian kata yang patut penulis haturkan untuk mengungkapkan

rasa terima kasih penulis yang begitu besar kepada Allah S.W.T. Yang mana, karena

atas izin dan karunia Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan skrisipsi ini dengan

baik.

Skripsi yang penulis susun ini pada dasarnya membahas tentang peran WALHI

dalam pencetusan kebijakan moratorium logging di Indonesia. Adapun dilakukannya

pencetusan kebijakan moratorium logging ini adalah merupakan wujud dari keprihatinan

WALHI terhadap kondisi hutan Indonesia yang terus mengalami penyusutan dan

kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hal yang tidak terlepas oleh ulah masyarakat

Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, dengan alasan untuk memahami lebih dalam

tentang konsep kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut,

maka penulis tertarik untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian skripsi.

Adapun skr ipsi yang penulis susun ini adalah dalam rangka untuk memenuhi

dan melengkapi segala syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara

Meski penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi

ini, namun penulis sadar bahwasannya, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis berharap agar mendapatkan kritik dan saran dari rekan-rekan yang membaca

skripsi ini demi tercapainya kesempurnaan yang penulis harapkan dari skripsi ini. Dan

akhirnya, kepada Nya jualah kita berserah diri. Semoga, skripsi yang penulis susun ini

dapat menjadi salah satu wujud bakti dan amal penulis kepada nusa dan bangsa.Indonesia.

Medan, Oktober 2009


Penulis
Andri Irfani

i Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

v
ABSTRAKSI.......................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1

I.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

I.2 Perumusan Masalah.................................................................................. 17

I.3 Pembatasan Masalah ................................................................................ 18

I.4 Tujuan Penelitian...................................................................................... 18

I.5 Manfaat Penelitian.................................................................................... 19

I.6 Kerangka Teori ......................................................................................... 19

I.6.1 Demokrasi ....................................................................................... 19

I.6.2 Masyarakat Sipil (Civil Society) .................................................... 21

I.6.3 Kelompok Penekan (Pressure Group) ............................................ 23

I.6.3.1 Penentuan Kelompok Penekan ................................................. 24

I.6.3.2 Berbagai Jenis Kelompok Penekan .......................................... 26

I.6.3.3 Kelompok-Kelompok Penekan Lainnya .................................. 26

I.6.4 Kebijakan Publik .............................................................................. 28

I.6.4.1 Sifat-Sifat Kebijakan Publik ..................................................... 29

ii
Universitas Sumatera Utara
I.6.4.2 Tahapan-Tahapan Kebijakan Publik ........................................ 30

I.7 Metode Penelitian 33


.....................................................................................
I.7.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 34

I.7.2 Lokasi Penelitian ............................................................................. 35

I.7.3 Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 35

I.7.4 Teknik Analisis Data....................................................................... 36

I.8 Sistematika Penulisan............................................................................... 36

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ............................................ 37

II.1 Sejarah Berdirinya WALHI .................................................................... 37

II.1.1 Masa Perkembangan WALHI ....................................................... 40

II.1.2 Pluralitas WALHI .......................................................................... 43

II.2 Profil WALHI Sumtera Utara................................................................. 45

II.2.1 Visi, Misi, dan Peran WALHI Sumatera Utara............................. 47

II.2.2 Nilai-Nilai Dasar WALHI Sumatera Utara ................................... 48

II.2.3 Kelembagaan dan Sistem Pengambilan Keputusan ...................... 49

II.2.4 Dewan Daerah dan Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara... 49

II.3 Statuta WALHI ....................................................................................... 50

BAB III : ANALISIS DATA ............................................................................. 54

III.1 Kebijakan Moratorium Logging............................................................ 54

III.1.1 Sejarah Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging .................. 54

iii

Universitas Sumatera Utara


III.1.2 Konsep dan Tujuan Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging 55

III.2 Tahapan-Tahapan Kebijakan Moratorium Logging ............................. 60

III.3 Keuntungan Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging .......... 64

III.4 Kerugian Bila Tidak Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging 65

III.5 Upaya-Upaya yang Dilakukan WALHI Dalam Menyosialisasikan


Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging......................................... 66

BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 77

IV.1 Kesimpulan ............................................................................................ 77

IV.2 Saran ...................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 81

iv
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI

Hutan memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan
manusia. Beberapa diantara yaitu sebagai plasma nuftah, sebagai habitat flora dan
fauna, mengatur tata air dan sebagainya. Indonesia dikenal memiliki hutan yang cukup
luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia setelah Brazil dan Zaire.
Pada tahun 1950
Departemen Kehutanan RI mempublikasikan luas hutan Indonesia adalah 162,0 juta
hektar. Masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan
Indonesia tersebut, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu, baik
itu kebutuhan kayu untuk industri, untuk membangun rumah dan berbagai macam
kebutuhan lainnya. Oleh karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap
hutan tersebut, maka mau tidak mau hutan Indonesia harus dieksploitasi/ditebang.
Namun, eksploitasi yang dilakukan terhadap hutan Indonesia ini, ternyata tidak disertai
dengan kontrol dan pengawasan yang baik oleh para pelaku kehutanan khususnya
pemerintah. Akhirnya hutan Indonesia ditebang secara besar-besaran dan tak terkendali.
Dan akibatnya, dari tahun ke tahun luas hutan Indonesia terus mengalami penyusutan yang
sangat drastis. Pada publikasi terakhir oleh Departemen Kehutanan RI tahun 2005, luas
hutan Indonesia hanya tinggal
93,92 juta hektar.

Akibat dari penyusutan yang terjadi pada hutan Indonesia tersebut jelas akan
menimbulkan dampak yang buruk terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri seperti
halnya bencana banjir bandang. Hal itu dapat terjadi karena, dengan menyusutnya hutan
Indonesia tersebut, mengakibatkan hutan Indonesia tidak mampu lagi menjalankan
salah satu fungsinya yaitu sebagai penahan laju air hujan yang turun dari dataran
yang tinggi. Akhirnya terjadilah banjir bandang yang mengakibatkan banyak korban yang
tidak lain adalah masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan khususnya hutan,


WALHI pun berupaya mencarikan solusi dalam mengatasi kondisi hutan Indonesia
tersebut. Adapun solusi yang dicarikan WALHI tersebut dengan merancang dan
mencetuskan
tersebut, sebuah
disebut konsep
dengan istilah ataupun rumusan
kebijakan berupalogging
moratorium kebijakan yang tebang
atau jeda akan
terhadap
hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI
adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI,
kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk
mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan
dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk
memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium
logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan
kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging
tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.
Kata Kunci : WALHI, Hutan Indonesia, Kebijakan Moratorium
Logging
v

Universitas Sumatera Utara


ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun
konsep kebijakan

tersebut, disebut dengan istilah kebijakan moratorium logging atau jeda tebang
terhadap
hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI
adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI,
kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk
mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan
dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk
memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium
logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan
kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging
tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.
Kata Kunci : WALHI, Hutan Indonesia, Kebijakan Moratorium
Logging
v

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAKSI

Hutan memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan
manusia. Beberapa diantara yaitu sebagai plasma nuftah, sebagai habitat flora dan
fauna, mengatur tata air dan sebagainya. Indonesia dikenal memiliki hutan yang cukup
luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia setelah Brazil dan Zaire.
Pada tahun 1950
Departemen Kehutanan RI mempublikasikan luas hutan Indonesia adalah 162,0 juta
hektar. Masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan
Indonesia tersebut, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu, baik
itu kebutuhan kayu untuk industri, untuk membangun rumah dan berbagai macam
kebutuhan lainnya. Oleh karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap
hutan tersebut, maka mau tidak mau hutan Indonesia harus dieksploitasi/ditebang.
Namun, eksploitasi yang dilakukan terhadap hutan Indonesia ini, ternyata tidak disertai
dengan kontrol dan pengawasan yang baik oleh para pelaku kehutanan khususnya
pemerintah. Akhirnya hutan Indonesia ditebang secara besar-besaran dan tak terkendali.
Dan akibatnya, dari tahun ke tahun luas hutan Indonesia terus mengalami penyusutan yang
sangat drastis. Pada publikasi terakhir oleh Departemen Kehutanan RI tahun 2005, luas
hutan Indonesia hanya tinggal
93,92 juta hektar.

Akibat dari penyusutan yang terjadi pada hutan Indonesia tersebut jelas akan
menimbulkan dampak yang buruk terhadap masyarakat Indonesia itu sendiri seperti
halnya bencana banjir bandang. Hal itu dapat terjadi karena, dengan menyusutnya hutan
Indonesia tersebut, mengakibatkan hutan Indonesia tidak mampu lagi menjalankan
salah satu fungsinya yaitu sebagai penahan laju air hujan yang turun dari dataran
yang tinggi. Akhirnya terjadilah banjir bandang yang mengakibatkan banyak korban yang
tidak lain adalah masyarakat Indonesia itu sendiri.

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan khususnya hutan,


WALHI pun berupaya mencarikan solusi dalam mengatasi kondisi hutan Indonesia
tersebut. Adapun solusi yang dicarikan WALHI tersebut dengan merancang dan
mencetuskan
tersebut, sebuah
disebut konsep
dengan istilah ataupun rumusan
kebijakan berupalogging
moratorium kebijakan yang tebang
atau jeda akan
terhadap
hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI
adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI,
kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk
mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan
dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk
memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium
logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan
kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging
tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.
Kata Kunci : WALHI, Hutan Indonesia, Kebijakan Moratorium
Logging
v

Universitas Sumatera Utara


ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun
konsep kebijakan

tersebut, disebut dengan istilah kebijakan moratorium logging atau jeda tebang
terhadap
hutan Indonesia. Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI
adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Menurut WALHI,
kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI ini, cukup efektif untuk
mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan Indonesia, apabila diterapkan
dengan baik. Oleh karena itu, WALHI melakukan berbagai upaya untuk
memperkenalkan dan menyosialisasikan pencetusan konsep kebijakan moratorium
logging tersebut kepada masyarakat Indonesia agar dapat bersama-sama menyerukan
kepada pemerintah Indonesia agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging
tersebut, agar penyusutan hutan Indonesia dapat segera teratasi.
Kata Kunci : WALHI, Hutan Indonesia, Kebijakan Moratorium
Logging
v

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan yang terbesar di dunia.

Predikat ini jelas menjadi kebanggaan dan kekuatan tersendiri bagi Indonesia secara

verbal. Negara Indonesia secara umum terbagi atas 5 pulau besar, diantaranya yaitu

pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Irian, pulau Sulawesi dan pulau Kalimantan.

Bila dilihat dari segi sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam

yang sangat besar, dan salah satunya adalah hutan.

Pada dasarnya, hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan yang lazim

dijumpai didaerah tropis, subtropis, didataran rendah maupun pegunungan, bahkan

di daerah kering sekalipun. Secara umum, hutan didefinisikan sebagai sebuah

kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat dan lebat beserta tumbuh-tumbuhan

1
memanjat dengan aneka ragam jenis yang berperan penting bagi kehidupan dibumi.

Secara sederhana ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi

2
yang didominasi oleh kumpulan pohon-pohonan tanaman keras. Hutan adalah bentuk

kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan,

terutama pepohonan atau

tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

1
Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001, hal 11
2
Ibid, hal 12

Universitas Sumatera Utara


Bila dilihat dari segi fungsi ataupun manfaat, hutan memiliki fungsi dan manfaat

yang bersifat global dan sangat penting bagi kehidupan dibumi. Adapun beberapa fungsi

3
hutan tersebut diantaranya yaitu

1. Sebagai Pelestarian Plasma Nuftah

Plasma nuftah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan

dimasa depan, terutama dibidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri.

Pengusaannya merupakan keuntungan komparatif yang sangat besar bagi Indonesia

dimasa depan. Oleh karena itu, plasma nuftah perlu terus dilestarikan dan

dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekargaman hayati.

2. Sebagai Penahan dan Penyaring Partikel Padat Dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh

kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan, partikel padat yang

tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon

melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang dipermukaan

bumi sebagian akan terjerap pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu

dan yang mempunyai permukaan kasar dan sebagian lagi akan terserap masuk ke

dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon,

cabang dan ranting. Dengan demikian hutan menyaring udara menjadi lebih bersih

dan sehat.

3. Sebagai Penyerap Partikel Timbal

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama yang mencemari udara

didaerah perkotaan. Diperkirakan, sekitar 60-70% dari partikel timbal diudara

perkotaan berasal

Universitas Sumatera Utara


3
Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta : Djambatan, 2003, hal 77

Universitas Sumatera Utara


dari kendaraan bermotor. Hutan dengan keanekaragaman tumbuhan yang

terkandung didalamnya mempunyai kemampuan menurunkan timbal dari udara

tersebut.

4. Dapat Mengurangi Bahaya Hujan Asam

Pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak negatif hujan asam melalui

proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi.

5. Sebagai Penyerap Karbon Dioksida dan Penghasil Oksigen

Hutan merupakan penyerap gas CO 2 yang cukup penting, selain dari

fitoplankton, ganggang dan rumput laut di Samudera. Cahaya matahari akan

dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik dihutan kota, hutan alami, tanaman

pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas

CO 2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian proses ini menjadi

sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan serta akan mengurangi akibat dari efek

rumah kaca. Dilain pihak, proses ini akan menghasilkan gas oksigen yang sangat

diperlukan

oleh manusia dan hewan.

6. Dapat Mengatasi Penggenangan Air

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman

yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata yang

banyak pula.

7. Dapat Mengatasi Intrusi Air Laut dan Abrasi

Hutan berupa formasi hutan mangrove dapat bekerja meredam gempuran

ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur dipantai. Dengan demikian

hutan selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam

Universitas Sumatera Utara


proses pembentukan daratan.

Universitas Sumatera Utara


8. Sebagai Ameliorasi Iklim

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada

saat siang hari tidak terlalu panas, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat

karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik dari bumi.

9. Pelestarian Air Tanah

Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan

tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah dan hanya sedikit yang

menjadi air limpasan. Dengan demikian pelestarian hutan pada daerah air akan dapat

membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik.

10. Sebagai sumber bahan-bahan produk eksraksi seperti kayu bakar, serat, buah, dan

lain- lain.

11. Sebagai perlindungan terhadap berbagai jenis flora dan fauna.

12. Dan sebagai produksi kayu atas dasar system produksi yang lestari.

Definisi hutan menurut pemerintah Indonesia, secara khusus tercantum didalam

Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

4
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan dalam pengertian pemerintah Indonesia ini memiliki 4 unsur yang menjadi

ciri-ciri dari hutan tersebut. Adapun 4 unsur dari ciri-ciri hutan tersebut yaitu : (1)

Unsur

4
Pasal 1 ayat 2 UU No.41/1999 tentang Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
lapangan yang cukup (minimal ¼ hektar), (2) Unsur pohon (kayu, bambu, palem), (3)
5
Unsur lingkungan dan (4) Unsur penetapan pemerintah.

Dalam UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, pemerintah Indonesia membagi

hutan menjadi 4 jenis, yaitu berdasarkan : (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus

dan, (4) pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air. Dan adapun penjelasan

dan

klasifikasi atas jenis-jenis hutan tersebut diatas yaitu :

1. Jenis hutan berdasarkan statusnya

Jenis hutan berdasarkan statusnya adalah merupakan suatu pembagian hutan yang

didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang

melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut (pasal

UU No.41/1999). Adapun jenis hutan berdasarkan statusnya tersebut, dibagi menjadi

dua yaitu :

a. Hutan Negara yaitu hutan yang tidak dibebani hak-hak atas tanah.

Kualifikasi hutan Negara terdiri atas :

- Hutan Adat yaitu hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan

kepada masyarakat hukum adat yang sebelumnya disebut juga hutan ulayat.

- Hutan Desa yaitu hutan Negara yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

- Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan Negara yang pemanfaatan

utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.

b. Hutan Hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah di bebani hak atas tanah.

Yang disebut dengan hak atas tanah antara lain ; hak milik, hak guna usaha, hak

Universitas Sumatera Utara


5
IGM Nurdjana, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta : 2005, hal 36

Universitas Sumatera Utara


guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut

6
hasil hutan, hak gadai, hak bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa pertanian.

2. Jenis hutan berdasarkan fugsinya

Jenis hutan berdasarkan fungsinya merupakan penggolongan hutan yang

didasarkan pada penggunaannya (pasal 6 dan 7 UU No.41/1999). Adapun jenis hutan

berdasarkan fungsinya tersebut, dibagi menjadi lima yaitu :

a. Hutan Konservasi yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai

fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya.

b. Hutan Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata

air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

c. Hutan Produksi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan.

d. Hutan Suaka Alam yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik

didarat maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan

pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga

berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

e. Taman Wisata alam yaitu kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan

untuk pariwisata dan rekreasi alam

3. Jenis hutan berdasarkan tujuan khususnya

6
Penjelasan UU No.41/1999 tentang Kehutanan, paragraf ke-10
Universitas Sumatera Utara
Jenis hutan berdasarkan tujuan khususnya merupakan penggo longan hutan

yang diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti; penelitian

dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya

(diatur dalam pasal 8 UU No.41/1999)

4. Jenis hutan berdasarkan kepentingan iklim mikro, estetika, dan resapan air

Jenis hutan berdasarkan kepentingan iklim mikro, estetika, dan resapan air

merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai hutan kota (diatur dalam pasal 9 UU

No.41/1999).

Di dalam hutan Indonesia, hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang juga

merupakan bagian dari spesies tumbuhan dan hewan yang ada didunia. Adapun

diantaranya yaitu : 38.000 jenis tumbuhan (10% dari jumlah jenis flora di dunia), 515

jenis mamalia (12% dari jumlah jenis mamalia di dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari

jumlah jenis reptil di dunia), 1531 jenis burung (17% dari jumlah total jenis burung di

7
dunia), 270 jenis amphibi, 2827 jenis avertebrata atau hewan tak bertulang belakang.

Hutan Indonesia sangat luas, bahkan merupakan hutan yang terluas ketiga didunia

8
setelah Brazil dan Zaire. Berdasarkan data resmi yang pertama kali dipublikasikan

oleh Departemen Kehutanan RI pada tahun 1950, bahwa luas hutan Indonesia adalah

9
162,0 juta hektar. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah ukuran luas hutan

Indonesia tersebut tidak dapat bertahan lama. Dari tahun ke tahun jumlah ukuran luas

hutan Indonesia yang dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan RI pada tahun 1950

tersebut terus berkurang dan mengalami penyusutan dan kerusakan dimana keadaan ini

sering juga disebut dengan

istilah deforestasi.

7
Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogayakarta
: Gadjah Mada University Press, 2001, hal 23
Universitas Sumatera Utara
8
Karden Eddy Sontang Manik, Op Cit, hal 74
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan ( 3 Maret 2009 )

Universitas Sumatera Utara


Deforestasi hutan Indonesia ini tampak pada saat tahun 1980 dimana Departemen

Kehutanan RI kembali mempublikasikan luas hutan Indonesia tersebut dengan

jumlah yang sangat jauh berkurang yaitu sekitar 142 juta hektar, lalu pada tahun 1992,

dipublikasikan lagi dengan jumlah ukuran yang terus berkurang yaitu hanya tinggal

sekitar

118,7 juta hektar, lalu pada tahun 1995 luas hutan Indonesia dipublikasikan lagi oleh

Departemen Kehutanan RI yaitu hanya tinggal 111,7 juta hektar, lalu pada tahun 2003,

ukuran luas hutan Indonesia tersebut kembali dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan

RI yaitu hanya tinggal sekitar 110,0 juta, dan publikasi terakhir oleh Departemen

Kehutanan RI, dilakukan pada tahun 2005 yaitu luas hutan Indonesia hanya tinggal

93,92
10
juta hektar. Adapun kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar
yang

dipublikasikan pada tahun 2005 tersebut terbagi diberbagai wilayah di Indonesia yaitu

sebagai berikut : Papua (32,36 juta ha), lalu Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65

juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09

juta
11
ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).

Menanggapi hal ini, tentunya membuat resah seluruh masyarakat Indonesia dan

khusunya para pemerhati lingkungan baik perseorangan ataupun lembaga. Salah satunya

yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM ) Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia

(WALHI).

Sebagai lembaga yang sangat concern terhadap lingkungan, WALHI merasa

kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus karena, semakin lama akan semakin

mengancam eksistensi dan membuat kualitas ataupun kuantitas hutan Indonesia tersebut

Universitas Sumatera Utara


menjadi menurun. Yang pada akhirnya membuat hutan Indonesia tersebut tidak

bisa

menjalankan fungsi dan manfaatnya dengan baik. Dan hal ini disadari atau tidak pada

10
Ibid
11
Ibid

Universitas Sumatera Utara


akhirnya akan menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat Indonesia itu

sendiri. Oleh karena itu, menurut WALHI, pemerintah harus segera bertindak cepat dan

harus segera menghentikan semua kegiatan yang menjadi penyebab dari berkurang

atau menyusutnya jumlah hutan tersebut.

Menurut WALHI, terjadinya deforestasi terhadap jumlah ukuran luas hutan

Indonesia ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti misalnya terjadinya penebangan hutan

12
secara besar-besaran dan tak terkendali. Menurut WALHI, penebangan hutan

Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap,

dimana masyarakat Indonesia melakukan penebangan hutan secara manual. Lalu,

penebangan hutan dalam skala besar dimulai pada tahun 1970, lalu dilanjutkan lagi

dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri, seperti halnya Hak

Pengusahaan Hutan (HPH) di tahun 1990, dan sejak di keluar peraturan HPH inilah hutan

Indonesia terus berkurang dengan cepat. Bank Dunia, memperkirakan luas penyusutan

hutan dalam tahun 1970-an sekitar 300.000 hektar pertahun, lalu pada tahun 1980-an naik

menjadi 800.000 hektar, lalu dalam tahun 1990-an luas penyusutan hutan Indonesia

meningkat lagi menjadi 1juta hektar dan dalam tahun 2000-an meningkat lagi menjadi

13
1,3 juta hektar pertahun.

Adapun terjadinya penebangan hutan Indonesia secara besar-besaran dan tak

terkendali ini adalah merupakan implikasi dari semakin tingginya kebutuhan masyarakat

Indonesia yang bersumber dari hutan tersebut, seperti misalnya kebutuhan terhadap

persediaan kayu, baik itu kayu untuk kebutuhan pembangunan rumah, untuk memenuhi

kebutuhan industri dan sebagainya. Dampak dari tingginya permintaan terhadap

kebutuhan kayu tersebut, maka terciptalah kesenjangan antara persediaan dan

permintaan

12
http:// www. walhi .or.id ( diakses pada tanggal 3 Maret 2009
)
Universitas Sumatera Utara
13
Otto Soemarwoto, Op Cit, hal 31

Universitas Sumatera Utara


(supply and demand) terhadap kayu dipasaran. Keadaan ini akhirnya mendorong

masyarakat Indonesia, baik secara individu maupun kelompok ataupun lembaga

melakukan eksploitasi terhadap hasil hutan dan melakukan penebangan kayu secara

besar- besaran. Para pelaku industri perkayuan seperti hal nya pemegang izin

konsesi HPH meningkatkan kapasitas hasil produksi kayunya dengan paksa. Setiap tahun

hutan Indonesia ditebang melebihi kapasitas pasokannya kayunya pertahun, yaitu

rata-rata sekitar 96,19 juta meter kubik/tahun, yang mana menurut WALHI,

sebenarnya hutan

Indonesia hanya mampu memasok kayu bulat sekitar 46,77 juta meter kubik
setiap

Universitas Sumatera Utara


14
tahunnya. Ironisnya lagi, untuk memenuhi permintaan pasar terhadap kayu tersebut,

hutan Indonesia juga ditebang secara tak terkendali atau secara liar atau sering disebut

dengan istilah praktek illegal logging.

Secara harfiah, definisi dari illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan

dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak

mempunyai izin dari pihak yang berwenang/pemerintah sehingga dianggap tidak sah

atau

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai suatu

perbuatan yang merusak hutan. Praktek illegal logging ini pada umumnya dilakukan
15

oleh oknum-oknum yang sebenarnya memiliki izin resmi dari pemerintah Indonesia

untuk melakukan penebangan terhadap hutan Indonesia, seperti halnya pemegang izin

konsesi HPH seperti yang telah disebut diatas. Namun, bila dirinci lagi, pelaku illegal

logging ini sebenarnya merupakan suatu kelompok yang teroganisir. Maksudnya adalah,

pelaku yang terlibat dalam praktek illegal logging ini tidak hanya pemegang izin

penebangan hutan

atau HPH tersebut, namun termasuk juga buruh penebang kayu, pemilik modal,
pembeli,

14
http://www.walhi .or.id, Loc Cit
15
IGM. Nurdjana, Op Cit, hal. 15

Universitas Sumatera Utara


penjual, maupun backing dari oknum aparat pemerintah dan TNI/Polri dan oknum tokoh
16
masyarakat.

Seperti yang telah diuraikan diatas, adapun hal yang memotivasi para pemegang

HPH ini untuk melakukan praktek illegal logging tersebut adalah karena tingginya

permintaan pasar terhadap kayu, seperti halnya untuk memenuhi kebutuhan industri pulp

and paper, yang secara tidak langsung telah menciptakan kesenjangan antara supply and

demand. Sehingga, untuk memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap kayu di

Indonesia tersebut, para pemegang izin HPH ini sering dengan sengaja melakukan

penebangan hutan diluar kapasitas konsesi izin HPH yang mereka miliki seperti halnya

yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena tindakan penebangan hutan

yang dilakukan diluar konsesi izin HPH yang telah ditetap pemerintah tersebut, maka

terjadilah

apa yang disebut dengan praktek illegal logging.

Menurut dokumen resmi pemerintah, HPH-HPH tersebut menghasilkan kayu

bulat rata-rata 20,4 juta meter kubik per tahun. Tetapi, hasil analisis pengamat dan

investigasi- olah data aktivis lingkungan diyakini sesungguhnya angka riil pembalakan

17
oleh HPH dua kali lipat dari angka di dalam dokumen resmi tersebut.

Salah satu contoh kasus illegal logging yang dilakukan melalui modus

penyalahgunaan izin HPH ini adalah kasus illegal logging yang dilakukan oleh

pemilik izin HPH bernama Adelin Lis. Adelin Lis adalah pemilik izin HPH yang

berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Melalui PT Keang Nam

Development

Indonesia (KNDI), Adelin Lis mengantongi izin HPH dari Menteri Kehutanan RI yang
dikeluarka Areal konsesi izin
n pada HPH yang dimiliki
tahun Adelin Lis ini
18
1999.

16
Ibid, hal.
101
17
http://
www. walhi .
or.id, Loc
Cit
18
Ibid
luasnya mencapai 58.590 hektar yang terletak di Kecamatan Muara Batang Natal,

Mandailing Natal Sumatera Utara. Akan tetapi, sejak tahun 2000 sampai dengan

tahun

2005, ternyata Adelin Lis melalui PT KNDI lakukan penebangan di luar areal konsesi

izin HPH yang dimilikinya. Dan atas perbuatannya ini, saat ini Adelin Lis dinyatakan

telah melakukan praktek illegal logging.

Praktek illegal logging ini merupakan salah satu penyebab penting terjadinya

penyusutan dan berkurang nya luas hutan Indonesia. Secara kumulatif, menurut WALHI,

terhitung sejak tahun 1990 hingga tahun 2007, hutan Indonesia yang ditebang

secara illegal rata-rata mencapai puluhan juta meter kubik setiap tahunnya, yaitu 30,18

19
juta meter kubik setiap tahunnya.

Sistem penebangan hutan melalui izin HPH, walaupun resmi, sebenarnya juga

merupakan salah satu penyebab berkurangnya hutan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh

luas hutan Indonesia yang dijadikan sebagai lahan konsesi HPH terlalu luas, yaitu sejak

dibentuk pada tahun 1990 hingga tahun 2000-an, sekitar 62 juta hektar hutan

20
dialokasikan sebagai lahan atas 585 izin HPH. Jelas hal ini sangat mengancan

eksistensi dan kuantitas

hutan Indonesia.

Adapun definisi dari HPH ini adalah izin yang diberikan pemerintah Indonesia

21
untuk melakukan pembalakan hutan secara mekanis diatas hutan alam Indonesia.

Tujuan dari dibuatnya aturan HPH itu sendiri adalah untuk menunjang pengembangan

industri hasil hutan dalam negeri demi meningkatkan nilai tambah dan devisa,

meningkatkan

produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan
19
Ibid
20
Ibid
21
Pasal 1 PP No 7/1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
22
lapangan usaha. Penebangan hutan melalui sistem HPH ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

(HPHTI).

Namun, tujuan dari dibentuknya aturan HPH tersebut tidak dijalankan dengan

baik oleh pengusaha-pengusaha HPH tersebut. Mereka hanya mengejar keuntungan

materi saja. Persayaratan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur pengusahaan hutan

tidak mereka laksanakan sehingga kayu hutan dibabat habis tanpa tebang pilih dan tidak

dilakukannya penananam kembali terhadap lahan yang telah habis ditebang. Hal ini

dapat terjadi disebabkan antara lain kurangnya pengawasan, mentalitas dan integritas

pengawas yang

bobrok, pengusaha kurang bertanggung jawab, dan pengusaha tidak peduli lingkungan.

Adapun penyebab lain terjadinya deforestasi hutan tersebut adalah disebabkan oleh

sistem perladangan berpindah. Sistem ini dilakukan oleh penduduk yang tinggal
23

dikawasan atau dipinggir hutan. Pertanian yang mereka lakukan masih sederhana yaitu

dengan cara menebang pohon dan setelah kering dibakar. Tanah tidak diolah, tetapi

langsung ditanami. Lahan hutan yang telah ditebang ini hanya dimanfaatkan 3-4

tahun saja dan kemudian ditinggalkan. Selanjutnya, mereka membuka lahan hutan baru

yang caranya sama dengan sebelumnya. Demikian seterusnya dan biasanya setelah

setelah 6-12 tahun (4 kali berpindah garapan) mereka kembali ke lokasi yang yang

dibuka pertama. Sebetulnya, sistem perladangan berpindah tidak berdampak negatif

terhadap lingkungan karena luas yang dibuka tidak terlalu besar, sekitar 2-3 hektar.

Tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai mereka kenal,

maka luas hutan yang dibuka

makin luas dan waktu tanah untuk ditanami juga semakin


singkat.
22
Arifin Arief, Op Cit, hal 21-22
23
Karden Eddy Sontang Manik, Op Cit, hal 78
Sebenarnya masih banyak lagi penyebab terjadinya deforestasi terhadap

hutan Indonesia tersebut. Namun, apapun bentuknya , kompleksnya penyebab

terjadinya deforestasi terhadap hutan Indonesia seperti yang telah diuraikan diatas,

sebenarnya tidak akan terjadi bila manajemen perlindungan hutan Indonesia yang

telah dirancang pemerintah Indonesia diterapkan dengan baik. Karena, setidaknya telah

ada tiga instrumen perundangan-undangan yang mengakomodir, mengatur dan

melindungi sektor kehutanan di Indonesia tersebut. Seperti misalnya UU No. 5/1990

Tentang Konservasi Sumber Daya Alam, khususnya terdapat pada pasal 19, 21, 22,

dan 33, yang mencatat pelarangan- pelarangan yakni; menebang tumbuhan yang

dilindungi, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi, zona inti dan zona lainnya

dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, mengangkut

kayu yang tidak sesuai dengan ketentuannya,

menyimpan-memiliki dan atau memperdagangkan tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Lalu UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat pada pasal 15 dan

pasal 18, yang juga mencatatkan hal yang berhubungan dengan pelarangan

terhadap upaya-upaya perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perorangan

maupun kelompok. Usaha-usaha yang berdampak besar kepada penghancuran lingkungan

hidup tanpa memiliki analisa dampak lingkungan (pasal 15), tidak memiliki/memperoleh

izin usaha (usaha-usaha yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup) yang

diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan (pasal 18),

dan UU No

41/1999 tentang Kehutanan, pada pasal 50 menyebutkan beberapa hal yang

berkaitan dengan pelarangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya hutan antara

lain : menebang tanpa izin, menebang dekat sumber air (waduk), menebang tidak sesuai

izin, menebang dikawasan lindung dan taman nasional, membunuh satwa dan pohon

yang dilindungi, menyelundupkan kayu, memproses kayu illegal, menyuap petugas


kehutanan, gagal bayar dana reboisasi.
Namun sangat disayangkan, dalam implementasinya ketiga perangkat hukum ini

sepertinya tidak dijalankan secara intensif oleh para pelaku kebijakan dan terkesan lemah

dalam memberantas perusakan hutan ataupun illegal logging karena, secara hukum

undang-undang tersebut tidak mampu membuktikan pelaku utamanya. Justru yang sering

dijerat hukum adalah buruh penebang dan pemilik jasa angkut an yang dibayar oleh

pelaku utama atau aktor intelektualnya.

Manajemen hutan di Indonesia juga telah lama dijangkiti oleh korupsi. Aparat

pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa

reputasi baik dan politisi licik. Ini berarti larangan penebangan hutan secara liar tidak

dijalankan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang

dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah

ditimpakan. Sungguh mengheran jika mendengar berita di media, cukong illegal

logging di vonis bebas oleh pengadilan atau pelaku lapangan perambahan hutan dijatuhi

hukuman sepuluh tahun penjara.

Cerita terjadinya penyusutan dan terus berkurangnya hutan Indonesia memang

bukan lagi hal yang baru. Bahkan, hal tersebut telah banyak menimbulkan

bencana ekologi, seperti misalnya banjir, tanah longsor, perubahan iklim yang tak

menentu, kebakaran dan kekeringan. Hal ini jelas merupakan dampak dari penyusutan

dan terus berkurang hutan Indonesia tersebut, yang mengakibatkan hutan Indonesia

tidak dapat menjalankan fungsi dan manfaat nya secara maksimal. Ilmuwan diberbagai

belahan dunia telah membukt ikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan

bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman

hayati, timbulnya
24
kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global.

Dan tentunya, hal ini juga berpengaruh terhadap ekonomi dunia khusunya Indonesia

seperti halnya ungkapan seorang ekonom dari Harvard University, Amerika Serikat

yaitu Jeffrey

Sachs yang mengatakan bahwa :

“Hampir semua krisis yang melanda dan mempengaruhi ekonomi dunia pada

25
hakikatnya berasal dari masalah lingkungan.”

Menurut WALHI, pada tahun 2006 saja, terjadi 59 kali bencana banjir dan

longsor yang memakan korban jiwa 1.250 orang, merusak 36 ribu rumah dan
26
menggagalkan panen di 136 ribu hektar lahan pertanian. Dan WALHI mencatat

kerugian langsung dan tak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor tersebut,

rata-rata mencapai Rp 20,57 triliun setiap tahunnya atau setara dengan 2,94% dari APBN
27
2006.

Masalah pokok yang sangat memprihatinkan tersebut diatas, menjadi judul besar

penghancuran hutan di Indonesia. LSM yang menyangkut lingkungan hidup

memperkirakan bahwa, apabila permasalahan kerusakan hutan di Indonesia tersebut

diatas tidak ditangani segera, maka diprediksikan kemungkinan hutan Indonesia akan

musnah 15

tahun kedepan dapat lebih cepat terjadi.

Oleh karena itu, dalam menanggapi pokok permasalahan tersebut diatas,

maka WALHI sebagai lembaga yang sangat concern tehadap lingkungan tetap tidak

pesimistis dalam memandang kondisi hutan Indonesia saat ini. Menurut WALHI, kondisi

ini sesungguhnya dapat diperbaiki dan hutan Indonesia dapat diselamatkan jika ada

kemauan

baik dan berubahnya pola pikir masyarakat dan khususnya Negara/pemerintah dalam
24
M.Ridha Saleh, ECOCIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta
: WALHI, 2005, hal 33
25
Jeffrey Sachs, Commom Wealth: Economics for a Crowded Planet , 2009, dikutip dalam KOMPAS, Bumi
Kian Sumpek, Rabu 3 Juni 2009, hal 6
26
h ttp://walh i.or.id, Loc Cit
27
Ibid
mengelola hutan Indonesia secara berkeadilan rakyat dan pro kelestarian. Inilah

waktunya bagi pemerintah ataupun masyarakat Indonesia untuk mulai serius menangani

penyusutan dan perusakan hutan baik dengan motif illegal logging, penggunaan HPH

ataupun pembukaan lahan yang tak terkontrol. Dan bagi pemerintah, komitmen

politis adalah kuncinya.

Maka dari itu, untuk menunjukkan kepedulian WALHI terhadap hutan Indonesia

yang terus mengalami deforestasi tersebut, WALHI pun berupaya mencarikan sebuah

solusi dalam mengatasi terjadinya deforestasi terhadap hutan Indonesia tersebut. Adapun

upaya pencarian solusi yang dilakuka n WALHI tersebut adalah dengan merancang

dan mencetuskan sebuah konsep ataupun rumusan berupa kebijakan yang akan

ditawarkan kepada pemerintah Indonesia. Dan adapun istilah dari rumusan ataupun

konsep kebijakan yang dicetuskan oleh WALHI tersebut, disebut dengan istilah

kebijakan moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia.

Rumusan ataupun konsep kebijakan moratorium logging ini, dicetuskan oleh

WALHI melalui rapat Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) yang


28
diadakan WALHI pada tanggal 22 April tahun 2000 di Jakarta. Secara definisi,

moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI adalah berhenti sejenak

dari aktivitas
29
penebangan dan konversi hutan. Adapun definisi lainnya yaitu pembekuan atau

penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan kayu skala besar (skala

industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan

tercapai. Menurut WALHI, moratorium logging ini dilaksanakan paling sedikit selama

15 tahun. Lama atau

masa diberlakukannya moratorium logging ini biasanya juga ditentukan oleh berapa
lama

28
Wawancara dengan Syahrul Isman (Eksekutif Daerah WALHI-Sumatera Utara) pada tanggal 27 Maret
2009
29
http:// www.walhi .or.id (diakses pada tanggal 27 Maret 2009)
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi tersebut. Tujuannya adalah untuk

mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan

permanen.

Menurut WALHI, kebijakan moratorium logging yang dicetuskan oleh

WALHI ini, cukup efektif untuk mengatasi fenomena penyusutan dan perusakan hutan

Indonesia. Oleh karena itu, WALHI menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar

segera memberlakukan kebijakan moratorium logging tersebut. Agar penyusutan dan

kerusakan hutan dalam skala massif dapat segera terhindari.

Dengan alasan untuk lebih memahami dan mendalami tentang peran

WALHI dalam upaya mencegah laju penyusutan dan perusakan hutan di Indonesia

melalui pencetusan kebijakan moratorium logging tersebut, maka penulis tertarik

untuk mengkajinya lebih mendalam melalui penelitian skripsi ini.

I.2 Perumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang dan persoalan yang telah diuraikan

di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah

sebagai berikut:

• Bagaimanakah konsep dan tahapan-tahapan dari penerapan kebijakan

moratorium logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut?

• Apakah keuntungan dari diterapkannya kebijakan moratorium logging

tersebut dan apakah kerugiannya apabila kebijakan moratorium logging

tersebut tidak segera diterapkan?

• Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan WALHI dalam menyosialisasikan

pencetusan kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia?


I.3 Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian tentunya harus memiliki pembatasan masalah yang

diteliti, agar ruang masalah yang diteliti tersebut tidak melebar dan meluas. Oleh

karena itu, dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini,

penulis mencoba membatasi penelitian ini pada ruang lingkup meneliti dan menganalisis

tentang konsep kebijakan moratorium logging dan peran WALHI dalam pencetusan

kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian,

dan adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan WALHI dalam

menyosialisasikan kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia

tersebut.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah tahapan-tahapan dari penerapan kebijakan

moratorium logging tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah manfaat dari di terapkannya kebijakan moratorium

logging bagi pelestarian hutan Indonesia.

4. Dan untuk mengetahui apakah kerugian yang akan muncul apabila kebijakan

moratorium logging tersebut tidak segera dilaksanakan.

I.5 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu untuk

peneliti itu sendiri dan terlebih lagi untuk masyarakat luas. Untuk itu, menurut penulis

adapun manfaat dari penelitian ini adalah :


1. Bagi penulis sendiri, tentunya penelitian ini dapat mengasah kemampuan

penulis dalam membuat ataupun menyusun sebuah karya ilmiah dan melatih

penulis untuk membiasakan diri dalam membuat dan membaca karya tulis.

Melalui penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai

masalah yang di teliti.

2. Secara akademis, melalui penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya

penelitian di bidang ilmu politik.

I. 6 Kerangka Teori

Menurut Kerlinger teori adalah sebuah konsep atau construct yang berhubungan

satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang mangandung suatu

30
pandangan yang sistematis dan fenomena. Penggunaan teori penting kiranya dalam

menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat

diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Dan adapun teori-teori yang dipakai dalam

penelaahan penelitian ini adalah :

I.6.1 Demokrasi

Demokrasi adalah suatu sistem politik yang paling banyak dianut oleh Negara-

negara di dunia saat sekarang ini. Banyak Negara-negara di dunia yang mengklaim

bahwa negaranya adalah penganut demokrasi, tetapi kenyataannya Negara tersebut tidak

sejalan dengan nilai-nilai yang ada dalam demokrasi. Demokrasi secara etimologi

berasal dari kata Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) atau bisa diartikan

‘pemerintahan oleh rakyat’. Ide demokrasi pertama sekali tercetus di kota Athena,

Yunani yaitu sekitar

abad V SM.
30
M. Arif. Nasution, Metode Penelitian, Medan, Fisip USU Press, 2008 hal. 76
Mengacu dari pandangan Robert Dahl yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah
31
adanya hak yang sama dan tidak dibedakan antara rakyat yang satu dengan yang lainnya.

Hak tersebut diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang dapat

dipertanggungjawabkan dan diterimasemua pihak (legitimate).

Kemudian Dahl menyatakan bahwa demokrasi juga harus ditunjukkan

dengan adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang

sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang

diambil. Untuk itu diperlukan ruang yang memperkenankan publik untuk

mengekspresikan kehendak-

kehendaknya.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat, artinya

kedaulatan ada di tangan rakyat, atau kehendak rakyat merupakan faktor yang

menentukan dalam sistem pemerintahan negara. Untuk mewujudkan demokrasi,

setidaknya ada dua

perangkat yang harus ada dalam demokrasi tersebut, yakni perangkat keras (hardware)
32
dan perangkat lunak (software). Salah satu perangkat lunaknya adalah adanya

kompetensi (kecakapan yang harus dimiliki) dari masyarakat dalam hal ini yang

direpresentasikan oleh LSM/NGO yang menyuarakan aspirasi masyarakat dari

bawah. Karena LSM sebagai wadah dari terbinanya Civil Society menjadi subordinasi

dari kekuasaan Negara atau pemerintah. LSM inilah yang nantinya akan

menyampaikan aspirasi publik ke badan yang berwenang, seperti yang dikemukakan

oleh Anderson bahwa LSM sebagai Unofficial Participan dalam proses pembuatan

kebijakan publik,

seperti hal nya keberadaan LSM WALHI di


Indonesia.

31
Muhamad Budairi, Masyarakat Sipil dan demokrasi, Yogyakarta : E-Law Indonesia, 2002, hal 49
32
Riant Nugroho dan Tri Hanurita S, Tantangan Indonesia, Solusi Pembangunan Politik Negara
Berkembang, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2005, hal 18
Keberadaan WALHI merupakan salah satu representasi dari sistem

demokrasi yang dikategorikan sebagai software dalam sistem demokrasi itu sendiri.

WALHI terbentuk melalui persamaan aspirasi masyarakat Indonesia yang khawatir akan

kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Melalui LSM WALHI ini, masyarakat dapat

menggunakan kedaulatan nya yang diakui dalam sistem demokrasi. Penggunaan

kedaulatan itu dapat diwujudkan dengan melakukan penekanan ataupun advokasi tehadap

Pemerintah, agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyelamatkan lingkungan

hidup di Indonesia.

Bila dikaitkan dengan pandangan Robert Dahl tadi, jelas negara harus membuka

ruang-ruang publik bagi rakyatnya untuk mewujudkan kedaulatannya, disinilah apa yang

dimaksud dengan ruang masyarakat sipil (civil society), dan disini jugalah letak adanya

kompetensi dari masyarakat, jadi dengan adanya demokrasi maka civil society akan

terbentuk.

I.6.2 Masyarakat Sipil ( Civil Society )

Konsep masyarakat sipil berasal dari sejarah peradaban Barat. Ditempat asalnya,

Eropa Barat, konsep ini sudah tidak banyak dibicarakan. Masayarakat sipil kembali

mengemuka ketika gerakan solidaritas di Polandia pimpinan Lech Walesa melancarkan

perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jenderal Jeruzelski. Dalam perlawanan

tersebut, solidaritas memakai masyarakat sipil sebagai dasar sekaligus arah perjuangan

dengan tekanan utama pada perlawanan terhadap otoritarianisme Negara. Pola yang

dipakai solidaritas ini menjalar kebeberapa Negara Eropa Timur Lain, seperti bekas

Chekoslovakia, seiring dengan runtuhnya rezim komunis di Uni Soviet. Keberhasilan

dari
gerakan-gerakan tersebut kemudian menjadi pemicu ramainya perbincangan masyarkat
33
sipil diberbagai belahan dunia, termasuk Amerika Utara dan Eropa Barat sendiri.

Konsep masyarakat sipil digunakan sebagai konsep deskriptif untuk menilai

keseimbangan antara kuasa Negara dan persatuan atau badan privat. Bagi tradisi liberal,

masyarakat sipil yang sehat dan kuat merupakan ciri penting dari demokrasi liberal dan

liberal klasik khususnya memiliki panduan moral dari masyarkat sipil terhadap

negara yang diterjemahkan melalui keinginan untuk meminimalkan ruang kuasa Negara

dan memaksimalkan ruang privat, kelompok-kelompok relawan, pergerakan sosial,

media massa, dan institusi diluar kerajaan yang dapat berfungsi tanpa pengawasan

Negara.

Dalam penggunaan tradisionalnya, istilah masyarakat sipil adalah transliterasi

literal dari kata Romawi, societas civilis. Masyarakat sipil adalah arena bagi warga yang

aktif secara politik. Ia juga memuat arti masyarakat beradab ( civilized ), masyarakat

yang

menata aturan-aturannya berdasarkan sistem hukum, bukan berdasarkan seorang despot.

Pengertian lainnya dari masyarakat sipil adalah kemampuan untuk hidup bersama

secara umum dan kebiasaan berkumpul itu menggalakkan ketertiban masyarakat dalam

tindakan didalam sebuah kegiatan politik yang demokratik. Ini dikemukakan oleh

Adam Ferguson dipertengahan abad ke 18 dengan latar belakang kemunculan masyarakat

kapitalisme yang mengalami pengikisan dari segi tanggung jawab sosial dan

berkembangnya pengaruh individualisme. Dengan itu Ferguson mengibaratkan

masyarakat sipil sebagai masyarakat yang hidup dengan ciri-ciri solidaritas yang

34
kuat, bermoral tinggi dan sebagainya.
33
Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2002, hal. 1-2
34
Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, 2005, hal 25
Selain itu, Ernest Gellnerr memberi pengertian bahwa masyarakat sipil sebagai

masyarakat yang terdiri dari berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat

mengimbangi negara. Walaupun tidak menghalangi negara dalam memenuhi dan

dan melaksanakan perannya sebagai penjaga keamanan dan keselamatan serta bertindak

sebagai hakim antara negara dan rakyat. Masyarakat sipil tetap dapat menghalangi usaha-

usaha negara dalam mendominasi warganya. Gerakan masyarakat sipil dikenal sebagai

wadah penyaluran aspirasi rakyat dalam berbagai kegiatan seperti politik, sosial

35
dan ekonomi disamping mampu memberi kepada hubungan negara dan rakyat.

Dengan demikian masyarakat sipil bukanlah entitas sosial yang terdiri dari

kumpulan manusia. Ia juga bukan manifetasi dari sistem komunal yang dikenal luas

dalam masyarakat tradisional. Masyarakat sipil merupakan ruang publik yang berisikan

manusia sebagai individu-individu dengan segala atribut intrinsiknya. Oleh karena itu,

masyarakat sipil memiliki karakteristik yang juga terdapat dalam konsep manusia

sebagai individu. Jika individu merupakan ruang pribadi, masyarakat sipil merupakan

ruang publik. Karena itu, didalam masyarakat sipil juga harus terdapat kebebasan,

kesederajatan dan nilai-nilai yang terkait seperti otonomi, kesukarelaan atau

keseimbangan. Ciri-ciri tersebut harus terwujud dalam gerak anggota yang ada

didalam maupun dalam relasi masyarakat sipil


36
dengan masyarakat sipil lainnya dan bahkan dalam hubungannya dengan negara.

1.6.3 Kelompok Penekan ( Pressure Groups )

Kelompok penekan merupakan kelompok yang dapat mempengaruhi

segala kebijakan didalam setiap pemerinatahan. Kelompok penekan hanya melancarkan

pengaruh

kepada atas mereka yang sedang berkuasa, memberikan tekanan atas orang-orang tersebut.
35
Anwar Ibrahim, Masyarakat Madani vs Masyarakat Sipil, http://syaitan wordpr ess.com. (diakses
pada tanggal 6 Mei 2009)
36
Hendro Prasetyo, Op Cit, hal 5
Itulah sebabnya mereka dinamakan kelompok penekan. Kelompok penekan

mewakili suatu jumlah yang terbatas yang mempunyai kepentikangan khusus. Orang

yang masuk dalam kelompok ini sebagai pekerja, sebagai seorang Agamawan, sebagai

penentang bom atom, sebagai anak muda dan sebagai apa saja yang ada dikelompoknya,

bukan hanya ia sebagai seorang warga negara. Dengan demikian kelompok penekan

mempunyai sifat organisasi ”kooperarif” dalam arti yang sudah lumrah seperti sekarang

ini.

Eksistensi kelompok penekan untuk mempengaruhi kekuasaan, sementara mereka

sendiri tidak terlibat didalamnya. Mereka melancarkan tekanan-tekanan atas kekuasaan

yang sedang berjalan ( dari sinilah asal mula nama Pressure Groups ) yang

diperkenalkan di Perancis pada tahun 1962 dari ungkapan Amerika Pressure Groups.

Kelompok penekan ini berusaha mempengaruhi orang-orang yang memegang dan

menjalankan kekuasaan, bukan untuk menempatkan orang-orang mereka sendiri

dalam posisi yang memegang kekuasaan. Tetapi, kelompok-kelompok penekan tertentu

sebenarnya mempunyai wakil- wakil mereka dipemerintahan dan dibadan-badan

legislatif, tetapi hubungan antara para individu-individu tersebut dengan kelompok yang

mereka wakili masih sangat rahasia atau


37
hati-hati.

I.6.3.1 Penentuan Kelompok Penekan

a. Kelompok Eksklusif dan Kelompok Parsial

Suatu kelompok penekan itu bersifat eksklusif (istimewa ; lain dari yang lain)

bila ia hanya menyangkut soal mengambil tindakan dalam bidang politik saja, dengan

memberikan tekanan atas kekuasaan politik. Yaitu organisasi-organisasi yang

mengadakan campur tangan dengan pekerjaan-pekerjaan para senator dan anggota-

anggota kongres,
dengan anggota kabinet dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan lainnya. Sebaliknya

37
Maurice Duverger., Partai Politik dan Kelompok Penekan, Yogyakarta : Bina Aksara, 1984, hal. 119
sebuah kelompok penekan dikatakan Parsial, apabila kegiatan politik hanyalah

merupakan salah satu bagian saja dari aktivitasnya, bila kelompok ini mempunyai

alasan-alasan lain untuk eksistensinya dan mempunyai rencana tindakan lain maka dapat

melakukan suatu gerakan besar seperti turun ke jalan-jalan. Artinya disini, kelompok

manapun atau organisasi apapun dapat saja terjangkit untuk melancarkan tekanan

politiknya pada suatu ketika dalam masa-masa rangkaian aktivitasnya. Gereja pun masuk

dalam kategori ini karena gereja ikut menyampuri masalah otoritas, demikian juga

persatuan para filosof, kelompok budaya dan intelektual. Dalam prakteknya,

perbedaan antara kedua macam kelompok tersebut tidaklah mudah untuk diselidiki.

b. Kelompok Resmi dan Kelompok Swasta

Terdapat dua jenis kelompok resmi. Pertama, badan-badan resmi pemerintahan

yang bertindak sebagai kelompok penekan untuk membela kepentingan-kepentingan

badan yang diwakilinya. Kedua, terdiri atas pejabat-pejabat pemerintahan yang

membentuk suatu persaudaraan diantara mereka yang berlangsung secara rahasia, yang

merencanakan untuk membentuk monopoli pos-pos jabatan tertinggi dalam administrasi

negara, sehingga keberadaannya dapat menimbulkan pengaruh yang besar.

Berbeda dengan kelompok resmi, kelompok swasta ini cenderung didirikan

sebagai perpanjangan tangan pihak asing agar dapat ikut terlibat dalam perputaran

ekonomi, politik atau sub kehidupan lain di suatu negara yang ditunjuk. Tekanan-

tekanan yang datang dari kelompok asing juga menciptakan suatu ketergantungan yang

sifatnya de facto. Tetapi ketergantungan itu bukanlah antara pemerintahan yang satu

dengan pemerintahan yang lain melainkan ketergantungan suatu pemerintahan asing pada

suatu organisasi swasta. Pemerintahan asing tersebut yang kemudian menyediakan dana

operasional, program kerja, training dan sebagainya.


I.6.3.2 Berbagai Jenis Kelompok Penekan

 Orgnanisasi-Organisasi Profesional

Merupakan organisasi yang kegiataanya didasarkan pada kemampuan ahli

ataupun aktivitas tertentu.

 Organisasi Pertanian (Farm Organization)

Organisasi para petani merupakan kelompok penekan massa, kecuali untuk

sekelompok tuan tanah atau asosiasi profesional pada tingkat yang lebih tinggi.

 Organisasi Para Pekerja

Mereka berkembang akibat dari industrialisasi dan diikuti oleh pembentukan

kaum proletariat. Dalam masyarakat yang sangat maju, telah mendorong pekerja

industri menjadi golongan minorotas. Dari seluruh jenis kelompok penekan,

organisasi buruh inilah yang paling banyak massa pendukungnya.

 Organisasi Lingkungan dan Sumber Daya

Maraknya isu tentang global warming menjadikan masyarakat dunia mulai peduli

kepada lingkungan tempat tinggalnya.

I.6.3.3 Kelompok-Kelompok Penekan Lainnya

 Organisasi Politik Yang Khusus

Organisasi yang didirikan diarahkan ke tujuan politik yang khusus, seperti

membatalkan penggunaan bom atom di luar hukum, perlucutan senjata,

memelihara perdamaian dunia, menentang diskriminasi RAS, reformasi di bidang

agraria, subsidi untuk sekolah-sekolah , dan sebagainya.

 Kelompok-Kelompok Intelektual
Mencakup persatuan pegawai pemerintahan, para insinyur, akademisi universitas,

, mahasiswa, dan sebagainya.

 Asosiasi Veteran

Kelompok ini mempunyai sifat ganda. Yakni membela kepentingannya sendiri (

Misalnya dana pensiun, tujangan kesehatan) dan juga kepentingan sebagai

kelompok ideologi.

 Gerakan Pemuda

Merupakan gerakan perpaduan antara beberapa aliansi di kalangan mahasiswa. Isu

yang dibahas seputar kebijakan pemerintah terhadap publik.

 Gerakan Wanita dan Organisasi Keluarga

Gerakan ini berlangsung diseputar masalah membela eksistensi kampung

minoritas, masalah alkoholisme, gender, pendidikan kewarganegaraan, seks dan

sebagainya.

 Kelompok Ideologi dan Agama

Membela kepentingan-kepentingan ideologi tertentu dan juga masalah moralitas

generasi muda, free seks, pornografi dan pornoaksi dan sebagainya.

Bila dikorelasikan semua ciri-ciri kelompok penekan seperti yang disebut

dari uraian teori kelompok penekan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwasannya

WALHI juga merupakan salah satu bagian dari kelompok penekan. Hal ini dapat dilihat

dari peran WALHI dalam mempengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah. WALHI cenderung akan melakukan upaya-upaya penekanan terhadap

pemerintah untuk mempengaruhi setiap kebijakan-kebijakannya dalam mengelola

lingkungan hidup di Indonesia yang apabila kebijakan tersebut dirasa akan berdampak

negatif terhadap lingkungan hidup Indonesia. Agar kebijakan tersebut tidak menjadi

polemik dan tidak


hanya menguntungkan pihak tertentu dan sesuai dengan keinginan rakyat. Berdasarkan

klasifikasi dari berbagai jenis kelompok penekan tersebut diatas, maka

WALHI merupakan salah satu kelompok penekan dengan jenis Organisasi

Lingkungan dan Sumber Daya.

I.6.4 Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan

sehari-hari, seperti dalam kegiatan akademis, atau dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Pada

dasarnya, terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud

dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur ilmu politik. Masing-masing

definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena

masing- masing ahli mempunyai latar belakang pemikiran yang berbeda-beda.

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone.

Menurut Robert Eyestone kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah
38
dengan lingkungannya. Namun konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung

pengertian yang sangat luas dan kurang pasti. Karena, apa yang dimaksud dengan

kebijakan publik seharusnya dapat mencakup banyak hal. Adalagi definisi kebijakan

publik yaitu di kemukan oleh Thomas R. Dye. Ia mengatakan bahwasannya

kebijakan publik adalah


apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak Walau
39
dilakukan.

batasan definisi yang diberikan oleh Thomas R. Dye ini agak tepat, namun batasan

ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh

pemerintah

untuk dilakukan dan tidak dilakukan.

38
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2004, hal. 15
39
Ibid
Definisi kebijakan pubilk yang lainnya yaitu diberikan oleh James

Anderson. Menurut Anderson, kebijakan publik adalah merupakan suatu arah

tindakan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau persoalan. Menurut James Anderson, kebijakan publik
40

sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah. Definisi kebijakan publik yang diberikan James Anderson diatas,

memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan apa yang

diusulkan atau yang dimaksudkan.

I.6.4.1 Sifat-sifat Kebijakan Publik

Menurut James Anderson, sifat kebijakan publik terbagi dalam beberapa kategori

yaitu : seperti policy demands (tuntutan-tuntutan kebijakan), policy decisions (keputusan-

keputusan kebijakan), policy statements (pernyataan-pernyataan kebijakan), policy

outputs
41
(hasil-hasil kebijakan), dan outcomes (dampak-dampak kebijakan).

Policy demands adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau

pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik.

Tuntutan-tuntutan itu berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah

mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah

tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam

masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah

harus berbuat sesuatu sampai

usulan agar pemerintah mengambil tindakan mengenai suatu persoalan.

Sementara itu, policy decisions didefinisikan sebagai keputusan-keputusan yang

dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan

40
Ibid, hal.16
41
Ibid, hal.19
substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini

adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau

pernyataan- pernyataan resmi, dan mengumumkan peraturan-peraturan administratif.

Sedangkan policy statements adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-

artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini adalah undang-

undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden, maupun pernyataan-pernyataan

atau pidato-pidato pejabat-pejabat pemerintah yang

menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang

akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Lalu policy outputs lebih merujuk

pada manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik, hal- hal yang sebenarnya

dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Dalam

hal ini lebih difokuskan pada masalah-masalah seperti pembayaran pajak,

pembangunan jalan-jalan raya, penghilangan hambatan-hamabatan perdagangan, maupun

pemberantasan usaha-usaha penyelundupan barang. Dan yang terakhir adalah

outcomes. Outcomes ini lebih merujuk kepada akibat-akibatnya bagi masyarakat,

baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak

adanya tindakan pemerintah.

I.6.4.2 Tahapan-tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang sangat kompleks. Karena,

melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa

ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-

proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian

42
seperti ini adalah untuk memudahkan kita didalam mengkaji kebijakan publik. Dalam

memecahkan

masalah yang dihadapi kebijakan publik, William Dunn mengemukakan bahwa


ada
42
Charles Lindblom, Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta : Airlangga, 1996, hal. 3
beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu agenda setting (penetapan agenda

kebijakan), policy formulation (formulasi kebijakan), policy adoption (adopsi kebijakan),

policy implementation (implementasi kebijakan), dan policy assasment (evaluasi

43
kebijakan). Adapun tahapan-tahapan tersebut digambarkan oleh William Dunn

sebagai berikut :

Agenda Setting

Policy Formulation

Policy Adoption

Policy Implementation

Policy Assasment

Gambar I.1 Skema Tahapan-Tahapan Kebijakan Publik

Adapun tahapan-tahapan dari proses kebijakan publik tersebut diatas

dijelaskan sebagai berikut :

1. Agenda Setting

Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali

adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya

permasalahan

43
Hessel Nogi S Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, : Konsep, Strategis, dan Kasus, Yogyakarta
: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), 2003, hal. 7-8
ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut William Dunn

problem structuring memiliki 4 fase yaitu : pencarian masalah (problem search),

pendefinisian

masalah (problem definition), spesisfikasi masalah (problem spesification), dan


44
pengenalan masalah (problem setting). Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk

merumuskan masalah adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis

hirarki dan brainstroming, analisis multi perspektif, analisis asumsional serta

pemetaan

argumentasi.

2. Policy Formulation

Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan

kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk

memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan

kebijakan yang akan dipilih. Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal

dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk

masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing

alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk

memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan bermain untuk

mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Policy Adoption

44
Ibid, hal. 8
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan

kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang telibat. Tahap ini

dilakukan setelah
45
melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasikan altenatif kebijakan (policy alternative) yang

dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan

merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu

bagi kemajuan

masyarakat luas.

b. Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai

alternatif yang akan direkomendasi.

c. Mengevaluasi altenatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria-kr

iteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebh besar

daripada efek negatif yang akan terjadi.

4. Policy Implementation

Pada tahap ini, suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor

(birokrasi pemerintah)) tertentu memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya

(teknologi dan manajemen) dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Jadi tahapan

implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi

setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu

kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas

implementasi kebijakan sebagai penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan

kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.
45
Ibid, hal. 9
5. Policy Assesment

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan

yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi dinilai

apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program

kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh lembaga independen maupun pihak

birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk mengetahui apakah program yang

dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuannya atau tidak. Apabila ternyata

tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan, maka pemerintah harus

mengetahui apa penyebab kegagalan tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak

terulang dimasa yang akan datang.

I.7 Metode Penelitian

Metode penelitian didefinisikan sebagai ajaran mengenai cara-cara yang di

gunakan dalam memproses penelitian. Metode berguna untuk memberikan

ketepatan,
kebenaran dan pengetahuan yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi. Untuk itu,
46

penelitian ini akan memaparkan beberapa cara sebagai batasan untuk mencapai

kebenaran ilmiah, yakni : jenis penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data,

dan teknik analisa data.

I.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, penekanan pada deskriptif dan

analitis. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu

dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Metode ini dapat juga

digunakan

untuk mengungkap dan memahami sesuatu yang baru sedikit di ketahui, metode kualitatif

46
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung : CV.Mandar Maju, 1996, hal.17
juga dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit di ungkap

47
oleh metode kuantitatif. Disamping itu, metode penelitian kualitatif dapat

dipergunakan untuk

menyelidiki lebih mendalam konsep-konsep atau ide-ide.

Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang

temuan- temuannya tidak diperbolehkan melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan

48
lainnya.

Penelitian kualitatif mengacu kepada berbagai cara pengumpulan data yang berbeda,

yang meliputi penelitian lapangan, observasi partisipan, wawancara mendalam, dan

49
penelitian etnografi. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat

hidup dan prilaku seseorang, disamping itu juga tentang organisasi, Pergerakan sosial,

atau hubungan timbal balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data

sensus, namun

dianalisisnya bersifat kualitatif.


50

I.7.2 Lokasi Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan di sekretatiat WALHI-SU yang beralamat

di Jalan. Sei Serapuh No.20. Medan, Sumatera Utara. Adapun alasan dipilihnya lokasi ini

sebagai tempat penelitian adalah : (1) penulis menilai, lokasi ini lebih dekat dengan

tempat tinggal penulis. Sehingga lebih mudah dijangkau dan terdapat efisiensi dari segi

waktu ataupun biaya. (2) lokasi ini merupakan salah satu pemilik akses informasi atau

data yang resmi yang berhubungan dengan penelitian ini, yang sangat dibutuhkan oleh

penulis dalam melakukan penelitian ini. (3) lokasi ini juga merupakan

cabang/perwakilan resmi dari


WALHI Pusat/Nasional.

47
Anselm Strauss dan Juliet Corbin., Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-teknik
Teorisasi Data, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 5
48
Ibid, hal. 4
49
Bruce A. Chadwick, dkk, Social Science Research Methods, Terj. Sulistia, dkk, Metode Penelitian Ilmu
Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Semarang Press, 1991, hal. 234
50
Anselm Strauss dan Juliet Corbin. Loc Cit.
I.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian ini untuk memperoleh informasi atau data yang akurat sehingga dapat

dipertanggung jawabkan sebagai suatu penelitian sosial yang ilmiah. Adapun data yang

akan dikumpulkan dalam upaya pengumpulan data tersebut di bagi menjadi dua yaitu :

1. Data Primer

Untuk jenis yang dikumpulkan dari data primer ini yaitu, penulis akan melakukan

wawancara langsung dengan anggota WALHI-SU yang dianggap mengetahui

dengan benar tentang masalah yang di teliti.

2. Data Sekunder

Dalam mengumpulkan data sekunder, penulis akan melakukan penelitian

kepustakaan antara lain mengumpulkan data dari buku-buku, dokumen-dokumen

WALHI yang dianggap berkaitan dengan masalah yang diteliti, juga melalui

Surat Kabar, Media Internet dan berbagai sumber lainnya yang berhubungan

dengan penelitian yang penulis lakuka n.

I.7.4 Teknik Analisis Data

Proses analisa data dimulai dengan menelaah informasi atau data yang telah

didapat, baik yang diperoleh dari wawancara, ataupun dari dokumen-dokumen dan buku-

buku atau media lainnya. Keseluruhan data yang didapat tersebut dirangkum sesuai

dengan masalah dan tujuan penelitian yang terdapat dalam skripsi ini. Selanjutnya, data

yang telah dirangkum tersebut, akan dianalisis dengan menggunakan metode

kualitatif
melalui sebuah kajian deskripsi untuk kemudian dianalisis sehingga

51
memungkinkan diambil kesimpulan yang utuh.

I.8 Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari beberapa BAB. Adapun tiap bab terdiri dari :

BAB I : Pendahuluan

Bab I ini berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,

pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Deskr ipsi Lokasi Penelitian

Bab II ini berisikan tentang gambaran umum profil lembaga

penelitian. BAB III :Analisis Data

BAB IV : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Bab ini

berisikan tentang kesimpulan dan saran atau rekomendasi berdasarkan

hasil penelitian dan temuan-temuan dalam penyusunan skripsi ini.

51
Robert K. Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, Jakarta : Rajawali Pers, 2003, hal. 23
BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

II. 1 Sejarah Singkat Berdirinya WALHI

WALHI merupakan forum kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi

non-pemerintah/Non Government (Ornop/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1980

sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam

dan sumber-sumber kehidupan, sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan

yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.

Sejarah berdirinya WALHI tak bisa dilepaskan dari salah seorang tokoh yang

ada di Indonesia yaitu Emil Salim. Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri

Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Soeharto, Emil Salim mengadakan

pertemuan dengan beberapa kawannya, yaitu Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio

Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar

lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. Bukan hanya itu tujuannya, tetapi

Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa

lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun

ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingku ngan di masyarakat bisa

diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan

keluar agar bola salju yang bernama

‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.

Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung secara informal dengan kawan-

kawannya, menurut Emil Salim tidak ada pilihan lain, kecuali minta bantuan kelompok-

kelompok NGO dan pecinta alam. Harapannya adalah agar kelompok NGO dan pecinta
alam dapat
membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini

dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat. Sehingga pemerintah melalui

lembaga ini bisa menyampaikan programnya kepada masyarakat. Di sisi lain,

masyarakat yang tidak bisa menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa

disampaikan melalui NGO.

Lalu diadakanlah sebuah pertemuan. Pertemuan tersebut dilakukan di Balaikota

(Kantor Gubernur DKI Jakarta). Pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350

lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset,

kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Disitulah Emil Salim mengungkapkan semua

keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan bersama untuk

mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa masyarakat harus

membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan. Agar pertemuan

tersebut tidak sia-sia, mereka harus mencari bagaimana memelihara komitmen

bersama sekaligus mencari cara berkomunikasi yang efektif di antara mereka. Akhirnya,

muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan

membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup dengan

membentuk organisasi awal. Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah

sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh

Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada

23 Mei 1978 di Balaikota.

Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran,

dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia

maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk

hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota kelompok ini adalah Ikatan

Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan
Indonesia Hijau
(YIH), dengan ketua Dr Fred Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh

Dedy Darnaedi, Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo,

Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman,

Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup

Wartawan Iptek yang diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs.

Poernomo, Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup

(HUKLI) oleh George Adjidjondro, dan Srutamandala (Sekolah

Tinggi Publisistik).

Kelompok ini diketuai oleh Ir. Zein Rachman (IALI), dengan Sekretaris I, yaitu

Dedy Darnaedi (BSCc) dan Sekretaris II, Bedjo Rahardjo (GRJS-Bulungan). Untuk

menjalankan kegiatannya, kelompok ini menempati sebuah ruangan di kantor

PPLH, dengan tugas utama menjadi jembatan antara pemerintah dengan LSM lainnya.

Beberapa NGO ini menawarkan bantuan sukarela kepada Emil Salim untuk

membantu menjadi sukarelawan di kantor yang baru tersebut.

Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX

lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan kemungkinan pertemuan ornop yang

lebih besar untuk menindaklanjuti keberadaan organisasi kelompok 10 tersebut. Lalu di

adakanlah sebuah pertemuan ornop yang cukup besar kala itu. Pertemuan itu

berlangsung pada tanggal 13 - 15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan

dengan berlangsungnya Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia.

Pertemuan tersebut diikuti oleh

130 orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi

masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi. Pada akhir

pertemuan yaitu tanggal 15 Oktober 1980, diadakanlah sidang pleno untuk menetukan

nama organisasi yang akan mewadahi seluruh peserta ornop tersebut. Namun sidang
pleno tersebut berjalan alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta

alam dan
aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda

misalnya dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain

organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.

Dalam sidang pleno yang berlangsung dengan alot tersebut akhirnya Erna

Witoelar dan Wicaksono Noeradi yang merupakan peserta pertemuan itu menawarkan

sebuah nama yaitu dengan awal Wahana. Lalu para peserta menyambut tawaran nama

Wahana tersebut dengan antusias yang tinggi. Lalu dikarenakan organisasi tersebut akan

bergerak pada bidang lingkungan hidup maka ornop sepakat memberikan tambahan

Lingkungan Hidup Indonesia pada akhir nama Wahana tersebut sehingga jadilah nama

organisasi tersebut “Wahana Lingkungan Hidup Indonesia” dan disingkat menjadi

“WALHI”.

Nama ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu

organisasi/parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing.

Mayoritas lembaga yang mengikuti pertemuan tersebut sangat setuju dengan nama itu.

Tanggal 15 Oktober 1980, palu diketok, nama disepakati : Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia (WALHI). Selain memutuskan pembentukan WALHI dengan mengadakan

musyawarah periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium

periode

1980 – 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir.
Erna

Witoelar.

II.1.1 Masa Perkembangan WALHI

Kelahiran WALHI sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar,

secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini

membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI.


Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu

mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.


Gerakan WALHI di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public

relation,” yaitu memperkenalkan WALHI ke seluruh elemen, baik pemerintah,

perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh

WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness

kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya

dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak

pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk

mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. Hal tersebut terlihat dari berbagai

kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di

berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman.

Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan

konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan,

mengadakan berbagai perlombaan,

Perlahan WALHI mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah.

WALHI mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh

Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU

Lingkungan Hidup. Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat

lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok

Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982.

Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik

nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari

pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia)

melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara

parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan

dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah


bersikap menyambut
tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum WALHI,

karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan

WALHI sering tarik ulur. Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM

pertengahan 1980- an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan

lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang

dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan

keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup

dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang

dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling

lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat

Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan

kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi

sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada

tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika WALHI

melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM

lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam WALHI.

Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan

kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness

Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan

back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja

advokasi berikutnya.

Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan

legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai

memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-

isu
utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi

berita sampul majalah Tempo. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM

bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong

kegiatan lingkungan.

Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an, aktivis-aktivis WALHI tetap

dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam pembukaan PNLH III

kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan lebih halus, bahwa

salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam WALHI dengan demikian eksistensi

WALHI, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih jabatan. Walaupun para aktivis

tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi mulai ada usaha untuk membuka orientasi

baru gerakan LSM lingkungan, antara lain keinginan untuk melakukan advokasi

lingkungan.

Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang

komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka

seluas- luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting

karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada

kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan,

masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau

kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia. Mengawali tahun

2000, WALHI terus bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan

lingkungan. WALHI melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak

surut. Bukan terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan

konsistensi dan arah gerakan yang jelas.


II.1.2 Pluralitas WALHI

Sejak awal, terlihat bahwa keanggotaan WALHI sangat beragam. WALHI terlahir

bukan hanya dari ornop lingkungan saja, namun juga dari kelompok HAM, konsumen,

kelompok keagamaan, perempuan, pecinta alam, jurnalis, kelompok masyarakat adat, dan

anggota profesi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa WALHI merupakan representasi

dari keragaman elemen masyarakat yang ada di Indonesia, yang memiliki komitmen

terhadap lingkungan. Pembenahan itu didasarkan atas kesadaran bahwa ke depan

perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber-

sumber kehidupan itu sangat berat. Hal tersebut dikarenakan semakin kukuhnya

hegemoni paham liberalisme baru dengan nama globalisasi. Dan yang kedua adalah

semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam

negeri terhadap kepentingan ekonomi global.

Dua hal itu menjadi landasan langkah WALHI di masa depan, yang

semakin disadari tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh WALHI tanpa dukungan

luas dari publik. Untuk itulah, dengan kesadaran penuh WALHI membuka diri untuk

seluruh masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam proses penyelamatan lingkungan.

WALHI membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat untuk berperan aktif, baik

dengan menjadi anggota WALHI maupun dengan menjadi donatur terhadap

kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan. Dengan hal ini, jelas bahwa

WALHI bukan hanya oleh dan untuk kelompok lingkungan, namun WALHI menjadi

milik publik. Di mana publik secara bersama-sama membangun kekuatan untuk

melawan ancaman yang tidak hanya datang dari dalam namun juga ancaman yang

datangnya dari luar.

WALHI kini hadir di 26 propinsi dengan total 436 organisasi anggota (terhitung

Juni 2005) yang secara aktif berkampanye di tingkat lokal dan nasional. Di tingkat
internasional, WALHI berkampanye melalui jaringan Friends of the Earth Internasional

yang beranggotakan 71 organisasi akar rumput di 70 negara, 15 organisasi afiliasi,

dan lebih dari 1 juta anggota individu dan pendukung di seluruh dunia. WALHI

melakukan kampanye internasional bersama berbagai jaringan internasional lainnya yang

memiliki keprihatinan yang sama terhadap ketidak adilan lingkungan hidup. Salah

satunya dengan menjadi anggota Friends of the Earth International (FoEI) – federasi

lingkungan hidup sedunia dengan 71 organisasi anggota di 70 negara, dan memiliki lebih

dari satu juta anggota individu.

II.2 Profil WALHI Sumatera Utara (WALHI-Sumut)

WALHI–Sumut sadar, kerusakan lingkungan hidup semakin masif dan kompleks

baik di pedesaan maupun di perkotaan. Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara

terbuka mempengaruhi dinamika sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Siapa

yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup kian sulit dipastikan karena

penyebabnya sendiri saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Tantangan atas kerusakan lingkungan diatas direspon oleh beberapa Organisassi

Non Pemerintah (ORNOP/NGO), Kelompok Pecinta Alam (KPA) dan beberapa individu

dengan mendirikan Wahan Lingkungan Hidup Indonesia pada tanggal 15 Oktober 1980

sebagai reaksi dan keprihatinan atas ketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya alam

dan sumber-sumber kehidupan sebagai akibat dari paradigma dan proses pembangunan

yang tidak memihak keberlanjutan dan keadilan.

Secara nasional WALHI berada di 26 propinsi termasuk di Sumatera Utara.

WALHI merupakan forum kelompok masyarakat sipil yang sekarang memiliiki 45

anggota organisasi yang terbesar di Sumatera Utara. Berikut adalah beberapa organisasi

anggota WALHI-Sumut :
1. Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera (BAKUMSU)

Jl Bromo Ujung No.51 Medan 20228

2. Yayasan Pengembangan Sumber Manusiawi (BINA INSANI)

Jl Pantai Timur No.91

Pemantang Siantar 21151

3. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)

Jl Sei Ujung Suka Eka No.45A

Medan 20146

4. Bina Konversi Alam (BINIKA)

Jl Kapten Pattimura Lr Famili No.85

Medan 20153

5. Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra Indonesia)

Jl Bahagia By Pass No.11/35

Medan 20218

6. Deli Foundation (DF)

Jl Sipiso-piso No.1G Lt. III

Medan 20213

7. Yayasan Pengembangan Masyarakat “EKA BAKTI” (YPM EKA BAKTI)

Jl Pimpong No.3

Pematang Siantar 21112

8. Lembaga Transformasi Sosial (ELTRANS)

Jl Narumonda Bawah No.138

Pematang Siantar 21134


9. Forum Petani Kreatif (Yayasan IBA Teman Kreatif)

Jl Siborong-borong No.25

Sipahutar Tapanuli Utara 22471

10. Forum Usaha Informasi Edukasi Sejahtera (FUSIES)

Jl Kuali No.8 Medan

II.2.1 Visi, Misi dan Peran WALHI-Sumut

a. Visi

WALHI-Sumut berusaha mewujudkan suatu tatanan sosial, ekonomi dan politik

yang adil dan demokatis yang menjamin hak-hak rakyat atas sumber-sumber

kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat.

b. Misi dan Peran

WALHI-Sumut mengemban misi sebagai wahana perjuangan penegakan

kedaulatan rakyat dan demokrasi untuk pemenuhan keadilan, pemerataan sosial,

pengawasan rakyat atas kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-

sumber kehidupan rakyat, serta penyelenggaraan kepemerintahan yang adil dan

demokratis.

WALHI-Sumut adalah jaringan pembela lingkungan hidup yang pluralistik

dan independen yang aktif melakukan studi kebijakan, mensinergikan kekuatan

antar organisasi non pemerintah dalam advokasi lingkungan hidup dan sumber-sumber

kehidupan rakyat (advokasi hutan, tambang, air, pesisir dan laut, reformasi hukum dan

pengelolaan sumber daya alam, energi, pencemaran, pengelolaan bencana, dan

globalisasi), meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup,

melakukan pengelolaan informasi, memfasilitasi dialog antara masyarakat


dengan
berbagai kelompok kepentingan, menggalang dan memobilisasikan sumber daya

publik serta mengembangkan kemampuan sumber daya organisasi.

II.2.2 Nilai-nilai Dasar WALHI-Sumut

Dalam menegakkan peran di atas, WALHI-Sumut berorientasi pada nilai-

nilai dasar, yakni :

1. Demokrasi : Seluruh rakyat harus terlibat dalam proses pengambilan keputusan

apa pun yang akan berdampak bagi keberlanjutan kehidupan rakyat.

2. Keadilan antar Generasi : Semua generasi baik sekarang maupun mendatang

berhak atas lingkungan yang berkualitas dan sehat

3. Keadilan gender : Semua orang berhak memperoleh kehidupan dan lingkungan

hidup yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, agama dan status sosial.

4. Penghormatan Terhadap Mahluk Hidup : Semua mahluk hidup baik

manusia maupun non manusia memiliki hak dihormati dan dihargai.

5. Persamaan Hak Masyarakat Adat : Masyarakat adat di seluruh pelosok

nusantara berhak menentukan nasibnya sendiri untuk berkembang sesuai

kebudayaannya.

6. Solidaritas sosial : Semua orang memilik hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan

budaya yang sama

7. Anti Kekerasan : Negara dilarang melakukan kekerasan fisik dan non fisik

kepada seluruh rakyat

8. Keterbukaan : Seluruh rakyat berhak atas semua informasi berkenaan

dengan kebijakan dan program yang akan mempengaruhi kehidupannya.

9. Keswadayaan : Semua pihak diharapkan mendukung keswadayaaan politik

dan ekonomi masyarakat.

10. Profesionalisme : Semua pihak hendaknya bekerja secara profesional,

sepenuh hati, efektif, sistematik dan tetap mengembangkan semangat kolektivitas.


II.2.3 Kelembagaan dan Sistem Pengambilan Keputusan

Kelembagaan WALHI-Sumut dijalankkan dengan prinsip trias politika. Eksekutif

Daerah menjalankan program-program organisasi, sementara Dewan Daerah merupakan

representatif seluruh anggota untuk menjalankan fungsi legislatif. Fungsi yudikatif yang

berwenang untuk memeriksa pelanggaran terhadap Statuta sebagai konstitusi

WALHI disebut Majelis Etik Daerah yang bersifat adhoc.

Forum pengambilan keputusan tertinggi WALHI-Sumut adalah dalam pertemuan

anggota setiap tiga tahun yang disebut Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup. Forum ini

menerima dan mensahkan pertanggungan jawab Eksekutif Daerah, Dewan Daerah dan

Majelis Etik Daerah; merumuskan strategi kebijakan dasar WALHI-Sumut; serta

menetapkan Eksekutif Daerah dan Dewan Daerah.

Setiap tahun diselenggarakan pula konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH)

sebagai forum konsultasi antar komponen WALHI-Sumut untuk melakukan evaluasi dan

perencanaan program WALHI-Sumut.

II.2.4 Dewan Daerah dan Eksekutif Daerah WALHI-Sumut

1. Ibrahim Nainggolan

2. Oktavianus Sitio

3. Dewi Susanna

4. Kusnadi

5. Nuriyono

Eksekutif Daerah WALHI-Sumut


Syahrul Isman Manik

II.3 Statuta WALHI

MUKADIMAH

Perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan rakyat atas

lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat sebagai bagian dari upaya

mewujudkan kehidupan yang adil, harus dilakukan secara arif dan berkelanjutan

oleh berbagai kelompok masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Disadari bahwa perjuangan tersebut dari hari ke hari semakin dihadapkan dengan

tantangan yang berat, terutama yang bersumber pada: Pertama, semakin kukuhnya

dominasi dan penetrasi rezim kapitalisme global melalui agenda-agenda pasar bebas dan

hegemoni paham liberalisme baru (neo-liberalism). Kedua, semakin menguatnya

dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap

kepentingan negara-negara industri atau rejim ekonomi global. Rezim kapitalisme global

menempatkan rakyat, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, bahkan

bumi, sebagai tumbal akumulasi kapital.

Dominasi dan penetrasi tersebut telah memposisikan negara menjadi

perpanjangan tangan kapitalisme global. Akibatnya kebijakan sosial, ekonomi, politik

pun diwarnai oleh semangat liberalisasi dan privatisasi yang memudahkan ekspansi

modal dan globalisasi pasar. Watak kebijakan negara pada akhirnya membuka jalan

bagi perampasan secara

sistematis hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya rakyat.

Kalangan organisasi non-pemerintah maupun berbagai kelompok dan

individu yang peduli dengan kepentingan lingkungan hidup dan sumber – sumber

kehidupan rakyat
sudah sejak awal mempersoalkan berbagai kebijakan negara yang menghancurkan

dan merampas hak-hak rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan

rakyat.

Untuk merespon berbagai persoalan lokal, nasional maupun global, pada

1980 beberapa organisasi non-pemerintah (Ornop) dan beberapa individu yang memiliki

kepedulian terhadap masalah lingkungan mendirikan WALHI. Sejak saat itu,

WALHI berkembang menjadi forum organisasi non-pemerintah yang memposisikan diri

sebagai wahana yang mensinergikan semua potensi gerakan advokasi lingkungan dan

penguatan posisi dan akses rakyat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber –

sumber kehidupan rakyat.

Bahkan pada perjalanan selanjutnya, WALHI memposisikan diri sebagai bagian

dari gerakan rakyat dan gerakan sosial untuk melawan dominasi kekuatan kapitalisme

global dan kebijakan negara yang bertanggungjawab atas perampasan hak sosial,

ekonomi, politik, dan budaya rakyat yang terjadi di tingkat lokal, nasional maupun

internasional.

Dengan pilihan posisi seperti itu, WALHI sesungguhnya hendak menegaskan

kepada para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan baik negara, PBB, organisasi

internasional, lembaga keuangan internasional, perusahaan multinasional maupun

kelompok lain yang potensial merusak lingkungan hidup dan sumber – sumber kehidupan

rakyat, bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan atas lingkungan hidup dan sumber-sumber

kehidupan rakyat.

Menghadapi realitas di atas, WALHI mengemban misi sebagai wahana

perjuangan penegakan kedaulatan rakyat dan demokrasi untuk pemenuhan keadilan,

pemerataan sosial, pengawasan rakyat atas kebijakan pengelolaan lingkungan hidup


dan sumber-
sumber kehidupan rakyat, serta penyelenggaraan kepemerintahan yang adil dan

demokratis.

Untuk mewujudkan misi tersebut WALHI memainkan peran: pertama,

menggalang sinergi kekuatan antar organisasi non-pemerintah dan organisasi rakyat yang

berorientasi pada nilai-nilai : (1) demokrasi, (2) keadilan antargenerasi, (3)

keadilan gender, (4) Penghormatan terhadap makhluk hidup (5) persamaan hak

masyarakat adat, (6) solidaritas, (7) anti kekerasan, (8) keterbukaan,

(9) keswadayaan dan (10) profesionalisme. Kedua,

mendorong proses transformasi sosial dengan cara: (1)

mengembangkan potensi kekuatan dan ketahanan rakyat, (2) mengembalikan mandat

negara untuk menegakkan dan melindungi kedaulatan rakyat, (3) mendekonstrusikan

tatanan ekonomi kapitalistik global yang menindas dan eksploitatif, (4)

membangun alternatif tata ekonomi dunia baru, serta (5) mendesakkan kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang adil dan

berkelanjutan. Ketiga, memfasilitasi komunikasi dan informasi antarorganisasi non-

pemerintah dan antar sesama kelompok masyarakat dan individu dalam melakukan

advokasi lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

II.4. Struktur Organisasi WALHI-Sumut

Struktur kelembagaan WALHI -Sumut dijalankan dengan menggunakan

prinsip Trias Politica. Eksekutif Daerah menjalankan program-program organisasi,

sementara Dewan Daerah merupakan representatif dari seluruh anggota untuk

menjalankan fungsi legislasi. Sedangkan fungsi yudikatif yang berwenang untuk

memeriksa pelanggaran terhadap statuta yang telah ditetapkan sebagai konstitusi WALHI

disebut dengan Majelis Etik Daerah yang bersifat adhoc. Struktur organisasi digambarkan

seperti berikut :
BAB III

ANALISIS DATA

III.1 Kebijakan Moratorium Logging

III.1 Sejarah Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging

Menurut Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, wacana pemberlakuan

kebijakan moratorium logging yang ada di Indonesia saat ini, pertama kali diperkenalkan

52
oleh WALHI. Adapun wacana pemberlakuan kebijakan moratorium logging ini,

pertama kali muncul dalam rapat Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) WALHI

53
yang diadakan WALHI pada tanggal 22 April 2000 di Jakarta. Rapat KDLH WALHI

ini dihadiri oleh Dewan Daerah, Eksekutif Nasional, seluruh jajaran Eksekutif Daerah

dari 26
54
Provinsi, anggota, dan perwakilan dari seluruh lembaga rekanan WALHI. Adapun

tujuan dilakukannya rapat KDLH ini adalah untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja

WALHI daerah/region dan juga evaluasi terhadap kondisi lingkungan hidup di Indonesia.

55
KDLH ini diadakan WALHI dalam masa satu kali dalam satu tahun.

Dalam rapat KDLH WALHI tahun 2000 tersebut, salah satu pembahasannya

adalah mengenai kondisi hutan Indonesia. Setelah melakukan pembahasan yang panjang,

akhirnya seluruh peserta rapat sepakat menyatakan kesimpulan bahwa, kondisi

lingkungan hidup Indonesia khususnya hutan berada pada kondisi yang cukup

mengkhawatirkan. Sehingga, menurut WALHI diperlukan adanya sebuah tindakan nyata

dari pemerintah. Lalu, seperti yang telah disebutkan latar belakang diatas, untuk

menunjukkan kepedulian WALHI terhadap hutan Indonesia tersebut, melalui rapat

KDLH WALHI tersebut, maka

52
Wawancara dengan Syahrul Isman, Loc
Cit
53
Ibid
54
Ibid
55
Pasal 38 ayat 2 Statuta WALHI
WALHI berinisiatif untuk mencarikan solusi yaitu dengan merancang dan mencetuskan

konsep kebijakan moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia. Dan

selanjutnya konsep kebijakan moratorium yang dirancang dan dicetuskan WALHI di

sosialisasikan dan ditawarkan kepada pemerintah Indonesia.

Dari sinilah awal munculnya wacana pemberlakuan kebijakan moratorium

logging tersebut. Lalu selanjutnya, WALHI membuat konsep atas kebijakan moratorium

logging yang mereka tawarkan tersebut, hal ini dilakukan untuk menunjukkan keseriusan

WALHI dalam mencegah laju penyusutan dan perusakan hutan di

Indonesia. Wacana pemberlakuan kebijakan moratorium logging yang

dicetuskan WALHI tersebut selanjutnya dijadikan sebagai agenda

kampanye WALHI dalam laporan tahunan KDLH WALHI tahun 2000. Sejak saat itu,

dilakukanlah berbagai upaya untuk menyosialisasikan pentingnya pemberlakuan

kebijakan moratorium logging tersebut demi menyelamatkan hutan Indonesia dari

ancaman penyusutan dan kerusakan.

III.1.2 Konsep dan Tujuan Pencetusan Kebijakan Moratorium Logging

Pada dasarnya, kata moratorium logging ini terdiri dari dua suku kata yang

berbeda yakni moratorium dan logging. Dan kata moratorium logging ini juga memilki

makna yang berbeda pada masing-masing suku katanya. Suku kata yang pertama adalah

moratorium.

Secara etimologi, istilah moratorium berasal dari bahasa Latin yaitu

“morari“ yang berarti penundaan. Adapun definisi moratorium dalam bahasa Latin ini

adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu

selama batas
56
waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu ke waktu

56
Dewa Gumay, Moratorium Logging Kebijakan Yang Berdaulat, http://dewagumay.wordpress.com/ (di
akses tanggal 11 Mei 2009)
penundaan pembayaran itu sendiri, sementara otorisasinya disebut sebagai undang-

undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan pada saat

terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial, misalnya pada saat perang Jerman-

Prancis. Pemerintah Prancis mengeluarkan undang-undang moratorium perang.

Pendukung moratorium utang berpendapat bahwa moratorium adalah keputusan

berdaulat dari sebuah pemerintahan untuk menunda pembayaran utang, jika

pembayaran tersebut dapat

mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap kesejahteraan


rakyatnya.

Dalam bahasa Indonesia, kata moratorium berarti jeda ataupun

57
pertangguhan . Adapun pengertian dari jeda itu sendiri yaitu tempo, waktu berhenti

(istirahat); atau waktu


58
berhenti sejenak dari segala bentuk aktivitas.

Di Indonesia, kata moratorium ini umumnya dijadikan sebagai suatu istilah yang

sering digunakan oleh kalangan LSM ataupun lembaga lainnya untuk

menyampaikan sesuatu tuntutan baik itu kepada pemerintah ataupun suatu lembaga

Negara/swasta. Tuntutan ini biasanya berupa seruan agar kiranya pemerintah ataupun

suatu lembaga dapat menghentikan sejenak sesuatu aktivitas, yang mana pada saat itu,

aktivitas tersebut dianggap mulai merugikan seseorang ataupun kelompok khususnya

dan juga merugikan

masyarakat Indonesia pada umumnya.

Adapun contoh dari penggunaan istilah moratorium ini di Indonesia selain

moratorium logging yaitu seperti misalnya ‘moratorium pemekaran daerah baru di

Indonesia’. Munculnya tuntutan moratorium pemekaran daerah baru di Indonesia

ini adalah sebagai buntut dari tragedi 3 Februari di Sumatera Utara. Dimana pada saat
itu

terdapat sejumlah massa yang melakukan demonstrasi anarkis di gedung Dewan

57
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta : GRAMEDIA, 2007, hal.
385
58
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997, hal 258
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara. Massa yang melakukan demonstrasi

anarkis ini menuntut agar segera disahkannya pembentukan pemekaran Provinsi Tapanuli

dari Provinsi Sumatera Utara. Namun demonstrasi anarkis ini menewasnya ketua DPRD

Sumatera Utara yaitu Abdul Azis Angkat. Implikasi dari tewasnya Ketua DPRD

Sumatera Utara ini akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Reaksi tersebut

berupa tuntutan terhadap Pemerintah Indonesia agar segera

memberlakukan kebijakan moratorium pemekaran daerah baru di

Indonesia. Berbagai bentuk pernyataan tuntutan moratorium pemekaran daerah tersebut

banyak disampaikan oleh berbagai kalangan melalui media. Adapun salah satu bentuk

pernyataan tersebut yaitu :

“aksi kekerasan di Sumatera Utara yang menewaskan ketua DPRD Sumatera


Utara Abdul Azis Angkat merupakan momentum untuk melakukan
moratorium pemekaran daerah baru di Indonesia. Moratorium atau
penghentian itu diperlukan untuk membenahi rancangan dasar kebijakan
pemekaran daerah yang yang selama ini telah melenceng dari tujuan awal
dan
59
kerap memicu konflik.”

Adapun suku kata yang kedua yaitu logging. Dalam kamus bahasa Inggris-

Indonesia kata logging berarti “kayu bulat”. Namun kata logging ini memiliki kata

dasar yaitu “Log”. Dalam bahasa Indonesia kata log ini berarti batang kayu.

60

Adapun istilah logging, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu hal yang
berkenan
61
dengan kayu .

Di Indonesia kata logging ini umumnya dijadikan sebagai istilah yang

sering digunakan untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan hutan. Seperti misalnya

illegal logging, yang berarti penebangan hutan tanpa izin, ataupun seperti halnya

pemberlakuan

kebijakan moratorium logging atau jeda tebang terhadap hutan Indonesia.


59
Pernyataan Pakar Politik Lokal dan Otonomi Daerah dari FISIP Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, dikutip dalam KOMPAS, Stop Pemekaran Daerah Baru, Jumat 6 Februari 2009
60
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Op Cit, hal. 363
61
Ibid
Secara definisi, moratorium logging atau jeda tebang menurut WALHI

62
adalah berhenti sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Adapun

definisi lainnya yaitu pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas

penebangan kayu skala

besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang
diinginkan tercapai. Menurut WALHI, moratorium logging ini dilaksanakan paling
63

sedikit selama 15 tahun. Lama atau masa diberlakukannya moratorium logging ini

biasanya juga ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

kondisi tersebut. Tujuannya adalah untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat

jalan

keluar yang bersifat jangka panjang dan


permanen.

Sebagai komunitas tumbuhan, sebenarnya hutan secara alami tidak pernah stabil

secara menyeluruh. Artinya, suatu jenis akan mati atau tumbang setelah tahap

klimaksnya. Akan tetapi, pohon yang mati ini segera akan digantikan oleh pohon

satu tingkat

dibawahnya. Demikianlah seterusnya sehingga terjadi siklus alamiah atau yang disebut

dengan proses suksesi ekologis. Suksesi ekologis ini terjadi terus-menerus secara
64

berkesinambungan, bahkan tanpa memerlukan campur tangan manusia. Namun,

agar proses suksesi ekologis tersebut dapat berjalan dengan baik efektif, sangat

diperlukan kebijaksanaan manusia dalam proses pengolahan hutan. Kebijaksanaan

manusia tersebut bisa diwujudka n melalui suatu pembuatan kebijakan dari

pemerintah Indonesia yang diarahkan untuk melindungi proses suksesi ekologis

tersebut. Dan dengan suksesnya proses ekologis tersebut, maka lahan hutan yang

telah tandus dapat tumbuh kembali dengan baik, sehingga hutan pun dapat menjalankan

fungsinya dan manfaatnya secara maksimal. Oleh karena itu,

menurut WALHI dari sinilah diperlukan kiranya

pemberlakukan suatu aturan atau kebijakan untuk mendukung hal tersebut, seperti
halnya

62
http://www.walhi .or.id, (diakses pada tanggal 11 Mei 2009)
63
Ibid
64
Karden Eddy Sontang Manik, Op Cit, hal 77-78
kebijakan moratorium logging yang dapat menyelamatkan hutan Indonesia dan alam dari

bencana.

Masalah struktural kehutanan yang kita hadapi saat ini begitu kompleks.

Masalah- masalah tersebut tidak berdiri sendiri, namun saling mempengaruhi satu

dengan yang lainnya. Reformasi kehutanan hanya dapat tercapai bila masalah-masalah

tersebut dapat diatasi secara simultan dan menyeluruh untuk menuju pengelolaan

sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Dengan tingkat kompleksitas masalah

tersebut, moratorium logging menyediakan peluang dan manfaat ganda bagi pelaksanaan

seluruh langkah- langkah perubahan yang diperlukan untuk melakukan reformasi di

bidang kehutanan.

Moratorium logging di Indonesia dapat dihubungkan dengan keinginan atau

komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang kehutanan yang disusun

pada Sidang CGI (Consultative Group for Indonesia) ke-9 tanggal 1-2 Februari 2000 di

Jakarta Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan

menyampaikan

12 komitmen pemerintah dalam bidang kehutanan, sebagai berikut: (1) moratorium

konversi hutan alam; (2) penutupan industri sarat utang; (3) penghentian

penebangan hutan secara liar atau illegal logging; (4) restrukturisasi industri olah kayu;

(5) rekalkulasi nilai sumberdaya hutan; (6) pengaitan program reforestasi dengan

kapasitas industri; (7) desentralisasi urusan kehutanan, dan (8) penyusunan pogram

kehutanan nasional, (9) penanggulangan kebakaran hutan; (10) penataan kembali

hak-hak tenurial; (11) melakukan inventarisasi sumberdaya hutan; dan (12)

65
memperbaiki sistem pengelolaan hutan.

Moratorium logging dapat dijadikan sebagai langkah dan proses pelaksanaan

komitmen reformasi kehutanan tersebut. Dalam krisis kehutanan seperti saat


ini,

65
WALHI, Hutan Hancur, Moratorium Manjur, http://www.walhi.or.id, (diakses pada tanggal 11 Mei
2009)
moratorium logging terhadap hutan Indonesia dalam skala besar dapat menjadi langkah

awal bagi dilaksanakannya reformasi pengelolaan sumberdaya. Langkah-langkah

moratorium logging dapat dilaksanakan secara bertahap dengan tujuan untuk

menghentikan penebangan haram dan penebangan hutan yang merusak sambil

memajukan usaha-usaha pengelolaan hutan yang lestari.

Perubahan sejati pengelolaan hutan ke arah berkelanjutan hanya akan dapat

terlaksana bila keseluruhan masalah di atas diselesaikan sekaligus. Penyelesaian

masalah- masalah tersebut di atas hanya dimungkinkan dengan moratorium logging

dilaksanakan terlebih dahulu. Moratorium logging harus dilaksanakan sampai

tersusunnya sebuah

frame-work (kerangka kerja) bagi pelaksanaan komitmen reformasi


kehutanan.

III.2 Tahapan-Tahapan Kebijakan Moratorium Logging

Maratorium logging hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium

logging menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi

dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Moratorium logging juga

menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut. Adapun Langkah-

langkah kebijakan moratorium logging dapat dilakukan dalam 5 (lima) tahap selama

dua hingga

tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Tahap I : Penghentian pengeluaran ijin-Ijin baru

Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru

HPH, IPK, perkebunan, sambil mengentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan

kebijakan impor bagi industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan

penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000
Ha dan 100 hektar) oleh bupati. Ijin-ijin oleh bupati hanya dapat dikeluarkan bila daerah

tersebut telah memiliki prasyarat sebagai berikut : adanya lembaga pengendalian

dampak lingkungan
tingkat daerah (semacam Bapedalda), adanya sumberdaya keuangan dan sumberdaya

manusia untuk menjalankan kebijakan lingkungan daerah. Adapun tahapan yang lebih

spesifik yaitu :

1. Pemerintah menghentikan pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH

dan perkebunan diatas hutan alam.

2. Pemerintah mengeluarkan Perpres yang mengatur penggunaan kayu sitaan

hasil dari praktek penebangan liar agar dapat langsung dikelola oleh pemerintah

untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kebijakan impor bagi industri olah

kayu.

3. Menyusun strategi pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat untuk kedepannya.

4. Melakukan audit terhadap berbagai perizinan dan penilaiannya

dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga. Hasil

audit kemudian digunakan untuk menghentikan ijin HPH yang bermasalah,

terutama yang melakukan penebangan diluar batas yang ditentukan dan izin yang

dikeluarkan tanpa mengikuti peraturan penrundangan yang berlaku,

Penegakan hukum

kemudian dilakukan bagi konsesi-konsesi yang bermasalah.

b) Tahap II : Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan

Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium logging dilaksanakan, penghentian ijin

HPH bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh

BPPN. Utang harus dibayar kembali oleh pemilik dan penegakan hukum dilakukan bagi

industri- industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri

bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak

ketiga.

Dalam waktu 8 bulan setelah Tahap I, pemerintah kemudian:

1. Mengeluarkan Perpres yang menghentikan seluruh penebangan kayu di


hutan alam.
2. Melakukan persiapan untuk inventarisir wilayah hutan dengan melakukan

zonasi ulang.

3. Melakukan persiapan untuk merekalkulasi dan memprediksi kebutuhan kayu

masyarakat untuk lima belas tahun kedepan.

4. Mendorong munculnya gerakan penghematan kayu di tingkat masyarakat.

5. Mendorong revitalisasi system adat dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan.

6. Melakukan persiapan untuk mendistribusikan lahan-lahan kritis yang

terletak dihutan dataran rendah kepada masyarakat termasuk konsesi-konsesi

perkebunan yang tidak ditanami untuk kemudian melakukan pembangunan

Hutan Tanaman

Rakyat.

c) Tahap III : Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam

Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu

di Sumatra dan Sulawesi, kedua pulau ini hutannya sangat terancam. Penataan kembali

wilayah hutan di Sumatra dan Sulawesi serta penanganan masalah sosial akibat

moratorium logging dengan mempekerjakan kembali para pekerja pada proyek-proyek

penananam pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Dalam waktu 4 bulan setelah Tahap II, pemerintah kemudian:

1. Melakukan jeda tebang di hutan alam dengan menghentikan seluruh kegiatan

penebangan kayu selama 15 tahun. Pada masa ini, penebangan kayu hanya

diijinkan di atas hutan tanaman yang berasal dari penanaman sendiri atau hutan

yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal yang untuk ini diatur melalui

peraturan tersendiri dan dilakukan pengawasan ketat.


2. Menyusun kebijakan untuk memberikan insentif bagi pembangunan industri

hilir komoditi unggulan yang tujuannya untuk menyerap tenaga kerja dari

sektor

perkebunan sekaligus memberikan nilai tambah ekonomi.

d) Tahap IV : Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan

penyelesaian masalah-masalah potensi sosial

Dalam waktu satu tahun moratorium logging dilaksanakan, pemerintah dapat

menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kalimantan dan penanganan

masalah sosial yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan

melalui sebuah

kebijakan nasional.

e) Tahap V : Larangan penebangan hutan di seluruh Indonesia

Dalam waktu 2-3 tahun: penghentian seluruh penebangan kayu di hutan

alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia. Pada masa ini,

penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelolan

berbasiskan masyarakat lokal.

Selama moratorium logging dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan

dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku

kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh

diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah

berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

Sebelum berakhir, dilakukan evaluasi untuk meninjau kembali keputusan tersebut.

Masa limabelas tahun dianggap cukup untuk

1) memberikan kesempatan kepada hutan untuk melakukan regenerasi


2) memperbaiki tata kelola dan kebijakan disektor kehutanan yang tumpang tindih
3) mempersiapkan Protokol Resolusi Konflik sebagai sebuah acuan dalam

penyelesaian konflik-konflik dengan masyarakat

4) mempersiapkan Standard Pelayanan Ekologi sebagai acuan dalam melakukan

assesment terhadap berbagai perizinan perkebunan dan kehutanan baik yang baru

maupun yang lama

5) mempersiapkan konseptual Sistem Hutan Kerakyatan, sebagai sebuah kebijakan

untuk lebih mengakomodir dan mengakui hak kelola rakyat terhadap

sumberdaya

hutan.

III.3 Keuntungan Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging

Moratorium logging akan memberikan keuntungan ganda dalam perbaikan

pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan, adapun

keuntungan dari apabila diberlakukannya kebijakan moratorium logging ini menurut

WALHI seperti antara lain:

• Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk 'bernafas' dan

menahan berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;

• Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak

balak (timber-tracking) dan audit kayu bulat serta penyergapan terhadap

penebangan liar melalui teknologi monitoring satelit ;

• Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak

tenurial (penguasaan) sumber daya hutan, dan meningkatkan hasil sumber daya

hutan non- kayu;

• Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor

seluas- luasnya, sehingga harga pasar kayu domestik sebanding dengan harga

kayu bulat dunia;


• Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri

olah kayu dan mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang

melakukan bisnis dengan benar dan bersaing yang dapat melanjutkan

bisnisnya dan yang mengandalkan suplai kayu haram dengan sendirinya tidak

akan mampu bersaing;

• Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan

efisiensi pemakaian bahan baku; dan

• Lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius

membangun hutan-hutan tanamannya.

III.4 Kerugian Bila Tidak Diberlakukannya Kebijakan Moratorium Logging

Menurut WALHI, adapun kebijakan moratorium logging sedapat mungkin harus

diterapkan di Indonesia, karena apabila tidak diterapkan maka hutan Indonesia akan terus

mengalami kerusakan dan penyusutan yang semakin mengkhawatirkan. dan tentunya

masyarakat dan pemerintah jugalah yang akan menanggung akibatnya. Dan

adapun kerugian secara spesifik menurut WALHI yaitu :

• Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;

• Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;

• Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian

bahan baku atau untuk mengimpor lebih banyak;

• Industri pulp akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman

dan semakin jauh akan menghancurkan hutan alam;

• Defisit industri kehutanan sebesar US$ 2,5 milyar per tahun dari penebangan

liar tidak bisa dihentikan;

• Hutan dataran rendah di Sumatra akan habis dalam 5 tahun, dan hutan dataran

rendah Kalimantan akan habis dalam waktu 10 tahun;


• Kita akan kehilangan basis industri yang menghasilkan devisa sebesar US$

7 milyar pada masa yang akan datang dan bila sumberdaya hutan telah habis, dan

ratusan ribu pekerja di sektor ini akan kehilangan pekerjaannya dalam masa 10

tahun mendatang;

Kebutuhan kayu bagi industri dapat diimpor melalui kebijakan membuka keran

impor kayu selebar-lebarnya. Margin keuntungan dari industri kayu yang besar

memungkinkan menggunakan suplai dari kayu impor. Tujuan jangka panjang

pelaksanaan moratorium logging adalah menyeimbangkan kapasitas industri pada tingkat

keberlanjutan hutan alam.

III.5 Upaya yang Dilakukan WALHI dalam Menyosialisasikan Pencetusan

Kebijakan Moratorium Logging

WALHI mengemban misi sebagai wahana perjuangan penegakan kedaulatan dan

demokrasi untuk pemenuhan keadilan, pemerataan sosial, pengawasan rakyat atas

kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, serta

penyelengaraan pemerintahan yang adil dan demokratis.

Untuk mewujudkan misi tersebut WALHI memainkan peran : pertama,

menggalang sinergi kekuatan antar organisasi non-pemerintah dan organisasi rakyat yang

berorientasi pada nilai : (1) Demokrasi, (2) Keadilan antar generasi, (3) keadilan

gender, (4) penghormatan terhadap mahkluk hidup, (5) persamaan hak masyarakat adat,

(6) solidaritas, (7) anti kekerasan, (8) keterbukaan, (9)

keswadayaan dan, (10) profesionalisme.

Kedua, mendorong proses transformasi sosial dengan cara : (1) mengembangkan

potensi kekuatan dan ketahanan rakyat, (2) mengembalikan mandat negara

untuk
menegakkan dan melindungi kedaulatan rakyat, (3) mendekonstruksikan tatanan ekonomi

kapitalistik global yang menindas dan ekspolitatis, (4) membangun alternatif tata

ekonomi dunia bar, serta (5) mendesakkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan

sumber- sumber kehidupan rakyat yaang adil dan berkelanjutan.

Ketiga, memfasilitasi komunikasi dan informasi antar organisasi non-pemerintah

dan antar sesama kelompok masyarakat dan individu dalam melakukan advokasi

lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Oleh karena itu, dari sejak awal memperjuangankan kebijakan moratorium

logging, WALHI berkomitmen akan menempuh berbagai cara agar moratorium

logging ini dapat dilaksanakan di Indonesia dalam sebuah bentuk kebijakan pemerintah.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan WALHI dalam menyosialisasikan

pemberlaluan kebijakan moratorium logging ini agar menjadi sebuah kebijakan di

Indonesia antara lain adalah sebagai berikut : (1) membangun lembaga mitra

pemerintah (2) melakukan advokasi (3) melakukan investigasi terhadap kasus-kasus

perusakan hutan, (4) melakukan kampanye secara luas dan menyeluruh, (5) mengadakan

seminar nasional tentang dampak kerusakan hutan dan perlu kebijakan moratorium

logging, (6) Aksi

dengan menggunakan massa untuk memberi preassure kepada para pelaku kebijakan.
66

Dan adapun uraian dari upaya-upaya yang dilakukan WALHI dalam

menyosialisasikan kebijakan moratorium logging tersebut adalah sebagai berikut :

1. Membangun lembaga mitra pemerintah

Pada tahap awal perjuangannya, WALHI berusaha menjadi lembaga mitra

pemerintah. Namun dalam kemitraannya, WALHI hanya terfokus untuk membantu


66
Dokumen WALHI-Sumut
pemerintah dengan jalan advokasi dan pengawasan atau kontrol terhadap kelestarian

lingkungan hidup khususnya hutan. WALHI yang sangat concern dan serius membantu

pemerintah dalam melakukan advokasi dan pengawasan atau kontrol berupaya

menunjukkan keseriusannya dengan membangun lembaga mitra pemerintah dalam skala

nasional ataupun daerah. Secara internasional, WALHI adalah anggota dari Friends Of

the Earth International (FOEI) yang merupakan federasi lingkungan hidup sedunia

dengan 71

organisasi anggota di 70 negara, dan memiliki lebih dari sejuta orang anggota
67
individu.

Secara nasional WALHI telah berada di 26 provinsi termasuk Sumatera Utara. Saat ini

WALHI telah membangun lembaga pemerintah dengan menggabung kan diri pada forum

kelompok masyarakat sipil yang sekarang memiliki 45 anggota organisasi yang tersebar

diseluruh Indonesia dan juga Sumatera Utara. Dan berikut adalah beberapa

organisasi

anggota WALHI :

1. Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera (BAKUMSU)

2. Yayasan Pengembangan Sumber Manusiawi (BINA INSANI)

3. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)

4. Bina Konversi Alam (BINIKA)

5. Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra Indonesia)

6. Yayasan Pengembangan Masyarakat “EKA BAKTI” (YPM EKA BAKTI)

7. Lembaga Transformasi Sosial (ELTRANS)

8. Forum Petani Kreatif (Yayasan IBA Teman Kreatif)

9. Forum Usaha Informasi Edukasi Sejahtera (FUSIES)

10. Generasi Pencinta Kelestarian Alam (GENETIKA)

11. Yayasan Humaniora

12. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)
67
http:// www.walhi .or.id (diakses pada tanggal 11 Mei 2009)
2. Melakukan advokasi

Berdasarkan perencanaan strategis yang disusun akhir tahun 1999, kegiatan

advokasi WALHI sepanjang tahun 2000 mengacu pada rumusan kebijakan eksternal

(advokasi kebijakan). Kebijakan advokasi eksternal diantaranya: menyarankan

kepada pemerintah daerah dan pusat agar segera memberlakukan kebijakan moratorium

logging terhadap hutan Indonesia, demi menyelamatkan hutan Indonesia tersebut. Lalu,

mengubah UU yang dianggap merugikan rakyat dan lingkungan hidup, membangun

strategi advokasi pro-aktif, terutama pada masyarakat yang terkena bencana dan

krisis, membangun kekuatan rakyat agar dapat mengontrol liberalisasi ekonomi,

membangun sistem dan memperkuat civil society agar dapat mengontrol akuntabilitas

parlemen di tingkat provinsi atau kabupaten dan pelaksanaan otonomi daerah serta

memperjuangkan terbentuknya penyelenggaraan negara yang baik dan bersih. Namun,

tidak semua organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup,

melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Adapun syarat yang dimaksud adalah :

a. Berbentuk badan hukum atau yayasan

b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah

untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Dengan adanya persyaratan tersebut maka secara selektif keberadaan organisasi

lingkungan harus diakui memiliki ”ius standi” agar dapat mengajukan gugatan atas nama

lingkungan hidup ke pengadilan. Gugatan yang diajukan organisasi lingkungan hidup ini

tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya gugatan lain, seperti

dibawah ini :
- Memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk

melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan pelestarian fungsi

lingkungan hidup.

- Memohon kepada pengadilan untuk menyatakan seseorang atau lembaga

yang melakukan usaha perbuatan melanggar hukum karena telah

mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.

Dengan adanya kewenangan WALHI dalam melakukan advokasi terhadap

seseorang atau lembaga ini, maka WALHI dapat meminta seseorang atau lembaga

tersebut untuk menghentikan suatu kegiatan yang dapat merusak lingkungan ataupun

hutan. Dengan membawa berbagai isu tentang ancaman terhadap eksistensi kehutanan di

Indonesia, maka WALHI melakukan advokasi terhadap pemerintah agar segera

memberlakukan kebijakan moratorium logging terhadap hutan Indonesia demi

menyelamatkan hutan Indonesia itu sendiri secara nasional.

3. Melakukan investigasi terhadap kasus-kasus perusakan hutan

Dalam upaya ini WALHI melakukan penelitian tentang seberapa parah kerusakan

hutan di wilayah. Dengan dilakukannya penelitian ini dapat ditentukan juga kawasan

mana yang bernilai ekologi tinggi. Investigasi dilakukan dalam bentuk langsung turun ke

lapangan atau melalui investigasi satelit. Hutan dalam pandangan LSM ini adalah

kawasan yang bukan bernilai ekonomi tinggi, melainkan bernilai ekologi tinggi.

Paradigma yang terbangun di masyarakat saat ini adalah hutan sebagai kawasan bernilai

ekonomi tinggi karena menghasilkan kayu dan lahan yang dapat menghasilkan

keuntungan. Oleh sebab itu lah pembalakan sering terjadi. Sedangkan hutan sebagai

kawasan bernilai ekologi tinggi adalah merupakan kawasan atau hutan yang dapat

digunakan sebagai penyangga kehidupan, karena dapat membantu kehidupan orang

banyak, kegunaannya seperti :


a.hutan sebagai penyangga pertanian

b. hutan sebagai sumber mata

pencaharian c.hutan sebagai penyumbang

udara bersih

d. hutan sebagai penyangga ekosistem, yang dapat menyimpan air dan

penyangga bencana

Dalam upaya ini WALHI melakukan penelitian tentang kasus-kasus

kehutanan yang terjadi di Indonesia. Motif-motif apa saja yang menyebabkan terjadinya

illegal logging di wilayah Indonesia sampai pada investigasi sistem hukum dan sistem

pengelolaan hutan yang penuh dengan korupsi. Investigasi ini berguna untuk

menginformasikan bahwa begitu banyak dampak kerugian dari pembalakan hutan dari

tangan-tangan penjahat lingkungan. Hasil dari investigasi kasus-kasus kehutanan ini juga

sangat berguna untuk dijadikan landasan dalam pencetusan maupun pemberlakuan

moratorium logging Indonesia.

4. Melakukan kampanye secara luas dan menyeluruh

Dari hasil investigasi diatas, dilakukanlah kampanye/sosialisasi secara luas

kepada masyarakat. Data yang didapat dari hasil investigasi tadi menjadi referensi pokok

yang dijadikan oleh WALHI untuk diberitahukan secara luas dan menyeluruh

kepada masyarakat melalui berbagai media, baik media massa, media elektronik

dan media internet. Kampanye WALHI ini dilakukan untuk merubah pola pikir

masyarakat dalam mengelola hutan Indonesia. Dan membuat masyarakat menjadi lebih

tahu tentang permasalahan melalui media data seyogyanya akan menambah wacana yang

mengundang perhatian dan apresiasi dari masyarakat. Hasil investigasi merupakan

hasil pengusutan yang terencana dan sistematis dan diteliti secara mendetail yang

kemudian menjadi sebuah


pengetahuan baru (new knowledge) yang disebarkan melalui berbagai media

termasuk melalui kampanye.

Melalui kampanye/sosialisasi ini WALHI mengenalkan konsep

moratorium logging kepada masyarakat luas di Indonesia. Dan menyerukan agar

masyarakat di Indonesia mendukung moratorium logging ini untuk dijadikan kebijakan

di Indonesia. Melalui kampanye ini WALHI juga ingin menciptakan sensitivitas

masyarakat terhadap kerusakan hutan sehingga diharapkan masyarakat akan memberikan

dukungan penuh terhadap WALHI dalam upaya mendesak pemerintah agar segera

memberlakukan moratorium logging terhadap hutan Indonesia.

5. Mengadakan seminar Nasional tentang perlunya kebijakan

moratorium logging

Setelah bererapa tahapan pengumpulan data dilakukan, lalu WALHI

meningkatkan pembahasan konsep dari kebijakan moratorium logging ini melalui

seminar. Melalui seminar ini WALHI mengundang berbagai kalangan yang dianggap

berhubungan dengan sektor kehutanan. Seperti misalnya Departemen Kehutanan,

Pengusaha HPH, Anggota DPR-RI dari Komisi Kehutanan dan masyarakat umum.

Menurut WALHI, tahapan seminar ini merupakan tahapan yang sangat krusial.

Hal ini dikarenakan, melalui seminar tersebut WALHI dapat menyampaikan dan

menjelaskan tentang dengan gamblang tentang konsep dari kebijakan moratorium

logging tersebut langsung kepada pemerintah secara khusus. WALHI juga dapat

menyampaikan kepada permerintah Indonesia (melalui Departemen Kehutanan) hasil

temuan dari kasus-kasus kehutanan di Indonesia, yang dikumpulkan WALHI

melalui tahapan-tahapan yang


dilakukan WALHI tersebut diatas sebagai dasar untuk mengajak pemerintah agar

68
segera memberlakukan kebijakan moratorium logging di Indonesia.

Setiap tahun, sejak dicetuskannya moratorium logging tersebut, WALHI sanagt

gencar mengadakan seminar tentang perlunya kebijakan moratorium logging. Hal ini pun

dilakukan agar kebijakan moratorium logging yang dicetuskan WALHI tersebut

diharapkan agar mendapatkan respon yang positif baik dari pemerintah

ataupun masyarakat luas. Adapun salah satu seminar yang

diadakan WALHI untuk mengkampanyekan moratorium

logging tersebut ialah seminar yang diadakan pada tanggal 30-Juni-2008. Adapun

tema dari seminar tersebut yaitu “Kejahatan Lingkungan dan Sosialisasi Moratorium

Logging”. Seminar ini diadakan digedung Wisma Dahlia, Universitas Lampung,

Provinsi Lampung. Seminar ini menghadirkan badan pengelolaan lingkungan hidup,

dan mengundang semua pihak eksekutif terkait, legislatif, unsur


69
kepolisian, NGO/LSM, ormas , mahasiswa, akademisi, serta para wartawan.

6. Melakukan demonstrasi dengan menggunakan massa untuk memberi pressure

kepada pemerintah.

Metode pressure yang dilakukan WALHI terhadap para pelaku kebijakan salah

satunya dengan cara demonstrasi turun ke jalan. Dengan mengangkat isu tentang

kerusakan dan penyusutan hutan Indonesia yang semakin mengkhawatirkan,

sehingga pemerintah didesak agar segera memberlakukan kebijakan moratorium logging

terhadap hutan Indonesia. Menurut salah satu anggota WALHI-Sumut, Preassure dengan

demonstrasi turun ke jalan ini dilakukan tidak hanya yang berkaitan langsung

dengan

moratorium logging tetapi juga kasus-kasus hasil investigasi, pelaku kejahatan ilegal
68
Wawancara dengan Ibrahim Nainggolan, (Ketua Dewan Daerah WALHI-Sumut), pada tanggal 13 Mei
2009
69
Wawancara dengan Syahrul Isman, (Eksekutif Daerah WALHI-Sumut), pada tanggal 13 Mei 2009
logging, seperti kasus Adelin Lis (Senin 23 Juli 2007) dan yang terbaru adalah aksi

70
tentang KTT climate change di Bali. Lalu WALHI juga melakukan demonstrasi

disela- sela pertemuan lima menteri lingkungan hidup asean yaitu Indonesia,

singapura, maslaysia, Brunei,Thailand, pada tanggal 20-6-2007 dijambi. Kala itu WALHI

mendesak agar pertemuan lima menteri lingkungan hidup itu harus menghasilkan

komitmen yang kongkret dan jangan hanya penandatanganan kontrak tanpa action.

Menurut direktur WALHI Sumatera Utara, Indonesia selama ini gagal dalam

menangulangi kerusakan hutan, dikarenakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak

kurang efektif dalam melindungi hutan, oleh karena itu sebaiknya pemerintah segera

memberlakukan kebijakan

moratorium logging.

Dan yang terakhir, WALHI juga melakukan demonstrasi pada saat debat calon

presiden putaran terakhir yang dilakukan pada tanggal 2 juli 2009 dibalai Sarbini Jakarta.

Pada saaat itu WALHI mendesak agar calon presiden yang terpilih pada pemilu 2009

nantinya harus seggera memberlakukan kebijakan moratorium logging terhadap

hutaan

Indonesia.

Setelah berbagai tahapan dan upaya dilakukan WALHI dalam menyuarakan

kebijakan moratorium logging tersebut, maka segala sesuatunya tentunya dikembalikan

kepada pemerintah. Karena pemerintah lah yang berhak memberlakukan kebijakan

moratorium logging tersebut. Namun, menurut WALHI, dari sejak dicetuskan pada

tahun

2000 lalu hingga saat ini, kebijakan moratorium logging tersebut sepertinya belum

mendapat respon yang positif dari pemerintah. Indikasinya yaitu, secara empiris WALHI
70
Wawancara dengan Ibrahim Nainggolan, Loc Cit
belum pernah mendengar adanya pemberlakuan kebijakan moratorium logging

71
terhadap hutan Indonesia secara nasional.

Menurut WALHI, sikap pemerintah ini menunjukkan bahwa pemerintah masih

kurang sensitif terhadap kondisi hutan Indonesia. WALHI menilai sikap pemerintah ini

merupakan wujud dari inkosistensi pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan hutan

di Indonesia. Komitmen reformasi dibidang kehutanan di Indonesia hanya dijadikan lips

service demi menutupi keengganan pemerintah dalam menyelesaikan masalah hutan di

72
Indonesia. Kalau saja pemerintah memang serius dalam menyelesaikan

permasalahan hutan di Indonesia, maka seharusnya pemerintah memberikan respon yang

positif terhadap tawaran kebijakan moratorium logging tersebut dan

sesegera mungkin dapat


73
memberlakukanya

Pada dasarnya WALHI mengerti dan sadar, sesungguh pemerintah mampu

menyelesaikan permasalahan hutan Indonesia yang sangat kompleks ini. Namun

berbagai kepentingan baik itu dari pengusaha kayu ataupun oknum pemerintah itu

sendiri, menjadi pertimbangan dan kendala besar bagi pemerintah dalam menerima

kebijakan moratorium

logging tersebut untuk dijadikan suatu kebijakan di Indonesia.

Kebijakan moratorium logging tentu tidak sepenuhnya didukung oleh

berbagai pihak, keputusan yang tidak popular bagi pelaku bisnis perkayuan, tetapi secara

umum dapat disimpulkan bahwa pihak yang tidak mendukung kebijakan moratorium

logging adalah pengusaha HPH yang gemar melakukan illegal logging, pihak-pihak yang

menggunakan jalur illegal, menabrak rambu hukum, dan tidak berpikir dampak

kerusakan

hutan.
71
Wawancara dengan Syahrul Isman, Loc Cit
72
Ibid
73
Ibid
Moratorium logging tidak sama dengan larangan memanfaatkan hasil hutan, tetapi

perlu diatur agar tidak menimbulkan konflik kepentingan melalui penyusunan kembali

tata kelolanya. Hutan juga perlu istirahat dari daya rusak eksploitasi yang berlebihan,

reforestrasi atau penanaman kembali merupakan pilihan yang paling bijaksana, menguras

habis hasil hutan kayu tanpa pernah memikirkan penanaman kembali merupakan

tindakan yang akan merugikan orang banyak.

Oleh karena itu hingga saat ini WALHI belum berhenti memperjuangkan

kebijakan moratorium logging ini hingga dijadikan suatu kebijakan di Indonesia.

Untuk itu, WALHI tetap konsisten pada titik perjuangannya, yakni membantu

pemerintah Indonesia dalam mengaktualisasikan dan mengawasi kebijakan lainnya yang

berkenaan dengan penyelematan hutan di Indonesia sambil terus menyuarakan kebijakan

moratorium logging tersebut dan juga mendorong diberikannya hak rakyat untuk

mengakses hutan alam demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.


BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Setelah memaparkan tentang kondisi hutan Indonesia tersebut diatas, maka dapat

kita simpulkan bahwasannya kondisi hutan Indonesia memang sudah cukup

mengkhawatirkan. Indonesia yang dulunya sering disebut-sebut sebagai kawasan “paru-

paru dunia” karena memiliki luas hutan yang ketiga terbesar didunia, sepertinya harus

rela disebut sebagai negara yang gagal dalam menjaga hutannya. Tingginya kebutuhan

masyarakat Indonesia terhadap hasil hutan telah menimbulkan kesenjangan antara

persediaan dan permintaan terhadap pasar kayu di Indonesia yang berimplikasi terhadap

terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap hutan Indonesia yang akhirnya

mempercepat laju penyusutan hutan. Hal ini sebenarnya bukanlah permasalahan yang

timbul begitu saja, paradigma yang berkembang di masyarakat Indonesia menganggap

kawasan hutan adalah kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, pandangan

ekonomi yang sempit yang menganggap hutan hanya sebagai penghasil

kayu dan lahan yang dapat mendatangkan keuntungan berlimpah, maka terjadilah

penebangan hutan dan eksploitasi luas terhadap hutan yang berakhir pada rusaknya hutan

dan mengundang beribu bencana.

Hutan seharusnya dipandang sebagai kawasan yang bernilai ekologi tinggi,

karena hutan adalah sebagai kawasan penyangga kehidupan yang sangat bermanfaat bagi

kehidupan manusia itu sendiri. Pengabaian terhadap fungsi hutan inilah yang

menimbulkan banyaknya permasalahan hutan, seperti halnya illegal logging dengan

modus penggunaan izin HPH, pemberian izin konsesi penebanga hutan Indonesia secara

berlebihan kepada pengusaha HPH, penebangan hutan dengan modus


perladangan
berpindah dan diperparah lagi dengan pembiaran terhadap segala perusakan hutan dengan

berbagai motif lainnya. Disamping itu sistem hukum dan sistem pengelolaan hutan yang

sangat kacau adalah faktor paling deteminan terhadap terjadinya penyusutan dan

kerusakan hutan Indonesia secara besar-besaran. Law enforcement yang lemah dan

sistem pengelolaan hutan yang kacau karena selalu tumpang tindih menyebabkan

persediaan (supply) kayu tidak sebanding dengan permintaan (demand) kayu untuk

industri atau ekspor, yang pada akhirnya menggunduli hutan Indonesia untuk menutupi

permintaan pasar.

Bertolak dari hal tersebut, maka kiranya perlu untuk melaksanakan sebuah

kebijakan seperti halnya kebijakan morratorium logging yang ditawarkan oleh WALHI

tersebut. Dan bila pun diterapkan, hendaknya tidak hanya tertulis di atas kertas, namun

diimplementasikan melalui kebijakan yang legal dan berkekuatan hukum yang kuat.

Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan hutan ini disuarakan oleh WALHI sebagai

LSM yang selalu menyuarakan penyelamatan lingkungan hidup. Penulis menilai, latar

belakang inti atas kebijakan moratorium logging ini adalah untuk membiarkan

hutan

‘bernafas’, maksudnya membiarkan hutan untuk tumbuh dan merehabilitasi dirinya

sendiri, dan dengan sendirinya akan mempersiapkan bakal-bakal kayu yang dapat

dipergunakan, sekaligus menjadi penyangga kehidupan manusia.

Latar belakang yang lain adalah untuk memperbaiki sistem hukum dan

sistem pengelolaan hutan yang selama ini tumpang tindih yang menyebabkan maraknya

penggundulan hutan. Mengoreksi segala kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh

sistem tersebut sebagaimana dipergunakan untuk memperbaiki kawasan hutan ke depan.

Karena seberapa besar hasil dari industri pengolahan hutan masih jauh lebih kecil dari

uang yang
harus dikeluarkan untuk mendanai dampak bencana alam yang diakibatkan oleh

industri pengolahan hutan tersebut.

Oleh karena itu, sudah seharusnya, dalam pengelolaan sumber alam ini benang

merahnya yang utama adalah mencegah timbulnya pengaruh negatif terhadap lingkungan

dan mengusahakan kelestarian sumber alam agar bisa digunakan terus-menerus,

sambung- menyambung untuk generasi-generasi dimasa depan.

Oleh karena kompleksnya permasalahan hutan Indonesia tersebut diatas,

maka pilihan untuk segera memberlakukan kebijakan moratorium logging terhadap hutan

Indonesia yang ditawarkan WALHI tersebut, seharusnya merupakan hal yang tidak bisa

ditawar lagi, pemerintah Indonesia harusnya membuka mata dan menyadari

bahwasannya begitu kompleksnya permasalahan hutan di Indonesia ini. Lalu, sekiranya

dapat memberikan respon terhadap upaya yang dilakukan WALHI dalam menyelamatkan

hutan Indonesia tersebut melalui pemberlakuan kebijakan moratorium logging yang

dicetuskan dan di tawarkan oleh WALHI tersebut. Agar berbagai manfaat dari kebijakan

moratorium logging tersebut dapat terwujudkan.


IV.2 Saran

Menurut penulis, untuk menanggulangi penyusutan dan kerusakan hutan

Indonesia tersebut, upaya yang dilakukan sangat tergantung pada penyebabnya. Seperti

halnya penyusutan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh peladangan yang

berpindah-pindah, penyelesaiannya dapat dillakukan dengan membina masyarakat

peladang berpindah agar menjadi petani yang menetap. Lalu untuk mencegah

penyusutan dan kerusakan hutan Indonesia yang disebabkan oleh sistem konsesi

penebangan HPH, penyelesaiannya dilakukan dengan memberikan aturan kepada

pemegang HPH agar dapat melakukan hal- hal sebagai berikut :

1. Pada tahap awal, pemegang HPH diwajibkan untuk mempersiapkan bibit

pohon dari jenis-jenis kayu komersial yang akan ditebang

2. Dalam satu hektar hutan yang ditebang, harus ditinggal 25 pohon dengan

diameter setingggi dada atau lebih dati 35 CM yang tersebar secara merata

3. Pada areal bekas tebangan dilakukan penanam atau persemaian kembali

dengan bibit yang telah disiap sebelumnya.

Dengan menerpakan sistem tersebut diatas maka regenerasi hutan akan

berlangsung dengan baik.

Namun, bila menimbang dari penjelasan tentang kondisi hutan Indonesia

yang telah dijabarkan pada bab-bab diatas, maka penulis menilai, kondisi hutan

Indonesia saat ini telah sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, penulis

menyarankan, baik kepada


pemerintah Indonesia, WALHI, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, perlu kirnya

untuk segera melakukan beberapa tindakan penyelamatan terhadap hutan Indonesia

tersebut. Adapun tindakan yang perlu dilakukan menurut saran penulis adalah

1. Kepada pemerintah, sudah seharusnya pemerintah Indonesia berganti peran

dari yang dulunya selalu berpihak kepada pengusaha/industri yang selalu

mengabaikan kelestarian lingkungan menjadi pemerintah

yang selalu berpihak kepada lingkungan hidup (green

government).

2. Untuk menghentikan penyusutan dan kerusakan hutan di Indonesia,

maka pemerintah sebaiknya segera memberlakukan kebijakan moratorium

logging yang dicetuskan oleh WALHI tersebut dan harus mulai serius untuk tidak

lagi dengan mudah mengeluarkan ijin-ijin baru untuk pengusahaan hutan,

pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum

terhadap pelaku yang melanggar segala aturan dalam kehutanan.

3. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja

industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang

bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan

yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian

penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan

dalam proyek penanaman pohon.

4. Kepada WALHI, dalam peranannya mempengaruhi kebijakan, sebagai

lembaga yang paling peduli terhadap lingkungan khususnya hutan Indonesia,

penulis mengharapkan agar WALHI lebih agresif dan jangan pernah mundur dari

permasalahan hutan Indonesia sebelum menemukan jalan keluar. Dan harus lebih

tegas dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

yang
sering kali tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan khususnya hutan

Indonesia.

5. Kepada masyarakat Indonesia, dapat menulis surat ataupun melakukan

tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa.

Selain itu, lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan

berikan laporan kepada WALHI terdekat ataupun lembaga non pemerintah lainnya

dan kepada instansi penegak hukum, serta media massa, bila menemukan

terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan pengrusakan hutan. Dan

mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang,

memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu hasil

penebangan yang merusak hutan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Arifin, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001

Buda iri, Muhamad, Masyarakat Sipil dan demokrasi, Yogyakarta : E-Law Indonesia,

2002

Chadwick, Bruce A, dkk, Social Science Research Methods, Terj. Sulistia, dkk,

Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Semarang : IKIP Semarang Press,

1991

Dietz, Ton, Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam : Kontur Geografi Lingkungan

Politik, Yogyakarta : INSIST Press, 2005

Duverger, Maurice, Partai Politik dan Kelompok Penekan, Yogyakarta : Bina Aksara,

1984

K. Yin, Robert, Studi Kasus, Desain dan Metode, Jakarta : Rajawali Pers, 2003

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika, 1997

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung : CV Mandar Maju,

1996

Lindblom, Charles, Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta : Airlangga, 1996


M. Echols, Jhon, dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta

: GRAMEDIA, 2007

Manan, Munafrizal, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta : Resist Book, 2005

Manik, Karden Eddy Sontang, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta : Djambatan,

2003

Nasution, M. Arif, Metode Penelitian, Medan, Fisip USU Press, 2008

Nugroho, Riant dan Tri Hanurita, Tantangan Indonesia, Solusi Pembangunan Politik

Negara Berkembang, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2005

Nurdjana, IGM, dkk, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,

Yogyakarta : 2005

Prasetyo, Hendro, dkk, Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta

: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002

Saleh, M.Ridha, ECOCIDE, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia, Jakarta : WALHI, 2005

Soemarwoto, Otto, Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Yogayakarta : Gadjah Mada University Press, 2001

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata

Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003


Tangkilisan, Hessel Nogi S, Kebijakan Publik yang Membumi, : Konsep,

Strategis, dan Kasus, Yogyakarta : Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik

Indonesia (YPAPI), 2003

Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo,

2004

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 Tentang Pokok Kehutanan

Penjelasan UU No.41/1999 tentang Kehutanan

Peraturan Pemerintah No 7/1990, tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Dokumen WALHI-Sumut

Database WALHI-Sumatera Utara

Dokumen WALHI-Sumatera Utara

Statuta WALHI

Koran

KOMPAS, Jumat 6 Februari 2009

KOMPAS, Rabu 3 Juni 2009

Situs Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Hut an

http://www.walhi.or.id
Gumay, Dewa, Moratorium Logging Kebijakan Yang Berdaulat,
http://dewagumay.wordpress.com/

Ibrahim, Anwar, Masyarakat Madani vs Masyarakat Sipil, http://syaitan

wordpress.com

Munthe, Hadi, Jeda (Moratorium) Tebang Hutan Alam Sumatera Utara Selama 15
Tahun http://www. Kennortonhs. com

WALHI, Hutan Hancur, Moratorium Manjur, http://www.walhi.or.id

Wawancara

Wawancara dengan Ibrahim Nainggolan, (Ketua Dewan Daerah WALHI-

Sumut) Wawancara dengan Syahrul Isman, (Eksekutif Daerah WALHI-Sumut)

Anda mungkin juga menyukai