Anda di halaman 1dari 67

SOAL ULANGAN TENGAH SEMESTER GENAP

TAHUN PERKULIAHAN 2013-2014


MATA KULIAH AGAMA KATOLIK
Selasa. 6 Mei 2014
====================================

JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN INI DENGAN BENAR !

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan iman dan agama serta kaitannya keduanya !
2. Jelaskan ibadah rohani dan ibadah sosial dalam Gereja Katolik dan unsur-unsur di dalam
ibadah tersebut !
3. Jelaskan bahwa agama adalah sumber hidup manusia dalam relasi tiga dimensi; Allah
Pencipta, sesama dan seluruh alam ciptaan. !
4. Jelasjan peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat beradab dan sejahtera !
5. Apa yang dimaksud dengan Kerajaan Allah dan berilah penjelasan hal-hal yang dilakukan
Yesus untuk mewartakan dan memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah !
SOAL UJIAN SEMESTER GENAP
TAHUN AKADEMIK 2013-2014
MATA KULIAH AGAMA KATOLIK

JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN INI DENGAN BENAR !

1. Inti dari kehidupan beragama adalah iman dan wahyu. Jelaskan masing-masing dan ber i
penjelasan bagaimana hubungan antara keduanya ?!
2. Sebut dan jelaskan masing-masing unsur penting yang secara umum ada dalam agama-
agama !
3. Jelaskan pengertian kebebasan beragama, dan sebutkan dasar-dasar kebebasan beragama !
4. Hal-hal yang bisa merongrong dan membahayakan kehidupan beragama antara lain adalah :
hedonisme, individualisme, laksisme, pragmatisme, permisivisme dan ateisme. Jelaskan
masing-masing pengertian tersebut!
5. Jelaskan pengertian dialog antar umat beragama dan apa saja landasan dialog antar umat
beragama ?!
6. Sebutkan sikap dan syarat dialog antar umat beragama agar dapat berhasil baik !
7. Jelaskan sikap gereja terhadap KB / keluarga Berencana, aborsi dan euthanasia ?!
8. Sebutkan peran yang bisa anda laksanakan sebagai mahasiswa Katolik terhadap masalah
ketidak jujuran ?
9. Sebutkan peran dan keikutsertaan yang bisa dilakukan mahasiswa Katolik dalam kehidupan
menggereja !
10. Sebutkan tiga usaha untuk memperjuangkan kerukunan dalam kehidupan beragama ?!
1. Apa yg dimaksud dengan moralitas? Apa bedanya moralitas dengan norma serta
sebutkan tiga lembaga normatif!

2. Jelaskan apa itu kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial serta berilah
contohnya?

3. Sebutkan 3 prinsip moral dasar dan penjelasannya?

4. Apa itu prinsip double effect dan berilah contoh kasusnya!

Jawab :
1. Moralitas adalah sesuatu yang menyangkut baik-buruknya manusia sebagai
manusia, bukan sebagai pemeran sosial tertentu (mahasiswa, dosen,
seniman, olahragawan, dll).
Perbedaan moralitas dan norma ukuran obyektif moralitas.
3 lembaga normatif :
1. Masyarakat: semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada hidup kita,
Contoh: keluarga termasuk orangtua, sekolah, agama, tempat kerja.
2. Superego: perintah atau larangan dari luar yang telah dibatinkan dan menjadi
seolah-olah dari diri kita sendiri.
Contoh: perasaan malu atau bersalah
3. Ideologi: pandangan, ajaran, atau aliran yang menjelaskan secara rinci dan
menyeluruh bagaimana masyarakat diatur.
Contoh: kapitalisme, sosialisme, liberalisme, komunisme.
2. Kebebasan eksistensial adalah
Soal Pendidikan Agama Katolik
1.Menurut Anda, apa perbedaan kasih yang diajarkan
Yesus dengan
k a s i h d a l a m praktek kehidupan masyarakat luas?
2.Apakah tujuan pernikahan Kristiani? Jelaskan
3.Menurut Pendapat Anda, bolehkah pernikahan diceraikan bila
t i d a k m e m p u n y a i anak laki-laki bahkan tidak mempunyai anak sama sekali?
Mengapa?Jelaskan
4.Mengapa Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
( I P T E K ) s e y o g y a n y a dimanfaatkan untuk hal-hal yang posistif?Jelaskan
Jawabnya
5.Sebutkan Persoalan -persoalan dasar manusia? Setelah itu
j e l a s k a n b a g a i m a n a cara-cara Kristiani untuk memecahkan persoalan-persoalan
dasar tersebut?
6.Secara iman Katolik, apa yang dimaksud dengan martabat
m a n u s i a ? J e l a s k a n jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Kitab Suci PejanjianBaru.
7.”Hidup manusia merupakan anugerah Allah dan
s e k a l i g u s m e r u p a k a n t u g a s panggilan Tuhan Allah”. Jelaskan pengertian
kalimat tersebut.8 . C o b a l u k i s k a n d e n g a n k a t a - k a t a A n d a
S e n d i r i p e n g e r t i a n t e n t a n g ” o r a n g beriman”. Lalu sebutkan
contoh-contoh orang beriman dalam kehidupan
30 Oktober 2015
Materi Semester 1
===============

Jelaskan dengan kalimat kalian sendiri ,pengertian TUHAN YME menurut kebudayaan kuno,
pengalaman sejarah bangsa Israel, berdasar pengalaman Yesus Kristus dan kesaksian para rasul,
keimanan berdasarkan iman Katolik, ketaqwaan berdasar iman Katolik dan filsafat Ketuhanan !
30 Oktober 2015
Pertemuan Semester pertama
=========================
1. Jelaskan arti moral !
2. Jelaskan hubungan manusia dan moral !
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan martabat manusia !
4. Jelaskan manusia sebagai mahkluk pribadi dan social !
5. Apaa yang dimaksud dengan agama !
Hubungan Agama dengan Kesehatan(Khususnya Agama Katolik)
BAB I A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sarana yang paling utama untuk memberikan
respon konstruktif terhadap permasalahan kehidupan sehari-
hari, agar kualitas kehidupan manusia semakin meningkat.
Menyadari akan pentingnya posisi strategis pendidikan sebagai
sarana memajukan peradaban bangsa, Undang-undang Dasar 1945
mengamanatkan kepada pemerintah agar menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional. Sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pemerintah telah menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional.Menurut Undang-undang tersebut tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis, serta
bertanggung jawab.Agama memiliki peran yang amat penting dalam
kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya
mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan
bermartabat. Menyadari bahwa peran agama amat penting bagi
kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam
kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang
ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat.Pendidikan Agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak
mulia serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mulia
mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan
dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan
dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya
bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki
manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan.Pendidikan Agama Katolik
adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan
berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dengan tetap
memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan
kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.Dari pengalaman dapat dilihat bahwa apa
yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak selalu membuat hidup
seseorang sukses dan bermutu. Tetapi kemampuan, keuletan dan
kecekatan seseorang untuk mencernakan dan mengaplikasikan apa
yang diketahui dalam hidup nyata, akan membuat hidup seseorang
sukses dan bermutu. Demikian pula dalam kehidupan beragama.
Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia
ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya
bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan
pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari. Seorang
beriman yang sejati seorang yang senantiasa berusaha untuk
melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup
nyatanya, dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah bagi
dirinya dalam konteks hidup nyatanya. Oleh karena itu
Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha
untuk memampukan peserta didik menjalani proses pemahaman,
pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyatanya.
Dengan demikian proses ini mengandung unsur pemahaman iman,
pergumulan iman, penghayatan iman dan hidup nyata. Proses
semacam ini diharapkan semakin memperteguh dan mendewasakan
iman peserta didik. 1. Konsep Kunci
a. Pembentukan akhlak berdasarkan Agama Katolik.
b. Etika menurut Agama Katolik serta akhlak beragama.
c. Hubungan Agama Katolik dengan kesehatan.
2. Petunjuk
a. Pelajari materi BAB I dengan tekun dan disiplin.
b. Penyajian setiap BAB meliputi : Judul BAB, pendahuluan,
konsep-konsep kunci, petunjuk, tujuan umum pembelajaran,
tujuan khusus pembelajaran, paparan materi, tugas dan latihan,
rangkuman, dan soal-soal akhir BAB yang disertai dengan kunci
jawaban.
c. Dalam uraian materi terdapat test sambil jalan. Test ini
dapat menjadi tuntunan pembaca dalam memahami uraian bahan
ajar demi bagian.
d. Kerjakan soal-soal latihan dan soal akhir BAB dengan
tekun dan disiplin!
e. Bacalah sumber-sumber pendukung untuk memperdalam
pengetahuan dan wawasan anda.
f. Ikuti turutan penyajian setiap BAB tahap demi tahap.
g. Selamat belajar, semoga sukses.
3. Tujuan Pembelajaran
a. Tujuan Umum Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Agama Katolik.b. Tujuan Khusus
Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami:
1) Menjelaskan pembentukan akhlak berdasarkan Agama Katolik.
2) Menjelaskan etika menurut Agama Katolik serta akhlak
beragama.
3) Menjelaskan hubungan Agama Katolik dengan kesehatan.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Pembentukan Akhlak Berdasarkan Agama Katolik
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab
al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, atau tabiat (Hamzah Ya‟qub, 1988: 11). Sinonim
dari kata akhlak ini adalah etika dan moral. Sedangkan
secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa
yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan
oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan
akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat
Djatnika, 1996: 27). Dalam khazanah perbendaharaan
bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan
akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering
disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata
krama, atau sopan santun (Faisal Ismail, 1988: 178).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral
mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama
membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau
dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi
dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis
filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai,
sedang moral bersifat praktis sebagai tolak ukur untuk
menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka
Sa‟id, 1986: 23-24).
Sejak tahun 1900-an mulai dikenalkan terminologi
Pendidikan Karakter. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku 4 yang
berjudul The Return of Character Education. Melalui
buku tersebut, ia menyadarkan dunia Barat akan
pentingnya Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter,
menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok,
yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan
(doing the good). Pendidikan Karakter tidak sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada
anak, tetapi lebih dari itu Pendidikan Karakter
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik
sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau
melakukan yang baik. Pendidikan Karakter ini membawa
misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan
Moral. Secara umum akhlak dibagi menjadi dua, yaitu
akhlak mulia dan akhlak tercela (buruk). Akhlak mulia
adalah yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari, sedang akhlak tercela adalah akhlak yang harus
dijauhi dan ditinggalkan. Dalam kenyataan hidup memang
ditemukan orang yang berakhlak mulia dan juga
sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat
manusia yang bisa baik dan bisa buruk. Baik atau buruk
bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia
dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk.
Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan,
ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa
bertaubat dengan menghitung-hitung apa yang telah
dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104). Untuk
menjadi manusia yang baik (berakhlak mulia), manusia
berkewajiban menjaga dirinya dengan cara memelihara
kesucian lahir dan batin, tenang, selalu menambah ilmu
pengetahuan, membina disiplin diri, dan lain
sebagainya. Setiap orang juga harus menerapkan akhlak
mulia dalam berbagai segi kehidupan. Akhlak mulia harus
ditanamkan dan dipraktekkan sejak dari kehidupan dalam
rumah tangga atau keluarga, lingkungan masyarakat,
sekolah atau pendidikan, dan lingkungan kerja, serta
dengan lingkungan alam pada umumnya.
Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap
orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang
niscaya. Di sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini
dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak,
pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter.
Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata
pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini tampaknya belum
dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak
mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas
dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok
mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga
pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran memengaruhi
pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP 19 2005 pasal
6 ayat 4). Pada pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa Kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/ SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau
bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan
dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan
kesehatan. Akhlak mulia di lingkungan sekolah atau pendidikan
misalnya, harus tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari
semua warga sekolah yang meliputi karyawan, guru, para siswa,
dan kepala sekolah. Semua komponen sekolah, harus menghiasi
dirinya dengan akhlak yang mulia, seperti berlaku jujur,
amanah, tanggungjawab, rasa hormat, peduli, santun, lapang
dada, toleran, tekun dan sabar. Dengan menanamkan dan
mempraktikkan sikap dan perilaku tersebut, maka pada waktunya
kelak akan terbangun kultur akhlak mulia di lingkungan
sekolah.
Ada variasi model pembentukan kultur akhlak mulia bagi siswa di
sekolah-sekolah di Indonesia mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah menengah atas. Dari delapan sekolah yang menjadi sampel
penelitian terlihat jelas variasi tersebut. Tidak ada satu
sekolah (dari delapan sekolah yang diteliti) yang melakukan
pengembangan kultur akhlak mulia secara sempurna, atau sebaliknya
sama sekali tidak baik, tetapi masing-masing sekolah memiliki
kelebihan-kelebihan khusus di samping juga memiliki kekurangan.
Namun demikian, jika dicermati ternyata ada kesamaan secara umum
dari semua sekolah yang diteliti, yakni menjadikan visi, misi,
atau tujuan sekolah sebagai dasar pijakan untuk membangun kultur
akhlak mulia di sekolah. Terwujudnya visi, misi, dan tujuan
sekolah ini perlu didukung dengan program-program sekolah yang
tegas dan rinci dalam rangka pengembangan kultur akhlak mulia di
sekolah. Program-program ini akan berjalan dengan baik dan
berhasil jika mendapatkan dukungan yang positif, berupa: 1)
komitmen dari pimpinan sekolah, 2) dukungan semua guru, karyawan
sekolah, orang tua siswa, komite sekolah, dan masyarakat, 3)
sarana dan prasarana yang memadai, 4) kurikulum, 5) tata tertib
sekolah, 6) kesadaran yang tinggi dari semua civitas sekolah, 7)
keteladanan dari para guru dan karyawan sekolah, 8) kebersamaan
sekolah, keluarga, dan masyarakat, 9) reward and punishment, dan
10) dilakukan secara berkesinambungan.
Model yang ideal yang sebaiknya dikembangkan dalam
pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah di Indonesia
baik di tingkat dasar maupun menengah adalah sebagai
berikut:
1) Sekolah sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan
sekolah yang mengarah pada pengembangan kultur akhlak
mulia di sekolah.
2) Diperlukan adanya persepsi yang sama di antara
civitas sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat
dalam rangka mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
3) Untuk pengembangan akhlak mulia di sekolah
diperlukan juga kesadaran yang tinggi bagi seluruh
civitas sekolah untuk mewujudkannya.
4) Adanya komitmen yang tegas dari kepala sekolah untuk
mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah yang
dituangkan dalam kebijakan-kebijakan atau program-
program yang jelas.
5) Adanya program-program dan tata tertib sekolah yang
tegas dan rinci serta mengarah pada pengembangan kultur
akhlak mulia di sekolah.
6) Adanya pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia dalam
aktivitas sehari-hari di sekolah baik dalam aspek
keagamaan maupun aspek yang bersifat umum.
7) Adanya dukungan positif dari semua pihak yang
terkait dalam mewujudkan kultur akhlak mulia di
sekolah.
8) Ada keteladanan dari para guru (termasuk kepala
sekolah) dan para karyawan sekolah.
9) Adanya sinergi antara tiga pusat pendidikan, yakni
pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal
(keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat) untuk
mewujudkan kultur akhlak mulia bagi para siswa baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
10) Perlu juga didukung adanya reward and punishment
yang mendukung terwujudkan kultur akhlak mulia di
sekolah.
11) Membangun kultur akhlak mulia membutuhkan waktu
yang lama dan harus dilakukan secara berkelanjutan.
12) Membangun kultur akhlak mulia perspektif Islam
meliputi dua dimensi hubungan, yakni hubungan dengan
Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia.
13) Membangun kultur akhlak mulia tidak hanya melalui
mata pelajaran tertentu, tetapi sebaiknya melibatkan
semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara
terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan
kemampuan pada siswa untuk memperteguh iman dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agam Katolik, dengan
tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam
hubungn kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional. Secara lebih tegas dapat
dikatakan bahwa pendidikan Agama Katolik disekolah merupakan
salah satu usaha untuk memampukan siswa berinteraksi
(berkomunikasi), memahami, menggumuli dan menghayati iman.
Dengan kemampuan berinteraksi antara pemahaman iman,
pergumulan iman dan penghayatan iman itu diharapkan iman siswa
semakin diperteguh.2. Etika menurut Agama Katolik serta
Akhlak Beragama
Banyak masalah yang sedang dihadapi bangsa
ini terutama yang berkaitan dengan etika dan moral.
Masalah utama moral bangsa ini antara lain hilangnya
kejujuran, hilangnya rasa tanggung jawab, krisis
kerjasama, hilangnya keadilan, rendahnya disiplin,
krisis kepedulian. Dalam kehidupan beragama orang
diselamatkan bukan oleh pengetahuan tentang imannya,
tapi oleh kemampuannya menginterpretasi dan menerapkan
pengetahuan tentang imannya dalam hidup nyata sehari-
hari.
Pendidikan Agama Katolik (PAK) pada dasarnya bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun
hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman
Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus
Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni
Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi dan
peristiwa penyelamatan: situasi dan perjuangan untuk
perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan,
persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan
hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari berbagai
agama dan kepercayaan.
Dalam pendidikan Agama Katolik, Pendekatan Pembelajaran
lebih ditekankan pada pendekatan yang didalamnya
terkandung 3 proses yaitu proses pemahaman, pergumulan
dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyata sehari-
hari. Proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik
dimulai dari penggalian dan pendalaman pengalaman hidup
sehari-hari, diteguhkan dalam terang Kitab Suci /
ajaran Gereja, yang pada akhirnya diwujudnyatakan dalam
tindakan konkrit sehari-hari.
3. Hubungan Agama Katolik dengan Kesehatan
Agama adalah suatu ajaran dimana setiap pemeluknya
dianjurkan untuk selalu berbuat baik. Untuk itu semua penganut
agama yang mempercayai ajaran dan melaksanakan ajarannya
mereka akan senantiasa melaksanakan segala hal yang ada dalam
ajaran tersebut. Manusia tidak bisa dilepaskan dengan agama,
ketika manusia jauh dari agama maka akan ada kekosongan dalam
jiwanya. Walaupun mungkin kebutuhan materialnya mereka
terpenuhi. Akan tetapi kebutuhan batin mereka tidak, sehingga
mereka akan mudah terkena penyakit hati.
Penyakit hati yang melanda manusia yang tidak
beragama akan senantiasa menghantui mereka sehingga mereka
akan mudah putus asa. Oleh karena itu orang yang tidak
beragama ketika mendapatkan persoalan hidup mereka akan mudah
putus asa dan akhirnya mereka akan melakukan penyimpangan atau
tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma atau ajaran
agama. Banyak penyakit karena emosi-emosi buruk
itu, yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh obat. Penyakit-
penyakit sejenis ini dinamakan penyakit psikosomatik. Krisis
akhlak pun mempunyai sebab-sebab dalam emosi tercela yang
sedang merajalela. Karena emosi itu merupakan kenyataan yang
dapat disaksikan pada tubuh manusia dan dapat dibagi dalam
emosi yang negatif dan positif, sedangkan yang positif dapat
melenyapkan atau menetralkan yang negatif dan menjadi peserta
dalam insting religius, lantas akan menjadi bukti nyata bahwa
religi itu anasir yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Jadi, religi bukan obat bius atau racun. Bahkan, sebaliknya
religi menjadi obat mujarab bagi penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh gangguan emosi negatif. Pintu
gerbang ke neraka ada tiga buah, yang merusak jiwa, yakni
keinginan (syahwat), marah, dan serakah. Dalam ilmu kedokteran
baru yang dinamai psikosomatik, yang sedang marak dipelajari
di Eropa dan Amerika oleh Dr J.L.C. Wortman, dikatakan bahwa
ilmu psikosomatik, ilmu kedokteran, agama, dan filsafat
berjabatan tangan. Hal itu benar-benar akan menjadi pembuka
jalan ke arah dunia baru, yang sejak lama kita nanti-nantikan
dan yang akan menjamin kehidupan bahagia bagi seluruh umat
manusia, lahir dan batin. Ilmu kedokteran
psikosomatik -oleh ilmuwan Belanda Prof V. Rijnberk- dinamai
juga ilmu kedokteran kesusilaan. Alasannya, bila seseorang
sakit, seluruh jasmani dan rohaninya sakit. Bukan sebagian
atau hanya jasmaninya yang sakit. Pendapat baru ini mungkin
dapat digunakan sebagai pembuka jalan ke arah dunia kedokteran
baru. Ilmu kedokteran menjadi pembuka
tabir rahasia seperti yang terbukti
dalam kehidupan manusia. Alexis Carel,
Freud, Jung, dan Robert, misalnya,
adalah nama-nama ahli ilmu kedokteran
yang memecahkan masalah-masalah yang
tidak mungkin dapat diperoleh oleh
ahli-ahli di lapangan ilmu pengetahuan lain. Dengan pendapat
baru itu, ilmu kedokteranlah yang pertama mengerti bahwa di
antara ilmu kedokteran, filsafat, dan agama, ada tali
hubungan. Dengan tali-tali hubungan itu, kita dapat mengerti
kesatuan berupa makhluk hidup yang dinamai
manusia sebagai keseluruhan, bukan sebagai
reduksi.
Terutama agama, yang sejak masa
kesombongan ilmu pengetahuan, menjelma
sebagai positivisme akibat diperolehnya
hasil-hasil yang menyilaukan, mula-mula
diejek, kemudian diingkari, tapi sekarang
diakui oleh ilmu psikosomatik sebagai
anasir yang sangat penting di dalam kehidupan tiap-tiap orang
yang ingin memperoleh kebahagiaan.Pada zaman dahulu penyakit
yang diderita oleh manusia sering dihubungkan dengan gejala-
gejala spiritual. Ketika ada salah seorang dari mereka ada
yang sakit, maka dengan spontanitas mereka akan mengkaitkan
penyakit tersebut karena adanya gangguan dari makhluk halus.
Oleh karena itu pada zaman dahulu ketika ada orang yang
menderita penyakit selalu berkaitan
dengan para dukun yang dipercaya mampu
untuk berkomunikasi dengan makhluk
tersebut sehingga diharapkan sang
dukun dapat mengobati penyakitnya atau
menahan gangguannya. Ketika pemikiran
manusia mengalami perkembangan, maka
hal yang demikian tidak berlaku lagi
di tengah-tengah masyarakat kita yang
sudah mengenal modernisasi. Segala
macam bentuk penyakit yang di derita
oleh manusia akan selalu mereka
hubungkan dengan keadaan sang penderita dan untuk mengobati
penyakit tersebut mereka akan selalu pergi kepada seorang
dokter yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kepercayaan
ini memang sebagian besar dapat dibuktikan oleh keberhasilan
pengobatan dengan menggunakan peralatan dan pengobatan hasil
temuan di bidang kedokteran modern. Praktik Spiritual yang
Memengaruhi Asuhan Keperawatana. Kitab SuciSetiap agama
memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman
keyakinan dan perilaku penganutnya. Selain itu, tulisan sakral
sering kali menyampaikan cerita instrutif mengenai para
pemimpin agama, raja-raja dan pahlawan. Pada sebagian besar
agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan Sang Khalik yang
ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat kristiani memiliki kitab
suci Injil,umat Yahudi memiliki kitab suci taurat dan tamud,
dan umat muslim memiliki kitab suci alquran, umat Hindu
memiliki beberapa kitab suci, atau weda dan umat Budda
mengimani ajaran yang ada di Tripitaka. Naskah tersebut secra
umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan
dan peraturan untuk hidup ( misal: 10 perintah Tuhan). Hukum
keagamaan tersebut dapat diinterpretasi dalam berbagai cara
oleh sub kelompok penganut agama dan dapat memengaruhi
keinginan klien untuk menerima anjuran penanganan sebagai
contoh transfusi darah dilarang pada ajaran saksi
Jahovah.Individu sering kali mendapat kekuatan dan harapan
setelah membaca buku-buku keagamaan/ kitab suci saat mereka
sakit atau saat mengalami krisis. Contoh cerita keagamaan yang
dapat memberikan kenyamanan bagi klien adalah penderitaan
Nabi, baik pada Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani, dan
penyembuhan yang dilakukan Yesus pada orang-orang yang
mengalami penyakit fisik atau mental, dalam perjanjian
baru. b. Simbol sakral Simbol sakral mencakup
perhiasan, liontin, tasbih, lambang, patung, atau ornamen
tubuh (mis, tato) yang memiliki makna keagamaan atau
spiritual. Simbol tersebut digunakan untuk menunjukkan
keyakinan seseorang, untuk mengingatkan pemakainya akan
keyakinannya, untuk memberikan perlindungan spiritual, atau
untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan, individu dapat
menggunakan liontin keagamaan sepanjang waktu, dan mereka
mungkin berharap untuk mengenakannyasaat menjalani studi
diagnostik, penanganan medis, atau pembedahan. Orang Katolik
Roma dapat memakai Rosario untuk berdoa.c. Doa dan
MeditasiIndividu dapat memakai lambang atau patung keagamaan
di dalam rumah, di mobil, atau di tempat kerja sebagai
pengingat pribadi terhadap keyakinan mereka atau sebagai
bagian tempat personal untuk sembahyang dan meditasi. Klien
yang dirawat inap atau yang menjalani pengobatan di fasilitas
perawtan jangka panjang mungkin berharap untuk diperbolehkan
membawa atau memajang simbol spiritual berupa ( Gill, 1987,
hlm, 489). Beberapa orang meragukan definisi tersebut karena
menurut defenisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa
memiliki keyakinan pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal
tidak semua orang yang berdoa memilikinya. Sementara itu,
beberapa orang menganggap doa sebagai fenomena universal yang
tidak mewajibkan keyakinan tersebut. Beberapa agama
memiliki doa-doa resmi dicetak dalam buku doa, seperti Book of
Common Prayer di gereja Anglikan/ Episkopal dan Missal di
geraja katolik. Beberapa doa keagamaan dikaitkan dengan sumber
keyakinan sebagai contoh, Doa Bapak Kami untuk umat Kristiani
disampaikan kepada Yesus. Beberapa agama mewajibkan ibadah
setiap hari atau menetapkan waktu spesifik untuk berdoa dah
beribadah saat lima waktu bagi umat muslim. Mereka mungkin
membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama mereka membaca
buku doa mereka, menggunakan Rosario, tasbih, dan ambang
keagamaan lain yang tersedia bagi mereka. Meditasi
adalah kegiatan memfokuskan pikiran seseorang atau terlibat
dalam refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui
meditasi yang mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau
mengontrol fungsi fisik dan psikologis serta perjalanan
penyakit.
HAND OUT PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
Agama
A. Pengertian Agama
Secara Umum, Agama adalah Hubungan manusia dengan sesuatu kekuasaan
suci yang lebih tinggi dari pada dia, dimana dia merasa tergantung dan berusaha
mendekati.
 Kekuasaan Suci : Allah, Tuhan, Pencipta, Dewa, Pusat Dunia, Jubata, dll
 Perasaan ketergantungan : Kepercayaan.
 Usaha Mendekati Kekuatan Suci : Doa, Upacara Keagamaan ( Kebaktian,
Persembahan.

Sedangkan secara khusus, Agama mencakup cinta dari Tuhan kepada manusia,
kepada Tuhan dan sesame, dan diri sendiri ( Rasul Yohanes :1 Yoh 4,19 )
mengungkapkan : kita mengasihi Allah, karena Allah mengasihi kita terlebih dahulu.
Tuhan Mengambil Inisiatif Untuk mencintai manusia, baru manusia membalas cinta
Tuhan itu.

B. Manifestasi Agama yang Merugikan.


Agama, meskipun agama dipuji-puji tetapi kerap kali tidak mampu memenuhi
harapan manusia. Karena ada unsur yang menghambat atau yang sering disebut
Penyakit Agama. Penyakit Agama tersebut adalah :
1. Fanatisme
Fanatisme merupakan suatu sikap menonjolkan agamanya sendiri
dengan kecenderungan menghina agama lain dan mengurangi hak
hidupnya.
Sebab-sebab yang menimbulkan Fanatisme Agama :
a) Kurang mengenal agama lain karena hidup dalam daerahtertutup
(mis. Aceh dan Flores).
b) Pendidikan agama yang sempit yang mencari kejelekan agama
lain.
c) Rasa bangga yang berlebihan atas kejayaan agamanya sendiri
tidak melihat kekurangannya.
d) Rasa takut akan kemajuan agama lain.
e) Tidak adanya keyakinan yang tenang, dewasa, realities, dan
terbuka.
Akibat dari sikap fanatisme :
a) Perkembangan pribadi terbelenggu.
b) Dalam kehidupan nasional, fanatisme mempertajam perbedaan
dan pertentangan agama sehingga kesatuan bangsa bias goyah.
c) Dalam bidang kehidupan internasional fanatisme mempersukar
kerukunan dan sering kali menimbulkan ketegangan dan
peperangan antar bangsa (hubungan India-Pakistan, Arab-Israel,
Irlandia-Inggris).

Usaha-usaha mengatasi Fanatisme Agama :


a) Meningkatkan toleransi.
b) Berusaha mempelajari agama lain.
c) Bergaul/berkawan dengan pemeluk agama lain.
d) Melaksanakan dialog dengan pemeluk agama lain.
e) Bekerja sama dalam bidang social dengan agama lain.

2. Takhayul
Takhayul merupakan kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau
acara tertentu. Agar dengan demikian mendapat bantuan dari Tuhan.
Orang, sebenarnya lebih percaya akan benda atau acara tertentu dari pada
percaya akan Tuhan sendiri.
Takhayul dapat berkembang menuju Black Megic jika ia bermaksud
dengan bantuan roh-roh merugikan sesame manusia (mis. Guna-guna,
santet, teluh, tenung).
Akibat dari takhayul antar lain :
a) Merusak iman sejati.
b) Menutup terhadap ilmu jiwa dalam ketakutan
c) Membelenggu jiea dalam ketakutan.

3. Fatalisme
Fatalisme yaitu sikap seseorang yang mudah menyerah pada nasib.
Nasib dianggap ditakdirkan oleh Tuhan. Sikap Fatalisme mengakibatkan
manusia kurang berusaha dan terlalu menghibur dengan acara-acara
keagamaan.Tuhan seakan-akan mentakdirkan segala nasib buruk.
Akibat dari Fatalisme adalah :
a) Melumpuhkan daya tekun
b) Memperlemah untuk melawan rintangan
c) Menghambat proses pembangunan di segala bidang

C. Kebebasan Agama
Kebebasan agama berarti bahwa setiap orang bebas memilih, melaksanakan
dan pindah agama menurut keyakinannya dan dalam hal ini tidak boleh dipaksa oleh
siapapun baik oleh pemerintah penjabat agama, masyarakat maupun orang tua.
Paksaan Fisik misalnya : kekerasan, siksaan, penjara. Paksaan Moril misalnya :
bujukan, introgasi, intimidasi, mempersulit kemajuan.
Negara-negara dalam praktek tidak mengenal kebebasan agama :
a) Negara-negara Komunis (Rusia, RRC).
b) Beberapa Negara mengutamakan agama tertentu sedemikian rupa dan
menganggap agama lain menjadi agama kelas dua, misalnya :
 Siria, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia, Irak, Afganistan,
Mengutamakan agama Islam.
 Israel mengutamakan agama Yahudi
 Spayol mengutamakan agama Katolik
 Swedia mengutamakan agama Hindu

1. Dasar Kebebasan
Dasar Kebebasan Agama adalah martabat manusia yaitu akal budi,
kehendak bebas, dan hati nurani.
2. Dokumen-dokumen tentang kebebasan agama.
a) Dokumen Internasional
 Deklarasi HAM (Declaration of Human Right ) yang
ditandatangani di New York 10 Desember 1948 dan menjadi
Piagam PBB.
Latar belakang deklarasi HAM adalah :
Diskriminasi agama bangsa dan ras selama ratusan
tahun.
Penginaan perikemanusian demi kesombongan suatu
ras bangsa dan agama.
Pada pokoknya deklarasi ini menjelaskan hak-hak asasi
manusia yaitu : Hak akan hidup, Hak akan hidup yang merdeka,
hak akan hidup yang layak.
 Deklarasi Kosili Vatikan II
Deklarasi Konsili Vatikan II tentang kebebasan agama,
deklarasi ini disetujui oleh sidang para Uskup sedunia di Roma
pada tanggal 7 Desember 1965.
Isi Konsili Vatikan II yang berkaitan dengan kebebasan
agam adalah :
Kebebasan agama berakar dalam wahyu ilahi sendiri.
Alllah memanggil manusia untuk mengabdinya secara
rohani dan benar (panggilan ini mengikat manusia
dalam suara hati, tetapi mereka tidak dipaksa.
Salah satu pokok terpenting ajaran Katolik ialah bahwa
manusia dalam iman harus memberi jawaban kepada
Allah dengan. Tak seorang pun dipaksa untuk memeluk
agama (iman) karena percaya pada hakekatnya suatu
tindakan bebas.
3. Dokumen Nasional.
 UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2
Ayat 1 : Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa.
Ayat 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap individu untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.
 Keputusan MPRS Juni 1966 dalam ketetapan no 27 memperkokoh
kebebasan agama isinya :
Semua agama yang di akui pemerintah diberi kesempatan yang
sama.
Untuk toleransi dan atas dasar HAM setiap siswa/mahasiswa
bebas memilih pelajaran agama menurut keyakinannya masing-
masing.
D. Sumber dan Pedoman Iman
1. Pengertian Iman
Iman yaitu penyerahan diri secara total (seutuhnya) kepada kehendak Allah.
Perbedaan antara Iman dan Agama :
 Iman menyangkut relasi seseorang dengan Allah.
 Agama mengungkapkan dampak relasi itu dalam tata kehidupan
beribadat dan bermasyarakat.
2. Sifat-siafat Iman
 Mengantar manusia kepada keselamatan.
 Iman yang hidup
 Iaman yang dihayati dan diamalkan
 Iman yang berbuah banyak
3. Kewajiban seorang beriman
o Ketaatan iman
o Hidup dijalan iman (hidup dari iman)
o Mempertahankan iman
o Menyebarkan iman
o Memperdalam iman
4. Cara-cara memperdalam iman
 Selalu berdoa
 Membaca Kitab Suci
 Mengikuti kegiatan-kegiatan rohani
o Misa, ibadat sabda
o Persekutuan doa
o Retret, Rekoleksi
o Novena, KRK, Devosi, dll

5. Kitab Suci
Kitab Suci merupakan sumber dan pedoman iman. Kitab Suci adalah Sabda
Tuhan yang ditulis dalam bahasa manusia dan penulisnya diilhami oleh Roh
Kudus. Kitab Suci menyajikan sejarah keselamatan Allah yang memuncak dalam
diri YESUS KRISTUS.
Bahasa asli Alkitab :
Perjanjian Lama : Bahasa Ibrani sebagian bahasa Aram (Esra dan
Daniel) sedangkan Deoterokanonika mengunakan bahasa Yunani.
Perjanjian Baru : Bahasa Yunani

a. Cara membaca Kitab Suci


Dipahami makna yang terkandung didalamnya.
Bukan dihafal secara harafiah.
Tuhan menggunakan perumpamaan dalam pewartaan sabda.
Tidak boleh menafsirkan sendiri sesuai pesepsi kita.
Ada pembimbing (imam).
b. Pengelompokan/pembagian Kitab Suci
1. Perjanjian Lama 46 buah.
a) Kitab Sejarah ( 21 )
Kejadian ( Kej ) Keluaran ( Kel ) Imamat ( Im )
Bilangan ( Bil ) Ulangan ( Ul ) Yosua ( Yos )
Hakim – Hakim ( Hak ) Rut ( Rut ) 1 Samuel ( 1 Sam )
2 Samuel ( 2 Sam ) 1 Raja – Raja ( 1 Raj ) 2 Raja – Raja ( 2 Raj
)
1 Tawarikh ( 1 Taw ) 2 Tawarikh ( 2 Taw ) Ezra ( Ezr )
Nehemia ( Neh ) Tobit ( Tob ) * Yudit ( Ydt ) *
Ester ( Est ) 1 Makabe ( 1 Mak ) * 2 Makabe ( 2 Mak ) *

b) Kitab Kebijaksanaan ( 7 )
Ayub ( Ayb ) Mazmur ( Mzm ) Amsal ( Ams )
Pengkhotbah ( Pkh ) Kidung Agung ( Kid ) Kebijaksanaan Salomo ( Keb )*
Putra Sirakh ( Sir ) *

c) Kitab Nabi – Nabi ( 18 )


Yesaya ( Yes ) Yeremia ( Yer ) Ratapan ( Rat )
Barukh ( Bar ) * Yehezkiel ( Yeh ) Daniel ( Dan )
Hosea ( Hos ) Yoel ( Yl ) Amos ( Am )
Obaja ( Ob ) Yunus ( Yun ) Mikha ( Mi )
Nahum ( Nah ) Habakuk ( Hab ) Zefanya ( Zef )
Hagal ( Hag ) Zakharia ( Za ) Maleakhi ( Mal )
*Kitab yang termasuk dalam Deuterokanonika.

2. Perjanjian Baru ( 27 )
a. Injil ( 4 )
Matius ( Mat ) Markus ( Mrk ) Lukas ( Luk ) Yohanes ( Yoh )

b. Kisah Para Rasul ( Kis )


c. Surat – surat Paulus ( 13 )
Roma ( Rom ) 1 Korintus ( 1 Kor ) 2 Korintus ( 2 Kor )
Efesus ( Ef ) Filipi ( Flp ) Kolose ( Kol )
Galatia ( Gal ) 1 Tesalonika ( 1 Tes ) 2 Tesalonika ( Tes )
1 Timotius ( 1 Tim ) 2 Timotius ( 2 Tim ) Titus ( Tit )
Filemon ( Flm )

d. Surat Kepada Orang Ibrani ( Ibr )


e. Surat Katolik ( 7 )
Yakobus ( Yak ) 1 Petrus ( 1 Pet ) 2 Petrus ( 2 Pet 1 Yohanes ( 1 Yoh
) )
2 Yohanes ( 2 Yoh ) 3 Yohanes (3Yoh) Yudas ( Yud )

f. Kitab Wahyu ( Why )

3. Deuterokanonika.
Deuterokaninika merupakan Kitab tambahan, termasuk Kitab Suci
lain,. Kitab ini hanya diterima oleh Gereja Katolik dan Yunani Ortodok,
tetapi tidak diterima oleh Gereja Kristen Protestan.

E. Pribadi dan Warta Yesus


1. Yesus bebas dalam pergaulan.
 Yesus makan dengan pemungut cukai dan orang berdosa ( Mrk 2 : 15 – 17
)
 Yesus dengan Zakheus ( Luk 19 : 1 – 10 )
 Yesus dengan perempuan Samaria ( Yoh 4 : 6 – 9 )
 Yesus dan perempuan yang berbuat zinah ( Yoh 8 : 1 – 11 )
2. Yesus berani dalam pengajaran.
 Yesus mengajar dirumah Ibadat ( Mrk 6 : 2 – 3 )
3. Yesus berani dalam perbuatan ( Mrk 2 : 23 – 27 )
4. Yesus membawa sesuatu yang baru ( Mat 5 : 1 – 12 ) ( Luk 6 : 20 – 26 )

F. Paham Gereja
1. Pegertian Gereja
a. Gereja sebagai Lembaga. Gereja adalah semacam Lembaga Negara yang
mempunyai cirri – cirri :
 Mempunyai hukum yang ketat dan teliti guna mengatur seluruh hidup
 Gereja sebagai suatu organisasi raksasa yang bertaraf internasional
 Struktur organisasi Gereja dari Roma sampai kepelosok dunia sangat rapi
 Mempunyai prosedur hierarki yang ketat dan jelas. Roma merupakan
induk ada cabang dan ranting.
 Keanggotaan Gereja didaftar pada saat menerima Sakramen Permandian
 Anggota Gereja yang baik adalah mereka yang tetap setia pada lembaga
b. Gereja merupakan sekumpulan ajaran. Gereja pada dasarnya terdiri
sejumlah ajran :
 Ada ajaran Iman, kesusilaan, dan peribadatan
 Ajaran resmi itu dirumuskan pada sidang para Uskup sedunia yang
dipimpin Paus ( Konsili )
 Menjadi warga Gereja berarti menerima ajaran resmi tersebut.
c. Gereja adalah sekumpulan upacara.
Gereja merupakan sekumpulan upcara yaitu sejumlah ibadat menurut
pola tertentu, misalnya Upacara Permandian, Pengakuan Dosa, Ekaristi,
Sambut Baru, Krisma, dsb. Gereja menjadi perwujudan lahir yang
seremonial dari kenyataan ilahi yang batiniah. Dalam bentuk lahir itulah
rahmat Tuhan ditampakkan. Untuk mempertinggi mutu sebagai orang
Katolik, maka harus tekun mengikuti ibadat, matiraga, dan devosi – devosi.
d. Gereja adalah persaudaraan Cinta Kasih.
Gereja pada dasarnya adalah persaudaraan cinta kasih berdasarkan
iman kepada Kristus. Antara sesame yang mengikuti /mengimani Kristus
terjadi ikatan batin. Dengan ikatan batin ini orang beriman saling melayani,
dan bersama - sama melayani sesame dalam masyarakat. Pelayanan kepada
saudara seiman dan kepada sesame berdasarkan cinta kasih dan semangat
persaudaraan maksudnya untuk member kesaksian betapa besar kasih Allah
kepada manusia.

2. Bidang Pelayanan Gereja.


a. Sikap gereja dalam melaksanakan pelayanan yaitu dengan sukarela, tanpa
meminta imbalan atau pamrih. Alasan yang mendorong semua itu bersifat
imani artinya imannya kepada Yesus Kristus. Mereka ingin meneladani
Kristus.

b. Bentuk pelayanan Gereja :


Pelayanan kedalam yaitu pelayanan yang ditujukan untuk anggota
Gereja sendiri. Contoh pelayanan kedalam : Pembinaan iman umat,
Pendalaman Kitab Suci, Katekese umat, Retret, Rekoleksi, Devosi, dan
Pelayanan kesejahteraan.
Pelayanan keluar yaitu pelayanan yang ditujukan untuk semua anggota
masyarakat. Bentuk pelayanan keluar misalnya :
 Pelayanan dalam bidang Sosial Ekonomi
Memberikan keterampilan ( untuk menambah penghasilan ),
memberikan penyuluhan bagaimana mengelola pendapatan,
penyuluhan tentang pemasaran, permodalan, dll.
 Pelayanan dalam bidang pendidikan.
Pendidikan untuk mengatasi kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Orientasi pendidikan yaitu, Kuantitas ( Jumlah )
dan Kualitas ( Mutu ). Bentuknya yaitu Gereja mendirikan
Sekolah, Perguruan Tinggi, Kursus dll.
 Pelayanan dalam bidang Perawatan Kesehatan.
Hanya orang yang sehat yang mammpu melaksanakan aktifitas.
Bentuk kegiatan yang dilakukan Gereja yaitu mendirikan
poiklinik dan rumah sakit. Orientasi kegiatan yaitu kuatitas dan
kualitas.
 Pelayanan bidang Kenegaraan.
Penyelenggara Negara ada tiga yaitu, Eksekutif, legislatif, dan
Yudikatif. Ketiga lembaga Negara ini hendaknya bekerja dengan
semangat injil, menjadi garam dunia ( bekerja dengan disiplin,
tanggung jawab, jujur, setia,obyektif mementingkan kepentingan
umum ).
 Pelayanan bidang Amal Karitatif.
Pelayanan untuk orang sakit, cacat, yatim piatu, jompo, dsb.
G. Hidup Dalam Sakramen.
1. Pengertian Sakramen
Sakramen yaitu tanda persatuan dan perjumpaan kita dengan Kristus secara
khusus dan istimewa yang mendatangkan rahmat.
2. Macam – macam Sakramen
1) Sakramen Baptis atau Permandian.
2) Sakaramen Krisma atau Penguatan
3) Sakramen Ekaristi
4) Sakramen Tobata atau Pengakuan Dosa
5) Sakramen Perkawinan
6) Sakramen Imamat atau Tahbisan
7) Sakramen Penguatan Orang Sakit.
3. Penjelasan dan Syarat – syarat menerima Sakramen.
a. Sakramen Baptis
Ada tiga Sakramen dalam proses menjadi orang Katolik yaitu,
Pembabtisan, Krisma, dan Ekaristi. Ini disebut Sakramen Inisiasi.
1) Baptisan anak atau bayi : Mereka dibaptis dalam iman Gereja yang
diakui oleh para orang tua dan wali baptis serta para hadirin.
2) Baptisan remaja dan dewasa : Baptisan ini memlalui tiga tahap yaitu :
Tahap Pertama : Upacara pelantikan menjadi Ketekumen
Tahap Keduan : Upacara pemilihan sebagai calon Baptis.
Tahap Ketiga : Upacara penerimaan Sakramen Baptis.
3) Syarat – syarat menerima Sakramen Baptis.
Harus ada wali baptis yaitu orang katolik yang sudah dewasa.
Harus ada nama pelindung yaitu nama yang diambil dari orang
Kudus/Suci.
Mengikuti pelajaran calon – baptis / Katekumen.
Harus ada material ( air, garam, lilin, kain putih, minyak ) dan
forma yaitu kata-kata yang diucapakan oleh yang membaptis.

b. Sakramen Krisma yaitu Sakramen yang menandai kedwasaan iman.


Syarat-syarat menerima Sakramen Krisma yaitu :
Harus sudah dibaptis.
Umur 13/14 tahun ( minimal kelas 2 SMP ).
Mengikuti pelajaran calon Krisma.
c. Sakramen Ekaristi
Sakramen Ekaristi atau Sakramen Maha Kudus. Sakramen Ekaristi
disebut Sakramen Utama, hal ini sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II
yang menyebut Ekaristi sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani.
Perayaan Ekaristi itu pelaksanaan dari Gereja di bidang Liturgis. Bagian dari
perayaan Ekaristi yaitu menyambut Komuni atau Tubuh Kristus. Untuk
menerima Komuni syaratnya :
Sudah dibaptis dan sudah sambut baru.
Tidak memiliki dosa besar.
Puasa 1 jam sebelum menyambut Komuni.
d. Sakramen Tobat
Sakramen ini boleh diterima berkali-kali. Dengan Sakramen Tobat
tidak hanya dosanya diampuni tetapu ia dapat mengambil bagian secara
penuh dalam kehidupan Gereja. Mereka yang menerima Sakramen Tobat
memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan oleh
Gereja. Yang harus dilakukan oleh orang yang menerima Sakramen Tobat
yaitu : mengaku dosa, doa tobat, dan melaksanakan panitensi ( Denda ).
e. Sakramen Perkawinan.
Dua sifat perkawinan sebagai Sakramen yaitu Monogamy dan tidak
dapat terceraikan. Sedangkan syarat – syarat perkawinan gereja adalah :
Keduanya sudah dibaptis atau salah satunya sudah dibaptis
secra Katolik.
Mengikuti wawancara Kanonik.
Mengikuti kursus persiapan perkawinan.
Diumumkan di Gereja 3 kali berturut-turut.
Ada saksi perkawinan.
Halangan dalam perkawinan ada 2 macam :
Dirimens ( Perkawinan tidak Sah ) : perkawinan yang masih
ada paksaan, dibawah umur, ada hubungan darah.
Prohibens ( tidak layak tetapi sah ) : waktu terlarang, ikrar
yang masih mengikat, perkawinan campur atau beda agama.
f. Sakramen Imamat.
Pemimpin perayaan Ekaristi diangkat dengan Sakramen Imamat.
Tanpa iman tidak ada Sakramen Ekaristi. Ada 3 tingkatan Tahbisan : Tahbisan
Diakon, Tahbisan Imam, Tahbisan Uskup. Untuk menjadi Imam seseorang
harus mempersiapkan diri melalui pendidikan calon Imam yang disebut
Seminari.
g. Sakramen Pengurapan Ornag Sakit.
Sakramen ini diberikan kepada orang yang sakit keras. Pengurapan
orang sakit ini Sakramen iman dan Pengaharapan. Orang sakit akan
diselamatkan berkat imannya dan berkat iman Gereja yang berdasarkan wafat
dan kebangkitan Kristus sebagai sumber kekuatan dan yang terarah kepada
kerajaan yang akan dating, yang akan dikembangkan dalam Sakramen -
Sakramen.
DAFTAR PUSTAKA

Dahler, R. Frans. 1978. Masalah Agama. Yogyakarta : Yayasan Kanisius.


Emburu, H. 1979. Marga Bahagia.Ende, Flores : Nusa Indah.
Riberu, J. 1992. Materi Kuliah Agama Katolik Perguruan Tinggi. Jakarta.
Komisi Kateketik KWI. 1992. Pendidikan Agaman Katolik. Jakarta.
Ismartono, Sj. 1992. Kuliah Agam Katolik Di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta.
KWI. 1997. Iman Katolik. Jakarta : Kanisius dan Obor.

PENGERTIAN, SEJARAH, BENTUK DAN MANFAAT LOGIKA

2.1. Pengertian Logika


Secara etimologis, istilah logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti
“tentang sesuatu yang dibicarakan, mengenai suatu pertimbangan akal, mengenai
kata, percakapan atau sesuatu yang berhubungan dengan ungkapan melalui
bahasa.” Istilah ini sendiri diturunkan dari kata benda Yunani logos yang artinya
“sesuatu yang disampaikan, suatu pertimbangan akal atau pikiran, kata,
percakapan, atau ungkapan melalui bahasa.” Dengan demikian secara etimologis
istilah logika menunjuk pada suatu aktivitas pemikiran yang disampaikan melalui
kata dalam bentuk bahasa. Sebagai sebuah ilmu, logika juga disebut dengan nama
Yunani logike episteme atau dalam istilah Latin logica scientia artinya ilmu logika, atau
singkatnya logika.[1]

Istilah logika sendiri dipahami secara berbeda oleh para ahli. Pada dasarnya ada tiga
pengertian tentang logika. Pertama, logika sebagai sebuah aliran filsafat yang
membahas tentang kaidah-kaidah berpikir yang koheren dan valid. Kedua, logika
dipahami sebagai sebuah seni atau ketrampilan (art) berpikir lurus, teratur dan
tepat. Ketiga, logika adalah sebuah ilmu (science) yang mempelajari ide, proses
berpikir dan argumentasi untuk mengetahui realitas.[2]

2.1.1. Logika Sebagai Sebuah Seni


Logika sebagai sebuah seni berarti bahwa logika merupakan sebuah usaha manusia
untuk melaksanakan ketrampilan (skill) berpikirnya sehingga ia dapat berpikir
dengan teratur, gampang dan tepat. Sebagai sebuah seni, logika memiliki sebuah
tujuan praktis yaitu sebagai sebuah alat atau sarana (tool) dan sebagai sebuah aturan
(norm) untuk berpikir secara tepat.[3]

Bagi para filsuf awal, seni sinonim dengan apa yang dipahami saat ini sebagai
sebuah kemampuan personal untuk melaksanakan aktivitas seperti seni berbicara,
mengemudi atau bermain tenis. St. Thomas Aquinas mendefinisikan logika sebagai
“seni yang mengarahkan proses berpikir sehingga manusia dapat memperoleh
pengetahuan tentang yang benar dengan cara yang teratur, mudah dan tanpa
kesalahan.”[4] Dalam konteks ini logika dipahami sebagai sebuah kemampuan yang
harus ditingkatkan dengan usaha yang terus menerus untuk dapat berpikir secara
benar. Inilah hal terpenting dari sisi kehidupan karena akal harus dipergunakan
dengan baik apabila sesuatu ingin diselesaikan dengan layak. Bagi mereka yang
mempersembahkan hidup mereka untuk memperlajari logika, dimana berpikir yang
tepat dan koheren selalu dibutuhkan, logika menjadi sangat penting.

Sebagai sebuah seni, logika merupakan sarana bagi semua ilmu pengetahuan. Para
pemikir Zaman Skolastik menyebut logika sebagai ars artium, artinya seni dari
semua seni yang lain karena logika digunakan oleh semua ilmu. Sebagai sebuah
seni, logika bersifat subyektif dan personal. Namun seni dapat memiliki juga nilai
obyektif. Nilai obyektif inilah yang merupakan dasar bagi sebuah teknik logika.
Karena itu, logika sebagai seni dapat juga dikembangkan menjadi sebuah teknik.
Teknik-teknik khusus yang terdapat dalam logika sering kali membutuhkan lebih
dari penggunaan sebuah “logika spontan” (spontaneous logic). Yang dimaksudkan
dengan logika spontan adalah keteraturan yang diikuti oleh intelek manusia secara
natural dalam mengetahui realitas.[5] Logika sebagai sebuah teknik merupakan alat
yang membantu proses berpikir yang disebut juga sebagai ketrampilan kreatif yang
bersifat khusus.

2.1.2. Logika Sebagai Sebuah Ilmu


Istilah ilmu berasal dari kata bahasa Latin sciencia artinya pengetahuan, dari kata
kerja scire artinya “mengetahui”. Istilah ini sinonim dengan kata bahasa Yunani
episteme. Ilmu pada dasarnya menandakan suatu kesatuan ide yang merujuk pada
suatu obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Untuk memperoleh kaitan
logis itu maka ilmu memiliki “metode”[6] tertentu untuk merangkai berbagai
pengamatan realitas dan ide-ide yang terpisah-pisah.[7]

Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan obyek. Teori Skolastik tentang
ilmu membedakan antara obyek material dan obyek formal. Obyek material sebuah
ilmu ialah materi atau bidang lapangan penyelidikan ilmu bersangkutan, sedangkan
obyek formal ialah bagaimana obyek material itu dipandang. Obyek material yang
sama bisa saja dikaji oleh bidang ilmu lain akan tetapi setiap ilmu memiliki obyek
penilitiannya sendiri-sendiri yang membedakannya dari disiplin ilmu lain, yang
biasa dikenal dengan sebutan “obyek formal.”[8]

Logika sebagai sebuah ilmu mempelajari kompleksitas dunia ide-ide, penilaian dan
proses berpikir, sejauh aktivitas atau kegiatan mental ini membantu seseorang untuk
mengetahui realitas. Dengan kata lain, yang menjadi obyek material dari logika
adalah manusia itu sendiri sedangkan yang menjadi obyek formal dari logika adalah
kegiatan akal budi atau pemikiran manusia untuk mengetahui realitas. Pemikiran
sebagai obyek formal logika, dalam konteks ini, tidak dipandang sebagai sifat atau
aktivitas subyek (sebagai obyek psikologi) melainkan pemikiran dalam arti
hubungan-hubungan antara ide-ide itu sendiri. Isi pemikiran itu sendiri dapat
dipelajari menurut struktur internalnya, menurut bentuk-bentuknya (seperti konsep,
keputusan, kesimpulan) dan menurut hubungan keniscayaan dan hubungan timbal
balik.[9]

Proses mengetahui realitas oleh pikiran manusia pada dasarnya berupa hal-hal
khusus. Kegiatan mengetahui realitas ini ditemukan dalam “intelek”[10] dan bukan
dalam realitas eksternal. Sebagai contoh, pernyataan “batu ini bulat.” Perkataan
“batu ini” menyatakan status subyek sedangkan “bulat” mengungkapkan sebuah
status predikat. Namun dalam kenyataan “batu ini” bukanlah subyek, juga “bulat”
bukanlah predikat. Subyek, predikat, kesimpulan, penyataan, atau ide universal
tidak dapat ditemukan terpisah dari pikiran yang memahami. Ada beberapa hal
yang ada hanya di pikiran, dan tidak dalam realitas, dan merupakan hasil dari
kegiatan pengetahuan. Hal-hal ini lebih tepat disebut sebagai hal-hal logis (logical
properties), yaitu hal-hal yang secara ekslusif merupakan hasil pengetahuan atas
benda-benda dan tidak ditemukan dalam diri benda itu sendiri. Hal-hal logis inilah
yang merupakan obyek formal dari logika sebagai sebuah ilmu.

Logika berupaya memahami pelbagai relasi yang berbeda-beda yang timbul dalam
pikiran ketika kita mengetahui benda-benda tersebut. Relasi-relasi ini bisa berupa
relasi antara konsep maupun relasi antara konsep dan realitas. Karena itu hal-hal
logis yang menyatakan obyek formal logika disebut juga relasi-relasi logis (logical
relations) dan merupakan materi (beings) dari logika. Sebagaimana angka negatif
dalam matematika, hal-hal logis merupakan materi bagi pikiran; mereka ada hanya
dalam pemikiran. Logika tidak mempelajari semua bentuk materi pikiran melainkan
obyeknya yaitu hal-hal atau relasi-relasi logis.

Sebagai sebuah ilmu, logika memiliki metodenya sendiri. Metode logika bersifat
refleksif. Dalam metode ini kita tidak mulai proses mengetahui dengan pertama-
tama menyelidi ide-ide dan kemudian memahami realitas. Proses itu terjadi
sebaliknya: pikiran kita mengetahui realitas secara langsung dan pada proses
berikutnya, melalui refleksi pikiran kita memfokuskan perhatiannya pada proses
mengetahui itu sendiri. Upaya mempelajari proses mengetahui itu disebut dengan
nama refleksi logis (logical reflection). Refleksi logis mencakup, sebagai contoh, ketika
kita mempelajari ide tentang Tuhan, atau ketika kita merefleksikan proses keabadian
jiwa.
Ilmu logika menganalisis pula bahasa karena pengetahuan manusia diekspresikan
melalui bahasa. Salah satu cara yang paling efektif untuk mempelajari logika ialah
meneliti struktur bahasa dan memahami bagian-bagian percakapan yang berbeda
dan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain. Lebih dari itu, ketika seorang
guru hendak menjelaskan sebuah materi ia menjelaskannya dengan contoh dengan
mempergunakan bahasa harian. Semua kegiatan ini mencakup sebuah analisis
bahasa secara refleksif yang benar secara logis dan yang membedakannya dari
analisis tata bahasa.

Logika sebagai sebuah ilmu yang berupaya memperoleh pengetahuan dapat dibagi
atas 3 macam:[11]

1. Logika konseptual, yaitu logika yang mempelajari hakekat dan jenis-jenis


konsep dan relasi antara konsep yang satu dan yang lainnya.

2. Logika penilaian, yang juga disebut logika atributif atau logika pridikatif,
karena penilaian mencakup predikat dari beberapa penyempuranaan subyek.

3. Logika penalaran, yaitu logika yang mempelajari aplikasi cara kerja dasar
dari intelek untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Ditinjau dari obyek penelitiannya, logika dapat dibagi atas 2 macam, yaitu logika
formal dan logika material.

Logika formal mempelajari secara mendalam tentang bentuk dari proses penalaran,
atau logika yang termaktub dalam berbagai bentuk kesimpulan, argumentasi, yang
berhubungan dengan isi materialnya. Sebagai contoh, logika formal senantiasa
mumjukkan bahwa sebuah prasyarat sillogisme selalu mengukuti pola “Jika A
benar, maka B benar; tetapi A benar, karena itu B benar.” Huruf A dan B disebut
variabel yang menunjukkan kebenaran atau kenyataan. Sebagai contoh “Jika Petrus
bernapas, ia hidup. Petrus bernapas, karena itu ia hidup.” Dari contoh ini dapat
dibedakan antara bentuk dan isi penalaran. Pertalian logis atau kebenaran formal itu
satu sisi sedangkan kebenaran material adalah sisi lainnya. Kebenaran formal
termaktub dalam sifat dasar kebenaran, karena itu logika formal mempelajari pula
bentuk penalaran untuk mencari kebenaran. Hukum-hukum logika, apapun
abstraknya, senantiasa berhubungan dengan kebenaran. Lebih dari itu sebuah
pengetahuan dari logika formal memfasilitasi pikiran dengan kebiasaan-kebiasaan
untuk menemukan kebenaran material.

Logika formal pada dasarnya membahas tentang hal-hal yang bertalian dengan
ilmu-ilmu khusus atau ilmu-ilmu positif. Sebagaimana ilmu-ilmu positif, logika
formal membuat penyelidikan dan klasifikasi secara mendetail tentang beberapa
realitas proses bernalar, sebagaimana yang terjadi dalam matematika dan linguistik.
Walaupun demikian, logika formal berhubungan pula dengan filsafat atau filsafat
logika (the philosophy of logic). Karena itu, logika formal mengandaikan adanya logika
material.
Logika formal dapat dibedakan menurut tiga kegiatan mendasar dari pengetahuan,
yaitu penangkapan sederhana (simple apprehension), penilaian (judgement) dan
penalaran (reasoning).[12]

1. Penangkapan sederhana adalah pemahaman terhadap kesatuan-kesatuan


berpikir yang minimum seperti konsep tentang batu, manusia, hijau, hitam,
dlsb. Kegiatan mental yang terjadi pada tataran ini bertujuan pada
pembentukan konsep-konsep. Misalnya, konsep tentang batu karang
merupakan hasil dari tindakan psikis di dalam mana diperoleh pemahaman
tentang hakekat sebuah batu karang. Konsep yang diperoleh diungkapkan
dalam bentuk bahasa yang dikenal dalam logika dengan sebutan istilah (term).

2. Penilaian adalah sebuah proses intelek untuk mengumpulkan konsep-konsep


dalam upaya membangun struktur-struktur pemikiran tertentu, seperti “Andi
sementara membaca Harian Suara Maluku,” yang disebut dengan nama
proposisi (proposition). Proposisi logis menganalisis entitas logis dan bentuk-
bentuk yang bervariasi.

3. Penalaran adalah sebuah proses intelek dalam membandingkan dua


penilaian yang berbeda untuk menghasilkan satu penilaian yang baru yang
belum diketahui sebelumnya. Contoh, proposisi “Istirahat baik untuk
kesehatan” dan “Terlalu banyak kegelisahan merintangi istirahat.” Kedua
proposisi ini dianalisis melalui proses penalaran dan dibuat sebuah
kesimpulan baru yang belum ada sebelumnya yaitu “Terlalu banyak
kegelisahan tidak baik untuk kesehatan.” Penalaran logis berupaya
memberikan bentuk-bentuk yang valid (sah) terhadap kegiatan mental yang
ketiga tersebut.

Logika material pada hakekatnya adalah filsafat logika. Logika ini merupakan suatu
studi refleksif tentang hubungan antara tatanan logika dengan tatanan realitas.
Logika ini mencermati kinerja logis dari pikiran manusia dan mencoba menjelaskan
sifat dasarnya secara filosofis: menjelaskan sifat dasar penilaian, proses berpikir, dan
bagian-bagian lain dari aktivitas pengetahuan untuk mengetahui realitas. Dengan
kata lain, logika material mempelajari prinsip-prinsip penalaran. Logika ini
mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti validitas atau kesahihan dari konsep-
konsep umum, sifat dasar abstraksi dan relasi antara pemikiran dan perkataan.

2.1.3. Logika sebagai Cabang Filsafat


Istilah filsafat berasal dari padanan kata “falsafah” (Arab) dan “philosophy”
(Inggris). Kedua kata itu diturunkan dari bahasa Yunani “philosophia.” Kata ini
terbentuk dari dua kata dasar yaitu “philos” yang artinya kekasih, sahabat, cinta;
dan “sophia” yang artinya kearifan, kebijaksanaan. Jadi secara etimologis filsafat
berarti “cinta akan kebijaksanaan,” atau “yang mencintai kebijaksanaan.”
Lalu apakah itu kebijaksanaan? Secara singkat kebijaksanaan dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan tentang penyebab terdalam dari benda-benda atau realitas.
Dengan kata lain, ciri khas utama sebuah kebijaksanaan ialah pengetahuan akan
penyebab tertinggi dan terdalam dari realitas.[13] Dijelaskan oleh Joseph M. de
Torres, “… wisdom considers ultimate causes and above all the last end, the ultimate
finas cause of everything that is or comes to be: it judges and orders all things in the
most perfect way, that is, related to the last end.”[14]

Selain itu, kebijaksanaan juga dapat dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan
(science) bahkan dapat disebut sebagai kepala dari tubuh ilmu pengetahuan (the head
of the body of sciences). Sebagai sebuah ilmu, kebijaksanaan filsafat adalah upaya
untuk mencari, di atas segala-galanya, pengetahuan tentang “ada” (being); apakah
itu “ada”; dan apakah itu bukan ada (non-being) dan perbedaan riil antar
keduanya.[15] Dalam konteks ini kebijaksanaan filosofis tak lain adalah sebuah
metafisika, yaitu ilmu yang membahas tentang ada. Dijelaskan oleh Joseph M. de
Torres:

It directs and judges the other sciences, because the other sciences take for granted
what metaphysics studies, namely the most fundamental truths about reality: What is
being? What are the first principles of being and reason? Any science, like physics or
chemistry, takes for granted that a thing cannot be itself and another in the same sense.
What metaphysics does is precisely to look at this principle (called principle of non-
contradiction). What is to be? What is to be itself? and to be another? These are the
questions asked by metaphysics (wisdom), and that is why its position is like the
head in relation to the body of all the sciences.[16]

Dalam bahasa Yunani, istilah sophia memiliki arti yang lebih mendalam daripada
kata Inggris wisdom. Dalam bahasa Yunani istilah ini tidak hanya berarti masalah
pemahaman akan arti kehidupan melainkan juga mencakup segala latihan
intelegensi atau keinginan untuk mengetahui sesuatu.[17] Dengan demikian,
apapun usaha untuk menemukan lebih termasuk sebuah topik yang mencakup
usaha untuk melatih kebijaksanaan dan dapat dikarakterisasikan sebagai sebuah
usaha filosofis. Dalam arti ini, filsafat bukan sekedar sesuatu untuk mencapai
kepuasan akademik melainkan filsafat adalah sebuah upaya untuk mencapai
pemahaman yang lebih benar dan bijaksana tentang diri sendiri, orang lain dan
alam semesta. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa semua manusia adalah
filsuf karena manusia adalah ciptaan Sang Kebijaksanaan dan karena manusia
memiliki keinginan untuk bertanya dan terlibat dalam pemikiran spekulatif.

Sejak Aristoteles (384-322 sM) logika tidak dimasukan sebagai sebuah disiplin ilmu
atau sebagai sebuah cabang “filsafat”. Bagi Aristoteles, logika adalah sebuah
organon, alat, sarana sekaligus prasyarat bagi ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu logika
harus dipelajari oleh seseorang sebelum mempelajari ilmu-ilmu lain. Filsuf Yunani
ini membagi ilmu pengetahuan atas tiga bagian, yaitu filsafat spekulatif, filsafat
praktis dan filsafat produktif.[18]
1. Filsafat spekulatif atau filsafat teoretis ialah cabang filsafat yang bersifat
obyektif dan dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan itu sendiri.
Yang termasuk dalam cabang filsafat ini adalah fisika, matematika, psikologi
dan teologi.

2. Filsafat praktis ialah cabang filsafat yang ditujukan sebagai pedoman bagi
tingkah laku manusia. Yang termasuk dalam cabang filsafat ini adalah etika
dan politik.

3. Filsafat produktif ialah cabang filsafat yang bertujuan menuntun manusia


menjadi produktif melalui ketrampilan atau keahlian tertentu. Yang termasuk
dalam cabang filsafat ini adalah kritik sastra, retorika dan estetika.

Logika baru dimasukkan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, yaitu cabang
ilmu positif, oleh sosiolog Prancis Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya ilmu
pengetahuan dapat dibagi atas dua bagian, yaitu ilmu positif dan filsafat. Yang
termasuk dalam ilmu pengetahuan positif adalah logika atau matematika murni dan
ilmu pengetahuan empiris, yang terdiri dari astronomi, fisika, kimia, fisiologi,
sosiologi fisik, dlsb. Sedangkan yang termasuk dalam bidang filsafat adalah
metafisika dan filsafat ilmu pengetahuan, baik yang bersifat umum maupun yang
khusus.[19]

Pertanyaan yang muncul ialah apakah yang dimaksudkan dengan logika sebagai
sebuah cabang filsafat? Filsafat logika sebagai sebuah filsafat menyelidiki problem-
problem filosofis yang dimunculkan oleh logika. Perhatian utama dari filsafat logika
adalah membedakan antara argumentasi yang sahih dari argumentasi yang tidak
sahih. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh logika sebagai sebuah cabang
filsafat adalah apakah artinya mengatakan bahwa sebuah argumentasi benar? Apa
artinya mengatakan bahwa sebuah argumentasi mengikuti argumentasi yang lain?
Apa artinya sebuah pernyataan bersifat logis? Apakah yang harus dilakukan
seseorang dengan sistem logika formal untuk menilai logika material? Apakah ada
sebuah kebenaran dari logika formal? Bagaimana sesorang menetahui validitas
argumentasi atau atau kebenaran logika? Manakah sistem formal yang bisa disebut
sebagai logis dan mengapa demikian?

Semua pertanyaan di atas menunjuk pada lingkup dan tujuan logika, hubungan
antara logika formal dan argumen informal, dan relasi antara berbagai sistem formal
yang berbeda-beda.[20] Pembahasan filsafat logika berhubugan dengan logika
formal namun mempertanyakan secara filosofis konsep-konsep seperti bukti,
konsistensi, kesempurnaan, atau ketepatan dalam mengambil keputusan
(decidability).[21] Dengan demikian fokus perhatian dari filsafat logika ialah proses
berpikir dan berargumentasi manusia yang valid dan logis untuk memperoleh
kebenaran. Kegiatan penalaran manusia untuk memperoleh kebenaran ini
dilakukan secara filosofis dan bukan secara empiris atau menurut metode ilmu-ilmu
positif.[22]
2.2. Sejarah Logika
Logika sebagai sebuah ilmu pengetahuan sistematis yang meneliti proses penalaran
manusia belum ditemukan pada awal lahirnya filsafat sebagai induk dari semua
ilmu pengetahuan (mater scientiarium). Namun demikian dapat dikatakan bahwa
sejak lahirnya filsafat di Yunani pada abad ke-6 sM, para filsuf alam seperti Thales
(625-545 sM), Anaximenes (612-545 sM), Anaxomandros (585-528 sM), telah
meletakkan dasar-dasar berpikir rasional yang merupakan cikal bakal lahirnya
logika. Para filsuf alam tersebut berupaya mencari prinsip terdalam realitas (Yunani:
arkhe) bukan dengan kekuatan “mitos”[23] dan “mitologi”[24] melainkan dengan
kekuatan rasio semata.

Dalam karangan-karangan kuno, istilah logika dipergunakan pertama kali oleh


Cicero pad abad 1 sM, dalam arti seni berdebat. Baru pada abad ke-3 sM, Alexander
Aphrodisias menjadi orang pertama yang menggunakan istilah logika dalam arti
seperti saat ini, yakni sebagi ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya sebuah
pemikiran.[25]

Cikal bakal lahirnya logika ditandai dengan diskusi antara dua filsuf Yunani
Parmenides (540-470 sM) dan Zeno tentang perubahan dalam realitas. Menurut
Parmenides perubahan dalam realitas itu tidak dapat dijelaskan dan dibuktikan
secara empiris. Yang menjadi prinsip terdalam dari realitas tak lain adalah logos.
Zeno mempertahankan bahwa perubahan itu didasarkan pada sebuah “prinsip non-
kontradiksi” yaitu hukum logika yang menyatakan bahwa suatu argument idak bsia
benar dan tidak bisa salah sekaligus. Diskusi ini memunculkan tuntutan terhadap
kejelasan dari sifat dasar konsep-konsep dan perlu adanya penetapan aturan-aturan
untuk berargumentasi.[26]

Perdebatan ini berlanjut dalam perdebatan antara kaum Sofis dan Sokrates. Kaum
Sofis mereduksikan proses penalaran yang benar kepada kemampuan persuasi atau
retorika (seni berbicara, berdebat), sementara Sokrates menekankan pentingnya nilai
konseptual untuk memahami realitas. Plato memperdalam pandangan
pendahulunya dengan menekankan bahwa dunia Ide-ide (Ideas) merupakan prinsip
terdalam dan asali dari realitas, sementara realitas merupakan gambaran dari dunia
Ide-ide. Aristoteles mengoreksi gurunya dengan mengatakan bahwa dunia Ide-ide
sebagai realitas asali hanya berada dalam pikiran manusia. Menurutnya dunia yang
asali adalah kesatuan antara materi dan bentuk. Teori ini dikenal dengan nama teori
“hilemorfisme (Yunani: hyle= materi, morphe=bentuk).” Aristoteles mengatakan
bahwa segala yang ada merupakan satu kesatuan integral antara materi (materia)
dan bentuk (forma). Misalnya, mahasiswa A, B, dan C memiliki tinggi, berat dan
besar tubuh yang berbeda-beda. Namun ketiganya merupakan kesatuan yang
disebut “manusia.” Dengan teori ini Aristoteles berhasil membedakan antara
keteraturan alamiah dari keteraturan logis. Lebih dari itu teori tersebut
memampukan Aristoteles untuk membedakan antara dua ilmu yang diidentikan
satu sama lain oleh Plato, yaitu logika (ilmu yang mempelajari tentang ide-ide dan
proses penalaran) dari metafisika (ilmu yang mempelajari tentang realitas dan
prinsip-prinsip terdalam realitas). Maka dapat dikatakan bahwa Aristoteles
merupakan pendiri utama dan penemu logika klasik.

Aristoteles memiliki jasa besar dalam sejarah logika karena untuk pertama kalinya ia
memberikan uraian sistematis mengenai logika. Ia berhasil menulis karya-karyanya
tentang logika dalam sebuah koleksi yang terdiri dari enam buku yang kemudian
hari dikumpulkan oleh para muridnya dan diberi nama Organon (alat, instrumen).
Keenam buku tersebut adalah Categoria yang menguraikan tentang konsep-konsep
fundamental, Peri Hermenias atau De Interpretatione yang membahas tentang
keputusan-keputusan pikiran, Analytica Priora yang membahas teori penalaran dan
pembuktian (syllogism), Analytica Posteriora yang membahas tentang pembuktian
logis, Topics yang membahas cara menalar, berdebat atau berargumentasi, dan De
Sophisticis Elenchis yang membahas kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Dalam Organon logika formal dan logika material dibahas bersama-sama. Bagi
Aristoteles bagian utama dari logika adalah silogisme kategoris. Ia mempergunakan
istilah analitika untuk merujuk pada penyelidikan yang bertitik tolak dari putusan
yang benar dan menggunakan pula istilah dialektika untuk merujuk pada
penyelidikan argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak
pasti kebenarannya. Dua istilah ini merujuk pada dua cabang ilmu yang sekarang
ini kita namakan logika.[27]

Beberapa waktu kemudian Sekolah Megara dan para filsuf Stoik mempelajari
tentang logika formal. Warisan Aristoteles ini diteruskan dalam periode Abad
Pertengahan dalam karya-karya dari para filsuf aliran Neo-Platonisme: Porphyrius
dan Boethius. Selama periode Abad Pertengahan para filsuf Skolastik mempelajari
logika formal (atau dikenal sebagai dialektika sampai abad ke-12), seperti syllogism
hipotetis dan proposisi-proposisi logis, sebagai sebuah persiapan untuk mempelajari
filsafat dan teologi. Pada masa ini St. Petrus Abelardus memainkan peranan penting
dalam kontroversi tentang sifat dasar dari konsep-konsep universal.

Pada abad ke-13 St. Thomas Aquinas, St. Albert dan para pemikir lain seperti Petrus
Hispanus, dengan karyanya Summulae Logicales, meneruskan tradisi Aristotelian
dengan mengomentari karya-karya Aristoteles. Pada abad ke-14 muncullah aliran
“Nominalisme”[28] dari William Okham dan Buridan menginspirasi lahirnya
berbagai gerakan logika. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain Kayetanus, yang
merupakan salah satu komentator atas karya-karya St. Thomas Aquinas, turut
memperkaya khasanah logika.

Selama abad ke-17 dan ke-18 yang dikenal sebagai abad rasionalisme,
berkembanglah tendensi ke arah pengetahuan eksperimental dengan metode
deduksi menyebabkan logika tidak banyak dikembangkan oleh para filsuf. Pusat
perhatian pada masa ini diarahkan pada logika matematika dan induksi. Tokoh-
tokoh terkemuka pada abad ini antara lain Francis Bacon, John Stuart Mill, Arnaud
dan Nicole (logika Port Royal), Ramus dan Leibniz sebagai penganjur logika
simbolis/matematika.
Pada abad ke-19 problem-problem konseptual yang baru dimunculkan oleh
perkembangan geometri dan aljabar. Kedua bidang ilmu ini memunculkan
ketertarikan mendalam dari para filsuf untuk mempelajari logika formal dari sebuah
metode deduktif dan struktur aksioma. Dalam periode ini lahirlah logika simbolik
atau logika matematika, yaitu logika yang mempergunakan tanda-tanda atau
simbol-simbol matematika sebagai pengganti aktivitas penalaran yang berbeda-beda
untuk menerangkan realitas. Logika modern ini sangat berbeda dengan logika
logika tradisional Aristoteles yang membahas dan mempertanyakan konsep, definisi
dan istilah menurut struktur, susunan dan nuansa serta seluk-beluk penalaran
untuk memperoleh kebenaran yang lebih sesuai dengan realitas. Karena itu Martin
Heidegger mengatakan bahwa logika modern (logika simbolis/materimatika)
mengkhianati cara berpikir yang sesungguhnya.[29] Para tokoh logika simbolis yang
terkenal antara lain George Boole, De Pierce dan Schröder.

Pada awal abad ke-20 logika simbolis menjadi ilmu yang lebih otonom, sementara
logika tradisional dianggap sebagai dasar bagi logika simbolis. Logika
tradisional/Aristoteles dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Sedangkan
tokoh-tokoh terkenal dari logika modern/simbolis/matematika antara lain Gottried
Wilhelm Leibniz, Gottlob Frege, John Venn, dan G. Peano. Logika simbolik
mencapai masa jayanya melalui karya Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell dalam karyanya Principia Mathematica, Rudolf Karnap, Kurt Gödel,
dlsb.[30]

2.3. Macam-Macam Logika


Sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan filsafat, terdapat beberapa macam logika
yang bisa dipelajari.[31]

1. Logika Deduktif. Logika deduktif ialah usaha sistematis untuk merumuskan


aturan-aturan penarikan kesimpulan yang konsisten dan lengkap yang dapat
diterapkan pada argumen-argumen yang disajikan secara formal guna
menentukan apakah kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik secara sah
atau tidak dari premis-premis. Dalam logika dediktif, kesimpulan yang sah
merupakan akibat yang bersifat niscaya dari pernyataan-pernyataan umum
yang telah diajukan terlebih dahulu.

2. Logika Induktif. Logika induktif merupakan usaha untuk (a) merumuskan


aturan-aturan yang memungkinkan pernyataan-pernyataan dapat ditentukan
sebagai kuat atau probable secara empiris; (b) untuk merumuskan prosedur-
prosedur sistematis agar dapat mengemukakan penarikan-penarikan
kesimpulan atau argumen-argumen yang nonkontradiktif; (c) untuk
menentukan derajat konfirmasi atau probabilitas bagi kesimpulan yang
didasarkan atas derajat konfirmasi atau probabiltas yang mungkin untuk
ditentukan bagi presmis-premis; dan (d) untuk menarik kesimpulan
berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus untuk menuju yang bersifat umum.
3. Logika deontik. Logika deointik ialah bentuk logika yang berurusan dengan
konsep-konsep seperti permisibilitas, nonpermisibilitas, kewajiban,
keharusan, kepatutan, kelayakan, yang dirumuskan dalam suatu sistem
perumusan yang koheren. Prinsip dasar dari logika ini dapat dirumuskan
sebagai berikut: “Jika sesuatu itu wajib, sesuatu itu dapat dilakukan.” “Jika
sesuatu itu tidak diperbolehkan, maka itu tidak bersifat wajib.” “Jika sesuatu
dibuat karena ia bersifat wajib, maka ia sendiri adalah sesuatu yang bersifat
wajib, dan dilakukan secara niscaya.”

4. Logika Dialektis. Istilah ini secara umum berasal dari para filsuf seperti
Hegel, Marx dan Engels. Ketiga filsuf ini berupaya membuktikan hukum
berpikir salah dan mencoba mengembangkan suatu “logika menjadi” (logic of
becoming), yaitu suatu cara berpikir yang menekankan proses yang selalu
berubah-ubah dari realitas. Proses ini dapat dilihat dalam polaritas-polaritas
perubahan (tesis dan antitesis) yang dapat dijumpai dalam semua kegiatan.
Kontradiksi, bagi mereka, merupakan tenaga pendorong dalam segala
sesuatu.

Logika dialektis merupakan ajaran dari materialisme dialektis Karl Marx,


namun cikal bakal logika ini sudah dapat dilihat dalam filsfat kuno, antara
lain dalam ajaran Herakleitos, Plato dan Aristoteles. Logika ini berangkat dari
hal-hal yang abstrak menuju kepada yang konkret, dan juga menekankan
kesatuan antara yang historis dan yang logis: “Pikiran bertolak dari
permukaan obyek-obyek dan hal-hal menuju esensinya dan kemudian juga
menangkap secara menyeluruh manifestasi-manifestasi real dari benda-benda
dan obyek-obyek itu... Dan ini menungkinakn pemahaman baik masa lampau
yang sudah ada pada masa kini dalam suatu bentuk yang tinggi, maupun
masa depan, karena masa depan sudah berada pada masa sekarang kendati
dalam bentuk yang belum maju, masih bersifat bakal (embrionik)”[32]

Tugas utama logika dialektis ialah meneliti bagaimana cara terbaik


mengungkapkan dengan konsep-konsep operasi hukum dialektika dalam
benda-benda, obyek-obyek, dst. Maka tugas pokok logika ini tak lain adalah
meneliti perkembangan kognisi itu sendiri. Dalam arti ini, logika dialektis
berupaya mengidentifikasikan hukum-hukum dan bentuk-bentuk
perkembangan pikiran dalam perkembangan kognisi dan praktek sosial
historis. Dengan kata lain, logika dialektis dapat dicapai dengan meneliti
hukum-hukum dan bentuk-bentuk refleksi pikiran.

5. Logika Formal. Logika formal adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk-
bentuk pemikiran (konsep, putusan, kesimpulan dan pembuktian) berkenaan
dengan struktur logisnya, yaitu abstraksi isi konkret dari pemikiran dan
menonjolkan hanya cara-cara umum yang olehnya memungkinkan bagian-
bagian dari isi itu berhubungan. Tugas pokok logika ini ialah merumuskan
hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang harus ditaati untuk mencapai hasil
yang sahih dalam mengejar pengetahuan deduktif.
6. Logika Informal. Logika ini merupakan ilmu yang mempelajari penarikan
kesimpulan yang (a) tidak mengikuti suatu bentuk logis yang pasti; (b)
didasarkan pada arti dan bukan pada keabsahan bentuk-bentuk yang ada
dalam argumen itu; (c) dan dapat betul atau tidak tergantung pada
pertimbangan-pertimbangan (seperti evidensi empiris) yang lain daripada
argumennya.

7. Logika Tradisional. Logika ini sering disebut pula sebagai logika Aristotelian.
Logika ini mempelajari tentang silogisme kategoris. Logika tradisional
mempelajari tentang aturan-aturan serta prosesdur-prosedur yang
menghubungkan istilah-istilah sebagai subyek dan predikat menuju
kesimpulan-kseimpulan yang menyusul secara pasti.

8. Logika Kombinasional, yaitu aliran logika matematik yang menganalisis


konsp-konsep yang diterima tanpa studi lebih lanjut dalam kerangka logika
matematika klasik. Konsep-konsep itu seperti, variabel dan fungsi.

9. Logika Konstruktif, yaitu suatu aliran filsafat matematik yang melarang


penerapan kumpulan prinsip-prinsip yang tidak terbatas yang benar pada
kumpulan-kumpulan yang terbatas. Logika ini berupaya merevisi pokok-
pokok logika matematika modern.

10. Logika Matematis atau Simbolis. Logika ini merupakan hasil penerapan
metode matematika formal dalam bidang logika. Logika ini menekankan
penelitian logis terhadap penalaran dan bukti matematis. Logika matematis
meneliti tentang proses-proses logis melalui refleksi dalam bahasa yang
diformalisasikan atau dikalkulasikan secara logis, dan memeriksa relasi
antara kalkulasi-kalkulasi logis serta hubungan substabtifnya yang berguna
sebagai interpretasi dan modelnya. Logika simbolis dapat dibedakan antas
dua yakni secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, logika matematika
mencakup kalkulus proposisional dan kalkulus predikat. Dalam arti luas,
atau disebut juga “logistika,” logika matematika mencakup aneka ragam
sistem yang berhubungan.

11. Logika Modal, yaitu suatu sistem logika yang mempelajari struktur proposisi-
proposisi yang memuat modalitas-modalitas seperti “keniscayaan, kenyataan,
kemungkinan, kebetulan,” dan menegasinya. Usaha membangun logika
modalitas telah dirintis sejak Aristoteles, kaum Stoa dan Skolastik. Sedangkan
studi mengenai modalitas dengan mempergunakan logika matematika
dirintis oleh C. Lewis dan Lekasiewicz.

12. Logika Probabilitas, yaitu logika yang memperlajari pernyataan-pernyataan


yang bersifat probabilistik, entah berupa pernyataan individual maupun
suatu penilaian terhadap hubungan antara dua pernyataan yang biasa.
Logika ini tidak menuntut adanya suatu angka yang pasti. Kepastian dalam
logika ini tidak didasarkan pada perbandingan dua pernyataan melainkan
berdasarkan pernyataan lain yang mengungkapkan pengetahuan. Misalnya,
“besok hari akan hujan.” Kebenaran pernyataan ini tidak berasal dari kalimat
yang ada melainkan berdasarkan kesesuaian dengan ramalam cuaca.

13. Logika Simbolik, yaitu logika yang disajikan dalam simbolisasi abstrak yang
terdiri dari unsur-unsur yang didefinisikan dengan baik seperti: simbol-
simbil, tanda-tanda, kata-kata sambung, aturan-aturan penggabungan simbol,
aturan-aturan substitusi, aturan-aturan penarikan kesimpulan (inferensi) dan
aturan-aturan derivasi (turunan kata).
Pertemuan Dosen Pendidikan Agama Katolik Kevikepan Makassar

Pada Senin, 15 Januari 2007 bertempat di Aula Keuskupan KAMS telah terselenggara
Pertemuan Para Dosen Pendidikan Agama Katolik (PAK) se-Kota Makassar. Pertemuan ini
begitu penting dan diharapkan menjadi peristiwa awal dari terciptanya suatu mutu pendidikan
agama katolik di perguruan tinggi se-Keuskupan Agung Makassar. Sebagaimana yang dicita-
citakan oleh Bapak Uskup, yaitu: agar para mahasiswa katolik mendapatkan mutu pendidikan
iman yang memadai dan juga perkuliahan PAK di PT dipandang sangat strategis untuk
mempersiapkan para mahasiswa menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat, seperti pada era
1970-an di mana PAK dalam kota Makassar dilaksanakan oleh Tim dan terkoordinir dengan
baik. Pertemuan ini juga sebagai tindaklanjut dari dua pertemuan sebelumnya, yaitu pada 20
Nopember 2006 antara Ketua-ketua Komisi dengan Bapak Uskup dan pertemuan Ketua-ketua
Komisi dengan Vikjen pada tanggal 8 Desember 2006.

Pada pertemuan kali ini, dihadiri oleh 17 Dosen Pendidikan Agama Katolik dari berbagai
perguruan Tinggi yang ada di kota Makassar. Hadir pula Ketua Komisi Kateketik bersama
staf (P. Martin Solon dan Fr. Bonifasius HHK), dari Komisi Kepemudaan (P. Albert Arina
dan Bpk. Frans Tio), P. Leo Sugiyono (Pastor Mahasiswa), serta P. Frans Nipa, P. Ernesto, P.
Marsel dari Kuria KAMS. Pokok-pokok pembicaraan dalam pertemuan yang dimulai pukul
10.30 dan dipimpin oleh P. Ernesto ini, meliputi: Pertama tentang evaluasi umum
pelaksanaan pendidikan agama katolik di Perguruan Tinggi se-Kota Makassar, kedua,
beberapa penegasan sehubungan dengan proses pelaksanaan PAK di Perguruan Tinggi, dan
ketiga tentang harapan-harapan penyelenggaraan PAK di PT ke depan.

Evaluasi Umum. Beberapa hal penting menyangkut pelaksanaan PAK di PT selama ini di
kemukakan dalam pertemuan ini, antara lain sebagai berikut:
• Dengan kondisi dan situasi yang ada (kurang terkordinir dan tidak di bawah payung
kordinasi), selama ini para dosen telah menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya untuk
membantu para mahasiswa memperoleh pendidikan agama katolik, sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing. Demikian juga dengan kreatifitasnya sendiri, selama ini
para dosen telah mampu mengolah materi, kurikulum dan buku pegangan yang disesuaikan
dengan situasi setempat.
• Dari data para dosen PAK yang diberikan oleh Bpk Victor Duma tertanggal 13 Oktober
2006 nampak bahwa hampir semua dosen adalah para awam. Hanya beberapa imam saja
yang terlibat dalam PAK di PT. Dari data itu juga terlihat bahwa beberapa dari dosen PAK
tidak memiliki latarbelakang studi teologi ataupun kateketik dan kelayakan sebagaimana
tuntutan Gereja.
• Pendampingan, perekrutan dan pemenuhan standar kualifikasi dosen baik dari segi
persyaratan akademik maupun dari segi tuntutan gerejawi sebagaimana kelayakan menurut
Kan. 804 dan 805 belum terselenggara dengan baik.
• Walaupun para dosen PAK telah menjalankan proses pengajarannya berdasarkan kurikulum
yang ada, tetapi ada kesan tidak seragam dan cenderung jalan sendiri-sendiri. Demikian juga
menyangkut bobot kedalaman materi yang diberikan, ada kesan berbeda-beda.
• Karena berbagai alasan (mis. Jumlah mahasiswa katolik sedikit, atau mahasiswa sendiri
kurang pro-aktif untuk mencari dosen PAK, kekurangan dosen dst) beberapa perguruan tinggi
–walaupun ada mahasiswa katoliknya- belum menyelenggarakan PAK. Sehingga ada
beberapa mahasiswa katolik yang mengikuti Pendidikan Agama Protestan. Bahkan ada
beberapa mahasiswa yang sama sekali tidak mendapat pelayanan PAK, sehingga pada waktu
harus memperoleh nilai PAK, mencari jalan pintas.

Beberapa penegasan sehubungan dengan proses pelaksanaan PAK di Perguruan Tinggi. Ada
beberapa hal yang telah ditekankan dalam pertemuan tanggal 8 Desember 2006, ditegaskan
kembali dalam pertemuan ini:
• Para mahasiswa katolik yang ada di kota Makassar melalui setiap perguruan Tinggi perlu
segera didata. Pemegang sah data mahasiswa katolik adalah dosen PAK.
• Juga akurasi data yang lengkap (identitas pribadi, kampus di mana mengajar, latar belakang
pendidikan dst.) bagi para Dosen PAK di kota Makassar.
• Status seorang dosen agama katolik menjadi sah hanya melalui Koordinator Perkuliahan
Pendidikan Agama Katolik KAMS yang adalah perpanjangan tangan Bapa Uskup. Untuk
kampus di mana tidak ada dosen agama katolik, karena kondisinya, maka otomatis Pastor
Paroki di mana kampus itu berada menjadi penanggungjawab, sekaligus sebagai dosen PAK.
• Koordinator perkulihahan PAK KAMS sekaligus adalah Pastor Mahasiswa dan bekerja
sebagai Tim dengan ketua-ketua komisi Kateketik, Kepemudaan, Pendidikan dan
PembimasKat Propinsi. Untuk itu agar kordinator Perkuliahan Agama Katolik segera
membentuk Tim Kerja.
• Dalam pertemuan ini juga ditegaskan perlunya pendampingan dan kerjasama dalam
mendalami dan menyusun materi pengajaran dari garis-garis besar program pegajaran yang
sudah ada, maupun sumber bahan lain. Juga kiranya para dosen membutuhkan pendampingan
berupa penyegaran rohani yang teratur agar memiliki semangat, spiritualitas yang mantap.

Harapan-harapan dari para dosen untuk koordinator perkuliahan dan penyelenggaraan PAK
di PT ke depan:
• Koordinator diharapkan mengagendakan pertemuan antar dosen minimal sekali dalam
setahun (menyangkut evaluasi, penyegaran rohani).
• Bekerjasama dengan Bimas Katolik mengagendakan suatu lokakarya kurikulum PAK.
• Bekerjasama dengan Bimas Katolik, KWI dan KAMS mempersiapkan para dosen PAK
agar memiliki kelayakan mengajar sesuai dengan tuntutan UU pendidikan (minimal S-2
untuk PT).
• Menyelenggarakan Kuliah Umum bagi para mahasiswa se-Kota Makassar.
• Koordinator diharapkan menjadi penghubung antara kampus dengan keuskupan.***
P. Leo Sugiyono, MSC
Pastor Mahasiswa
Pernyataan Konsili Vatikan II Tentang
Pendidikan Kristen (Gravissimum
Educationis)
 Posted on: 28 January 2015
 By: administrator

1. Hak semua orang atas pendidikan


Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku
pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan[5], yang cocok
dengan tujuan[6] maupun sifat-perangai mereka, mengindahkan perbedaan jenis, serasi
dengan tradisitradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan
persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang
sejati di dunia. Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembinaan
pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok
masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut
berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu-
pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu
untuk menumbuhkan secara laas-serasi bakatpembawaan fisik, moral dan intelektual mereka.
Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab
yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan
saksama mengembangkan hidup mereka sendiri. Sambil mengatasi hambatan-hambatan
dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang sejati.
Hendaklah seiring dengan bertambahnya umur mereka menerima pendidikan seksualitas
yang bijaksana. Kecuali itu hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan
sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali upaya-upaya seperlunya yang sungguh menunjang,
mereka mampu berintegrasi secara aktif dalam pelbagai kelompok rukun manusiawi, makin
terbuka berkat pertukaran pandangan dengan saksama, dan dengan sukarela ikut
mengusahakan peningkatan kesejahteraan umum.

Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa anak-anak dan kaum remaja berhak didukung,
untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus nuilai-nilai moral, serta dengan tulus
menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi
Allah. Maka dengan sangat Konsili meminta, supaya siapa saja yang menjabat kepemimpinan
atas bangsa-bangsa atau berwewenang dibidang pendidikan, mengusahakan supaya jangan
sampai generasi muda tidak terpenuhi haknya yang asasi itu. Konsili menganjurkan, supaya
putera-puteri Gereja dengan jiwa yang besar menyumbangkan jerih-payah mereka diseluruh
bidang pendidikan, terutama dengan maksud, agar buah hasil pendidikan dan pengajaran
sebagaimana mestinya selekas mungkin terjangkau oleh siapa pun diseluruh dunia[7].

2.Pendidikan kristen
Berkat kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus umat kristen telah menjadi ciptaan baru[8],
serta disebut dan memang menjadi putera-puteri Allah. Maka semua orang kristen berhak
menerima pendidikan kristen. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi
manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang
telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke
hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar bersujud
kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), teutama dalam perayaan
Liturgi; supaya mereka dibina untuk mengahayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam
kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka
mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu
hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi
kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung
perubahan dunia menurut tata-nilai kristen. Demikianlah nilai-nilai kodrati akan ditampung
dalam perspektif menyeluruh manusia yang telah ditebus oleh kristus, dan merupakan
sumbangan bagi kesejahteraan segenap masyarakat[9]. Oleh karena itu Konsili ini
mengingatkan kepada para Gembala jiwa-jiwa akan kewajiban mereka yang amat berat untuk
mengusahakan segala sesuatu, supaya seluruh umat beriman menerima pendidikan kristen,
terutama amgkatan muda yang merupakan harapan Gereja[10].

3. Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan


Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat
berat untuk mendidik anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik
mereka yang pertama dan utama[11]. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila
diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua:
menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih
sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi
dan sosial anak-anak mereka. Maka keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama
keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Adapun terutama
dalam keluaraga kristen, yang diperkaya dengan rahmat serta kewajiban Sakramen
Perkawinan, anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah serta berbakti kepada-
Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima dalam Baptis. Disitulah
anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja.
Melalui keluargalah akhirnya mereka lambat-laun diajak berintegrasi dalam masyarakat
manusia dan umat Allah. Maka hendaklah para orang tua menyadari, betapa pentinglah
keluarga yang sungguh kristen untuk kehidupan dan kemajuan umat Allah sendiri[12]. Tugas
menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga,
memerlukan bantuan seluruh masyarakat. Oleh sebab itu, disamping hak-hak orang tua serta
mereka, yang oleh orangtua diserahi peranserta tugas dalam mendidik, masyarakatpun
mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu, sejauh merupakan tugas
wewenangnya untuk mengatur segala-sesuatu yang diperlukan bagi kesejahteraan umum di
dunia ini. Termasuk tugasnya: dengan pelbagai cara memajukan pendidikan generasi muda;
misalnya: melindungi kewajiban maupun hakhak para orangtua serta pihak-pihak lain, yang
memainkan peranan dalam pendidikan, dan membantu mereka: sesuai dengan prinsip
subsidiaritas melengkapi karya pendidikan, bila usaha- usaha para orangtua dan kelompok-
kelompok lain tidak memadai, tetapi dengan mengindahkan keinginan-keinginan para
orangtua; kecuali itu, sejauh dibutuhkan bagi kesejahteraan umum, mendirikan sekolah-
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan[13].

Akhirnya secara istimewa pendidikan termasuk tugas Gereja, bukan hanya masyarakat pun
harus diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan, melainkan terutama karena
Gereja bertugas mewartakan jalan keselamatan pada semua orang, menyalurkan kehidupan
kristus kepada umat beriman, serta tiada hendtinya penuh perhatian membantu mereka,
supaya mampu meraih kepenuhan kehidupan itu[14]. Jadi bagi para putera-puteri Gereja
selaku Bunda wajib menyelenggarakan pendidikan, supaya seluruh hidup mereka diresapi
oleh semangat Kristus. Lagi pula Gereja menyumbangkan bantuannya kepada semua bangsa,
untuk mendukung penyempurnaan pribadi manusia seutuhnya, juga demi kesejahteraan
masyarakat dunia, dan demi pembangunan dunia sehingga menjadi makin manusiawi[15].

4. Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen


Dalam menunaikan tugasnya dibidang pendidikan, Gereja memang memperhatikan segala
upaya yang mendukung, tetapi terutama mengusahakan upaya-upaya yang khas baginya.
Diantaranya yang utama ialah pendidikan kateketis[16], yang menyinari dan meneguhkan
iman, menyediakan santapan bagi hidup menurut semangat kristus, mengantar kepada
partisipasi yang sadar dan aktif dalam Misteri Liturgi[17], dan menggairahkan kegiatan
merasul. Gereja sangat menghargai dan berusaha meresapi dengan semangatnya serta
mengangkat upaya-upaya lainnya juga, yang termasuk harta warisan bersama umat manusia,
dan yang cukup besar maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia, dan
yang cukup besar maknanya untuk mengembangkan jiwa dan membina manusia, misalnya
upaya komunikasi-komunikasi sosial[18], banyak kelompok-kelompok yang bertujuan
mengembangkan badan dan jiwa, himpunan-himpunan kaum muda, dan terutama sekolah-
sekolah.

5. Pentingnya sekolah
Diantara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa[19]. Sementara
terusmenerus mengembangkan daya kemampuan akalbudi, berdasarkan misinya sekolah
menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan
budaya yang telah dihimpun oleh generasi-gerasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan
tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memeupuk rukun
persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan
mengembangkan sikap saling memahami.

Kecuali itu sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan, yang serentak harus
melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan
hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga
manusia. Maka sungguh indah tetapi berat jugalah panggilan mereka semua, yang untuk
membantu para orang tua menunaikan kewajiban mereka sebagai wakil-wakil masyarakat,
sanggup menjalankan tugas kependidikan disekolah-sekolah. Panggilan itu memerlukan
bakat-bakat khas budi maupun hati, persiapan yang amat saksama, kesediaan tiada hentinya
untuk membaharui dan menyesuaikandiri.

6. Kewajiban dan hak-hak orang tua


Orangtualah yang pertama-tama mempunyai kewajiban dan hak yang pantang diganggu
gugat untuk mendidik anak-anak mereka. Maka sudah seharusnyalah mereka sungguh-
sungguh bebas dalam memilih sekolah-sekolah. Maka pemerintah, beserta kewajibannya
melindungi dan membela kebebasan para warga negara, sambil mengindahkan keadilan dan
pemerataan, wajib mengusahakan, supaya subsidi-subsidi negara dibagikan sedemikian rupa,
sehingga para orang tua mampu dengan kebebasan sepenuhnya memilihkan bagi anak-anak
mereka sekolah-sekolah menurut suara hati mereka[20]. Pada umumnya termasuk fungsi
negara mengusahakan, supaya semua warganya berpeluang melibatkan diri dalam hidup
berbudaya sebagaimana mestinya, dan menjalani persiapan selayaknya untuk menunaikan
tugas-kewajiban serta menggunakan hak-hak mereka selaku warga negara. Maka negara
sendiri wajib menjamin hak anak-anak atas pendidikan sekolah yang memadai, mengawasi
kemampuan para guru serta menjaga mutu studi, memperhatikan kesehatan para murid, dan
pada umumnya meningkatkan seluruh sitem persekolahan, sambil menerapkan prinsip
subsidiaritas, dan karena itu dengan menghindari segala macam monopoli persekolahan.
Sebab monopoli itu bertentangan dengan hak-hak asasi pribadi manusia, kemajuan serta
pemerataan kebudayaan sendiri juga, kehidupan bersama para warganegara dalam damai,
serta kemacamragaman yang sekarang ini berlaku di banyak masyarakat[21].

Konsili suci mendorong umat beriman, supaya rela memberi bantuan untuk menemukan
metode-metode pendidikan serta sitem pengajaran yang cocok, dan untuk pembinaan guru-
guru yang mampu mendidik kaum muda seperti semestinya, begitu pula untuk dengan
bantuan mereka – terutama melalui perserikatan orangtua – ikut menopang seluruh peranan
sekolah dan terutama penyelenggaraan pendidikan moral[22].

7. Pendidikan moral dan kegamaan di sekolah


Selain itu Gereja menyadari sangat beratnya kewajibannya untuk dengan tekun
mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan semua putera-puterinya. Maka Gereja harus
hadir dengan kasih keprihatinan serta bantuannya yang istimewa bagi sekian banyak siswa,
yang menempuh studi di sekolah-sekolah bukan katolik. Kehadirannya itu hendaklah
dinyatakan baik melalui kesaksian hidup mereka yang mengajar dan membimbing siswa-
siswi itu, melalui kegiatan kerasulan sesame siswa[23], maupun terutama melalui pelayanan
para imam dan kaum awam, yang menyampaikan ajaran keselamatan kepada mereka, dan
yang memberi pertolongan rohani kepada mereka melalui berbagai usaha yang tepat guna
dengan situasi setempat dan semasa.. Oleh Konsili para orangtua diingatkan akan kewajiban
mereka yang berat, untuk menyelenggarakan atau juga menuntut apa saja yang diperlukan,
supaya anak-anak mereka mendapat kemudahan-kemudahan itu, dan mengalami kemajuan
dalam pembinaan kristen, yang serasi dengan pendidikan profan mereka. Kecuali itu Gereja
memuji para penguasa dan masyarakat sipil, yang dengan mengindahkan kemajemukan
masyarakat zaman sekarang serta menjamin kebebasan beragama sebagaimana wajarnya,
menolong keluarga-keluarga, supaya pendidikan anakanak di semua sekolah dapat
diselenggarakan seturut prinsip-prinsip moral dan religius yang dianut oleh keluarga-keluarga
itu sendiri[24].

8. Sekolah-sekolah katolik
Kehadiran Gereja di dunia persekolahan secara khas nampak melalui sekolah katolik. Tidak
kurang dari sekolah-sekolah lainnya, sekolah katolik pun mengejar tujuan-tujuan budaya dan
menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda. Tetapi ciri khasnya ialah menciptakan
lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta
kasih, dan membantu kaum muda, supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka
sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru, sebab itulah mereka, karena menerima Baptis.
Termasuk cirri sekolah katolik pula, mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya
kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur
diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman[25].
Demikianlah sekolah katolik, sementara sebagaimana harusnya membuka diri bagi kemajuan
dunia modern, mendidik para siswanya untuk dengan tepat-guna mengembangkan
kesejahteraan masyarakat di dunia, serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi
meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan memberi teladan hidup merasul mereka menjadi
bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas.

Karena sekolah katolik dapat memberi sumbangan begitu besar kepada umat Allah untuk
menunaikan misinya dan menunjang dialog antara Gereja dan masyarakat yang
menguntungkan kedua pihak, maka juga bagi situasi kita sekarang ini tetap penting sekali.
Oleh karena itu Konsili ini sekali lagi mengulangi pernyataan, bahwa – seperti berkali-kali
telah ditetapkan dalam dokumen-dokumen Magisterium[26] – Gereja berhak secara bebas
mendirikan dan mengurus segala macam sekolah pada semua tingkat. Sementara itu Konsili
mengingatkan juga, bahwa pelaksanaan hak itu merupakan dukungan kuat sekali untuk
melindungi kebebasan suarahati serta hak-hak para orangtua, lagi pula banyak menunjang
kemajuan kebudayaan sendiri. Hendaknya para guru menyadri, bahwa terutama peranan
merekalah yang menentukan bagi sekolah katolik, untuk dapat melaksanakan rencana-
rencana dan usaha-usahanya[27]. Maka dari itu hendaklah mereka sungguh-sungguh
disiapkan, supaya membawa bekal ilmu-pengetahuan profane maupun keagamaan yang
dikukuhkan oleh ijazah-ijazah semestinya, dan mempunyai kemahiran mendidik sesuai
dengan penemuan-penemuan zaman modern. Hendaklah cinta kasih menjadi ikatan mereka
timbal balik dengan para siswa, dan mereka dijiwai oleh semangat merasul. Dengan demikian
hendaknya mereka memberi kesaksian tentang Kristus Sang Guru satu-satunya melalui
perihidup dan tugas mereka mengajar. Hendaknya mereka tahu bekerja sama, terutama
dengan para orangtua. Bersama orangtua hendaklah para guru dalam seluruh pendidikan
memperhatikan perbedaan jenis serta panggilan khas pria maupun wanita dalam keluarga dan
masyarakat, seperti telah ditetapkan pleh Penyelenggaraan ilahi. Hendaknya mereka berusaha
membangkitan pada para siswa kemampuan bertindak secara pribadi, dan juga sesudah para
siswa tamat sekolah hendaklah para guru tetap mendampingi mereka dengan nasehat-nasehat,
sikap bersahabat, pun melalui himpunan-himpunan yang bertujuan khusus dan bernafaskan
semangat gerejawi yang sejati. Konsili menyatakan, bahwa pelayanan para guru itu sungguh-
sungguh merupakan kerasulan, yang memang perlu dan benar-benar menanggapi kebutuhan
zaman sekarang, sekaligus juga pengabdian yang sejati kepada masyarakat. Konsili
mengingatkan para orang tua katolik akan keajiban mereka, untuk bilamana dan dimana pun
mungkin menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah katolik, sekedar kemampuan
mereka menanggung kelangsungannya, dan bekerja sama dengannya demi kepentingan anak-
anak[28].

9. Berbagai macam sekolah katolik


Hendaknya semua sekolah, yang bagaimana pun bernaung pada gereja, sedapat mungkin
membentuk diri menurut citra sekolah katolik itu, sungguhpun sesuai dengan berbagai situasi
setempat sekolah katolik dapat mengenakan aneka bentuk pula[29]. Jelas jugalah Gereja
memandang sangat berharga sekolah-sekolah katolik, terutama didaerah Gereja-Gereja yang
masih muda, yang menampung siswa-siswa bukan katolik juga. Pada umumnya dalam
mendirikan dan mengurus sekolah-sekolah katolik hendaknya kebutuhan-kebutuhan zaman
yang makin maju sungguh ditanggapi. Oleh sebab itu memang tetap harus dikembangkan
sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah, yang meletakkan dasar-dasar pendidikan; tetapi
patut dihargai juga sekolah-sekolah, yang secara khas dibutuhkan dalam situasi sekarang,
misalnya apa yang disebut sekolah-sekolah kejuruan[30] dan teknik, lembaga-lembaga bagi
pembinaan kaum dewasa, pengembangan bantuan-bantuan sosial, serta penampungan para
penyandang cacat yang memerlukan pelayanan istimewa, begitu pula sekolah-sekolah untuk
mempersiapkan guru-guru pendidikan agama dan untuk bentuk-bentuk pendidikan lainnya.
Konsili suci dengan sangat menganjurkan kepada para Gembala Gereja dan segenap umat
beriman, supaya tanpa melewatkan pengorbanan manapun membantu sekolah-sekolah
katolik, untuk semakin sempurna menjalankan tugasnya, dan terutama untuk menanggapi
kebutuhankebutuhan mereka, yang miskin harta duniawi, atau hidup tanpa bantuan atau kasih
saying keluarga, atau masih jauh dari kurnia iman.

10. Fakultas dan universitas katolik


Begitu pula sekolah-sekolah tingkat lebih tinggi, terutama universitas-universitas dan
fakultasfakultas, dari pihak Gereja mendapat perhatian yang istimewa. Bahkan Gereja
menghendaki, supaya diperguruan-perguruan yang bernaung padanya secara laras terpadu
masing-masing bidang ilmu dikembangkan menurut asas-asasnya sendiri, dengan metodenya
sendiri, dan dengan kebebasan penelitian ilmiah sedemikian rupa, sehingga ilmu-pengetahuan
di bidang-bidang itu kian hari makin mendalam, dan – sementara diperhatikan secermat
mungkin masalah-persoalan serta penyelidikan-penyelidikan aktual di zaman modern ini –
hendaknya disadari secara lebih mendalam, bagaimana iman dan akalbudi berpadu mencari
kebenaran yang tunggal, dan diikuti jejak-jejak para Pujangga Gereja, terutama S. Tomas
Akuino[31]. Begituh hendaknya terwujudkan kehadiran visi kristen secara publik, terus-
menerus dan universal, dalam seluruh usaha untuk meningkatkan mutu kebudayaan. Pun
hendaknya para mahasiswa perguruan-perguruan itu dibina menjadi tokoh-tokoh yang benar-
benar unggul ilmu-pengetahuannya, siap-siaga untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang
cukup berat dalam masyarakat, dan menjadi saksi-saksi iman di dunia[32].
Di universitas-universitas katolik, yang tidak mempunyai fakultas teologi, hendaknya
diadakan Lembaga atau Mimbar Teologi, yang menyelenggarakan kuliah-kuliah yang juga
disesuaikan dengan kaum awam. Karena ilmu-pengetahuan mengalami kemajuan terutama
berkat penelitianpenelitian khas yang bermutu ilmiah lebih tinggi, hendaknya di universitas-
universitas dan fakultasfakultas katolik terutama dikembangkan lembaga-lembaga, yang
pertama-tama berfungsi memajukan penelitian ilmiah.

Konsili sangat menganjurkan, supaya universitas-universitas dan fakultas-fakultas katolik,


yang hendaknya diselenggarakan secara cukup merata di pelbagai kawasan dunia, tetap
dikembangkan, tetapi sedemikian rupa, sehingga tidak menonjol karena jumlahnya,
melainkan karena mutu perkuliahannya. Hendaknya perguruan-perguruan itu mudah terbuka
bagi para mahasiswa yang memberi harapan lebih besar, kendati kondisinya kurang
menguntungkan, terutama bagi mereka yang berasal dari negara-negara yang masih muda.

Untung-malang masyarakat dan gereja sendiri berhubungan erat sekali dengan kemajuan
generasi muda yang menempuh studi tingkat lebih tinggi[33]. Maka hendaknya para Gembala
Gereja jangan hanya menyediakan reksa pastoral paroki intensif bagi hidup rohani para
mahasiswa universitas katolik saja. Terdorong oleh keprihatinan akan pembinaan rohani
semua putera-puteri mereka, dan berdasarkan musyawarah yang seyogyanya diadakan antara
para Uskup, hendaklah mereka mengusahakan, supaya juga disekitar universitas-universitas
bukan katolik terdapat asramaasrama serta pusat-pusat universiter katolik; disitu hendaknya
imam-imam, para religius dan kaum awam, yang dipilih dan disiapkan dengan cermat,
memberi pelayanan rohani dan ilmiah yang tetap kepada generasi muda di lingkup
universitas. Kaum muda yang berbakat lebih tinggi dilingkungan universitas katolik atau
universitas lain, yang nampak cocok untuk menjadi dosen atau menjalankan penelitian-
penelitian, hendaknya diusahakan perkembangannya secara istimewa, dan diarahkan untuk
menunaikan tugas mengajar.

11. Fakultas teologi


Gereja menaruh harapan amat besar atas kegiatan fakultas-fakultas teologi[34]. Sebab kepada
fakultas-fakultas itulah Gereja mempercayakan tugas yang berat sekali, yakni menyiapkan
para mahasiswanya bukan saja untuk pelayanan imam, tetapi terutama untuk mengajar
dilembagalembaga studi gerejawi tingkat tinggi, untuk mengembangkan berbagai bidang
ilmu atas jerihpayah mereka sendiri, dan menangani tugas-tugas kerasulan intelektual yang
lebih berat. Termsuk tugas fakultas-fakultas itu sendiri: mengadakan penelitian-penelitian
lebih mendalam di pelbagai bidang teologi, sehingga tercapailah pengertian yang makin
mendalam tentang Perwahyuan Roh Kudus, makin penuh terbukalah pusaka kebijaksanaan
kristen warisan para leluhur, makin berkembanglah dialog dengan saudara-saudari yang
terpisah dan dengan umat beragama lain, dan masalah-persoalan yang timbul dari kemajuan
ilmu-pengetahuan mendapat jawabannya[35]. Maka hendaklah fakultas-fakultas gerejawi
pada saatnya meninjau kembali Anggaran Dasarnya, secara intensif mengembangkan teologi
serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, dan dengan memanfaatkan metode-metode serta
upaya-upaya yang mutakhir pula, membina para mahasiswanya untuk tetap melanjutkan
penelitian-penelitian.

12. Koordinasi di bidang persekolahan


Kerja sama, yang pada tingkat keuskupan, nasional maupun internasional dari hari ke hari
makin mendesak dan makin tepat guna, sangat perlu juga di dunia persekolahan. Oleh sebab
itu hendaklah diusahakan sedapat mungkin, supaya antara sekolah-sekolah katolik koordinasi
makin dipererat, begitu pula dikembangkan kerja sama antara sekolah-sekolah katolik dan
sekolah-sekolah lainnya. Kerja sama itu dibutuhkan demi kesejahteraan segenap
masyarakat[36]. Berkat koordinasi dan kerja sama yang lebih erat itu, terutama dikalangan
lembaga-lembaga akademis, akan diperbuahkan hasil-hasil yang lebih melimpah. Maka
hendaklah disetiap universitas berbagai fakultas saling membantu, sejauh kekhususan
masing-masing mengijinkannya.
Universitas-universitas sendiri hendaknya berpadu maksud dan menjalin kerja sama, dengan
bersama-sama menyelenggarakan kongres-kongres internasional, saling berbagi tugas
dibidang penelitian ilmiah, mengadakan pertukaran hasil-hasil penelitian, mengusahakan
pertukaran dosendosen untuk sementara waktu, dan mendukung usaha-usaha lain, yang dapat
meningkatkan kerja sama.

PENUTUP
Konsili dengan sangat mendorong angkatan muda, supaya menyadari keluhuran tugas
mendidik, dan menyediakan diri untuk dengan kebesaran jiwa menerima tugas itu, terutama
didaerah-daerah, yang kekurangan guru, sehingga pendidikan kaum muda menghadapi krisis.
Konsili menyatakan syukur terima kasih sebesar-besarnya kepada imam-imam, para religius
pria maupun wanita, dan kaum awam, yang dengan dedikasi injili membaktikan diri dalam
karya luhur pendidikan dan persekolahan di pelbagai jenis dan pada berbagai tingkat. Konsili
mengajak mereka, supaya tetap bertahan dengan kebesaran jiwa dalam tugas yang mereka
jalankan, lagi pula supaya dalam meresapkan semangat kristus di hati para siswa, dalam
keahlian mendidik, dan dalam menekuni ilmu-pengetahuan berusaha menjadi unggul
sedemikian rupa, sehingga mereka bukan melulu mendukung pembaharuan intern Gereja,
melainkan mempertahankan serta meningkatkan kehadiran Gereja yang dermawan terutama
didunia ilmu pengetahuan zaman sekarang.
Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Pernyataan ini, berkenan
kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan
kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua
bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu
yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi
kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.


Saya PAULUS, Uskup Gereja Kkatolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

Di antara sekian banyak dokumen yang menguraikan pentingnya pendidikan, lihat terutama:
BENEDIKTUS XV, Surat apostolik Communes litteras, tgl. 10 April 1919: AAS 11 (1919)
hlm. 172. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 31 Desember 1929: AAS 22 (1930)
hlm. 49-86. – PIUS XII, Amanat kepada kaum muda ACI (Aksi Katolik Italia), tgl. 20 April
1946: Discorsi e Radiomessagi 8, hlm. 53-57. – IDEM, Amanat kepada para bapak keluarga
dari perancis, tgl. 18 September 1951: Discorsi e Radiomessagi 13hlm. 241-245. –
YOHANES XXIII, Amanat pada Ulang Tahun ke-30 Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 30
Desember 1959: AAS 52 (1960) hlm. 57-59. – Paulus VI, Amanat kepada para anggota
Federasi Lembaga-lembaga yang Tergantung pada Pimpinan Gereja (Federazione Instituti
Dipendenti dall’Autorita Ecclesiastica), tgl. 30 Desember 1963: Encicliche e Discorsi di S. S.
paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 601-603. – Lihat juga Acta et Documenta Concilio
Oecumenico Vaticano II apparando, seri I, Antepraeparatoria, jilid III, hlm.363-364, 370-371,
373-374.
2 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm.
413, 415-417, 424. – IDEM,Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm.
278 dan selanjutnya.
3 Lih. “Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia”, yang disahkan oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tgl. 10Desember 1948. – Bdk. “Deklarasi tentang Hak-Hak
Anak”, tgl. 20 November 1959. – protocole additionel a laconvention de sauvegarde des
droits de I’homme et des libertes fondamentale (Pratokol tambahan pada persetujuan
untukmenjamin hak-hak manusia serta kebebasan-kebebasan dasar), Paris, tgl. 20 Maret
1952. – Mengenai “Deklarasi tentangHak-Hak Manusia”, lih. YOHANES XXIII, Ensiklik
Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 295 dan selanjutnya.
4 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm.
402. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.
5 PIUS XII, Amanat radio tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 12, 19. – YOHANES
XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 259 dan selanjutnya.
Bdk. “Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia”, yang telah dikutip.
6 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri, tgl. 31 Desember 1929: AAS 22 (1930) hlm.
50 dan selanjutnya.
7 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm.
441 dan selanjutnya.
8 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 83.
9 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 36.
10 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Tugas pastoral para Uskup
dalam Gereja, art. 12-14.
11 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 59 dan selanjutnya. –
IDEM, Ensiklik Mit brennenderSorge, tgl. 14 Maret 1937: AAS 29 (1937)hlm. 164 dan
selanjutnya. PIUS XII, Amanat kepada Kongres Nasional I Perserikatan Guru-Guru Katolik
di Italia (AIMC), tgl. 8 September 1946: Discorsi e Radiomessagi 8, hlm. 218.
12 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 11 dan 35.
13 Lih. PIS XI, Esniklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 63 dan selanjutnya. –
PIUS XII, Amanat radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200. – IDEM, Amanat kepada
Kongres Nasional I Perserikatan Guru-Guru Katolik di Italia, tgl. 8 September 1946: Discorsi
e Radiomessaggi, 8, hlm. 218. – Tentang prinsip subsidiaritas, lih. YOHANES XXIII,
Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963)hlm. 294.
14 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 53 dan selanjutnya. –
IDEM, Ensiklik Non abbiamo bisogno, tgl. 29 Juni 1931: AAS 23 (1931)hlm. 311 dan
selanjutnya. – PIUS XII, Surat Sekretariat Negara kepada pecan Soaial Italia XXVIII, tgl. 20
September 1955: L’Osservatore Roman, tgl. 29 September 1955.
15 Gereja memuji para penguasa masyarakat, setempat, nasional maupun internasioanal,
yang menyadari kebutuhankebutuhan lebih mendesak zaman sekarang , dan mengusahakan
sedapat mungkin, supaya semua bangsa dapat ikut memanfaatkan pendidikan yang lebih
penuh dan ikut menghayati kebudayaan.
16 Lih. PIUS XI, Motu Proprio Orbem catholicum, tgl. 29 Juni 1923: AAS 15 (1923) hlm.
327-329. – Dekrit Provide sane, tgl. 12 Januari 1935: AAS 27 (1935) hlm. 145-152. –
KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 13 dan
14.
17 Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 14.
18 Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial, art. 13 dan
14.
19 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 76. – PIUS XII,
Amanat kepada Serikat Guru-Guru Katolik di Bayem, Jerman, tgl. 31 Desember 1956:
Discorsi e Radiomessaggi 18, hlm. 746.
20 Lih. KONSILI PROVINSI CINCINNATI III, tahun 1861: Collatio Lacensis III kolom
1240, c/d. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 60, 63 dan
selanjutnya.
21 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 63. – IDEM, Ensiklik
Non abbiamo bisogno, tgl. 29 Juni 1931: AAS 23 (1931) hlm. 305. – PIUS XII, Surat
Sekretariat Negara kepada Pekan Sosial Italia XXVIII, tgl. 20 September 1955:
L’Osservatore Romano, tgl 29 September 1955. – PAULUS VI, Amanat kepada Serikat
Kristen para Buruh Italia (ACLI), tgl. 6 Oktober 1963: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I,
Roma 1964, hlm. 230.
22 Lih. YOHANES XXIII, Amanat pada Ulang Tahun ke-30 Ensiklik Divini illius Magistri,
tgl. 30 Desember 1959: AAS 52 (1960) hlm. 57.
23 Gereja menjunjung tinggi kegiatan kerasulan, yang juga disekolah-sekolah itu dapat
dilaksanakan oleh para murid dan sesama siswa yang beragama katolik.
24 Lih. PIUS XII, Amanat kepada perserikatan Guru-Guru Katolik di Bayem, tgl. 31
Desember 1956: Discorsi e Radiomessagi 18, hlm. 745 dan selanjutnya.
25 Lih. KONSILI PROVINSI WESTMINSTER I, tahun 1852: Collatio Lacensis III, kolom
1334 a/b. – PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 77 dan selanjutnya.
– PIUS XII, Amanat kepada Serikat Guru-Guru Katolik di Bayem, tgl. 31 Desember 1956:
Discorsi e Radiomessagi 18, hlm. 746. – PAULUS VI, Amanat kepada para anggota Federasi
Lembaga-lembaga yang Tergantung pada Pimpinan Gereja (FIDAE), tgl. 30 Desember 1963:
Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 602 dan selanjutnya.
26 Lihat terutama dokumen-dokumen yang telah disebutkan pada catatan kaki 1. Selain itu
hak Gereja itu ditegaskan juga oleh banyak Konsili Provinsi, dan oleh Pernyataan-pernyataan
banyak Konferensi Uskup akhir-akhir ini.
27 Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini illius Magistri: AAS 22 (1930) hlm. 80 dan selanjutnya. –
PIUS XII, Amanat kepada Perserikatan Katolik Italia untuk Guru-Guru Sekolah Menengah
(UCIIM), tgl. 5 Januari 1954: Discorsi e Radiomessagi 15, hlm. 551-556. – YOHANES
XXIII, Amanat kepada Kongres Vi Perserikatan Guru-Guru Katolik di Italia (AIMC), tgl. 5
September 1959: Dicorsi, Messagii, Colloqui, I, Roma 1960, hlm. 427-431.
28 Lih. PIUS XII, Amanat kepada Perserikatan Katolik Italia untuk Guru-Guru Sekolah
menengah (UICIIM), tgl. 5 Januari 1954 : Discorsi e Radiomessaggi 15, hlm. 555.
29 Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Biro Internasional pendidikan Katolik (OIEC), tgl. 25
februari 1964: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, II, Roma 1964, hlm. 232.
30 Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Kristen Kaum Buruh di Italia (ACLI), tgl.
6 Oktober 1963: Encicliche e Discorsi di Paolo VI, I, Roma 1964, hlm. 229.
36 Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm.
284 dan di berbagai tempat lainnya.

KATEKESE LITURGI, SUATU KEHARUSAN

by Rm Karnan Ardijanto, Pr

Bapa konsili melihat bahwa perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, merupakan puncak
yang dituju oleh seluruh kegiatan dan karya kerasulanan Gereja, sekaligus merupakan sumber
segala daya kekuatannya Sacrosanctum Concilium (SC 10] Sedangkan Pedoman Umum
Misale Romawi (PUMR) menambahkan bahwa pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan
Kristen juga berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi: bersumber dari padanya dan tertuju
kepadanya (PUMR 16). Dengan kata lain, liturgi merupakan sumber utama yang tak
tergantikan untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Hal ini mengandaikan dan
menuntut partisipasi sadar, aktif dan sepenuhnya dari kaum beriman yang mengambil bagian
dalam perayaan liturgi (SC 19). Dewasa ini haruslah diakui bahwa di mana-mana tingkat
partisipasi umat beriman dalam perayaan Ekaristi sudah menunjukkan kemajuan dan sernakin
meningkat, namun tidak sedikit juga umat yang terus saja pasif dan kurang bergairah dalam
mengikuti perayaan Ekaristi, Rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi ini
dapat disebabkan oleh motivasi yang keliru: motivasi "wajib" dan "hanya ikut" karena setiap
orang yang sudah dibaptis harus ke gereja pada hari minggu (Mayor, 1999: 2). Alasan lain
yang lebih mendasar kiranya adalah kurang atau rendahnya pengertian dan pemahaman
sebagian besar umat beriman ten tang perayaan Ekaristi itu sendiri (Roguet, 1984: 5).

Kenyataan ini menyisakan suatu tantangan dan tugas besar bagi seluruh umat beriman untuk
menjadikan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, sungguh sebagai puncak yang dituju oleh
seluruh hidup Gereja dan hidup sehari-hari umat beriman, dan sekaligus sebagai sumber
rahmat bagi pengudusan manusia dan pemuliaan Allah. Bagaimana perayaan liturgi, terutama
perayaan Ekaristi, dapat menjadi peristiwa yang menarik, mengesan, mengena, sekaligus
menjadi sumber rahmat dan daya kekuatan bagi jemaat untuk menghayati iman dan
melaksanakan perutusan di tengah kehidupan harian mereka.

Ber bagai usaha menjadikan perayaan Ekaristi menjadi menarik, mengesan, dan mengena
telah dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya: perayaan Ekaristi yang disesuaikan dengan
adat budaya tertentu, penggunaan bahasa dan budaya setempat, kehadiran para petugas liturgi
yang trampil dan terlatih, tata ruang yang anggun dan berbagai usaha sejenisnya. Semua
upaya ini patutlah kita sambut dengan penuh syukur, namun kiranya segala usaha tersebut
lebih menekankan segi lahir dan kelihatan dari perayaan Ekaristi itu sendiri, serta belum
begitu menyentuh alasan utama rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi,
yakni motivasi yang tepat dan kurangnya pemahaman umat beriman akan hakekat perayaan
Ekaristi.

Para bapa konsili melihat bahwa usaha yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi
dan penghayatan umat beriman dalam perayaan Ekaristi adalah melalui pendidikan liturgi
bagi kaum beriman. Oleh karena itu para bapa konsili berkata:

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah
keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi ... Maka
dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka, para gembala jiwa harus mengusahakannya
dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya (SC 14).
Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum
beriman serta keikutsertaan mereka secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan
umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka (SC I9).

Perlulah disadari bahwa partisipasi sadar, aktif, dan sepenuhnya pertama-tama dan terutama
berasal dari hakekat liturgi itu sendiri dan berdasarkan Imamat umum kaum beriman yang
telah mereka terima melalui sakramen permandian (SC 14). Liturgi sebagai tindakan Kristus
sekaligus tindakan Gereja rnenjadikan perayaan liturgi sebagai perayaan jemaat. Jemaatlah
yang menjadi subyek dan partisipan aktif; mereka bukan penonton yang pasif. Berkat
anugerah Imamat umum, umat beriman berhak dan wajib untuk mengungkapkan imamat
umum mereka bersama dengan seluruh Gereja dalam perayaan liturgi.
Partisipasi secara sadar, aktif, dan sepenuhnya dari umat beriman juga memungkinkan
mereka menghadiri perayaan liturgi dengan sikap-sikap yang serasi: kesesuaian isi hati
dengan apa yang mereka ucapkan (SC 11), antara sikap batin dengan ungkapan lahir; antara
apa yang mereka imani (lex credendi) dengan apa yang mereka nyatakan (lex orandi).

Bagi para bapa konsili, pendidikan liturgi bukanlah suatu penawaran atau anjuran, melainkan
suatu keharusan bagi para gembala jiwa (SC 14), karena salah satu tugas utama mereka
adalah pembagi rahmat dan misteri-misteri Allah (SC 19). Dalam melaksanakan pendidikan
liturgi ini, para gembala dianjurkan untuk melakukannya dengan rajin, tekun, dan sabar SC
14 dan SC 19). Dengan rajin berarti bahwa para petugas pastoral dituntut untuk
melaksanakannya dengan terus menerus tanpa henti. Usaha mereka yang rajin dan tanpa henti
itupun masih perlu ditunjang dengan ketekunan dan kesabaran mengingat bahwa tidaklah
selalu mudah melaksanakan pendidikan liturgi bagi kaum beriman. Tidak sedikitlah
tantangan, kesulitan, hambatan, dan kemungkinan gagal. Menghadapi semua ini para pelayan
tertahbis dan non tertahbis diharapkan memiliki kegigihan, ketekunan dan kesabaran dalam
membina kaum beriman.

Selain melalui pendidikan liturgi, bapa-bapa konsili, dalam Deklarasi ten tang Pendidikan
Kristen,juga menyatakan bahwa peningkatan partisipasi umat beriman dalam perayaan liturgi
dapat dilakukan melalui kegiatan katekese. Kegiatan katekese yang sejati senantiasa
mengarahkan peserta untuk merayakan iman mereka dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja:

Di antaranya yang utama ialah pendidikan kateketis, yang menyinari dan meneguhkan iman,
menyediakan santapan bagi hidup menurut seman gat Kristus, mengantar kepada partisipasi
yang sadar dan aktif dalam misteri Liturgi, dan menggairahkan kegiatan merasul (GE 4).
Pernyataan para bapa konsili tersebut ditegaskan kembali oleh Petunjuk Umum Katekese
(2000) ketika membicarakan tentang tugas katekese:
" ... katekese, bersama dengan memajukan pengetahuan tentang arti liturgi dan sakramen-
sakramen, harus juga mendidik para murid Kristus untuk doa, ucapan syukur, tobat, berdoa
dengan penuh kepercayaan, untuk semangat menjemaat, untuk mengerti dengan tepat arti
Credo ... karena semua ini perlu bagi hidup liturgis (PUK 85).
" ... pembinaan liturgis ... harus menjelaskan apa itu liturgi Kristen, dan apa itu sakramen.
Katekese harus juga memberikan pengalaman tentang macam-macam perayaa» yang
berbeda, dan harus membuat simbol-simbol, gerak-gerak, dan sebagaitrya yang dikenal dan
dicintai" (PUK 87).

Petunjuk Umum Katekese (PUK 85 dan 87) juga menyebutkan berbagai bahan pembinaan
liturgi bagi cmat beriman, yakni: arti dan makna liturgi Kristen, sakramen-sakramen atau
perayaan liturgi lainnya, simbol-simbol dan gerakan liturgi, dan sebagainya. Selain itu
katekese juga diharapkan membentuk dalam diri umat beriman sikap-sikap yang dituntut dan
diperlukan oleh setiap perayaan liturgi, misalnya doa, ucapan syukur dan pujian, tobat,
berdoa dengan penuh kepercayaan, semangat menjemaat, dan sejenisnya, Dan yang tak kalah
pentingnya adalah bahwa katekese secara khusus juga mempersiapkan umat beriman untuk
memasuki sakramen-sakramen inisiasi secara bertahap.

Dewasa ini patutlah disyukuri dengan adanya berbagai usaha pendidikan liturgi bagi umat
beriman yang sudah dilaksanakan oleh berbagai pihak. Pertama yang perlu disebut adalah
pendirian Institute Liturgi (ILSKI = Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) di Bandung,
namun perlu ditanyakan sejauh mana lembaga ini juga mengusahakan pendidikan liturgi bagi
umat beriman dan sejauh mana kerjasama dengan Kornisi Liturgi KWI dalam mengusaha-
kan pendidikan sejenis. Usaha-usaha lain yang dilakukan melalui media cetak: buku-buku,
majalah-majalah, bulletin atau leaflet,dan sejenisnya di berbagai tingkat baik parokial
maupun keuskupan ataupun nasional. Pembinaan liturgi bagi para petugas liturgi juga banyak
dan kerap kali dilaksanakan di begitu banyak tempat, namun dalam pengamatan kami tak
jarang pembinaan tersebut memiliki titik tekan pada pembinaan teknis untuk melaksanakan
tugas dan tanggungjawab para petugas liturgi; sedangkan pembinaan liturgis atau biblis
ataupun teologis kurang mendapatkan perhatian secukupnya. Upaya lain yang dilakukan
Komisi Liturgi KWI adalah menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Liturgi Nasional. Komisi
Liturgi KWI juga menawarkan bahan dan kegiatan yang dapat diwujudkan selama bulan
liturgi tersebut, namun dalam kenyataannya hanya sebagian kecil paroki saja yang menaruh
perhatian terhadapnya. Menurut hemat kami, kecilnya perhatian paroki-paroki pertama-tama
tidak disebabkan oleh rendahnya minat para gembala atau umat beriman terhadap liturgi,
namun penetapan waktunya yang dirasa kurang tepat. Bulan Mei biasanya paroki-paroki baru
saja menyelesaikan kesibukan mereka dengan peristiwa Pekan Suci dan belum sempat
"cooling down." Bulan tersebut mereka juga memfokuskan perhatian kepada kegiatan devosi
kepada Santa Perawan Maria. Apakah tidak dimungkinkan perubahan penetapan Bulan
Liturgi Nasional dari bulan Mei ke bulan lain sehingga ada cukup waktu untuk
mempersiapkannya dengan perhatian yang tidak terbagi sehingga gema Bulan Liturgi
Nasional juga terasa di paroki-paroki.

Tak kenal, maka tak sayang. Kiranya ungkapan ini tepat untuk dikenakan pada liturgi kita.
Kurangnya pemahaman akan liturgi menjadikan orang kurang terlibat dan berpartisipasi
dalam liturgi dan akhirnya kurang dapat memetik dan menikmati rahmat pengudusan yang
diperlukan untuk menghayati hidup harian kita dalam Tuhan. Akhirnya pendidikan liturgi
menjadi suatu keharusan yang tidak pernah boleh diabaikan oleh para gembala (maupun para
petugas pastoral non tertahbis) baik sebagai jawaban atas seruan konsili maupun aktualisasi
tugas mereka sebagai pembagi rahmat misteri penyelamatan Allah sekaligus juga sebagai
aktualisasi imamat umum kaum beriman.

Rm Karnan Ardijanto, Pr (Penulis adalah Ketua Komkat Keuskupan Surabaya)


Sumber: http://www.imankatolik.or.id/katekese-liturgi.html

KATEKESE DALAM PASTORAL KITAB SUCI

Mgr Silvester San

A. Pengertian Katekese
Kata katekese berasal dari kata Yunani catechein (kt. Kerja) dan catechesis (kt. Benda). Akar
katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luas dan echo artinya gema/gaung.
Secara etimologis katekese berarti membuat bergema, menyebabkan sesuatu bergaung; .suatu
gema yang diperdengarkan/disampaikan keluar/ke arah luas. Gema dapat terjadi jika ada
suara yang penuh dengan keyakinan dan gema tidak pernah berhenti pada satu arah; maka
katekese juga harus dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak pernah berhenti pada satu
arah.

Dalam Kitab Suci terdapat sejumlah kata katekese, yaitu dalam Luk 1:4 (diajarkan,
katekhethes); Kis 18:25 (pengajaran, katekhemenos); Kis 21:21 (mengajar, katekhethesan);
Rm 2:18 (diajar, katekhoumenos); 1Kor 14:19 (mengajar, katekheso); Gal 6:6 (pengajaran,
katekhoumenos). Dalam konteks ini katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman
dan pendidikan iman agar seorang Kristen semakin dewasa dalam iman. Jadi, katekese
biasanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis di tengah umat yang sudah
Kristen. Namun pada prakteknya, terutama pada masa Gereja Purba, katekese dimengerti
sebagai pengajaran bagi para calon baptis; ini merupakan arti sempit dari katekese. Istilah
yang dipakai untuk itu ialah katekese baptis dan katekese mistagogi, yang memberi uraian
perihal misteri dan sakramen-sakramen bagi mereka yang dibaptis. Sedangkan Gereja masa
kini menempatkan katekese untuk pengertian yang lebih luas. Dalam anjuran apostolik
Catechesi Tradendae, Sri Paus Yohanes Paulus II menegaskan: “Katekese ialah pembinaan
anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup
penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis,
dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT.18).

Dengan kata lain, katekese adalah usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat agar
semakin memahami, menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Di
dalamnya terdapat unsur pewartaan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan,
pengukuhan serta pendewasaan. Metode yang sesuai perlu dicarikan agar katekese dalam
berbagai bentuknya bergema dalam hati pendengar dan berbuah nyata.

B. Katekese dalam Dokumen-Dokumen Gereja


* Direktorium Kateketik Umum (1971)

- Katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda, yang bertujuan membuat iman
umat hidup, berdasar, dan aktif lewat cara pengajaran (DKU. 17).
- Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani,
yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21).
- Katekese terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, tetapi sifat khasnya, yakni
sebagai inisiasi, pendidikan dan pembinaan tetap dipertahankan (DKU. 31).
- Isi katekese adalah wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyelamatkan,
yang terjadi dalam sejarah umat manusia (DKU. 37).

* Evangelii Nuntiandi
- Evangelisasi atau pewartaan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan jati
dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil (EN. 14).
- Bagi Gereja penginjilan berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan,
dan melalui pengaruhnya Injil mengubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi
manusia baru (EN. 18).
- Injil harus diwartakan melalui kesaksian hidup (EN. 21).
- Kabar Baik yang diwartakan dengan kesaksian hidup cepat atau lambat haruslah diwartakan
dengan Sabda Kehidupan. Dan segi yang penting dari pewartaan Sabda Kehidupan adalah
kotbah dan katekese (EN. 22).

* Catechesi Tradendae
- Penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugas yang amat
penting, yang disadari berasal dari tugas perutusan Yesus sendiri kepada para murid-Nya
(CT. 1).
- Katekese yang otentik seluruhnya berpusat pada Kristus – Kristosentris (CT. 5).
- Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman,
yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan
secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar para pendengar memasuki
kepenuhan hidup Kristen (CT. 18).

C. Dasar Katekese
Dasar katekese adalah “penugasan Kristus kepada para rasul dan pengganti-pengganti
mereka”. Dalam Mat. 28:19-20 Yesus mengutus para rasul. Ia bersabda “pergilah”,
“jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, “baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus”, dan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu”. Dalam tafsir Injil Matius dijelaskan bahwa tugas para rasul mencakup pewartaan
awal kepada orang yang belum mengenal Tuhan, pengajaran kepada para katekumen, dan
pengajaran kepada orang yang telah menjadi anggota Gereja agar iman mereka lebih
mendalam dan dewasa.

D. Sasaran Katekese
Tujuan definitif katekese adalah bukan hanya membuat orang saling berkontak, melainkan
juga membuat orang berkontak dalam kesatuan dan kemesraan, dengan Yesus Kristus. Segala
kegiatan mewartakan Kabar Gembira dimengerti sebagai usaha mempererat kesatuan dengan
Yesus Kristus. Mulai dengan pertobatan ‘awal’ seseorang kepada Tuhan yang digerakkan
oleh Roh Kudus melalui pewartaan Injil yang pertama, katekese berusaha mengukuhkan dan
mematangkan kesetiaan pertama ini.

E. Bentuk Katekese:
Ditinjau dari segi penyajiannya, katekese dapat dibedakan dalam 3 bentuk:
1. Bentuk praktis: Bentuk ini mengarahkan peserta katekese untuk bergiat dan rajin
mempraktekkan kehidupan agamanya: rajin beribadah, rajin berdoa dan berdevosi, bergairah
menghadiri perayaan Ekaristi dan perayaan liturgis lainnya, mengenal baik masa-masa liturgi
dengan segala sarana dan peralatannya. Sumber utamanya adalah liturgi Gereja
2. Bentuk historis: Bentuk ini memperdalam pengenalan umat akan sejarah penyelamatan
dari pihak Allah, yang diawali dengan janji-janji mesianis dalam Perjanjian Lama dan
memuncak dalam pribadi Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Sumber utamanya adalah
Kitab Suci. Di dalamnya campur tangan Allah dalam menyelamatkan umat manusia
ditampakkan.
3. Bentuk sistematis: Bentuk ini menyajikan kepada umat ajaran teologis dan dogmatis yang
tersusun secara sistematis, singkat dan padat. Sumbernya adalah buku katekismus.

Pada prakteknya bentuk-bentuk tersebut berbaur. Tidak murni hanya satu bentuk yang
dilaksanakan. Sebab nampaknya untur-unsur yang ditekankan oleh masing-masing bentuk
saling berkaitan. Ajaran biblis, historis, teologis, dogmatis dimaksudkan untuk membantu
umat semakin menyadari penyelamatan Allah melalui Gereja-Nya. Dengan kesadaran itu
umat diharapkan akan terdorong untuk semakin giat dalam praktek-praktek keagamaan.

F. Prinsip-Prinsip Katekese
Usaha katekese merupakan tanggung jawab seluruh umat sebagai Gereja
Usaha katekese mementingkan “proses” (bukan hasil yang langsung/”instan”). Dengan kata
lain: yang lebih utama adalah bukan “target”/”hasil” yang sudah dicapai, melainkan “proses”
menuju/memperoleh hasil. Peserta katekese adalah “subyek”/pelaku yang berperan dalam
proses. Katekese membantu orang menghayati imannya dalam situasi aktual (orang mampu
mewujudkan imannya secara konkret dalam hidup/ada integrasi antara iman dan hidup
bersama orang lain).

Katekese berupaya mendorong umat untuk membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan,
sesama maupun lingkungannya. Dalam hal ini, proses katekese yang bertujuan mematangkan
dan mendewasakan iman harus dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan penuh
tanggung jawab (tidak “improvisasi”). Katekese harus memperhitungkan situasi peserta (latar
belakang, psikologi, minat, kebutuhannya). Dalam hal ini katekese harus menjadi lebih
kontekstual. Proses katekese adalah proses pendidikan iman yang membebaskan. Dalam
proses katekese setiap pribadi dihargai martabatnya sederajat, di mana setiap orang bebas
mengungkapkan pengalaman imannya tanpa rasa takut. Dalam hal ini setiap pengalaman
iman dari masing-masing pribadi harus dilihat sebagai pengalaman yang dapat memperkaya
sesamanya dalam proses berkatekese. Katekese diharapkan membangun iman yang “terlibat’
(mendorong “aksi” nyata).

Pendamping katekese adalah “fasilitator” yang memudahkan terjadinya komunikasi iman.


Untuk itu, tidak tepatlah kalau pendamping bertindak sebagai orang yang ‘maha tahu’ apalagi
sebagai penceramah yang mendominasi proses pertemuan.

Proses katekese harus mampu “menjemput/menyentuh” pengalaman hidup ataupun


pengalaman iman peserta, sebagai medan pertemuan manusia dengan Allah.
Sarana maupun metode katekese yang diupayakan, semuanya bertujuan untuk memudahkan
terjadinya komunikasi iman. Pemikiran bahwa dalam pertemuan katekese “yang penting asal
diisi dengan banyak kegiatan bagi umat” bertentangan dengan prinsip suatu proses katekese
yang bertanggung jawab.
Katekese hanya salah satu dari upaya-upaya pastoral secara menyeluruh. Proses
perkembangan iman harus dilengkapi dengan upaya-upaya pastoral yang lain.

G. Pewartaan Kitab Suci membutuhkan Katekese


Katekese memberitakan Sabda Allah

Sabda Allah yang terbaca dalam Kitab Suci memuat berita tentang penyelamatan umat
manusia dari pihak Allah yang memuncak dalam diri Yesus Kristus. Dalam diri Kristuslah,
terdapat puncak segala wahyu. Sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya adalah peristiwa
definitif penyelamatan manusia menuju pertemuan abadi dengan Allah agar manusia bertemu
secara pribadi dengan Kristus. Katekese adalah pewartaan diri Kristus. Yesus Kristus dalam
kepenuhan pribadi-Nya adalah pusat yang tak dapat dibantah dalam katekese. Itulah sebabnya
katekese haruslah bersifat kristosentris, berpusat pada Kristus. Seorang pewarta, seperti
katekis atau tenaga pastoral pada umumnya, perlu menyadari sungguh-sungguh bahwa yang
ia wartakan kepada umat adalah Kristus; sedangkan ia sendiri adalah alat di tangan Kristus,
agar tercipta pertemuan pribadi manusia dengan Kristus, Sang Guru Ilahi.

Kedudukan Kitab Suci di dalam Gereja

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu: “Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim
3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan
demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat
kita lihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa mempunyai sumber Kitab Suci di
samping Tradisi Suci, dan kita dapat melihat secara jelas dalam liturgi Gereja yang selalu
mengutamakan Kitab Suci melalui liturgi Sabda. Perhatian akan pentingnya Kitab Suci bagi
Gereja, umat Allah, nampak juga dalam pernyataan St. Hironimus yang mengatakan: “Barang
siapa tidak membaca Kitab Suci, tidak mengenal Kristus”.

Perlu kita ketahui bahwa sejak zaman Reformasi sebagai reaksi melawan "semangat
protestan"- yang menekankan “sola scriptura”, kedudukan sentral Kitab Suci dalam
kehidupan Gereja mulai sangat berkurang. Bahkan oleh pengaruh Konsili Trente, umat
dilarang membaca Kitab Suci tanpa pendampingan hirarkhi karena dikuatirkan salah tafsir.
Namun, kemudian (pada awal abad 20) Gereja Katolik menyadari bahwa Kitab Suci kurang
dihargai dalam kalangannya sendiri dan bahwa reaksi melawan reformasi membawa akibat-
akibat negatif di dalam Gereja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka melalui
ensiklik-ensiklik khusus yang dikeluarkan oleh Paus, melalui promosi studi Kitab Suci serta
melalui organisasi kerasulan Kitab Suci, Tahta Suci telah berjasa banyak dalam bidang Kitab
Suci ini, sehingga situasi pada waktu Konsili Vatikan II berlangsung sudah jauh lebih positif
daripada satu abad yang lalu. Para Bapa Konsili ingin mendukung segala jasa itu, dan mereka
menganjurkan usaha yang lebih efektif lagi, agar supaya Kitab Suci sekali lagi dapat menjadi
pedoman, sumber kekuatan dan hidup bagi Gereja, sesuai dengan maksud Tuhan. Dalam
Konstitusi Dei Verbum (art. 21-26) para Bapa Konsili ingin memberikan sejumlah gagasan
dan petunjuk praktis, supaya Kitab Suci menerima kembali kedudukan sentral dalam
kehidupan Gereja (i.e. dalam Liturgi, pewartaan, teologi) dan kehidupan masing-masing
anggota (melalui bacaan, renungan, meditasi). Paus Benediktus XVI dalam pengajaran
apostoliknya, Verbum Domini, mengajarkan bahwa Kitab Suci mendapatkan tempat di dalam
Sakramen-sakramen, Liturgi, ibadat harian, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu,
kotbah, katekese dan lain-lain.

Kerasulan/Pastoral Kitab Suci


Kitab Suci sebagai Sabda Tuhan dimaksudkan untuk mengantar orang pada pemahaman akan
siapakan Tuhan, karya-Nya, kuasa-Nya, kehendak-Nya. Selain itu Kitab Suci juga
menghantar manusia pada pemahaman mengenai dirinya. Kita percaya bahwa Kitab Suci
merupakan perwahyuan dari Allah sendiri yang berpuncak pada Yesus Kristus dan
disampaikan dalam bahasa manusia dengan pengantaraan para pengarang suci. Para
pengarang Suci ini dipilih Tuhan sendiri, sesuai dengan kemampuan dan latar belakang
masing-masing.

Perwahyuan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci menjadi dasar iman sekaligus juga menjadi
bahan pewartaan yang utama. Dengan kata lain, Kitab Suci diwahyukan, ditulis, dihayati dan
diwartakan. Iman kita pada prinsipnya adalah iman untuk dihayati dan diwartakan. Siapakah
yang harus mewartakan iman? Semua anggota Gereja dipanggil untuk menjadi pewarta.
Tugas pewartaan disampaikan oleh Yesus sebelum naik ke Surga: “Pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajararlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20).
Tugas tersebut disampaikan oleh Yesus kepada para rasul, yaitu membaptis dan mengajar.
Gereja melanjutkan tugas para rasul untuk membaptis dan mengajar tersebut. Tugas inilah
yang kemudian disebut tugas kerasulan, karena gereja dibangun di atas para rasul dan
berpegang teguh pada kesaksian iman mereka.

Di dalam pertumbuhannya Gereja menyadari bahwa tugas kerasulan bukan hanya membaptis
dan mengajar. Karya-karya Gerejani berkembang semakin bermacam-macam, antara lain
karya-karya yang sifatnya karitatif (pelayanan kasih), pendidikan, kesehatan, sosial, politik,
ekonomi dan lain-lain. Untuk menangani berbagai karya tersebut, seluruh potensi Gerejani
yang dimiliki oleh seluruh umat dilibatkan sedemikian rupa sehingga kelihatan bahwa Gereja
bukan sekedar organisasi, tetapi sungguh membentuk sebuah organisme, jaringan yang hidup
dan dinamis di dalam melaksanakan karya-karya kerasulan itu.

Peranan Katekese dalam Pastoral Kitab Suci

Katekese Mendidik Untuk Beriman Iman sungguh anugerah dari pihak Allah sehingga
seseorang terpaut pada-Nya (bdk. Yoh 6:65-66), berserah diri dan menaati Allah. Peranan
manusia sifatnya sekunder. Namun manusia perlu menciptakan suasana agar iman itu kian
dirasakan, bertumbuh, dan berbuah. Dalam hal ini katekese itu penting. Katekese mencari
kemungkinan agar jawaban manusia terhadap tawaran Allah (yang termuat dalam teks-teks
Kitab Suci) dapat terwujud dengan semestinya. Katekese menolong agar umat terpikat pada
diri Allah, yang diwartakan oleh Yesus Kristus dan agar mereka terdorong untuk melakukan
kehendak dan perintah Allah. Dengan demikian diharapkan tercapailah pembaruan dalam
hidup manusia. Manusia yang hidup pada zamannya dalam konteks budaya tertentu menjadi
manusia rohani yang hidup lebih bekenan di hadapan Allah. Iman yang dihidupi senantiasa
membutuhkan pengembangan yang berproses. Maka dalam katekese ada 3 komponen penting
yaitu: 1. Kognitif: dalam berkatekese disajikan pemahaman agar orang semakin yakin dan
dapat bertanggungjawab atas iman atau agamanya; 2. Afektif: dalam berkatekese,
perasaan/penghayatan perlu dibangkitkan sehingga umat semakin mencintai agama dan Allah
yang diimaninya serta hanya selalu berkobar untuk berbakti, menyembah dan bersyukur; 3.
Operatif: dalam berkatekese perlu diberikan contoh-contoh konkret sehingga umat melihat
kemungkinan untuk mengkonkretkan imannya dalam hidup sehari-hari.
Katekese Mengembangkan Gereja Umat Allah yang mengimani Kristus sebagai Pemimpin
dan Juruselamatnya disebut Gereja. Kegiatan/usaha mengukuhkan persaudaraan Gerejawi
dan untuk mengobarkan semangat iman anggota Gereja termasuk tugas utama katekese.
Tidak ada katekese yang benar kalau bukan dalam konteks kegerejaan. Dokumen Catechesi
Tradendae mengatakan: “.... Katekese di masa lampau maupun di masa mendatang selalu
merupakan karya yang harus termasuk tanggung jawab Gereja, dan yang oleh Gereja
memang harus diinginkan sebagai salah satu tanggungjawabnya. Tetapi para anggota Gereja
mengemban tanggung jawab yang berbeda-beda, tergantung dari perutusan mereka masing-
masing”.

Perkembangan suatu Gerejapun sangat tergantung pada usaha-usaha katekese menyebarkan


sabda penyelamatan Allah kepada manusia. Gereja ada, berkembang dan menyebar karena
aktivitas kateketis. Bahkan lewat katekese, gereja sendiripun semakin dibarui, dalam arti
bahwa katekese memberi penilaian kritis terhadap keberadaan gereja dalam zaman yang terus
berubah.

Demi mengembangkan Gereja, dibutuhkan suatu program katekese yang menyeluruh dan
berkesinambungan sejak usia dini sampai usia lanjut (i.e. katekese anak-anak, katekese
remaja, katekese orang dewasa, katekese usia lanjut) serta katekese bagi kelompok-kelompok
kategorial. Berkaitan dengan ini Kardinal Carlo Maria Martini pernah mengatakan bahwa
keempat Injil itu adalah sebuah katekese yang berkelanjutan dalam Gereja Purba: Injil
Markus adalah buku katekese untuk para katekumen, orang yang dipersiapkan untuk dibaptis;
Injil Matius adalah buku katekese untuk orang yang telah dibaptis dan secara khusus untuk
para katekis; Injil Lukas adalah buku katekese untuk orang yang telah dibaptis dan secara
khusus bagi para teolog; Injil Yohanes adalah buku katekese untuk orang yang telah dewasa
dalam iman dan khususnya bagi para imam. Jadi, Gereja dapat bertumbuh dan berkembang
kalau katekese berjalan lancar dan dilaksanakan secara terprogram dan berkelanjutan.

Semua Orang Kristiani Perlu Katekese


Gereja senantiasa menganggap katekese sebagai salah satu dari kewajiban fundamental, yang
berasal dari perintah terakhir Kristus yang bangkit: menjadikan semua orang murid-Nya dan
mengajari mereka melakukan segala sesuatu yang telah diajarkan-Nya. Dalam katekese, yang
diajarkan kepada para katekumen adalah Kristus, Sang Sabda yang menjadi Daging dan Putra
Allah serta segala sesuatu yang bertalian dengan-Nya. Dalam katekese perlu disadari bahwa
Kristus sendiri adalah guru kita. Semua guru lainnya adalah juru bicara Kristus, orang-orang
yang percaya akan ajaran Kristus yang dimaklumkannya.

Katekese merupakan jalan yang memungkinkan pertemuan dengan Pribadi Kristus melalui
iman. Maka semua orang perlu diberi katekese. Katekese harus tetap menjadi sekolah iman,
pedagogi iman. Katekese mengajari baik orang muda maupun orang dewasa agar tetap
berpikir jernih dan berpegang teguh pada iman. Katekese menunjukkan identitas mereka
sebagai orang-orang Kristen, agar mereka tetap setia kepada Allah dan sanggup memberi
kesaksian tentang diri-Nya kapan dan di mana saja.

H. Kesimpulan akhir

Dari uraian di atas jelas sekali bahwa hubungan timbal balik antara katekese dan Kitab Suci
sangat erat: Di satu pihak katekese adalah pelayan Sabda Allah, dalam arti katekese menjadi
sarana untuk mewartakan Sabda Allah yang termuat dalam Kitab Suci. Katekese menjadi
tempat istimewa di mana sabda Allah senantiasa bergema dalam sejarah manusia dalam
bentuk pengajaran, ajakan, pewartaan, doa dan kesaksian hidup. Dengan kata lain Kitab Suci
membutuhkan katekese agar Sabda Allah yang termuat dalam Kitab Suci dapat menjadi
pegangan hidup, pedoman dan terang bagi jalan umat Allah. Di pihak lain isi Kitab Suci,
yaitu Sabda Allah adalah sumber utama bagi Katekese, sehingga katekese dapat membimbing
umat untuk beriman dan mengembangkan Gereja.

Isi Kitab Suci yang menjadi sumber utama bagi katekese dapat disampaikan kepada umat
Allah melalui berbagai metode atau pendekatan katekese, yang pada umumnya dapat
digolongkan dalam dua jenis: katekese doktrinal dan katekese antropologis. Katekese
doktrinal adalah pedagogi iman yang bertolak dari Firman Allah menuju ke situasi hidup
manusia. Dalam pastoral Kitab Suci metode atau pendekatan yang dipakai bervariasi,
misalnya: metode Bacaan-Syering-Aplikasi, metode Teks-Amanat-Tanggapan (TAT),
metode 7 Langkah, metode Jawaban Kelompok, metode Lectio Divina, dll. Sementara itu
katekese antropologis adalah pedagogi iman yang bertolak dari situasi hidup manusia menuju
Firman Allah, di mana Firman Allah menerangi situasi hidup manusia tersebut. Dalam
pastoral/kerasulan Kitab Suci metode atau pendekatan yang digunakan, antara lain: metode
Amos/Kontekstual dan metode Look-Listen-Love.

Sumber referensi
1. Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese, Mirifica.
2. Dr. Marinus Telaumanua OFMcap., Ilmu Kateketik: metode dan Hakikat dan Peserta
Katekese Gerejawi, Penerbit OBOR, 1999
3. Materi Rm. Hari Kustono berjudul: Kerasulan Kitab Suci dalam Gereja
4. Paus Paulus VI, Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi
5. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae
6. Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis
7. KWI, Komisi Kateketik, (1989) Menuju Katekese Kontekstual Tahun 2000.
8. KWI, Komisi Kateketik, (1993) Membina Iman yang Terlibat Dalam Masyarakat.
9. FABC V, Pernyataan Penutupan dalam Spektrum, XIX (1991) no. 2, 3 dan 4.
10. Gereja Indonesia Pasca Vatikan-II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, 1997.

Sumber: http://romopatris.blogspot.com/2013/01/katekese-dalam-pastoral-kitab-suc...
Sumber gambar: hidupkatolik.com

Anda mungkin juga menyukai