Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan alam merupakan ilmu yang mempelajari tentang peristiwa-peristiwa


yang terjadi di alam. Menurut Fowler (Trianto, 2010), Ilmu Pengetahuan Alam adalah
pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala
kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi. Sedangkan menurut Wahaya
(Trianto, 2010), mengatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.

Ilmu pengetahuan alam diajarkan melalui kegiatan pembelajaran yang aktif dan
menekankan pada keterampilan proses. Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta
kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
pembelajaran menurut Dimyani dan Mudjiono (Rahayu, 2014) siswa dapat dikatakan belajar,
apabila proses perubahan perilaku terjadi pada dirinya sebagai hasil dari suatu pengalaman.
Untuk itu, tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah secara operasional
adalah membelajarkan siswa agar mampu memproses dan memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap bagi dirinya sendiri. Pembelajaran tidak dapat berlangsung dengan baik
apabila siswa tidak memahami hakikat pembelajaran IPA itu sendiri. Oleh sebab itu, guru harus
menguasai dan memahami hakikat pembelajaran IPA yang meliputi devinisi, fungsi dan tujuan
pembelajaran IPA di Sekolah Dasar hingga ruang lingkup pembelajaran IPA itu sendiri.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis akan memaparkan hakikat pembelajaran


IPA di Sekolah dasar. Hakikat pembelajaran IPA yang dimaksud yaitu terdiri dari beberapa
indikator yang telah disebutkan di atas. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan
mengetahui hakikat pembelajaran IPA secara lebih mendalam sebelum menjadi seorang guru
dan mengajarkan mata pelajaran IPA kepada siswa di dalam kelas.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap?
2. Bagaimana Pembelajaran IPA MI/SD sesuai tingkat perkembangan intelektual peserta
didik?
3. Bagaimana Pembelajaran IPA MI/SD menerapkan pembelajaran bermakna?

C. Tujuan
1. Agar mengetahui hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap.
2. Agar mengetahui pembelajaran IPA MI/SD sesuai tingkat perkembangan intelektual
peserta didik.
3. Agar mengetahui pembelajaran IPA MI/SD menerapkan pembelajaran bermakna.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat IPA sebagai Produk, Proses dan Sikap

Menurut Sujana (2013, hlm 25) pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam atau sains
mempelajari mengenai gejala alam beserta isinya sebagaimana adanya, serta terbatas pada
pengalaman manusia. Dalam usahanya menafsirkan gejala alam tersebut, manusia berusaha
untuk mencari penjelasan tentang berbagai kejadian, penyebab, serta dampak yang
ditimbulkannya dengan metode ilmiah. Metode ilmiah inilah yang merupakan jembatan antara
penjelasan secara teoritis dengan pembuktian secara empiris.

Supriyadi (2009: 3) menjelaskan bahwa sains adalah suatu cara berpikir untuk memahami
suatu gejala alam, suatu cara untuk memahami gejala alam, dan sebagai batang tubuh keilmuan
yang diperoleh dari suatu penyelidikan. Sains mengandung nilai-nilai ilmiah,dalam usaha
membaca alam untuk menjawab hubungan sebab akibat, sains memiliki potensi pengembangan
nilai-nilai individu. Pengkajian terhadap keteraturan sistem alam mendorong peningkatan
kekaguman, keingintahuan terhadap alam, dan kemahfuman akan kebesaran Tuhan yang
menciptakannya. Nilai-nilai etika dan moral yang terpatri pada pembacaan alam ini akan
berkembang dari dampak pengiring oleh sikap ilmiah di atas yang dibiasakan dan terbiasa
penerapannya dalam perilaku keseharian student as a scientist (Zuhdan, 2011: 7).

Sund (Tedjo Susanto, 2011: 8-9), mengemukakan bahwa pengertian sains mencakup tiga
aspek, diantaranya:

a. Scientific attitudes (IPA sebagai Sikap): adalah keyakinan, nilai-nilai, pendapat/


gagasan, objektif, dan sebagainya. Misalnya membuat keputusan setelah memperoleh
cukup data yang berkaitan dengan masalahnya secara selalu berusaha objektif, jujur,
dan lain-lain. Sikap ilmuan untuk mencari kemudian mengembangkan ilmu
pengetahuan. (Sujana, 2013).
b. Scientific processes (IPA sebagai Proses), adalah cara khusus dalam penyelidikan
untuk memecahkan suatu masalah. Misalnya membuat hipotesis, merancang dan

3
melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menyusun data, mengevaluasi data,
mengukur, dan sebagainya. IPA dikatakan sebagai proses karena didalamnya
diperlukan adanya suatu proses atau cara-cara tertentu yang bersifat analitis, cermat
dan lengkap, serta menghubungkannya dengan gejala alam yang satu dengan yang
lain sehingga membentuk suatu kesimpulan. IPA sebagai proses meliputi cara
memperoleh, mengembangkan, dan mengaplikasikan pengetahuan yang mencakup
cara kerja, berpikir, memecahkan masalah dan bersikap. Dan biasanya identik dengan
keterampilan mengkaji fenomena-fenomena alam melalui cara tertentu untuk
memperoleh ilmu serta perkembangan ilmu selanjutnya. Selain itu konsep yang dapat
digunakan bertahan lama dan digunakan untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. (Sujana, 2013).
c. Scientific products (IPA sebagai Produk), berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori,
dan lain-lain. IPA dikatakan sebagai produk karena didalamnya memahami gejala-
gejala alam yang berupa prinsip, konsep, hukum, teori dan fakta yang bertujuan untuk
menjelaskan atau memahami berbagai gejala dan fenomena alam yang terjadi
didalamnya. (Sujana, 2013).

Menurut Wynne Harlen (Darmodjo, 1992) setidaknya ada sembilan aspek sikap ilmiah
yang dapat dikembangkan pada anak usia Sekolah Dasar yaitu:

a. Sikap ingin tahu (curiousity), dalam hal ini suatu sikap yang selalu ingin mendapatkan
jawaban yang benar dari objek yang diamatinya.
b. Sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality), sikap ini bertitik tumpu dari
kesadaran bahwa jawaban yang telah diperoleh dari rasa ingin tahu tidak bersifat mutlak,
namun hanya bersifat sementara.
c. Sikap kerja sama (cooperation), dalam hal ini kerja sama adalah sikap untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih banyak secara bersama-sama atau berkelompok.
d. Sikap tidak putus asa (perseverance), sikap ini perlu ditanamkan kepada siswa Sekolah
Dasar agar tidak mudah putus asa jika mengalami kegagalan dalam menggali ilmu.
e. Sikap teruka untuk menerima (open-mindedness)
f. Sikap mawas diri (self critism), seorang ilmuwan sangat menjunjung tinggi kebenaran.
Objektivitas tidak hanya ditunjukkan diluar dirinya tetapi juga terhadap dirinya sendiri.

4
sikap tersebut haruslah dikembangkan sejak dini khususnya pada siswa Sekolah Dasar
agar memiliki sikap jujur tehadap dirinya sendiri, menjunjung tinggi kebenaran, dan
berani mengoreksi dirinya sendiri.
g. Sikap bertanggung jawab (responsibility), dalam hal ini seseorang harus berani
mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. sikap tersebut harus dikembangkan
sejak usia SD misalnya membuat dan melaporkan hasil pengamatan atau kerja yang telah
dilakukan secara jujur.
h. Sikap berpikir bebas (independence in thinking), dalam ilmu pengetahuan diperlukan
objektifitas karena hal tersebut merupakan salah satu kriteria kebenaran suatu ilmu
pengetahuan.
i. Sikap kedisiplinan diri (self discipline), menurut Morse dan Wingo ( Darmodjo, 1992),
mengatakan bahwa kedisiplinan diri dapat diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk
dapat mengontrol atau mengatur dirinya sendiri menuju tingkah laku yang dikehendaki
dan diterima oleh masyarakat.

B. Pembelajaran IPA di MI/SD Sesuai Tingkat Perkembangan Intelektual Peserta


Didik

Di dalam pembelajaran IPA, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks. Pandangan dasar tentang pembelajaran adalah bahwa
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik harus
didorong untuk mengonstruksi pengetahuan di dalam pikirannya, agar benar-benar memahami
dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan
masalah, dan menemukan segala sesuatu untuk dirinya. Guru dapat memberikan kemudahan
dalam proses belajar, dengan memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Bagi peserta didik pembelajaran harus dirubah dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari tahu”.
Peserta didik harus didorong sebagai “penemu dan pemilik” ilmu, bukan sekedar pengguna atau
penghafal pengetahuan.

Di dalam pembelajaran IPA, peserta didik membangun pengetahuan bagi dirinya. Bagi
peserta didik, pengetahuan yang ada di benaknya bersifat dinamis, berkembang dari sederhana

5
menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang lingkup yang lebih
luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia yang sedang berkembang,
peserta didik akan mengalami empat tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor,
praoperasional, operasional konkrit, dan operasional formal.

Jadi, pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuannya. Peran guru dalam pembelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) menggunakan
kurikulum 2013 adalah memberikan tugas menantang berupa permasalahan yang harus
dipecahkan peserta didik. Pada saat tugas itu diberikan, peserta didik belum menguasai cara
pemecahannya, namun dengan berdiskusi dengan temannya dan bantuan guru, tugas tersebut
dapat diselesaikan. Dengan menyelesaikan tugas tersebut, kemampuan-kemampuan dasar untuk
menyelesaikan tugas itu akan dikuasai peserta didik.

Guru IPA harus memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berdiskusi dari
berbagai bentuk kerja sama halnya untuk menyelesaikan tugas iyang diberikan. Selain itu, guru
memberikan sejumlah besar bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, selanjutnya peserta didik mengambil alih tanggung-jawab yang semakin besar
segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan yang diberikan guru tersebut dapat berupa
petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan,
memberikan contoh, atau apapun yang lain yang memungkinkan peserta didik tumbuh mandiri.
Sekali lagi, bantuan tersebut tidak bersifat “memberitahu secara langsung” tetapi “mendorong
peserta didik untuk mencari tahu”. Di dalam pembelajaran IPA, peserta didik didorong untuk
belajar melalui keterlibatan aktif dengan keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan
prinsipprinsip.

Guru IPA harus mampu memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif atau
kolaboratif sehingga peserta didik mampu bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas atau
memecahkan masalah tanpa takut salah. Media dan sumber belajar lainnya digunakan guru untuk
memberi bantuan peserta didik melakukan eksplorasi dalam bentuk mengamati (observing),
menghubunghubungkan fenomena (associating), menanya atau merumuskan masalah
(questioning), dan melakukan percobaan (experimenting) atau pengamatan. Guru memfasilitasi
peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok dalam bentuk presentasi

6
lisan atau tertulis, pameran, turnamen, festival, atau ragam penyajian lainnya yang dapat
menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.

Pembelajaran IPA harus dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang terkait


dengan fenomena gejala alam yang setiap saat akan selalu berubah, dengan demikian
pembelajaran IPA tidak boleh terpisah dengan hakikatnya yaitu terdapat proses dimana siswa
harus melakuakan pengamatan tentang gejala alam tadi, yang selanjutnya harus dianalisis dan
disimpulkan sebagai produk dan juga harus terjadi internalisasi sikap ilmiah pada siswa.

Pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki bukan sekedar untuk dihafal tetapi
dapat digunakan atau dialihkan pada situasi dan kondisi yang lain (Dewi, 2004: 16). Agar
pembelajaran IPA lebih efektif dan dapat mencapai hasil maksimal, sebaiknya memperhatikan
(1) Proses berpikir; (2) kreativitas, Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk melakukan
berbagai kreativitas; (3) pengalaman siswa; (4) pembentukan konsep, pada hakekatnya konsep
yang dimiliki siswa adalah hasil bentukan sendiri; (5) aplikasi konsep, bahan pembelajaran
hendaknya terpusat pada aplikasi konsep. Pembelajaran IPA harus menyentuh aspek proses
dimana siswa harus dilibatkan dalam pembelajaran sehingga siswa akan mengalami proses
berpikir tentang suatu yang terjadi dalam pembelajaran, oleh karenanya maka disajikan tentang
masalah yang harus diselesaikan siswa melalui pengamatan atau penelitiannya sendiri dan atau
mencari jawaban sendiri.

Dengan demikian kreativitas siswa dalam mencari dan menyelesaikan masalah akan
meningkat. Dalam pembelajaran juga harus diperhatikan bahwa apa yang dipelajari siswa harus
sesuai dengan pengalaman siswa, guru harus menyesuaikan dengan lingkungan siswa dan
menyesuaikan dengan pengalaman yang dimiliki siswa sebelumnya. Hal ini juga akan
berpengaruh pada pembentukan konsep, sesungguhnya siswa memiliki konsep yang dibentuk
sendiri, oleh karenanya dibutuhkan konsep yang membenarkan konsep siswa melalui
pengalaman siswa dalam belajar.

Berdasarkan psikologi kognitif, sejak anak usia dini telah mampu mengembangkan
kemampuan kognitifnya, tetapi dengan strategi yang berbeda dengan anak usia kelas 4,5 dan 6
Madrasah Ibtidaiyah. Perkembangan memori, bahasa, dan berpikir anak usia 6 samapi 8 tahun
ditandai dengan segala sesuatu yang bersifat konkrit. Baru pada usia 8 sampai 9 tahun anak dapat

7
berpikir, berbahasa, dan mengingat sesuai dengan kemampuannya dalam memahami konsep
secara abstrak. Anak pada usia ini, memiliki kematangan untuk belajar, kerena mereka sudah
siap untuk menerima kecakapan-kecakapan baru yang diberikan di sekolah. Sementara kita
semua memahami bahwa pada usia pra sekolah sampai usia 8 tahun, tekanan belajarnya lebih
difokuskan pada bermain sambil belajar. Pada usia sekolah pengembangan dasar aspek
intelektualitas sudah dapat dimulai, oleh karena itu, pada masa ini dikenal juga dengan masa
intelektual atau masa keserasian sekolah. Indikator masa ini anak umumnya sudah lebih mudah
dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa keserasian sekolah pada tingkst MI dibagi
dalam dua fase :

a. Kelas rendah, sekitar 6 tahun sampai dengan usia sekitar 8 tahun, dalam tingkatan kelas
di MI pada usia tersebut termasuk kelas 1 sampai kelas 3.
b. Kelas tinggi, sekitar 9 sampai dengan usia sekitar 12 tahun, dalam tingkatan kelas di MI
pada usia tersebut termasuk kelas 4 sampai kelas 6.

Setiap tingkatan kelas tersebut di atas memiliki tingkat perkembangan kognitif dan
karakteristik yang berbeda, Masa kelas rendah memiliki karakterisik sebagai berikut :

a. Memiliki kecenderungan untuk memenuhi peraturan permainan yang didasari oleh


budaya keluarga, ataupun budaya sosial yang melatarbelakanginya.
b. Kecenderungan suka memuji diri sendiri
c. Memiliki korelasi positif yang antara keadaan kesehatan diri anak dengan pertumbuhan
jasmani dan rohani.
d. Suka membandingkan dirinya dengan orang lain, ketika dipandang menguntungkan untuk
meremehkan anak lain.
e. Ketika tidak dapat menyelesaikan suatu persoalan, mereka menganggap bahwa hal
tersebut tidak terlalu penting.
f. Perkembangan kemampuan mengingat (memory) dan berbahasa sangat tinggi.
g. Pemahaman tentang konsep anak, muncul dari hal-hal yang sifatnya konkrit dibanding
dengan yang bersifat abstrak.
h. Bermain buat anak pada usia ini meupakan kebutuhan, oleh karena itu, kehidupan buat
mereka adalah sesungguhnya bermain yang terkadang mereka juga agak sulit
membedakan antara kebutuhan belajar dengan kebutuhan bermain.

8
Masa kelas tinggi di sekolah memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Umumnya sangat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar cukup tinggi.
b. Lebih berminat kepada hal-hal bersifat konkrit, sehingga berkendrungannya lebih
meminati pekerjaan yang praktis dalam kesehariannya.
c. Sudah mulai meminati salah satu mata pelajaran tertentu,
d. Sampai usia 11 tahun, masih memerlukan kehadiran guru dan orang dewasa untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya.
e. Gemar membentuk kelompok teman sebaya ketika bermain bersama, dan mereka tidak
lagi terikat kepada peraturan permainan tradisionalnya, mereka membuat peraturan
permainannya sendiri.
f. Adanya pigur orang yang dianggap dewasa sebagai sosok peran manusia idola, mereka
mengangap orang dewasa (kakak, orang tua) sebagai sosok manusia yang serba tahu.

Keterampilan berpikir kritis bukan merupakan suatu keterampilan yang dapat berkembang
dengan sendirinya seiring dengan perkembangan fisik manusia. Keterampilan ini harus dilatih
melalui pemberian stimulus yang menuntut seseorang untuk berpikir kritis. Sekolah sebagai
suatu institusi penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membantu siswanya
mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis merupakan suatu
proses intelektual tentang konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi secara aktif
dan mahir terhadap informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi, pemikiran,
atau komunikasi sebagai pedoman untuk meyakini dan bertindak. Keterampilan ini ditandai oleh
nilai-nilai intelektual yang bersifat universal, yaitu kejelasan, ketepatan, konsistensi, ketelitian,
kesesuaian, bukti yang benar, pemikiran yang baik, kedalaman, keluasan, dan keadilan.

C. Pembelajaran IPA di MI/SD Menerapkan Pembelajaran Bermakna

Dalam pembelajaran akan terjadi interaksi yang efektif dan saling membutuhkan antara
guru dan siswa dalam pembelajaran, sehingga yang terpenting dalam pembelajaran di sini adalah
terdapatnya hubungan psikologis yang baik yang akhirnya menimbulkan perhatian yang penuh
dan keinginan untuk mau belajar dan ada rasa senang. Pembelajaran yang mendorong siswa
untuk mau melakukan belajar lebih menyenangkan dan tertarik maka siswa akan melakukan

9
belajar tersebut dengan rasa senang dan bahagia sehingga tidak ada perasaan tertekan atau
terpaksa sehingga jiwanya akan mengalir perhatian dan konsentrasi dalam jangka waktu yang
cukup lama.

Pembelajaran yang dapat membangkitkan kekuatan yang demikian adalah pembelajaran


yang disajikan dalam bentuk siswa belajar secara aktif dan guru harus memfasilitasi agar siswa
dapat belajar sendiri secara aktif dan membangun pengetahuannya secara efektif. Pembelajaran
yang efektif menurut Muslim (2001: 22) dapat dilihat dari dua dimensi guru dan siswa. Pertama,
dari dimensi guru, dalam proses belajar mengajar guru aktif dalam memantau kegiatan belajar
siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, mempertanyakan
gagasan siswa, guru harus kreatif dalam mengembangkan kegiatan yang beragam, membuat alat
bantu atau media pembelajaran, pembelajaran efektif jika guru dapat mencapai tujuan
pembelajaran, agar pembelajaran berkesan dan bermakna guru harus bisa mengemas materi agar
lebih mudah dipahami siswa, menggunakan metode pembelajaran yang dapat menarik perhatian
siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar, menggunakan media pembelajaran yang
sesuai dengan materi untuk menarik perhatian siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Kedua, dari dimensi siswa: siswa harus aktif dalam bertanya, mengemukakan gagasan,
mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya, siswa kreatif dalam menulis atau
merangkum, merancang atau membuat sesuatu dan menemukan sesuatu yang baru bagi diri
siswa, keefektifan siswa bisa dilihat dari penguasaan ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa,
pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat siswa berani mencoba atau berbuat, berani
bertanya, berani mengemukakan gagasan, berani mempertanyakan gagasan orang lain. Dari
pembelajaran yang menyenangkan siswa sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari interaksi
dialogis antara guru dan siswa dalam pembelajaran, hubungan guru-siswa dalam pembelajaran
menjadi titiik tolak terbentuknya kondisi pembelajaran yang dapat diciptakan.

Pembelajaran yang lebih menekankan pada proses belajar siswa dimana guru selalu
memberikan kesempatan pada masing-masing siswa untuk belajar sesuai dengan irama
kemampuannya sendiri dengan maju berkelanjutan untuk mencapai kompetensi pembelajaran
dimana guru selalu memberikan fasilitas yang memudahkan siswa untuk belajar dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar maka akan terbentuk pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan.

10
Agar pembelajaran bermakna serta menyenangkan dan tidak mudah bosan atau bahkan
tertekan, maka siswa harus diperhatikan aktivitas kejiwaannya dalam belajar. Aktivitas kejiwaan
disini berkaitan dengan bagaimana anak belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki secara
individu. Jangan berpandangan bahwa dengan belajar yang sama untuk semua siswa serta model
penekanan yang sama pada materi untuk semua siswa itu dianggap lebih efektif tetapi sebaliknya
dengan menganggap kemampuan anak sama dalam pembelajaran maka akan membelenggu
mental siswa dan cenderung memaksa sehingga anak tidak belajar sesuai dengan irama
kemampuannya dan merasa tidak senang.

Dalam strategi pembelajaran kita dapat menggunakan salah satu strategi contextual
teaching and learning (CTL) yang dikemukakan Alwasilah dalam Tukiran Taniredja (2014: 17),
yaitu ada tujuh; 1) Pengajaran berbasis problem; 2) Menggunakan konteks yang beragam; 3)
Mempertimbangkan kebinekaan siswa; 4) Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri; 5)
Belajar melalui kolaborasi; 6) Menggunakan penilaian autentik; 7) Mengejar standar tinggi.
Dalam pembelajaran guru seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sesuai dengan iramanya dengan menggunakan
berbagai variasi dalam konteks pembelajaran dan dimulai dari permasalahan dengan cara
kolaborasi untuk meningkatkan pencapaian pembelajaran yang lebih tinggi. Pembelajaran IPA
agar memenuhi hakekat dalam IPA maka sesuai dengan strategi CTL maka pembelajarannya
dilaksanakan dengan mengutamakan proses kemampuan siswa untuk melakuakan pembelajaran
dengan mengamati gejala alam melalui percobaan untuk dianalisis dan dibahas yang selanjutnya
dikomunikasikan dan disimpulkan.

Kelemahan pembelajaran IPA saat ini adalah masih bersifat menghafalkan dan kurang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati, meneliti tentang gejala-gejala alam
yang kemudian dikaji dan disimpulkan berdasarkan konsep-konsep yang akhirnya akan menjadi
prinsip, hukum, dan seterusnya sebagai produk IPA. Muijs & Reynolds (2008:4) menjelaskan
bahwa ciri-ciri guru yang efektif dalam pembelajaran di kelas adalah: 1) guru bertanggung jawab
memerintahkan berbagai kegiatan selama jam sekolah untuk siswa, yakni mengajar yang
terstruktur; 2) murid memiliki tanggung jawab atas tugasnya dan bersikap mandiri selama sesi-
sesi tugas tersebut; 3) setiap guru hanya mengampu satu bidang kurikulum saja; 4) interaksi yang
tinggi dengan seluruh kelas; 5) guru memberikan banyak tugas yang menantang; 6) keterlibatan

11
murid yang tinggi diberbagai tugas; 7) atmosfer yang positif dalam kelas; dan 8) guru
menunjukkan penghargaan dan dorongan yang besar kepada anak didiknya.

Guru yang efektif harus mempersiapkan beberapa hal dalam pembelajaran yang
menyangkut kemampuan untuk mengorganisasi pembelajaran, menguasai materi pembelajaran,
mengarahkan dan memotivasi belajar siswa, memberikan kesempatan siswa untuk aktif belajar,
memberikan penguatan pada siswa dan memfasilitasi siswa dalam belajar. Dalam melaksanakan
pembelajaran, guru juga harus memiliki sikap reaktif terhadap muridnya. Guru dalam
pembelajaran harus peka dan komunikatif dalam memfasilitasi pembelajaran siswanya. Interaksi
belajar-mengajar harus memberikan re-inforcement pada siswa agar siswa termotivasi dan aktif
belajar dengan penuh tanggung jawab.

Pembelajaran Kontekstual IPA Melalui Lingkungan di dalam Sekolah Pembelajaran


kontekstual IPA dengan menggunakan pendekatan Outdoor Learning mengasumsikan bahwa
secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang
melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang
dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan
yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan
masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan
pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di
sekolah.

Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog, penelitian,


pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, dan dalam prosesnya tingkat pemikiran selalu
diperbaharui sehingga menjadi semakin lengkap. Berdasarkan hasil penelitian membuktikan
bahwa berhasil atau tidaknya belajar tergantung pada makna dari apa yang dipelajari. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa pelajaran yang bermakna jika pelajaran tersebut atau masalah yang
dipelajari itu riil atau berharga bagi siswa dan sejauh hubungan esensial antara bagian-bagiannya
ditegaskan. Sehingga tugas siswa adalah menangkap dan memahami hubungan dalam
keseluruhannya. b. Pembelajaran Kontekstual IPA Melalui Lingkungan di Luar Sekolah SD
mengajak siswanya untuk selalu berpikir kritis dan guru memanfaatkan model pembelajaran
kontekstual dengan menggunakan pendekatan Outdoor Learning dalam menagajar IPA.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara garis besar Ilmu Pengetahuan Alam memiliki tiga komponen yaitu IPA sebagai
produk, IPA sebagai Proses, dan IPA sebagai sikap ilmiah. Hal tersebut sejalan dengan fungsi
dan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang bukan hanya kumpulan pengetahuan dan
fakta untuk dihafal, tetapi ada proses aktif menemukan menggunakan pikiran dan sikap dalam
mempelajarinya sehingga dapat mengembangkan keterampilan proses siswa untuk menyelidiki
alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Pembelajaran IPA di SD juga
memiliki ruang lingkup bahan kajian yang secara umum meliputi dua aspek yaitu kerja ilmiah
dan pemahaman konsep.

Perkembangan memori, bahasa, dan berpikir anak usia 6 sampai 8 tahun ditandai dengan
segala sesuatu yang bersifat konkrit. Pada usia sekolah pengembangan dasar aspek intelektualitas
sudah dapat dimulai, Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog,
penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, dan dalam prosesnya tingkat pemikiran
selalu diperbaharui sehingga menjadi semakin lengkap. Berdasarkan hasil penelitian
membuktikan bahwa berhasil atau tidaknya belajar tergantung pada makna dari apa yang
dipelajari. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pelajaran yang bermakna jika pelajaran tersebut atau
masalah yang dipelajari itu riil atau berharga bagi siswa dan sejauh hubungan esensial antara
bagian-bagiannya ditegaskan. Sehingga tugas siswa adalah menangkap dan memahami hubungan
dalam keseluruhannya.

B. Saran

Sebagai calon guru kita harus mengetahui hakikat IPA dan pembelajaran IPA di MI/SD
untuk menunjang wawasan dan menjadi guru yang efektif serta dapat memberikan pembelajaran
yang bermakna bagi siswa.

13
DAFTAR PUSTAKA

Usman Samatowa. 2006. Bagaimana Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Tinggi.
http://repository.upi.edu/19707/4/s_pgsd_kelas_1104519_chapter2.pdf

http://eprints.uny.ac.id/32629/3/BAB%20II.pdf

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/terampil/article/download/1333/1060\\

http://e-journal.staima-alhikam.ac.id/index.php/al-mudarris/

http://journals.ums.ac.id/index.php/ppd/article/viewFile/1002/679

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/IJEE/article/download/10156/7553

14

Anda mungkin juga menyukai