Anda di halaman 1dari 63

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

B DENGAN PENYAKIT JANTUNG


KORONER POST CORONARY ARTERY BAYPASS GRAFT (CABG) HARI
PERTAMA
DI PELAYANAN JANTUNG TERPADU RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

Dibimibing Oleh
Bara Miradwiyana S. Kp., MKM

Disusun oleh kelompok 3


Ardian Bowo Laksono (P17120016046)
Dea Muzdalifah (P17120016010)
Fani Pitrianingsih (P17120016053)
Gede Yudi Praoga (P17120016016)
Khansa Khaerrunnisa Pratiwi (P17120016020)
Nabilla (P17120016023)
Ovedha Pradipta Lunggana (P17120016071)
Zulia Oktavia (P17120015080)

Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta 1


Jurusan Keperawatan
Jl. Wijaya Kusuma Raya 47-48 Cilandak Barat- Jakarta Selatan (12430)

Jakarta
2019

i
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya serta usaha yang dilakukan, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn.B dengan Penyakit Jantung Koroner Post Coronary Artwry
Bypass Graft (CABG) hari pertama di Gedung Pelayan Jantung Terpadu RSUPN Cipto
Mangunkusumo”. Telah banyak bantuan yang diberikan kepada kami, baik dalam bentuk
moril maupun materil. Maka, kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu. Rasa terima kasih kami sampaikan terutama kepada :
1. Ibu drg. Ita Astit Karmawati MARS selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Jakarta 1
2. dr. Lies Dina Liastuti, SpJP(K), MARS sebagai direktur utama
3. Ibu Ii Mumpuni S. Kp., M., Biomed selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Jakarta 1
4. Bapak Muttarobin M. Kep., Sp. KMB selaku Koordinator Praktik Klinik Keperawatan
Medikal Bedah II
5. Ibu Bara Miradwiyana SKp, MKM selaku Dosen Pembimbing kelompok 3 yang telah
membimbing kami
6. Ibu dessy dan ibu kurnianingsih sebagai ci
7. Tn. B dan keluarga klien yang telah membantu dalam pemenuhan tugas kami
8. Kakak-kakak perawat PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo yang telah
mengajarkan kami banyak hal sehingga kami dapat mengerti tentang tindakan
keperawatan medikal bedah secara langsung
9. Orang tua yang telah banyak memberikan semangat, bantuan, doa, cinta dan kasih
sayangnya hingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik kepada semua pihak yang telah
membantu kami. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir
kata, kami mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna dan memperluas wawasan kita
semua. Atas segala perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Jakarta, Oktober 2018

Kelompok 5

i
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyakit jantung koroner (PJK) adalah
gangguan fungsi jantung akibat otot jantung yang kekurangan darah karena adanya
penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau
terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang bekerja berat
ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh
(Essianda, Nurcahyo, dan Ismail, 2015).
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit tertinggi angka kejadiannya di
masing-masing benua di dunia, kecuali Afrika. Menurut WHO tahun 2011, penyakit
jantung iskemik ini menunjukkan prevalensi tertinggi dan terbagi menjadi 3 golongan
yaitu dengan negara pendapatan kecil (middle-income countries) yaitu sebesar
5,27 juta per tahun atau sekitar 13,7% dan negara-negara dengan
pendapatan tinggi (high-income countries) yaitu sebesar 1,42 juta per
tahun atau sekitar 15,6% dan untuk negara-negara dengan pendapatan
rendah (low income countries) penyakit jantung koroner merupakan
penyakit urutan ke empat setelah penyakit infeksi saluran nafas bawah,
HIV dan diare. WHO memperkirakan bahwa peyakit jantung koroner ini
meningkat dari tahun 2002 dari 7,2 jt penderita sampai 11,1 jt
penderita pada tahun 2020 (Setiawan et al., 2016).
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit kardiovaskuler dengan
prevalensi tertinggi di Indonesia menurut Riskesdas tahun 2013, yaitu sebesar 1,5%. Dari
prevalensi tersebut, angka tertinggi ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan
terendah di Provinsi Riau (0,3%). Menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi
pada kelompok umur 65-74 tahun (3,6%) diikuti kelompok umur 75 tahun ke atas
(3,2%), kelompok umur 55-64 tahun (2,1%) dan kelompok umur 35-44 tahun (1,3%).
Sedangkan menurut status ekonomi, terbanyak pada tingkat ekonomi bawah (2,1%) dan
menengah bawah (1,6%) (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Faktor risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) dapat dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu faktor risiko yang dapat dikurangi, diperbaiki atau dimodifikasi, dan faktor
risiko yang bersifat alami atau tidak dapat dicegah. Faktor risiko yang tak dapat diubah
adalah usia (lebih dari 40 tahun), jenis kelamin (pria lebih berisiko) serta riwayat
keluarga. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, antara lain dislipidemia, diabetes melitus,
stres, infeksi, kebiasaan merokok, pola makan yang tidak baik, kurang gerak, Obesitas,
serta gangguan pada darah (fibrinogen, faktor trombosis, dan sebagainya) (Iskandar,
Hadil and Alfridsyah, 2017).
Hasil analisis bivariat dalam penelitian Aktivitas fisik dengan penyakit jantung
koroner di Indonesia menunjukan bahwa usia berhubungan signifi kan dengan kejadian
PJK di Indonesia (p=0,00). Mayoritas penderita PJK termasuk ke dalam kelompok usia
lansia. Hubungan antara bertambahnya usia dan timbulnya PJK konsisten dengan yang
telah diketahui sebelumnya tentang etiologi lesi aterosklerosis dan periode laten antara
munculnya lesi lipid dan perkembangan plak. Kerentanan terhadap aterosklerotik
koroner dan paparan berbagai faktor risiko meningkat seiring peningkatanusia, seperti
rasio HDL dan total kolesterol, tekanan darah sistolik, diabetes mellitus, dan aktivitas
fisik. Organ jantung ketika usia tua cenderung tidak bekerja dengan baik. Dinding-
dinding jantung akan menebal dan arteri dapat menjadi kaku dan mengeras, membuat
jantung kurang mampu memompa darah ke otot-otot tubuh (Gunawan, 2018).
Faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi paling besar mempunyai hubungan
terhadap kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah stroke, berisiko 3,5 kali (95%
CI: 2,0-5,9) atas kejadian PJK, dibandingkan dengan responden yang tidak terkena
stroke. Penderita hipertensi berisiko 1,6 kali (95% CI: 1,3-1,9) dibandingkan dengan
tidak hipertensi. Responden dengan kadar guladarah puasa 100-125 mg% berisiko 1,5
kali (95% CI: 1,1-1,9) atas kejadian PJK dibandingkan dengan kadar gula darah puasa <
100mg%. Sedangkan responden dengan IMT ≥ 23Kg/m2, berisiko 1,2 kali (95% CI: 1,0-
1,5) dan kolesterol LDL berisiko1,3 kali (95% CI: 1,0-1,6), gangguan mental emosional
1,4 kali (95% CI: 1,2¬1,7, diabetes melitus 1,2 kali (95% CI: 0,8-1,6); obesitas
berdasarkan IMT 1,2 kali (95% CI: 1,0-1,5) atas kejadian Penyakit Jantung Koroner
(PJK) (Pradono J. & Werdhasari A., 2018).
Salah satu intervensi bedah untuk pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh
darah adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG atau cangkok arteri koroner
adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan penyumbatan arteri koroner dan
memaksimalkan aliran pembuluh darahnya. Arteri koronaria dapat mengalami sumbatan
di satu atau lebih dari satu titik. Pembuluh darah arteri atau vena dari bagian tubuh yang
lain di cangkokkan ke arteri koronaria pada daerah penyumbatan, sehingga
meningkatkan sirkulasi darah yang menuju ke otot jantung. Prosedur ini dapat pula
menurunkan resiko kematian akibat penyakit jantung koroner (Harahap dkk, 2016).
Tujuan CABG juga untuk menghilangkan atau mengurangi serangan angina sehingga
klien dapat bekerja kemabli sesuai kemampuan, mendapatkan ketenangan hidup,
melakukan aktivitas seksual, dan berada dalam mood yang baik (Aziza, 2010).
Komplikasi yang mungkin timbul dari tindakan CABG diantaranya penurunan
curah jantung, disfungsi paru-paru, disfungsi neurologi, disfungsi gastrointestinal, gagal
ginjal akut,dan infeksi (Smeltzer, 2008). Maka dari itu klien dan keluarga diharapkan
partisipasinya untuk mengurangi resiko komplikasi. Pasien post CABG biasanya sering
diajarkan teknik nafas dan batuk efektik untuk mengurangi komplikasi respirasi. Namun,
biasanya pasien takut untuk batuk karena nyeri pada daerah luka sternotomy, nyeri dapat
dikurangi dengan teknik nonfarmakologi lainnya yaitu terapi komplementer salah
satunya adalah terapi dingin. Serabut saraf perifer distimulasi dan
dilokalisasi sehingga terjadi perubahan aliran darah dan aktivitas
metabolic yang akan meningkat dengan terapi panas dan diturunkan dengan
terapi dingin. Terapi dingin ini baik digunakan diklinik (Rumah, Pku,
dan Yogyakarta, 2015).
Perawat berperan penting dalam mendampingi dan memberikan asuhan yang
tepat sehingga pasien dapat melalui paska operasi dengan baik, lancar dan tanpa
komplikasi. Pemberian asuhan keperawatan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan
pasien paska operasi CABG salah satunya adalah monitoring hemodinamik, monitoring
intake dan output, memperbaiki ekspansi paru dan oksigenasi pasien. Hal inilah yang
membutuhkan peran penting perawat untuk melakukan asuhan secara komprehensif.
Keseluruhan aspek perlu dikaji, dimonitor dan dievaluasi. Setiap intervensi yang
diberikan harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Kerjasama interdisipliner
diperlukan untuk dapat memberikan asuhan yang terbaik dan maksimal kepada pasien.
Berdasarkan uraian data di atas, diketahui bahwa pasien dengan post op CABG
harus mendapatkan pengobatan dan perawatan dengan seksama, oleh karna itu sebagai
calon tenaga kesehatan maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai
“Asuhan Keperawatan pada klien dengan Post operasi Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) di lantai 5 Gedung PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep teori Coroner Artery Disease
(CAD) dan prosedur CABG sehingga dapat menerpkan proses keperawatan
dan memperoleh gambaran tentang asuhan keperawatan pada Tn. B dengan
post CABG ec CAD.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep teori CAD dan CABG yang meliputi
definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, pathway,
manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan dan konsep asuhan keperawatannya.
b. Mahasiswa mampu menggambarkan pelaksanaan dan hasil pengkajian
yang dilakukan pada Tn. B dengan post CABG ec CAD di lantai 5
Gedung PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
c. Mahasiswa mampu menentukan Diagnosa Keperawatan prioritas yang
tepat pada Tn. B dengan post CABG ec CAD di lantai 5 Gedung PJT
RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
d. Mahasiswa mampu menentukan Rencana Keperawatan yang sesuai
dengan kebutuhan pasien sekaligus sesuai dengan diagnosa
keperawatan pada Tn. B dengan post CABG ec CAD di lantai 5
Gedung PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
e. Mahasiswa mampu menggambarkan pelaksanaan dari intervensi
keperawatan yang disusun untuk Tn. B dengan post CABG ec CAD di
lantai 5 Gedung PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
f. Mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi terhadap intervensi yang
sudah diterapkan pada Tn. B dengan post CABG ec CAD di lantai 5
Gedung PJT RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan laporan ini dapat menjadi tambahan referensi
objektif kasus dengan penyakit kardiovaskuler dengan penatalaksanaan
bedah CABG ec CAD di lantai 5 Gedung PJT RSUPN DR. Cipto
Mangunkusumo yang sekiranya dapat membantu dalam proses perawatan
kelak dengan masalah yang sama.

2. Bagi Institusi
Diharapkan laporan ini dapat menambah referensi bacaan
diperpustakaan Poltekkes Kemenkes Jakarta 1 sehingga dapat
bermanfaat untuk seluruh civitas akademika yang membutuhkannya.
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan laporan ini dapat bermafaat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mahasiswa mengenai kasus dengan penyakit
kardiovaskuler yaitu post CABG ec CAD serta Asuhan Keperawatannya
secara objektif sesuai dengan yang terjadi dilapangan.

D. Sistematika Penulisan
Laporan ini disusun berdasarkan sumber yang diperoleh melalui
buku dan ebook. Referensi yang kami ambil berasal dari perpustakaan
Poltekkes kemenkes Jakarta 1. Adapun unsur masing-masing bagian dan
penjelasannya secara detail serta pengertian lengkap diuraikan sebagai
berikut:
1. Bagian awal sistematika penulisan terdiri dari beberapa unsur
sebagai berikut:
a. Lembar judul adalah identitas yang memberikan gambaran
mengenai isi dari laporan.
b. Kata pengantar berisikan ucapan terima kasih kepada pihak-
pihak yang membantu dalam pembuatan laporan
c. Daftar isi adalah suatu daftar yang membuat gambran isi
laporan secara menyeluruh.
2. Bagian isi sistematika penulisan terdiri dari beberapa unsur
sebagai berikut:
a. Bab I pendahuluan:
1) Latar belakang permasalahan adalah fenomena permasalahan
dalam lingkungan yang diamati.
2) Tujuan penulisan makalah adalah uraian tujuan dan hal yang
ingin dicapai mengenai penulisan laporan ini.
b. Bab II tinjauan teori:
Berisi kumpulan teori yang digunakan dalam pembuatan laporan,
penulis menggunakan teori yang bersumber dari buku-buku
perpustakaan Poltekkes kemenkes Jakarta 1, jurnal dan ebook.
c. Bab III tinjauan kasus:
Berisi kasus yang diangkat oleh kelompok beserta proses
keperawatannya terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi keperawatan.

d. Bab IV pembahasan:
Berisi pembahasan kasus dan perbandingan guna menemukan
kesenjangan antara teori dengan kasus, mulai dari pengkajian,
diagnosa, intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan.
e. Bagian penutup sistematika penulisan terdiri dari beberapa
unsur sebagai berikut:
1) Kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan kasus
2) Saran merupakan tindak lanjut dari kesimpulan
3. Bagian akhir yang terdiri atas:
1) Daftar pustaka memiliki pengertian sumber bacaan ilmiah yang
digunakan untuk penulisan laporan
2) Lampiran kasus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Penyakit Penyakit Jantung Koroner


1. Definisi Penyakit Jantung Koroner
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau Coronary Artery Disease (CAD)
merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena kurangnya
suplay darah pada otot miokard akibat adanya penyempitan arteri koroner dan
penyumbatan pembuluh darah jantung (AHA, 2015). Maulana (2017) juga
mengatakan bahwa PJK merupakan jenis gangguan jantung yang paling sering
ditemui dan terjadi karena pembuluh darah yang menyuplai darah kaya oksigen ke
organ jantung (arteri koronaria) menyempit atau tersumbat oleh adanya suatu plak.
Penumpukan plak ini mengurangi ruang gerak dari aliran darah sehingga
menyebabkan otot jantung kelaparan dan menimbulkan nyeri dada pada penderita.
Apabila aliran darah tersumbat total karena terbentuknya bekuan darah yang
menutupi plak pada dinding pembuluh darah yang sudah pecah, maka dapat
menimbulkan serangan jantung.
Sedangkan menurut Majid (2017), PJK dapat diartikan sebagai perubahan
variable intima arteri yang merupakan pokok lemak (lipid), pokok kompleks
karbohidrat dan hasil produk darah, jaringan fibrus dan defosit kalsium yang
kemudian diikuti dengan perubahan lapisan media.

2. Anatomi dan Fisiologi Jantung


a. Anatomi Jantung
Sistem kardiovaskular terdiri dari darah,jantung, dan pembuluh darah.
Jantung adalah organ yang memompa darah melalui pembuluh darah menuju ke
seluruh jaringan tubuh. Darah yang mencapai sel-sel tubuh dan
melakukanpertukaran zat dengan sel-sel tersebut harus dipompa secara terus-
menerus olehjantung melalui pembuluh darah. Jantungterletak di dalam dada
atau sternum dan diapit oleh paru-paru. Ukuran jantung relatif kecil, pada
umumnya memiliki ukuran yang sama,tetapi memiliki bentuk yang berbeda
seperti kepalan tangan setiap orang. Denganpanjang 12cm, lebar 9cm, tebal
6cm, dan berat 250 gr pada wanita dewasa dan 300 gr pada pria dewasa. Jantung
terdiri atas 3 lapisan, yaitu pericardium (lapisan paling luar), miokardium
(lapisan tengah), dan endocardium (lapisan paling dalam). Lapisan pericardium
merupakan membrane tipis yang terdiri dari dua bagian, yaitu pericardium
parietal (bagian luar yang paling dekat dengan dinding rongga dada) dan
pericardium visceral atau epicardium (bagian dalam yang paling dekat dengan
jantung). Lapisan miokardium mempunyai dinding yang tebal dan merupakan
otot jantung karena terdiri dari sel-sel otot jantung yang berbentuk serat. Serat
otot jantung yang berkontraksi memungkinkan bilik jantung mengeluarkan
darah yang didalamnya untuk dipompa ke seluruh tubuh. Sedangkan lapisan
endocardium berisi cairan serosa yang berfungsi melembabkan dan melumasi
dinding jantung.
Gambar 1.1 Anatomi jantung: arteri dan vena koroner bagian anterior jantung

Walaupun jantung memompa darah keseluruh tubuh, jantung tidak


menerima nutrisi dari darah yang dipompanya. Nutrisi tidak dapat menyebar
cukup cepat dari darah yang ada dalam bilik jantung untuk memberi nutrisi
semua lapisan sel yang membentuk dinding jantung. Untuk alasan ini,
miokardium memiliki jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi koroner.
Jantung kaya akan pasokan darah, yang berasal dari arteri koronaria kiri dan
kanan. Arteri-arteri ini muncul secara terpisah dari sinus aorta pada dasar aorta,
dibelakang tonjolan katup aorta. Arteri ini tidak di blockade oleh tonjolan katup
selama sistol karena adanya aliran sirkular dan tetap sepanjang siklus jantung.
Arteri koronaria kanan berjalan diantara trunkus pulmonalis dan atrium
kanan, menuju sulkus AV. Saat arteri tersebut menuruni tepi bawah jantung,
arteri terbagi menjadi cabang descendens posterior dan cabang marginal kanan.
Arteri koronaria kiri berjalan dibelakang trunkus pulmonalis dan kemudian
berjalan diantara trunkus pulmonalis dan atrium kiri. Arteri ini terbagi menjadi
cabang sirkumfleksa, marginal kiri, dan descendens anterior. Terdapat
anastomosis antara cabang marginal kanan dan kiri, serta arteri descendens
anterior dan posterior, meskipun anastomosis ini tidak cukup untuk
mempertahankan perfusi jika salah satu sisi sirkulasi koroner tersumbat.
Sebagian besar darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronarius
dan vena jantung anterior. Vena koronaria besar dan kecil secara berturut-turut
terletak paralel terhadap arteri koronaria kiri dan kanan, dan berakhir di dalam
sinus. Banyak pembuluh-pembuluh kecil lainnya yang langsung berakhir di
dalam ruang jantung, termasuk vena thebesian dan pembuluh arterisinusoidal.
Sirkulasi koroner mampu membentuk sirkulasi tambahan yang baik pada
penyakit jantung iskemik, misalnya oleh plak ateromatosa. Sebagian besar
ventrikel kiri disuplai oleh arteri koronaria kiri, dan oleh sebab itu adanya
sumbatan pada arteri tersebut sangat berbahaya. AVN dan nodus sinus disuplai
oleh arteri koronaria kanan pada sebagian besar orang, penyakit pada arteri ini
dapat menyebabkan lambatnya denyut jantung dan blockade AV.
Pembuluh darah yang lebih besar umumnya memiliki struktur 3 lapis.
Lapisan dalam yang tipis disebut tunika intima, terdiri dari selapis (monolayer)
sel endotel (endotelium) yang disokong oleh jaringan ikat. Sel-sel endotel yang
melapisi lumen vascular dirapatkan oleh suatu tight junction, yang membatasi
difusi molekul besar melewati endothelium. Sel-sel endotel memiliki peran
krusial dalam mengendalikan permeabilitas vascular, vasokonstriksi,
angiogenesis, dan regulasi hemostatis. Intima relatif lebih tebal pada arteri yang
lebih besar, dan mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri yang lebih
besar, dan mengandung beberapa sel otot polos dalam arteri dan vena yang
berukuran besar dan sedang.Lapisan tengah yang tebal, tunika media,
dipisahkan dari tunika intima oleh suatu selubung berfenestrasi (berperforasi),
lamina elastika interna, yang sebagian besar tersusun atas elastin. Lapisan media
ini mengandung sel otot polos yang terbenam dalam matriks ekstraselular yang
terutama tersusun atas kolagen, elastin, dan proteoglikan. Sel-sel tersebut
berbentuk seperti silinder yang memanjang dan irregular dengan ujung tumpul,
dan memiliki panjang 15-100 m (Dale, 2018).
Dalam sistem arterial, sel-sel ini tersusun secara sirkular atau dalam
spiral bersusun rendah, sehingga lumen vaskular menyempit saat sel-sel
berkontraksi. Masing-masing sel cukup panjang untuk melapisi sekeliling
arteriol kecil beberapa kali. Sel-sel otot polos yang berdekatan membentuk gap
junction. Ini merupakan area dari kontak selular yang berdekatan dimana
susunan kanal besar yang disebut konekson menghubungkan kedua
membranesel, memungkinkan otot polos membentuk sinsitium, dimana
depolarisasi menyebar dari satu sel ke sel di sebelahnya. Lamina elastika
eksterna memisahkan antara tunika media dari lapisan bagian luar, tunika
adventisia. Lapisan ini mengandung jaringan kolagen yang yang menyokong
fibroblast dan saraf. Pada arteri dan vena besar, adventitia mengandung vasa
vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang juga menembus ke dalam bagian luar
media dan menyuplai dinding vascular dengan oksigen dan nutrisi. Protein
elastin didapatkan terutama dalam arteri. Molekul elastin tersusun menjadi
jalinan serabut yang berbentuk kumparan acak. Molekul (seperti pegas) ini
memungkinkan arteri melebar selama sistol dan kemudian kembali mengecil
selama diastol agar menjaga darah tetap mengalir kedepan. Hal ini sangat
penting untuk aorta dan arteri elastik besar lainnya, dimana media mengandung
lapisan elastin berfenetrasi yang memisahkan sel-sel otot polos menjadi lapisan
konsentrik multipel (Lamela). Protein fibrosa kolagen terdapat dalam ketiga
lapisan dinding vascular, dan berfungsi sebagai kerangka yang menahan sel otot
polos tetap pada tempatnya. Pada tekanan internal yang tinggi, jalinan kolagen
menjadi sangat kaku, dan membatasi pelebaran pembuluh darah. Hal ini sangat
penting untuk vena, yang memiliki kandungan kolagen lebih banyak dari arteri
(Tortora, 2012).

b. Fisiologi Jantung
Semua jaringan tubuh selalu bergantung pada aliran darah yang disalurkan
oleh kontraksi dan denyut jantung. Jantung mendorong darah melintasi pembuluh
darah untuk disampaikan dalam jumlah yang cukup. Jantung berfungsi untuk
menjalankan sistem sirkulasi dan transportasi dalam tubuh. Pada dasarnya sistem
sirkulasi terdiri dari 3 komponen dasar yaitu: 1). Jantung berfungsi sebagai
pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan gradien
tekanan yang diperlukan agar darah mengalir ke jaringan, 2). Pembuluh darah
berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan darah dari
jantung ke semua bagian tubuh dan kemudian mengembalikannya ke jantung, 3).
Darah berfungsi sebagai medium transportasi tempat bahan-bahan yang akan
disalurkan dilarutkan, diendapkan.
Siklus jantung adalah urutan kejadian mekanik yang terjadi selama satu
denyut jantung tunggal. Saat menuju akhir diastole (G) semua rongga jantung
berelaksasi. Katup antara atrium dan ventrikel terbuka (katup AV: kanan,
trikuspid ; kiri, mitral), karena tekanan atrium tetap sedikit lebih besar daripada
tekanan ventrikel sampai ventrikel benar-benar mengembang. Katup aliran keluar
pulmonal dan aorta (semilunar) menutup, saat arteri pulmonalis dan tekanan aorta
lebih besar daripada tekanan ventrikel. Siklus dimulai ketika nodus sinoatrial
menginisiasi denyut jantung.

Sistol atrium (A)


Kontraksi atrium melengkapi pengisian ventrikel. Saat istirahat, atrium
member konstibusi kurang dari 20% volume ventrikel, namun proporsi ini
meningkat sesuai denyut jantung, karena diastol memendek dan terdapat lebih
sedikit waktu untuk pengisian ventrikel. Tidak terdapat katup antara vena dan
atrium dan sejumlah darah mengalami regurgitasi ke dalam vena. Gelombang dari
tekanan atrium dan vena merefleksiakan sistol atrium. Volume ventrikel setelah
pengisian dikenal sebagai volume akhir diastolik, dan besarnya 120-140 ml.
Tekanan equivalen adalah kurang dari 10mmHg, dan lebih besar ada ventrikel
kiri daripada ventrikel karena lebih muskular dan oleh sebab itu dinding ventrikel
kiri lebih kaku. EDV (End Diastolic Volume) merupakan suatu penentu penting
dalam kekuatan kontraksi selanjutnya.depolarisasi atrium menyebabkan
gelombang P pada EKG.

Sistol ventrikel
Kontraksi ventrikel menyebabkan peningkatan tajam tekanan ventrikel
dan katup AV menutup begitu tekanan ini melampaui tekanan atrium. Penutupan
katup AV menyebabkan bunyi jantung pertama (S1). Depolarisasi ventrikel
berkaitan dengan kompleks QRS dan EKG. Selama fase awal kontraksi ventrikel,
tekanan ventrikel lebih kecil daripada tekanan arteri pulmonal dan aorta, sehingga
katup aliran keluar tetap menutup. Ini merupakan kontraksi isovolumetrik (B),
karena volume ventrikel tidak berubah. Tekanan yang meningkat menyebabkan
katup AV menonjol ke dalam atrium, sehingga menyebabkan gelombang tekanan
atrium yang kecil (gelombang c), yang diikuti oleh suatu penurunan.

Ejeksi
Katup-katup aliran keluar terbuka saat tekanan dalam ventrikel melampaui
tekanan pada arteri masing-masing. Perhatikan bahwa tekanan arteri pulmonal 15
mmHg diperkirakan lebih kecil daripada tekanan aorta 80 mmHg. Aliran kedalam
arteri pada awalnya sangat cepat (fase ejeksi cepat c), namun saat kontraksi
semakin menghilang, ejeksi menjadi berkurang (fase ejeksi menurun d). Ejeksi
cepat kadang-kadang terdengar sebagai murmur. Kontraksi aktif menghilang
selama paruh kedua ejeksi, dan otot berpolarisasi.ini berkaitan dengan gelombang
T pada EKG. Tekanan ventrikel selama vase ejeksi menurun adalah sedikit lebih
kecil daripada tekanan arteri, namun darah terus mengalir keluar ventrikel karena
adannya momentum. Pada akhirnya aliran secara cepat berbalik sehingga
menyebabkan penutupan katup aliran keluar dan suatu peningkatan kecil tekanan
aorta, takik dikrotik. Penutupan katup semilunaris berkaitan dengan bunyi jantung
kedua (S2). Jumlah darah yang diejeksikan ventrikel dalam satu denyut disebut isi
sekuncup yaitu 70 ml. Oleh sebab itu, sekitar 50ml darah tertinggal dalam
ventrikel pada akhir sistol(volume akhir sistolik). Proporsi EDV yang
diejeksikanadalah fraksin ejeksi. Selama dua pertiga akhir sistol, tekanan atrium
meningkat akibat pengisian vena (gelombang v).

Diastol-relaksasi dan pengisian kembali


Setelah penutupan katup aliran keluar, ventrikel secara cepat berelaksasi.
Namun demikian, tekanan ventrikel tetap lebih besar daripada tekanan atrium dan
katup AV tetap menutup. Ini disebut relaksasi isovolumetrik. Saat tekanan
ventrikel menurun dibawah tekanan atrium, maka katup AV terbuka dan tekanan
atrium menurun (penurunan y) saat ventrikel terisi kembali (pengisian kembali
ventrikel sangat cepat). Ini dibantu oleh recoil elastic dinding ventrikel, yang
sebenarnya menyedot darah. Bunyi jantung ketiga (S3) dapat terdengar pada
orang muda, atau saat EDP tinggi. Saat ventrikel benar-benar berelaksasi,
pengisian kembali melambat. Ini berlanjut selama dua pertiga akhir diastole
akibat aliran vena. Saat istirahat, diastole dua kali lebih panjang dari sistol,
namun menurun secara proporsional selam latihan dan saat laju denyut jantung
akan meningkat (Aaronson, 2010).

3. Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner


Menurut Muttaqin (2012), penyakit jantung koroner dapat diklasifikasikan
menjadi 4 macam yaitu sebagai berikut:
1. Asimtomatik (Silent Myocardiac Ischemia)
Penderita SMI tidak pernah mengeluh adanya rasa sakit di dada (angina)
pada saat beraktivitas maupun pada saat istirahat. Pada saat pemeriksaan
terdapat depresi segmen ST. Namun pada pemeriksaan fisik dan vital sign
dalam batas normal.
2. Angina pectoris stabil
Terdapat nyeri dada saat melakukan aktivitas, berlangsung 1-5 menit dan
hilang saat istirahat. Nyeri dada yang bersifat kronik berlangsung lebih dari 2
bulan. Nyeri terutama pada daerah retrosternal, terasa seperti tertekan benda
berat atau terasa panas dan menjalar ke lengan kiri, leher, maksila, dagu,
punggung dan jarang menjalar ke lengan kanan. Pada pemeriksaan EKG
biasanya didapatkan depresi segmen ST.
3. Angina pektoris tidak stabil
Nyeri bersifat lebih progresif, dengan frekuensi yang meningkat dan sering
terjadi pada saat istirahat. Pada pemeriksaan EKG, biasannya didapatkan
deviasi segmen ST.
4. Infark miokard akut
Sering didahului dada terasa tidak enak (chest discomfort). Nyeri dada seperti
tertekan, tercekik, teremas, berat, tajam, terasa panas berlangsung selama >30
menit. Bahkan sampai berjam-jam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada
pasien ketakutan, gelisah, tegang, denyut nadi menurun, dan pada hasil EKG
terdapat elevasi segmen ST.

4. Etiologi Penyakit Jantung Koroner


Menurut Majid (2017), penyakit jantung koroner disebabkan oleh proses
aterosklerosis yang merupakan kelainan degeneratif serta faktor penunjang lainnya
yang menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan miokardium dan
masukannya, sehingga bisa mengakibatkan iskemia dan anoksia yang ditimbulkan
oleh kelainan vascular dan kekurangan oksigen dalam darah. PJK terjadi karena
suplay darah ke otot jantung berkurang sebagai akibat tersumbatnya (obstruksi)
pembuluh darah arteri koronaria. Adapun faktor-faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner antara lain:
a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1) Diet tinggi lemak atau kolesterol. Lemak tidak dapat larut dalam air,
akan terikat dengan lipoprotein yang larut dalam air sehingga
memungkinkan untuk dapat diangkut dalam sistem peredaran darah.
Tiga elemen metabolism lemak antara lain kolesterol total, LDL, dan
HDL. LDL menyebabkan efek berbahaya pada dinding arteri dan dapat
mempercepat proses arteriosclerosis.
2) Hipertensi, dapat mempercepat timbulnya ateriosklerosis pada pembuluh
darah bertekanan tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya stroke.
Selain itu, peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload
(pasca pengisian) dan kebutuhan ventrikel. Akibatnnya, akan terjadi
peningkatan kebutuhan oksigen untuk miokardial untuk menghadapi
suplay yang berkurang. Pengaruh hipertensi dapat dimodifikasi melalui
kepatuhan terhadap regimen mesid untuk pengendalian sistolik dan
diastolic pembuluh darah.
3) Diabetes melitus, dapat mempercepat timbulnya ateriosklerosis dengan
menebalnya membrane basal pembuluh darah besar maupun pembuluh
darah kecil. Penderita DM memiliki kadar kolesterol dan trigliserida
plasma yang tinggi. Buruknya sirkulasi sebagian organ menyebabkan
hipoksia dan cedera jaringan, sehingga merangsang reaksi peradangan
yang berperan menimbulkan aterosklerosis. Hiperglikemia menyebabkan
agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
Hiperglikemia juga dapat menjadi penyebab kelainan metabolisme
lemak atau predisposisi terhadap degenerasi vascular yang berkaitan
dengan gangguan toleransi terhadap glukosa.
4) Merokok, merupakan faktor terbesar yang memicu terjadinya PJK.
Perokok umumnya mengalami penurunan kadar HDL (High Density
Lipoprotein) dan peningkatan kadar LDL (Low Density Lipoprotein),
sedangkan risiko terjadinya penebalan dinding pembuluh darah
meningkat. Nikotin akan menurunkan aliran darah ke ekstermitas, serta
meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan darah dengan menstimulasi
sistem saraf simpatis. Selain itu, nikotin juga meningkatkan
kemungkinan pembentukan bekuan darah dengan cara meningkatkan
agregasi trombosit. Karbon monoksida mengikat hemoglobin lebih cepat
dibandingkan oksigen sehingga menurunkan jumlah oksigen jaringan.
Keadaan ini juga dapat terjadi paa perokok pasif.
5) Obesitas atau berat badan belebih, berhubungan dengan beban kerja
jantung yang meningkat dan juga kebutuhan oksigen untuk jantung.
Obesitas berhubungan dengan intake kalori dan peningkatan kadar LDL.
6) Stress dan kurang gerak. Gerakan terbukti dapat memperbaiki efesiensi
jantung dengan mengurangi kecepatan jantung dan tekanan darah,
menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid protein, menurunkan
kadar glukosa darah, dan memperbaiki cardiac output.
b. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1) Usia. Biasa terjadi pada orang dengan usia 65 tahun atau lebih.
Peningkatan usia berkaitan dengan penambahan waktu yang digunakan
untuk proses pengendapan lemak pada dinding pembuluh nadi. Selain
itu, proses kerapuhan dinding pembuluh darah tersebut semakin panjang,
sehingga semakin tua usia maka semakin besar kemungkinan terserang
PJK.
2) Jenis kelamin. Pria memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita
PJK, sedangkan wanita rawan dengan PJK setelah masa menopause.
Peningkatan setelah menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen
dan peningkatan lipid dalam darah.
3) Riwayat keluarga (keturunan). Anak-anak dengan orang tua yang
memiliki riwayat penyakit jantung, lebih beresiko untuk terkena
penyakit jantung itu sendiri. Orang Afrika Amerika memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi daripada orang Kaukasian, dan memiiki resiko
lebih tinggi pada penyakit jantung. Resiko tinggi juga terdapat pada
orang Mexican Amerika, American India, native Hawaiians dan Asian
Amerika. Hal ini juga berhubungan dengan tingginya angka orang yang
obesitas dan diabetes.

5. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner


Kebutuhan oksigen yang melebihi kapsitas suplai oksigen oleh pembuluh
darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium
lokal. Iskemia yang bersifat sementaraakan menyebabkan perubahan reversible pada
tingkat sel dan jaringan, menekan fungsi miokardium. Berkurangnya kadar oksigen
mendorong miokardium untuk mengubah metabolism aerob menjadi metabolisme
anaerob. Metabolisme anaerob melalui jalur glikolitik jauh lebih tidak efisien
apabila dibandingkan dengan metabolisme aerob melalui fosforilasi oksidatif dan
siklus krebs. Pembentukan fosfat berenergi tinggi menurun cukup besar. Hasil akhir
metabolism anaerob (asam laktat) akan tertimbun sehingga menurunkan pH sel.
Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia, serta asidosis
dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Kekuatan kontraksi daerah
miokardium yang terserang berkurang, serabut-serabutnya memendek, dan daya
serta kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen yang mengalami
iskemia menjadi abnormal, bagian tersebut akan menonjol keluar setiap kali
ventrikel berkontraksi. Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung
menyebabkan perubahan hemodinamika. Perubahan hemodinamika bervariasi sesuai
dengan ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat respon refleks
kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat
mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume sekuncup (jumlah darah
yang dikeluarkan setiap kali berdenyut). Berkurangnya pengosongan ventrikel saat
sistol, akan memperbesar volume ventrikel. Akibatnya tekanan jantung kiri akan
meningkat, tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan dalam kapiler paru-
paru akan meningkat. Tekanan semakin meningkat oleh perubahan daya kembang
dinding jantung akibat iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat
peningkatan tekanan pada volume ventrikel tertentu.
Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang sering terjadi adalah
peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung sebelum timbul nyeri. Terlihat
jelas bahwa pola ini merupakan respons kompensasi simpatis terhadap berkurangnya
fungsi miokardium. Dengan timbulnya nyeri, sering terjadi perangsangan lebih
lanjut oleh katekolamin. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa
miokardium yang terserang iskemia cukup luas atau merupakan respon vagus.
Iskemia miokardium biasanya disertai oleh dua perubahan EKG akibat
elektrofisiologi sel, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Suatu varian
angina lainnya disebut juga angina prinzmental disebabkan oleh spasme arteria
koroner yang berkaitan dengan elevasi segmen ST. Serangan iskemia biasanya reda
dalam beberapa menit apabila ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen sudah diperbaiki. Perubahan metabolik,fungsional,hemodinamik dan
elektrokardigrafi yang terjadi semuanya bersifat reversible.
Angina pectoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium.
Umumnya, angina dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan miokardium
akan oksigen, seperti latihan fisik dan hilang dalam beberapa menit dengan istirahat
atau pemberian nitrogliserin. Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit, akan
menyebabkan kerusakan selular yang irreversible dan kematian otot atau nekrosis.
Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi
secara permanen. Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Infark
transmural mengenai seluruh tebal dinding yang bersangkutan, sedangkan infark
subendokardial terbatas pada separuh bagian dalam miokardium. Letak infark
berkaitan dengan penyakit pada daerah tertentu dalam sirkulasi koroner. Misalnya,
infark dinding anterior disebabkan oleh lesi pada ramus desendens anterior koronaria
sinistra.
Infark miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis kehilangan daya kontraksi, sedangkan otot yang iskemia di sekitarnya juga
mengalami gangguan daya kontraksi. Secara fungsional, infark miokardium akan
menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia; daya kontraksi menurun,
gerakan dinding abnormal, perubahan daya kembang dinding ventrikel, pengurangan
curah sekuncup, pengurangan fraksi ejeksi, peningkatan volume akhir sistolik dan
akhir diastolic ventrikel, dan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel akhir
(Majid, 2017).

Pathway
(Muttaqin, 2012)
6. Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Koroner
Menurut Kasron (2016), riwayat klinis yang dapat ditemukan pada pasien
dengan penyakit jantung koroner adalah sebagai berikut:
a. Nyeri dada tipikal (angina). Nyeri dada yang dirasakan seperti rasa ketat,
ditindih beban berat, diremas, ditekan, ataupun dipelintir. Biasanya nyeri
terasa pada daerah dada dan menjalar ke daerah lengan, rahang, leher, bahkan
terkadang sampai ke epigastrium. Gejala sensorik pada lengan (rasa baal,
rasa berat, dan hilangnya fungsi) sering didapatkan. Nyeri dapat berlangsung
cepat, kurang dari 5 menit, dan biasanya diprovokasi oleh aktivitas fisik,
emosi, makanan, ansietas, perubahan temperature sekitar, atau merokok.
Serangan ini dapat hilang dengan istirahat, penghilangan stimulus emosional,
atau dengan pemberian nitrat sublingual. Serangan yang lebih lama
menandakan adanya angina tidak stabil atau infark miokard yang
mengancam. Angina yang terjadi saat berbaring terjadi sebagai akibat
peningkatan aliran balik vena dan curah jantung, dan nyeri malam hari lebih
umum terjadi selama fase REM tidur atau berkaitan dengan mimpi.
b. Sesak napas, ansietas, dan berkeringat dapat terjadi bersamaan dengan nyeri
dada. Kadang, sesak napas tanpa nyeri dada dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit koroner berat atau berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri,
sebagai akibat peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan
penurunan transien komplians paru.
c. Gangguan kesadaran. Rasa pusing atau pre-sinkop yang berhubungan dengan
palpitasi dapat mengindikasikan adanya aritmia.
d. Tekanan darah tinggi dan takikardia. Denyut nadi sering normal pada pasien
dengan angina stabil. Selama serangan akut, takikardia atau aritmia transien
(AF, VT) dapat terjadi. Takikardia saat istirahat dapat mengindikasikan
disfungsi miokard iskemik berat sebagai akibat infark sebelumnya.
e. Adanya bunyi jantung S3 dan S4. Selama serangan angina, penurunan
komplians vemtrikel menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri dengan
S4 yang dapat terdengar. Ejeksi ventrikel yang memanjang dapat
menghasilkan pemisahan paradoksal (terbalik) bunyi jantung kedua (S2). S3
tidak sering didapatkan pada pasien dengan angina kecuali telah ada
kerusakan miokard sebelumnya.
7. Komplikasi Penyakit Jantung Koroner
Adapun beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
jantung koroner menurut Kasron (2016) adalah sebagai berikut:
a. Serangan jantung. Jika plak pecah, dan terbentuk bekuan darah, maka
pembuluh darah bisa tersumbat total, ini yang menyebabkan serangan
jantung. Berkurangnya aliran darah ke jantung, berefek pada kerusakan otot
jantung. Tingkat kerusakannya tergantung seberapa cepat kita mendapat
pengobatan.
b. Gagal jantung. Jika beberapa bagian jantung secara kronis kekurangan
oksigen dan nutrisi karena berkurangnya aliran darah, atau jantung pernah
mengalami kerusakan akibat serangan jantung, jantung menjadi terlalu lemah
untuk memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Kondisi ini disebut gagal jantung.
c. Aritmia. Suplai darah yang tidak memadai ke jantung atau kerusakan pada
jaringan jantung, dapat menganggu impuls listrik jantung anda, menyebabkan
ritme jantung abnormal.
d. Syok kardiogenik.

8. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Jantung Koroner


Pemeriksaan penunjang penyakit jantung koroner menurut Asikin (2016)
antara lain sebagai berikut:
a. Elektrokardiogram (EKG)
EKG mencatat ritme dan aktivitas listrik jantung. Meskipun EKG dapat
mendeteksi masalah dengan irama jantung, pembacaan abnormal tidak selalu
berarti ada sesuatu yang salah, juga bukan berarti jika pembacaan normal,
jantung baik-baik saja. Dalam beberapa kasus, akan mungkin memiliki EKG
latihan tes atau 'stress test'. Ini adalah ketika rekaman EKG diambil saat
berolahraga (biasanya pada treadmill atau olahraga sepeda). Jika mengalami
sakit saat berolahraga, tes dapat membantu mengidentifikasi apakah gejala
disebabkan oleh angina, yang biasanya disebabkan olehPJK.
b. Sinar X-ray
Dapat digunakan untuk melihat jantung, paru-paru dan dinding dada. Hal ini
dapat membantu menyingkirkan kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala
pasien.
c. Echocardiogram
Menghasilkan gambar jantung pasien menggunakan gelombang suara. Tes
ini dapat mengidentifikasi struktur, ketebalan dan pergerakan setiap katup
jantung dan dapat digunakan untuk membuat gambaran yang rinci dari
jantung. Selama ekokardiogram pasien akan diminta untuk melepaskan baju
dan perangkat genggam kecil, disebut transduser, akan melewati dada pasien.
Pelumas gel dimasukkan ke kulit pasien untuk memungkinkan transduser
untuk bergerak dengan lancar dan pastikan ada kontak terus-menerus antara
sensor dan kulit.
d. Tes darah
Peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida mengindikasikan adanya faktor
risiko untuk arteriosclerosis. Kadar kolesterol >180 mg/dL (pada orang
berusia >30 tahun) atau >120 mg/dL (pada orang berusia <30 tahun),
dianggap berisiko mengidap penyakit arteri koroner. Selain itu, pasien juga
harus melakukan tes darah untuk memantau aktivitas jantung. Ini mungkin
termasuk pemeriksaan enzim jantung, yang dapat menunjukkan apakah telah
terjadi kerusakanbaru ke otot jantung.
e. Angiografikoroner atau tes kateter jantung
Dapat mengidentifikasi apakah arteri koroner yang menyempit dan seberapa
parah penyumbatan berada. Hal ini juga memberikan informasi tentang
tekanan di dalam bilik jantung pasien dan seberapa baik hati pasien
berfungsi. Dalam angiogram, kateter (tabung fleksibel) dimasukkan ke dalam
arteri di pangkal paha atau lengan dan dipandu ke dalam arteri koroner
dengan menggunakan sinar-X. Sebuah zat kontras disuntikkan ke dalam
kateter arteri yang menyuplai darah ke jantung. Sejumlah gambar X-ray
diambil, yang akanmempelihatkan penyumbatan. Hal ini biasanya dilakukan
di bawah anestesi lokal. Setelah angiogram koroner, pasien mungkin
mengalami beberapa efek samping ringan seperti memar di pangkal paha
atau lengan.
f. Pengujian resonansi magnetik (MRI scan)
Digunakan untuk menghasilkan gambar detil dari jantung. Selama MRI scan,
pasien berbaring di dalam pemindai seperti terowongan yang memiliki
magnet di sekitar luar.
g. Computerised Tomography (CT scan)
Menggunakan sinar-X dan komputer untuk membuat rincian gambar dari
dalam tubuh. Selama CT scan, pasien berbaring di tempat tidur sementara
tabung kecil yang mengambil sinar-X bergerak dan berputar di sekitar tubuh
pasien.

9. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner


Menurut Asikin (2016), penatalaksanaan pada pasien penyakit jantung
koroner dapat dilakukan melalui non-farmakologi maupun farmakologi sebagai
berikut:
a. Non farmakologi
1) Kontrol tekanan darah
2) Manajemen kolesterol. Target kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (2,6
mmol/L) pada pasien PJKdan DM. Atau berdasarkan Framingham Risk
Score, pasien dengan IM atau penyakit jantung koroner yang beresiko
kematian dalam 10 tahun lebih dari 20%. Pedoman tersebut membagi
kadar trigeliserida normal <150 mg/dL (3,8 mmol/L) dan kadar
kolesterol HDL ≥40mg/dL (1mmol/L). Pada semua tingkat, perubahan
gaya hidup, termasuk diet dan olahraga, dan terapi obat-obatan
seharusnya dilakukan untuk menurunkan kadar kolesterol
LDL<100mg/dL (2,6 mmol/L).
3) Berhenti merokok. Merokok terbukti meningkatkan perkembangan dan
progresi PJK karena dapat merusak dinding sel endotel. Kombinasi
dukungan perilaku jangka panjang dan terapi farmakologis dengan
bupropion, dengan atau tanpa penggantian nikotin, sangat dianjurkan
pada semua pasien PJK.
4) Diet dan Weight Management. Pengurangan jumlah asupan kalori
sebanyak 500 kcal/hari atau lebih harus dijalankan oleh pasien dengan
berat badan tidak sehat sehingga mereka mencapai berat badan idea.
Modifikasi pola makan untuk menurunkan kadar kolesterol dan
trigliserida. Susunan makanan yang mengandung protein, kompleks
kabohidrat, asam lemak omega-3, sayur-sayuran, kacang, dan biji-bijian
serta pembatasan lemak jenuh dan kolesterol harus dijalankan oleh
semua pasien PJK.
5) Kontrol kadar gula darah, khususnya pada penderita Diabetes DM tipe 2
karena merupakan faktor resiko kuat terjadinya PJK dan dihubungkan
dengan peningkatan aterosklerosis. Penyakit jantung koroner terjadi pada
lebih dari 65% pada semua kematian pasien DM.
6) Exercise. Olahraga teratur terbukti dapat menurunkan angka kejadian
kardiovaskular dan penyebab kematian. Seluruh pasien dengan riwayat
PJK mengikuti program olahraga yang terancang baik sehingga
meningkatkan pembentukan pembuluh kolateral di sekitar bagian
pembuluh darah yang tersumbat dan dapat menurunkan jumlah lemak
dalam darah, serta meningkatkan HDL. Untuk pasien dengan angina
pektoris stabil kronik, baru mengalami IM, baru dilakukan pembedahan
by pass arteri koronaria, dan/atau disfungsi sistolik ventrikel kiri,
pengawasan olahraga dalam program rehabilitasi kardiovaskuler harus
dipertimbangkan.

b. Farmakologi
1) Obat anti platelet
a) Aspirin, secara ireversibel menghambat enzim cyclooxygenase yang
terlibat dalam pembentukan thromboxane, suatu faktor yang
memicu agregasi trombosit. Seluruh pasien dengan riwayat PJK dan
atau DM harus mendapat 75 mg sampai 325 mg setiap harinya. Efek
samping utama antara lain perdarahan, gejala-gejala gastrointestinal,
tinnitus dan memburuknya pendengaran, dan reaksi hipersensitivitas
termasuk bronkospasme, urtikaria, dan angioedema.
b) Klopidogrel, dapat mencegah aktivasi platelet dengan memblok
pengikatan adenosine diphosphate pada reseptornya dipermukaan
platelet. Klopidogrel harus digunakan sebagai pengganti aspirin
pada para pasien yang intoleran atau resisten terhadap efek aspirin.
Klopidogrel (75mg/hari) juga harus diberikan selain aspirin (75-325
mg/hari) selama setidaknya 8 sampai 12 bulan pada pasien dengan
sindroma koroner akut, terutama setelah menjalani percutaneous
coronary intervention (PCI). Efek samping utama termasuk rash dan
perdarahan gastrointestinal.
2) Obat Anti Koagulan
a) Warfarin, diindikasikan pada pasien fibrilasi atrial dan atau
thrombus ventrikel kiri, dan dipertimbangkan untuk menjadi terapi
utama pada beberapa pasien pasca IM akut. Efek samping utama
termasuk perdarahan sifatnya tergantung dosis dan mempunyai
potensi interaksi obat, terutama diantara obat-obatan yang
dimetabolisme oleh sitokrom hati CYP2C9 dan isoenzim CYP3A4.
b) Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEi), menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Terapi ini memblok
sistem rennin-angiotensin dan mencegah pemecahan bradikinin.
ACEI diindikasikan pada pasien PJK yang disertai gagal jantung,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, dan recent MI. Efek samping utama
termasuk insufisiensi ginjal, batuk, hyperkalemia.
c) Angiotensin Receptor Blockers (ARB), menghambat efek
angiotensin II pada tingkat reseptor dan diindikasikan pada pasien
nefropati diabetic, hipertensi, atau gagal jantung. Hanya boleh
digunakan sebagai terapi primer pada pasien yang intoleran terhadap
ACEI. Efek samping utama mirip dengan ACEI, kecuali untuk efek-
efek yang terkait dengan bradikinin (mis: batuk).
d) β-Blockers, menghambat efek katekolamin pada reseptor
adrenergik. Efek ini meliputi efek anti aritmik, anti angina, dan
simpatolitik dengan mengurangi stimulasi kronotropik dan
inotropik. Penyekat beta harus digunakan dalam pencegahan PJK
sekunder pada pasien dengan IM, gagal jantung, disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan hipertensi. Efek samping utama antara lain
eksaserbasi jangka pendek gejala-gejala gagal jantung, kelelahan
dan disfungsi seksual.
e) Penghambat HMG-CoA Reduktase (Statin), adalah golongan obat
yang sangat kuat dalam menurunkan kadar kolesterol LDL, dan juga
untuk meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan trigliserida.
Efek samping utama antara lain myalgia, peningkatan serum
aimnotransferase sesuai dosisnya, miopati, dan rabdomiolisis fatal.
f) Fibrat, mengaktifkan peroxisome profilator-activated receptors
(PPAR) untuk merangsang lipoprotein lipase, dan menghasilkan
kadar trigliserida yang lebih rendah dan kadar kolesterol HDL yang
lebih tinggi. Fibrat merupakan obat pilihan pertama yang cocok
pada pasien dengan hipertrigliseridemia (isolated). Terapi kombinasi
dengan statin dapat dipertimbankan pada pasien-pasien yang
beresiko tinggi dengan peningkatan kadar kolesterol LDL dan juga
kadar kolesterol HDL rendah atau kadar trigliserida yang tinggi.
Efek samping utama adalah miopati, yang meningkat seiring dengan
penggunaan statin.
g) Asam nikotinat Asam nikotinat (niasin), meningkatkan kadar
kolesterol HDL dan menghambat produksi kolesterol VLDL dan
LDL didalam hati. Niasin dapat digunakan pada terapi kombinasi
dengan statin pada pengobatan hiperlipidemia pasien-pasien dengan
kadar kolesterol HDL yang normal atau rendah. Efek samping
utama antara lin muka menjadi merah, pruritus, parastesia, nausea,
hepatotoksisitas, hiperglikemia dari resistensi insulin, hiperurikemia,
hipotensi, dan peningkaan kadar serum homosistein.

B. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


1. Definisi Coronary Artery Bypass Graft
CABG adalah procedur untuk melakukan pencangkokan pembuluh darah
dari pembulih darah yang mengalami sumbatan untuk selanjutnya diambilkan dari
pembuluh darah bagian lain untuk kemudian ditanam melewati arteri yang
tersumbat. Pembedahan CABG mengitari arteri koronaria yang mengalami oklusi
dengan menggunakan segmen vena safena, arteri radialis atau arteri mamaria interna
untuk memulihkan aliran darah ke jantung (Riza Fikriana, 2018).
CABG merupakan pembedahan bypass koroner seperti yang direncanakan,
terapi yang konsisten untuk pasien dengan aterosklerosis koroner yang
didokumentasikan secara angioraphically. konsep dasar di balik pembedahan bypass
adalah bahwa gejala dan peristiwa klinis penyakit arteri koroner terkait dengan lesi
koroner stenotik yang dapat diidentifikasi dengan angiografi, dan apabila lesi
tersebut dilakukan bypass maka akan mengurangi penyebab dan tanda klinis yang
muncul (Hurst et al, 2011).
CABG adalah operasi jantung untuk revaskularisasi aliran arteri koroner
dengan pembuluh pintas baru yaitu arteri atau vena yang diambil dari kaki, lengan
dan dada pasien, pembuluh darah tersebut disambungkan ke pembuluh darah yang
mengalami sumbatan sehingga aliran darah kembali normal dan miokard kembali
mendapat suplai oksigen yang adekuat (Smeltzer & Bare, 2010).

2. Tujuan CABG
Menurut Muttaqin (2012), CABG mempunyai beberapa tujuan antara lain
sebagai berikut:
a. Revaskularisasi aliran arteri coronerakibat adanya penyempitan atau
sumbatan ke otot jantung
b. Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri coroner
c. Mencegah terjadinya iskemia yang luas
d. Meningkatkan kualitas hidup
e. Meningkatkan toleransi aktifitas
f. Memperpanjang masa hidup.
Adapun menurut Wahyuni (2013), tujuan CABG adalah untuk menurunkan
anhka kematian akibat gangguan jantung dan meningkatkan kualitas hidup klien.
Selain itu CABG juga ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi serangan
angina sehingga klien dapat bekerja kembali sesuai kemampuan, mendapatkan
ketenangan hidup, melakkukan aktivitas seksual dan berada dalam mood yang baik.

3. Indikasi CABG
Menurut Muttaqin (2012), pasien penyakit jantung koroner yang dianjurkan
untukbedah CABG adalah pasien yang hasil kateterisasi jantung ditemukan adanya:
a. Penyempitan >50% dari left main disease atau left mainquivelant yaitu
penyempitan menyerupai left main arteri misalnya ada penyempitan bagian
proximal dari arteri anterior desenden dan arteri circumflex.
b. Penderita dengan three vessel disease yaitu tiga arteri koroner semuanya
mengalami penyempitan bermakna yang fungsi jantung mulai menurun
(EF<50%).
c. Penderita yang gagal dilakukan balonisasi dan stent.
d. Penyempitan 1 atau 2 pembuluh namun pernah mengalami gagal jantung.
e. Anatomi pembuluh darah yang sesuai untuk CABG.
4. Kontraindikasi CABG
Menurut Muttaqin (2012), kontraindikasi CABG secara mutlak tidak ada,
tetapi secara relatif CABG dikontraindikasikan bila terdapat berbagai faktor yang
akan memperberat atau meningkatkan resiko selama dan sesudah bedah seperti :
a. Faktor usiayang sudah sangat tua. ( >75 tahun menurut WHO)
b. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat diabetes
mellitus dan EF yang sangat rendah <50%. Pada pasien dengan EF yang
kurang dari 50% ini operasi akan dilakukan dengan teknik On Pump.
c. Sklerosis aorta yang berat.
d. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin untuk disambung.

5. Teknik Bedah CABG


Muttaqin (2012) mengatakan bahwa terdapat 2 teknik yang digunakan pada
bedah CABG yaitu on pump dan off pump. Masing-masing teknik memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing, yaitu:
a. Teknik Bedah On Pump
Teknik bedah on pump prosedur dijalankan menggunakan alat mekanis
mesin jantung paru. Mesin jantung paru memungkinkan lapangan bedah
yang bebas darah sementara perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan
dan organ lain di tubuh. Pintasan jantung paru dilakukan dengan memasang
kanula di atrium kanan dan vena kava untuk menampung darah dari tubuh.
Kanula kemudian di hubungkan dengan tabung yang berisi cairan kristaloid
isotonik. Darah vena yang diambil dari tubuh disaring, dioksigenasi, di jaga
temperaturnya kemudian dikembalikan ketubuh. Kanulasi yang
mengembalikan darah ke tubuh dimasukkan ke aorta ascenden. Selanjutnya
untuk membuat jantung arrest diberikan cairan cardioplegia yang formulanya
tinggi kalium, mengandung dekstrose, buffer pH, hiperosmolalitas,
dananastesilokal. Rute pemberiannya bisa melalui root aorta (antegrade) dan
melalui sinus coronaries (retrograde) serta melalui keduanya.
b. Teknik Bedah Off Pump
Pada teknik bedah off pump tidak menggunakan mesin jantung paru sehingga
jantung tetap berdetak secara normal dan paru-paru berfungsi secara biasa
saat bedah dilakukan. Adapun kriteria pasien Off Pump:
1) Pasien yang direncanakan bedah elektif.
2) Hemodinamik stabil.
3) EF dalam batas normal (lebih dari 60%)
4) Fungsi LV baik.
5) Pembuluh darah distal cukup besar.
6) Usia tua disertai penyakit komorbid seperti penyakit Arteri karotis,
aterosklerosis aorta, disfungsi ginjal atau paru.
7) Mempunyai komplikasi dengan mesin Cardio Pulmonary Bypass (CPB).
8) 1-2 vessel disease di anterior.

Tetapi bedah dengan teknik Off Pump memiliki kontraindikasi absolut


diantaranya:
1) Hemodinamik tidak stabil
2) Buruknya kualitas target pembuluh darah termasuk pembuluh darah intra
myocard
3) Penyakit pembuluh darah yang menyebar/difus
4) Pembuluh darah yang mengalami kalsifikasi/penebalan.
Adapun kontraindikasi relatif teknik Off Pump yaitu:
1) LVEF <35%
2) Cardiomegali/CHF
3) LM kritis
4) Recent/Current MCI
5) Cardiogenic syock
Muttaqin (2012) juga menyebutkan beberapa keuntungan dari teknik Off
Pump adalah:
1) Meminimalkan efek trauma bedah.
2) Pemulihan/mobilisasi lebih dini.
3) Drainase darah pascabedah minimal.
4) Tersedia akses sternotomi untuk rebedah.
5) Menurunkan morbiditas dirumah sakit (termasuk insiden infeksi dada,
pemakaian inotropik, kejadian SVT, transfusi darah, lama rawat ICU)
6) Penelitian : pelepasan CKMB dan trop I lebih rendah kejadian stroke
lebih rendah.
Pada teknik bedah operasi CABG On Pump dan Off pump ini ada 3
pembuluh darah yang sering digunakan sebagai bypass, yaitu :
a. Arteri mamaria interna :arteri mamaria interna biasanya berasal dari dinding
bawah arteri subklavia, melewati bagian atas pleura dan tepat lateral terhadap
sternum. Penggunaan arteri mamaria interna dengan ujung proksimal masih
dihubungkan ke arteri sub klavia, arteri mamaria interna kiri lebih panjang
dan lebih besar sehingga sering di gunakan sebagai bypass arteri coroner.
Arteri mamaria interna sering digunakan karena memiliki kepatenan
pembuluh darah yang baik. Studi menunjukkan bahwa sekitar 96% kasus
CABG yang menggunakan arteri mamaria interna dapat bertahan lebih dari
10 tahun. Arteri mamaria interna sering di gunakan untuk bypass arteri Left
anterior ascenden. Hal ini disebabkan karena jarak/lokasi Left Interna
Mamaria Arteri (LIMA) dan LAD berdekatan serta berada pada sisi yang
sama.
b. Arteri radialis: Arteri ini melengkung melintasi sisi radialis tulang Carpalia
dibawah tendon Musculus Abductor Pollicis Longus dan tendo Musculus
extensor Pollicis Longus dan Brevis. Arteri radialis di insisi lebih kurang 2
cm dari siku dan berakhir satu inchi dari pergelangan tangan. Biasanya
sebelum dilakukan pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui kepatenan
arteri ulnaris jika arteri radialis diambil. Pada pasien yang menggunakanarteri
radialis harus mendapatkan terapi Ca Antagonis selama 6 bulan setelah bedah
menjaga agar arteri radialis tetap terbuka lebar
c. Vena Savena: Ada dua vena savena yang terdapat pada tungkai bawah yaitu
vena savena magna dan parva. Namun yang sering dipakai sebagai saluran
baru pada CABG adalah vena savena magna. Arif Muttaqin (2012)
mengatakan bahwa Vena savena sering digunakan pada CABG karena
diameter ukurannya mendekati arteri koroner.
6. Prosedur CABG
Adapun beberapa persiapan sebelum pelaksanaan operasi CABG menurut….
yaitu:
(Referral/bh/Procedures/Pages/CardiothoracicSurgeryPackages.aspxj. Diakses
pada 24 Februari 2019)
a. Persiapan pasien
1) Informed concern
2) Obat – obatan pra operasi : aspirin, nitrogliserin, nifedipin, diltiazem
3) Pemeriksaan laborat lengkap terutama : Hb, Hematokrit, jumlah leukosit,
kadar elektrolit, faal hemotasis, foto thorak, EGC, serta tes fungsi paru –
paru ( vital capacity )
4) Persiapan darah 6 – 10 bag sesuai golongan darah pasien
5) Puasa m alam10 – 2 jam
6) Cukur area pembedahan
7) Lepaskan perhiasan, kontak lensa, mata palsu, gigi palsu ( identifikasi
dan simpan yang aman atau berikan keluarganya ).
8) Cek benda – benda asing dalam mulut.
b. Persiapan alat dan bahan penunjang operasi
1) Bahan habis pakai (spuit, masker, jarum, benang, dll)
2) Alat penunjang kamar operasi
3) Linen set ( 3 set )
4) Instrument dasar (1 set dasar bedah jantung dewasa )
5) Instrumen tambahan ( 1 set tambahan bedah jantung )
6) Intrumen AV graft ( 1 set )
7) Instrument mikrocoroner ( 1 set )
8) Instrument kateter (1 set ).

7. Komplikasi CABG
Menurut Smeltzer and Bare (2010), komplikasi yang mungkin timbul post
CABG adalah:
a. Penurunan curah jantung yang disebabkan oleh:
1) Perubahan beban awal akibat terlalu sedikit atau terlalu banyaknya
cairan yang kembali kejantung karena hypovolemia, perdarahan
persisiten, atau kelebihan cairan,
2) Perubahan beban akhir akibat hipertensi, konsktriksi atau dilatasi arteri
karena pengaruh suhu tubuh yang diatur hipotermia atau karena
pemberian vasoconstrictor dan vasodilator,
3) Perubahan denyut jantung (tachycardia, bradycardia, dysritmia) dapat
tejadi karena perubahan beban awal dan beban akhir,
4) Perubahan kontraktilitas terjadi karena gagal jantung dan infark otot
jantung.
b. Disfungsi paru-paru (atelektasis, pneumonia, edema pulmonal dan
hematotorak), terjadi akibat kerusakan pertukaran gas karena
ketidakadekuatan suplai oksigen selama tindakan CABG.
c. Disfungsi neurogenik, terjadi akibat kerusakan sel otak akibat kekurangan
suplai oksigen ke otak. Penurunan aliran darah ke otak akan sangat
mempengaruhi metabolisme sel otak karena otak tidak mampu menyimpan
oksigen dan sangat tergantung dari suplai oksigen yang disampaikan jantung.
Dalam kondisi penurunan fungsinya tentunya jantung tidak mampu
memenuhi kebutuhan oksigen sebagaimana mestinya.
d. Gagal ginjal akut, biasanya akan mengalami perbaikan dalam 3 bulan atau
dapat menjadi kronik sehingga memerlukan tindakan dialisa. Gagal ginjal
disebabkan oleh hipoperfusi ginjal dan kerusakan tubulus akibat dari
kekurangan oksigen jaringan. Gagal ginjal biasanya berkaitan dengan
ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hiperkalemia, hipo/ hipermagnesia,
hipernatremia, hipo/hiperkalsemia).
e. Infeksi, tindakan operasi dan anestesi akan mempengaruhi sistem imun klien.
Alat-alat invasif yang digunakan untuk mengembalikan dan menyokong
kondisi klien merupakan sumber infeksi bagi klien.
f. Hepatic Failure, terjadi sebagai efek samping dari gagal jantung. Banyak
faktor yang mempengaruhi angka kejadian komplikasi dan mortaliti pada
pasien post CABG, diantaranya adalah usia lebih dari 70 tahun, penurunan
fungsi otot jantung, obstruksi pada cabang utama arteri koroner, DM,
penyakit paru kronik, gagal ginjal kronik. Faktor-faktor ini mempengaruhi
proses revaskularisasi pada CABG dan proses penyembuhan luka insisi.
Untuk mengurangi resiko komplikasi, pasien dianjurkan untuk memeriksakan
diri secara teratur dan mengikuti program rehabilitasi jantung.
C. Asuhan Keperawatan Pasien Post CABG
1. Pengkajian Keperawatan
Menurut Smelzer and Bare (2010), pengkajian yang dilakukan sebagai berikut:
a. Pengkajian Pra Operasi
1) Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, pendidikan, diagnose medis,
tanggal dan jam MRS, tanggal dan jam pengkajian.
2) Keluhan utama
Nyeri dada yang khas, sesak nafas, palpitasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh nyeri dada yang khas, sesak nafas, palpitasi.
4) Riwayat penyakit dahulu
Kaji riwayat DM karena DM memicu aterosklerosis, menghambat
penyembuhan luka dan predisposisi infeksi. Hipertensi dan obesitas
meningkatkan beban kerja jantung. Obesitas meningkatkan resiko infeksi
karena jaringan adiposa mengandung sedikit vaskularisasi.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit yang pernah diderita keluarga seperti DM, hipertensi,
penyakit jantung koroner.
6) Riwayat psikologis
Pasien yang akan dilakukan CABG dapat mengalami kecemasan sampai
ketakutan akan kematian.
7) Perawatan pre-operasi
a) Status psikologi: cemas
b) Status klinik: nyeri dada, nitrogliserin SL/ transdermal
c) Pemberian antibiotic profilaksis: mencegah infeksi
d) Tanda-tanda vital: tekanan darah bilateral, nadi, suhu, RR
e) Observasi adanya shivering : menggigil (Shivering) dapat
meningkatkan pelepasan katekolamin, jaga pasien tetap hangat dengan
memberi selimut
f) Thorak foto: dapat memberikan informasi mengenai ruang jantung,
aorta torakal, pembuluh darah pulmonal. Pada pasien dengan
kalsifikasi aorta asendens yang luas maka dihindari penggunaan klem
pembuluh darah aorta atau cardiopulmonary bypass.
g) Ekokardiografi: untuk evaluasi fungsi ventrikel sebelum dan segera
setelah operasi, untuk mengetahui adanya tumor, thrombus atau udara
yang masih ada di rongga atrium atau ventrikel setelah intervensi bedah
jantung.
h) Kateterisasi jantung: untuk mengetahui lokasi dan luasnya arteri yang
menyempit/tersumbat.
i) Laboratorium: DL, profil koagulan, Faal Homeostasis, Renal Fungsi
Tes, Liver Fungsi Tes.
j) Edukasi: melatih batuk efektif dan nafas dalam.

b. Pengkajian dan perawatan intra operasi


1) Posisi : supin
2) Pengkajian: monitoring EKG, tanda –tanda vital, menyiapkan defibrillator.
Jika jantung fibrilasi dan tidak dapat diresusitasi maka segera dilakukan
pijatan langsung pada jantung.
3) Insisi : median sternotomy. Kulit diinsisi dari sternal notch sampai ke linea
albadibawah prosesus xipoidius.
4) Pemilihan saluran (conduit): arteri mamaria interna, vena saphena, arteri
radialis, arteri gastroepiploik, arteri epigastrik inferior.
5) Pintasan jantung paru : pada pendekatan ini kanula dimasukkan melalui
atrium kanan ke vena kava superior dan inferior untuk mengalirkan darah
dari tubuh ke system pintasan. System pompa menciptakan vakum,menarik
darah ke reservoir vena; darah dibersihkan dari gelembung udara, bekuan
darah dan partikulatnya dengan filter. Darah kemudian dialirkan ke
oksigenator, melepaskan karbondioksida dan mendapat oksigen. Darah
ditarik ke pompa dan kemudian didorong ke penukar panas, dimana
temperaturnya diatur, dan kemudian dikembalikan ke tubuh melalui aorta
asendens.
6) Peran perawat: membantu prosedur operasi, menjaga keamanan dan
kenyaman pasien. Ruang lingkup intervensi diantaranya mengatur posisi,
perawatan kulit, dukungan emosional pada pasien dan keluarga.
7) Komplikasi intraoperatif yang mungkin terjadi: aritmia, perdarahan, infark
miokard, cedera pembuluh darah otak, emboli, syok.
c. Pengkajian dan perawatan post operasi
1) Status neurologi: tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap
cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
2) Status jantung: frekuensi dan irama jantung, CVP, curah jantung, tekanan
arteri paru, PAWP, saturasi oksigen arteri paru, drainase rongga dada, status
serta fungsi pacu jantung.
3) Status respirasi: gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi,
volume tidal, konsentrasi oksigen, mode)
4) Status pembuluh darah perifer:denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku,
mukosa, bibir dan cuping telinga, suhu, edema, kondisi balutan dan pipa
invasive.
5) Fungsi ginjal: haluaran urine, berat jenis urin dan osmolaritas
6) Status cairan dan elektrolit: intake dan output, nilai laboratorium untuk
kalium, natrium, calcium
7) Nyeri: sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesic. Pasien yang
menjalani CABG dengan arteri mamaria interna dapat mengalami parestesis
sementara atau menetap nervus ulnarispada sisi yang sama dengan graf
yang diambil. Pasien yang menjalani CABG dengan arteri gastroepiploik
juga dapat mengalami ileus selama beberapa waktu dan akan mengalami
nyeri abdomen pada tempat insisi selain nyeri dada.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang akan muncul pada klien dengan post CABG menurut
Wilkinson and Ahern (2011), antara lain:
a. Resiko/aktual Penurunan curah jantung berhubungan dengan; kehilangan
darah dan gangguan miokardium, gangguan preload (hipovolemia), gangguan
konduksi (aritmia).
b. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan status
kesehatan, kurang pengetahuan terhadap tindakan CABG
c. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan kongesti paru
d. Nyeri berhubungan dengan luka insisi
e. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry kuman
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan pada CABG menurut Doengoes (2015) sebagai berikut:
a. Resiko/aktual penurunan curah jantung berhubungan dengan; kehilangan darah
dan gangguan miokardium, gangguan preload (hipovolemia), gangguan
konsuksi (aritmia)
Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam curah jantung meningkat.
Kriteria hasil:
Hemodinamik stabil (tekanan darah dalam batas normal (TDS 100-130, TDD
60-90), asupan dan haluaran sesuai, nadi normal (60-100x/menit) tidak ada
disritmia), produksi urine 0,5-1 cc/kgBB/jam, CRT < 2 detik, suhu normal (36-
370C), RR normal (12-20 X/menit), drainase dada melalui selang pada 4-6 jam
pertama < 300 cc.
Intervensi:
1) Catat dan pantau HR, tensinya dan RR terutama adanya hipotensi
penurunan. Rasonal : hipotensi dapat terjadi akibat kekurangan cairan,
distrimia, gagal jantung/syok.
2) Pantau irama jantung, disritmia. Observasi respon pasien terhadap disritmia
contoh penurunan tekanan darah.
Rasional: letal disritmia dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
3) Catat suhu kulit dan kualitas nadi perifer.
Rasional: kulit hangat, merah muda dan nadi kuat adalah indikasi curah
jantung adekuat.
4) Ukur dan catat asupan dan haluaran cairan
Rasional: berguna dalam menentukan kebutuhan cairan atau
mengidentifikasi kelebihan cairan yang dapat mempengaruhi curah
jantung.
5) Observasi adanya infark miokard melalui pemeriksaan EKG berkala
Rasional: gejala bisa tertutup oleh tingkat kesadaran pasien dan obat anti
nyeri.
6) Observasi perdarahan, drainase darah terus-menerus, CVP rendah,
takikardia.
Rasional: perdaraha dapat terjadi akibat insisi jantung, trauma
jaringan,gangguan pembekuan.
7) Observasi adanya gagal jantung: hipotensi, peningkatan PAWP, CVP dan
tekanan atrium kiri, takikardia, gelisah, sianosis, distensi vena, dipsnea,
asites. Persiapkan pemberian diuretik dan digitalis.
Rasional: gagal jantung yang terjadi akibat penurunan aksi pompa jantung;
dapat menurunkan perfusi ke organ vital.

b. Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan status


kesehatan, kurang pengetahuan terhadap tindakan CABG.
Tujuan:
Setelah 2 x 24 jam dirawat, ansietas berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
Gelisah hilang atau berkurang, tidak kooperatif, ,mengungkapkan perasaannya
pada perawat tentang tindakan yang mempengaruhinya, dan menytakan cemas
berkurang/hilang.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda dan ekspresi verbal dari kecemasan.
Rasional: cemas dapat merangsang respon simpatik dengan melepaskan
katekolamin, sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan jantung akan
oksigen.
2) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan dan
kecemasannya.
Rasional: mengungkapkan perasaan dapat mengurangi ansietas dan dapat
membuat klien lebih tenang.
3) Jelaskan kepada klien tentang prosedur tindakan CABG (pengertian,
manfaat, indikasi, persiapan, prosedur, efek samping dan resiko yang timbul
apabila tidak dilakukan CABG)
Rasional: pengetahuan yang adekuat dapat mengurangi kecemasan.
4) Berikan posisi yang nyaman, lingkungan yang tenang bagi klien,
Rasional: situasi yang tenang dapat mengurangi kecemasan klien.
5) Observasi TD, nadi, RR
Rasional: peningkatan nadi dapat menjadi indikasi adanya kecemasan.
6) Beri kesempatan orang terdekat untuk mendampingi klien
Rasional: keluarga dapat membantu klien untuk mengungkapkan perasaan
cemas.
c. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan kongesti paru
Tujuan:
Dalam waktu 1x 24 jam setelah intervensi diberikan, gangguan pertukaran gas
tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Klien melaporkan tidak adanya/ penurunan dipsnea, klien menunjukkan tidak
ada distress nafas, RR = 12-20 x/menit, nilai GDA dalam rentang normal (pH:
7,35-7,45; pO2: 5-100%; PaCO2: 35-45 mmHg).
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat bunyi nafas (ronki)
Rasional: ronki dapat menjadi indikasi kongesti paru.
2) Kolaborasi pemebrian oksigen
Rasional: meningkatkan oksigen alveoli yang dapat memperbaiki atau
menurunkan hipoksemia jaringan.
3) Pantau hasil analisa gas darah, oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
4) Berikan obat sesuai indikasi: diuretik, brokodilator
Rasional: menurunkan kongesti alveoli dan meningkatkan pertukaran gas,
bronkodilator meningkatkan aliran oksigen dengan mendilatasi jalan nafas.
5) Kolaborasi pemilihan pemberian cairan.
Rasional: cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru.

d. Nyeri berhubungan dengan luka insisi.


Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi 3 x 24 jam nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
Skala nyeri 0-3, klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang, klien dapat
rileks dan istirahat dengan tenang. Tanda vital stabil.
Intervensi:
1) Catat sifat, jenis, lokasi, dan durasi nyeri.
Rasional: nyeri dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan beban kerja
jantung.
2) Bantu pasien membedakan nyeri bedah dan nyeri angina
Rasional: nyeri angina memerlukan penanganan segera.
3) Berikan posisi nyaman dan ajarkan tehnik relaksasi
Rasional: posisi memberikan rasa nyaman.
4) Pantau TTV
Rasional: HR dapat meningkat sebagai respon dari nyeri.
5) Kolaborasi pemberian analgesik
Rasional: menurunkan nyeri, menurukan ketegangan otot dan
meningkatkan penyembuhan.

e. Resiko infeksi berhubungan dengan port de entry kuman.


Tujuan: Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: luka operasi tidak berbau, tidak ada pus.
Intervensi:
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
Rasional: mencegah infeksi silang
2) Kaji daerah sekitar luka operasi, observasi adanya pus, bau.
Rasional: gejala dini infeksi diketahui
3) Pantau suhu tubuh, nadi.
Rasional: hipertermi dan takikardia dapat menjadi tanda infeksi
4) Kolaborasi antibiotic.
Rasional: membunuh bakteri/kuman.
5) Beri nutrisi yang adekuat
Rasional: membantu meningkatkan imunitas.
BAB III
TINJAUAN KASUS

Pada bab ini penulis akan menguraikan pelaksanaan “Asuhan Keperawatan Tn. B
yang dengan penyakit jantung koroner post Coronary Artery Bypass Graft (CABG) hari
pertama” di Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo. Asuhan
keperawatan dilakukan selama lima hari mulai tanggal 19 sampai 22 Februari 2019 yang
disusun berdasarkan tahapan proses keperawatan meliputi Pengkajian Keperawatan,
Perumusan Masalah Keperawatan, Perencanaan Keperawatan, Pelaksanaan Keperawatan,
Evaluasi Keperawatan.

A. Pengkajian Keperawatan
Nama Tn. B jenis kelamin laki-laki, usia 56 tahun, Agama Katolik, status sudah
menikah, pekerjaan pegawai showroom mobil, alamat Taman Sari Jakarta Barat,
berdasarkan pemeriksaan tenaga kesehatan klien di diagnosa medis STEMI, CAD-3VD
LMD post CABG POD I, AKI. Klien dirawat di ruang Intermediate Ward Pelayanan
Jantung Terpadu RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan nomor registrasi 437-29-31.
Klien masuk ke ruang Intermadiate Ward pada 18 Februari 2019 setelah dilakukan
tindakan Coronary Artery Bypass Graft 5 Graft with left internal mammaria artery dan
Cardiopulmonary bypass.
Pada tanggal 19 Februari 2019 jam 16.00 WIB kelompok melakukan pengkajian
pada klien dan didapatkan data yaitu klien mengatakan pernah masuk IGD RS Royal
Taruma pada 25 tahun yang lalu yang disebabkan karena hipertensi dan mengonsumsi
obat antihipertensi amlodipine 10 mg dan ascardia 160 mg. Klien mengatakan masuk
RSCM karena mendapat rujukan dari RS Royal Taruma karena mengeluhkan nyeri dada
hebat seperti terhimpit beban yang sangat berat dan sesak napas seperti akan mati. Klien
tidak memiliki alergi pada makanan, obat, dan lingkungan. Klien juga mengatakan tidak
memiliki riwayat operasi sebelumnya. Kedua orang tua klien memiliki riwayat
hipertensi.
Pengkajian saat ini, klien mengatakan nyeri pada luka operasi CABG, dan
mengatakan takut untuk batuk karena semakin bertambah nyeri. Nyeri terasa seperti
tertusuk jarum. Nyeri pada luka post operasi CABG pada dada tengah (mid sternum) dan
kaki kanan dan kaki kiri. Klien mengatakan nyeri pada skala 3, saat mencoba menahan
batuk klien tampak menyerngitkan dahi dan memegang dadanya. Klien mendapat obat
morphin 5mcg/jam. Nyeri yang dirasakan hilang timbul dengan durasi nyeri 10 detik.
Klien mengatakan tidak nafsu makan. Selama dirawat di rumah sakit mendapat
makan 3x/hari, klien mengatakan dahulu memiliki kebiasaan merokok 1.5 /hari. Klien
mengeluh belum BAB semenjak selesai operasi.
Pernapasan klien saat dikaji frekuensi 24 x/menit, resonance pada semua lapang
paru dan dullness atau pekak pada dada kiri ICS 3sampai mid klavikula (lokasi jantung),
suara napas ronchi pada apeks paru kiri dan kanan dan vesikuler pada bagian anterior
medial hingga basal paru. Tekanan darah klien 111/63 mmHg, nadi 66 x/menit, nadi
teraba lemah, mukosa bibir pucat,capillary refill 3 detik, bunyi jantung S1 dan 2 normal,
JVP 5 + 2.4 cmH2O, terpasang CVP pada midklavikula ics 1 sinistra dengan tinggi 9
cmH2O.
Indeks Masa Tubuh klien mencapai 26.44 kg/m2 (ket:berat badan lebih) dengan
tinggi badan 165 cm dan berat badan 72 kg. Sedangkan berat badan ideal klien minimal
58.5 kg dan maksimal 71 kg. Auskultasi abdomen menurun pada Right Lower Quadrant.
Produksi urin klien oliguri, frekuensi sebelum sakit 5-6 x/hari sejumlah 1500-
2000 cc, post operasi klien terpasang DC sehingga frekuensi berkemih sulit dikaji,
sehingga kelompok hanya mampu menyajikan data pembuangan urin per 2 jam sejumlah
1175 cc, berwarna kuning. Kekuatan otot 5555 ⎸5555
4444 ⎸4444

Klien memiliki luka post op CABG pada mid sternal sepanjang 15cm, Saat
terbalut dengan kassa, tidak terdapat rembesan cairan dan darah. Terdapat luka post
5431
CABG pada kedua kaki kanan dan kiri dengan panjang luka pada kaki kanan 25cm dan
‫ ׀‬5555
kaki kiri sepanjang 35cm, terbalut perban elastis dan tidak terdapat rembesan darah dan
pus pada balutan.
Kelompok mengkaji balance cairan klien dengan menghitung intake dan output
klienseama 24 jam. Input klien didapatkan dari minum air mineral 1.230 ml, intravena
NaCl maintenance 500 ml, intravena dopamine 24 ml, intrravena morphine 12 ml, maka
total input selama 24 jam adalah 1.766 ml. Sedangkan output terdiri dari urine sebanyak
1.175 ml, draine 220 ml, maka total output selama 24 jam adalah 1.395 ml. Balance
cairan yang didapat yaitu +371 ml.
Data penunjang post operasi dari laboratorium yang diperoleh tanggal 19 Februari
2019 pukul 03:48:40 WIB hasil AGD yaitu pH 7,482 ↑, pO2 29,9 mmHg ↓, HCO3 22.4
mmol/L, total CO2 22.6 mmol/L, saturasi O2 98.9%, Base Excess 23,5 mmol/L, BE-ecf -
1.1 mmol/L, BE-b 0.3 mmol/L dengan kesan alkalosis respiratorik tidak terkompensasi.
Red blood cell (RBC) 3.08 juta/L ↓, hemoglobin 10.0 g/dl, hematokrit 26.9 % ↓, white
blood cell 11.02 ribu/L, kalsium 8.8 mg/dl, potassium 4.5 mEq/L. Kreatinin serum 2.30
,g/dl, blod urea nitrogen 18 mg/dl, sodium 139 mEq/, chloride 108.4 mEq/l, natrium 139
mEq/l, kalium 4.5 mEq/l, magnesium 2.68 mg/dl. Hasil EKG (19/02/19) yaitu irama
normal sinus ritem, inferior infark ditandai dengan Q patologis pada II, III dan avF,
anterolateral infark (V4-V6). Hasil thorax 10 Februari 2019 kardiomegali dengan
gambaran edema paru intersisial. Riwayat hasil echocardiography tanggal 11 februari
2019 penurunan fungsi sistolik left ventrikel (LV), disfungsi diastolik left ventrikel (LV)
grade III dan trombus di apeks LV, ejection fraction (EF) hanya 36%.
Klien mendapatkan Diit Jantung 1700 kkal per oral, berupa nasi tim DJ 1500
kkal. Klien juga mendapat terapi obat cepazolin 3x1gr IV (07, 15, 23), laxadine 3x15 ml
PO (06,12,18), ranitidine 2x50 mg IV (07,19), paracetamol 3x1gr PO (06, 12, 18),
alprazolam 1x0.5 mg PO (20), allopurinol 1x100 mg IV (18), sucralfat 3x15 ml PO (06,
12, 18), furosemid 2x20 mg (bila urin 0.5 ml/kg/jam), ascardia 1x160 mg PO (20),
Plavix 1x75 mg PO (20), concor 1x2.5 mg PO (18), atorvastatin 1x40 mg PO (20).

B. Diagnosa Keperawatan
Dari hasil diskusi kelompok menentukan terdapat 6 diagnosa yang muncul yaitu
penurunan curah jantung, bersihan jalan napas tidak efektif, nyeri akut, resiko perfusi
renal tidak efektif, resiko infeksi, resiko jatuh. Namun dalam makalah ini kelompok
hanya menyajikan 3 diagnosa keperawatan utama. Diagnosa keperawatan pertama yang
muncul post operasi CABG pada Tn.B penurunan curah jantung dibuktikan dengan
perubahan afterload dibuktikan dengan adanya data subjectif yaitu dispneu dan data
objectif yaitu tekanan darah klien 111/63mmHg nadi 66x/menit, klien tampak pucat,
konjungtiva anemis, nadi perifer teraba lemah, CRT 3 detik, jumlah urin keluar sedikit
(oliguri), EKG menunjukkan irama normal sinus ritem, inferior infark ditandai dengan Q
patologis pada II, III dan avF, anterolateral infark (V4-V6) EF 36% dan mendapat terapi
medis Ascardia 1 x 160mg (PO), Plavix 1 x 75mg (PO), Concor 1 x 2,5mg (PO),
Allopurinol 1 x 100mg (PO), Atamytatin 1 x 40mg (PO), Dopamin 3mcg 0,3ml/jam (IV;
syringepump), Furosemid 2 x 20mg (PO), Lasix ekstra 1 x 20mg (IV).
Diagnosa keperawatan kedua bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan adanya benda asing pada jalan napas dan sekresi tertahan dibuktikan dengan data
subjectif yaitu klien mengatakan sesak napas, klien mengatakan takut batuk untuk
mengeluarkan dahak karena nyeri pada luka post operasi CABG, dan data objectif yaitu
batuk (+), terdapat sekret berwarna putih, RR 24x/menit, klien tidur dengan posisi
semifowler dengan 1 bantal, ronkhi (+) pada apeks paru kiri dan kanan , tampak tidak
mampu batuk, terpasang oksigen 3L/menit, terapi inhalasi Nacl 3 x 2ml dan mendapat
terapi fisioterapi dada.
Diagnosa keperawatan ketiga nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera
fisik prosedur operasi; post operasi CABG dibuktikan dengan data subjectif yaitu Klien
mengatakan nyeri pada luka operasi, klien mengatakan takut untuk batuk karena nyeri
akan bertambah, nyeri dengan skala 3 dan nyeri terasa seperti tertusuk jarum, nyeri
hilang timbul dengan durasi nyeri saat timbul 10 detik. Data objectif yaitu tanda vital
klien; TD: 111/63 mmHg ND: 66x/menit RR 24x/menit suhu 36,6°C, terdapat luka post
operasi CABG pada mid sternum dengan panjang luka 15 cm, kaki kanan 25cm dan kaki
kiri 35cm, saat menahan batuk, klien tampak menyerngitkan dahi dan memegang dada
nya, penatalaksanaan medis:Paracetamol 3 x 1gr (PO), Morphin 7mcg 0,5ml/jam (IV:
syringe pump).

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Pertama : Penurunan Curah Jantung. Tujuan : Klien menunjukkan
resiko penurunan curah jantung tidak menjadi aktual setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 4 x 24 jam dengan kriteria hasil : Tekanan darah dalam rentang
normal (100-120)/(70-80)mmHg, nadi dalam rentang normal (60-100)x/menit, nadi
perifer teraba kuat, tidak ada keluhan nyeri dada, gambaran EKG normal, tidak ada
keluhan palpitasi dan lelah, CRT klien <3detik, tidak pucat dan sianosis, output urin
klien sesuai dengan indeks massa tubuh, tidak terdengar suara jantung S3 dan S4, tidak
ada distensi JVP, CVC dalam rentang normal (5-10)cmH2O. Intervensi Keperawatan :
Mandiri : Ukur tanda tanda vital klien per 2 jam , kaji adanya keluhan nyeri dada, sesak
napas,dan jantung berdebar pada klien, lakukan pemeriksaan EKG, kaji CRT klien, dan
adanya sianosis/pucat pada klien, ukur JVP klien, ukur CVP klien, kaji adanya edema
atau penumpukan cairan pada klien, kaji suara jantung klien, catat adanya suara jantung
S3 dan S4, kaji intake dan output klien. Edukasi : Anjurkan klien untuk
mempertahankan tirah baring dan latihan mobilisasi secara berkala, ajarkan klien teknik
relaksasi napas dalam dan manajemen stress, edukasi klien tentang diit jantung.
Kolaborsi : Kolaborasi dengan tim dokter terhadap pemberian terapi obat jantung sesuai
dengan indikasi dan intruksi, Ascardia 1 x 160mg (PO), Plavix 1 x 75mg (PO), Concor 1
x 2,5mg (PO), Allopurinol 1 x 100mg (PO), Atamytatin 1 x 40mg (PO), Dopamin 3mcg
0,3ml/jam (IV; syringepump), Furosemid 2 x 20mg (PO), Lasix ekstra 1 x 20mg (IV),
kolaborasi dengan ahli gizi terhadap pemberian program terapi diit jantung 1700kkal.
Diagnosa Kedua : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif. Tujuan : Klien
menunjukkan jalan napas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24jam dengan kriteria hasil : Klien mampu batuk mengeluarkan secret, RR dalam
rentan normal (16-20)x/menit, suara nafas tambahan ronkhi tidak ada, pola nafas klien
normal. Intervensi Keperatawan : Mandiri : Kaji pola napas, frekuensi, kedalaman
pernapasan klien dan saturasi oksigen, kaji adanya suara napas tambahan dan adanya
penggunaan otot bantu napas, kaji kemampuan klien untuk batuk efektif , kaji
karakteristik sputum klien; warna, jumlah, bau, berikan klien posisi semi-fowler/fowler,
ukur tanda-tanda vital klien, Edukasi : Ajarkan klien teknik batuk efektif untuk
mempermudah dalam mengeluarkan sputum, Kolaborasi : Kolaborasi dengan ahli
fisioterapi terhadap kebutuhan klien untuk terapi, kolaborasi dengan tim dokter terhadap
pemberian terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan klien; 3L/menit, kolaborasi dengan
tim dokter terhadap pemberian terapi inhalasi sesuai dengan intruksi dan program terapi;
inhalasi Nacl 3 x 2ml.
Diagnosa Ketiga : Nyeri akut. Tujuan : Klien menunjukkan nyeri akut yang
dirasakan berkurang atau tidak ada setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24jam dengan kriteria hasil : Skala nyeri berkurang 1 sampai 2, klien menunjukkan
ekspresi wajah rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas sesuai batas toleransi,
menunjukkan penggunaan keterampilan managemen nyeri (Tehnik nafas dalam) secara
terapeutik untuk situasi individual. Intervensi Keperawatan : Mandiri : Ukur tanda
tanda vital klien, kaji nyeri klien dengan menggunakan PQRST, berikan klien posisi
nyaman untuk meningkatkan kenyamanan. Edukasi : Ajarkan program management
nyeri (Tehnik relaksasi nafas dalam). Kolaborasi : Kolaborasi dengan tim dokter
terhadap pemberian terapi obat analgetik sesuai dengan intruksi dan program terapi :
Paracetamol 3 x 1gr (PO) (06, 12, 18), Morphin 7mcg (IV: syring pump) 0,5ml/jam.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini, kelompok akan menguraikan pembahasan mengenai asuhan


keperawatan yang telah dilakukan selama 4 hari, mulai dari tanggal 19 sampai dengan
tanggal 22 Februari 2019 di ruang rawat inap PJT lt 5 RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Pembahasan ini bertujuan untuk menganalisa kesenjangan yang mungkin ditemukan antara
teori dengan kasus. Kelompok melakukan analisa terhadap lima komponen metodelogi
asuhan keperawatan, yakni pada tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, implementasi, dan evaluasi.

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dan berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tujuan untuk mengumpulkan
informasi adalah membuat data dasar sebagai dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Potter dan Perry, 2007). Pengkajian
yang dilakukan oleh kelompok meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan 6 pola kebutuhan dasar
manusia serta pemeriksaan fisik head to toe terhadap 11 sistem tubuh.
CABG adalah suatu tindakan revaskularisasi atau prosedur untuk meningkatkan
sirkulasi darah ke arteri koroner dengan cara melakukan pencangkokan pada pembuluh
darah yang mengalami penyempitan dan penyumbatan dengan mengambil pembuluh
darah dari bagian lain untuk kemudian ditanam melewati pembuluh darah arteri yang
tersumbat. Pembedahan CABG mengitari arteri koronaria yang mengalami oklusi dengan
menggunakan segmen vena safena, arteri radialis, atau arteri mamaria interna untuk
memulihkan aliran darah ke jantung (Fikriana, 2018). Adapun indikasi pasien yang
dilakukan tindakan CABG menurut Muttaqin (2012) antara lain pada pasien dengan hasil
kateterisasi jantung ditemukan adanya; penyempitan >50% dari left main (LM) disease
atau left mainquivelant yaitu penyempitan menyerupai left main arteri misalnya ada
penyempitan bagian proximal dari arteri anterior desenden dan arteri circumflex,
penderita dengan three vessel disease (3VD) yaitu tiga arteri koroner semuanya
mengalami penyempitan bermakna yang fungsi jantung mulai menurun (EF<50%),
penderita yang gagal dilakukan balonisasi dan stent, penyempitan 1 atau 2 pembuluh
namun pernah mengalami gagal jantung, anatomi pembuluh darah yang sesuai untuk
CABG. Beberapa indikasi ini pun muncul pada klien kelolaan kami dengan diagnosa
medis STEMI Anterior Ekstensif dan CAD 3VD + LM disease, dibuktikan dengan hasil
echo yang dilakukan klien pada tanggal 11 Februari 2019 yaitu adanya penurunan fungsi
sistolik left ventrikel (LV), disfungsi diastolik left ventrikel (LV) grade III dan trombus di
apeks LV, ejection fraction (EF) hanya 36%. Pemeriksaan diagnostik lain yang
dilakukan pada klien adalah Corangiography (CAG) yang dilakukan pada tanggal 10
Februari 2019 dan didapatkan hasil yaitu adanya stenosis pada LM sebesar 70% di distal,
stenosis difus 70-90% proksimal mid pada LAD (left artery desendence), oklusi total di
medial LCX dan stenosis difus 70-80% di obtuse marginal (OM) 2, pada RCA terdapat
stenosis 70% di osteal dan 70% di proksimal serta oklusi total di bagian mid dengan
bridging collateral dan stenosis difus 70-80% distal ke PL dan PDA. Berdasarkan hasil
pemeriksaan diagnostik Corangiography yang dilakukan klien dengan diagnosa medis
CAD 3VD dengan LM disease, yaitu penyempitan pembuluh darah yang terjadi pada
klien kelolaan kami lebih dari 3 pembuluh darah, sehingga klien tidak dilakukan
tindakan PCI karena sumbatan yang terjadi terlalu banyak.
Berdasarkan teori Muttaqin (2012), komplikasi yang sering muncul pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan CABG antara lain; penurunan curah jantung,
disfungsi paru-paru (atelektasis, pneumonia, edema pulmonal dan hematotorak), terjadi
akibat kerusakan pertukaran gas karena ketidakadekuatan suplai oksigen selama tindakan
CABG, disfungsi neurogenik, gagal ginjal akut, infeksi dan hepatic failure. Komplikasi
yang muncul pada klien kelolaan kelompok kami antara lain adalah penurunan curah
jantung yang dibuktikan dengan terganggunya fungsi afterload ditandai dengan tekanan
darah klien hanya 111/63 mmHg dengan topangan obat inotrop dopamin 3mcg, nadi
66x/menit teraba lemah, RR 24x/menit dan suhu 36,6°C. CRT 3 detik, klien tampak
pucat, mukosa bibir kering dan konjungtiva anemis disertai dengan urin yang keluar
hanya sedikit yaitu 0,4/kg BB/jam. Komplikasi yang muncul lainnya setelah pembedahan
yaitu acute kidney injury (AKI) atau biasa disebut dengan gagal ginjal akut yang
dibuktikan dengan adanya penurunan eGFR 30,6 ml/min/1.73m2 dan kreatinin
meningkat 2,30mg/dl.
Pengkajian fisik yang umumnya dilakukan pada pasien post operasi CABG
menurut Smeltzer dan Bare (2010), yaitu pemeriksaan fisik mulai dari; (1) status
neurologi menilai tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex,
gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan pada klien untuk melihat apakah
terdapat gangguan pada neuro, (2) status jantung dengan menilai frekuensi dan irama
jantung, CVP, curah jantung, tekanan arteri paru, saturasi oksigen arteri paru, drainase
rongga dada, status serta fungsi pacu jantung, (3) status respirasi untuk menilai gerakan
dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode),
(4) status pembuluh darah perifer seperti denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku,
mukosa, bibir dan cuping telinga, suhu, edema, kondisi balutan dan pipa invasive, (5)
fungsi ginjal seperti haluaran urine, berat jenis urin dan osmolaritas, (6) status cairan dan
elektrolit seperti intake dan output, nilai laboratorium untuk kalium, natrium, calcium,
(7) status nyeri klien seperti sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesic. Pasien
yang menjalani CABG dengan arteri mamaria interna dapat mengalami parestesis
sementara atau menetap nervus ulnaris pada sisi yang sama dengan graf yang diambil.
Pasien yang menjalani CABG dengan arteri gastroepiploik juga dapat mengalami ileus
selama beberapa waktu dan akan mengalami nyeri abdomen pada tempat insisi selain
nyeri dada. Adapun data abnormal yang kami temukan pada pasien kelolaan kami adalah
keluhan nyeri pada bagian dada dan juga kedua tungkai kaki post operasi CABG. Klien
mengatakan nyeri skala 3 dengan topangan morfin 7mcg, klien mengatakan takut batuk
karena akan menambah nyeri pada area dada, terkadang terasa kesemutan pada bagian
luka operasi di kaki yang dibalut dengan elastis perban. Selain itu, data abnormal yang
kelompok temukan pada status jantung antara lain adanya penurunan tekanan darah pada
klien yaitu 111/63mmHg dengan topangan obat inotropik dopamin 3mcg, nadi teraba
lemah dengan frekuensi 66x/menit, terdapat pengeluaran produksi cairan pada draine
yang terpasang pasang klien dalam sehari mencapai 220ml. Pada status vaskular perifer
ditemukan data abnormal seperti CRT klien 3 detik, nadi perifer 66x/menit dan teraba
lemah, klien tampak pucat, konjungtiva anemis dan mukosa bibir tampak kering dan
pucat. Pada fungsi ginjal ditemukan data abnormal pada haluaran urin harian klien yang
kurang dari indeks masa tubuh yaitu hanya 0,4/kg BB/jam yang tercatat dalam catatan
output klien dalam 24jam hanya mencapai 820ml. Selain itu, juga ditemukan adanya
penurunan nilai eGFR klien yang hanya mencapai eGFR 30,6 ml/min/1.73m2 dan
peningkatan kreatinin menjadi 2,30mg/dl. Data abnormal pada pemeriksaan laboratorium
elektrolit antara lain adanya peningkatan magnesium sebesar 2,68mg/dl dan klorida
108,4mEq/L.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah peryataan yang menguraikan respon aktual atau
potensial klien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan potensial klien
didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literature ynag berkaitan, dan catatan
medis (Potter dan Perry, 2007). Dalam penyusunan diagnosa keperawatan, kelompok
mengacu pada rumusan diagnosa menurut Wilkinson dan Ahen (2013) dalam buku saku
diagnosis keperawatan edisi 9 diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan post operasi CABG
menurut Wilkinson dan Ahen (2013), yaitu:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi miokardium
(preload, afterload, kontraktilitas)
2. Pola nafas inefektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma pembedahan dada
ekstensif
4. Risiko keseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan gangguan
volume darah
5. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan iritasi pleura akibat selang dada
6. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka insisi pembedahan port de entry.

Mengacu kepada SDKI tahun 2016, pada kasus ini kami mengangkat beberapa
diagnosa yang berkaitan dengan post CABG yaitu antara lain:
1. Penurunan curah jantung
Menurut buku PPNI (2016), risiko penurunan curah jantung adalah
berisiko mengalami pemompaan jantung yang tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh yang didapatkan berdasarkan pengkajian pada
klien berupa adanya tekanan darah klien 111/63mmHg nadi 66x/menit, klien
tampak pucat, konjungtiva anemis, nadi perifer teraba lemah, CRT 3 detik,
jumlah urin keluar sedikit (oliguri), EKG menunjukkan irama normal sinus ritem,
inferior infark ditandai dengan Q patologis pada II, III dan avF, anterolateral
infark (V4-V6) dan mendapat terapi medis Ascardia 1 x 160mg (PO), Plavix 1 x
75mg (PO), Concor 1 x 2,5mg (PO), Allopurinol 1 x 100mg (PO), Atamytatin 1 x
40mg (PO), Dopamin 3mcg 0,3ml/jam (IV; syringpump), Furosemid 2 x 20mg
(PO), Lasix ekstra 1 x 20mg (IV).
2. Bersihan jalan napas tidak efektif
Menurut buku PPNI (2016), bersihan jalan napas tidak efektif adalah
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten yang didapatkan berdasarkan
pengkajian pada klien berupa klien mengatakan sesak napas, klien mengatakan
takut batuk untuk mengeluarkan dahak karena nyeri pada luka post operasi
CABG, batuk +, terdapat sekret berwarna putih, RR 24x/menit, klien tidur
dengan posisi semifowler dengan 1 bantal, ronkhi + pada apeks paru kiri dan
kanan , tampak tidak mampu batuk, terpasang oksigen 3L/menit, terapi inhalasi
Nacl 3 x 2ml dan mendapat terapi fisioterapi dada.
3. Nyeri akut
Menurut PPNI (2016), nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan. Diagnosa ini muncul karena pada saat
pengkajian, penulis mendapatkan data-data yang menunjang untuk ditegakkannya
diagnosa nyeri akut yaitu klien mengatakan nyeri pada luka operasi, klien
mengatakan takut untuk batuk karena nyeri akan bertambah, nyeri dengan skala 3
dan nyeri terasa seperti tertusuk jarum, nyeri hilang timbul dengan durasi nyeri
saat timbul 10 detik. Tanda vital klien; TD: 111/63 mmHg ND: 66x/menit RR
24x/menit suhu 36,6°C, terdapat luka post operasi CABG pada mid sternum
dengan panjang luka 15 cm, kaki kanan 25cm dan kaki kiri 35cm, saat menahan
batuk, klien tampak menyerngitkan dahi dan memegang dada nya,
penatalaksanaan medis:Paracetamol 3 x 1gr (PO), Morphin 7mcg 0,5ml/jam (IV:
syring pump).
4. Risiko perfusi renal tidak efektif
Menurut buku PPNI (2016), risiko perfusi renal tidak efektif adalah berisiko
mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal dari hasil pengkajian kepada klien
berupa TD: 111/63 mmHg ND: 66x/menit RR 24x/menit suhu 36,6°C, urine klien
dalam satu hari 780 ml ( < 0,5ml/kg BB/jam) , warna urine kuning agak pekat
seperti teh, hasil laboratorium (19/02/19); Natrium 139 mEq/l, Kalium 4.5 mEq/l,
Clorida 110,8 mmol/l, Kalsium 8.8 mg/dl, Magnesium 2,68 mg/dl ↑, BUN
18mg/dl, Hematokrit 26,9 % ↓, Ureum 55.0 mg/dl, Kreatinin 2,30 mg/dl, eGFR
30,6 ml/min/1.27 m2 ↓
5. Risiko infeksi
Menurut buku PPNI (2016), risiko infeksi adalah berisiko mengalami
peningkatan terserang organisme patogenik. Diagnosa ini muncul karena pada
saat pengkajian, penulis mendapatkan data-data yang menunjang untuk
ditegakkannya diagnosa risiko infeksi yaitu klien mengatakan terkadang kakinya
terasa gatal dan seperti kesemutan terutama pada area luka operasi yang dibalut
dengan elastis perban, tanda vital klien; TD: 111/63 mmHg ND: 66x/mnt RR:
24x/menit suhu: 36,6°C, terdapat luka post operasi CABG pada mid sternum
dengan panjang 15cm, pada kaki kanan 25cm dan kaki kiri 35cm, luka tampak
bersih dan baik, warna luka merah, dengan jahitan rapih dan tidak ada darah
maupun cairan yang keluar dari sela sela jahitan, tidak ada rembesan darah
maupun pus pada balutan perban luka, klien terpasang CVC pada midklavikula
ICS 1 sinistra, klien terpasang DC kateter , klien terpasang 3 drain pada thoraks,
yaitu pada ICS 8 posterior sinistra terpasang WSD, ICS 10 terpasang drain
perikaldial dalam dan dibawah PX terpasang mini drain, pemeriksaan
diagnostik(19/02/19) lab hematologi: leukosit 11.02 ribu/l (H), penatalaksanaan
medis:Cefazolin 3 x 1gr (IV).
6. Risiko jatuh
Risiko jatuh adalah berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan
kesehatan akibat terjatuh didapatkan berdasarkan hasil pengkajian pada klien
berupa klien post OP CABG POD 1, tanda vital klien; TD: 111/63mmHg
ND:66x/mnt RR: 24x/menit,klien terpasang infus yang terhubung dengan CVC,
skala morse: 35 (resiko jatuh sedang), ADL klien mayoritas dibantu dengan
keluarga dan orang lain.

Dari diagnosa keperawatan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa diagnosa
keperawatan yang muncul pada teori tetapi tidak ada pada kasus yaitu pola nafas tidak
efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi. Pada diagnosa tersebut tidak
ditemukan gejala mayor berupa dispneu, penggunaan otot bantu pernapasan, fase
ekspirasi memanjang, dan pola napas abnormal pada klien. Selanjutnya kelompok juga
tidak mengangkat diagnosa gangguan pertukaran gas, karena hasil AGD klien tidak
menunjukkan adanya abnormalitas, tidak ada takikardi, dan bunyi napas tambahan.
Sedangkan untuk risiko ketidakseimbangan volume dan cairan, setelah dikaji klien tidak
menunjukkan adanya tanda dan gejala penurunan/peningkatan cairan di intravaskuker
dan intertitial.

C. Rencana Keperawatan
Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Tahap
pertama dilakukannya perencanaan adalah penentuan prioritas masalah, perumusan tujuan
keperawatan dengan kriteria hasil yang ditargetkan atau diharapkan, dan terakhir
penetapan rencana keperawatan yang akan dilakukan (Potter & Perry, 2007).
Penentuan prioritas diagnosa keperawatan dibutuhkan untuk mempertimbangkan
masalah apa yang perlu diatasi pertama kali atau segera. Terdapat beberapa pendapat
urutan prioritas yaitu, berdasarkan tingkat kegawatan ancaman jiwa dan kecacatan
(Urgent emergent), berdasarkan hierarki maslow, dan kemungkinan keberhasilan (Potter
& Perry, 2007). Pada kasus ini, kami menyusun prioritas masalah yang berhubungan
dengan klien post CABG dengan urutan sebagai berikut :
1. Penurunan curah jantung
2. Bersihan jalan napas tidak efektif
3. Nyeri akut
4. Resiko perfusi renal tidak efektif
5. Risiko infeksi
6. Resiko jatuh
Alasan kami mengangkat diagnosa penurunan curah jantung menjadi diagnosa yang
pertama, karena dalam Perry and Potter (2007) masalah keperawatan pertama kali yang
harus segera di atasi adalah masalah yang berdasarkan tingkat kegawatan dapat
menyebabkan ancaman nyawa (kematian) dan dapat menyebabkan kecacatan. Ketika
masalah penurunan curah jantung tidak segera diatas, maka dapat menyebabkan masalah
yang lebih serius pada klien, mengingat tekanan darah sistolik klien mencapai 110mmHg
dengan bantuan topangan obat inotropik dopamin 0,3 mcg. Kedua, kami mengambil
masalah bersihan jalan napas tidak efektif menjadi penegakan untuk diagnosa kedua
berdasarkan teori kebutuhan maslow. Bersihan jalan napas tidak efektif merupakan
bagian masalah dari oksigenasi yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Selanjutnya untuk masalah nyeri akut. Nyeri akut termasuk lingkup kedua setelah
kebutuhan fisiologis yang harus diprioritaskan untuk menjadi diagnosa. Kebutuhan
psikologis klien ditegakkan setelah mendahulukan kebutuhan fisiologis klien. Masalah
terakhir yang kami ambil adalah risiko infeksi dan resiko jatuh. Risiko jatuh kami ambil
sebagai prioritas terakhir karena risiko jatuh masuk dalam kategori kebutuhan proteksi
lingkungan klien.
Tujuan dari perencanaan adalah suatu sasaran yang menggambarkan perubahan
yang diinginkan pada setiap kondisi atau perilaku klien dengan criteria hasil yang
diharapkan perawat. Pedoman penulisan berdasarkan SMART (Specific, Measurable,
Achieveble, Reasonable, dan Time). Specific adalah berfokus pada klien. Measurable
dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakan, dan dicium. Achievable adalah tujuan yang harus
dicapai. Reasonable merupakan tujuan yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Time adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan
waktunya (Dermawan, 2012).
Diagnosa penurunan curah jantung : Beberapa intervensi yang kelompok
rencanakan untuk mengatasi penurunan curah jantung adalah ukur tanda tanda vital klien
per 2 jam (rasional: menilai keadaan umum klien, takikardia dan tekanan darah yang
rendah dapat terjadi sebagai respon terhadap penurunan curah jantung), kaji adanya
keluhan nyeri dada, sesak napas, dan jantung berdebar pada klien (rasional: curah
jantung rendah dapat menurunkan perfusi miokard, sehingga menyebabkan nyeri dada,
sesak napas, dan jantung berdebar), lakukan pemeriksaan EKG (rasional: mengetahui
adanya disritmia jantung yang dapat terjadi akibat perfusi, asidosis, atau hipoksia
rendah), kaji CRT klien dan adanya sianosis/pucat pada klien (rasional: CRT diatas
nilai normal dan adanya sianosis/pucat menandakan adanya penurunan curah jantung
sehingga alirah darah ke perifer tidak lancar), ukur JVP klien (rasional: JVP yang
meningkat adalah tanda klasik gagal jantung kanan), ukur CVP klien (rasional: CVP
memberikan informasi tentang pengisian tekanan pada sisi kanan jantung), kaji adanya
edema atau penumpukan cairan pada klien (rasional: edema merupakan salah satu gejala
gagal jantung akibat penurunan cardiac output), kaji suara jantung klien dan catat adanya
suara jantung S3 dan S4 (rasional: S3 mengindikasikan pengurangan ejeksi ventrikel
kiri dan merupakan tanda kelas kegagalan ventrikel kiri. S4 terjadi dengan penurunan
ventrikel kiri yang mengganggu pengisian diastolik), kaji intake dan output klien
(rasional: mengetahui keseimbangan cairan klien), anjurkan klien untuk
mempertahankan tirah baring dan latihan mobilisasi secara berkala (rasional: tirah
baring guna menurunkan stress dan ketegangan yang dapat mempengaruhi tekanan darah
dan mobilisasi guna meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh serta menghindari
tekanan), ajarkan klien teknik relaksasi napas dalam dan manajemen stress (rasional:
dengan melakukan latihan nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi maksimal dan
oksigenasi sehingga klien dapat merasa lebih rileks), edukasi klien tentang diit jantung
(rasional: membantu klien dalam pemulihan dan sebagai penunjang atas pengobatan
jantung yang dilakukan klien), kolaborasi dengan tim dokter terhadap pemberian terapi
obat jantung sesuai dengan indikasi dan intruksi; Ascardia 1 x160mg (PO), Plavix 1 x
75mg (PO), Concor 1 x 2,5mg (PO), Allopurinol 1 x 100mg (PO), Atorvastatin 1 x 40mg
(PO), Dopamine 3mcg 0,3ml/jam (IV; syringpump), Furosemide 2 x 20mg (PO), Lasix
ekstra 1 x 20mg (IV) (rasional: pemberian obat Ascardia sebagai pengencer darah,
Plavix sebagai antiplatelet agar aliran darah tetap lancar, Concor sebagai obat golongan
beta bloker guna mengatasi kondisi hipertensi dan gangguan irama jantung, Allopurinol
dapat mencegah peningkatan kadar asam urat, Atorvastatin dapat menurunkan kolesterol
dan lemak jahat seperti LDL dan triglyceride, Dopamine dapat meningkatkan kekuatan
pompa jantung dan aliran darah ke ginjal, Furosemide dan Lasix dapat mengurangi
cairan berlebih dalam tubuh), kolaborasi dengan ahli gizi terhadap pemberian program
terapi diit jantung 1700kkal (rasional: diit jantung sebagai penunjang atas pengobatan
jantung yang dilakukan klien).
Diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif: Beberapa intervensi yang
kelompok rencanakan untuk mengatasi masalah bersihan jalan napas tidak efektif adalah
kaji pola napas, frekuensi, kedalaman napas, dan saturasi oksigen klien (rasional:
mengetahui tingkat gangguan yang terjadi dan membantu dalam menentukan intervensi
selanjutnya), kaji adanya suara napas tambahan dan penggunaan otot bantu napas
(rasional: bunyi napas tambahan seperti ronchi dan wheezing menandakan adanya
penumpukan sekret berlebih di jalan napas), kaji kemampuan klien untuk batuk efektif
dan ajarkan klien melakukan teknik batuk efektif (rasional: mempermudah dalam
mengeluarkan sekret yang terdapat di jalan napas), kaji karakteristik sputum klien;
warna, jumlah, dan bau (rasional: karakteristik sputum dapat menunjukkan berat
ringannya obstruksi), berikan klien posisi semi-fowler/fowler (rasional: memaksimalkan
ekspansi paru dan menurunkan upaya pernapasan), ukur tanda-tanda vital klien
(rasional: mengetahui perkembangan kondisi dan menilai keadaan umum klien),
kolaborasi dengan ahli fisioterapi terhadap kebutuhan klien untuk terapi (rasional:
fisioterapi dada dapat membantu menggerakan sekret yang ada pada jalan napas),
kolaborasi dengan tim dokter terhadap pemberian terapi oksigen sesuai dengan
kebutuhan klien; 3L/menit (rasional: meringakan kerja paru dalam memenuhi kebutuhan
oksigen yang diperlukan oleh tubuh), kolaborasi dengan tim dokter terhadap pemberian
terapi inhalasi sesuai dengan intruksi dan program terapi; inhalasi NaCl 3x2ml (rasional:
inhalasi NaCl membantu mengencerkan sekret yang tertahan pada jalan napas agar
mudah dikeluarkan).
Diagnosa nyeri akut: Beberapa intervensi yang kelompok rencanakan untuk
mengatasi masalah nyeri akut adalah ukur tanda tanda vital klien (rasional: perubahan
TTV mengindikasikan adanya perubahan pada status kesehatan klien), kaji nyeri klien
dengan menggunakan PQRST (rasional: respon nyeri bersifat individual sehingga
sangat diperlukan untuk menentukan intervensi selanjutnya dan memberikan tindakan
yang tepat sesuai dengan manajemen nyeri), berikan klien posisi nyaman (rasional:
meningkatkan kenyamanan klien), ajarkan program managemen nyeri teknik relaksasi
nafas dalam (rasional: dengan melakukan latihan nafas dalam dapat meningkatkan
ventilasi maksimal dan oksigenasi sehingga klien dapat merasa lebih rileks), kolaborasi
dengan tim dokter terhadap pemberian terapi obat analgetik sesuai dengan intruksi dan
program terapi; paracetamol 3 x 1gr (PO) (06, 12, 18) dan morphin 7mcg (IV: syring
pump) 0,5ml/jam (rasional: pemberian analgetik dapat membantu mengurangi nyeri
yang dirasakan klien).

D. Implementasi Keperawatan
Impelementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari intervensi antara lain,
mempertahankan daya tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem
tubuh, menatap hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan kolaborasi
(Setiadi, 2012).
Setelah kami melaksanakan beberapa intervensi yang dibuat, faktor pendukung
dari keberhasilan kami menjalankan rencana adalah respon keluarga yang sangat
kooperatif, klien mampu mengikuti dan memahami semua arahan yang kami berikan.
Namun, adapula hambatan yang kami peroleh, seperti keterbatasan waktu dan
peningkatan beban kerja.
Karena keterbatasan waktu dan beban kerja yang besar di ruangan tersebut, maka
ada beberapa intervensi yang tidak dapat kami lakukan. Intervensi yang tidak dapat kami
lakukan pada masalah penurunan curah jantung yaitu kolaborasi dengan dokter terhadap
pemeriksaan diagnostik Echo pada klien. Pemeriksaan Echo post CABG dilakukan pada
tanggal 25 Februari 2019, yang pada saat itu kelompok telah pindah ruangan dan selesai
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien Tn. B.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian melalui upaya dalam membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan (Nikmatur dan Walid, 2012).

BAB V
PENUTUP

B. Kesimpulan
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau Coronary Artery Disease (CAD)
merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena kurangnya suplay
darah pada otot miokard akibat adanya penyempitan arteri koroner dan penyumbatan
pembuluh darah jantung (AHA, 2015). Sedangkan CABG adalah operasi jantung untuk
revaskularisasi aliran arteri koroner dengan pembuluh pintas baru yaitu arteri atau vena
yang diambil dari kaki, lengan dan dada pasien, pembuluh darah tersebut disambungkan
ke pembuluh darah yang mengalami sumbatan sehingga aliran darah kembali normal dan
miokard kembali mendapat suplai oksigen yang adekuat (Smeltzer & Bare, 2010).
Komplikasi operasi CABG yang paling utama adalah penurunan curah jantung.
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. B dengan Post CABG ec CAD, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Melakukan pengkajian pada Tn. B terkait dengan Post CABG ec CAD. Dalam
melakukan pengkajian terhadap Tn. B, kelompok tidak mengalami kesulitan atau
hambatan dalam melakukan komunikasi dengan pasien bahkan anak dan istri
pasien juga ikut membantu untuk menjawab beberapa pertanyaan. Selain itu
kelompuk juga tidak hanya melakukan wawancara pada klien saja, tetapi juga
pada perawat yang merawat klien sejak klien masuk ruang rawat lantai 5 PJT
selain itu kelompok juga melakukan pemeriksaan fisik dan pemantauan hasil
laboratorium klien. Dari hasil pengkajian tersebut diperoleh data utama dimana
terdapat keluhan nyeri skala 3 pada luka bekas operasinya, serta adanya produksi
darah pada drainase yang terpasang di abdomen regio iliac kiri.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. B. Dari hasil pengkajian yang
dilakukan oleh kelompok, kelompok menetapkan 5 diagnosa keperawatan yaitu
bersihan jalan nafas tidak efektik, nyeri akut, resiko infeksi, resiko penurunan
curah jantung dan resiko jatuh dengan acuan buku SDKI sebagai referensinya.
3. Melakukan perencanaan keperawatan pada Tn. B. Perencanaan yang dibuat
disesuaikan dengan diagnosa dan kondisi pasien dengan menggunakan acuan
Buku Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Sehingga intervensi yang dilakukan dapat
terlaksana dengan baik berkat dukungan dan kerjasama dari pasien, istri dan
anggota keluarga, dalam mengatasi masalah kesehatan yang diderita pasien. Saat
kelompok melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan yang
akan dilakukan selanjutnya, klien berkenan dan anggota keluarga pasien juga
kooperatif.
4. Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. B. Saat dilakukan tindakan
keperawatan, Tn. B sangat tenang saat dilakukan pengkajian, pelaksanaan
intervensi, pemeriksaan rutin, dan anak dan istri pasien juga memperhatikan dan
mengikuti saran yang diberikan oleh kelompok antara lain pasien dianjurkan
mobilisasi, teknik nafas dalam dan makan-makanan diit TKTP.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. B. Evaluasi dilakukan setelah
memberikan tindakan keperawatan selama 4x24 jam yang diperoleh hasil yang
sangat memuaskan.
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. B. Setelah melakukan
tindakan keperawatan, kelompok mendokumentasikan tindakan tersebut dalam
catatan keperawatan yang kelompok buat mulai tanggal 19 februari 2019-22
februari 2019.
C. Saran
1. Rumah Sakit
Kami memberikan saran kepada rumah sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan dalam hal ini proses keperawatann
dengan pasien post CABGsehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat tetap terjaga.
2. Institusi Pendidikan
Kami berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan masalah
kesehatan kardiovaskuler dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi
yang penting dalam pembuatan laporan ini dan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan terutama dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun
teori.
3. Profesi Perawat
Kami berharap agar perawat ruangan dapat mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan, lebih ramah lagi terhadap pasien dan dapat memberikan asuhan
keperawatan dengan sebaik-baiknya dalam hal ini pasien dengan post CABG ec
CAD.
4. Mahasiswa Keperawatan
Diharapkan untuk seluruh mahasiswa keperawatan untuk dapat meningkatkan
pengetahuan, pemahaman serta keterampilan dalam proses keperawatan maternitas
dalam hal ini pasien dengan post CABG ec CAD dimana hal tersebut menjadi sangat
penting untuk kelangsungan dan keberhasilan penyembuhan penyakit si pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, et al. (2010). At a Glance: Sistem Kardiovaskular. Edisi 3. Jakarta: Penerbit


Erlangga.
AHA. (2015). ‘Coronary Artery Disease’, American Heart Association, 31 Juli, [online],
melalui https://www.heart.org/en/health-topics/consumer-healthcare/what-is-
cardiovascular-disease/coronary-artery-disease [diakses pada 20 Februari 2019 pukul
19:19 WIB].
Dale, L. (2018). Anatomi DeMYSTiFieD: Buku Wajib Bagi Praktisi dan Mahasiswa
Keperawatan. Yogyakarta: ANDI.
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan: Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Doenges, M. E. (2015). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Essianda, V., Nurcahyo, W. I. and Ismail, A. (2015) ‘Mortalitas Operasi Jantung Ganti Katup
di RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Januari 2014-Desember 2014’
Fikriana, Riza. (2018). Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : Deepublish.
Iskandar, Hadil, A. and Alfridsyah (2017) ‘Faktor Risiko Terjadinya Penyakit Jantung
Koroner pada Pasien Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh (Risk factors of
coronary heart disease in Meuraxa hospital of Banda Aceh)’, Aceh Nutrition Journal,
2(1), pp. 32–42. doi: 10.2469/faj.v7.n2.62.
Kasron. (2016). Buku Ajar Keperawatan Sistem Kardiovaskular. Cetakan 1. Jakarta: Trans
Info Media.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2017) ‘Penyakit Jantung Penyebab Kematian
Tertinggi, Kemenkes Ingatkan Cerdik’, Jakarta, 29 Juli 2017, pp. 2015–2016.
Available at: http://www.depkes.go.id/article/print/17073100005/penyakit-jantung-
penyebab-kematian-tertinggi-kemenkes-ingatkan-cerdik-.html.
Majid, A. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Maulana, M. (2017). Penyakit Jantung: Pengertian, Penanganan, dan Pengobatan. Cetakan
2. Yogyakarta: Katahati.
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular.
Jakarta : Salemba Medika
Potter, P. A & Perry, A. G. (2007). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik, edisi 4, volume 2. Jakarta: EGC.

Pradono J. & Werdhasari A. (2018). Faktor Determinan Penyakit Jantung Koroner pada
Kelompok Umur 25-65 tahun di Kota Bogor, Data Kohor 2011-2012(Determinant
Factors Of Coronary Heart Disease At Age 25-65 Years InBogor City, Kohort Study
2011-2012):Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 23 –
34.http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v46i1.7326.23-34
Referral/bh/Procedures/Pages/CardiothoracicSurgeryPackages.aspxj. Diakses pada 24
Februari 2019.
Rumah, D. I., Pku, S. and Yogyakarta, M. (2015) ‘Media Ilmu Kesehatan Vol. 4, No. 3,
Desember 2015’, 4(3), pp. 210–219.
Setiawan, A. A. et al. (2016) ‘Kesintasan Lima Tahun Pasien Penyakit Jantung Koroner Tiga
Pembuluh Darah dengan Diabetes Melitus yang Menjalani Bedah Pintas Koroner ,
Intervensi Koroner Perkutan atau Medikamentosa di Rumah Sakit dr . Cipto
Mangunkusumo Pharmacological Therapy in Cipto ’, 3(2), pp. 60–
66.http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/10/10
Setyaji , Diyan Y., Prabandari, Yayi S., I Made Alit Gunawan. (2018). Aktivitas fi sik dengan
penyakit jantung koroner di Indonesia(The relationships of physical activity with
coronary heart disease in Indonesia):Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol 14 No 3 -
Januari 2018 (115-121)ISSN 1693-900X (Print), ISSN 2502-4140 (Online)Online
sejak Januari 2016 di https://jurnal.ugm.ac.id/jgki

Smeltzer and Bare. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Tortora, G. J., Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy & Physiology. 13thEdition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Wahyuni, A. (2013). ‘Kualitas Hidup Pasien Post CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Suatu Studi Fenomenologi: Quality of Life of Patient Post CABG (Coronary Artery
Bypass Graft) as Phenomenology Study’. Prosiding FMIPA Universitas Pattimura,
[online], melalui https://ejournal.unpatti.ac.id/ppr_iteminfo_lnk.php?id=498 diakses
pada 22 Februari 2019 pukul 14:00 WIB.
Wilkinson, Judith & Ahern, Nancy R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai