Laporan Kasus TB Anak
Laporan Kasus TB Anak
DOKTER INTERNSIP
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Oleh:
dr. Derry Herdhimas
Pembimbing:
dr. Melita Widyastuti, Sp.A., M.Kes.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis pada
Anak”. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Internsip Dokter Indonesia Periode 2 Tahun 2016 di RSUD dr. Soeroto
Kabupaten Ngawi
Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
pembaca.
iii
DAFTAR ISI
iv
B. Anamnesis ..................................................................................................... 23
1. Keluhan Utama ..................................................................................... 23
2. Riwayat Penyakit Sekarang .................................................................. 24
3. Riwayat Penyakit Dahulu ..................................................................... 24
4. Riwayat Penyakit Keluarga .................................................................. 24
5. Riwayat Pengobatan ............................................................................. 24
6. Riwayat Persalinan ............................................................................... 25
7. Riwayat Pasca Lahir ............................................................................. 25
8. Riwayat Imunisasi................................................................................. 25
9. Riwayat Makan dan Minum ................................................................. 25
10. Riwayat Tumbuh Kembang .................................................................. 26
11. Silsilah Keluarga ................................................................................... 27
12. Keadaan Sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan ....................... 27
13. Anamnesis Sistemik .............................................................................. 28
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 28
D. Pemerisaan Penunjang ................................................................................ 32
E. Resume .......................................................................................................... 33
F. Diagnosis Kerja ............................................................................................ 33
G. Tatalaksana ................................................................................................... 33
H. Prognosis ....................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 35
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis................ 7
Tabel 2. Tahapan Tuberkulosis pada anak ................................................................... 7
Tabel 3. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB. 11
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya ................... 17
Tabel 5. Panduan OAT Kategori Anak ...................................................................... 17
Tabel 6. Dosis kombinasi pada TB anak .................................................................... 18
Tabel 7. Riwayat imunisasi ........................................................................................ 25
Tabel 8. Pemeriksaan Fisik Paru ................................................................................ 31
Tabel 9. Hasil Laboratorium ...................................................................................... 32
Tabel 10. Hasil Skoring TB Anak .............................................................................. 33
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
RINGKASAN
Obyektif Presentasi:
Deskripsi:
Anak perempuan usia 3 tahun dengan keluhan demam sumer-sumer. Demam sudah 3 minggu yang
turun degan obat penurun panas namun seringkali kambuh lagi. Berat badan sulit naik. Terdapat
benjolan di sekitar leher kiri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status gizi kurang, demam subfebris, benjolan pada regio colli
sinistra, multinodul, tidak nyeri tekan.
Pemeriksaan penunjang ditemukan gambaran engarah ke TB pada foto thorak AP, peningkatan LED,
peningkatan persentase limfosit pada darah.
Tujuan:
Diagnosis dan Manajemen Kasus Tuberkulosis pada Anak
viii
BAB I. PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan
TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat.
Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan
variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB
anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan
dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada
kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus
BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan
tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam
pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah satunya
adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
anak dan bayi di negara endemis TB.
B Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Cara penularan dan patogenesis dari infeksi TB pada anak
2. Diagnosis penyakit TB pada anak
3. Managemen dan tatalaksana farmakologis maupun non-farmakologi pada kasus
infeksi TB pada anak
C Manfaat
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini penulis dan pembaca dapat :
1. Mencegah penularan infeksi TB khususnya pada anak
2. Dapat mendiagnosis anak yang menderita infeksi TB
3. Dapat melaksanakan managemen pada kasus TB anak.
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,
2
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan
proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
3
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama
di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah
dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
4
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh
kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB
tipe dewasa (adult type TB)
5
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala
spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
6
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit
Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Resiko Sakit
Umur saat infeksi
Primer (tahun) TB Diseminata
Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)
<1 50% 30 – 40% 10 – 20%
1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0,5%
5 – 10 98% 2% <0,5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%
* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto polos dada
7
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk
penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak
karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi
sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila
fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman TB.
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
3) Induksi Sputum
8
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama
apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan
secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang
memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak
melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya
jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat
kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi
penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu
dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan
uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal
ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular
(hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh
pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut
sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan
tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita
TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas
9
karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang
menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
10
respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.
11
o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.
12
4 Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun
menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang
berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
1) TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB
pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB
dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
2) Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB
dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit
kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan
sistem skoring tidak direkomendasikan.
3) TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala
klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa ke
seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat
mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu
a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang
padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta
sosioekonomi).
4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
13
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut
(gonitis).
5) Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling
sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus
timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa
kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar
limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium
awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras,
discrete, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada
jaringan di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi
unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik
di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin
biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.
6) Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus
efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak
dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang
gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
7) Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang
mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
8) Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang
jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya
14
terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki (2:1).
D. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
o Pemberian gizi yang adekuat.
o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
15
• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
16
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya
Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari)
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
17
5 Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/
FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H)
50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan
H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
18
6 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk
melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat.
Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2
bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,
berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila
respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan
6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke
sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk
diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin
yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi
apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat
dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA pos.
19
o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan
kembali mulai dari awal.
o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.
E. Imunisasi BCG
Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi
Bacille-Calmete-Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan tepat
dengan sistem pendekatan directly observed therapy short course (DOTS). Vaksin
BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan .
20
positif, sebaiknya diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu bila
kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif, dapat
diberikan BCG.
2 Efektivitas
Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup
lainnya, tetapi bila kedua vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan,
maka sebaiknya diberikan jarak minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus
hidup lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan pada lengan yang sama dengan
BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan resiko limfadenitis.
Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan peranan
BCG dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG
ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah meta-analisis menunjukkan proteksi
yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi BCG
terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi ditemukan hasil yang
cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara berkembang maupu negara maju,
baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat
proteksi yang lebih rendah pada daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol
mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan resiko TB
paru, Meningitis TB, TB milier, dan kematian akibat TB.
Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya proteksi
BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne dkk,
menemukan bahwa efektivitas BCG mennurun seiring dengan berjalannya waktu
sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan bahwa BCG dapat memberikan
perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan tetapi, studi terakhir
di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal BCG dapat
bertahan hingga 50 – 60 tahun.
21
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya sembuh
sendiri sehinga tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan drainase dan
pemberian OAT langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan abses lokal
akibat kesalahan teknik penyuntikan.
Efeksamping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan eritema
multiformis merupakan efeksamping yang parah, tetapi sangat jarang terjadi dan
biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Efeksamping ini harus diatasi
dengan kombinasi OAT.
4 Kontraindikasi
Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :
1. Pernah menderita TB
2. Uji tuberkulin > 5 mm
3. Sedang hamil
4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais)
seperti pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum
tulang atau sistem limfe.
5. Gizi buruk
6. Sedang demam tinggi
7. Infeksi kulit yang luas
BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi
yang baik pada bayi-bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35 minggu
(umur rata-rata pemulangan bayi pramature), serta tidak didapatkan perbedaan
bermakna tingkat reaksi BCG antara bayi-bayi dengan berbagai tingkat umur gestasi.
22
BAB III. LAPORAN KASUS
A. Identitas
1 Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 3 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jiwan - Madiun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status :-
Pendidikan : Belum sekolah
Pekerjaan :-
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juli 2016
No RM : 2358xx
Ibu
Nama : Ny.
Umur : 27 Tahun
Pekerjaan : Bidan
Pendidikan : D3
B. Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Rabu tanggal 27
Juli 2016 di Ruang Poli Anak RSUD dr. Soeroto, Kabupaten Ngawi
1. Keluhan Utama
Sering demam sumer-sumer >7 hari
23
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien menjelaskan bahwa selama 3 minggu terakhir pasien sering
mengalami demam sumer. Demam dirasakan terutama lebih tinggi pada
malam hari dibandingkan dengan siang hari. Pada saat malam hari pasien juga
sering rewel. Namun terdapat keringat dingin pada malam hari.
Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas pada pasien namun
sering kambuh lagi bila sudah tidak minum penurun panas. Demam tidak
disertai menggigil dan tidak sampai mengalami kejang.
Selain itu ibu pasien juga mengeluhkan berat badan anaknya beberapa
bulan ini sulit naik. Kalaupun naik tidak secara signifikan. Nafsu makan
anakanya dirasa kurang dibandingkan sebelumnya. Sehari makan 3 kali. Sekali
makan pasien hanya memakan sekitar 2-3 sendok saja.
Ibu juga mengeluhkan terdapat benjolan pada leher kiri pasien yang baru
disadari 1 minggu terakhir ini. Benjolan keras, berukuran sekitar 0,5cm, teraba
lebih dari 1, dapat digerakkan, kulit diatasnya biasa, dan bila disentuh pasien
tidak merasakan sakit (rewel).
Ibu pasien menjelaskan jika di rumah terdapat kakek pasien yang sering
batuk namun dikatakan batuk biasa dan hanya diberi obat batu dari puskesmas.
Belum pernah diperiksakan dahak maupun foto rotgen kakek pasien.
Untuk riwayat batuk, ibu menjelaskan bila pasien hanya batuk pilek biasa
dan tidak sering kambuh.
Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) pasien normal tidak
ada keluhan.
5. Riwayat Pengobatan
Parasetamol syrup
Antibiotik, namun ibu pasien tidak ingat nama antibiotiknya
24
6. Riwayat Persalinan
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, dilahirkan spontan belakang kepala
dibantu oleh bidan RS, usia kehamilan cukup bulan, lahir langsung menangis,
warna ketuban jernih, berat badan lahir 3100 gr dan panjang badan bayi 49 cm
8. Riwayat Imunisasi
Usia Imunisasi
9 bulan Campak 1
24 bulan Campak 2
25
10. Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat Pertumbuhan
BB lahir : 3,1 kg
BB sekarang : 11 kg
PB lahir : 49 cm
TB sekarang : 96 cm (posyandu)
Riwayat Perkembangan
PSIKOMOTOR
0 - 6 bulan : mampu tengkurap, mengangkat kepala dan dada bertopang
pada tangan
6 bulan : mampu untuk duduk
9 bulan : mampu merangkak
1 - 2 tahun : berjalan perlahan, memegang krayon, bisa makan sendiri
3 tahun : dapat berlari bebas, mulai belajar naik sepeda roda tiga
BAHASA
0-3 bulan : Mengoceh spontan/merespon dengan mengoceh
3-6 bulan : tertawa dan menjerit jika diajak bermain
6-12 bulan : mengeluarkan kata-kata tanpa arti, menirukan suara
1-3 tahun : mampu menyusun kalimat singkat
SOSIAL
1 tahun : berpartisipasi permainan tepuk tangan, sembunyi-
sembunyian
1-3 tahun : memperlihakan minat kepada anak lain, bermain bersama
anak lain dan menyadari adanya lingkungan diluar
keluarganya
Mental/intelegensia
Sesuai anak seusianya
Emosi
Anak cenderung malu jika berkomunikasi dengan orang diluar keluarganya
26
11. Silsilah Keluarga
II
III
Ekonomi
Ayah pasien seorang polisi berusia 28 tahun dan ibu pasien bekerja
sebagai bidan di rumah sakit. Penghasilan orang tua pasien sekitar 8,4 juta
rupiah perbulan.
Keadaan Lingkungan
Rumah orangtua pasien berukuran 10x15 meter, beralaskan keramik,
atap genteng, tembok semen. Memiliki ventilasi yang cukup dan sinar matahari
dapat masuk melalui jendela. Sumber air berasal dari sumur terbuka. Memiliki
WC yang disalurkan ke septiktank
Kebiasaan
Ayah pasien merupakan perokok aktif
Kesan: keadaan sosial, ekonomi, dan lingkungan baik, namun kebiasaan ayah
pasien merokok
27
13. Anamnesis Sistemik
Sistem serebrospinal : demam subfebris, kejang (-)
Sistem kardiovaskuler : jantung tidak berdebar, pulsasi nadi normal
Sistem pernafasan : sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-),
Sistem gastrointestinal : nafsu makan turun, berat badan sulit naik,
diare (-), tidak nyeri perut
Sistem integumentum : turgor kulit normal, ptechiae (-), purpura (-),
Sistem urogenital : BAK normal, nyeri (-), darah (-)
Sistem muskuloskeletal : tidak ada sendi yang terasa bengkak maupun
panas
Sistem KGB : pembesaran KGB regio colli sinistra
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
1. Keadaan umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital Sign
Frekuensi jantung : 100x/menit, regular,
Nadi : kuat angkat (+),
Frekuensi napas : 20x/menit, regular, tipe thorakal,
kedalaman normal
Suhu : 37,60C (axilla)
Waktu pengisian kembali kapiler : ≤2 detik
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
4. Berat Badan : 11 Kg
5. Tinggi badan : 96 cm (posyandu)
28
6. Status gizi :
29
Pemeriksaan Khusus
1. Kepala dan Leher
Bentuk : bulat lonjong, simetris
Rambut : hitam, lurus, tipis, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis : -/-
Sklera ikterus : -/-
Oedem palpebra : -/-
Hidung : sekret (-), bau (-), perdarahan (-), pernafasan cuping hidung (-)
Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
Mulut : sianosis (-), bau (-)
Kelenjar limfe : terdapat pembesaran KGB regio colli sinistra, multi
nodular, diameter ± 0,5 cm, mobile, konsistensi padat, tidak
ada nyeri tekan, teraba hangat, warna seperti kulit
sekitarnya
30
2. Dada
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup pada ICS II PSL D s/d ICS II PSL S
Redup pada ICS III PSL D s/d ICS IV MCL S
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, ekstra sistole (-), gallop (-),
murmur (-)
Paru :
Tabel 8. Pemeriksaan Fisik Paru
Kanan Kiri
3. Perut
o Inspeksi : permukaan dinding cembung,
o Auskultasi : bising usus (+) Normal
o Perkusi : redup
o Palpasi : soepel, turgor dan elastisitas kulit normal, hepatomegali (-),
splenomegali (-), nyeri tekan (-)
4. Anggota Gerak
Atas : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakan sendi
Bawah : akral hangat -/-, odema -/-, tidak ditemukan pembengkakak sendi
31
5. Anus dan kelamin
Anus : dalam batas normal, tidak ada kelainan
Kelamin : jenis kelamin perempuan, dalam batas normal, tidak ada kelainan
D. Pemerisaan Penunjang
Laboratorium
Tabel 9. Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Nilai Normal
Hematologi
1. Hemoglobin 10,4 12 -16 gr/dL
2. Leukosit 7,8 4,3-10,3 x109/L
Limfosit 47,9 20 – 40 %
4. Hematokrit 31,5 38-42%
5. Trombosit 930 150-450 x109/L
6. LED 50/65
Foto Thorak AP
32
Trakea di tengah.
Cor : tidak ada pembesaran jantung
Pulmo : terlihat gambaran infiltrat pada parahilus
Sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam.
Hemidiafragma kanan dan kiri baik.
Kesimpulan : Pembesaran KGB parahilus
E. Resume
Anak perempuan usia 3 tahun dengan keluhan demam sumer-sumer. Demam
sudah 3 minggu yang turun degan obat penurun panas namun seringkali kambuh lagi.
Berat badan sulit naik dan nabsu makan menurun. Terdapat benjolan di sekitar leher
kiri.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status gizi kurang, demam subfebris,
benjolan pada regio colli sinistra, multinodul, tidak nyeri tekan.
Pemeriksaan penunjang ditemukan gambaran engarah ke TB pada foto thorak
AP, peningkatan LED, peningkatan persentase limfosit pada darah.
F. Diagnosis Kerja
Tuberkulosis Paru
G. Tatalaksana
Diagnosis
- Uji tuberkulin
- Evaluasi Foto polos dada dan laboratorium darah pada bulan ke VI pengobatan
33
Medikamentosa
OAT KDT Anak 2RHZ 2 – 0 – 0 (Fase intensif)
Lycalvit Syr 2 dd cth I
Edukasi
Menjelaskan kepada Ibu pasien bahwa anaknya menderita infeksi TB, hal ini
kemungkinan didapatkan karena tertular dari anggota keluarga yang lain.
Menyarankan untuk memeriksakan anggota keluarga yang sering mengalami
batuk yang kambuh ke poli paru RSUD untuk pemeriksaan dahak dan foto
thorak
Pengobatan pasien direncakan selama 6 bulan dan akan dievaluasi pada akhir
pengobatan
Obat harus diminumkan secara rutin setiap pagi hari saat perut masih kosong
dan harus segera kontrol sebelum obat habis
Obat sementara diberikan selama 2 minggu untuk mengevaluasi kepatuhan
minum obat
Perbaikan gizi anak untuk menunjang kesembuhan dari anak.
Menjelaskan bahwa penyakit ini bisa disembuhkan asal rutin minum obat dan
orang disekitar rumah yang dicurigai menderita TB paru segera diperiksakan
dan mendapat terapi yang sesuai untuk mengurangi resiko kekambuhan pada
anak
Penyakit TB paru pada anak tidak menular
H. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
34
DAFTAR PUSTAKA
35