BAB I
PENDAHULUAN
Klasifikasi KLB atau wabah yang terjadi dapat digolongkan dalam letusan
kejadian yang bersumber dari makanan atau minuman dan air, yang lain berupa
penyakit-penyakit menular atau kejadian yang tidak diketahui peyebabnya.
Saat ini, terutama di Indonesia, sedang maraknya wabah KLB, yaitu salah
satunya ialah wabah Difteri. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai
dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang
melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya
meninggal duni. Sementara, pada kurun waktu bulan Oktober-November 2017,
ada 11 provinsi yang melaporkan KLB difteri di Sumatera Barat, Jawa Tengah,
Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Padahal di Indonesia sendiri sudah
menggalakkan program imunisasi yang harus lengkap untuk mengurangi wabah
KLB termasuk imunisasi difteri. Di Indonesia, demografi usia yang memiliki
kekebalan dasar rata-rata berusia dibawah 40 tahun. Sedangkan usia diatas itu
sayangnya tidak mendapatkan imunisasi dasar ketika kecil. Sehingga mereka lah
yang rentan terhadap penyakit ini.
Selain difteri, sebelumnya juga sempat mewabah kasus Rubella yang juga
sempat mengakibatkan kematian. Sebelumnya lagi, ada wabah Ebolla. Masih
banyak penyakit yang bisa menjadi wabah KLB, misalnya DHF, campak, rabies,
tetanus, diare, dan lainnya. Kasus-kasus wabah seperti ini seharusnya sudah bisa
dikurangi dengan adanya deteksi dini. Jika sudah terjadi, maka dari pihak yang
1
berwajib, misalnya seperti Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah setempat,
atau bahkan aparat pemerintah lainnya sudah seharusnya melakukan penyelidikan
terhadap kejadian yang sedang maraknya terjadinya. Kemudian membuat suatu
keputusan program untuk mengurangi angka kesakitan atau kematian yang
diakibatkan oleh wabah KLB ini.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran Epidemiologi ini, kita perlu mengetahui
bagaimana perkembangan angka kesakitan atau kematian yang sedang terjadi
terhadap suatu kasus, apakah semakin berkurang atau malah meningkat, dan kita
perlu mengetahui pula bagaimana cara menyelidiki kasus-kasus seperti diatas
tadi.
1.3 Tujuan
1) Memahami pengertian dari wabah KLB pada komunitas
2) Mengetahui bentuk-bentuk dari wabah
3) Menjelaskan dan melakukan langkah-langkah dalam penyelidikan wabah
4) Mengetahui dan dapat meningkatkan upaya penanggulangan pada wabah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa juga mengacu pada ketentuan yang
diatur oleh pemerintah. Di Indonesia, suatu penyakit dinyatakan sebagai
Kejadian Luar Biasa (KLB), jika ada unsur :
3. Angka kejadian / kematian meningkat menjadi dua kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan meningkat menjadi dua kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata – rata per bulan dalam
tahun sebelumnya.
3
2.2 Bentuk Wabah
Menurut sifatnya:
1. Common Source Epidemic (Sumber Wabah Umum)
Suatu wabah penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya
sejumlah orang dalam sutau kelompok secara menyeluruh dan
terjadi dalam waktu yang relative singkat. Adapun common
source epidemic itu berupa keterpaparan umum, biasa pada
letusan keracunan makanan, polusi kimia di udara terbuka,
menggambarkan suatu puncak ediemi, jarak antara sutau kasus
dengan kasus, selanjutnya hanya dalam hitungan jam.
Jika keterpaparan kelompok serta penularan penyakit
berlangsung sangat cepat dalam waktu yang singkat (point source
of epidemic) maka resultan dari semua kasus / kejadian
berkembang hanya dalam satu masa tunas saja, point surce of
epidemic dapat pula terjadi pada penyakit oleh factor penyebab
bukan infeksi yang menimbulkan keterpaparan umum seperti
4
adanya zat beracun polusi zat kimia yang beracun di udara
terbuka.
Menurut Transmisinya:
1. Wabah dengan penyebaran melalui media umum (coomon vehicle
epidemics), yaitu :
- Ingesti bersama makanan dan minuman, misalnya
salmonellosis.
- Inhalasi bersama udara pernafasan, misalnya demam Q (
di laboratorium ).
- Inokulasi melalui intravena atau subkutan, misalnya
hepatitis serum
2. Wabah dengan penjalaran oleh transfer serial dari pejamu ke
pejamu ( epidemic propagated by serial transfer from host to host
), yaitu :
- Penjalaran melalui rute pernafasan (campak), rute anal-
oral (shigellosis), rute genitalia (sifilis), dan sebagainya.
5
- Penjalaran melalui debu.
- Penjalaran melalui vector (Serangga dan anthropoda)
1. Persiapan lapangan
Pada tahap ini harus dipersiapkan 3 kategori:
Persiapan investigasi
Termasuk dalam kategori ini adalah mempersiapkan:
Persiapan Administrasi
Dalam kategori ini tim kesehatan harus mempersiapkan aspek
administratif dari investigasi seperti: penyediaan perijinan, surat-surat
atau dokumen formal/ legal dalam melakukan investigasi, penyediaan
dana yang memadai, transportasi yang dapat diandalkan, kerapian
dalam dokumentasi, pembagian tugas dan koordinasi dalam tim
kesehatan, dll.
6
Persiapan Konsultasi
Pada tahap ini sudah harus dipikirkan peran dan posisi tim
kesehatan dalam proses investigasi. Sebelum melakukan investigasi
harus jelas, apakah tim kesehatan memiliki peran langsung memimpin
investigasi, atau hanya mitra dari pejabat/ petugas kesehatan setempat
(misalnya staf dinas kesehatan setempat), atau berperan memberikan
bantuan konsultasi terhadap pejabat/ petugas lokal. Mengenal dan
menjalin kerjasama dengan petugas/ staf / kontak lokal serta otoritas
setempat adalah sangat penting.
7
fasilitas kesehatan lokal, kegiatan survei atau asesmen yang bersifat
ad-hoc, dll.
Verifikasi Diagnosis
Tujuan verifikasi diagnosis adalah:
8
3. Penentuan definisi kasus, identifikasi dan penghitungan kasus dan
pajanan
Penentu Definisi kasus
Definisi kasus adalah kumpulan (set) yang standar tentang kriteria
klinis untuk menentukan apakah seseorang dapat diklasifikasikan sebagai
penderita penyakit tsb. Definis kasus dalam konteks KLB/ wabah haruslah
dibatasi oleh karateristik tertentu dari, orang tempat dan waktu. Sekali
ditetapkan maka definisi kasus ini harus dipakai secara konsisten pada
semua situasi dalam investigasi.
Berdasarkan derajat ketidakpastiannya diagnosis kasus dapat
dibagi menjadi:
9
Informasi yang dapat digali dari setiap kasus adalah:
10
Deskripsi data frekuensi distribusi kasus berdasarkan karateristik
tempat dimaksudkan untuk memperkirakan luasnya masalah secara
geografis dan menggambarkan pengelompokkan (clustering) dan pola
penyebaran (spreading) penyakit berdasarkan wilayah kejadian yang
nantinya dapat dijadikan petunjuk untuk mengidentifikasi etiologi
penyakit tsb. Peta bintik (spot map) dan Peta area (area map) merupakan
bentuk penyajian data deskriptif menurut tempat yang sangat berguna.
Penerapan sistem informasi geografis (geografic information system atau
GIS) berikut piranti lunaknya dapat mendukung tercapainya tujuan
tersebut di atas.
Deskripsi frekuensi distribusi kasus berdasarkan karateristik waktu
dilakukan untuk beberapa tujuan berikut ini:
11
6. Formulasi dan uji hipotesis melalui studi epidemiologi analitik
Formulasi Hipotesis
Berdasarkan fakta-fakta epidemiologi deskriptif (deskripsi kasus
menurut orang tempat dan waktu), kita dapat mulai membuat dugaan atau
penjelasan sementara (hipotesis) yang lebih fokus tentang faktor-faktor
risiko atau determinan yang diperkirakan terlibat dalam kejadian
KLB/wabah tersebut.
Hipotesis yang kita buat haruslah diarahkan untuk mencari
penjelasan tentang:
1. Sumber penularan
12
Desain studi epidemiologi analitik yang boleh dipertimbangkan
untuk digunakan dalam investigasi wabah adalah studi kasus kontrol dan
kohort.
Studi kasus kontrol secara praktis lebih efisien (mudah, murah,
hemat waktu dengan jumlah kasus yang sedikit) sehingga lebih sering
diterapkan pada situasi KLB/ wabah. Kumpulan/ serial kasus yang sudah
diidentifikasi dinyatakan sebagai kelompok kasus, sehingga tugas
selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menseleksi dengan baik
kelompok kontrol yaitu populasi yang tidak menderita penyakit penyebab
KLB/ wabah. Dari kedua kelompok ini, informasi tentang satu atau
beberapa status pajanan, faktor-faktor risiko atau etiologi dapat digali
mundur ke belakang (backward). Kuatnya hubungan antara pajanan/
etiologi dengan penyakit penyebab KLB dapat diestimasi menggunakan
ukuran OR (odds ratio) beserta interval kepercayaannya (confidence
interval). Ukuran OR dari studi kasus kontrol klasik dipakai sebagai
estimasi RR yang memadai dengan syarat incidence rate penyakitnya
rendah.
13
kelompok pajanan (misalnya kelompok terpajan dan kelompok tidak
terpajan) diamati dan diikuti sampai munculnya satu atau beberapa
penyakit yang diteliti. Karena studi ini membutuhkan adanya proses
follow-up dengan risiko terjadinya drop-out dari subyek yang diamati,
maka studi ini relatif menjadi lebih kompleks (lebih menghabiskan waktu,
biaya dan tenaga) dibanding studi kasus kontrol. Namun demikian studi ini
secara umum lebih baik dari kasus kontrol klasik dalam aspek
validitasnya. Kuatnya hubungan antara pajanan/ etiologi dengan penyakit
penyebab KLB dapat langsung diestimasi menggunakan ukuran RR
(Relative Risk) beserta interval kepercayaannya (confidence
interval). Relative Risk yang dipakai dapat berupa Cummulative
Incidence Risk Ratio (Risk Ratio) atau berupa Incidence Density Rate
Ratio (Rate Ratio), bergantung dari jenis ukuran frekuensi yang dipakai
dan jenis populasi kohortnya.
7. Aplikasi studi sistematik tambahan
Selain studi epidemiologi deskriptif dan analitik, kadang kala
diperlukan dukungan tambahan dari studi-studi sistematik lain, khususnya
ketika studi epidemiologi analitik masih belum dapat menyuguhkan bukti-
bukti yang kuat. Studi-studi sistematik tambahan yang dapat dilakukan
misalnya adalah studi meta-analisis, studi kualitatif, studi mortalitas,
survei serologis atau investigasi lingkungan. Investigasi lingkungan, dalam
keadaan tertentu bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana KLB tsb
terjadi, sepreti misalnya penyelidikan breeding places, reservoir atau
kepadatan vektor penyebab malaria, atau kondisi higiene dan sanitasi
lingkungan yang mungkin beperan dalam terjadinya KLB diare atau
kondisi sumber air minum yang terkontaminasi bakteri atau tercemar zat
berbahaya.
Untuk kepentingan pencegahan KLB/wabah di masa mendatang,
apabila memungkinkan dapat pula dilakukan studi-studi intervensi seperti
uji vaksin kolera, meningitis, influenza, atau uji efektifitas (efficacy) terapi
14
profilaksis tertentu dll. Studi kecukupan sumber daya dan logistik untuk
penanganan KLB/wabah juga mungkin diperlukan.
8. Penerapan intervensi penanggulangan dan pencegahan
Walaupun secara teoritis, penerapan intervensi penanggulangan
dan pencegahan berada pada langkah ke delapan, namun dalam prakteknya
langkah intevensi ini harus dapat dilakukan secepat dam sedini mungkin,
ketika sumber KLB/wabah sudah dapat diidentifikasi.
Secara umum intervensi penanggulangan dapat diarahkan pada
titik/ simpul terlemah dalam rantai penularan penyakit, seperti:
9. Komunikasi hasil
Tugas terakhir dalam investigasi wabah adalah
mengkomunikasikan dengan baik hasil investigasi kepada berbagai pihak
yang berwenang, bertanggungjawab dan terkait dengan intervensi
penanggulangan dan pencegahan. Format/ bentuk komunikasi yang dapat
dilakukan adalah berupa:
a. Penjelasan lisan.
Dalam format ini pihak-pihak yang berwenang, bertanggungjawab
dan terkait dengan intervensi penanggulangan dan pencegahan.
Presentasi oral haruslah jelas, mudah dipahami dan secara ilmiah
meyakinkan pengambil keputusan sehingga dapat memotivasi mereka
untuk segera melakukan intervensi
b. Penulisan laporan.
15
Hasil investigasi juga perlu ditulis dalam laporan dengan
sistematika tertentu yang sesuai dengan standar-standar penulisan
ilmiah. Sistematika yang dipakai meliputi:
2. Tujuan
3. Metodologi
4. Hasil
5. Pembahasan
16
Petugas yang bertanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang
mengetahui adanya penderita / tersangka penderita penyakit yang
dapat menimbulkan wabah, wajib melaporkannya kepada Kepala Desa
atau Lurah atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu
secepatnya, selanjutnya Kepala Desa atau Lurah atau Kepala Unit
Kesehatan harus segera meneruskan laporan tersebut kepada atasan
langsungnya dan instansi lain yang berkempentingan. Kepala Wilayah
atau Daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka penderita
penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera
melakukan tidakan-tidakan penanggulangan seperlunya.
17
perkembangan penyakit menurut waktu dan tempat dan
dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan yang
sedang dilaksanakan, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a) Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos-
pos kesehatan dan unit-unit kesehatan lainnya, membuat tabel,
grafik dan pemetaan dan melakukan analisis kecenderungan
wabah dari waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat,
RT, RW, desa dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu
lainnya.
b) Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan
kepala desa, kader dan masyarakat untuk membahas
perkembangan penyakit dan hasil upaya penanggulangan
wabah yang telah dilaksanakan.
c) Memanfaatkan hasil surveilans tersebut dalam upaya
penanggulangan wabah.
Hasil penyelidikan epidemiologi dan surveilans secara teratur
disampaikan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala
dinas kesehatan provinsi dan Menteri up. Direktur Jenderal sebagai
laporan perkembangan penanggulangan wabah.
Penyelidikan epidemiologis dilaksanakan dengan kegiatan:
a) Pengumpulan data morbiditas dan mortalitas penduduk
b) Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosa
c) Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan terhadap
makhluk hidup dan benda-benda yang ada di suatu wilayah
yang diduga mengandung penyebab penyakit wabah
2) Penatalaksanaan penderita
Penatalaksanaan penderita meliputi penemuan penderita,
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan serta upaya pencegahan
penularan penyakit. Upaya pencegahan penularan penyakit
dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi, evakuasi dan
18
karantina sesuai dengan jenis penyakitnya. Penatalaksanaan
penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat
lain yang sesuai untuk kebutuhan pelayanan kesehatan penyakit
menular tertentu.
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan
kesehatan, baik di rumah sakit, puskesmas, pos pelayanan
kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk penatalaksanaan
penderita. Secara umum, penatalaksanaan penderita setidak-
tidaknya meliputi kegiatan sebagai berikut :
a) Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat mungkin
dengan tempat tinggal penduduk di daerah wabah, sehingga
penderita dapat berobat setiap saat.
b) Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan
peralatan untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan,
pengambilan spesimen dan sarana pencatatan penderita berobat
serta rujukan penderita.
c) Mengatur tata ruang dan mekanisme kegiatan di sarana
kesehatan agar tidak terjadi penularan penyakit, baik penularan
langsung maupun penularan tidak langsung. Penularan tidak
langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran lingkungan
oleh bibit/kuman penyakit atau penularan melalui hewan
penular penyakit.
d) Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan
kewaspadaan dan berperan aktif dalam penemuan dan
penatalaksanaan penderita di masyarakat.
e) Menggalang kerja sama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat
serta lembaga swadaya masyarakat untuk melaksanakan
penyuluhan kepada masyarakat.
19
a) Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara
memisahkan seorang penderita agar tidak menjadi sumber
penyebaran penyakit selama penderita atau tersangka penderita
tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain. Isolasi
dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, rumah atau tempat
lain yang sesuai dengan kebutuhan.
b) Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok
orang dari suatu lokasi di daerah wabah agar terhindar dari
penularan penyakit. Evakuasi ditetapkan oleh bupati/walikota
atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi
medis dan epidemiologi.
c) Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang
dari dan ke daerah rawan wabah untuk menghindari terjadinya
penyebaran penyakit. Karantina ditetapkan oleh bupati/walikota
atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi
medis dan epidemiologi.
20
a) Pengobatan penderita sedini mungkin agar tidak menjadi
sumber penularan penyakit, termasuk tindakan isolasi dan
karantina.
b) Peningkatan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan
imunisasi.
c) Perlindungan diri dari penularan penyakit, termasuk
menghindari kontak dengan penderita, sarana dan lingkungan
tercemar, penggunaan alat proteksi diri, perilaku hidup bersih
dan sehat, penggunaan obat profilaksis.
d) Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit
untuk menghilangkan sumber penularan dan memutus mata
rantai penularan.
21
dan dikoordinasikan dengan sektor terkait di bidang peternakan
dan tanaman.
22
(universal precaution). Air untuk memandikan jenazah
harus dibubuhi disinfektan.
- Jika diperlukan otopsi, otopsi hanya dapat dilakukan
oleh petugas khusus setelah mendapatkan izin dari
pihak keluarga dan direktur rumah sakit.
- Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.
- Jenazah dibungkus dengan kain kafan dan/atau bahan
kedap air.
- Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
- Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam di tempat
pemulasaraan jenazah.
- Jenazah dapat dikeluarkan dari tempat pemulasaraan
jenazah untuk dimakamkan setelah mendapat ijin dari
direktur rumah sakit.
- Jenazah sebaiknya diantar/diangkut oleh mobil jenazah
ke tempat pemakaman.
Di tempat pemakaman :
- Setelah semua ketentuan penanganan jenazah di tempat
pemulasaraan jenazah dilaksanakan, keluarga dapat
turut dalam pemakaman jenazah.
- Pemakaman dapat dilakukan di tempat pemakaman
umum.
23
7) Upaya penanggulangan lainnya, yaitu tindakan-tindakan khusus
untuk masing-masing penyakit, yang dilakukan dalam rangka
penanggulangan wabah.
24
hewan
Pelaporan kasus Pembatasan mobilitas
penduduk
25
Beberapa jenis penyakit menular dapat dicegah dengan obat
(misalnya penyakit malaria) atau imunisasi (misalnya polio dan
campak). Perlu diingat, bahwa untuk wabah beberapa penyakit,
seperti tifoid dan kolera, pemberian vaksin boleh dikatakan tidak
efektif.
4. Surveilans yang berkelanjutan
Selama fase akut suatu wabah, perlu tetap diawasi orang-orang
yang dicurigai memiliki risiko penyakit. Segera setelah wabah
berhasil diatasi, perlu dijalankan surveilans untuk menemukan
kasus baru, supaya efektif. Karena system pelaporan rutin
mungkin tidak memadai untuk hal tersebut, maka surveilans di
masyarakat merupakan alat penting untuk mengenal dan
melaporkan setiap kasus baru.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terungkapnya suatu wabah dan KLB ini dideteksi dari anaisis data
surveilans rutin dan adanya laporan petugas, pamong ataupun warga setempat
sehingga pemerintah setempat dapat melakukan sebuah penyelidikan.
Alasannya untuk merencanakan pertimbangan program atas dasar ganas
tidakanya penyakit, sumber dan cara penularannya, ada tidaknya cara
penanggulangan dan pencegahan yang tempat. Beberapa langkah
penyelidikan sudah diuraikan sebelumnya, yaitu ada persiapan investigasi di
lapangan, memastikan adanya wabah, memastikan diagnosis, membuat
definisi kasus, menemukan dan menghitung kasus, epidemiologi deskriptif
(waktu, tempat, orang), membuat hipotesis, menilai hipotesis, memperbaiki
hipotesis dan mengadakan penelitian tambahan, melaksanakan pengendalian
dan pencegahan, dan menyampaikan hasil penyelidikan.
3.2 Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab5-
wabah.pdf diakses pada tanggal 10 februari 2019
https://novitara119495212.wordpress.com/2018/10/01/epidemiologi-
penyelidikan-wabah-klb-di-komunitas/ diakses pada tanggal 10 februari
2019
Kemenkes RI. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 042/MENKES/SK/I/2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Kewaspadaan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit
Malaria. Jakarta: Depkes RI.
28
Diakses melalui https://www.persi.or.id pada tanggal 9 februari 2019
pukul 13.15 WIB
29
KLB Malaria di Lombok, Dinas
Kesehatan Fokus di Daerah Endemik
30
Marjito mengungkapkan, sebelum kejadian gempa pun, daerah di Lombok Barat
tersebut memang wilayah endemik malaria. Sehingga, pihak Dinas Kesehatan pun
mengakui mereka tidak kaget dengan adanya kejadian tersebut.
"Jadi, lokasi kasus malaria ini daerah endemik di situ. Memang selalu ada malaria
di situ. Secara kebetulan saja, ada gempa ini, jadi posisi di luar, istirahat kurang,
makan kurang, pada saat daya tahan tubuh kita sudah lemah, saat itulah
munculnya malaria ini," kata Marjito memaparkan.
Upaya Penanggulangan
Sejak ditemukannya kasus tersebut, pihak Dinas Kesehatan juga sudah melakukan
upaya penanggulangan KLB. Salah satu caranya adalah dengan pemeriksaan
darah secara massal.
"Darah yang terindikasi, berdasarkan hasil pemeriksaan kami, ditemukan sekitar
111. Itu yang penemuan kasus malaria secara aktif melalui pemeriksaan darah
secara massal," ujar Marjito.
Selain itu, pihaknya juga telah memberikan kelambu ke masyarakat, serta obat
pada pasien yang positif malaria.
Marjito mengakui, ketersediaan obat malaria terbilang aman. Namun, dia
mengatakan pihaknya kekurangan alat pemeriksaan cepat malaria (Rapid
Diagnostic Test/RDT).
"Itu yang kita sudah habis. Kemarin terakhir ada tiga ribu, kemarin sudah kita
distribusikan untuk dimanfaatkan. Dan kami sudah mengajukan permintaan ke
pusat melalui Kementerian Kesehatan sekitar tujuh ribu," jelas Marjito.
31