Anda di halaman 1dari 6

Pejuang kokoh

Orientasi :Mata bulat itu menerawang jauh, lamunannya


membuat pikirannya melayang, meninggalkan raga yang masih
terduduk kaku. Tangannya terus saja memainkan pena hitam
dengan mengetuknya ke dasar meja. Sesekali ia betulkan letak
duduknya, sesekali ia benahi kerudung yang membalut
kepalanya.

Siang itu memang tidak terlalu panas, karena matahari tak


bersemangat memancarkan sinarnya. tapi, gadis itu terus
berkeringat. Lomba menulis cerpen ini benar-benar menyita
energi, pikiran, bahkan emosinya. 5 menit pertama dengan santai
ia terus menulis, menuangkan pikiran dan imajinasinya. Tapi 25
menit selanjutnya, yang ia lakukan hanya mencoret-coret,
melamun, dan terkadang menerawang seisi ruangan. Otaknya
buntu.

5 hari menjelang lomba dimulai ia sudah menyusun rencana-


rencana jalan-jalan bersama teman-temannya. Mulai dari
berkemah di tepi pantai, berenang di pemandian, hingga
menggoes sepeda berkeliling taman. Rencana–rencana itu
memang indah. Tapi, kenyataannya disaat teman-temannya
bersuka-ria di belahan dunia lain, ia justru duduk terpekur di sini,
di ruangan panas ini dengan puluhan peserta lomba menulis
cerpen tinggkat SMA dan kertas-kertas yang berserakan di atas
meja. Detik demi detik terasa sangat menyiksa, ia menyesal
kenapa ia berada di sini. Kalau bukan karena Bu Nora yang
memaksanya untuk ikut lomba ini, pasti ia sedang bersenang-
senang bersama teman-temannya atau menggeliat di kasur
empuknya dengan segelas susu hangat dan biskuit keju
kesukaannya sekarang.
Konflik :Entah mengapa guru bahasa itu menunjuknya
untuk ikut lomba itu. Hanya karena karangan-karangannya
mendapat nilai bagus atau puisinya yang saat ia bacakan di
depan kelas, orang akan bertepuk tanggan untuknya. Hanya
karena itu, batinnya.

Tiba-tiba terdengar suara kursi berderit dari pojok kanan


ruangan. Seorang siswa-entah dari sekolah mana-berjalan
dengan elok menyusuri barisan duduk peserta lain dengan
langkah pogah. Dari matanya tersirat rasa sombong yang
membara, ia dengan cepat berjalan ke meja panitia dan
mengumpulkan hasil karangannya dan kemudian berjalan ke
pintu keluar. Tapi saat ia berada tepat di muka pintu, ia
membalikkan badannya dan menatap sinis seorang siswa yang
duduk pasrah di bangkunya dengan keringat yang menyelimuti
wajahnya dan kertas yang berhamburan di mejanya.
Siswa itu sadar ia ditatap sinis oleh peserta lomba itu, tapi ia tak
berani beradu mata dengannya. Ia merasa nyalinya seketika
menciut, wajahnya ia tundukan, metanya ia arahkan ke kertas
cerpennya yang mesih seperempat kosong. Bahkan saat peserta
itu pergi, ia terus tertunduk.

“nyyyiiiiinngggg… sssiiiiiinggg” suara microphone tiba-tiba


terdengar. Memekikkan telinga.
“Maaf, cek… cek.. Diberitahukan kepada seluruh peserta lomba
bahwa waktu untuk pengerjaan cerpen akan berakhir dalam 5
menit lagi.” Salah seorang panitia mengumumkan. Peserta-
peserta lomba mulai gusar. Dengan segera mereka
menyelesiakan cerpennya. Begitupun dengan gadis yang duduk
pasrah tadi. Kini ia mulai bergerak untuk menulis. Entah apa
yang ia tulis. Ia tak peduli dengan obsesi untuk menang. Yang ia
mau hanyalah menyelesaikan cerpen itu, mengumpulkannya, dan
segera keluar dari tempat itu. 2 menit sebelum lomba berakhir, ia
bangkit dari kursinya dan mengumpulkan karangannya pada
panitia.
“hmm, Aurely paradishea. Nama yang cantik.” Panitia membaca
namanya di biodata cerpennya saat ia menyerahkan naskah-
naskah itu.
“Terimakasih, pak. Saya permisi” jawabnya dengan senyum yang
manis.
“Silahkan” panitia itu menyerahkan secarik kertas berisi kolom
daftar peserta untuk kemudian ditanda tangani. Dengan sigap
kertas itu ia ambil dan langsung ia tanda tangani. Ia melangkah
bebas ke luar dan langsung menuju tempat parkir, dimana guru
dan ayahnya sedang menunggu.

“Aurel! Bangun! Bangun aurel” Tiba-tiba suara bu Nora


menggelegar di depan kelas. Suaranya merambat dan bergema
dengan kuat hingga membangunkan Aurel yang tertidur pulas di
tempat duduknya.
Sementara, orang yang dipanggil masih dalam dunia mimpi.
Sikutan keras teman sebangkunya akhirnya berhasil
menyadarkannya. Ia kucek mata yang masih mengantuk itu
dengan kedua tangannya.
“aurel, Ibu kan sudah bilang, tahan kantukmu saat pelajaran
sedang dimulai.” Bentak Bu Nora dengan tegas.
“Maaf, Bu. Lain kali saya tidak akan mengulanginya.” Jawab
Aurel.
“Ya. Itu kalimat yang sama dengan ucapanmu 3 hari lalu saat Ibu
memarahimu karena kamu tidur di kelas. Kamu ingat sudah
berapa kali kamu tidur saat pelajaran saya?” Tanya bu nora.
Aurel tidak menjawab, Ia hanya menggeleng-geleng kecil sambil
menunduk.
“Sudah 5 kali Aurel! 5 kali. Habis ini kamu ikut saya ke ruang
guru.” Perintah Bu Nora tak bisa lagi ditolak karena disertai nada
yang tegas.

Bu Nora kembali melanjutkan pelajaran. Diakhir pelajaran, Ia


meminta seluruh siswa untuk membuat sebuah cerpen bertema
bebas yang menggambarkan tokoh inspiratif masing-masing
siswa, dikumpulkan paling lambat 2 minggu lagi. Wajah-wajah
lesu milai tampak. Dengan begini, bertambah satu tumpukan
tugas-tugas yang memang sudah menggunung.
Sebelum meninggalkan kelas, Bu Nora memanggil nama Aurel
dengan suara lantang. Aurel tahu, Bu Nora memanggilnya karena
ia harus pergi ke ruangan Bu Nora sekarang. Ia segera bangkit
dan mengikuti langkah Bu Nora hingga ke ruangannya.

Bel pulang mengalun lembut. Disambut dengan sorakkan riuh


rendah siswa-siswi yang sedari tadi menunggunya. Entah
mengapa, bel pulang terdengar begitu lembut, membuat hati
warga sekolah makin semangat. Baru saja Aurel akan keluar
kelas untuk pulang, arif sang ketua kelas memanggilnya.
“rel, tunggu jangan pulang dulu. Tadi Bu Nora menitip pesan
sama aku. Katanya kamu harus datang ke ruangannya pulang
sekolah ini.”
“aduh, males ah. Paling juga aku dimarahin lagi. Boleh minta
tolong nggak? Tolong bilang ke Bu nora kalau aku lagi sakit, terus
harus buru-buru pulang. Please yah?” Pinta Aurel memelas. Ia
memang dongkol dengan guru yang satu ini. Setiap kali ia datang
ke ruangan Bu Nora pasti hanya untuk dimarahi atau diberikan
ceramah.
“Rel, Bu Nora pasti mau nyampain hal penting. Apa salahnya sih?
Udah ah aku pulang dulu” Jawab Arif. Ia langsung pergi
meninggalkan aurel yang bimbang.

Akhirnya dengan terpaksa ia menemui Bu Nora. Tepat di depan


kantor guru, Bu Nora sedang membereskan buku-buku dari
lokernya untuk dibawa dalam tasnya. Wajah guru itu
memancarkan kelelahan.
Ada rasa sungkan dalam hati Aurel untuk masuk ke ruangan itu.
Tapi ia juga merasa bersalah, karena saat berjalan menuju ruang
guru untuk menghadap Bu Nora, ia sengaja memperlambat
jalannya dan bahkan ia mengambil jalan memutar dengan
harapan Bu Nora terlalu lama menunggunya dan memutuskan
untuk pulang sehingga ia tak perlu bertemu Bu Nora. Tapi
ternyata, Bu Nora masih menunggunya selama itu.

Sampai di rumah ia langsung berbaring di ranjanggnya. Ia lelah


sekali hari ini. Biasanya sepulang sekolah Aurel selalu mandi
untuk menyegarkan badan. Tapi kini, untuk mandi pun malas.
Bagaimana tidak, ia baru saja dipanggil ke ruanggan Bu Nora
untuk dimarahi lagi karena tugasnya belum ia kerjakan, dan yang
lebih mengejutkan adalah Bu Nora memintanya untuk ikut lomba
cerpen yang diselenggarakan oleh sebuah universitas. Lomba
kemarin saja hasilnya hancur-hancuran. Ia tak habis pikir. Tapi
dengan terpaksa ajakan itu ia terima. Karena Bu Nora akan
benar-benar marah bila Aurel menolak ajakan itu.

Selama beberapa hari, Bu Nora terus melatih aurel sepulang


sekolah. Guru itu semangat sekali memberikan arahan mengenai
kosa kata dan kaidah-kaidah kebahasaan yang perlu. Terkadang
ia kelelahan sendiri karena harus mengajar pelajaran tambahan
sepulang mengajar Aurel.
Aurel sempat menemukan Bu Nora tertidur di ranjang UKS
karena sakit. Tapi pulangnya Bu Nora masih tetap menemani
Aurel melatih tulisannya.

Aurel menyesal, mengenang betapa selama ini ia begitu


membenci Bu Nora. Ia sering mempelopori teman-teman
kelasnya untuk bergosip tentang guru bahasa itu. Sedemikian
bencinya ia kepada Bu Nora, sampai ia pernah berdoa agar Bu
Nora sakit atau ada suatu musibah yang menimpanya. Jadi, Bu
Nora tidak masuk kelas dan mengajar hari itu.
Seribu sesal tertanam dalam hari Aurel. Ia ingin sekali melakukan
sesuatu untuk menebus kesalahannya pada Bu Nora, guru yang
sekarang ia sayangi ini.

Akhirnya, perlombaan menulis cerpen itu pun dimulai. Peserta


diarahkan untuk memasuki ruanggan. Saat panitia
menggarahkan peserta untuk memulai perlombaan, Aurel
langsung mulai mengarang. Ia dengan semangat menuangkan
segala imajinasinya dalam tulisannya itu. Ia tidak ingin
mengecewakan guru yang selama ini telah mendidiknya dan
berjuang untuknya.
Alhasil, 25 menit sebelum lomba berakhir, ia telah berhasil
menyelesaikan tulisannya. Ada kebanggaan menyelimuti hatinya.
Akhirnya ia tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pada
saat ia mengikuti lomba cerpen waktu itu.

Tropi piala itu ia letakkan di meja Bu Nora. Di bawahnya ia


selipkan sebuah karangan yang berhasil membawanya meraih
juara. Ia segera kembali ke kelas. Sementara itu, di ruangannya
Bu Nora terkejut melihat piala itu ada di mejanya. Ia memang
sudah tahu Aurel menang. Tapi, ia binggung kenapa Aurel
meletakkan piala itu di mejanya.

Ia melihat kertas karangan Aurel. Tanpa sadar air matanya


menetes ketika membacanya. Ternyata karangan itu adalah
karangan tentangnya, yang disusun dengan kata-kata sedemikian
elok yang membuat anak didiknya meraih juara 1 dalam lomba.
Ada secarik kertas kecil yang juga terselip di bawah piala

Koda:jika kita melakukan sesuatu lakknlah dengan tulus

Anda mungkin juga menyukai