Anda di halaman 1dari 5

Interval

-Ianafrian

#Bagian 01 – Semua Orang Memang Berjarak


Jemuran yang hampir mengering lembut mengayun tertiup angin diatap bangunan
bernama kos-kosan. Terdengar penghuni kamar no. 3 sedang asyik bernyanyi, walaupun tidak
terlalu merdu tapi masih senada dengan iringan lagu yang ia putar dari hapenya.
“Teruslah kau mencari, waktu akan slalu mengobati. Temukan semua yang terhenti dalam
hidupmu... du... du... du...”suara keras rubi memecah keheningan siang ini.
“Tak perlu kau sesali hidup kan membuatmu memahami, coba untuk tetap berdiri jalani
mimpi.”fasih ia melantunkan lagu dari salah satu band favoritnya.
Rubi penghuni kamar no. 3 itu memang hobi bernyanyi, terutama saat pagi setelah
beberapa kali tersedak odol saat sedang menyikat gigi. Ia tidak pernah luput menyanyikan dua
sampai tiga lagu ketika berada di kamar mandi. Meskipun dari luar pintu kamar mandi ada yang
sedang mengantri, Rubi tetap asyik larut dalam alunan lagunya.
“Brak brak brak...”Nugi menendang pintu kamar mandi beberapa kali.
“Cepetan cok, aku udah kebelet boker nih.”teriak Nugi dari luar kamar mandi.
“Bentar cok, lima menit lagi.”sahut Rubi dari dalam.
Berbeda dengan Rubi, penghuni kamar no. 2 si Nugi lebih menyukai hal-hal yang berbau
olahraga dibandingkan seni. Sejak semester pertama, tiap kali ada acara olahraga di kampus ia
selalu mendaftrakan diri menjadi volunteer. Futsal, voli, basket dan hampir semua jenis olahraga
tim selalu ada Nugi sebagai anggotanya. Dan hebatnya dia termasuk yang paling jago dalam
timnya.
“Lama amat bocah, tak dobrak nih pintu.”Nugi sedikit mengancam.
“Klek, ini udah selesai. Gitu aja ngambek. Katanya atlet yang menjunjung tinggi
sportivitas.”Rubi segera membuka pintu setelah mendengar ancaman dari Nugi.
“Wkwkwk, gaada hubungannya dodol. Panggilan alam kudu disegerakan.”Nugi langsung berlari
menuju WC dan menutup pintu.
“Wah ribut mulu, apa enggak bosen. Aku berangkat duluan ya, mau fotocopy catatan dulu.”Jaza
melewati dua orang yang sedang ribut ini karena sedang buru-buru.
“Aku nitip Jaz !”teriak Nugi setelah menutup pintu WC.
“Okee siap.”sahut Jaza menuruni tangga menuju parkiran.
“Eh bentar dulu bosss, bukunya masih di kamarku. Lupa belum balikin lagi ke tas mu kemarin
malem.”ucapan Rubi menghentikan langkah Jaza.
“Si kampret, untung belum jadi berangkat. Buruan ambilin.”Jaza berhenti di tangga.
“Iya tunggu bentar.”Rubi segera berlari ke kamarnya.
Kalo tokoh ketiga ini kebetulan aku sendiri. Kenalin namaku Jaza. Di kosan ini aku
penghuni kamar no. 1. Jadi kamarku itu jejeran sama kamar Nugi dan Rubi di lantai dua.
Kebetulan kita juga satu jurusan, satu kelas juga waktu kuliah ini. Kalo Rubi hobinya nyanyi,
terus Nugi hobi olahraga. Kalau aku sama sekali enggak punya hobi apalagi kegiatan waktu
kuliah ini. Aku lebih sering ngeluangin waktu sendiri di kamar buat nulis cerita-cerita fiksi,
beberapa kali tak ikutin perlombaan tapi sekalipun enggak pernah menang. Jadi entah apa aku
bisa nyebut ini sebagai hobi atau bukan yang jelas aku suka, gitu aja.
“Lain kali kalo pinjem, balikin ke tempatnya lagi ya.”ucapku pada Rubi.
“Iya nih, maapin deh. Lain kali enggak tak ulangin.”Rubi cengar-cengir.
“Yaudah, tak berangkat duluan ya. Entar jangan lupa tungguin si Nugi. Jangan ditinggal lagi kek
kemarin.”tambahku.
“Emang kemarin sengaja tak tinggal. Siapa suruh lama-lama di kamar mandi.”Rubi malah
ketawa.
“Emang agak-agak tuh anak.”aku berjalan ke parkiran sambil tertawa ringan.
Suka nulis bagiku bukan tanpa alasan. Aku juga sering buat catatan waktu dosan jelasin
di depan kelas. Alhasil beberapa temen yang enggak sempet nyatet atau emang males, membeli
catatan pelajaran dariku ketika mendekati ada kuis/ulangan/ujian semester. Lumayan bisa buat
tambah-tambah uang bensin sama makan di kos.
Tidak semua mau membayar, ada beberapa temen yang memang aku takut sama mereka.
Jadi aku selalu memberikan fotocopy catatan ku secara gratis. Kalo enggak mau aku akan dibully
habis-habisan oleh mereka. Alasan aku tidak pernah berangkat bareng Rubi dan Nugi agar
mereka juga tidak ikut ter-bully karena berteman denganku di kampus. Kami memang akrab di
kosan selama dua semester ini, tapi ketika di kampus aku menyuruh mereka untuk
menganggapku seperti orang asing.
“Moga-moga aku enggak papasan sama gengnya Iko.”Aku berjalan was-was menuju kelas.
“Wah aman mereka belum dateng.”duduk di bangku sambil mengeluarkan kertas fotocopy an
dari dalam tas.
“Mana catatan gue. Udah lo siapin kan ?”Iko mencengkeram bahuku dari belakang.
“Em... em... Belum ada Ko, ini untuk yang udah bayar dulu. Nanti siang aku kasih punyamu,
sekarang soalnya belum ada uang lebih.”Aku terkejut sampai ngomong terbata-bata.
“Enggak ada uang, kuliah di kampus ternama kok gaada uang.”Iko mulai marah.
“Eh iya, elu kan bisa kuliah disini karena beasiswa kan. Jadi yang bayarin kuliah elu juga uang
dari kita-kita kan.”ejekan Iko semakin menjadi-jadi.
Aku memang selalu menjadi bahan bully-an Iko dan Gengnya di kelas. Setelah mereka
tahu bahwa aku mahasiswa penerima beasiswa dari kampus. Setiap hari di kampus seperti mimpi
buruk bagiku. Makanya aku lebih senang menyendiri di kos dan jarang ikut kegiatan di kampus.
Aku telah kehilangan kepercayaan diri sejak awal masuk kuliah ini karena pembully-an ini. Aku
yakin bahwa dengan membuat jarak dengan mereka, aku tidak akan ditargetkan oleh mereka
lagi.Tapi pemikiran ku salah, tidak ada yang berubah selama dua semester ini. Aku masih
menjadi target Iko dan gengnya.
“Kalo enggak ada catatan buat kita. Sobek aja semua fotocopy-an nya guys.”Iko yang terlanjur
kesal menyuruh anak buahnya.
“Jangan Ko, ini udah ada yang mau ambil habis ini.”Aku bersikeras menggenggam fotocopy-an
itu.
“Ah banyak bacot lu, kasih enggak. Atau gue habisin lu.”Iko mengancamku.
Teman-teman yang lain memang juga tidak berani dengan Iko dan gengnya. Sehingga
setelah semua aksi bullying ini terjadi mereka selalu acuh dan tidak melapor ke dosen. Bagiku
saat ini mereka juga membuat jarak denganku agar tidak menjadi target Iko berikutnya.
“Maafin aku Ko, ini aku kasih satu ke kamu. Gapapa ini buat kamu aja.”Aku mencoba
bernegosiasi dengannya.
“Gue enggak mau lu kasihanin ya, gue udah terlanjur marah sama lu.”Iko tidak mau berdamai.
“Robek, robek aja semuanya guys.”perintah Iko langsung dilaksanakan oleh anak buahnya.
“Jangan, fotocopy-an ini udah ada yang punya. Jangan seperti ini Ko.”Aku tetap memohon
sambil menggenggam kertas itu.
Tiba-tiba tendangan kaki keras mengarah ke perutku hingga aku terpental dan jatuh dari
kursi. Kertas fotocopy-an yang sebelumnya ku genggam ikut berserakan di lantai. Ketika ingin
kuambil lagi kertas-kertas itu, perutku masih terasa sakit. Iko dan teman-temannya telah meraih
kertas itu, mereka mulai merobeknya hingga tak bersisa.
“Ini akibatnya kalo elu ngebantah perintah gue. Sekarang rasain tuh kertas sobek yang udah
enggak ada gunanya.”Iko dan teman-temannya tertawa senang.
“Bubar ke tempat duduk masing-masing ya guys. Biar enggak ganggu Jaza yang lagi
mewek.”Iko tetap saja masih menghinaku dan berlalu seolah tidak terjadi apa-apa.
Sudah berkali-kali aksi bullying ini aku terima, tapi kali ini aku benar-benar marah.
Tanpa pikir panjang aku mulai bangkit dan melihat sapu dipojokan kelas. Secara tidak sadar tiba-
tiba tubuhku bergerak untuk mengambil sapu itu.
“Eh, kenapa ini? Kenapa tubuhku bergerak sendiri? Aku tidak merasa memberikan perintah
ini.”Aku kebingungan dengan apa yang sedang merasuki tubuhku saat ini.
Aku merasa ada sesuatu yang masuk ke tubuhku dan mulai mengambil alih kesadaranku.
Sapu dipojok kelas sudah berhasil kugenggam. Tapi selanjutnya untuk apa, kenapa kakiku terus
saja berjalan ke arah Iko.
“Iko bangsat...”tanpa disadari aku berteriak keras kearah Iko.

-Bersambung

Anda mungkin juga menyukai