Anda di halaman 1dari 21

PAPER

MATI TENGGELAM (DROWNING)

Disusun Oleh
Rexa Mayga Pratama 17360187
Reynaldi Samba Pratama 17360188
Reza Ramadhani 17360189
Rianti Nuranisa Putri Daen 17360190

Pembimbing:

dr. Surjid Singh, MBBS, Sp.F, DFM

dr. Rahmawati, Sp.F

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2017

DAFTAR ISI

Halaman
COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................iv
ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah.......................................................................1


1.2. Ruang Lingkup .....................................................................................2
1.3. Tujuan dan Manfaat..............................................................................3
BAB II KERANGKA TEORI ................................................................................4

2.1. Definisi Tenggelam...............................................................................4


2.2. Mekanisme Tenggelam.........................................................................4
2.3. Klasifikasi Tenggelam...........................................................................5
2.3.1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru....................................5
2.3.2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam.....................................................6
2.4 Cara Kematian.....................................................................................6
2.5 Pemeriksaan Pada Jenazah...................................................................7
2.6 Pemeriksaan Luar Jenazah...................................................................9
2.7 Pemeriksaan Dalam..............................................................................10
2.8 Pemeriksaan Laboratorium...................................................................11

BAB III KESIMPULAN .........................................................................................17


DAFTAR PUSTAKA................................................................................................18
iii

DAFTAR TABEL

No.Tabel Halaman

Tabel 2.1 Perbedaan tanda antemortem dan postmortem

pada kasus mati tenggelam ................................................................10


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi


cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh seluruh atau sebagian
tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah
keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian
(Onyekwelu, 2008). Berdasarkan World Health Organization (WHO), 0,7%
kematian didunia atau 500.000 kematian setiap tahunnya disebabkan oleh
tenggelam. Tenggelam merupakan penyebab utama kematian didunia diantara
anak laki-laki berusia 5- 14 tahun. Di Amerika Serikat, tenggelam merupakan
penyebab kedua kematian yang disebabkan oleh kecelakaan diantara anak-anak
usia 1 sampai 4 tahun, dengan angka kematian rata-rata 3 per 1000 orang.
Berdasarkan definisi terbaru dari WHO pada tahun 2002, tenggelam merupakan
suatu proses gangguan respirasi yang disebabkan subumersi atau imersi oleh
cairan. Sebagian besar korban tenggelam hanya mengisap sebagian kecil air dan
akan baik dengan sendirinya. Kurang dari 6 % dari korban tenggelam
membutuhkan perawatan medis dirumah sakit. Jika korban tenggelam
diselamatkan secepatnya maka proses tenggelam selanjutnya dapat dicegah yang
berarti tidak akan menjadi fatal (David S, 2012).
Tenggelam merupakan salah satu kematian yang disebabkan oleh asfiksia.
Kematian karena asfiksia sering terjadi, baik secara wajar maupun tidak wajar,
sehingga tidak jarang dokter diminta bantuannya oleh pihak polisi/penyidik untuk
membantu memecahkan kasus-kasus kematian karena asfiksia terutama bila ada
kecurigaan kematian tidak wajar. Tenggelam merupakan kematian tipe asfiksia
yang disebabkan adanya air yang menutup jalan saluran pernapasan sampai ke
paru-paru (Fitricia, 2010). Bila pada asfiksia yang lain tidak terjadi perubahan
elektrolit dalam darah, sedangkan pada tenggelam perubahan tersebut ada, baik
tenggelam dalam air tawar (fresh water drowning) maupun tenggelam dalam air
2

asin (salt water drowning). Mekanisme kematian pada tenggelam pada umumnya
adalah asfiksia, mekanisme kematian yang dapat juga terjadi pada tenggelam
adalah karena inhibisi vagal dan spasme laring (David S, 2012). Penelitian pada
akhir tahun 1940-an hingga awal 1950-an menjelaskan bahwa kematian
disebabkan adanya gangguan elekrolit atau terjadinya hipoksia dan asidosis yang
menyebabkan aritmia jantung akibat masuknya air dengan volume besar ke dalam
sirkulasi melalui paru-paru (Singh et al, 2015).
Tenggelam pada umumnya merupakan kecelakaan, baik kecelakaan secara
langsung maupun tenggelam yang terjadi oleh karena korban dalam keadaan
mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka yang terserang epilepsi.
Pembunuhan dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban biasanya bayi
atau anak-anak. Pada orang dewasa dapat terjadi tanpa sengaja, yaitu korban
sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati, padahal hanya pingsan. Untuk
menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena tenggelam.
Bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang
jarang terjadi. Korban sering memberati dirinya dengan batu atau besi, baru
kemudian terjun ke air (Singh et al, 2015).
Kondisi drowning memiliki banyak tantangan untuk dibuktikan dalam
pendekatan patologi forensik, dalam menentukan sebab, serta cara kematian
jenazah. Dalam menentukan cara kematian diperlukan pertimbangan terkoordinasi
terhadap keadaan-keadaan yang diduga pada kematian, bukti-bukti medis obyektif
yang ada, serta walaupun tidak mutlak spesifik, terdapat beberapa data konfirmatif
yang dapat dicari melalui pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan
TKP yang dapat membantu menemukan cara kematian jenazah korban tenggelam.
Meski bukan merupakan cara kematian mayor pada kasus tenggelam, ilmu
kedokteran forensik dapat memberikan kontribusi dalam membedakan cara
kematian tenggelam karena bunuh diri atau pembunuhan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan dengan makalah ini dapat menambah pengetahuan Pembaca
mengenai pembunuhan atau bunuh diri pada kasus tenggelam.
3

1.2 Ruang lingkup


Penulis akan membahas definisi, patomekanisme, klasifikasi, dan juga
pembahasan yang telah ditetapkan

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di
Departemen/SMF Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit
Umum Daerah Haji Medan dan untuk menambah wawasan serta pengetahuan
dalam penerapan ilmu forensic khususnya mengenai mati tenggelam yang
diperoleh semasa kepaniteraan klinik senior di Departemen/SMF Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Daerah Haji Medan
4

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Definisi Tenggelam


Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke
dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam
cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan
fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit serum yang
mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa juga disebabkan karena
laringospasme sebagai akibat refleks vagal (Idries AM, 1997).
Pada peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di
dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air maka
hal itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam. Jumlah air
yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru adalah sebanyak 2 L untuk orang
dewasa dan 30-40 mL untuk bayi (Dahlan S, 2000).

2.2 Mekanisme Tenggelam


Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat spasme
laring, asfiksia karena garggling dan choking, refleks vagal, fibrilasi ventrikel (air
tawar) dan edema pulmoner (dalam air asin) (Shepherd R, 2003)
1. Refleks vagal
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam parunya
sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drowning) (Shepherd R,
2003).
2. Spasme laring
Spasme laring disebabkan karena rangsangan air, terutama air dingin, yang
masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-
tanda asfiksia, tetapi parunya tidak didapati adanya air atau benda air
(Dahlan S, 2000).
3. Pengaruh air yang masuk paru
5

Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan
sistem saraf pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena
tenggelam (kerusakan primer) atau dari aritmia, gangguan paru atau
disfungsi multiorgan (Cantwell PG et al, 2013).

1.3 Klasifikasi Tenggelam


1.3.1 Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam dibedakan atas
tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet drowning) (Dahlan
S, 2000)
1. Tipe kering (dry drowning)
Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol, dimana
mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri saat
tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius bawah
atau ke lambung. Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari refleks
vagal yang dapat menyebabkan henti jantungatau akibat darispasme laring karena
masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus respiratorius bagian
atas.
Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti intoksikasi
alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang sebelumnya (seperti
aterosklerosis), kejadian tenggelam/ terbenam secara tak terduga/ mendadak,
ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin, disertai
kekurangan oksigen, dapat menyebabka cardiac arrest) (Dahlan S, 2000).
2. Tipe basah (wet drowning)
Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan. Aspirasi 1-3
ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran udara. Aspirasi air
sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air tawar
bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak
sehingga menyebabkan ninstabilitas alveoli, atelektasis, dan menurunnya
kemampuan paru untuk mengembang (Dahlan S, 2000).
Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban menahan nafas
karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap. Dapat
6

terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya laringospasme yang
diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban kehilangan kesadaran dan
terjadi apneu. Penderita kemudian megap-megap kembali, bisa sampai beberapa
menit diikuti kejang-kejang. Penderita akhirnya mengalami henti nafas dan
jantung (Dahlan S, 2000).

2.3.2 Berdasarkan Lokasi Tenggelam


Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat
dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin
1. Air Tawar
Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi
hemodilusi yang hebat sampai 72% yang berakibat terjadinya hemolisis. Oleh
karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam plasma
meningkatdan natrium berkkurang, juga terjadi anoksiayang hebat pada
miokardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam oembuluh darah atau
sirkulasi, menjadi berlebihan sehingga terjadi penurunan tekanan sistol dan dalam
waktu beberapa menit terjadi fiberilasi ventrikel. Jantung untuk beberapa saat
masih berdenyut dan lemah, terjadi anoksia serebri yang hebat yang dapat
mejelaskan mengapa kematian terjadi dengan cepat (Idries AM, 1997).
2. Air asin
Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran eletrolit dari air asin ke darah
sehingga mengakibatkan peningkata natirum plasma, air akan ditarik dari sirkulasi
pulmoinal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema
pulmo yang hebat dalam waktu yang singkat dna peningkatan hematokrit
(hipovolemiia). Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi) menyebabkan
sirkulasi aliran darah menjadi lambat dan anoksia pada miokardium yang
menimbulkan payah jantung dan kematian terjadi kuurang lebih 8-9 menit setelah
tenggelam (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997)

2.4 Cara Kematian pada Korban Tenggelam

Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena (Dahlan S, 2000) :


1. Kecelakaan
Peristiwa tenggelam terjadi karena kecelakaan sering terjadi karena korban
jatuh ke laut, sungai ataupun danau. Pada anak-anak, kecelakaan sering
7

terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang
sering menjadi penyebab kecelakaan antara lain karena mabuk atau
serangan epilepsi
2. Bunuh diri
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air sering kali
terjadi. Terkadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh
dapat tenggelam dengan mudah
3. Pembunuhan
Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke
laut atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.
Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi amat
sukar atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada saksi, maka
tidak dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh diri/ pembunuhan.

2.5 Pemeriksaan Pada Jenazah


Pemeriksaan mayat yang dilakukan harus seteliti mungkin agar mekanisme
kematian dapat ditentukan karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk.
Hal yang perlu diperhatikan adalah (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).

1. Menentukan identitas korban


Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara lain:
a. Pakaian dan benda-benda milik korban.
b. Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.
c. Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.
d. Sidik jari.
e. Pemeriksaan gigi.
f. Teknik identifikasi lain.

2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam


Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup atau
sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil pemeriksaan
a. Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam ialah
pemeriksaan diatom. Metode ini bukan tanda pasti karena pada paru
seorang penyelam bisa jadi juga didapatkan diatom dalam parunya. Untuk
mendapatkan diatom pada organ selain paru dibutuhkan proses
tengggelam dalam keadaan hidup dan dalam waktu yang lama.
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
8

c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai
membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara
fisik dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam mempunyai
nilai yang bermakna.
e. Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan
bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam
air.

3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning


Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe drowning
dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau kekerasan lain.
Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem (antemortem impact)
pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka, perlukaan pada vertebra
servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.
4. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian
Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian, misalnya
kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau
bedah jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan
dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di tempat itu atau di
tempat lain.
6. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.
a. Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam air.
Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk ke dalam
saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion, kematian terjadi dengan
cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest yang terjadi pada
waktu cairan melalui saluran napas atas. Beberapa korban yang terjun dengan kaki
terlebih dahulu menyebabkan cairan dengan mudah masuk ke hidung. Faktor lain
adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan alkohol.
b. Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti kematian
terjadi seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan tidak dapat masuk.
9

Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang makin lama
makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12 menit (fatal period).
Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari air, masih ada kemungkinan
dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.Waktu yang diperlukan untuk terbenam
dapat bervariasi tergantung dari keadaan sekeliling korban, keadaan masing-
masing korban, reaksi perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan
jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan.

Tabel 2.1 Perbedaan tanda antemortem dan postmortem pada kasus mat
tenggelam
Gambaran Tenggelam Ante-Mortem Tenggelam Post-Mortem
Buih Halus, banyak buih keluar Tidak ditemukan buih.
dari hidung dan mulut
Mengembang, bertumpang Terdapat air dalam paru-
tindih dengan jantung, paru.
Paru-paru terdapat indentasi tulang-
tulang iga, terjadi edema
pada paru.
Spasme mayat Rumput atau ranting tampak Tidak dijumpai.
pada genggaman mayat.
Biasanya tidak ditemukan. Cedera pada bagian tubuh
Cedera kepala atau cedera yang menyebabkan
Cedera bagian tubuh lainnya bisa kematian.
terjadi jika tubuh
menghantam benda keras
yang terdapat dalam air.
Terdapat tanda-tanda Tanda-tanda kematian
Temuan tanda asfiksia. disebabkan oleh alasan
asfiksia lain, dimana korban
meninggal karena keadaan
syok.
10

Biasanya karena kecelakaan Kebanyakan kasus yang


atau bunuh diri. Kasus terjadi karena motif
Motif pembunuhan terjadi pada pembunuhan. Tidak
anak dan orang tua. pernah terjadi karena
bunuh diri. Jarang terjadi
karena kecelakaan.

2.6 Pemeriksaan Luar Jenazah


Pemeriksaan luar jenazah yang dapat dijadikan petunjuk pada mati
tenggelam di air laut maupun air tawar adalah (Abraham et al, 2009).
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-
benda asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam
dalam air.
b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut. Teori
intravital menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi intravital. Pada
waktu air memasuki trakea, bronkus, dan saluran pernapasan lainnya, maka
terjadi pengeluaran sekret oleh saluran tersebut. Sekret ini akan terdorong
keluar oleh udara pernapasan sehingga berbentuk busa mukosa
c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau
bendungan.
d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital, jika kedinginan,
maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan pori-pori tampak lebih
jelas. Kutis anserina biasanya ditemukan pada kulit anterior tubuh terutama
ekstremitas. Gambaran seperti kutis anserina dapat juga terjadi karena rigor
mortis pada otot tersebut.
e. Washer woman’s hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan
biasanya membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini tidak patognomomik
karena mayat yang lama dibuang ke dalam air akan terjadi keriput juga.
f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa saja yang terdapat
dalam air.
11

g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet biasanya
dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku, lutut, punggung kaki
atau tangan. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar ketika terbenam,
tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda atau binatang
dalam air.
h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis, Tardieu spot.
Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi lebih sedikit daripada
gantung diri karena pada tenggelam tidak terjadi kematian secara mendadak
sehingga pecahnya kapiler tidak secara tiba-tiba atau hanya sedikit.
Pada mayat yang sudah membusuk, dapat ditemukan:
a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.
b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong pangkal lidah.
Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami pembusukan di darat.
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre (kepala orang
negro).
d. Pugilistic attitude
Posisi lutut dan siku sedemikian rupa sehingga kaki dan tangan tampak
membengkok (frog stand). Ini disebabkan cairan dan gas yang terbentuk pada
persendian.
e. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman karena terbentuk
FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati di darat.
f. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi prolaps atau
adanya gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar anak yang
dikandung.
g. Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga warna kulit
tidak jelas, rambut lepas.

2.7 Pemeriksaan Dalam


Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan benda asing,
seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).
Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan
besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di
depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak
masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah (melalui proses
12

imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat mengalami emfisema.
Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap mempertahankan bentuk
normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami
emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah
dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya seperti
sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika jaringan dipotong dan
ditekan antara ibu jari dan keempat jari lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada
cairan dan gas, kecuali jika terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering
pada kasus tenggelam di air tawar(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar
seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997). Pada pengirisan terdapat banyak cairan, beratnya kadang melebihi 2.000
gram. Karena paru sangat edema maka tepi depan paru overlap di depan
mediastinum sehingga berbentuk seperti cetakan iga. Paru berwarna keunguan
atau kebiruan dengan permukaan mengkilap. Paru lembab dan konsistensinya
seperti agar-agar dan hilang dengan penekanan. Ketika paru dipindahkan dari
tubuh dan ditempatkan pada meja pemotongan, paru tidak mempertahankan
bentuk normalnya tapi cenderung datar. Ketika dipotong, tidak ada suara krepitasi
yang terdengar dan bahkan tanpa penekanan jaringan mengeluarkan banyak
cairan. Jaringan paru ditekan maka akan ditemukan paru dipenuhi cairan. Dengan
demikian kasus tenggelam di air laut paru mengalami lembab dan basah (Sauko et
al, 2004).
Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di
antara septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang
disebut bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie
subpleura dan bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas
tenggelam, tetapi sebagai usaha respirasi (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran pernafasan
dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea, bronkus sampai
percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan benda-benda air
seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka dapat dipastikan
bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
13

Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami pembendungan.
Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan lumpur(Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).

2.8 Pemeriksaan Laboratorium


1. Pemeriksaan diatom
Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang terbuat
dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan dalam air
tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan elemen plankton lain
masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan ketika seseorang tenggelam
menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah melalui
kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar ke seluruh
jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat ditenggelamkan dalam air meskipun
diatom dapat masuk ke dalam paru-paru secara pasif, tidak ada aliran sirkulasi
darah yang mungkin terjadi, sehingga (secara teori) tidak mungkin ada diatom
yang dapat ditemukan pada organ-organ dalam yang lebih jauh (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat telah
membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet atau
sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang bermakna
sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan terhadap air
minum atau makanan(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).
Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru dilakukan
dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram, masukkan ke
dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan paru
terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian
dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai
terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing dalam centrifuge (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997).
Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan kembali
dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif bila pada
jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-20 per satu
14

sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997).
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara
permukaan paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil sedikit
cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup dengan
kaca penutup dan lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula terlihat
ganggang atau tumbuhan jenis lainnya(Ilmu Kedokteran Forensik, 1997).

Gambar 1. Prinsip Tes Diatom (Saukoet al, 2004)


Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada
kasus-kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah
banyak hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari karena
itu tes ini jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini seharusnya dilakukan dan
hasilnya diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan lain (Shepherd, 2003)
2. Pemeriksaan Elektrolit
Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya
klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu tes
yang baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Banyak
dari peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang
validitas studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam. Pada tahun 1944
15

Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan kadar klorida pada


sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan kiri dapat bernilai
diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan adalah segera setelah terjadinya
kematian. Dia menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida sekitar 17 mEq/L atau
lebih pada kasus tenggelam di air tawar dapat ditetapkan sebagai pendukung
penegakan diagnosis tenggelam (Saukoet al, 2004)
Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum klorida
di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah kanan.
Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya (Abrahamet al, 2009)
Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk
menentukan perbedaan dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri. Bila
pada pemeriksaan ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi dibandingkan
dengan jantung kanan, maka dapat diasumsikan bahwa korban meninggal akibat
tenggelam (Abraham et al, 2009). Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat
menyokong diagnosis, walaupun secara tersendiri kurang bermakna (Shepherd,
2003)

Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium plasma
meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma meningkat cukup
tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam pada air tawar,
konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih rendah
dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini disebabkan
ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah tingkat natrium
dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson berpendapat bahwa analisis
dari kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan, tetapi hasilnya terlalu beragam
untuk digunakan didalam praktek sehari-hari (Shepherd, 2003).

BAB III
KESIMPULAN
16

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi


cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke
dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal, fibrilasi
ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin)
Pada peristiwa tenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan hemodilusi
sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi karena fibrilasi ventrikel.
Pada peristiwa tenggelam di air asin, karena konsentrasi elektrolit air asin lebih
tinggi daripada plasma,air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan
interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi, dan
hipovolemia.
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam
dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet
drowning). Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka
dapat dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.
Diagnosis kematian akibat tenggelam dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan laboratorium berupa histologi
jaringan, destruksi jaringan, dan berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Pada pemeriksaan luar, dapat ditemukan Schaumfilz froth, kuntis anserina,
washer woman’s hand, cadaveric spasm, tanda-tanda asfiksia seperti sianosis dan
petekie. Kemudian dapat juga dijumpai luka lecet dan penurunan suhu mayat
Pada pemeriksaan dalam, paru tetap kering pada kasus tenggelam di air tawar.
Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar. Petekie
juga dapat dijumpai. Organ lain dapat mengalami pembendungan.

DAFTAR PUSTAKA
17

Abraham S, Arif Rahman S, Bambang PN, Gatot S, Intarniati, Pranarka K,


et al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 16-24
Cantwell PG, Verive MJ,S hoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang S, et al.
2013. Drowning. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview.
(Accessed 21 Februari 2015)
Dahlan S.2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penengak Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
David Szpilman, dkk. 2012. ”Drowning”. The New England Journal of
Medicine. Acesed from http://www.nejm.org/doi/pdf/.
Fitricia, Ria. 2010. Tanda Intravital yang Ditemukan Pada Kasus
Tenggelam di Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP
H. Adam Malik/RSUD Pingardi Medan pada Bulan Januari
2007-Desember 2009. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.
Idries, Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi
Pertama:Tenggelam. Binarupa Aksara. Hal. 177-190.
Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1997.
Levin DL, Morriss FC, Toro LO, Brink LW and Turner GR. Drowning and
near Drowning. Pediatr Clin of North Am. 1993; 40(2): 321

Michel HA, Piette, Els A, De Letter.2005. Drowning : Still a difficult


autopsy diagnosis.Forensik Science International. Available
from : http://netk.net.au/Forensic/Drowning.pdf (Accesed 3
Maret 2015)

Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of Health.


2008; 8(2)
Sauko P, Bernard K.2004 . Knight’s Forensic Pathology, 3nd Ed. London :
Oxford University Press, 393-398
Sheperd R, Simpson’s Forensic Medicine. 12nd Ed. Oxford University
Press. NewYork, 1996, 104-106.
Shepherd R. 2003. Simpson’s Forensic Medicine, 12nd ed. New York :
Oxford University Press, 104-106.
Singh R, Kumar M, ell. ”Drowning Associated Diatoms”. Department of
Forensic Science Punjabi University. [cited 2015Feb19]
available from : http://www.icmft.org
18

WHO,2013.Drowning, Available from :


http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/dro
wning/en/ (Accessed 21 Februari 2015)

Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam


(Review). Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia 2012; 14(3): 39-46

Anda mungkin juga menyukai