Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENIMBUNAN LIMBAH B3 DAN HAL-HAL YANG DIFOKUSKAN


DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 DAN PENGAWASANNYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Kimia B3 dan Pengolahan Limbah
Dosen Pengampu : Muhammad Zammi, M.Pd.

Disusun Oleh:
1. Syarifatul Ulya Nur Isnaeni (1508036011)
2. Annisa Fadhilah (1508036013)
3. Nila Munana (1508036025)

PRODI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
I. PENDAHULUAN
Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) harus dilakukan secara
tepat, baik tempat, tata cara maupun persyaratannya. Walaupun limbah B3 yang akan
ditimbun tersebut sudah diolah (secara fisika, kimia, biologi) sebelumnya, tetapi limbah
B3 tersebut masih dapat berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk
mencegah pencemaran dari timbulan lindi,maka limbah B3 tersebut harus ditimbun pada
lokasi yang memenuhi persyaratan.
Penimbunan hasil dari pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari
pengelolaan limbah B3 di tempat yang diperuntukkan khusus sebagai tempat
penimbunan limbah B3 dengan desain tertentu yang mempunyai sistem pengumpulan
dan pemindahan timbulan lindi dan mengolahnya memenuhi kriteria limbah cair yang
ditetapkan sebelum dibuang ke lingkungan.
Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill) adalah untuk
menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan
menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka
panjang.Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3 pun
harus ditangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

II. PEMBAHASAN
A. TATA CARA DAN PERSYARATAN PENIMBUNAN LIMBAH B3
1. Pemilihan Lokasi Landfill
Penimbunan limbah B3 harus dilakukan pada lokasi tepat dan benar yang
memenuhi persyaratan lingkungan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pemilihan lokasi adalah:
a. Lokasi yang akan dipilih harus merupakan daerah yang bebas dari banjir
seratus tahun.
b. Geologi lingkungan
1) Daerah dengan litologi batuan dasar adalah batuan sedimen berbutir
sangat halus (seperti serpih, batu lempung), batuan beku, atau batuan
malihan yang bersifat kedap air (k<10-9 m/detik), tidak berongga, tidak
bercelah dan tidak berkekar intensif.
2) Tidak merupakan daerah berpotensi bencana alam : longsoran, bahaya
gunung api,gempa bumi dan patahan aktif.
c. Hidrogeologi.
1) Bukan merupakan daerah resapan (recharge) bagi air tanah tidak
tertekan yang penting dan air tanah tertekan.
2) Dihindari lokasi yang dibawahnya terdapat lapisan air tanah (aquifer).
Jika dibawah lokasi tersebut terdapat lapisan air tanah maka jarak
terdekat lapisan tersebut dengan bagian dasar landfill adalah 4 meter.
d. Hidrologi Permukaan
Lokasi penimbunan bukan merupakan daerah genangan air, berjarak
minimum 500 m dari: aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, danau,
atau waduk untuk irigasi pertanian dan air bersih.
e. Iklim dan curah hujan
Diutamakan lokasi dengan:
1) Curah Hujan : kecil, daerah kering;
2) Keadaan angin : kecepatan tahunan rendah, berarah dominan ke daerah
tidak berpenduduk atau berpenduduk jarang.
f. Lokasi penimbunan harus sesuai dengan rencana tata ruang yang
merupakan tanah kosong yang tidak subur, tanah pertanian yang kurang
subur, atau lokasi bekas pertambangan yang telah tidak berpotensi dan
sesuai dengan rencana tata ruang baik untuk peruntukan industri atau
tempat penimbunan limbah. Selain itu harus memperhatikan flora dan
fauna;
1) Flora : merupakan daerah dengan kesuburan rendah, tidak ditanami
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan bukan daerah/kawasan
lindung;
2) Fauna : bukan merupakan daerah margasatwa/cagar alam.
2. Persyaratan Rancang Bangun/Desain Landfill Limbah B3
a. Rancang Bangun/Desain Bagi Masing-masing Kategori Landfill
Rancang bangun/desain bagi masing-masing kategori landfill yang
digunakan untuk tempat penimbunan limbah B3 Gambar 1, adalah:
1) Pelapisan Dasar
a. Kategori I (Secure Landfill Double Liner)
b. Kategori II (Secure landfill single liner)
c. Kategori III (Landfill Clay Liner)
2) Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover) bagi Landfill Kategori I, II, III.
Setelah landfill diisi penuh dengan limbah, landfill harus ditutup dengan
pelapis penutup akhir (PPA), PPA tersebut harus dirancang sedemikian
rupa sehingga mampu:
a. Memiminimumkan perawatan di masa yang akan datang setelah
landfill ditutup;
b. Memimimumkan infiltrasi air permukaan ke dalam landfill, dan
c. Mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill.
3. Persyaratan Konstruksi dan Instalansi Komponen-Komponen Landfill
Pemilikan fasilitas landfill wajib memenuhi ketentuan:
a. Sebelum memulai konstruksi dan instalansi komponen-komponen landfill,
harus membuat dan menyerahkan Rencana Konstruksi dan Instalansi
Landfill serta Rancangan Jaminan Kualitas komponen-kompenen landfill
yang dibangun memenuhi standar yang telah dipersyaratkan;
b. Pada saat konstruksi dan instalansi komponen-komponen landfill, harus
melakukan kegiatan inspeksi, uji kualitas komponen-komponen landfill, dan
melaporkan hasil kegiatan inspeksi dan uji kualitas tersebut kepada
Bapedal;
c. Setelah konstruksi dan instalansi landfill selesai dilaksanakan, harus
membuat danmeyerahkan laporan hasil kegiatan konstruksi dan instalansi
komponen-komponen landfill yang dibangun Bapedal;
d. Mengikutsertakan Bapedal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Bapedal
sebagai pengawas dalam setiap kegiatan pelaksanaan konstruksi dan
instalansi landfill.
4. Persyaratan Peralatan dan Perlengkapan fasilitas Landfill
Pengoperasian fasilitas landfill harus didukung peralatan atau perlengkapan
perlengkapan sebagai berikut:
a. kantor administrasi;
b. gudang peralatan;
c. fasilitas pencucian kendaraan dan perlengkapannya;
d. tempat parkir;
e. peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat;
f. peralatan .emergency shower.;
g. peralatan penimbunan limbah di lokasi landfill (contoh : buldoser);
h. perlengkapan pengamanan pribadi pekerja;
i. perlengkapan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan).
5. Perlakuan Limbah B3 Sebelum Ditimbun
Perlakuan limbah B3 yang memerlukan pengolahan awal sebelum
ditimbun dilakukan melakukan tahapan sebagai berikut:
a. Melakukan uji analisa limbah B3 di laboratorium untuk menentukan cara
pengolahan awal yang sesuai dan tepat, misalnya : antara lain dengan cara
solidifikasi/stabilisasi.
b. Melakukan pengolahan limbah B3 yang sesuai dan tepat berdasarkan hasil
analisa butiran diatas, hingga memenuhi persyaratan untuk dapat ditimbun
di landfill limbah B3.
Untuk limbah B3 yang tidak memerlukan pengolahan awal tetapi telah
memenuhi baku mutu uji TCLP, lolos uji paint filter dan uji kuat tekan, dapat
ditimbun langsung di landfill.
6. Persyaratan Limbah B3 yang Dapat Ditimbun di Landfill.
Limbah B3 yang dapat ditimbun di landfill wajib memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Memenuhi baku mutu uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure
(TCLP) tabel 3; lolos uji paint Filter Test dan uji kuat tekan (compressive
strength);
b. Sudah melalui proses stabilisasi/solidifikasi, insinerasi atau pengolahan
secara fisika atau kimia;
c. Tidak bersifat:
1) Mudah meledak.
Limbah mudah terbakaradalah limbah yang apabila bertekanan dengan
api, percikan api, gesekan atau sumber bunyi nyala lain akan mudah
menyala atau terbakar dan apabila telah menyala akan terus terbakar
hebat dalam waktu lama.
2) Mudah terbakar.
Limbah mudah terbakar adalah limbah yang apabila bertekanan dengan
api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala
atau terbakar dan apabila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam
waktu lama.
3) Reaktif.
Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah yang meyebabkan
kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah
organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
4) Menyebabkan infeksi.
Biasanya limbah Rumah sakit dimana limbahnya terdiri dari bagian
tubuh manusia yang terkena infeksi kuman penyakit yang dapat menular.
d. Tidak mengandung zat organik lebih besar dari 10 persen;
e. Tidak mengandung PCB;
f. Tidak mengandung dioxin;
g. Tidak mengandung radio aktif;
h. Tidak berbentuk cair atau lumpur.
Pada saat penimbunan limbah B3 di landfill harus dilakukan pencatatan
yang memuat informasi (waste tracking form) mengenal asal penghasil
limbah B3, karakteristik awal limbah B3, volume, tanggal, dan lokasi
(koordinat) penimbunan.
7. Persyaratan untuk Sistem Pengelolaan Lindi.
Lindi yang timbul dari kegiatan penimbunan limbah B3 harus dikelola dengan
baik. Sistem pengelolaan lindi harus dirancang dan dioperasikan sesuai dengan
ketentuan dibawah ini:
a. Aliran air hujan (run-on dan run-off) di dalam sistem landfill harus
dikendalikan;
b. Sistem yang digunakan harus dapat memperkecil jumlah air yang masuk ke
dalam landfill.
Air yang terkumpul di landfill dan berkontak dengan limbah B3 harus
dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan lindi., misalnya air dari
pencucian truk pengangkut limbah B3.
c. Air diluar landfill yang kontak dengan limbah B3 harus dikumpulkan dan
dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpulan, misalnya air dari
pencucian truk pengangkut limbah B3.
d. Timbulan lindi dalam lapisan pengumpulan lindi dan lapisan pendeteksi
kebocoran landfill harus dipindahkan ke tempat penampungan/pengumpul
lindi;
e. Tempat pengumpul lindi (Leachate Collection Vessel or Pits);
Tempat pengumpul lindi (TPL) jika berupa bak atau kolam harus dirancang
beratap dan jika berupa tangki harus dipasang tanggul disekeliling tangki
dengan volume 110% volume tangki. Baik tangki maupun kolam tersebut
harus dirancang mampu menampung lindi yang timbul selama seminggu.
Selain TPL utama harus disediakan TPL cadangan;
f. Pengaliran/pembuangan timbulan lindi dari TPL ke perairan bebas dapat
dilakukan setelah lindi diuji kualitasnya dan memenuhi baku mutu limbah
cair sebagaimana tercantum dalam Tabel Baku Mutu Limbah Cair bagi
kegiatan PPLI-B3 (Tabel 5 BMLCK-PPLIB3). Jika tidak memenuhi mutu
limbah cair maka timbunan lindi harus diolah terlebih dahulu, hingga
memenuhi baku mutu limbah cair;
g. Uji kualitas lindi dan laju alir lindi yang dibuang keperairan bebas dicatat
dan catatannya disimpan untuk kemudian dilaporkan kepada Bapedal;
h. Wajib melakukan uji kualitas lindi yang berasal dari lapisan sistem
pendeteksi kebocoran sebelum dipindahkan ke TPL sebagaimana tercantum
pada Tabel 4; i. untuk mencapai kualitas baku mutu limbah cair tidak
diperbolehkan melakukan pengenceran. Selama Bapedal belum menentukan
metode pengambilan dan analisa contoh, maka metode pengambilan contoh
mengikuti .Standar Methods for the Examination of Water and waste water.
yang dipublikasikan oleh American Public Health Association dan American
Water Works Association. Kemudian untuk metode analisis parameter-
parameter sebagaimana tercantum dalam tabel 5 BMLTK-PPLI-B3
digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI), sedangkan parameter-
parameter yang belum ada SNI-nya maka mengikuti .Standard Methods.
diatas;
i. volume laju lindi yang dibuang harus dibatasi dan disesuaikan dengan
daya dukung lingkungan dan kapasitas pengolahan.
8. Persyaratan untuk Sistem Pemantauan Air Tanah dan Air Permukaan
Sarana penimbunan limbah B3 harus dilengkapi dengan sistem pemantauan
kualitas air tanah zona jenuh dan tidak jenuh serta air permukaan disekitar lokasi.
Sistem pemantauan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Jumlah, kedalaman, dan lokasi sumur pantau air tanah harus dipasang
sesuai dengan kondisi hidrogeologi setempat (jumlah minimum sumur pantau
3 buah, satu sumur pantau up-stream dan 2 sumur pantau downstream) dan
harus mendapat persetujuan Bapedal.
b. Contoh air tanah harus diambil dari sumur pantau dan contoh air permukaan
dari sungai yang berada disekitar landfill, setiap bulan selama 2 tahun pertama
beroperasinya kegiatan penimbunan limbah B3 dan setiap 3 bulan untuk
tahun-tahun berikutnya. Contoh air tanah tersebut dianalisis sesuai dengan
parameter sebagaimana dimaksud pada tabel 3.
c. Hasil uji analisa contoh air tanah dan air permukaan harus dicatat dan
catatannya disimpan untuk dilaporkan ke Bapedal setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Jika parameter atau lebih dari parameter indikator lindi Tabel 4, dari contoh
air sumur pantau melewati (*) kisaran air tanah alam maksimum yang
diizinkan, maka harus dilakukan analisis total parameter sebagaimana dalam
Tabel 5 BMLCK-PPLIB3. kemudian dicari penyebab dilampauinya baku
mutu maksimum tersebut dan harus dilakukan langkah-langkah perbaikan
yang diperlukan. Langkah-langkah perbaikan yang diambil harus ditetapkan
bersama Bapedal atau oleh Bapedal.

B. HAL-HAL YANG DIFOKUSKAN PADA PENGELOLAAN DAN


PENGENDALIAN LIMBAH B3
Hal-hal yang difokuskan pada pengelolaan dan pengendalian limbah B3:
1. Dilarang membuang limbah B3 langsung ke lingkungan.
Limbah B3 sudah diketahui sangat berbahaya bagi lingkungan, maka dalam hal
ini industry-industri atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang untuk
membuang limbah secara langsung ke lingkungan karena akan berdampak buruk
apabila proses pembuangan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu.
Terdapat metode-metode pembuangan limbah B3:
a. Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia
adalah dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan
batuan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air
tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap dilapisan itu
sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air. Namun, sebenarnya tetap
ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau pecahnya
lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah.
b. Kolam penyimpanan (surface impoundments)
Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat
untuk limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat
mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3
akan terkosentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah
memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada
kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa
B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.
c. Landfill untuk limbah B3 (secure landfils)
Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi.
Pada metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam
drum atau tong-tong, kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus
untuk mencegah pencemaran limbah B3. Landffill ini harus dilengkapi
peralatan moditoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan
harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat
menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure
landfill merupakan metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada
kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka
panjang karena limbah akan semakin menumpuk.
2. Dilarang melakukan pengenceran limbah B3
Hal ini dilarang, karena pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya
beracunnya Limbah B3. Pengengenceran adalah menanbahakan cairan atau zat
lainnya pada limbah B3 sehingga konsentrasi zat racun dan tau tingkat
bahanyanya turun, tetapi beban pencemarannya masih tetap sama dengan
sebelumnya dilakukan pengenceran.
3. Dilarang melakukan impor limbah B3
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun pada Pasal ayat 1, pengertian B3
adalah sebagai berikut:
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah
bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak
lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Dasar-dasar hokum ekspor-impor B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya):
Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup terdapat larangan tegas untuk melakukan ekspor-impor limbah B3,
seperti yang tercantum dalam Pasal 21: “Setiap orang dilarang melakukan impor
limbah bahan berbahaya dan beracun”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1999,
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, pada Bagian
Ketiga Ketiga, perihal Perpindahan Lintas Batas, Pasal 53
a. Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3
b. Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia
dengan tujuan transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
c. Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik
Indonesia wajib diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab.
d. Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan Kepala instansi
yang bertanggung jawab.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri
yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari
Kepala instansi yang bertanggung jawab.

C. PENGAWASAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH B3


1. Pengelolaan Pencemaran
Pengelolaan pencemaran yang efektif memerlukan pengetahuan mengenai
pengaruh buruk yang terjadi dalam lingkungan alamiah dan faktor pencemaran
yang menyebabkan pengaruh ini. Holdgate (1979) telah menyarankan bahwa
suatu pengetahuan mengenai faktor berikut ini, dibutuhkan untuk suatu program
pengawasan yang efektif:
a. Pencemaran yang memasuki lingkungan, dan jumlahnya, sumbernya, serta
penyebarannya.
b. Pengaruh zat-zat itu
c. Kecenderungan dalam kepekatan dan pengaruh derta penyebab perubahan
tersebut.
d. Seberapa jauh masukan, kepekatan, pengaruh dan kecenderungan dapat
dimodifisikasi, dan dengan cara bagaimana dan berapa biayanya.
Faktor-faktor tersebutlah yang yang membentuk bagian dari suatu program
pengolahan limbah yang lebih luas, yang tidak hanya melibatkan pengawasan
dan pengamatan namun juga penilaian risiko dan kebutuhan untuk setiap
tindakan yang diambil. Sebagai tambaha, terdapat aspek hukum, administratif,
sosial, ekonomi, teknik dan lain sebagainya yang harus diperhitungkan dalam
program keseluruhan. Jika suatu pembuangan dilakukan pada lingkungan tetapi
tidak ada pengaruhyang merugikan yang teramati, maka tidak dianggap sebagai
pencemarandan tidak memerlukan tindakan perbaikan. Jadi dalam pengelolaan
limbah ini, kualitas lingkungan merupakan perhatian utama.
2. Strategi pengawasan
Tujuan pengelolaan lingkungan, dalam kaitannya dengan pengawasan, dapat
bertemu dengan memusatkan padaduan aspek:
a. Pengawasan pencemaran dalam bagian lingkungan yang berberda, umumnya
diperlukan sebagai pengawasan faktor.
b. Pengawasan pengaruh pencemar pada ekosistem alamiah dan biota yang
berhubungan, yang umumnya dikenal sebagai pengawasan sasaran.
Pengawasan pencemaran biasanya mencangkup pengukuran kimiawi dan fisika
dalam berbagai solusi atau situasi, sebagai contoh, proses produksi, emisi ke
lingkungan, keberadaan dalam lingkungan, pada permukaan suatu sasaran, di
dalam suatu makhluk hidup, dan sebagainya (Goldberg, 1979).
Terdapat banyak contoh yang berhasil mengenai penerapan metode pengawasan
fisika-kimia, dalam penilaian dan pengelolaan pencemaran, sebagai contoh,
pengelolaan kualitas air untuk keperluan rumahtangga dan industri, pemakaian
baku, dan penggunaan pertanian. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kasus
ini, terdapat keterbatasan parameter kunci yang diperhatikan (misalnya, kadar
garam, koliform pada benih , kepekatan nitrat dan logam), serta pengaruhnya
hanya terbatas pada ranah makhluk hidup, (misalnya manusia, hewan peliharaan,
tanaman holtikultura) dianggap penting.
Keuntungan teknik fisika-kimia dan mikrobiologi yang berkaitan dapat
dirangkum sebagai berikut:
a. Penilaian cepat dapat dibuat
b. Sifat kuantitatif penilaian ini memungkinkan perbandingan dengan susunan
bakuan dan suatu evaluasi yang cepat dari kadarpencemaran dalam suatu
daerah.
c. Evaluasi fisika-kimia biasanya menampakkan sifat pencemar.
d. Penyebaran pencemar dapat dikaitkan dengan pengukuran kontrol yang
diperkenalkan.
Kerugian metode ini dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Terdapat kekurangan data mengenai tanggapan makhluk hidup terhadap
faktor lingkungan untuk banyak daerah.
b. Data yang yersedia mengenai tanggapan mahluk hidp dikaitkan dengan
waktu kontak yang singkat serta sangat sedikit data yang dikaitkan dengan
kontak mahluk hidup terus menerus jangka panjang yang tersedia.
c. Data yang sangat terbatas tersedia mengenai pengaruh subletal seperti
pengaruh mengenai perkembangbiakan dan sebagainya.
d. Data yang sangat terbatas tersedia mengenai pengaruh gabungan campuran
pencemaran.
e. Seringkali terdapat informasi terbatasyang tersedia mengenai bentuk kimia
zat toksikyang ada ini diterapkan khususnya dengan logam.
Tabel 1. Sasaran pengawasan
Sasaran Pengukuran
Sistem-sistem fisik
Sistem atmosfer Sirkulasi, komposisi
Sistem muara dan laut Sirkulasi, komposisi
Sistem air tawar Sirkulasi, komposisi
Sistem tanah Pola, komposisi
Struktur dan bahan Korosi, pemakaian, soiling

Sistem-sistem Biologis
Ekosistem Distribusi, komposisi, penampilan
keseluruhan (fluks utama)
Spesies dan populasi Penyebaran, penampilan
Manusia Penampilan dan penyebaran
Tanaman pangan (termasuk tanaman
pangan yang tumbuh di kebun dan
hutan) serta ternak
Kehidupan liar Penampilan dan penyebaran
“Spesies inikator” Penampilan dan penyebaran
Individu sasaran atau spesies indikator Parameter fisiologis dan biologis,
indikator penampilan, residu sebagai
alat bantu dalam analisis

Sumber: Holdgate (1979).

Tabel 15.1. memperlihatkan sasaran yang mungkin diawasi dan pengukuran yang
dapat dibuat mengenai pengawasan limbah. Sistem biologis yang diperlihatkan
dalam Tabel 15. 1 merupkan perhatian pengelolaan pertama karena merupakan
sektor lingkungan yang biasa terkena dampak merugikan.
Keuntungan dari evaluasi sistem biologis sebagai suatu strategi pengawasan
adalah sebagai berikut:
a. Suatu evaluasi akibat biologis pencemaran yang merupakan area perhatian
yang utama dalam pengelolaan lingkungan.
b. Suatu evaluasi menyeluruh mengenai pengaruh campuran pencemar.
c. Dalam beberapa keadaan, teknik ini merupakan indikator peka dari
pencemaran.
Kerugian dari evalusai ini adalah sebagai berikut:
a. Mahal dan memakan waktu.
b. Terdapat kekurangan kriteria kuantitatif.
c. Tidak mencirikan sifat zat yang menyebabkan pencemaran, sehingga
memungkinkan sumber tidak dapat dicirikan.
d. Penggunaanya dalam penilaian kualitas air untuk penggunaan rumah tangga
dan industri sebagai konsumsi baku dan pertanian terbatas.
Namun pada dasarnya evaluasi fisika-kimia dan biologis saling mengisi dan
saling keterkaitan. Kedua metode membentuk suatu landasan penting untuk
menyusun kriteria dan evaluasi kualitas air. Dalam setia penemuan, teknik yang
digunakan adalah yang paling tepat guna untuk sumber daya dan tujuan studi.
3. Baku mutu, kriteria dan indeks
Batu mutu dan kriteria memberikan suatu ciri kadar yang dapat diterima
mengenai keberadaan suatu pencemar untuk pemeliharaan kualitas lingkungan.
Kwalitas air dikaitkan dengan penggunaan dalam pasokan rumah tangga, industri
dan pertanian. Pengaruh merugikan telah diperhatikan dengan pengaruh toksik
jangka pendekterhadap manusia dan persediaan atau hilangnya produksi
pertanian. Hubungan sebab dan pengaruh telah cukup dimantapkan untuk
berbagai pencemar yang umum secara fisika-kimia serta jasad renik. Sehingga
telah dikembangkan baku mutu dan kriteria yang cukup mantap (USEPA, 1979).
Pengelolaan lingkungan ldan kualitas air, pada khususnya telah meluas.
Pengelolaan kualitas air pada saat ini juga memperhatikan rekreasi, daya tarik
estetis, dan pengawetan sistem alamiah. Dengan aspek baru tersebut, semakin
sulit untuk mengidentifikasi kriteria dan baku mutu. Aspek yang lebih baru
mengenai pengelolaan kualitas air dimana kriteria fisika-kimiawi telah memiliki
paling sedikit keberhasilan dan pengawasan mungkin paling baik dilakukan
dengan pengawasan ekosistem alamiah.
Baik pengawasan faktor dan sasaran, keduanya menghasilkan sejumah besar
data fisika, kimia dan biologi. Namun pada kenyataannya sulit untuk
menggabungkan, mengintepretasi, dan memahami informasi dari data ini. Tetapi,
terdapat kebutuhan untuk memahami data agar secara efektif membangun
pengelolaan limbah pada lingkungan. Dalam banyak kasus, untuk mengevaluasi
data ini, mereka telah dimampatkan menjadi pengukuran yang disederhanakan
yang dapat digunakan untuk keperluan pengelolaan. Pengukuran ini biasanya
mengacu pada indeks yang dapat dihitung dengan menggabungkan berbagai
pengukuran lingkungan yang ada.
Tabel 15.2 mengandung suatu rangkuman indeks kualitas air (Ott, 1978).
Beberapa dari indeks ini telah dikembangkan untuk tujuan yang spesifik dengan
menggabungkan faktor kualitasair dengan cara sedemikian rupa sehingga aspek
yang paling penting ditentukan. Indeks lainnya adalah suatu sifat umum dan
menyediakan suatu penilaiaan kualitas air secara menyeluruh. Dalam kasus lain,
indeks telah dikembangkan untuk penggunakan dalam area yang spesifik, dan
faktor kualitas air tertentu ditimbang untuk memperhitungkan masalah-masalah
khusus yang ada dalam area itu. Tabel 15.3 mengandung sederetan indeks yang
digunakan dalam evaluasi kualitas air. indeks baku mutu pencemar yang seragam
secara nasional (PSI) telah dikembangkan oleh Amerika Serikat (Ott, 1978)

Tabel 15.2. Rangkuman ndeks kualitas air


Nama Indeksa Ʃ variabel Skala Ranah
Indeks perencanaan
Indeks intensitas jangka waktu yg lazim (PDI) b Bertambah 0-1
Indeks prioritas perencanaan nasional (NPPI) b Bertambah 0-1
Indeks tindakan prioritas (PAI) b Bertambah 0-1
Indeks evaluasi lingkungan (EES) 78c Berkurang 0-1000
Indeks nasional Kanada b Bertambah 0-1
Indeks pencemaran potensi (PPI) 3 Bertambah 0-1000+
Indeks Pencemaran (PI) b Bertambah 0-100+
Pendekatan statistik
Indeks pencemaran gabungan (CPI) 18 Bertambah -2- 2
Indeks hara makanan parsial 5 Berkurang 0-100
Indeks hara makanan total 5 Berkurang 0-100
Analisis komponen utama b Bertambah N.A.d
Indeks harkins (rangking kendals) b Bertambah 0-100+
Indeks fungsi beta b Bertambah 0-1
Indeks kualitas air umum
Indeks kualitas (QI) 10 Berkurang 0-100
Indeks kualitas air (NSP WQI) 9 Berkurang 0-100
Indeks implisit pencemaran 13 Bertambah 0-15+
Indeks pencemaran sungai (RPI) 8 Bertambah 0-1000+
Sistem akunting sosial 11 Berkurang 0-100

Indeks kualitas air penggunaan khusus


Indeks ikan dan satwa liar (FAWL) 9 Berkurang 0-100
Indeks posokan air umum (PWS) 13 Berkurang 0-100
Indeks untuk pasokan air umum 11/13 Berkurang 0-100
Indeks untuk rekreasi 12 Berkurang 0-1
Indeks penggunaan air ganda 31 Berkurang -100-100e
Indeks penggunaan air ganda tiga 14 Bertambah 0-1+
Sumber: Ott (1978)
a pada saat nama yang tepat pada suatu indeks tidak tersedia, sifat indeks didaftar.

b setiap jumlah variabel dapat dicakup

c variabel kualitas air mencakup 14 dari 78 variabel yang digunakan dalam siste

d N.A = tidak tersedia

e indeks dapat kurang dari -100 dan dapat menjadi angka negatif yang besar

4. Metode Pengawasan
Berbagai faktor yang dapat digunakan dalam pengawasan adalah faktor
fisika-kimia, pengaruh biologis dan ekologis. Dalam faktor peairan, faktor fisika-
kimia yang sering digunakan dalam pengawasan adalah suhu, kadar garam,
kekeruhan, kepekatan klorofil, kepekkatan oksigen terlarut, kepekatan hara
makanan, dan kepekatan zat racun yang terpilih. Ini telah diukur dalam ranah
komponen biotik dan abiotik yang luas dari lingkungan. Banyak metode
pengawasan biologis yang telah digunakan, termasuk indeks diversitas dan
indeks biotik lainnya, produktivitas primer dan biomassa. Metode bioessay yang
mencangkup evaluasi tanggapan makhluk hidup terhadap pencemar lingkungan
atau sampel juga digunakan. Beberapa pengumpulan metode pengawasan dan
rincian tata cara penggunaannya telah tersedia (Grenberg, dkk. 1980)
Dalam lingkungan atmosfer berbagai faktor fisika-kimia seringkali diawasi,
termasuk sulfur dioksida, oksidan, dan sebagainya. Manning dan Feder (1980)
telah menjelaskan penggunaan pabrik untuk mengevaluasi keberadaan pencemar
kimia, seperti oksidan, hidrogen fluorida, logam berat, etilena, dan debu.
Pencemar dapat diukur langsung dari jumlah yang diakumulasi dalam pabrik atau
dievaluasi dari suatu tanggapan fisiologis atau biologis, sebagai contoh cedera.
Burg dan Willhm (1977) menjelaskan suatu metode untuk sampel yang
digunakan, atau suatu substrat buatan, yang dikolonikan dalam suatu ekosistem
dan dipindahkan ke suatu situasi air buangan. Kemudian dapat diterapkan pada
perubahan pada ekosistem uji untuk menilai kualitas air buangan.
Sistem yang lebih canggih sedang dikembangkan, dimana tanggapan ikan
yang dikurung diawasi secara elektronik. Sistem ini biasanya digunakan dalam
suatu sistem laboratorium untuk mengawasi kualitas buangan dari industri atau
sumber lainnya. Widdows, 1981 telah menerapkan sistem ini dengan faktor yang
diukur seperti ruang lingkup pertumbuhan, angka banding oksigen terhadap
nitrogen dan efisiensi pertumbuhan yang dikaitkan pada perhitungan kondisi
fisiologis dengan pencemaran dalam lingkungan.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Beberapa tata cara dan persyaratan dalam penimbunan limbah B3 dapat
dilihat dari beberapa aspek, diantaranya : pemilihan lokasi landfill, persyaratan
rancang bangun/desain landfill limbah B3, persyaratan konstruksi dan instalansi
komponen-komponen landfill, persyaratan peralatan dan perlengkapan fasilitas
landfill, perlakuan limbah B3 sebelum ditimbun, persyaratan limbah B3 yang dapat
ditimbun di landfill, persyaratan untuk sistem pengelolaan lindi, dan persyaratan
untuk sistem pemantauan air tanah dan air permukaan.
Dalam aspek pengelolaan limbah, kualitas limbah merupakan perhatian
utama. Pengawasan pengelolaan limbah dilakukan dengan tujuan dapat tercapai
pengelolaam limbah yang efektif. Dimana metode yang diusulkan dan biasa
digunakan dalam hal ini mencangkup pengukuran kimiawi-fisika dan pengukuran
biologis. Penggunaan metode tersebut disesuaikan pada objek yang diteliti, namun
pada dasarnya kedua metode pengukuran tersebut saling melengkapi.
Hal-hal yang harus difokuskan pada pengendalian limbah B3 yaitu dengan
jangan membuang limbah B3 secara langsung ke lingkungan, jangan melakukan
pengenceran limbah B3, serta dilarang mengimpor limbah B3.
Daftar Pustaka
Connel Des W., Miller Gregory J. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Diterjemahkan oleh Yanti Koestoer. Penerbit Universitas Indonesia (UI
PRESS)
Feder W.A. 1978. Plans as biossay system for monitoring. Dalam Connel Des W.,
Miller Gregory J. 2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Diterjemahkan oleh Yanti Koestoer. Penerbit Universitas Indonesia (UI
PRESS)
Indonesia environment center.2017. Penanganan limbah B3. https://environment-
indonesia.com/penanganan-limbah-b3/. 24 Agustus 2017
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.Nomor: Kep-
04/Bapedal/09/1995.Tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi Bekas
Penimbunan Limbah.
Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001
tentangpengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Sekretariat Negara.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai