Oleh :
Ir. SUPRAPTO
BIDANG PENGEMBANGAN
TEKNOLOGI / INOVASI BUDIDAYA DAN SDM
SHRIMP CLUB INDONESIA
ii
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji syukur penulis penjatkan ke hadirat Alloh SWT. Berkat rahmat dan
petuntukNya buku yang berisi tentang teknologi biofloc sebagai teknologi alternatif
budidaya udang vaname di Indonesia dapat penulis selesaikan.
Buku ini merupakan uraian tentang teknologi biofloc yang merupakan teknologi
pilihan atau sebagai teknologi alternatif dalam budidaya udang. Isi yang ada di dalam buku
ini merupakan rangkuman atau kumpulan dari berbagai pendapat para ahli yang melakukan
penelitian serta uji coba teknologi biofloc baik skala laboratorium maupun skala komersial
di tambak. Disamping itu, juga diambil dari pengalaman beberapa praktisi dalam negeri
yang sudah berhasil menerapkan teknologi biofloc selama beberapa periode melalui
“workshop second generation – 2” dengan tema ‘bedah biofloc” yang menampilkan
beberapa pembicara (praktisi) yang telah sukses dalam budidaya udang dengan
menerapkan sistem biofloc.
Beberapa isi buku ini telah mengalami revisi dari aslinya namun tanpa mengubah
arti dari isi buku sebelumnya (tahun 2009) dan hanya sedikit tambahan saja.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Coco Cocarkin, MSc.
Ph.D. dan Bapak Prof. Ir. Sukoso, Ph.D. selaku pengarah dalam workshop di Surabaya atas
segala saran-sarannya. Mudah-mudahan isi buku ini bermanfaat bagi para pembaca
khususnya pecinta dunia perikanan baik para praktisi, petambak, ilmuwan, mahasiswa dan
masyarakat pada umumnya. Penulis menyadari bahwa isi buku ini masih belum sempurna
(ada kekurangan). Oleh karena itu, kritik dan masukkan sangat penulis harapkan demi
kelengkapan isi buku ini.
Wassalamu’alaikum wr wb
Penulis
iii
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ................................................................................................... 1
1.1. Perkembangan budidaya udang di indonesia ........................................... 1
1.2. Kegagalan budidaya akibat penurunan kualitas lingkungan dan serangan
penyakit .................................................................................................... 2
1.3. Pilihan teknologi budidaya ....................................................................... 4
1.4. Kiat sukses budidaya udang vaname ........................................................ 4
1.5. Pelatihan, sarasehan, seminar untuk peningkatan SDM........................... 6
iv
4.5. Pengelolaan pakan ................................................................................... 57
4.6. Pengelolaan air dengan sistem floc ........................................................... 65
4.7. Pemantauan kondisi kesehatan udang dan lingkungan serta pencegahan
dan pengendalian penyakit ........................................................................ 70
4.8. Panen udang .............................................................................................. 74
v
1. PENDAHULUAN
Kualitas air laut yang cenderung menurun akibat limbah industri (buangan
pabrik), aktivitas pertanian, perkebunan, serta limbah rumah tangga dan
perkotaan. Disamping itu, limbah tambak juga turut memperparah penurunan
kualitas air laut. Akibatnya terjadi penyuburan di air laut (organik tinggi, N dan P
tinggi) sehingga memacu perkembangan plankton dan bakteri baik yang bersifat
merugikan. Antara lain semakin meningkatnya populasi blue green algae dan
dinoflagellata. Perkembangan populasi bakteri vibrio yang terus meningkat. Hal
ini akan berakibat menimbulkan stress pada udang, kekebalan udang menurun dan
mudah terserang penyakit.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya mengurangi air masuk dari luar secara langsung,
air baru yang diambil dari laut atau lingkungan luar harus disterilkan dan
ditampung dalam reservoir, menerapkan sistem sedikit / tanpa ganti air dengan
menggunakan sistem semi / ter-tutup maupun resirkulasi serta menerapkan
biosecurity semaksimal mungkin.
Agar dalam usaha budidaya udang bisa sukses maka ada “ KIAT
SUKSES” yang harus dijalankan. Kiat sukses usaha budidaya udang vaname ada
7 jurus menurut DR. Made L. Nurjana yaitu :
1. Carrying capacity
Carrying capacity merupakan patokan utama dalam menentukan target
produksi. Yang menentukan carrying capacity suatu tambak antara lain :
Teknisi harus memiliki kemampuan yang lengkap baik teori dasar tentang
budidaya maupun pengetahuan teknis di lapangan serta memiliki kemampuan
dalam mengatur / mengkoordinasi kegiatan di lapangan. Seorang teknisi perlu
dibantu oleh seorang tenaga laborat yang terlatih, sehingga dalam mengambil
keputusan didasarkan atas data yang ada dan bukan asal bertindak atau bertindak
asal-asalan.
2.1. Definisi
Bio-Floc berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan floc, flock
yang berarti gumpalan. Menurut Rod McNeil dalam Boyd (2002) floc dalam
tambak, adalah bahan organik hidup yang menyatu menjadi gumpalan. Sedangkan
menurut Conguest and Tacon, (2006) Bio-Floc adalah partikel yang teraduk oleh
aerasi dan sirkulasi, yang terdiri dari kumpulan organisme autotrof dan heterotrof
(bakteri, fitoplankton, fungi, ciliate, nematoda dan detritus) dan bahan tak hidup.
Sebagai ciri dari floc yang sudah terbentuk di dalam tambak adalah
kondisi pH yang cenderung lebih rendah dan sangat stabil (pada umumnya
kurang dari 8,2) dan goncangan pH sangat rendah (0,1 – 0,3). Dengan pH
yang lebih rendah maka pengaruh dari amonia menjadi lebih kecil. Karena
terjadi saling ketergantungan antara organisme pembentuk floc di dalam
tambak (bakteri, plankton, bahan organik dan mineral) maka kondisi air
menjadi stabil. Disamping itu, dengan perannya menurunkan bahan yang
bersifat racun maka dapat memperbaiki mutu air air tambak menjadi lebih
baik sehingga dapat mengurangi stres pada udang.
Diantara jenis bakteri yang ada, ada sebagian bakteri heterotrof aerrobic
yang dapat memanfaatkan secara langsung N anorganik (amonia) menjadi
protein. Salah satu contoh jenis bakteri tersebut adalah Bacillus
megaterium. Jenis bakteri tersebut harus diupayakan ada dalam sistem
floc. Upaya untuk mendapatkan jenis-jenis bakteri yang diharapkan
muncul secara alami atau sengaja diberikan inokulan dari probiotik yang
dijual di pasaran.
Kandungan nutrisi yang terdapat pada biofloc diharapkan cukup baik dan
cocok untuk nutrisi udang dan sebagai makanan tambahan sehingga dapat
mengurangi kebutuhan pakan dan menghasilkan konversi pakan yang
baik.
− Warna Biofloc
(1) Kecoklatan. Floc macam ini memiliki pengaruh pertumbuhan udang lebih
cepat, didominasi bakteri heterotrof aerobik. Jenis bakteri yang terkandung
biasanya Bacillus dan Lactobacillus
(3) Kehitaman. Floc yang berwarna kehitaman memiliki pengaruh kurang baik
terhadap pertumbuhan, disamping itu, dapat menyebabkan udang terdapat
warna kehitaman pada bagian insang maupun permukaan tubuhnya, jenis
bakteri yang terkandung dapat mengakumulasi zat besi. Floc yang semacam
− Ukuran Biofloc
Ukuran biofloc sangat tergantung pada usia budidaya dan lama (umur)
biofloc sejak terbentuk. Pada awalnya ukuran biofloc cukup halus dengan warna
yang transparan dan semakin hari semakin besar dan warnanya berubah menjadi
kuning kecoklatan. Berikut ini adalah ukuran biofloc dengan diameter yang
berbeda, 150 mikron, 250 mikron dan 300 mikron.
Menurut Ninuk, praktisi dari PT. STP volume floc perlu dijaga sekitar 15
cc/liter. Namun volume hingga 90 cc ternyata udang masih cukup aman asalkan
aerasi cukup untuk mencegah agar floc tetap teraduk dalam kolom air dan tidak
sampai mengendap. Namun demi amannya, sebaiknya floc dikelola dengan
kisaran 4 – 6 ml/L dan maksimal 8 ml/L. Kepekatan floc berpengaruh terhadap
konsumsi oksigen. Semakin tebal floc semakin tinggi kebutuhan oksigennya.
Gambar – 6. Dinamika floc selama masa budidaya (Sumber : Nyan Taw (2006))
Yang perlu disadari bahwa peningkatan volume floc belum tentu diikuti
dengan peningkatan komunitas mikroba (bakteri). Biopolymer yang terbentuk
(seperti poly hydroxy alkanoat, glycogen) adalah akibat adanya rangsangan
penambahan sumber karbon organik. Dalam kondisi ammonium (TAN) rendah
atau minim, bakteri akan memproduksi senyawa tersebut untuk membentuk floc.
o C/N ratio
o Karbon dioksida
o N/P ratio
N/P ratio erat kaitannya dengan kehidupan plankton. Bila N/P ratio
rendah < 10 (artinya N berada dalam jumlah yang sedikit) maka blue green
algae yang dapat memfiksasi nitrogen (seperti Anabaena, Anabaenopsis,
Oscillatoria) dan dinoflagellata akan berkembang. Sementara green algae dan
diatom akan tertekan perkembangannya karena kekurangan N.
Sebaliknya, bila N/P ratio tinggi, yang berarti fosfat akan menjadi
faktor pembatas sehingga plankton blue green algae, green algae, diatom
maupun dinoflagellata perkembangannya terbatas. Sedangkan bakteri
terutama dari kelompok Bacillus yang dapat melarutkan fosfat dari bentuk
tidak tersedia bisa berkembang dengan baik.
- Bila N/P ratio rendah (di bawah 10) maka BGA akan berkembang.
- Bila N/P ratio 10 – 20 hampir semua jenis plankton dapat berkembang.
- Bila N/P ratio 20 – 30 maka green algae akan berkembang
Gambar – 10. Hanya sebagian kecil saja floc dimakan oleh udang
Selama masa budidaya bahan organik (sisa pakan, kotoran udang dan
organisme yang mati termasuk plankton) akan terkumpul dan mengendap di dasar
tambak dan sebagian bahan organik terlarut di dalam air. Hal ini memicu
berkembangnya bakteri (baik yang menguntungkan maupun yang merugian).
Kebutuhan oksigen menjadi semakin besar. Bahan organik yang mengendap di
dasar akan menyebabkan kondisi menjadi kekurangan oksigen (anaerob) sehingga
sebagian bakteri akan merombak bahan organik dengan memanfaatkan sulfat dan
nitrat. Hasil dari perombakan secara anaerobik akan menghasilkan sejumlah
senyawa beracun seperti asam sulfida, amonia, nitrit dan metana.
Amonia yang terbentuk akibat penguraian perotein sisa pakan, kotoran dan
jasad yang mati dalam tambak dapat dihilangkan atau dikurangi dengan 4 cara,
yaitu :
Yang kedua senyawa nitrit dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat
400 NO2- + NH4+ + O2 + 4 H2CO3 + HCO3- + 195 O2 C5H7O2N + 400 NO3- + 3 H2O
2 NO2- + O2 2 NO3-
NH4+ + 1.83 O2 + 1.97 HCO3- 0.024 C5H7O2N + 0.976 NO3- + 2.9 H2O + 1.86 CO2
NH4+ + 1,18 C6H12O6 + HCO3- + 2,06 O2 C5H7O2N + 6,06 H2O + 3,07 CO2
Proses perombakan amonia yang terjadi sangat dipengaruhi oleh nilai C/N
ratio. Bila nilai C/N ratio rendah (C organik tidak ada), maka proses perombakan
amonia berlangsung secara autotrof. Bila nilai C/N ratio sedang (8 – 10), proses
perombakan amonia berlangsung secara autotrof dan heterotrof. Sedangkan bila
nilai C/N ratio 12 atau lebih proses perombakan berlangsung secara heterotrof
(Ebeling, 2006).
Pada nilai C/N ratio yang rendah mikroba yang berkembang cenderung
menggunakan senyawa N organik (asam amino, protein, amina) sebagai sumber N
dalam mensintesis protein, sedangkan pada nilai C/N ratio yang tinggi mikroba
yang berkembang menggunakan N anorganik (amonia dan nitrat) sebagai suber N
dalam menyusun protein dalam selnya. Namun apabila nilai C/N ratio terlalu
tinggi akan berakibat terhambatnya proses penguraian bahan organik karena
kekurangan unsur N (Van Wyk, 2006). Dalam penerapan teknologi biofloc, nilai
C/N ratio harus cukup tinggi, yaitu lebih dari 12 atau idealnya 15-20. Nilai C/N
ratio dapat dihitung dengan cara mengukur kandungan Total Organik Carbon
(TOC) dan Total Kjeldahl Nitrogen (TKN).
Menurut Van Wyk (2006) cara ini tidak praktis untuk lapang karena
peralatannya mahal dan tidak mungkin dimiliki oleh petambak. Maka cara yang
paling praktis adalah dengan menghitung C/N ratio pada pakan karena proteinnya
sudah diketahui.
Pakan udang mengandung protein tinggi yaitu lebih dari 35% untuk
Oleh karena nilai C/N ratio rendah maka C merupakan faktor pembatas.
Agar floc bakteri dapat berkembang baik maka harus ditambahkan C organik dari
luar dan dipilih harga yang murah seperti molase, tepung terigu, tepung ketela,
dedak, tepung tapioka dan sebagainya.
Dasar pemikiran
Proses perombakan karbohidrat oleh bakteri.
− Sel bakteri memiliki nilai C/N ratio, (C/N) mic = 4 – 6. Misal diambil
nilai terendah 4
− Efisiensi (ξ) dalam merombak bahan organik berkisar 0,4 – 0,6. misal
diambil nilai terendah 0,4
Sehingga,
− ∆C = CO2 + Cmic (ξ) = Cmic /∆C ∆C x (ξ) = Cmic
− ∆C x (ξ) /N = Cmic/Nmic
− ∆C = (C/N) mic x N / (ξ)
− ∆C = 4 x N / 0,4 = N x 10 ∆C = ∆CH x 50%
− ∆CH x 50% = N x 10
∆CH = 20 N
∆CH : Karbohidrat
N : Nitrogen Anorganik (amonia)
1,2
1
amonia (mg/l)
0,8
C/N = 6,5
C/N = 7,5
0,6
C/N = 10
C/N = 12,5
0,4
0,2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
waktu (minggu)
Gambar – 17. Pengaruh C/N ratio (6,5 – 12,5) terhadap kandungan ammonia
dalam media budidaya
1,6
C/N = 6,5
1,4 C/N = 15
C/N = 17,5
1,2
C/N = 20
amonia (mg/l)
C/N = 22,5
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
waktu (minggu)
Gambar – 18. Pengaruh C/N ratio (6,5 – 22,5) terhadap kandungan ammonia
dalam media budidaya
90
80
Organik Carbon (mg/l)
70
60
C/N = 6,5
50
C/N = 7,5
40 C/N = 10
C/N = 12,5
30
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
Gambar – 19. Pengaruh pemberian molase dengan C/N ratio 6,5 – 12,5 terhadap
kandungan Karbon organik
160
140
Organic Carbon (mg/l)
120
100
80
C/N = 6,5
60
C/N = 15
C/N = 17,5
40
C/N = 20
C/N = 22,5
20
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
Gambar – 20. Pengaruh pemberian molase dengan C/N ratio 6,5 – 22,5 terhadap
kandungan Karbon organik
400
350
300
250
TSS
200
C/N = 6,5
150 C/N = 15
C/N = 17,5
100 C/N = 20
C/N 22,5
50
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
Gambar – 21. Pengaruh C/N ratio yang berbeda (6,5 – 22,5) terhadap total
padatan tersuspensi (TSS)
Gambar – 22. Pengaruh C/N ratio yang berbeda (6,5 – 22,5) terhadap total
bakteri.
Gambar – 23. Pellet (pakan udang) dan grain pellet (Chamberlain, 2001)
Gambar – 25. Konsumsi pakan harian dengan tambahan grain pellet (GP) dan
pertumbuhan udang (Sumber : Nyan Taw, 2006)
Agar produksitivitasnya lebih baik dan kualitas air lebih stabil, sebaiknya
tambak diusahakan lebih dalam agar dapat ditebar lebih banyak. Kedalaman
tambak minimal 120 cm dan boleh lebih dalam lagi hingga 2,5 atau 3 meter yang
penting teknik aerasi dan pengadukannya bisa menjangkau hingga kedalaman
tersebut. Disamping itu, tambak harus dilengkapi dengan pembuangan tengah
(sentral drain) untuk mengeluarkan endapan kotoran sewaktu-waktu.
Mengingat tidak adanya jaminan bahwa tidak ada daerah mati atau bahan
organik / kotoran yang mengendap, maka harus dipersiapkan alat untuk
membersihkan dasar tambak yaitu alat sifon. Kototan yang mengendap di dasar
dibersihkan dengan alat sifon. Biasanya pengerjaan sifon dilakukan pada umur
udang mencapai 2 bulan. Alternatif lain untuk mencegah munculnya gas beracun
adalah dengan menggunakan probiotik yang sesuai.
Jenis bakteri yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan. Salah satu jenis
bakteri yang dapat membentuk floc karena dapat menghasilkan polimer PHA dan
pengurai protein yang handal adalah Bacillus subtilis. Jenis bakteri ini banyak
dijual di pasaran. Dan hampir semua produk probiotik yang dijual mengandung
Bacillus subtilis. Bila menghendaki bakteri pembentuk floc yang lain bisa dipilih
jenis Bacillus cereus. Disamping mampu membentuk floc bakteri ini dapat
mengendalikan blue green algae.
Selain bakteri pembentuk floc, masih diperlukan isolat bakteri lain antara
lain bakteri denitrifikasi, yang mengubah nitrat menjadi gas nitrogen (Bacillus
licheniformis), bakteri pengoksidasi H2S (bakteri fotosintesis seperti
Rhodopseudomonas, Rhodobacter) yang juga dapat menurunkan amonia dan
nitrat. Bakteri yang dapat menekan perkembangan bakteri pathogen (vibrio) selain
Bacillus subtilis (misalnya, Bacillus polymyxa, B. megaterium, Alteromonas,
Lactobacillus). Bakteri nitrifikasi yang dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit
(Nitrosomonas dan Nitrobacter). Dan masih banyak lagi pilihan isolat bakteri
yang bisa diperoleh sesuai dengan kebutuhannya.
Tempat atau ruangan yang digunakan untuk pembuatan starter biofloc harus
bersih, terlindung dari angin (untuk menghindari kontaminasi), tidak boleh ada
orang keluar masuk, beraktivitas disekitarnya, dalam keadaan tertutup.
Contoh, formula media yang umum digunakan di tambak dan cara pembuatannya.
Bahan : dedak halus 3 kg, tepung ikan 1 kg, molase 2 liter, garam non iodium ½
kg, inokulan yang mengandung Bacillus subtilis 2 liter, vitamin B kompleks 10
butir dan air 100 liter.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari genera bakteri yang non pathogen,
memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular,
memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit
sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton
merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan.
Bioflocs yang terbentuk lebih jauh berfungsi bagi purifikasi air di tambak,
dengan fungsi sebagai pengoksidasi bahan organik lebih lanjut, melangsungkan
nitrifikasi, dan pembatas pertumbuhan plankton. Bahan organik yang digunakan
berupa pakan udang dengan proporsi C:N:P = 100:10:1. Sumber karbon tambahan
dari kalsium karbonat (kaptan). Sumber Nitrogen tambahan dari pupuk ZA
(Ammonium sulfat) (Aiyushirota).
Setelah siap, tambak diisi air hingga penuh (sesuai ketinggian yang
dikehendaki) dan dilakukan sterilisasi air dengan menggunakan kaporite 30 ppm.
Kincir dioperasikan untuk meratakan atau mengaduk kaporite supaya merata
kurang lebih 3 – 5 jam. Setelah itu matikan kincir hingga 24 jam. Operasikan
kembali semua kincir untuk menguapkan atau menetralkan senyawa chlor yang
masih ada. Bila ada ikan atau organisme lain yang mati segera ambil dan kubur.
Tebarkan starter biofloc dengan dosis 5 ppm setiap hari. Setelah warna air
(plankton) terbentuk, maka bakteri probiotik akan berkembang di lapisan air
bagian bawah (dasar tambak). Sehingga pada suatu saat akan terjadi persaingan
ruang antara bakteri dengan plankton (algae).
Pupuk amonium atau yang lebih dikenal dengan pupuk ZA, (NH4)2SO4 saat-
saat tertentu masih diperlukan. Pupuk ZA tidak saja bisa digunakan untuk
menumbuhkan plankton tetapi juga dapat digunakan untuk mengendalikan jenis-
jenis palnkton tertentu. Banyak jenis-jenis plankton yang merugikan yang dapat
dikendalikan dengan menggunakan pupuk ZA. Alexandrium (dinoflagellata yang
menghasilkan racun saxitoxin) mati dengan pupuk ZA 3 ppm (setara 1 ppm
NH4+), Primnesium, Euglena, dan beberapa jenis plankton blue green algae juga
dapat dikendalikan dengan amonium sulfat (pupuk ZA).
3.7. Pengapuran
Ada beberapa macam kapur yang bisa digunakan antara lain kapur aktif
Pemberian kapur pada saat awal budidaya (sampai 1 bulan) belum perlu
dilakukan, setelah 1 bulan diberikan dengan dosis 5 – 10 ppm 1 minggu 1 kali.
Setelah 2 bulan ditingkatkan dosis dan frekuensinya seiring dengan bertambahnya
umur dan konsumsi pakan. Namun pertimbangan utama yang harus dilakukan
dalam pemberian kapur baik dosis maupun frekuensinya adalah pH air dan
kandungan alkalinitasnya. Karena bila tidak terkendali alkalinitas bisa turun
hingga 40 ppm dan pH bisa mencapai 6,7.
Pemberian karbon organik melalui pakan untuk meningkatkan nilai C/N ratio
pakan masih belum banyak dilakukan oleh petambak. Namun akhir-akhir ini baru
mulai ada beberapa petambak yang mencampurkan pakan dengan molase dan
dedak halus dan sebagian lagi menggunakan tepung tapioka. Penambahan karbon
organik melalui pakan bertujuan untuk meningkatkan C/N ratio sehingga amonia
yang dihasilkan atau dibuang ke dalam lingkuan tambak bisa terkendali. Besarnya
karbon organik yang diperlukan untuk meningkatkan C/N ratio pada pakan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus (Avnimeleh, 1996) :
Tabel 3-1 . Kebutuhan karbohidrat untuk berbagai formula pakan dengan kadar
protein berbeda
Ada beberapa penyebab sehingga floc susah jadi atau tidak terbentuk diantaranya
ada kemungkinan tidak terdapat bakteri pembentuk floc (yang menghasilkan
polimer PHA), kekurangan bahan organik terutama C, nilai C/N ratio tidak sesuai,
tambak sudah terlebih dahulu ditumbuhi lumut sutera (Chaetomorpha sp). Perlu
ditinjau ulang inokulan bakteri apa yang digunakan sebagai starter, jumlah
pasokan C organik ke dalam tambak dan penyesuaian nilai C/N ratio. Bila
disebabkan oleh lumut sutera, maka perlu diberi perlakuan dengan bakteri
fotosintetik, memberikan starter dengan dosis yang lebih tinggi hingga lumut
sutera kehabisan nutrisi karena persaingan. Saat persiapan, sisa – sisa lumut sutera
harus dibersihkan dan diberi perlakuan larutan asam (HCl 1%) untuk membasmi
spora-sporanya.
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5-6 hari, aplikasikan pupuk ZA 1 ppm
setiap harinya untuk menekan pertumbuhan chrollera atau aplikasikan pupuk ZA
Hentikan pengenceran, tahan air selama 5-6 hari, aplikasikan CaCO3 / kaptan 20
ppm setiap harinya dan 1-2 x treatment dengan Kalsium peroksida. Pada hari ke 7
sirkulasi/pengenceran secara over flow dapat dilakukan kembali.(Aiyushirota)
− Warna hijau biru (BGA) atau merah (Dinoflagellata) tetap ada setelah 5-
6 hari treatment:
Kurangi pakan hingga 30% dari konsumsi normal agar udang makan sebagian
floc. Lakukan beberapa hari sampai ketebalan floc berkurang. Cara ini seperti
yang dilakukan oleh McIntosh (2000).
Tambak dicuci dengan menggunakan air laut atau air bersih yang ada
dengan cara disemprot menggunakan pompa 2 in sampai dasar dan pematang
benar-benar bersih.
*) Pengeringan dan pengapuran tidak ada karena bukan tambak tanah tetapi
tambak plastik atau semen.
Setelah tambak dalam keadaan bersih dan steril, tambak siap dioperasikan
kembali. Peralatan dan perlengkapan tambak seperti aerator (kincir, turbo,
supercharge dan perlengkapannya), atribut tambak, skala meteran, screen
(waring) dipasang kembali seperti semula.
Masukkan air laut atau air sumur bor ke dalam tambak dengan melalui
filter rangkap. Isi tambak hingga 1,2 meter.
4.2.2. Sterilisasi
4.2.3. Pemupukan
Jenis pupuk yang diberikan adalah NPK, Amonium Sulfat atau ZA, SP-36
dan Silikat. Komposisi pupuk diusahakan memiliki nilai perbandingan N/P ratio
20–30 : 1. Tidak disarankan menggunakan pupuk urea. Bila menggunakan pupuk
ZA dan SP-36 maka komposisinya adalah ZA 57,5 kg dan SP-36 3,25 kg per
hektar dengan nilai N/P ratio 23 : 1. Karena SP-36 yang dapat digunakan 24%
maka jumlahnya ditambah menjadi 2,2 kg per hektar. Sedang Silikat (Na2SiO3)
yang diberikan sekitar 0,5 ppm atau 6 liter per hektar.
Sebagai syarat utama benur yang diambil secara visual harus rata,
aktif/melawan arus, usus penuh, hepatopanceras berisi makanan, penampakan
tubuh bersih, bentuk tubuh lurus (tidak ada bengkok), antenna tidak membuka.
Bebas vibrio harveyi (luminescence) dan bakteri berbahaya, bebas parasite serta
penyakit lainnya. Dan yang paling penting harus bebas virus WSSV, TSV, IMNV
dan IHHNV yang disertai dengan sertifikat bebas virus tersebut.
Setelah tambak ditebar benur, maka kebutuhan pakan harus dihitung untuk
mempermudah pemesanan pakan dan pengaturan stok di gudang. Jumlah pakan
yang harus dipesan harus didasarkan pada jumlah tebar benur, perkiraan size
udang ketika dipanen, perkiraan survival rate dan konversi pakan atau FCR.
Misalnya benur 1.000.000 ekor, size saat panen yang dikehendaki 60 ekor
per kg, survival rate 80% dan konversi pakan 1,4. Maka kebutuhan pakan secara
keseluruhan adalah :
Pakan harus sudah tersedia beberapa hari sebelum digunakan. Oleh karena
itu, pemesanan pakan harus disesuaikan dengan kebutuhan. Pakan juga tidak
boleh distok terlalu lama. Penyimpanan pakan paling lama hanya 1 bulan, tidak
boleh menyimpan pakan lebih dari jangka waktu tersebut karena akan
menurunkan mutu pakan. Demikian pula penempatan pakan dalam gudang. Pakan
yang baru datang tidak boleh dicampur dengan pakan yang lama. Pakan yang
lama harus dipakai atau dihabiskan terlebih dahulu.
Pada saat awal baru tebar, benur masih sangat tergantung pakan alami
yang ada di tambak. Oleh karena itu, penumbuhan phytoplankton terutama diatom
sangat dibutuhkan untuk pakan alami udang. Akan lebih baik lagi bila dapat
ditumbuhkan zooplankton atau yang biasa disebut kutu air (seperti rotifera,
cladocera dan copepoda).
Umur Umur
Pakan/hari Keterangan Pakan/hari Keterangan
(hari) (hari)
1 3 Tepung 16 8 _,,_
2 3 _,,_ 17 8 _,,_
3 3 _,,_ 18 9 _,,_
4 3 _,,_ 19 9 _,,_
5 4 _,,_ 20 10 _,,_
6 4 _,,_ 21 10 Crumble kasar
7 4 _,,_ 22 11 _,,_
8 5 _,,_ 23 11 _,,_
9 5 _,,_ 24 12 _,,_
10 5 _,,_ 25 12 _,,_
11 6 Crumble halus 26 13 _,,_
12 6 _,,_ 27 13 _,,_
13 6 _,,_ 28 14 _,,_
14 7 _,,_ 29 14 _,,_
15 7 _,,_ 30 15 _,,_
Setelah udang mau naik di anco dan mau menghabiskan pakan di anco,
maka pemberian pakan harus didasarkan atas habisnya pakan yang diberikan di
anco. Anco yang dipakai umumnya berbentuk persegi dengan ukuran 100 x 100
cm2 atau 80 x 80 cm2. namun ada juga yang menggunakan anco berbentuk
lingkaran dengan diameter 80 cm.
Jumlah pakan yang diberikan dalam anco serta jumlah anco dalam petakan
tambak didasarkan atas pengalaman dan uji coba dari para praktisi. Tambak
dengan luasan 3000 – 5000 m2 biasanya menggunakan anco sebanyak 4 buah
yang dipasang pada tiap sisi pematang. Untuk tambak yang luasnya lebih dari
5000 – 8000 m2 jumlah anco yang digunakan 6 – 8 anco.
Bila udang telah mencapai ukuran 2 gram atau lebih, maka kebutuhan
pakan per hari dapat dihitung berdasarkan perkiraan biomass udang, berat udang
(MBW) serta perkiraan SR. Semakin besar ukuran udang maka kebutuhan pakan
per berat tubuh udang semakin menurun. Kebutuhan pakan berdasarkan berat
tubuh dinyatakan sebagai feeding rate.
Tabel 8. Perbandingan cek warna usus selama interval pemberian pakan (Ching,
2011)
Untuk menjaga kondisi kesehatan udang agar selalu sehat dan tidak mudah
terserang penyakit maka saat tertentu perlu ditambahkan feed supplement /
additif. Supplement yang sering ditambahkan melalui pakan antara lain : vitamin,
immunostimulant dan probiotik.
4.5.7. Vitamin
Jenis vitamin yang ditambahkan pada pakan udang antara lain vitamin C,
E vitamin B kompleks, multivitamin lengkap. Dosis pemberiannya bervariasi
tergantung kandungannya dan keperluannya. Caranya, vitamin dilarutan dengan
air bersih baru kemudian dicampurkan pada pakan. Tunggu sebentar biar
meresap. Vitamin C memiliki fungsi specific sebagai anti stress, sedangkan
vitamin E dapat meningkatkan kesuburan dan daya tahan.
4.5.8. Immunostimulant
Bahan lain yang dicampurkan melalui pakan antara lain minyak cumi,
minyak ikan sebagai daya tarik (attractan), sekaligus sumber asam lemak tidak
jenuh dan perekat.
Penggunaan karbon organik (tepung kanji, tetes) atau grain pellet untuk
menambah sumber karbon dengan tujuan meningkatkan nilai C/N ratio pakan.
Floc memiliki nilai gizi yang cukup baik tetapi masih kurang lengkap.
Oleh karena itu floc boleh dimanfaatkan sebagai makanan tambahan. Untuk
memanfaatkan floc sebagai makanan dapat dilakukan dengan memotong jumlah
pakan yang diberikan pada udang pada saat-saat floc dalam tambak cukup pekat.
Dengan cara demikian maka penggunaan pakan lebih efisien.
Sistem pengelolaan air dalam budidaya udang ada beberapa macam salah
satunya adalah dengan sistem floc. Sistem ini merupakan
pengembangan/penerapan dari teknik pengolahan limbah yang biasa disebut
“lumpur aktif”. Sistem ini memiliki banyak keuntungan antara lain, tidak perlu
banyak ganti air (sedikit ganti air), tidak tergantung kondisi air di luar (biosecurity
lebih ketat), tidak tergantung oleh cuaca (sinar matahari), dan teknologi ini ramah
lingkungan (limbah didaur ulang menjadi makanan tambahan berupa floc).
Beberapa perlakuan yang harus dilakukan untuk membentuk floc dan cara
pemeliharaannya agar mutu airnya stabil.
4.6.1. Pemupukan
Starter biofloc diberikan sejak persiapan air setiap pagi hari dengan dosis
5 ppm. Pembuatan starter biofloc yang berasal dari produk probiotik komersial
yang dapat menghasilkan biofloc juga telah diuraikan di atas. Untuk menunjang
perkembangan biofloc maka aerasi dan pengadukan harus cukup agar bahan
organik teraduk dalam kolom air dan diurai oleh bakteri heterotrof aerob dan
membentuk biofloc. Namun pembentukan biofloc perlu waktu yang cukup karena
pada awal budidaya pakan yang digunakan masih sedikit.
Buang air dilakukan bila kondisi air sudah terbentuk biofloc yang cukup
pekat yang dicirikan oleh kecerahan mencapai 20 cm. Buang air dilakukan setiap
hari atau setiap 3 hari tergantung dari banyaknya endapan yang terkumpul di
pembuangan sentral. Endapan harus dibuang karena kondisinya yang anaerob
Alternatif lain untuk mencegah timbulnya H2S dan nitrit adalah dengan
menebarkan bakteri anaerob fakultatif seperti bakteri fotosintetik (PSB) dan
bakteri denitrifikasi pengguna nitrat penghasil nitrogen jenis Bacillus
licheniformis di daerah yang arusnya lemah. Bakteri tersebut harus dicampur
substrat (zeolite granular) sebelum ditebar ke tambak, agar dapat langsung
tenggelam ke dasar.
Aerasi dan pengadukan air tambak yang cukup kuat sangat diperlukan
untuk mendukung perkembangan floc dan mencegah terjadinya pengendapan
bahan organik, serta membuat bahan organik selalu teraduk dan terurai secara
aerob. Kebutuhan aerasi sangat bervariasi antar tempat. Kebutuhan aerasi untuk
menunjang sistem biofloc minimal 30 HP per ha, yang idealnya menurut
McIntosh (1999) berkisar antara 45 – 60 HP per hektar. Penempatan aerator
dilakukan sedemikian sehingga tidak ada daerah mati (berarus lemah) untuk
mencegah terjadinya endapan. Idealnya, dipadukan aerasi yang membentuk arus
putar dengan aerator yang membentuk arus dari bawah ketas. Dalam hal ini, perlu
ada perpaduan aerasi dari permukaan (kincir, turbo) dan aerasi dari dasar dengan
menggunakan blower sehingga percampuran (pengadukan) air dan penyebaran
oksigen lebih merata.
Kejelian dalam memantau kondisi kesehatan udang oleh para teknisi atau
pembudidaya sangat diperlukan. Hal ini sangat penting kaitannya dengan adanya
serangan penyakit dan cara penanggulangannya. Bila terlambat mengetahui
bahwa udang sudah terserang penyakit maka bisa berakibat fatal atau gagal
produksi.
Udang yang sehat memiliki nafsu makan yang kuat. Sebaliknya bila stres
atau sakit maka nafsu makannya menurun. Bila nafsu makannya menurun harus
diperiksa parameter mutu air (oksigen, amonia, pH, plankton, suhu, bakteri vibrio,
dll.), serta ambil sample udang untuk diperiksa di laboratorium. Kejadian
moulting masal juga bisa menyebabkan nafsu makan menurun. Demikian juga
perlakuan tertentu yang menyebabkan goncangan mutu air.
Udang yang sehat kotorannya tebal dan panjang. Berwarna coklat atau
kehitaman tergantung dari yang dimakan. Sedangkan udang yang sakit atau ada
gejala sakit kotorannya pendek, mudah hancur, atau keputih-putihan. Bila udang
makan pelet, warna hepatopancreasnya kecoklatan. Sedangkan bila makan
detritus di dasar warna akan kehitaman. Bila makan lumut atau blue green
(Spirulina) maka warnanya hijau dan bila makan cacing warnanya kemerahan.
Kadang-kadang ditemukan kotoran udang yang berwarna putih mengambang di
permukaan air. Ini biasanya kotoran udang yang sakit dan tidak mau makan.
Sebagai hewan nocturnal maka udang aktif di dasar atau keluar pada
malam hari. Adanya udang yang berenang di permukaan pada siang hari, atau
menempel di tepi pematang menunjukkan bahwa udang tidak sehat. Demikian
juga bila udang konvoi (berenang dalam jumlah banyak) berarti udang dalam
masalah. Sedangkan pemeriksaan kesehatan di laboratorium meliputi pemeriksaan
parasit (ektocomensal), bakteri yang menempel di permukaan tubuh, kondisi
insang udang (adanya protozoa), hepatopancreas udang (adanya Vibrio terutama
Vibrio harveyi). Dan pemeriksaan PCR bila diperlukan.
Udang yang sehat memiliki pertumbuhan yang baik yaitu 0,17 atau lebih.
Tetapi udang yang kurang sehat atau kondisi lingkungannya yang kurang baik
maka pertumbuhannya akan lambat. Pertumbuhan yang lambat juga erat
hubungannya dengan mutu pakan.
Dari pengamatan terhadap insang, kaki dan ekor udang dapat diperoleh
hasil seperti adanya perubahan warna (pigmentasi) menjadi kehitaman
(melanisasi) atau kemerahan, organisme penempel / epicommensal (protozoa,
jamur, algae dan bakteri filament). Isi usus dan hepatopancreas bisa diperoleh
adanya kandungan vibrio (degan media TCBS) atau baculovirus dengan
pewarnaan MG dan diamati di bawah mikroskop.
4.7.6. Perlakuan
Pada umumnya budidaya udang dilakukan hingga 4 bulan atau 120 hari.
Namun demikian ada juga yang melakukan panen lebih dari 4 bulan dan ada pula
yang kurang dari 4 bulan dengan alasan-alasan tertentu.
− Persiapan tenaga.
Alat panen harus disiapkan, pastikan bahwa alat panen harus selalu dalam
keadaan bersih sebelum digunakan. Peralatan yang digunakan untuk panen antara
lain : alat tangkap (jala kurung/jaring kondom, jaring listrik atau mini trawl, jala
lempar, sudu/sotok, dll.), alat pengangkut (wadah drum plastik, keranjang, dan
lain-lain), timbangan untuk menimbang udang dan tempat penampungan air
bersih dan es. Sedang meja sortir, keranjang untuk sortir dan penimbangan, meja
stainless steel, es serta kebutuhan untuk pengemasan dan pengangkutan biasanya
dipenuhi oleh pihak pembeli.
Pelaksanaan panen harus dilakukan saat cuaca tidak panas. Jadi sebaiknya
mulai pada sore hari menjelang matahari tenggelam hingga pagi hari. Panen
sebaiknya tidak dilakukan saat matahari terik, karena udang akan cepat rusak.
Mula-mula air dikurangi secukupnya (tinggal 80 cm). Jaring kondom atau jala
kurung dipasang dipintu panen. Selanjutnya pintu panen dibuka dan udang yang
keluar masuk ke dalam jaring. Udang yang tertangkap dimasukkan ke dalam
wadah kantong atau keranjang yang diberi tutup dan selanjutnya diangkut dan
dibawa ke tempat sortir. Bila konstruksi tambaknya bagus maka udang akan habis
bersamaan dengan habisnya air. Tetapi bila konstruksinya tidak bagus, setelah
udang tidak lagi keluar dari pintu panen, air kolam dikeluarkan dengan
menggunakan dipompa. Bersamaan dengan itu, udang ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap sudu, jala listrik, trawl atau jala lempar hingga udang
habis dan tambaknya kering.
Azim, Ekram. David C.Little and James E. Bron. 2006. Production of microbial
protein using activated suspension technique (AST) in indoor tanks.
AQUA 2006. Florenze. Italy. 9 – 13 May 2006. http://floc.aesweb.org/
Boyd, C.E. and J.W. Clay, 2002. Evaluation of Belize Aquaculture, Ltd: A
Superintensive Shrimp aquaculture System. Report prepared under the
World Bank, NACA, WWF, and FAO Consortium Program on Shrimp
Farming and the Environment. Work in progress for Public Discussion.
Published by the Consortium.
Panjaitan, P. and Yoram Avnimeleh, 2006. Effect of C/N ratio on Water Quality
in Zero Water Exchange Microcosms. Presentation in Firenze 2006.
http://floc.aesweb.org/
Sinha, et. al. 2008. Horizon scanning : The potential use of biofloc as an anti-
infective strategy in aquaculture – an overview. Aquaculture Health
International. Issue 13 Juni 2008.
Tacon, A.G.J. 2002. Thematic Review of Feeds and Feed Management Practices
in Shrimp Aquaculture. Report prepared under the World Bank, NACA,
WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the
Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the
Consortium. 69 pages.
Verdegem, Schrama J., Hari B. and Kurup M. 2006. Alternative view on shrimp
pond nutrition. Presentation in Firenze, Italia 2006. http://floc.aesweb.org/
KUMPULAN GAMBAR
MACAM-MACAM BIOFLOC