Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun yang
digunakan untuk mengendalikan jasad penganggu yang merugikan
kepentingan manusia. Pestisida telah cukup lama digunakan terutama
dalam bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan,
pestisida digunakan dalam melindungi manusia dari gangguan secara
langsung oleh jasad tertentu maupun tidak langsung oleh berbagai vektor
penyakit menular. Berbagai serangga vektor yang menularkan penyakit
berbahaya bagi manusia, telah berhasil dikendalikan dengan bantuan
pestisida. Dan berkat pestisida, manusia telah dapat dibebaskan dari
ancaman berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit malaria, demam
berdarah, penyakit kaki gajah, tiphus dan lain-lain.
Di bidang pertanian, penggunaan pestisida juga telah dirasakan
manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Terutama digunakan untuk
melindungi tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan dari kerugian
yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Sebab dengan bantuan
pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan
jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit
maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu pengunaan
pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat. Perlakuan tersebut
dapat menyebabkan berbagai persitiwa salah satunya adalah resistensi.
Oleh karena itu, penggunaan pestisida harus bijaksana sesuai
dengan prinsip 5 tepat, yaitu :
1. Tepat Sasaran, menentukan OPT yang akan dikendalikan,
kemudian disesuaikan dengan jenis pestisida yang akan digunakan,
dengan cara membaca label pada pestisida tersebut.
2. Tepat Jenis, menentukan jenis pestisida yang akan digunakan
seperti insektisida untuk serangga, herbisida untuk gulma, dan
lainnya.
3. Tepat Waktu, menentukan waktu pengendalian yang paling tepat,
seperti:
a. Stadium rentan dari serangga hama yang menyerang tanaman,
misalnya stadia larva instar I, II, dan III.
b. Kepadatan populasi yang paling tepat untuk dikendalikan,
berdasarkan Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi.
c. Kondisi lingkungan, misalnya tidak mengaplikasikan pestisida
pada waktu hujan, kecepatan angin tinggi, dan cuaca panas terik.
4. Tepat Dosis/Konsentrasi, penggunaan konsentrasi/dosis sesuai
dengan dianjurkan pada label pestisida.
5. Tepat Cara, aplikasi pestisida dengan cara yang sesuai dengan
formulasi pestisida dan anjuran yang ditetapkan.
Beberapa kerugian yang muncul akibat pengendalian organisma
pengganggu tanaman yang semata-mata mengandalkan pestisida, antara lain
menimbulkan kekebalan (resistensi) hama, mendorong terjadinya resurgensi,
terbunuhnya musuh alami dan jasad non target, serta dapat menyebabkan
terjadinya ledakan populasi hama sekunder. Resistensi serangga terhadap
insektisida dapat didefinisikan sebagai berkembangnya kemampuan strain
serangga untuk mentolerir dosis racun yang dapat mematikan sebagian besar
individu-individu di dalam populasi yang normal pada spesies yang sama.
Resistensi menyebabkan suatu serangga hama menjadi tahan terhadap
insektisida. Keadaan ini biasanya timbul sebagai akibat penggunaan satu jenis
insektisida secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Resistensi ?
2. Apa sajakah strategi pengelolaan resistensi ?
3. Bagaimanakah mekanisme terjadinya resistensi ?
4. Apakah dampak resistensi pestisida?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari resistensi.
2. Untuk mengetahui strategi pengelolaan resistensi.
3. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya resistensi.
4. Untuk mengetahui dampak resistensi pestisida
D. Manfaat
Dapat menambah wawasan bagi pembaca maupun penulis tentang
strategi pengelolaan resistensi, proses terjadinya resistensi dan dampak
resistensi pestisida.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Pengertian pestisida sesuai dengan peraturan Pemerintah RI No.7
tahun 1983 yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :
a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit- penyakit
yang merusak tanaman, bagian- bagian tanaman atau hasil- hasil
pertanian.
b. Memberantas rerumputan.
c. Mematikan daun dan pencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
d. Memberantas atau mencegah hama- hama luar pada hewan- hewan
piaraan dan ternak.
e. Mencegah atau memberantas binatang- binatang yang dapat
nyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
Residue adalah sejumlah bahan terutama yang masih aktif serta
bahan-bahan lainnya yang berasal dari pestisida yang masih terdapat pada
tanaman, makanan, binatang serta lingkungan lainnya (misalnya setelah
aplikasi dengan pestisida). Residual effek adalah pengaruh samping pada
residu. (Natawigena, Hidayat, 1985)
Persistensi adalah jangka waktu yang diperlukan sehingga daya
kerja pestisida yang digunakan di lingkungan (tanah, tanaman, air, dan
udara) dan pada dosis/konsentrasi penggunaan biasa, menurun sampai
100%. Umumnya pestisida Chlorinated Hidrocarbon ( seperti DDT, BHC)
lebih persisten di banding dengan pestisida Organophospor (seperti
Malathion, Parathion) dan pestisida Carbamat (seperti Sevin, Furadan).
Lamanya persistensi tergantung dari jenis pestisida dan konsentrasi, serta
tergantung juga dari keadaan lingkungan atau tempat pestisida tertinggal.
Tolerant adalah ketahanan dari pada hama dan jasad renik terhadap
keracunan pestisida pada tingkat tertentu.
Tolerance adalah banyaknnya residu pestisida yang terdapat pada
atau di dalam makanan yang menurut ilmu pengetahuan sekarang
diperbolehkan, dihitung dalam ppm.
Pemakainan pestisida yang terus menerus, apalagi dengan cara
yang tidak tepat hanya akan menimbulkan masalah baru. Berbeda dengan
penyebab pencemaran lainnya, seperti limbah industri atau kebocoran gas
beracun, dan pestisida yang disebarkan ke alam dengan sengaja.
Persistensi yang kuat pada beberapa pestisida di dalam lingkungan dan
pada jasad hidup telah menimbulkan pengaruh samping yang sukar dan
tidak terduga. Beberapa pengaruh samping yang penting adalah :
1. Terjadinya resistensi
Resistant adalah kesanggupan dari suatu hama memakan racun
yang berdosis lebih tinggi daripada dosis biasa. Resistant timbul
melalui proses seleksi pada pertumbuhan atau generasi yang
mengalami pemberian insektisida yang berturut- turut.
Resistance adalah tingkatan atau dari suatu serangga hama atau
jasad lain yang tahan terhadap bahan beracun.
Apabila suatu hama memperoleh tekanan yang hebat akibat
berbagai jenis pestisida yang digunakan, maka hal ini akan
menimbulkan ketahanan (resistensi) hama tersebut. Tekanan hebat
tersebut disebabkan penggunaan pestisida terlalu banyak dan terus
menerus, sebagai akibatnya akan timbul seleksi yang ketat dalam
opulasi hama/serangga tersebut, di mana hanya individu - individu
yang resisten yang dapat hidup.
Resisten terhadap pestisida untuk tiap serangga mempunyai
mekanisme yang berbeda-beda. Begitu pula pada masing-masing
stadium yaitu telur, larva, kepompong dan imago. Ada 3 jenis
resistensi yaitu :
a. Resistensi Morfologi
Resisten ini disebabkan oleh bentuk morfologi jasad hidup
tersebut. Umumnya serangga mempunyai kutikula yang tebal
pada beberapa bagian badan, sehingga pestisida kontak sukar atau
tidak mampu masuk melalui kutikula.
b. Resistensi yang bersifat Enzimatis atau Fisiologis
Resistensi ini disebabkan karena, jasad hidup tersebut mempunyai
kemampuan mengubah pestisida melalui proses kimia dengan
bantuan enzim, menjadi senyawa yang tidak beracun.
c. Resistensi sifat
Dalam suatu spesies secara tiba-tiba terjadi individu yang
mempunyai sifat dan cara hidup menyimpang dari sifat yang
normal, sehingga individu tersebut terhindar dari kontak dengan
pestisida. Untuk mengatasi masalah resistensi, diperlukan
penggunaan pestisida atau kelompok pestisida yang diketahui
belum pernah menimbulkan resistensi dan mengatur penggunaan
pestisida secara tertib, sehingga perlu diperhatikan tentang :
1) Konsentrasi/dosis pestisida yang digunakan.
2) Banyak ulangan perlakuan.
3) Waktu perlakuan.
4) Cara pencampuran atau memformulasikan pestisida.
5) Alat yang digunakan.
Cara lain untuk mengurangi resistensi adalah dengan membiarkan
untuk beberapa waktu tidak diperlakukan dengan pestisida yang
menyebabkan resistensi tersebut.
2. Terjadinya resurgensi
Yaitu peningkatan populasi suatu hama/serangga pada tingkatan
yang lebih besar daripada biasanya dan terjadi setelah mengalami
penurunan populasi akibat tindakan pemberantasan hama. Beberapa faktor
yang mempengaruhi timbulnya resurgensi yaitu :
a. Hilangnya musuh- musuh alam seperti parasit dan predator.
b. Stimulasi terhadap daya ber-reproduksi dari hama.

Salah satu upaya agar tidak menimbulkan resurgensi adalah :


a. Tidak menggunakan satu jenis pestisida dengan jangka waktu terus
menerus.
b. Mengusahakan menggunakan pestisida yang spektrumnya sempit.
c. Usahakan menggunakan pestisida yang selektif.
3. Timbulnya hama sekunder
Serangga-serangga yang berguna serta menguntungkan seperti
predator dan parasit terbunuh, sehingga serangga yang pada awalnya
bukan merupakan hama, yang berarti akan meningkatkan populasinya dan
menimbulkan kerugian. Untuk menghindari hal ini, dalam penggunaan
pestisida hendaknya di cari jenis pestisida yang selektif dan relatif aman
dari segi formulasinya.
4. Terbunuhnya individu bukan sasaran
Terbunuhnya individu atau serangga bukan sasaran, baik musuh
alami, lebah madu maupun hewan lain. Agar hal tersebut dapat dicegah
hendaknya digunakan pestisida yang selektif, serta mempelajari perilaku
musuh alami hama sasaran, sehingga pengendalian yang tepat dapat
ditentukan.
B. Strategi Pengelolaan Resistensi
Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten
menurut Georghiou dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu :
1. Sikap sedang (moderation)
Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan seleksi
terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi
penyemprotan yang lebih jarang.
2. Penjenuhan ( saturation )
Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau
mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik
yang bersifat biokimiawi maupun genetik
3. Serangan ganda ( multiple attack).
Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan dengan cara
mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang
mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda.
Adanya refugia merupakan mekanisme untuk menghambat
pengembangan sifat resistensi pada populasi karena di refugia merupakan
sumber individu imigran yang masih memiliki sifat peka terhadap
pestisida (Georgiou dan Taylor, 1986).

Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan


yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan
pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan
resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor yang
mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan
frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat
sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang mekanisme
suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten terhadap
pestisida.

Meskipugn dalam proses terjadinya resistensi hama terdapat


banyak hal yang belum sepenuhnya dimengerti, tetapi beberapa langkah
berikut disarankan untuk mencegah atau sedikitnya menunda terjadinya
resistensi hama atau penyakit :

Tabel pengolahan resistensi dengan insektisida campuran


Golongan Pyrethroid Karbamat OP Nicotionoid Pyrazole Spinosyn
Pyrethroid Hindari Sedikit Sangat Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan
Dianjurkan Dianjurkan
Karbamat Sedikit Hindari Sedikit Sedikit Sedikit Dianjurkan
Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan
OP Sangat Sedikit Sedikit Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan
Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan
Nicotionoid Dianjurkan Sedikit Dianjurkan Hindari Sangat Sangat
Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan
Pyrazole Dianjurkan Dianjurkan Sangat Hindari Sangat
Dianjurkan Dianjurkan
Spinosyn Dianjurkan Dianjurkan Dianjurkan Sangat Sangat Hindari
Dianjurkan Dianjurkan
Pengelolaan Resistensi Pestisida dan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Resistensi pestisida suatu fenomena alam yang sangat kuat dan


masalah yang diakibatkannya semakin berlarut dan merugikan.
Pengembangan keparahan masalah resistensi dikendalikan sepenuhnya
oleh tindakan manusia. Ketidakpedulian dan kurang perhatian semua
pihak terhadap masalah resistensi dapat membawa ke terjadinya eksplosi
hama yang membawa ke kegagalan panen atau kegagalan program
perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.

Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas


disiplin dan lintas sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak
hanya pemerintah dan petani tetapi terutama industri pestisida dengan para
petugasnya yang beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat
dilaksanakan oleh stakeholders secara bersama adalah memberikan
penjelasan, penyuluhan dan pelatihan pada para petani agar mereka dapat
ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam menggunakan
pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya
populasi resisten. Petani terutama petani hortikultura harus mengubah
perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan mengaplikasikan
pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan resistensi pestisida

Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan


mendukung prinsip dan strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida
merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan pestisida dan
pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-
individu resisten dalam populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat
dikelola dan secara ekonomis layak. Penggunaan pestisida agar
dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan
analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan
populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat
memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan
mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta
dapat memperlambat atau menunda pengembangan populasi resisten yang
merugikan semua pihak.

Deteksi dan Monitoring Resitensi

Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini


mungkin. Apabila kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah
terjadi karena berkembangnya populasi resisten, mungkin tingkat
resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali
sampai ke tingkat yang rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode
pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat sehingga adanya
perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih
awal. Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan
menunjang kegiatan monitoring yang terprogram.

Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan


tingkat keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan
pendugaan mengenai lebar atau panjang “jendela waktu― yaitu sejak
resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak
dapat dikelola lagi tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu
dasar seperti immunologi, biokimia dan genetika molekuler diharapkan
mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode deteksi
tersebut.

Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan


penggunaan metode deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi
tingkatan rendah terjadinya resistensi di populasi hama. Metode deteksi
dan monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan
teknik bioassay. Pengujian biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas
ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi pada organisme
yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode biokimia
menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal
daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga
sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen
resisten.

C. Mekanisme Resistensi
Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh
menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam
waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses
seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan
suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama
yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan
frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR)
berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena
adanya seleksi yang terus- menerus jumlah individu yang peka dalam
suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu
resisten. Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga
menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup
pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang
tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.
Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individu-
individu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani
mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi
aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya
proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi
individu-individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi
proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat
dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang
resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi
didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian
hama menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi
adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga.
Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang
lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu
yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan
seleksi yang lemah.
Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi
meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor
genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten.
Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun,
keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan
sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan
sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis,
frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor
genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor
operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga
sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut
dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.
Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat
dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh
karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim
dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase
(terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap
OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga
seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf
(Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum
seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.

Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis


insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme
ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi
yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis insektisida yang
cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga.
Mekanisme resistensi penyakit terhadap fungisida dan resistensi gulma
terhadap herbisida pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme
resistensi hama terhadap insektisida

D. Dampak Resistensi Pestisida


Resistensi insektisida tidak hanya terjadi pada serangga hama pada
pertanian, tetapi juga terjadi pada serangga rumah tangga seperti nyamuk
dan lalat. Resistensi serangga hama terhadap insektisida organik diketahui
pada tahun 1910an, dan meningkat setelah ditemukan insektisida organik
sintetik seperti DDT yang ditemukan dan digunakan pada tahun 1945.
Pada tahun 1948 dilaporkan terjadi resistensi DDT pada nyamuk dan lalat.
Pada tahun 1986 dilaporkan 447 jenis serangga yang resisten terhadap
hampir semua kelompok insektisida (organokhlor, oganofosfat, karbamat,
piretroid sintetik, fumigan) termasuk kelompok insektisida hayati seperti
Bt (Georghiou,1986). Tindakan yang dilakukan petani terhadap pestisida
yang kehilangan efektivitasnya adalah dengan meningkatkan
dosis/konsentrasi dan frekuensi aplikasi. Bila masih tidak berhasil, maka
akan menggunakan jenis pestisida yang lebih baru, lebih mahal dengan
harapan lebih efektif dalam mengendalikan hama tersebut. Hal inilah salah
satu penyebab terjadinya resistensi hama pada jenis pestisida yang baru,
karena hama mempunyai kemampuan mempertahankan dan mewariskan
sifat resistensi pada keturunannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Resistant adalah kesanggupan dari suatu hama memakan racun yang
berdosis lebih tinggi daripada dosis biasa. Resistant timbul melalui
proses seleksi pada pertumbuhan atau generasi yang mengalami
pemberian insektisida yang berturut- turut. Resistance adalah
tingkatan atau dari suatu serangga hama atau jasad lain yang tahan
terhadap bahan beracun. Apabila suatu hama memperoleh tekanan
yang hebat akibat berbagai jenis pestisida yang digunakan, maka hal
ini akan menimbulkan ketahanan (resistensi) hama tersebut. Tekanan
hebat tersebut disebabkan penggunaan pestisida terlalu banyak dan
terus menerus, sebagai akibatnya akan timbul seleksi yang ketat dalam
opulasi hama/serangga tersebut, di mana hanya individu - individu
yang resisten yang dapat hidup.
b. Strategi pengelolaan resistensi menurut Georghiou dapat dilakukan
dengan 3 strategi yaitu sikap sedang (moderation), penjenuhan (
saturation ), dan serangan ganda ( multiple attack).
c. Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi
menjadi 3 yaitu:
 Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida
oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim
dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase
(terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap
OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
 Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh
serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat),
sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
 Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau
integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap
kebanyakan insektisida.
d. Dampak resistensi pestisida diantaranya hama mempunyai
kemampuan mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada
keturunannya.
B. Saran
a. Diharapkan bagi pengguna dapat membaca aturan pakai pestisida
sesuai dengan dosis kebutuhan agar tidak terjadi resistensi.
b. Pada saat penggunaan pestisida hendaknnya tidak hanya satu jenis
pestisida secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu tetapi
beberapa jenis pestisida.
c. Tidak berlebihan dalam menggunakan pestisida.

Anda mungkin juga menyukai